Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Bimabet
CHAPTER 9


Suara burung berkicauan, langit telah cerah dan angin pagi membelai wajahnya dengan lembut. Sinar matahari menyentuh wajah Sri yang begiru mempesona. Dan aku menikmati pemandangan tersebut, aku tak berhenti menatap sejak datang ke rumahnya. Kebaya merah muda yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, kain batik yang membalut kakinya, konde, dan make up yang lebih tebal dari biasanya namun tetap natural membuat calon istriku ini tampak seribu kali lebih anggun dan cantik. Bulu mata Sri ternyata panjang dan lentik. Aku baru menyadarinya, alis gadis itu juga terbentuk sempurna dengan warna hitam kelam. Nampaknya aku mulai setuju omongan kakek yang berkata bahwa aku baru saja menemukan bidadari sebagai calon istriku. Bibir tipisnya cukup berisi untuk dilumat, aku menjamin bibir itu sangat nikmat, dan hidungnya mancung tak berlebihan.

“Kok bengong?” Tiba-tiba lamunanku buyar saat suara lembut Sri menyapa. Tangannya memukul dadaku pelan.

“Oh ... I..iya ... Maaf ...” Aku tergagu malu.

“Ayo, berangkat.” Ucapnya lagi sambil memberikan kunci mobil milik ayahnya padaku.

“Ayo ...” Jawabku sembari mengambil kunci mobil dari tangannya. Lalu aku menoleh pada Pak Haji Yanto yang sedang berdiri di ambang pintu, “Saya pinjam dulu Sri ya pak.”

Pak Haji Yanto pun tersenyum, “Kembalikan anakku utuh.”

“Ya, pak ... Saya jamin utuh.” Jawabku sambil tersenyum lebar.

“Hati-hati.” Ujar Pak Haji Yanto yang kujawab dengan bungkukan kecil badan.

Setelah membuka pintu mobil untuk Sri dan menutupnya kembali, dengan cepat aku masuk ke dalam mobil, lalu segera menstarter mobil untuk menghidupkannya. Setelah mesin mobil hidup, aku segera menjalankan mobil meninggalkan rumah Pak Haji Yanto yang megah di belakangku. Aku mengawali perbincangan dengan memuji kecantikan gadis di sisiku, senyum simetris pun kuperlihatkan kepadanya. Sri hanya merespon dengan kuluman senyum, disertai kerucutan bibir yang membuatnya terlihat sangat imut.

“Mas ... Sebenarnya kita ke undangan siapa?” Tanya Sri setelah beberapa saat.

“Temen mas. Teman dekat. Namanya Windi.” Jawabku sambil tetap fokus ke jalanan.

“Mantan mas ya?” Goda Sri dengan kekehan pelan.

“Bukan. Hanya teman. Tapi memang kami sangat dekat, seperti TTM.” Kataku lagi dan sekilas meliriknya.

“Kenapa gak pacaran saja?” Tanya Sri lagi.

“Maunya begitu. Aku sama dia memang saling menyukai. Tapi orangtuanya tidak menyukaiku. Orangtuanya ingin mendapatkan menantu yang mapan dan kaya raya. Aku gak termasuk hitungan orangtuanya.” Kataku.

“Hi hi hi ... Kok aku jadi penasaran ingin lihat wajah perempuan yang mas suka.” Kekehan Sri lebih keras.

“Masih cantikan kamu.” Kataku pelan.

“Masa sih?” Suara Sri kemayu.

“Serius ... Kamu jauh lebih cantik dari dia.” Pujiku.

“Terima kasih ...” Lirihnya.

Tidak lebih setengah jam, aku sampai di tempat perayaan pernikahan Windi di sebuah GOR yang letaknya persis di samping rumah mempelai wanita. Setelah memarkirkan mobil di halaman GOR yang cukup luas, aku dan Sri berjalan memasuki tempat acara perayaan. Sri tiba-tiba menyelipkan tangannya memeluk lenganku saat kami melewati pintu masuk ruangan luas ini. Aku langsung bisa melihat kedua mempelai yang ada di atas panggung. Kulihat Windi menatapku, tepatnya pada Sri yang berada di sampingku. Walau samar, aku bisa melihat wajah Windi menegang, entah kenapa, tetapi aku sangka Windi sedang terkejut.

Aku dan Sri berjalan mendekati panggung lalu menaikinya. Aku bersalaman dengan kedua orangtua mempelai pria. Dan saatnya yang mendebarkan, aku mengucapkan selamat kepada mempelai pria dengan jabatan tangan erat, kemudian beralih pada Windi. Aku menatap matanya, mata itu tampak redup, warna coklat tuanya tampak berkabut. Kedua mata itu tampak merebak oleh genangan air mata yang segera disekanya.

“Selamat ya. Selamat menempuh hidup baru.” Kataku sembari menyalaminya.

“Terima kasih.” Lirihnya bergetar.

“Hai ...” Tiba-tiba Sri menyapa Windi. “Selamat ya.” Lanjut Sri sembari menyalami Windi.

“Kapan kalian akan meresmikan hubungan kalian?” Tanya Windi dengan senyum dipaksakan.

“Sebentar lagi ... Mungkin minggu depan.” Jawab Sri membalas senyuman Windi.

“Selamat ya ...” Malah Windi balik mengucapkan selamat pada Sri.

“Terima kasih.” Jawab Sri sangat ramah.

Aku melanjutkan bersalaman dengan kedua orangtua Windi yang menyambutku dengan muka sangat masam, bahkan salaman kami pun hanya sekedar sentuhan kecil. Mereka berdua seperti tak sudi menyentuh kulitku. Setelah selesai bersalaman dan mengucapkan selamat, aku dan Sri menikmati jamuan yang disediakan tuan rumah di kursi yang telah disediakan. Aku sesekali mengedarkan pandang saat kami menikmati makanan. Entah kenapa aku tak rela banyak mata laki-laki yang melihat Sri dengan pandangan kagum, Sri hanya milikku seorang.

“Mantan mas masih menyukai mas loh.” Ucap Sri dan aku pun tersenyum.

“Kamu ini ada-ada saja. Dia sudah memilih suaminya sekarang, berarti dia sudah menanggalkan perasaannya padaku. Lagi pula kita hanya teman bukan sepasang kekasih.” Kataku.

“Aku tahu mas. Aku juga perempuan. Aku bisa merasakan perasaannya. Dia juga sering melirik sama mas. Matanya bisa kubaca kalau dia sangat mencintai mas.” Ungkap Sri sambil tersenyum.

“Bagiku ... Itu masa lalu ... Dia pernah dekat denganku, tetapi sekarang dia hanyalah orang asing yang tahu segala rahasia-rahasiaku di masa lalu. Terkadang kita harus melupakan apa yang kita rasakan dan mengingat apa yang pantas kita dapatkan. Sekarang, aku mendapatkan yang lebih dari dirinya. Jadi, buat apa aku mengingat-ingat lagi masa laluku bersamanya.” Kataku dan itu membuat pipi Sri merona.

“Ternyata mas pandai merayu juga.” Ucap Sri sambil mengulum senyum.

“Aku tidak sedang merayu. Sekarang kamulah masa depanku walau hanya sebentar. Aku lebih tertarik pada masa depan daripada masa lalu karena masa depan adalah tempat aku ingin hidup.” Kataku.

“Ya ampun ... Sudah ah merayunya.” Sri mencubit lenganku.

Kami pun tertawa kecil bersama-sama. Memang, saat ini aku akan hidup dengan intens dan penuh, aku tak akan membiarkan masa lalu menjadi beban. Aku tidak akan membiarkan masa lalu menyeretku ke bawah dan menghentikanku untuk bergerak maju. Semua bisa dilalui, semua bisa dihadapi, semua bisa diselesaikan untuk masa depan. Masa depan yang cerah tidak pernah dijanjikan pada siapa pun. Aku harus mengejarnya sendiri.

“Pulang yuk!” Pinta Sri.

“Ayo!” Jawabku sambil berdiri.

“Kita harus pamitan dulu sama mempelai.” Ajak Sri sambil menarik tanganku.

“Tak usah ... Kita langsung pergi saja.” Ajakku dan kini aku yang menarik tangan Sri.

“Gak sopan tau!” Sri melotot.

Aku langsung menghadapkan wajah ke panggung, kebetulan Windi sedang melihat ke arahku. Segera saja aku tangkupkan kedua lengan di dada berharap Windi tahu kode yang aku berikan, kode berpamitan. Windi pun membalas dengan sikap yang sama yang berarti dia menerima baik kodeku. Langsung saja aku mengajak Sri keluar ruang resepsi perkawinan dan kembali ke mobil. Tak lama, mobil sudah melaju di jalanan membawa kami kembali pulang. Semakin banyak ngobrol, aku semakin mengenalnya dan aku semakin menyukainya mungkin aku sudah mulai mencintainya. Aku paling suka dengan senyumnya yang sampai ke sudut matanya. Ah, calon istri sementaraku ini memang cantik dan manis.

Akhirnya aku sampai di kediaman Sri. Ketika aku baru saja masuk dua langkah ke rumah besar ini, tiba-tiba smartphoneku berdering. Aku ambil alat komunikasiku itu dari saku celana. Identitas si penelepon membuatku mengernyitkan kening. Didekatkan benda pipih ini ke telingaku sambil menyapa.

“Ya, Pak Kades.” Sapaku.

“Pasar kebakaran. Kamu harus segera ke sana. Cepat sebelum semuanya hangus terbakar!” Pekik Pak Kades. Sontak wajahku menjadi pucat pasi.

“Siap! Pak Kades!” Kataku langsung memutuskan sambungan telepon.

“Ada apa?” Tanya Sri ikut terkejut melihat kepanikanku.

“Pasar terbakar. Aku harus segera ke sana.” Kataku.

Aku masih sempat mencium kening Sri sebelum berlari menghampiri Si Black yang terparkir di samping rumah. Sebelum kutunggangi, aku mengeluarkan botol air mineral tempat batu cahayaku dari bagasi motor. Aku teguk sekali dan menyimpannya kembali di tempat semula.

“Hati-hati.” Ucap Sri saat motorku mulai melaju.

“Ya.” Jawabku singkat kemudian membesut Si Black.

Si Black berlari bagai kesetanan. Sambil memacunya aku berpikir, tindakan apa yang bisa kuperbuat untuk menghentikan kebakaran. Memang otakku selalu bisa aku andalkan. Aku langsung saja membayangkan dan menghayal hujan sangat lebat di lokasi kebakaran sampai api padam. Aku semakin menarik kabel gas Si Black untuk menambah kecepatannya. Aku benar-benar panik. Fasilitas umum yang sangat vital harus segera diselamatkan. Aku tidak ingin aktivitas masyarakatku terganggu gara-gara kebakaran pasar ini.

Setelah kebut-kebutan sekitar 10 menit, aku sampai di lokasi kejadian. Hujan sangat lebat dan terlihat orang-orang sibuk membantu hujan untuk memadamkan api. Aku memilih menepi di sisi jalan yang terdapat pos polisi dan berteduh di sana dengan beberapa orang.

“Kenapa bisa terbakar?” Tanyaku pada seorang pria paruh baya di sampingku.

“Bukan terbakar Pak Sekdes, tapi dibakar.” Sahut si pria sambil geleng-geleng kepala.

“Dibakar? Siapa orangnya?” Tanyaku sangat geram.

“Mereka mencari Jafar. Ada kali 20 orang pak. Mereka mengamuk karena Jafar tidak ditemukan. Akhirnya mereka membakar posko tempat mangkal Jafar dan merembet ke kios-kios. Untung saja tiba-tiba ada hujan. Kalau tidak, mungkin seluruh pasar hangus terbakar.” Jawab pria itu.

“Sialan!” Aku menggeram penuh amarah sambil melihat api yang kian mengecil.

“Hanya kios bagian depan saja pak yang terbakar itu pun tidak semua. Paling-paling sepuluh kios yang hancur. Selebihnya aman.” Tiba-tiba seseorang yang baru datang dengan tubuh basah kuyup melaporkan kejadian padaku.

“Syukurlah yang lain selamat.” Walau agak lega tapi amarahku tetap bergejolak. “Sekarang kemana orang-orang itu?” Tanyaku kemudian.

“Pergi pak ... Entah kemana.” Jawab yang lain.

Setelah hujan reda yang berarti kebakaran sirna, aku segera memerintah tim desa yang sejak tadi telah bersiap-siap untuk membersihkan puing-puing kios, tentu saja aku membantunya. Kami dibantu warga secara gotong royong menyingkirkan puing-puing dan menyelamatkan barang dagangan yang masih terselamatkan. Pak Kades pun turun tangan sambil memerintah orang-orang. Semua orang sibuk sampai polisi datang dan mendata tempat kejadian perkara.

Tak ayal, seharian ini aku tertahan di pasar. Hari pun sudah menjelang senja, aku baru bisa pulang ke rumah. Seperti biasa, mandi dan berganti pakaian adalah ritual pertamaku sehabis bepergian, dilanjutkan dengan ngopi dan ngudud bersama kakek di ruang depan. Aku menceritakan kejadian kebakaran di pasar dan alasan kebakaran kepada kakek. Tak lupa aku ceritakan juga upaya-upaya yang telah warga lakukan untuk membereskan kios-kios di pasar yang terbakar. Aku langsung dikejutkan oleh ucapan kekek yang mengatakan tadi siang banyak orang yang datang ke rumah ini. Orang-orang yang mencari Jafar.

“Kakek tidak diapa-apakan oleh mereka kan?” Tanyaku sangat khawatir.

“Tidak. Mereka sedikit sopan kalau sama orang tua seperti kakek.” Jawab kakek santai sembari menghembuskan asap rokoknya.

“Terus, kakek mengatakan apa pada mereka?” Tanyaku lagi.

“Kakek katakan kalau Jafar pergi bersembunyi entah kemana. Mereka percaya sama omongan kakek dan tak lama mereka semua pergi.” Jawab kakek lagi.

“Kek ... Aku ingin sekali menangkap orang-orang itu untuk dimintai pertanggung-jawaban. Aku ingin meminta ganti kerugian atas kebakaran pasar. Apakah kakek sudah menemui teman kakek yang di Polres?” Tanyaku lagi dan lagi.

“Kakek belum sempat ke Polres. Tadi pagi kakek harus membenarkan irigasi. Mungkin besok kakek akan menemuinya.” Kakek lantas menyesap kopinya yang sudah dingin.

“Ya kek. Aku ingin segera mereka ditangkap.” Lirihku lalu menghisap rokokku dalam-dalam. Kuhembuskan asap rokokku melalui mulut dan hidungku. Kemudian menyesapnya lagi lebih lama.

“Bagaimana Sri?” Tiba-tiba kakek bertanya seperti itu.

“Baik-baik saja.” Jawabku.

“Maksud kakek, perasaanmu padanya.” Lanjut kakek.

“Aku biasa saja kek. Aku gak berani lebih menaruh rasa padanya. Memang aku sudah mulai menyukainya tetapi aku masih takut menyukainya secara sungguh-sungguh. Kakek perlu ingat juga kalau aku adalah suami sementaranya sampai dia melahirkan bayinya.” Jelasku.

“Pelan-pelan saja. Nanti juga perasaanmu akan berubah.” Ujar kakek penuh keyakinan. Aku hanya tersenyum dalam hati karena sesungguhnya aku sudah mempunyai perasaan pada Sri yang kakek prediksikan. Tak lama kakek melanjutkan ucapannya, “Seseorang dapat berubah, dunia dapat berubah. Bahagia selamanya adalah tujuan, tetapi kita tidak bisa menuntut untuk selalu dibahagiakan. Cobalah untuk lebih dulu membahagiakan.”

“Aku takut kecewa, kek.” Kataku.

“Kecewa dapat menimbulkan trauma, itu bisa sangat berbahaya. Kamu harus sadari resiko mencintai, agar tidak tenggelam pada patah hati hingga menyakiti diri sendiri.” Ujar kakek lagi.

“Apa resikonya?” Tanyaku ingin tahu.

“Sebuah hubungan, apalagi rumah tangga, akan menghadapi berbagai jenis ujian. Ketika hati terluka karena kesetiaan mulai dipertanyakan, kejujuran berubah menjadi kebohongan, kepercayaan telah dikhianati, air mata bercucuran. Kamu harus sanggup terus bertahan. Jika memang sudah tak tahan, berpisah .. Tapi jangan sampai menghilangkan pertanggung-jawaban.” Jawab kakek.

“Aku mengerti.” Kataku pelan.

Obrolan aku dan kakek semakin menarik, bahkan kami sering tertawa terbahak-bahak. Malam belum begitu larut, masih jam delapan, namun kakek memutuskan untuk istirahat karena badannya terasa lelah setelah seharian membenarkan irigasi dan sawahnya. Saatnya aku pergi ke Villa Bukit Pinus Cobanrondo karena seseorang mungkin telah menungguku di sana. Malam ini adalah jadwal aku mencangkul ‘sepetak sawah’ milik Santi.

Segera saja aku sambar jaket dan tas pinggangku lalu bergegas keluar rumah. Si bLack telah menungguku dengan setia di halaman, kemudian tanpa berlama-lama aku tunggangi kuda besi kesayanganku dan melajukannya ke tempat yang aku tuju. Kupacu kuda besi dengan kecepatan tinggi secepat kilat merambat di antara raungan suara knalpot. Sekitar 20 menit akhirnya aku sampai di Villa Bukit Pinus Cobanrondo. Santi telah menunggu di villa yang tempo hari kami gunakan.

“Kamu sudah lama?” Tanyaku sembari memasuki villa.

“Baru lima menitan.” Jawabnya sambil menutup dan mengunci pintu.

“Syukurlah. Aku pikir kamu sudah lama datang.” Kataku lalu membuka jaket dan menyimpannya di sofa.

Santi datang lalu merangkul leherku dengan kedua tangannya, “Aku kedinginan.”

“Akan aku hangatkan tubuhmu.” Kataku. Tanganku mulai meremas pantat sintal Santi dan membuat wanita itu harus menggigit bibir bawahnya akibat sensasi yang aku buat di tubuhnya.

“A..aku ingin sa..sampai pagi ...” Sahut Sinta tebata karena dengan perlahan aku membelai tubuhnya dari bawah ke atas. Kini tangan kiriku tengah meremas payudara Santi dan tangan kanan masih berada di pantatnya.

“Ya, sampai pagi.”

“Sayang ...”

Ucapan Santi terputus karena bibirku sudah terlebih dulu menangkap bibirnya. Memberikan kecupan lembut di sana, namun kelamaan ciuman itu berubah ganas. Aku mulai menggigit bibir atas dan bawah Santi secara bergantian. Bunyi kecipak mulut kami berdua sangat terdengar di seluruh penjuru ruangan. Dan kini aku tengah memulai untuk memasukkan lidahku ke dalam mulut hangat Santi.

“Euh... Eumm... Aaahh... Aaahh...” Desahan Santi keluar dari bibirnya dan malah membuatku kehilangan kendali.

Dengan perlahan aku angkat tubuh Santi dengan gaya bridal style membawanya ke dalam kamar lalu meletakkan tubuhnya dia atas ranjang, dengan masih memangut bibirnya. Tubuhku mengunci tubuh seksi Santi yang berada di bawahku. Aku mulai kembali meremas payurada Santi yang terlihat dari kemeja putihnya tanpa bra. Puting susu Santi yang berwarna coklat kemerahan sangat menggodaku untuk segera mengulum dan menjilat bagian tersebut.

“Aaahh… Sa..saayyannghh... Aaahh...” Desah Santi semakin menggila ketika merasa lututku tengah menekan-nekan bagian vaginanya. Membuat vagina itu berdenyut-denyut tak karuan.

Dan kini aku turun ke bagian bawah Santi yang masih terbungkus celana panjang katun. Aku membuka celana panjang itu hingga terlepas melalui kakinya. Kini tampak celana dalam berwarna pink di bagian pangkal pahanya. Aku menjilat pelan luar celana dalam Santi yang berwarna pink itu, membuat Santi lebih tegang dari sebelumnya.

“Aaahh... A..aku tidak tahaaann...” Santi mendesah lagi.

Aku tersenyum, “Sabar ya sayang. Kita akan pemanasan dulu.” Seringaiku semakin lebar ketika melihat wajah wanitaku sangat terangsang seperti saat ini.

“A..aku tidak maaauuu... Entot aakkuu seeekarang... Aaahh... Aaahh...” Pintanya memelas.

Aku mulai melepas semua kain di tubuh Santi membuat wanita manis itu benar-benar naked di hadapanku. Aku meneguk saliva sekali lagi ketika melihat tubuh berkeringat wanitaku yang seksi itu.

“Apa yang kamu lihat? Lakukan sekarang?” Suara Santi agak sewot.

Tanpa basa-basi lagi aku kembali meraup bibir ranum Santi, dan kedua tanganku kembali memijat payudaranya, sesekali mencubit gemas putingnya, dan menariknya ke kanan dan kiri. Membuat Santi harus mendesah di sela ciuman kami.

“Aaahh... Aaakhh... “ Racau Santi, merasa bagian bawahnya yang kosong, Santi dengan segera menggesekkan bagian bawahnya dengan milikku yang masih terbungkus celana panjang.

“Kamu sudah tidak sabar.” Aku terkekeh pelan lalu tanganku bergerak menuju bagian bawah Santi. Benar saja, vaginanya sudah sangat basah, bahkan aku bisa merasakan ada hujan kecil yang keluar dari vaginanya. Hal ini membuktikan Santi sudah benar-benar ingin dimasuki.

Aku pun melepaskan pakaianku sendiri. Hingga tubuh kami berdua sudah sama-sama telanjang. Segera saja aku tempelkan penisku dengan posisi sedikit lebih tegak agar penisku bisa lebih leluasa bergerak di permukaan vaginanya. Kedua paha Santi sekarang terpentang lebar, vaginanya terbuka dan siap menerima tusukan-tusukan penis yang menegang. Kugeser pinggulku ke atas dan ke bawah lembut berirama. Penisku bergerak seperti mencongkel itilnya. Wanita cantik itu mendesah-desah. Kedua mata sayu itu memandangku penuh harap.

“Masukin... Saayyaanngghh...” Pintanya.

Dengan insting kelelakian, kepala penisku mencari lubang kenikmatan wanita cantik di bawahku. Perlahan kepala penisku mulai membelah celah vagina Santi, lalu sedikit demi sedikit batang penisku mulai masuk ke dalam liang senggamanya yang hangat dan basah itu. Bukan main, aku merasakan nikmat luar biasa kehangatan dinding vagina Santi serta kejutan-kejutan kecil mulai dari kepala hingga pangkal penisku yang masuk tertelan habis ke dalam lubang kenikmatan itu.

"Aaaakkhh ... Eennakk saayyangghh ..." Desahku berbisik di telinga kirinya.

Karena aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan nikmat dunia ini dengan segera kukecup kening Santi. Matanya terpejam manis. Bibirnya yang sensual kukecup sekilas. Sementara Santi langsung memeluk leher serta kepalaku sambil mendesah-desah kecil. Beberapa saat kemudian, pinggulku bergerak pelan naik turun. Kejantananku mulai bekerja sebagaimana mestinya. Kini mata sayu Santi menatap syahdu ke arahku, dan aku pun tersenyum.

"Clepppp... Slerppp... Clepppp... Slerppp... Clepppp... Slerppp..." Terdengar suara kewanitaan yang basah karena godaan kejantananku.

Sambil terus menggenjot Santi, bibirku berusaha mencapai payudaranya. Puting susu yang sudah sangat tegang mengacung itu kuhisap dan kujilati bergantian, rupanya itu bagian sensitif kedua setelah vaginanya. Wanitaku menjerit kecil. Beberapa saat berselang, aku mulai menaikan intensitas menarik ulur penisku pada lubang nikmatnya. Menggesek tiap dinding vagina Santi untuk menggali kenikmatan dunia. Air cinta merembes keluar dari vaginanya memberi rasa licin dan bunyi becek di antara penyatuan kami.

"Aaahhh... Sayyaanggh... Aaahhh..." Desahku ketika mempercepat gerakan naik turunku.

"Iniii... Aaaahhh... Enaakk... Aaahhh... Sayaanngg... Aaahhh..." Desahan Santi.

Gerakan semakin liar. Penisku dengan gagah perkasa mengorek liang vagina Santi yang semakin banjir oleh cairan kewanitaannya. Gesekan antar kulit penisku dan liang senggamanya sangat terasa licin dan semakin hangat, otot vaginanya seperti menjepit. Aku terus menyodok dan mendorongkan penisku. Aku melakukannya cukup lama. Sekitar duapuluh menit lebih. Lalu terlihat Santi menegang dan merangkulku dengan kencang. Aku tahu ini saatnya dia orgasme.

"Aaahhhh... Aaakhhh... Aaakuuuu... Keluaarrrr!" Desah Santi sambil memelukku sangat kencang dan tiba-tiba aku merasakan penisku tersiram oleh cairan hangat di dalam sana.

Aku pun menghentikan aktifitasku menunggu Santi yang nafasnya kini terengah-engah akibat orgasmenya. Aku menatap matanya lalu kami berciuman mesra. Aku coba membangkitkan lagi gairah wanitaku ini dengan meremas-remas payudaranya dan menggerakan sangat pelan penisku yang masih kokoh tertanam di dalam vaginanya. Beberapa menit berselang, aku mendapat respon positif. Santi mulai menggoyangkan pinggulnya penuh gairah.

Aku pun mulai bergerak lagi memaju-mundurkan penisku di dalam vaginanya. Santi pun kembali mengerang kenikmatan. Tak lupa aku terus meremas-remas payudara Santi yang sekal dan mencium bibirnya untuk menambah proses rangsangan. Tanpa mengalami hambatan, penisku terus menerjang ke dalam lembutnya vagina Santi. Batang penisku seperti dipilin-pilin.

“Plok... Plok... Plok... Plok...” Terdengar benturan kelamin kami yang beradu membuatku semakin bersemangat.

"Aaakhhh...ughhhh...lebih...cepaathhh!" Desis Santi sembari bergerak mengimbangi genjotanku.

Aku pun memaju-mundurkan pinggulku lebih cepat dan membuat Santi mendesah-desah kenikmatan. Penisku terus saja keluar-masuk mengisi seluruh relung vaginanya. Tak terasa hampir duapuluh menit kami memacu kenikmatan untuk menuju puncak. Penisku pun terasa dijepit lebih erat dari yang tadi, tanda bahwa Santi akan segera orgasme lagi. Aku memaju-mundurkan pinggulku lebih cepat agar Santi mencapai orgasmenya.

"Akhhhh... Saayyaangg... Aaakhuuuu... Keluarrr...lagiii!" Santi pun mencapai orgasme yang kedua kalinya. Kembali penisku disiram cairan hangat oleh vaginanya yang membuat perjalanan kejantananku semakin lancar.

“Nikmati sayang ... Nikmati ... Ini malammu.” Kataku sambil terus memaju-mundurkan pinggulku dan tidak lupa memberi rangsangan kembali pada Santi agar kami dapat berpacu lagi. Tak terlalu lama, Santi pun terangsang kembali dan mendesah lagi.

"Aakkhhh... Iniii... Hebatttt... Saayyaannghh...!" Racau Santi karena aku bisa membangkitkan gairah seksual miliknya.

Denyutan di kemaluannya terasa kuat seakan melumatkan penisku yang tertanam di dalamnya. Goyanganku semakin kuat. Lehernya kurengkuh erat sambil badanku rapat menindih badannya. Ketika itu seolah-olah aku merasakan ada denyutan yang menandakan air maniku akan keluar. Denyutan yang semakin keras membuat penisku semakin menegang keras. Santi mengimbanginya dengan menggoyangkan pinggulnya. Goyanganku semakin kencang. Kemaluan Santi semakin keras menjepit penisku. Kurangkul tubuhnya kuat-kuat. Dia diam saja. Bersandar pada tubuhku, Santi lunglai seperti tidak bertenaga. Kugoyang terus hingga tubuh Santi seperti terguncang-guncang. Dia membiarkan saja perlakuanku itu. Nafasnya semakin kencang.

Dalam keadaan sangat menggairahkan, akhirnya aku sampai ke puncak. Air maniku muncrat ke dalam kemaluan Santi. Bergetar badanku saat maniku muncrat. Santi mengait pahaku dengan kakinya. Matanya terbuka lebar memandangku. Mukanya serius. Bibir dan giginya dicibirkan. Nafasnya terengah-engah. Dia mengerang agak kuat. Waktu aku memuntahkan lahar maniku, tusukanku dengan kuat menghunjam masuk ke dalam. Kulihat Santi menggelepar-gelepar. Dadanya terangkat dan kepalanya mendongak ke belakang. Aku lupa segala-galanya. Untuk beberapa saat kami merasakan kenikmatan itu. Beberapa sodokan tadi memang membuat kami sampai ke puncak bersama-sama. Memang hebat. Sungguh puas.

Aku pun turun dari atas tubuhnya dan terbaring lemas di sisi Santi. Mataku terpejam rapat seolah tidak ada tenaga untuk membukanya. Dalam hati aku puas karena dapat mengimbangi permainan ranjang Santi. Kulihat Santi terpejam di sebelahku. Dia mengaku puas sekali.

“Kamu memang hebat, punyamu luar biasa...!” Katanya dengan nada meronta. Anehnya, ketika aku merasa capek, Santi malah mengocokkan batang penisku dan membangkitkan gairahku.

“Kau suka?” Tanyaku. Dia tersenyum. Dia mengangguk tanda suka. Saat itu juga tanganku memegang buah dadanya. Tangannya mengocok terus penisku. Penisku tegang lagi. Kami jadi terangsang lagi.

“Oh ya ... Aku punya kabar untukmu.” Kata Santi sambil menghentikan kocokan tangannya pada penisku.

“Kabar apa?” Tanya jadi penasaran.

“Kabar tentang ibu bidan Yati.” Jawabnya.

“Kenapa dengandia?” Tanyaku dengan nada meninggi saking penasarannya.

“Tadi siang Bidan Yati meneleponku katanya dia akan pindah ke Kepulauan Riau ikut suaminya.” Ungkap Santi membuatku terkejut.

“Kapan? Kapan dia akan pindah?” Tanyaku lagi sambil bangkit dan menindih tubuh Santi.

“Mungkin dalam waktu dekat. Bidan Yati akan mengurus dulu dokumen kepindahannya. Bidan Yati akan pindah dengan anak-anaknya.” Jelas Santi dan aku pun melongo kaget.

“Kenapa dia tidak meneleponku?” Tanyaku pelan.

“Dia sudah meneleponmu tadi siang. Hanya saja kamu gak mengangkatnya.” Kata Santi dan aku teringat kalau teleponku disimpan di bagasi motor saat aku membantu membersihkan kekacauan di pasar tadi siang.

“Kalau begitu aku harus menemuinya besok.” Ucapku lemas.

“Kamu kok khawatir sih? Kan ada aku yang menggantikannya?” Santi menangkup kedua pipiku.

“Aku merasa kehilangan saja.” Jawabku sambil tersenyum.

“Hi hi hi ... Lupakan dia ... Memekku sudah ingin lagi ...” Ucap Santi mendesah.

“Dengan senang hati.” Jawabku.

Santi tersenyum manis. Perlahan-lahan aku bergerak ke bawah tubuhnya. Hingga akhirnya aku menemukan gundukan bukit kecil yang bersih, dengan bulu-bulu yang tumbuh di sekelilingnya, tampak berkilat di depanku. Kurentangkan kedua kakinya hingga terlihat sebuah celah kecil di balik gundukan bukit Santi. Kedua belahan bibir mungil kemaluannya kubuka. Melalui celah itu kulihat semua rahasia di dalamnya. Aku menelan air liurku sendiri sambil melihat kenikmatan yang telah menanti. Kudekatkan kepalaku untuk meneliti pemandangan yang lebih jelas. Memang indah membangkitkan birahi.

Tak mampu aku menahan ledakan birahi yang menghambat nafasku. Segera kudekatkan mulutku sambil mengecup bibir kemaluan Santi dengan bibir dan lidahku. Rakus sekali lidahku menjilati setiap bagian kemaluan Santi. Terasa seperti tak ingin aku menyia-nyiakan kesempatan yang dihidangkannya. Setiap kali lidahku menekan keras ke bagian daging kecil yang menonjol di mulut vaginanya, Santi mendesis dan mendesah keenakan. Lidah dan bibirku menjilat dan mengecup perlahan.

Beberapa kali kulihat dia mengejangkan kakinya. Aku tak peduli bau khas dari liang kemaluan Santi memenuhi relung hidungku. Malah membuat lidahku bergerak semakin menggila. Kutekan lidahku ke lubang kemaluan Santi yang kini sedikit terbuka. Rasanya ingin kumasukkan lebih dalam lagi, tapi tidak bisa. Mungkin karena lidahku kurang keras. Tetapi, kelunakkan lidahku itu membuat Santi beberapa kali mengerang karena nikmat. Dalam keadaan sudah terangsang, kutarik tubuh Santi ke posisi menungging. Ia menuruti permintaanku dan bertanya dengan nada manja.

“Aku kau apakan, sayang?” Bisiknya.

Aku diam saja. Kuatur posisinya. Tangannya meremas sprei hingga kusut. Cairan kewanitaan Santi sudah membasahi kemaluannya. Kubuka pintu kemaluannya. Kulihat dan perhatikan dengan seksama. Bau anyir dan bau air maniku bercampur dengan bau asli vagina Santi yang merangsang. Bau vagina seorang wanita! Jelas semua! Bulu kemaluan Santi yang lembab dan melekat berserakan di sekitar vaginanya. Kusibakkan sedikit untuk memberi ruang.

Kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang vaginanya. Kumain-mainkan di dalamnya. Kulihat Santi menggoyang punggungnya. Kucium dan kugigit daging kenyal punggungnya yang putih bersih itu. Kemudan kurangkul pinggangnya. Kumasukkan penisku ke liang vaginanya. Pinggang Santi seperti terhentak. Perlahan-lahan kutusukkan penisku yang besar panjang ke lubang vaginanya dengan posisi ‘doggy style’.

Tusukanku semakin kencang. Nafsu syahwatku kembali sangat terangsang. Kali ini berkali-kali aku mendorong dan menarik penisku. Hentakanku memang kasar dan ganas. Kuraih pinggang Santi. Kemudian beralih ke buah dadanya. Kuremas-remas semauku, bebas. Rambutnya acak-acakan. Entah berapa kali Santi mendapatkan orgasmenya, aku kurang memperdulikan. Lama juga Santi menahan lampiasan birahiku kali ini. Hampir setengah jam. Tusukanku memang hebat. Kadang cepat, kadang pelan. Kudorong-dorong tubuh Santi. Dia melenguh. Dengusan dari hidungnya memanjang. Berkali-kali. Seperti orang terengah-engah kecapaian.

“Eehh.. Eekh, Eekh, Eekh.”

Akirnya aku merasakan air maniku hampir muntah lagi. Waktu itu kurangkul kedua bahu Santi sambil menusukkan penisku ke dalam. Tenggelam semuanya hingga ke pangkalnya. Waktu itulah kumuntahkan spermaku. Kutarik lagi, dan kuhunjamkan lagi ke dalam. Tiga empat kali kugoyang seperti itu. Santi terlihat pasrah mengikuti hentakanku. Kemudian kupeluk tubuhnya walaupun penisku masih tertancap di dalam kemaluannya. Kuelus-elus buah dadanya. Kudekati mukanya. Kami berciuman. Begitu lama hingga terasa penisku kembali normal. Santi sepertinya kelelahan. Keringat bercucuran di dahi kami. Kami telentang miring sambil berpelukan. Kami yang lemas lalu tertidur pulas.

.....
.....
.....


Pagi-pagi sekali aku menelepon Bu Yati. Dia ternyata berada di kota kabupaten sejak kemarin. Akhirnya Bu Yati bercerita tentang dirinya yang akan mengikuti suami ke Kepulauan Riau. Keputusan itu dia buat saat suaminya mendapat kenaikan pangkat hari ini dan menjabat sebagai kepala staff angkatan laut di sana. Aku mengutarakan keinginanku untuk menemuinya, namun Bu Yati menolak. Bidan cantik itu tidak ingin bertemu denganku lagi dengan alasan takut kepergiannya menjadi beban untuk kami berdua. Bu Yati mengatakan kalau dirinya mulai menaruh hati padaku dan itu harus segera ia akhiri. Dia tidak mau hatinya semakin dalam untukku karena bagaimana pun dia memiliki keluarga yang harus dia jaga, terutama anak-anaknya. Walau berat tetapi aku harus menerima keputusannya. Akhirnya aku bisa mengucapkan selamat jalan melalui telepon.

Sayang, perpisahan memang harus hadir di tengah kami. Perpisahan memang sulit untuk dijalani, namun tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk menghindarinya. Pepatah mengatakan tak ada yang lebih pahit daripada pahitnya perpisahan. Kata mutiara perpisahan tersebut sepertinya nyata dialamiku saat ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Perpisahan semacam takdir yang selalu ditemui semua insan manusia. Sedih memang berbicara tentang perpisahan, apalagi dengan orang yang kita sayangi.

Namun perpisahanku dengan Bu Yati dengan kata selamat jalan bukanlah akhir dari kehidupanku. Aku berharap dari perpisahan itu aku mendapatkan banyak pelajaran. Mau tidak mau, semua pasti berubah. Ingin tidak ingin, semua pasti berpisah. Siap tidak siap, semua pasti berakhir. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah menjadi sahabat terbaikku. Semoga perjalanannya mewujudkan mimpi baru akan tercapai.

“Aku duluan ya sayang. Aku harus mencapai kantor jam delapan.” Ucap Santi yang membuyarkan lamunanku.

“Oh ya ... Hati-hati di jalan.” Jawabku.

Kami berciuman sebelum berpisah. Aku antar Santi ke mobilnya. Tak lama mobil Santi bergerak meninggalkan lokasi villa. Setelah Santi pergi, aku langsung menaiki Si Black dan meluncur untuk kembali ke rumah. Laju motorku bergerak dengan sangat cepat, gas kutarik hingga maksimal. Jalanan yang masih sepi memungkinkan aku untuk membesut Si Black dengan kecepatan tinggi.

Saat aku memasuki gerbang desa, kecepatan motor aku kurangi. Aku melajukannya santai sembari mengamati keadaan sekitar. Memang itu sudah kebiasaan bila berada di wilayah desaku. Beberapa saat berselang, aku melihat kerumunan warga di sebuah rumah. Aku lantas menepikan Si Black dan menghampiri kerumunan tersebut.

“Ada apa?” Tanyaku pada salah seorang warga yang sedang berkerumun.

“Eh, Pak Sekdes. Kebetulan datang. Di rumah kosong itu ada mayat.” Jawabnya sambil membungkuk hormat.

“Mayat?” Aku terperanjat hebat. Aku langsung saja berlari masuk ke dalam rumah kosong yang tidak berpintu dan berjendela melewati warga.

“Oh, Pak Sekdes. Kita menemukan mayat Suryo dari laporan warga.” Aku disambut staf desa yang bernama Anwar.

“Dia warga kita?” Tanyaku.

“Iya Pak Sekdes. Warga RW 04. Dia anak buah Jafar.” Jawab Anwar sembari mengajakku lebih ke dalam.

Ketika aku melihat wajah si mayat, tiba-tiba aku teringat kalau mayat itu adalah orang yang datang ke rumahku tempo hari dengan gerombolan orang yang ingin membawa Jafar. Dia yang menggunakan motor saat itu. Segera saja aku perintahkan Anwar untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku dan warga tidak berani membawa mayat sebelum polisi datang. Aku sempat berbicara dengan warga yang menemukan mayat ini dan dia mengatakan banyak luka di tubuh si mayat seperti habis dianiaya. Dia juga mengatakan kalau salah satu matanya keluar. Aku sempat merinding mendengarnya karena kejadian ini adalah penggambaran yang paling kejam.

Kemudian aku berpikir jika merunut dari beberapa peristiwa akhir-akhir ini, tak salah lagi semuanya sangat berkaitan dengan kelompok mafia yang datang ke desaku. Aku menilai hal ini tak bisa dibiarkan karena bisa menjadi preseden buruk bagi semua orang. Saat warga mencari ketenangan, ketentraman terusik oleh mereka tidak hanya batin, keamanan di desaku sudah terusik, intansi terkait perlu tajam betul dalam merespon.

Akhirnya polisi datang dan langsung mengolah TKP. Seperti biasa aku dimintai keterangan juga beberapa warga desa oleh polisi. Setelah satu jam lebih, oleh TKP selesai dilakukan. Mayat dibawa oleh polisi untuk dilakukan otopsi. Pihak keluarga mayat pun ikut bersama polisi. Setelah polisi meninggalkan tempat kejadian, barulah semua warga membubarkan diri, begitu pula denganku yang segera menarik gas si Black.

Sesampainya di rumah, aku tidak menemukan kakek yang aku perkirakan kakek pergi ke kota kabupaten untuk menemui relasi polisinya. Aku mandi dan berganti pakaian kemudian pergi ke tempat kerja. Sesampainya di kantor desa, segera aku laporkan kejadian penemuan mayat kepada Pak Kades. Ternyata Pak Kades telah mendengar kabar tersebut.

“Di desa kita sudah tidak aman. Kita harus melakukan tindakan.” Ujar Pak Kades bersedih.

“Saya berencana membuat Satgas, Pak. Saya akan libatkan sebanyak-banyaknya warga desa dalam Satgas ini. Saya akan buat perencanaannya, nanti tinggal bapak mengesahkannya dengan Peraturan Desa.” Kataku.

“Ya, segeralah kamu buat perencanaannya. Aku akan membuat peraturannya.” Sahut Pak Kades bersemangat.

“Siap, Pak.” Kataku.

Aku kembali ke ruanganku. Segera saja aku membuat perencanaan pembuatan Satgas keamanan desa. Tugasnya adalah untuk menghalau peredaran narkoba dan menjaga keamanan desa. Kali ini aku melibatkan semua unsur dan yang paling diutamakan adalah unsur pemuda. Satgas keamanan desa merupakan salah satu embrio penanganan secara kolektif untuk keamanan desa. Hal itu penting dilaksanakan. Tentu saja aku pasti akan melibatkan pihak TNI dan kepolisian.

Kulihat jam di pergelangan tanganku, ternyata sudah jam 10 pagi. Setelah print out perencanaan yang baru saja aku buat untuk diserahkan kepada Pak Kades, aku keluar dari ruanganku. Tiba-tiba aku melihat beberapa orang tergesa-gesa memasuki gedung kantor desa. Mereka langsung memburuku dengan napas ngos-ngosan.

“Pak Sekdes lapor. Kami menemukan mayat di sungai.” Kata salah seorang warga yang datang.

“Apa? Mayat?” Untuk ke sekian kalinya aku terperanjat.

“Benar Pak Sekdes ... Banyak luka di tubuh si mayat dan satu matanya hilang. Saya yakin dia adalah korban pembunuhan. Mayatnya telah kami bawa ke tepi sungai takut hanyut ke hilir.” Kata seorang yang lain.

“Kalian tahu identitas si mayat?” Tanyaku.

“Tidak Pak Sekdes. Tapi kami rasa dia adalah warga desa ini.” Jawabnya.

“Ya, sudah ... Kalian jaga dulu mayatnya. Saya akan lapor polisi.” Kataku panik.

“Baik Pak Sekdes.” Sahut mereka bersamaan.

Warga pelapor keluar gedung kantor desa, sementara aku bergerak cepat ke ruangan Pak Kades. Setelah aku melaporkan kejadian, Pak Kades menyuruh stafnya melapor ke polisi. Pak Kades langsung menuju ke tempat kejadian dan menyuruhku untuk tetap di kantor desa untuk melayani kepentingan masyarakat. Sial! Hanya dalam waktu kurang setengah hari sudah terjadi dua pembunuhan. Benar-benar ini telah mencoreng kredibilitasku dan Pak Kades. Ini sangat memalukan.

Meskipun dengan hati gusar, aku tetap melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Memang di kantor desa ini tidak pernah sepi oleh kunjungan warga yang mengurus kepentingan mereka. Instansi Desa pada hakikatnya dibentuk untuk melayani masyarakat. Sudah menjadi rutinitas tentunya jika dalam kegiatan sehari-hari aku banyak disibukkan dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Hingga tanpa terasa waktu sudah beranjak senja.

Aku pun pulang ke rumah masih dengan kekalutan memikirkan situasi di desaku yang mendadak kacau balau. Aku tidak menemukan kakek di rumah saat aku sampai. Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku duduk termenung di kursi kayu sambil menatap batu cahayaku yang kuletakkan di atas meja. Entah kenapa, aku ingin sekali meminta bantuan pada batu cahayaku untuk menyelesaikan permasalahan yang melanda desa ini. Gila memang! Tetapi instingku berbicara lain. Instingku mengatakan jika batu cahaya ini akan bisa menolongku menyelesaikan masalah yang sedang melanda desa.

Mataku terus menatap tajam pada batu cahaya seolah ingin menembus kedalamannya. Tiba-tiba saja baru cahaya mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Cahaya tersebut membutakan penglihatanku sementara hingga aku secara refleks menutup mata. Saat membuka mata, aku benar-benar terkejut karena pandanganku sekarang gelap. Aku tidak bisa melihat apapun padahal aku sudah membuka mata ini lebar-lebar. Tak lama, ada serangkaian angka-angka dan huruf-huruf yang membentuk rumus-rumus yang sama sekali tidak aku pahami. Rumus-rumus itu bergerak dari sisi kiri menuju sisi kanan. Pupil mataku hanya bisa melihat pergerakan tersebut yang semakin lama semakin cepat saja. Entah berapa lama, kepalaku mulai merasakan sakit, seakan ada sesuatu yang mencoba masuk secara paksa.

“Aaaarrgghh...!!!” Aku mengerang kesakitan kala rasa sakit itu datang menyerang kepalaku. Rasa sakitnya sungguh luar biasa dan sangat menyiksa. Sialnya, walau aku sudah menutup mata. Rumus-rumus itu tetap saja terlihat olehku. Rumus-rumus itulah yang menyebabkan sakit kepalaku.

Aku coba bertahan dari rasa sakit luar biasa ini. Aku tidak ingin mati dengan cara begini. Akhirnya, aku pun tak kuasa menahan jeritan karena rasanya seperti dicabut nyawa. Kepalaku seperti mau pecah dan tanganku memegang kepalaku kuat-kuat. Dalam batin aku bertanya, “Apakah ini sakaratul maut yang hendak menjemputku?” Perlahan namun pasti, pandanganku menjadi kabur. Rumus-rumus yang kulihat mulai membayang. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Pandanganku sudah tidak bisa digambarkan lagi dan tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku seperti tenggelam di ruang hampa lalu tak ingat apa-apa.
Bersambung

Chapter 10 di halaman 64 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd