Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Om @fleur_mirage Sejujurnya gw dukung akun premium lu di KK cuma buat mantengin pov kebinalan metta, tapi ampe skrg baru ada 1 chapter doang :sendiri:


Apalagi pas baca update terakhir... Pokoknya Wajib bgt ada POV kebinalan metta apalagi selama jadi istri erik, udah diapain aja dia sama Gengnya Steven :bacol:
 
Chapter 24:

A Little Thing Called Truth



September 2014
Rumah dr. Sara



"So, jiwaku sebenarnya melayang menembus waktu dan menempati tubuhku pada tahun 2009?"

"Kemungkinan begitu. Aku bukan orang yang tahu segalanya, Erik, ini semua kubaca dari buku spiritual yang pernah kubeli dari Tibet."



Aku mengangguk-angguk. Awalnya aku memang merasa bahwa dr. Sara ini mempercayaiku hanya karena aku adalah pasiennya. Namun sekarang aku merasa dr. Sara sepertinya cukup punya pengetahuan soal ini, sehingga sepertinya aman bagiku untuk mempercayainya dan menceritakan semuanya.


"So, apa aku akan kembali ke realitasku? Ke timeline-ku?"

"Mungkin."

"Mungkin?"

"Aku nggak punya semua jawabannya, Erik, kemungkinan itu bisa saja terjadi, hanya saja..."

"Hanya saja?"

"Kamu sudah membuat banyak perubahan pada masa lalu, kalaupun kamu kembali, mungkin dunia tempatmu kembali akan berbeda jauh, memiliki tempat dan waktu yang berbeda."



Aku mendengarkannya dengan sedikit rasa ngeri.


"Kamu bilang Jerman seharusnya menang Piala Dunia, tapi kenyataannya Argentina yang menang, bukan?"

"Itu dia... Apa itu mungkin?"

"Jika perubahan yang kamu lakukan terlalu banyak, maka butterfly effect yang terjadi bisa saja menjadi terlalu besar, salah satunya adalah mengubah sebuah fakta sejarah yang cukup signifikan, seperti siapa yang menjadi juara Piala Dunia. Kalau kamu memang punya rencana saat kembali ke sini, sebaiknya kamu cepet selesaiin rencana itu segera, karena saat dunia berubah, segala yang kamu tahu mungkin tak akan lagi relevan."







Timeline 2020
Pukul 04.30 WIB



Aku keluar dari kamar dan menjelajahi rumah ini. Ini masih rumahku yang kubeli pada tahun 2013, namun dengan barang-barang yang lebih banyak dan lebih lengkap. Foto-foto terpajang pada dinding-dinding dan lemari atau buffet. Rata-rata adalah aku dengan Metta: saat sangjit, saat pernikahan kami, lalu bulan madu di Istanbul, dan beberapa perjalanan selama berlalunya 5 tahun, ke Paris, Seoul, Tokyo dan Osaka, Sydney, dan tempat yang kuketahui sebagai Milton Trail di Selandia Baru. Rupanya aku dan Metta benar-benar memenuhi mimpi kami untuk berkeliling dunia.

Masing-masing foto itu terdapat cetakan tanggal dan tahun, yang menunjukkan kapan foto-foto itu diambil. Dari 2015-2017 kami amat aktif berjalan-jalan, tapi tak banyak foto dari tanggal 2018-2020, dan kesemuanya tak kualami sendiri. Aku jelajahi kembali dan semua barang di sini rata-rata adalah barang seleraku, yang selalu ingin aku beli saat di timeline original namun tidak bisa karena saat itu terlalu mahal. Sisanya pengaturan rumah ini menggunakan gaya Metta, karena aku selalu tahu bagaimana seleranya dalam menata kamar atau rumah.

Aku lalu memasuki sebuah kamar yang pada 2014 sudah kudesain sebagai ruang kerjaku bila aku harus bekerja di rumah. Di sana ada komputer dan lemari berisi file-file, serta, kalau aku tak lakukan perubahan radikal selama 5 tahun yang tak kujalani ini, seharusnya di sana ada pula hape yang memang kupakai untuk urusan kantor.

Kubuka hape itu, dan tanggal di sana menunjukkan tanggal 20 Juni 2020. Benar, aku telah sekali lagi melakukan perjalanan waktu, namun bukannya kembali ke timeline awalku di 2021, justru malah memajukannya ke tahun 2020. Mungkinkah apa yang dikatakan dr. Sara benar, bahwa aku telah mengubah timeline sedemikian rupa sehingga tak bisa kembali lagi ke kondisi awalku di tahun 2021? Alih-alih, yang menjadi kondisi awal di tahun 2021 kini ada pada 2020 dengan rumah tangga yang benar-benar berbeda?


"Hah? Apa ini?"


Sesuatu pada hapeku itu membuyarkan lamunanku. Sesuatu yang tak kuinginkan ada di dalam hapeku.


"Berengsek, ada worm."


Ya, sejak dari ASV, Reyhan sudah memberikan semacam setting pada hapeku sehingga akan mendeteksi adanya worm. Karena itu aku amat heran bagaimana bisa sampai ada worm di dalam hapeku ini? Lebih heran lagi adalah kenapa Erik dalam keadaan autopilot selama 5 tahun ini tak sadar akan adanya worm ini?? Aku membuka komputer, dan kutemukan worm serupa seperti yang ada dalam hapeku. Sepertinya aku tak sebodoh itu baru menyadarinya sekarang. Namun bila aku memang menyadarinya tapi memilih mengabaikannya, artinya ada masalah lebih besar yang tengah terjadi. Lagi pula, bagaimana bisa? Kecuali pelakunya menggunakan sejenis worm tertentu sebagaimana yang kupakai pada Adam. Tapi itu mustahil, karena progenitornya hanya ada padaku dan Reyhan. Apakah ASV akhirnya merilis penggunaan Perseus dalam 5 tahun ini?

Laptop pribadi kubuka pula, dan syukurlah, tidak ada worm itu di sana. Karena di sinilah aku meletakkan file-file penting berkaitan dengan Steven dan KSI. Namun rupanya saat kuperiksa komputer kerja, sebagian file itu ku-copy pula ke sana. File yang pada tahun 2015 lalu baru ada beberapa ratus megabyte itu kini sudah membengkak menjadi beberapa gigabyte. Artinya ada penambahan yang cukup signifikan dalam 5 tahun ini, namun penambahan terakhir terjadi tahun 2019 awal, setelah itu hingga 2020 tak ada tambahan apa pun.

Aku duduk dan berpikir. Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam 5 tahun ini? Aku coba menghubungi Rini dengan hape yang ada worm-nya, namun ternyata nomor Rini sudah diblokir dari hapeku. Kurasa tak mungkin aku memblokir Rini atas alasan apa pun, jadi apa pun itu, ini pasti sesuatu yang serius.

Kemudian aku pun mulai membuka semua kabar berita, email, dan newsletter yang ada. Divisi 2 yang kupimpin tampaknya sudah cukup performed, dan posisiku di KSI sekarang bukan lagi manajer senior, namun kepala manajer senior, yang membawahi seluruh Divisi 1 dan Divisi 2, mirip seperti jabatan Direktur Kim dulu. Apa itu berarti aku membawahi Steven sekarang? Belum sempat pertanyaan itu terjawab, aku menemukan berita mengejutkan tentang diakuisisinya ASV oleh KSI akibat "wanprestasi", tak lama setelah KSI melakukan ujicoba penerapan sistem Perseus ASV ke dalam mainframe KSI.

Dari berita yang kubaca, terjadi kegagalan sistem akibat serangan hacker dan mengakibatkan transaksi miliaran dolar dari KSI kacau balau. Sistem Perseus ini dibuat oleh Divisi Manajemen Strategis ASV, yang saat itu ada di bawahku semasa di ASV, sehingga aku jelas tahu bahwa mustahil serangan seperti itu bisa memporak-porandakan seluruh sistem yang terpasang. Satu-satunya melakukan ini hanyalah bila serangan dilakukan menggunakan virus yang sama dengan progenitor pada Perseus, namun itu berarti pelakunya adalah orang dalam. KSI tampaknya juga mengganti seluruh jajaran direksi ASV dan hanya mempertahankan beberapa manajer saja. Melihat berita ini, maka skenarionya sudah tampak jelas bagiku.

Ya, akuisisi ASV oleh KSI adalah langkah yang dirancang oleh Steven dalam mencapai tujuannya. So, bila akhirnya hal itu terjadi, maka ini adalah jelas ulah Steven. Artinya posisi Steven saat ini pastilah sudah lebih tinggi dariku. Masalahnya adalah bagaimana caranya melakukannya, dan bukankah aku seharusnya mencegah Steven melakukan itu? Kenapa aku bisa membiarkannya terjadi?

Berita berikutnya yang tak kalah mengejutkan adalah berita mengenai CEO KSI Company Asia Tenggara, Park Myung-hee, diperiksa oleh Pengadilan Niaga terkait kasus penggelapan uang yang terjadi dalam kaitan dengan kasus Sentosa International Holdings pada tahun 2012 di Singapura. Aparat gabungan Indonesia dan Singapura tampaknya menemukan bukti keterlibatan Park Myung-hee dan menahannya sebulan lalu. Oleh KSI Group di Korea, posisi Park Myung-hee dibekukan sementara waktu hingga setelah keputusan penyidikan resmi diumumkan. Coba tebak, siapa yang ditunjuk KSI Group sebagai caretaker selama posisi CEO Park dibekukan? Bukan Direktur Kim, tapi Steven. Ya, akhirnya ambisinya menduduki titik tertinggi di KSI Asia Tenggara pun terwujud. Artinya juga kini Steven, atau CEO Steven, menjadi atasanku.


"Sarapan dulu, Pa."


Suara lembut itu membangunkanku dari fokusku melihat-lihat file lama. Metta memelukku dari belakang dengan mesra dan mencium pipiku. Aku tersenyum mendapat perlakuan semacam itu.


"Lihat-lihat file lama lagi?"

"Koq tahu aku lihat-lihat file lama?"

"Pa, aku gini-gini kan pernah juga di KSI."

"Pernah?"

"Papa lupa emangnya? Kan setahun abis nikah aku langsung resign."

"Hah? Emang iya ya?"

"Ih, Papa kenapa sih? Mendadak lupa gitu ya semuanya?"

"I-Iya..."



Metta kemudian memelukku.


"Jangan nakutin gitu ah, Pa, aku nggak mau Papa jadi pikun, belum waktunya."

"Enggak... I just need to fresh my mind."

"Oh, iya sih, kan Papa udah kerja keras beberapa bulan ini setelah Rini resign... So..."

"Hah?? Apa?? Rini resign??"

"Lho? Papa lupa juga soal itu? Gara-gara Rini resign Papa ampe keteteran gitu kerjaannya di kantor."

"Aku... Sejak kapan??"

"Dua bulan lalu, Pa. Aku juga kaget lho, soalnya kan selama ini Rini yang selalu bantuin Papa di kantor."



Aku terdiam. Dari semua kejutan ini, resigned-nya Rini dan Metta jelas menjadi pukulan yang amat berat bagiku. Lalu siapa yang akan membantuku di kantor??


"Sudah, Papa mandi dulu terus sarapan ya, ntar aku siapin kopi. Tenang, Pa, abis ini kita kan rencana mau ke Jepang, njengukin Papa ama Mama. Mereka udah minta kita ke sana pas aku kasih tahu kalau aku hamil."

"Oh ya, jadi ya Papa ke Jepang?"

"Ih, Papa lupa juga soal itu?? Ya ampun, kayaknya Papa parah ini, mau konsultasi ke dr. Sara lagi apa? Udah lama Papa nggak ke sana."

"Iya, ntar kali ya."

"Ya udah, mandi gih, Pa, aku siapin sarapannya."



Aku mengangguk dan Metta memberi ciuman di kening sebelum berjalan keluar. Saat itulah kuperhatikan Metta memakai baju gombrong dan celana pendak yang menutup lutut, mirip seperti penampilan Rini saat menjadi istriku. Aneh, karena aku pernah lihat bagaimana penampilan casual Metta di rumah, dan dia pasti memakai baju yang memperlihatkan pusar serta celana pendek casual. Kenapa penampilannya jadi seperti ini?? Apa semua yang menikah denganku akan juga jadi seperti ini??

Setelah mandi, aku yang penasaran pun memeriksa kamar kami. Lampunya tampaknya tidak menyala, dan entah sudah berapa lama dibiarkan seperti itu. Aneh banget, padahal aku paling anti kalau kamar terlihat terlalu gelap. So, selama ini kamar tidur hanya menggunakan lampu tidur yang remang-remang saja untuk meneranginya. Sebenarnya tak masalah, toh kamar tidak dipakai untuk bekerja atau membaca, namun aneh saja, karena terakhir kutinggalkan bukan seperti itu keadaannya. Kemudian aku membuka lemari dan walk-in closet kami. Tumpukan gaun lingerie serta gaun tidur sexy beserta pakaian casual yang lebih terbuka tampak tertata amat rapi seolah lama tak tersentuh. Bahkan baju-baju Metta yang biasa dipakai untuk acara pun yang sedikit terbuka juga terlihat tak pernah dipakai cukup lama. Sebaliknya, baju-baju yang gombrong-gombrong dan tertutup justru tampak lebih sering dipakai. Apa, seperti Rini, Metta juga kehilangan circle sosialnya setelah menikah denganku sehingga dia tak merasa perlu memakai baju-baju yang lebih menonjol dan memilih menjadi ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja?


"Kamu ada kegiatan abis ini?"


Begitu pertanyaanku saat sarapan bersama Metta.


"Ada, aku kan sekarang jadi koordinator Yayasan CSR KSI, Pa, in case you also forgot, dan lagi mau meninjau persiapan event sih, jadi mungkin aku pulang malam lagi."

"Kayaknya gede banget ya event-nya?"

"Iyalah, taraf nasional gitu, makanya aku juga minta maaf, Pa, soalnya aku jadi sering pulang malam."

"Oh..."



Metta tampak melihatku dengan penuh rasa penasaran.


"Kenapa, Pa?"

"Ya sudah kalau kamu ada kegiatan, soalnya tadinya aku takut kamu iseng sendirian di rumah."

"Hehehe, ya enggak lah, Pa. Lucu, padahal aku tadinya resign niatnya mau santai-santai malah banyak kerjaan gara-gara nggabung ke Yayasan."



Aku hanya manggut-manggut saja. Metta lalu memberikan kopi padaku, yang dibuat dari sebuah coffee machine kelas rumahan. Enak, tapi bagiku masih belum menyamai kopi buatan Rini. Namun aku tak pernah mempermasalahkan itu sama sekali. Yang jadi pertanyaanku adalah bila Metta memiliki kehidupan sosial yang cukup baik setelah kami menikah, lalu kenapa penampilan Metta sekarang di rumah bisa beda dengan ketika aku dulu masih serumah dengannya?


KSI Company
08.30 WIB



Saat akan berangkat ke kantor pagi ini aku agak-agak kaget saat melihat garasiku. Alih-alih hanya ada M*zda 6 yang dibelikan oleh Om Darwin dan Metta, kini ada 4 mobil lagi: sebuah H*nda Civic, T*yota Prius, dan L*xus RX350. Juga ada 3 buah motor, yaitu Y*maha Tricity, S*zuki Burgmann, plus motor Supra lamaku yang beberapa bagiannya sudah diganti baru. Sepertinya kehidupanku selama 5 tahun ini benar-benar makmur.

KSI Company saat ini hampir membuatku pangling, karena memang banyak yang berbeda. Satpam dan cleaning service membungkuk hormat padaku saat aku lewat, dan aku belum terbiasa dengan itu. Aku pun berjalan menuju ke lift ketika...


"PAK ERIK!! Tungguuu!!"


Seorang wanita yang memakai blouse putih dan rok span ketat agak mini dengan rambut brunette berikal menghentikanku. Aku tertegun berusaha mengingat siapa wanita ini.


"Bapak mau ke kantor kah?"

"Iya..."

"Sekarang Pak Erik kan di lantai 20, jadi lift-nya yang di sebelah sana, Pak."

"Oh, lantai 20?"

"Iya, yuk, Pak, sekalian kita barengan ke sana."



Aku pun mengikutinya, dan wanita ini dengan cekatan membuka pintu lift dan menekan lantai 20. Hanya kami berdua yang ada di dalamnya.


"Kamu Jessica, kan? Daeri-nya CEO Park?"

"Iya, Pak. Sekarang saya daeri-nya Bapak. Bu Metta tadi telepon kasih tahu kalau pagi ini Bapak agak linglung, jadi saya disuruh jagain Bapak."



Aku mengangguk-angguk.


"Jadi kamu gantinya Rini yang resign?"

"Iya, Pak, tapi Rini kan nggak resign, Pak. Kontraknya dia di-terminate."

"Hah? Apa iya?"

"Iya, kan atas permintaan Bapak sendiri. Saya lho yang waktu itu ngurusin tembusan memonya ke CEO Park."

"Oh gitu ya?"

"Iya, Pak. So, Bapak udah ingat?"

"Kayaknya..."

"Are you okay, Pak? Kalau emang nggak sehat Pak Erik mending pulang aja istirahat buat kerja di rumah, ntar saya bantu dari sini."

"Oh, nggak... Ada yang pengen saya periksa dulu di kantor."

"I see."



Kami lalu terdiam sementara lift berjalan.


"Tapi mungkin saya bakal leave early."

"Oh gitu, mau balik jam berapa, Pak?"

"Belum tahu, nanti saya kabari lagi."

"Oke, Pak. Kabarin saja, biar nanti saya yang urus request ke bagian cuti dan absensi."



Bel pun berbunyi, tanda kami telah sampai ke lantai 20. Namun sebelum pintu terbuka, Jessica membisikkan sesuatu yang mengejutkan.


"Kalau Pak Erik pengen refreshing, nanti saya kasih after-hour massage lagi ya, Pak. You seems enjoyed my service last time. Ntar saya yang urus check-in di hotelnya. Pak Erik tinggal terima beres, and we're gonna have fun there."


Pintu terbuka, dan Jessica memberikan sebuah ciuman di bawah telingaku, tanpa peduli ada orang yang melihat. Kemudian dia melangkah keluar seolah semua yang dia katakan dan lakukan itu adalah hal yang biasa. Beberapa orang tampak melihat kami tapi langsung mengalihkan pandangan dengan ekspresi ketakutan saat kami lewat di depan mereka. Mereka ini takut padaku, atau pada Jessica? Lalu apa maksud bisikan Jessica itu? Apakah aku dan Jessica telah...

Astaga, aku jadi ngeri membayangkannya.


==========


Di ruanganku, aku termenung coba menganalisa semua yang terjadi. ASV diambilalih oleh KSI, Steven menjadi acting CEO, Rini kuberhentikan sebagai daeri-ku dan digantikan Jessica yang baru saja merayuku secara aktif, lalu CEO Park ditahan oleh polisi. Semua itu hanya mengacu pada satu kemungkinan, bahwa rencana yang ingin kujalankan bersama Rini pada tahun 2014 lalu kini telah gagal, dan aku sengaja mendepak Rini untuk menyelamatkan dirinya dari apa pun yang terjadi. Aku sendiri saat ini masih di sini dan jabatanku pun naik, namun aku yakin hanya soal waktu saja sebelum Steven akhirnya menyingkirkanku.

Dan kini semua yang ada pada ruanganku pun ada worm-nya. Artinya secara digital, aku diikat oleh Steven dan gerombolannya, entah siapa itu. Ini mirip seperti yang diceritakan oleh Metta pada timeline originalku, bahwa secara fisik dia bebas namun terikat. Walau begitu tak ada bukti aku melakukan ini dengan sukarela, artinya Steven masih mengawasiku secara diam-diam, mengira aku tidak tahu bahwa dia mengawasi.

Problem dengan adanya worm ini, selain bahwa dia bisa melacak keberadaanku di mana pun itu, adalah bahwa siapa pun yang memasangnya bisa mengakses hape atau laptopku, menyalakan kamera, GPS, dan mikrofon tanpa aku tahu, lalu merekam apa saja yang kukatakan dan kulakukan. Mungkin karena itulah aku memblokir nomor Rini, juga tidak pernah lagi menghubungi Reyhan semenjak tahun lalu. Ada hal gawat yang terjadi dan aku tak mau mereka terkena imbasnya, apalagi setelah ASV dicaplok oleh KSI, maka Steven pun bisa memanjangkan tangannya untuk mencokok Reyhan di ASV.

Namun semua itu baru spekulasi belaka. Aku bisa saja menghubungi Rini atau Reyhan, tapi bila aku saja memutus kontak mereka, jelas ada sesuatu yang aku tak ingin mereka terlibat. Namun aku harus melakukannya, karena mustahil aku bisa tahu semua faktanya bila tak bicara langsung pada mereka. Mencarinya di sini jelas tak akan membuatku mendapatkan apa pun, karena, sebagaimana kecurigaanku, semua file yang ada di sini sudah diatur supaya aku tak menemukan fakta sebenarnya.

Aku lalu membuka laci meja kerjaku dan mengambil sebuah buku bersampul merah dengan simbol kunci di atasnya. Kubuka kunci pada buku itu, dan pada halaman tertentu, sudah kubolongi untuk menyembunyikan sebuah hape S*msung C3590. Pada tahun 2014, sebelum kami pindah ke KSI, aku memberitahukan pada Rini mengenai keberadaan hape ini, juga nomor khusus yang hanya akan menghubunginya dalam keadaan darurat. Kunyalakan hape itu dan semua masih berfungsi dengan baik. "Aku" tampaknya menjaga benar supaya hape ini tetap bisa difungsikan pada saatnya nanti. Lalu aku mengirimkan sebuah pesan dengan hape itu:


"Let's meet where we first met"


Setelah itu aku langsung mematikan hape itu dan memasukkannya ke dalam kantong. Tak lupa buku itu pun kubawa serta karena ada sesuatu lagi dalam buku itu yang amat penting. Aku kemudian kembali melangkah keluar dari ruanganku, yang langsung membuat Jessica berdiri dan menanyaiku.


"Bapak mau ke mana?"

"Saya mau jalan-jalan dulu buat nenangin pikiran."

"Tunggu, Pak, saya ikut."

"Nggak usah, kamu tangani aja di sini, kayak biasa."

"Tapi..."



Aku menunjukkan hape kerjaku kepadanya.


"Kalau ada apa-apa hubungi aja di sini, okay?"

"Oh ya, syukur deh kalau Bapak bawa hape."



Sudah kuduga, dia pasti tahu ada apa di hape ini sehingga dia merasa tenang saat aku membawanya. Aku menunggu lift, dan saat lift itu terbuka, terkejutlah aku karena Steven ada di sana. Sejenak aku ragu ingin melangkah masuk, namun Steven memberiku isyarat supaya aku masuk saja. Tak berapa lama, pintu pun tertutup.


"Mau ke mana kamu?" tanya Steven.

"Menjernihkan pikiran sebentar, Steven-nim."

"Kalau kamu memang tidak enak badan, sebaiknya tidak usah masuk saja, semua juga pasti maklum."

"Tidak enak badan, maksudnya..."

"Katanya kamu bangun agak linglung hari ini? Apa benar?"

"Benar... Tapi kenapa Steven-nim bisa tahu?"

"Jessica yang melapor."



Aku tertawa kecil.


"Seharusnya hal seperti itu tidak perlu dilaporkan."

"Justru karena aku sangat peduli dengan kesehatan orang-orang di bawahku makanya hal semacam itu justru harus dilaporkan."

"Maaf, tapi saya merasa tidak nyaman bila hal pribadi di rumah bisa sampai diketahui oleh Bos."

"Tentu saja, tapi karena aku ingin semua bawahanku melakukan yang terbaik, maka aku harus tahu apakah hari ini mereka sehat atau tidak untuk bekerja."



Aku mengangguk-angguk.


"Ambil aja cuti hari ini."

"Terima kasih atas perhatiannya, Steven-nim, mungkin aku akan cuti saja."

"Jangan lupa beri tahu Jessica. Oh ya, istri kamu sehat? Katanya sudah hamil, bukan?"

"Sehat."

"Bagus, jaga istri kamu baik-baik. Anak itu anugrah, Erik-nim, tolong jangan disia-siakan dan fokuslah ke situ. Uang bisa dicari lagi."

"Baik, terima kasih, Steven-nim."



Pintu lift terbuka, dan Steven pun keluar begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi padaku. Tidak, dia tidak sedang ingin basa-basi tadi, tapi sedang mengetesku apakah aku masih berada di bawah genggamannya. Aku kemudian segera menuju ke mobilku dan memacunya sembari memastikan tak ada yang mengikutiku. Sepertinya sih memang tak ada yang mengikutiku, karena mereka sudah memasang worm pada hape kantor. Aku bisa saja mematikannya, namun bila kulakukan sekarang, mereka akan tahu bahwa aku tahu. Jadi aku terus memacu mobilku ke arah RBTV, lebih tepatnya bekas S*vel sebelah RBTV yang sekarang menjadi sebuah rumah makan.

Saat aku masuk ke dalam rumah makan itu, Rini yang sudah menungguku di sana langsung berdiri dan menghampiriku dengan tangan terulur. Dia memberikan isyarat tangan supaya aku memberikan hape yang ada worm itu, kemudian setelah kuberikan, dia menempelkan sesuatu pada hape itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantung hape khusus. Baru setelah itu kami berdua duduk dan menghela nafas panjang. Rini melihatku tampak dengan mata yang marah, lalu dia berdiri dan dengan keras menampar pipiku hingga membuat semua orang di situ terkejut.


"Yeah, I deserved that..."


Aku hanya mengelus pipiku yang sakit dan panas akibat ditampar oleh Rini. Semua orang tampak menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya, namun Rini hanya diam saja, meminum minumannya lalu duduk dan menghela nafas panjang, lega sekali tampaknya setelah melampiaskan itu. Melihat kami baik-baik saja, orang-orang pun melanjutkan aktivitasnya.


"Kamu nggak diikutin, kan?"

"Cuman ada hape itu."

"Beres, sudah aku kasih signal blocker, pembicaraan kita aman."

"Thank you."

"So, kenapa ngasih sinyal darurat ke aku?"

"Sebelumnya aku minta maaf soal terminate..."

"Erik, please... Don't apologize on that."



Rini kemudian mengambil minuman lalu meminumnya.


"Tapi jujur aku mau tahu kenapa kamu lakuin itu. Ada masalah apa?"

"Itu dia, aku nggak tahu..."

"Kamu nggak tahu?"

"Look, ini memang agak susah dimengerti, tapi selama 5 tahun ini aku bukan aku yang biasanya."

"Uh-huh... Pantas saja."

"Pantas?"

"Iya, soalnya habis nikah kamu jadi agak... berbeda... Mirip seperti kamu sekarang."

"Sekarang?"

"Kayak abis kena Obliviate gitu. Ada apa sebenernya?"

"Itu dia... Aku harap kamu bisa kasih tahu ke aku."

"Aku?"

"Rin, waktuku nggak banyak buat nemuin kamu. Kalau sinyalnya putus terlalu lama, mereka bakal curiga."



Rini manggut-manggut saja. Namun dia tampaknya paham situasiku.


"Gimana ceritanya sampai ASV bisa diakuisisi sama KSI? Tolong ceritain yang ada di luar newsletter."

"Pas ujicoba sistem Perseus, Divisi 1 jadi percobaan penggunaan Perseus. Tapi tiba-tiba ada serangan hacker dan sistemnya kacau, padahal lagi ada transaksi yang berjalan, so KSI rugi jutaan dolar."

"Coincidence?"

"Terlalu cepat dan tepat untuk dibilang coincidence. Aku udah ngomong ke Abang, dan katanya siapa pun hacker itu, dia punya akses ke progenitor virus yang sama dengan virus Medusa ASV."

"So pelakunya orang dalam ASV?"

"Katanya Abang sih hampir gak mungkin menjebol Sistem Perseus kecuali pakai progenitor virus Medusa. So, awalnya si Abang malah ngira virus yang kamu pegang lepas, makanya dia potong path ke hape kamu, tapi penyebarannya gak berhenti."

"So ada orang lain yang nyerang sistem Perseus di KSI lewat jaringan ASV?"

"Kata Abang sih begitu."

"Tapi nggak banyak yang punya akses ke progenitor virus di ASV. Pasti Abang kelimpungan."

"Iya, tapi Abang juga bilang kalau ini bukan kerjaan hacker."

"Maksudnya?"

"Terlalu random buat proses hacking, so, lebih mirip kejadian virus breakout daripada hacking. Masalahnya, karena virus Medusa secara riil berintegrasi dengan sistem Perseus, makanya..."

"Serangan dilakukan dari dua arah."

"Yap, mainframe ASV dan mainframe KSI. Jadi saat sistem Perseus sibuk melawan virus satu..."

"Penyerangnya yang asli nyerang dengan varian virus yang sama dari mainframe ASV untuk mengaburkan jejak?"



Rini mengangguk. Ada orang yang membobol jaringan ASV dan memakainya untuk melawan KSI dengan virus buatan ASV sendiri. Ini jelas tidak beres. Dari mana dia bisa dapat virus sekaligus mengakses mainframe KSI dan ASV tanpa ketahuan??


"Abang masih di ASV?"

"Masih, posisinya sekarang di Bagian Teknis, bukan di Manajemen Strategis lagi, yang sekarang udah dihapus dan diambil alih langsung ama KSI. Untungnya Abang masih dianggep punya kemampuan buat dipertahanin ama KSI."

"Nomornya masih yang dulu, kan?"

"Masih. Kamu mau ngapain?"

"Ntar aku kontak dia."

"You serious? Setelah semua kejadian gini dan kamu memutuskan bergerak begitu saja? Please tell me you have a plan, Rik."

"Ada yang nggak beres, Rin. Pertama ASV diakuisisi KSI, terus kamu diterminate, lalu CEO Park ditangkap polisi dan posisinya sekarang digantiin sama Steven. Jujur aku nggak tahu apa aja yang udah aku lakuin kemaren-kemaren sampai semua itu bisa kejadian."

"Are you okay?? Kamu ini kayak ngalamin amnesia apa gimana, sih??"



Rini memegang kepalaku memastikan bahwa aku tidak sedang demam. Pada saat itulah dia melihat buku merah yang kubawa, dengan gambar kunci pada sampulnya. Rini tertegun karena dia pernah melihatnya saat membantu membereskan kosanku.


"Buku merah..."

"Ini? Ada apa dengan ini?"

"Kamu beneran nggak inget apa-apa?"

"Rin, it feels like I was asleep since 2015 and waking up to all of these. Semua yang mau aku perjuangin pada 2015 tiba-tiba ancur semua dalam 5 tahun ini, jadi aku pengen tahu apa alasannya, soalnya..."

"Metta, kan?"

"Ada apa sama Metta?"



Rini mendengus kemudian mengeluarkan hapenya. Ada sebuah video di sana.


"I've told you about this at 2017, tapi karena kamu kayaknya beneran lupa semua kejadian selama 5 tahun ini, jadi mendingan aku ingetin lagi. So, ini waktu aku ke sebuah restoran eksklusif buat ketemu ama temen lamaku, Anin."


Video pun diputar, dan tampak Rini sedang direkam di sana, tengah menghadapi makanan dan minuman yang lezat. Sepertinya hape Rini saat ini tengah dipegang oleh seseorang, dan pastinya itu seorang wanita. Mereka bercengkerama, dan entah kenapa aku merasa pernah mendengar suara wanita yang memegang hape ini, namun aku lupa di mana pernah mendengarnya.


"Ini siapa yang ngerekam?"

"Temen aku, Anin. Dia lagi ulang tahun jadi ngajakin aku ketemu buat ngerayain berdua aja. But let's cut to this."



Rini menggeser tab video hingga ke sebuah timeframe tertentu. Di sana memperlihatkan bahwa Rini sedang melakukan video selfie, karena si Anin sedang ke belakang, dan ada seseorang yang baru masuk dan berjalan dari belakang Rini tanpa menyadari keberadaan Rini. Video pun dihentikan setelah orang itu masuk ke dalam sebuah private room.


"Kamu tahu itu siapa?"

"Steven?"

"Mm-hmm."

"Apa hubungannya?"

"Watch this... Aku udah nyuruh si Anin buat ngerekam seandainya mereka keluar, dan emang, dia keluar 2 jam kemudian... Lalu tiba-tiba..."



Aku terhenyak, karena setelah Steven keluar dari ruangan itu, yang mengikutinya keluar adalah Metta! Jadi Metta sudah ada di dalam ruangan itu sebelum Steven?? Karena suasana yang ramai dan banyak orang, jadi mereka tampak tak menyadari bahwa ada Rini di sana.


"Kapan ini kejadiannya?"

"Tahun 2017, pas kamu lagi ada urusan dinas ke Singapore. Tapi masalahnya bukan cuman itu."

"Lalu?"

"Coba lihat, Metta keluar bareng sama siapa."



Aku melihat lagi dan baru menyadari bahwa setelah Steven keluar, Metta kemudian keluar sambil digandeng oleh seorang pria berpakaian hitam dan mengenakan masker. Dari caranya memegang Metta, pria itu tampak seperti telah mengendalikannya.


"Ini siapa??"

"Nggak tahu, tapi siapa pun itu, ada sesuatu antara dia sama Metta."

"Berarti ada sesuatu juga antara dia sama Steven."

"Apa dia Adam?"

"Nggak, Adam nggak sependek itu. Adam itu tinggi semampai, sementara orang ini tingginya cuman sedikit di atas Metta. Tapi figurnya berasa familier."

"Iya, kan? Aku juga sempet deja vu pas lihat dia, kayak pernah tahu di mana gitu."

"Orang ASV-kah?"

"Hah? Siapa? Kayaknya kita kenal semua orang di ASV deh, tapi ini siapa?"



Aku memperhatikan kembali siluet kabur itu dengan baik, dan itu tiba-tiba membuatku teringat pada seseorang. Memang agak mustahil, tapi sesuai prinsip Occam Razzor, bila semua yang mustahil telah disingkirkan, maka satu-satunya alternatif, seberapa pun tidak memungkinkan, adalah jawabannya. Kulihat Rini, sepertinya dia menantikan jawabanku.


"Apa aku nggak pernah kasih tahu siapa?"

"Enggak, abis aku lihatin ini, kamu ya seperti ini, lalu langsung nyimpen aja, kemudian ya udah, kamu nggak ngebahas lagi walau berapa kali aku tanyain, sampai aku akhirnya kamu terminate dari KSI."

"Oh ya, soal itu, apa aku kasih alasan ke kamu?"

"Enggak, sama sekali enggak, makanya aku juga ngerasa aneh. Aneh lagi karena yang ngasih pemberitahuan terminasi kontrak itu bukan kamu atau CEO Park, tapi Jessica."

"Jessica?"

"Iya, katanya aku diterminasi karena terkait sama pelanggaran keamanan. Katanya aku ngelakuin korespondensi ilegal selama beberapa bulan ama pihak luar yang membahayakan kerahasiaan data KSI. You know, I won't do that, at least kalau mau begitu nggak mungkin aku pakai cara yang bisa dilacak ama IT kantor."

"Indeed, kamu orang yang paling hati-hati soalnya."

"Aku mau protes dan minta ketemu kamu, tapi..."

"Tapi?"

"Jessica bilang, kalau aku lakuin itu, ntar orang bakal menyangka kalau kamu terlibat juga, dan pada akhirnya kamu akan dipecat juga dari KSI."

"Oh geese..."



Aku memegang kepalaku. Jelas ini adalah penyingkiran yang sifatnya sistematis. Setelah Metta resign, sekutuku di sana tinggal Rini. Bila Rini disingkirkan dan Metta mereka kuasai, maka jelas aku akan terkepung dari berbagai arah.


"Setelah itu CEO Park ditangkap polisi karena informasi dari whistleblower soal penggelapan uang terkait Sentosa International Holding. Oh iya, ini..."


Rini kemudian memberikan sebuah flashdisk padaku.


"Apa ini?"

"Sisa dari semua file yang bisa aku kumpulin di KSI dari 2019-2020."

"Memangnya aku belum punya?"

"Belum. Sejak 2019 kamu udah blokir penyimpanan bersama kita, dan kita nggak ada kontak sama sekali sejak itu, sejak kamu naik jadi Kepala Manajer Senior."

"Eh, koq bisa??"

"Entah, cuman dari sejak itu kamu mulai deket sama CEO Park, terus juga sama Jessica, sampai..."

"Sampai?"

"At one time, aku pernah kamu ajakin ke hotel, dan di sana kamu ketemu ama Jessica dan CEO Park. Aku kamu suruh keluar dan nunggu di lobi, dan aku nggak tahu apa yang terjadi di kamar, tapi setelah itu kamu blokir aku dari penyimpanan bersama dan kontak rahasia, cuman di kantor saja, sampai aku di-terminate. Aku sih masih ngumpulin data, walau nggak bisa aku kirim atau aku kasihin ke kamu, tapi aku sih mikirnya suatu hari kamu pasti bakal butuh, so..."



Aku lalu menerima flashdisk itu. Apakah aku mulai dekat dengan CEO Park dan Jessica? Apa yang sebenarnya terjadi?


"Kamu juga nggak inget kenapa kamu bisa begitu?"

"Jujur enggak... I wish I knew."



Kembali Rini melihat buku merah yang kubawa, dan aku memperhatikannya.


"Aku pernah bilang apa soal buku merah ini?"

"Katanya kalau ntar ada kejadian apa-apa, aku kudu cari dan temuin buku merah itu di mejamu di KSI. Itu kamu bilang sebelum akhirnya kontak kita terputus sama sekali pas kamu naik jadi Kepala Manajer Senior."

"Oh oke, ini..."



Aku memberikan buku merah itu pada Rini, sesuai dengan amanat yang diberikan oleh "aku" pada masa 5 tahun itu. Rini tampak menerimanya dengan takut-takut.


"Kuncinya?"


Aku tidak menjawab, dan Rini pun enggan bertanya kembali, lalu langsung mengambil dan menyimpan buku itu.


"Rik, serius nih kamu mau gerak sekarang?? Are you sure??"

"This is what I should have done, Rin."

"I don't like this at all. Aku yakin ada alasan kenapa kamu nggak langsung gerak pada saat itu, so, kenapa nggak nunggu aja? You'll remember eventually."

"Kalau bisa ingat, lha kalau enggak? Terus aku melewatkan kesempatan? Nggak ada cara lain, Rin, sebelum semuanya tambah kacau."

"Rik, please..."



Rini maju hendak memegang tanganku namun secara refleks aku menarik tanganku. Dia tampak masygul saat aku melakukan itu.


"Maaf, aku..."

"Nggak apa-apa, Rik, aku ngerti. Kamu udah nikah, dan..."

"No, bukan seperti itu... It's..."

"Please, jawab aja begitu. Jadi aku juga punya alasan buat nggak bakal menoleh ke belakang lagi."



Aku terdiam dan menatap mata Rini.






Mobilku pun akhirnya menepi di rumahku saat matahari telah terbenam. Saat aku akan membuka pintu, aku terkejut karena Metta sudah ada di rumah dan membukakan pintu untukku. Dia sekali lagi memakai celana training panjang dan kaus gombrong yang tak begitu terlihat menarik.


"Papa pulang juga akhirnya."

"Koq Mama udah di sini, katanya mau sampai malam?"

"Jessica ngasih tahu kalau Papa leave early hari ini, makanya Mama juga cepet-cepet pulang. Tapi Papa dari mana?"

"Entah, lagi pengen jalan-jalan aja njernihin pikiran."

"Uuu... Papa kasian... Ya udah, Papa parkirin mobil dulu ya, sambil Mama siapin air mandinya, ntar abis itu langsung mandi, okay?"

"Eh wait..."

"Iya?"

"Nggak mandi bareng aja? Aku lagi pengen mandi bareng ama kamu."

"Aku sudah mandi, Pa."

"Ya, nggak apa-apa, kan, mandi lagi? Ayolah, kayaknya udah lama."

"Papa ini aneh-aneh aja. Mama masih sibuk di dapur tadi, Pa. Mending Papa mandi aja sendiri, sementara Mama siapin makanan, ya?"



Metta mengelus pipiku, dan aku pun mengangguk. Kemudian aku segera memasukkan mobil dan pergi ke kamarku sementara Metta memasak. Saat di bathtub, aku agak termenung memikirkan semuanya. Pakaian Metta yang dikenakan di dalam rumah jujur agak menggangguku. Aku tahu seseorang bisa saja berubah selera, apalagi setelah menikah, tapi aku tak merasa Metta adalah orang semacam itu. Selepas diusir dari kosan, aku sempat tinggal di rumah Metta sampai setahun lebih, jadi aku paham sekali bagaimana dia berpakaian. Dia memang sesekali saja memakai pakaian serba gombrong, tapi tidak setiap hari.

Saat memeriksa galeri fotoku, aku melihat bahwa Metta masih memakai pakaian casual hingga akhir 2017, dan setelah itu baru dia mulai memakai baju-baju dan celana gombrong yang rapat menutupi perut dan pahanya, bagian yang dulu sering sekali dia biarkan terbuka. Lalu satu lagi adalah hingga sekitaran itu, aku masih sering mengambil foto di kamar tidur yang terang walau di malam hari. Namun selepas itu tak ada foto lagi di kamar. Apa mungkin ini berhubungan dengan matinya lampu di kamar?


"Kamu kayaknya udah lama gak pake baju yang biasa deh."


Begitu ucapku saat kami makan malam bersama.


"Baju yang biasa?"

"Iya, yang shirt, croptop, hotpants. Pakainya sekarang yang gombrong mulu."

"Oo... Ooh... Iya, ini lebih enak sih dipakainya."

"Bukannya dulu kamu bilangnya pake gombrong apalagi yang tebel itu panas ya?"

"I-Iya... Tapi itu kan dulu, Pa. Sekarang kayaknya lebih enak pake gini. Lagian kalau pakai yang terbuka... Emang bakalan ke pantai kita?"

"Hmm, ide bagus tuh, Ma. Ke pantai yuk, kapan-kapan. Kayaknya lama juga kita nggak ke pantai, ke Bali gitu, atau Labuan Bajo, atau Raja Ampat, kita snorkelling..."

"Eee... I-Iya sih, bagus... Tapi... Jangan ke pantai deh, panas, Pa. Mending kita ke gunung aja, atau ke salju."

"Salju apaan? Ini kan masih summer. Ya enak kalau ke pantai lah..."

"I-Iya... Tapi kan masih ada event tuh... Nah... Err... Pas event-nya selesai kayaknya pas winter deh. Aku malah mau nyoba ke Sa Pa, ke Fansipan gitu, di Vietnam."

"Kalau ke Vietnam kenapa nggak sekalian ke Ha Long Bay?"

"Iih ke gunung aja dulu, Pa... Jangan ke pantai dulu ya... Err... Boleh kan?"

"Hmm, iya, boleh."



Metta tersenyum dengan canggung. Ya, dia jelas menghindari menjawab pertanyaanku, jadi pasti ada yang dia sembunyikan. Pikiranku melayang ke masa saat Metta menginap di kosan selepas dari Bandung. Saat itu aku menemukan cupangan pada susunya. Apakah kejadian serupa terjadi lagi?

Aku lalu terdiam sambil meneruskan makan. Tanpa sadar aku melihat ke arah Metta. Dari luar memang seolah tak ada apa-apa dengannya, dan dia masih seperti Metta yang ceria sebagaimana kukenal. Namun bila kau mengenal Metta cukup lama seperti diriku, kau akan bisa merasakan ada hal yang berbeda. Namun apakah karena itu amatlah halus maka "aku" tidak menyadarinya? Apa pun itu, hal ini membuatku semakin gusar.


"Papa mikirin apa, sih?"


Metta dengan lembut menyentuh tanganku, membuatku tersadar dari lamunanku.


"Nggak ada apa-apa, aku cuman berasa kayak lagi tidur dan tiba-tiba kebangun..."

"Pasti Papa capek ya? Papa udah kerja keras bertahun-tahun ini, sampai bisa naik pangkat dan kita punya semua ini."

"Iyaa... Mungkin..."

"Mau aku kasih tahu Jessica kalau Papa besok cuti?"



Aku mengangguk saja.


"Oke, nanti aku kasih tahu Jessica ya, Pa. Abis ini Papa langsung istirahat aja, oke?"

"Iyaa, makasih, Ma."



Kami menyelesaikan makan malam, lalu aku langsung ke kamar tidur. Sebenarnya aku ingin membantu Metta membereskan meja dan mencuci piring, namun Metta ingin aku langsung istirahat saja di kamar. Kami memang tidak punya ART, dan hal ini sudah kubicarakan matang-matang dengan Metta sebelum kami menikah, itu pula alasanku memilih rumah yang mudah kami tangani berdua, alih-alih rumah besar seperti milik Om Darwin. Ya, sepintas segala sesuatunya memang sesuai dengan apa yang telah kami rencanakan sebelum menikah.


"Papa belum tidur?"


Metta masuk ke dalam kamar tak beberapa lama kemudian.


"Masih belum mengantuk, Ma. Coba aja lampunya menyala, mungkin aku bisa sambil baca buku."

"Yah, mau gimana, lampunya mati udah sejak lama sih. Papa aja ampe hampir kesetrum, makanya mending gini aja, lebih adem, cukup pake moodlighting aja."



Memang walau lampu kami mati, masih ada moodlighting yang bisa memberi sedikit penerangan walau tidak bisa maksimal. Metta berbaring di sebelahku, dan langsung menciumku.


"Masih tegang aja? Lagi mikirin sesuatu?"

"Entah, Ma, banyak yang lagi aku pikirin..."

"Ya sudah, aku bantu bikin Papa rileks ya. Baring tengkurep, Pa, bajunya dibuka."



Aku membuka baju kemudian berputar, dan Metta langsung memijit pundakku yang terasa kaku.


"Kaku banget ini, beneran banyak pikiran..."


Pijatan Metta benar-benar mantap, menyasar semua ototku yang kaku dan bergerinjal. Aku tak pernah tahu bahwa Metta bisa memijat. Mungkin selama 5 tahun ini dia sering melakukannya kepadaku hingga semakin ahli. Kemudian pijatannya bergerak semakin ke bawah ke punggung dan pinggangku yang memang sering sakit. Dia menggunakan bobot badannya untuk menguleni ototku yang kaku, sehingga terasa amat mantap.


"Enak, Pa?"

"Enak, Ma..."

"Mau yang lebih enak lagi?"

"Iyaa..."



Kamar tiba-tiba gelap setelah kudengar seperti suara klik. Rupanya Metta mematikan lampu moodlighting-nya hingga semua terlihat gelap.


"Koq, lampunya dimatikan, Ma?"

"Sudahlah, Pa. Dinikmati saja, oke?"



Aku mengangguk, dan entah apa Metta bisa melihatnya dalam keadaan gelap-gulita begini. Terdengar suara seperti lotion yang dikeluarkan dari botolnya disertai wangi yang semerbak, kemudian rasa dingin lotion itu menerpa punggungku, kontras dengan tangan Metta yang hangat. Kurasakan dari punggungku, tangannya sudah berbeda dari saat terakhir kurasakan, kini terasa agak kasar walau masih cukup lembut. Ya, ini memang sesuatu yang diinginkan oleh Metta semenjak sebelum menikah, cukup mengurus rumah dan keluarga saja. Aku memejamkan mata, menikmati pijatan dan urutan dari Metta pada punggungku hingga...


"Lho, koq celananya dilepas??"

"Ssst... Jangan protes, mau dienakin nggak?"



Aku memang terkejut saat celana piyamaku diturunkan, bahkan dilepas oleh Metta, hingga pantatku merasakan dinginnya hembusan AC pada kamar ini. Awalnya Metta hanya memijat paha belakang hingga betis ke telapak kaki. Namun kelamaan pijatannya berfokus pada paha dalam ke selangkangan, begitu terus diulang-ulang.


"Eeehh.. Aduh..."

"Diem bentar, ini kontolnya bandel amat sih."



Metta meraih bagian belakang kontolku kemudian menariknya hingga kini kontolku terjulur ke bawah dalam posisi aku tertelungkup. Dengan nakal dia menggoda dengan menggelitiki dan meniup-niup bagian buah zakarnya hingga aku kegelian. Shit, dia memanipulasi kontolku hingga sekarang makin menegang.

Metta lalu membalikkanku dalam kegelapan hingga aku berbaring telentang, namun dia masih memegang kontolku. Dari gerak-geriknya, aku bisa menduga bahwa Metta ingin mengatur semua tempo dalam persetubuhan ini. Kamar ini amat gelap sehingga aku bahkan sama sekali tak bisa melihat Metta, sehingga aku hanya bisa mengandalkan arahan serta meraba-raba.


"Hggghhhh..."


Metta tiba-tiba meremas kontolku hingga menegang. Kurasakan dia tengah mengangkangiku sambil memegang kontolku dan digesek-gesekkan ke mekinya yang terasa basah dan lengket. Aku tak bisa melihat bagaimana posisi Metta sehingga aku pun agak terkejut saat dia tiba-tiba berbisik di telingaku.


"Do you ready for some fun?

"Yes..."



Kudengar Metta tertawa mengikik, dan... Hgggghhhh... Dengan sekali gerakan, kontolku yang tadinya terasa dingin oleh AC tiba-tiba saja berubah menjadi hangat dan lembap. Ya, ini adalah lubang meki Metta, dan kontolku mengingatnya dengan baik, hanya saja... Remasannya masih sama seperti dulu, dan masih memeluk kontolku dengan pas seperti dulu, namun aku tidak ingat proses masuknya selancar ini, seolah nyaris tak ada hambatan sama sekali dalam proses masuknya hingga mentok.


"Aaahhhhhh... Aku suka kontol kamu, Eriiikkk..."


Aku turut mendesah karena Metta sudah mulai menggerakkan pantatnya, dan kontolku pun terasa diremas-remas dan dijepit oleh sebuah ragum yang basah, empuk, dan hangat. Aku baru saja ejakulasi tadi, tapi entah kenapa kontolku masih tetap tegak, padahal biasanya aku perlu beberapa menit untuk kembali menguat setelah ejakulasi. Apakah kemampuan dan ketahananku telah berubah dalam 5 tahun ini?? Lalu secara refleks aku pun mulai menggerakkan pinggulku mengikuti gerakan Metta.


"Aaahh yess... Iyaah, Pa... Terussshhh..."

"Kamu suka, Sayang?"

"Suka bangeeet... Aaahhhh... Oooohhh... AaaaaaaGGHHHHHH!!!"



Teriakan tertahan Metta diikuti dengan gerakan pinggul tak beraturan itu hanya berarti satu hal, Metta mendapatkan orgasmenya. Dia menekan bertumpu pada dadaku sambil terus mengerang dan pinggulnya seolah bergerak sendiri mengocok kontolku. Hanya saja karena kontolku baru saja keluar tadi, maka sekarang tidak terpancing untuk ikut meledak. Setelah Metta selesai dengan orgasmenya, kudengar dia tertawa. Nafasnya masih memburu, namun sepertinya dia senang.


"Enaaak..."

"Tumben kamu keluar duluan?"

"Kamu juga tumben tadi keluar duluan, hehehe... Padahal belum juga nengokin dedek bayi."

"Sekarang kan udah di dalem tuh, udah bisa ngobrol ama dede bayi, hehehe."

"Hehehe, ya belum lah, Papa Sayang, belum kebentuk, masih berupa titik doang ini... Ntar kalau udah 4 bulan baru... AAAHH!! Papa nakal ya, maen gerakin aja."

"Kangen nih, ama mamanya..."

"Tapi jangan ubah posisi ya, Pa, pelan-pelan aja. Takutnya kalau keguncang bisa..."

"Iyaa, tenang aja, Ma. You lead the way..."



Kudengar tawa Metta kemudian dia mencubit pipiku. Kami kemudian berciuman dengan panas, sambil saling menggosokkan tubuh kami yang berlumuran keringat. Susu Metta sungguh empuk sekali menekan dadaku, kontras dengan pentilnya yang keras menusuk. Aku belum melihat seperti apa pentil Metta sekarang, apakah masih pink, atau kecokelatan, atau malah mulai menghitam? Ah, aku malas memikirkannya, karena Metta terus menerus merangsangku. Sentuhannya, lenguhannya, rintihannya, dan goyangannya pada kontolku membuatnya semakin menegang dan mengeras.


"Aaaahhh... Keras banget, Pa... Kerasa ngganjel banget..."

"Iyaaa..."



Hmm, andai aku bisa mengatakan hal yang sama pada Metta, sayangnya tidak. Bagiku, meki Metta saat ini rasanya sama seperti ketika aku menyetubuhi meki Vinny dulu, sudah agak longgar meskipun masih cukup menggigit. Masih pas, hanya saja waktu digerakkan resistensinya lebih kecil. Persis seperti ketika aku bermain dengan Vinny setelah dia bermain dengan Samuel dulu. Hanya saja, dalam kondisi libido dan birahi tinggi seperti ini, aku tak begitu memikirkannya. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah supaya aku bisa memuaskan Metta dan memuaskan diriku sendiri.

Metta kupagut dan kuciumi serta kucupang habis-habisan, kuremas susunya yang ukurannya kini sedikit bertambah itu, kemudian mencubiti putingnya yang terasa menonjol, berbeda dengan dulu saat inverted. Kujilati keringat yang ada pada kulitnya, kucari dan kuciumi hingga ke pusat penyebaran feromon yang paling kuat terasa. Dia semakin melenguh dengan keras dan menggelinjang, sementara aku terus menyodok mekinya dengan tempo yang kami sepakati. Ya, walau Metta terasa seperti boneka kertas yang ikut saja, namun dalam kenyataannya dia yang mengendalikan bagaimana aku harus memainkan temponya. Bila dia menekan pinggul dan merapatkan meki, artinya tempoku terlalu kencang, dan begitu pula sebaliknya. Suasana gelap membuat semua pancaindraku menjadi awas, sehingga aku bisa lebih merasakan kulitnya yang lengket akan keringat, bau feromon, bau sekresi, juga suara lenguhan Metta yang biasanya tak begitu kuperhatikan.

Tiba-tiba saja sebuah gundukan empuk menekan mulutku.


"Isep, Pa..."


Aku segera melahap puting susu Metta yang terasa khas di dalam mulutku.


"Aaahhh... Yang kenceng..."

"Kamu udah mau keluar lagi ya?"

"Ho-oooh... Papa juga, kan? Udah kedut-kedut ini..."

"Iyaa, kencengin ya?"

"Iyaaaaahhhh..."



Buru-buru aku pun mempercepat goyanganku sambil menyedot susu Metta kencang-kencang hingga Metta menarik nafas yang berbunyi bagai siulan. Tempo pun berubah semakin cepat karena Metta pun turut menggoyang pinggulnya, membuat tubuh kami yang menyatu bergoyang tak karuan. Nafas Metta pun mulai memendek, memendek, dan dia seolah seperti menahan sesuatu. Aku pun juga begitu, bila lampu menyala, mungkin akan terlihat kami berdua merah hitam menahan banjir birahi ini.


"I'M CUMMIIIIIIIINGGGGG!!!"


Metta berteriak diikuti dengan gempa dari pinggulnya, yang langsung memicu kontolku untuk kembali meledak. Orgasme kami berdua saling berpadu di dalam rahim Metta terkocok oleh gerakan kami berdua. Aku sempat takut bakal janin yang ada di dalamnya keluar akibat ganasnya goyangan kami, tapi tampaknya semua baik-baik saja. Dia langsung ambruk di sampingku sambil masih terengah-engah. Aku yang masih agak ngaceng ingin tambah satu ronde lagi, namun Metta menolak saat aku ada di atasnya.


"Pa... Besok malam lagi ya... Aku capek... Hhhh..."

"Oke, Ma."



Akhirnya aku hanya mencium kening dan bibirnya kemudian tidur di sebelahnya sambil memeluknya mesra. Metta terasa amat tenang dalam pelukanku. Semua tidak ada masalah kecuali satu, bahwa tidak biasanya Metta hanya selama ini ketika bermain seks. Biasanya Metta bisa melakukannya hingga semalaman bila memang aku menginginkannya, dan mengeluh capek bukanlah hal yang biasa kudengar darinya.






Aku termenung sebentar selesai kami bergumul tadi. Secara objektif, itu benar-benar luar biasa, karena gaya seks Metta benar-benar telah berkembang.

Sebuah dengkuran halus pun terdengar di kamar yang gelap ini. Sepertinya karena bercinta dengan amat maksimal tadi, Metta akhirnya kelelahan. Dalam kehidupan seksualku bersama Metta, aku tahu beberapa kali bahwa Metta pasti mengambil kendali, bermain sebagai dominan dan pengendali tempo sejenak lalu menyerahkannya kepadaku. Namun ini tidak, karena Metta seperti terus menerus ingin memegang tempo seolah dia ingin melepaskan semua hasrat seksualnya sekaligus, tidak pelan-pelan seperti biasa, seolah seperti diburu waktu, padahal katanya baru beberapa hari lalu kami bercinta. Sebulan sebelumnya bahkan tiap malam kami bercinta. Frekuensi ini terputus hanya setelah Metta dinyatakan positif hamil, namun malam ini dia melakukannya lagi.

Kalau perkara tempo ini sudah aneh, lebih aneh lagi karena aku tak merasakan perlawanan sebagaimana biasa kurasakan pada meki Metta ketika kumasuki kontolku. Meki Metta yang kukenal biasanya selalu pas membungkus kontolku, namun kali ini aku merasa agak longgar, dan andaipun menggigit, lebih karena Metta yang melakukannya dengan teknik khususnya. Karena ukuran kontolku sepertinya tak jauh berbeda daripada dulu, berarti ukuran meki Metta yang berubah. Itu artinya, antara cara main kami menjadi semakin hardcore, atau...

Tidak. Aku menggelengkan kepala, berusaha untuk membuang pemikiran itu dari otakku. Namun perubahan gaya Metta, perubahan seksnya, perubahan meki, dan fakta bahwa Metta tertangkap kamera oleh Rini tengah menemui pria lain, membuatku semakin yakin bahwa ada yang mencurigakan.


"Aku harus tahu jawabannya."

"Tidak, Erik, jangan, sebaiknya kau percaya pada istrimu, Erik. Dia sudah berjanji..."

"Benar, justru karena dia sudah berjanji maka kamu berhak mencari tahu, Erik!"



Begitu bunyi pikiran jahat dan pikiran baik yang tengah berkonflik di dalam kepalaku. Namun bagaimanapun, secara objektif, aku memang harus mencari tahu soal ini.

Aku pun menjulurkan tanganku ke arah tombol lampu. Ya, pagi tadi, tanpa sepengetahuan Metta, aku mengganti lampu kamar ini. Di luar dugaan, ternyata tak sulit menggantinya sehingga aku bingung, kenapa "aku" tak melakukannya dari awal.


"BYAAARR!!"


Aku memicingkan mata begitu lampu kamar menyala dengan terang. Akhirnya bisa kulihat lagi kamar ini. Metta masih terbaring di kasur, telanjang, hanya mengenakan selimut saja. Dengan mantap, aku pun mengambil selimutnya dan menyingkapnya. Metta terlihat tergolek dengan tubuh telanjang, tak ada kurang suatu apa pun dalam tubuhnya yang sempurna, kecuali satu hal...

Satu hal yang mengejutkanku serta membuat darahku mendidih...



Gambar hanya untuk ilustrasi saja


Pada paha kanan Metta, ada tato ular yang melingkari paha, amat dekat dengan selangkangan, seolah ular itu membelit pahanya, hingga berujung ke kepala ular pada perut dengan lidah terjulur bak ingin menjilat pusar.

Ini dia...

Ini yang disembunyikan oleh Metta dengan semua baju gombrong itu...

Metta menggeliat mengucek matanya, sementara aku masih geram menatap tato itu, yang seolah mengejekku.


"Pa... Udah pagi ya..."


Mata Metta langsung membelalak begitu dia sadar lampu kamar menyala. Dia langsung melompat dan menutupi badannya dengan selimut. Matanya menatapku dengan gemetar dan sinar mata ketakutan.


"Itu apa!??" tanyaku dengan berang.

"P-P-Pa... Aku bisa jelaskan..."

"ITU APA!!!???"

"I-I-I... Ini..."


"PLAAAKKK!!"



Aku menampar Metta dengan keras.


"DARI MANA KAMU DAPAT ITU!!???? JAWAB!!"

"Pa... A-Aku..."

"JAWAB, LONTE!!"



Metta berteriak keras saat aku menghantam headboard ranjang hingga berlubang dan hancur. Dia menangis sejadi-jadinya sambil meminta maaf dan berusaha memegang tanganku, namun dengan kasar kukibaskan tanganku hingga dia terlempar dan terhempas ke ranjang.

Dalam kekesalanku, aku langsung mengambil pakaian, dompet, dan hapeku lalu pergi dari situ, sementara Metta menghiba-hiba, memohon supaya aku tidak pergi. Namun aku sudah terlalu kalut dan kesal hingga tak menghiraukannya.

Dengan cepat aku memacu mobilku keluar dari rumah sementara Metta di ambang pintu berusaha memanggilku, memohon supaya aku tidak pergi. Hatiku pun kukeraskan hingga membeku dan sedingin batu untuk tak hiraukan perkataannya sama sekali. Cukup sudah... Tato itu tidak mungkin muncul dengan sendirinya, pasti ada yang membuatnya, dan jelas bukan aku, karena aku tak suka tato, dan bila itu atas sepengetahuanku, tentu Metta tak akan repot-repot menyembunyikannya. Apalagi, tato itu membentang dari paha ke perut menyenggol bibir kemaluannya, sehingga saat membuatnya pasti...


"BERENGSEEEKKK!!! SUNDAALL!! LONTEEEE!!!"


Aku berteriak menumpahkan kekesalanku ke dalam gelapnya malam. Hapeku berkali-kali berbunyi karena Metta meneleponku, namun sengaja tak kuangkat, sengaja pula tak kumatikan, karena aku memang kesal. Pada saat ini, hanya satu tujuan yang ada di pikiranku...


"DING! DONG!"


Bunyi bel pintu terdengar berkali-kali saat aku memencetnya dengan agak agresif. Hari sudah tengah malam, tapi entah mengapa aku seakan tak peduli dengan hal lain. Bertamu pada jam semalam ini saja sudah aneh, apalagi...

Pintu terbuka, dan Rini muncul dari dalam rumah, tampaknya terkejut aku ada di sana.


"Aku perlu tempat menginap..."


Jujur saja saat berkata begitu, aku memang tak berpikir panjang dan mengira dia akan menolak, tapi...


"Masuk, Rik, aku siapin kamar buat kamu."


Aku masuk ke dalam rumah Rini. Begitu Rini menutup pintu, aku berbalik kemudian memeluknya dan saat itulah air mataku tumpah sejadi-jadinya. Rini pun tahu dan tidak bertanya, hanya menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkannya.


"It's okay, Erik... You are safe here..."


Next >>> Reckoning
 
Terakhir diubah:
nothing to say....
pengkhianat akan selalu jadi pengkhianat....
mungkin ada baiknya erik dl ndak masuk dan bersinggungan dengan dunia metta
damn....
Setuju suhu...
Berkali kali di maafkan... Berkali kali berganti cerita... Tetap begitu...
Begitulah pengkhianat...
 
Bimabet
Cinta itu memang menerima apa adanya meski sudah berselingkuh dan melakukan kesalahan. Iya cinta dri pihak pemberi, tpi pihak penerimanya klo ngaku cinta tpi ttp selingkuh atau berkhianat, itu jelas bkn cinta. Sial emang buat org org yg hobi nya ngulang kesalahan yg sama
Setuju suhu...
Berkali kali di maafkan... Berkali kali berganti cerita... Tetap begitu...
Begitulah pengkhianat...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd