Bagian ke III (TamaT)
….
“Aaakh!” Annisa menjerit kesakitan mendapat jambakan kasar Herry yang disertai gigitan keras di putingnya.
“Oh, maaf, Nisa. Sakitkah?” Herry mengangkat wajahnya, mulutnya belepotan air susu yang menyemprot dari puting perempuan itu.
“Tidak … tidak apa-apa, enak sekali, Her. Teruskan!” engah Annisa dengan wajah merah dibakar api birahi. Sensasi rasa sakit dan nikmat secara bersamaan membuatnya hampir gila. Disetubuhi sambil disiksa seperti itu ternyata membangkitkan gairah seksnya lebih dahsyat dari biasanya.
Dengan posisi menungging di tepi ranjang, ternyata Herry masih bisa menggapai payudara Annisa dengan mulutnya. Tapi jelas itu menguras tenaganya, pinggangnya terasa panas.
Genjotan penisnya di vagina Annisa mulai perlahan.
“Owhhh, genjot yang keras, Herry Bangsat! Cepaaat!” lenguh Annisa sambil memaki-maki.
“Pinggangku pegal, Nisa. Berbaliklah, duduk ngangkang di tepi pembaringan,” kata Herry nyengir.
“Tanggung, Her. Lagi enak-enaknya. Ayolah, jangan memaksa untuk menyusu, berdiri biasa saja,” gerutu Annisa sambil menggoyangkan pinggulnya naik turun.
“Oke,” sahut Herry pendek.
“Ukh!” Annisa mendongak sambil mengerenyit menahan sakit ketika Herry menarik rambutnya.
Herry kembali menggenjot brutal. Penisnya keluar masuk vagina Annisa dengan cepat.
“Bluk-bluk-bluk!” terdengar suara tumbukan dari selangkangan pemuda itu ke pantat Annisa yang sudah merah-merah dan baret akibat ditampar juga digigit Herry.
“Anjiiing. Nikmatnyaaaa! Bajingan!” makian-makian dari mulut Annisa menyembur begitu saja, “aku mau keluar, Herrr. Owhhhh,” Annisa mengerang. Ia meracau makian-makian paling kasar yang mungkin pernah diteriakkannya. Pinggulnya memutar liar. Herry merasakan batang penisnya seperti diperas.
“Tekan yang dalam, Bangsat!” Annisa kembali berteriak tidak terkendali. Tubuhnya melengkung. Tangannya memukul-mukul kasur, bahkan mulutnya menggigit seprai, merasakan semburan nikmat di dalam rahimnya.
“Gila! Gila! Nikmat sekali, Her,” engah Annisa membalikkan tubuhnya sambil mengangkat tangannya meminta pelukan. Herry tersenyum sambil merangkul tubuh sintal yang basah oleh keringat itu ke dalam pelukannya.
“Memekmu juga legit tiada tandingannya, Nis,” Herry memberi kecupan hangat di bibir perempuan itu.
Malam di mana Herry kali pertama menginap di rumah Annisa. Sekaligus kali pertama dia langsung bisa meniduri istri bosnya tersebut.
Isyarat dari Annisa memang sangat mudah dimengerti, bahkan oleh orang paling bego sekali pun.
Ketika Herry masuk ke dalam kamar yang pintunya setengah terbuka, dia mendapati Annisa tengah tersenyum duduk di tepi ranjang ukuran
big size. Tidak perlu berbasa-basi. Dia hanya cukup berlutut, kemudian mereka pun berciuman dengan panasnya. Saling mempreteli pakaian masing-masing.
“Ada yang perlu kamu ketahui, Nis,” gumam Herry di sela ciumannya ketika itu.
“Apa?” tanya Annisa tanpa menghentikan keasikannya mengocok dan mengurut batang penis Herry yang diakuinya lebih besar dari milik Ferdian, suaminya.
“Aku …,” Herry terlihat ragu-ragu.
Annisa akhirnya menatap pemuda itu dengan wajah curiga, “jangan bilang kamu juga gay!”
“Tidak! Tidak … bukan itu,” Herry menggeleng, “aku … aku kadang suka secara spontan berlaku kasar saat ngewe, Nis.”
“Owh,” Annisa memandang tajam, “sekasar apa?”
“Mmmm,” Herry menggaruk-garuk rambutnya, “seperti menjambak, memukul, menggigit … hal-hal semacam itulah. Kalau kamu tidak suka, tidak apa-apa!”
“Maka lakukanlah,” ujar Annisa mengangkat bahunya tidak perduli, kembali ke keasikannya dengan mainan barunya.
“Kalau kamu sakit atau tidak suka ingatkan saja, Nis,” kata Herry sambil mencengkram dua buah payudara Annisa keras-keras. Air susunya menyemprot dalam gencetan tangan pemuda itu.
“Auhhh!” Annisa menjerit sambil meringis.
“Nah kan,” Herry menatap sambil nyengir.
“Tidak apa-apa, teruskan,” desis Annisa sambil membuat tubuhnya serileks mungkin.
Maka, kejadian selanjutnya seperti yang sudah di ceritakan di atas.
“Apa Anton juga memiliki orientasi seks seperti kamu, Her?” tanya Annisa sambil bersandar di dada Herry.
“Anton?” Herry seperti berpikir sejenak. Kemudian katanya dengan nada hati-hati, “Anton malah lebih gila lagi orientasi seksnya!”
“Maksudnya?” Annisa menatap tajam.
“Dia … dia, tapi kamu berjanji dulu hanya dirimu yang tahu rahasia ini,” kata Herry balas menatap.
“Oke … oke,
I swear!” Annisa mengacungkan dua jari tangannya.
“Aku sudah tahu sejak lama kebiasaan anak itu. Dari SMP Anton sering … sering mengintip ibu!”
“Ibu? Ibu siapa maksudmu?”
“Ibunya, ibuku juga!”
“Hah?” Annisa bangkit dengan mata terbelalak. Entah kenapa dirinya merasa merinding, tapi bukan merinding jijik. “serius?”
Herry mengangguk sambil meringis.
“Sampai sekarang?”
“Sekarang mungkin diam-diam dia sudah mengewe ibu!”
“Dan kamu diam saja?”
“Mungkin, Nis. Aku belum pernah memergoki mereka. Api siapa yang tahu kan!”
“Kamu mendiamkan lama begitu jangan-jangan kamu juga punya keinginan yang sama ya?” Annisa tertawa kecil, kemudian menggelinjang ketika Herry dengan sengaja menyelipkan telapak tangannya di vagina perempuan itu keras-keras.
Annisa membalas dengan menggigit puting dada pemuda itu. mereka bergulat di atas kasur.
“Ahhhh!” Herry berteriak keras ketika kulit batang penisnya digigit gemas Annisa. Dia segera membalas dengan menusukan jarinya ke dalam lubang dubur Annisa.
Begitulah selanjutnya, mereka terus saling merangsang dengan tindakan-tindakan kasar yang menjurus ke saling menyakiti. Tapi justru tindakan itu membuat birahi mereka kembali menggelegak.
Selama beberapa hari menginap di rumah bosnya. Herry sungguh puas sekali. Dia seperti mendapat pasangan yang bisa melayani seks anehnya. Dulu-dulu, kalau dia ingin menuntaskan hasrat birahinya, terpaksa harus jajan dengan open BO. Membayar lebih tarif dengan perjanjian boleh melakukan BDSM. Oleh karena itu, kadang-kadang gajinya cepat habis.
Dia memperkosa Bu Jubaedah pun karena saat itu dia memang tidak punya uang, kebetulan dipancing dengan pemandangan merangsang dari kegiatan ibunya dan Mang Ikin.
***
Bu Farida menghempaskan tubuhnya di tempat tidur yang selama 2 hari tidak pernah ditidurinya. Saat inilah ia merasakan lelah dan capeknya setelah 2 hari pikiran dan hatinya tercurah untuk kesembuhan Cahyo. Ia tidak bisa mengandalkan Aisyah karena anak itu juga bekerja dan perlu istirahat yang cukup. Suaminya?
Datang
sih. Semua biaya memang ditanggung sepenuhnya oleh dia. Tapi bukankah itu memang kewajibannya? Tapi hanya sekedar datang. Cahyo, seperti dirinya dan juga Aisyah. Belum menerima sepenuhnya Abinya menikah lagi. Terlalu menyakitkan memang. Hampir dua puluh lima tahun membina rumah tangga tanpa masalah berat, tiba-tiba Anas mohon ijin untuk menikah lagi. Dua puluh lima tahun yang lalu, mereka berdua menikah secara ta’aruf. Tanpa saling mengenal sebelumnya. Tapi tidak pernah menjadi masalah, mereka saling menyayangi selayaknya rumah tangga muslim yang taat. Pesantren yang diasuhnya berkembang dengan pesat. Lalu suaminya itu tiba-tiba mohon ijin untuk menikah lagi. Langit seakan runtuh hendak menimpanya. Ia teringat, saat itu ia menangis dengan hati yang sangat sakit. Menanyakan apa kesalahannya, dari memohon ampun hingga maaf.
Suaminya malah mengeluarkan dalil, berdalih bahwa perempuan yang dinikahinya adalah janda yatim piatu yang merupakan kewajibannya untuk merawatnya. Ia terpaksa luluh saat itu. tapi tidak untuk Cahyo dan Aisyah. Keduanya berontak. Hanya ia yang bisa meyakinkan ke dua anak tersebut. Hanya dirinya yang mampu membuat Cahyo dan Aisyah menurut.
Teringat pula ia akan sakit hati dan kemarahannya, ketika janda yatim piatu itu usianya tidak lebih tua dari Aisyah. Lebih cantik dan lebih muda, tanpa anak pula! Mereka menikah di depan matanya, dengan ijinnya disertai senyum palsu untuk menutupi rasa sakit yang diterimanya.
Saat itu syaratnya cuma satu, ia tidak ingin satu rumah dengan madunya.
Anas mengabulkannya. Dengan uang pesantren yang dimilikinya, mudah saja dia membuatkan rumah baru untuk istri mudanya. Awalnya, suaminya membagi jatah lima hari dengannya dan dua hari bersama istri mudanya. Lama-kelamaan, sepertinya menjadi terbalik. Namun ia tidak perduli lagi, hatinya sudah menjadi sangat dingin bahkan beku. Sebeku saat ia melayani kewajiban batinnya sebagai seorang istri terhadap suaminya. Itu pun hanya sekedarnya, hanya alakadarnya. Toh, dari dulu juga kemampuan suaminya begitu-begitu saja. Tidak seperti Anton …
Anton?
Hati Bu Farida tersentak.
Hatinya merintih rindu. Kangen. Belaiannya, pelukan hangatnya, kata-kata gombalnya, sentuhannya.
Ihhh, tidak tahu malu. Dosa! Nuraninya mencela.
Bu Farida berbaring dengan tubuh mulai menghangat. Ia teringat ketika ibu-ibu pengajian datang menengok Cahyo, termasuk Bu Jubaedah. Ia tidak berani beradu pandang dengan perempuan itu ketika teringat anaknya pernah … pernah. Ahhh … Pipi Bu Farida bersemu merah, tidak berani melanjutkan kata-kata di dalam hatinya.
Betapa tadi ia sempat ketakutan, khawatir Anton turut datang menemani ibunya bersama teman-teman pengajian lainnya. Kalau bertemu, entah bagaimana tingkah lakunya, mungkin bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan kecurigaan.
Tapi untunglah, pemuda itu tidak ada karena ternyata ibu-ibu pengajian itu berangkat dengan menyewa angkutan umum. Ada rasa lega, ada juga rasa kecewa. Entah mana yang lebih besar dari kedua perasaan tersebut.
Ketika teringat sesuatu, ia segera mengambil handphonenya, memeriksa chat WA yang sudah bertumpuk. Ada banyak chat grup atau pun japri dari banyak kenalannya. Semuanya hampir seragam, turut prihatin atas musibah yang menimpa Cahyo sambil mendo’akan agar segera pulih lagi. Dari sekian ratus chat, tidak ada satu pun dari Anton.
Bu Farida terus memeriksa WA, menscrolnya, ada beberapa nomor tidak dikenal yang tidak tersimpan di kontaknya, namun bukan Anton. Atau pemuda itu menggunakan nomor Bu Jubaedah? Ia memeriksa chat ibunya Anton itu. tidak ada ada chat beda, kecuali chat terakhir ucapan prihatin. Ahhh, apakah pemuda itu cuma membohonginya mengucapkan rasa sukanya? Setelah menikmati tubuhnya lalu melupakannya?
Bu Farida merasakan kekecewaan dan ada rasa perih yang menyakitkan.
Ketika ia masih berbaring dengan hati sedih dan kecewa, mendadak terdengar suara gerbang pagar seperti digeser, kemudian terdengar suara mesin mobil masuk ke garasi. Mobil Anas, suaminya.
Kenapa dia datang pas lagi begini. Pikir Bu Farida dengan hati sebal. Namun sebagai istri yang baik, mau tidak mau, ia harus segera menyambut kedatangan suaminya tersebut.
Dengan ogah-ogahan ia bangkit dari tempat tidurnya, sekilas ia melihat layar handphonenya berkedip, mengabarkan ada pesan WA baru masuk, dari nomor tidak dikenal. Ia mengabaikannya. Dengan langkah malas, Bu Farida keluar kamar menuju pintu depan.
“
Assalamu’alaikum!”
“
Wa’alaikumussalam!” sambut Bu Farida sambil mencium tangan pak Haji Anas yang baru datang.
“Bunda belum sempat masak, Abi. Baru sampai dari rumah sakit, sekarang Aisyah yang ganti jaga. Bunda buatkan nasi goreng saja ya?” ujar Bu Farida dengan hati merasa bersalah.
“Tidak usah. Tadi sudah sempat makan. Buatkan teh manis saja. Bagaimana Cahyo? Anak itu masih juga belum menerima Azizah,” sahut pak haji Anas sambil duduk di sofa, menghembuskan napasnya dengan kecewa. Azizah adalah istri mudanya, madu dari Bu Farida.
“Tidak apa-apa, nanti juga mereka akan terbiasa sendiri. Tidak usah dipaksakan. Biarkan secara alamiah saja, Bunda juga terus akan memberi mereka pengertian!” hibur Bu Farida sambil membawa tas suaminya ke dalam kamar, “Abi mau mandi sekalian? Bunda siapkan air panas dulu!” tanyanya kemudian.
“Iya boleh. Abi juga ingin diurut, Azizah sama sekali tidak bisa memijat,” sahut Pak Haji sambil menselonjorkan kakinya.
Ya, keahlian mengurutnya, memang itu satu-satunya kelebihan yang boleh dibanggakannya dibanding madunya. Keluh Bu Farida menghela napas dalam.
---
Selesai mencuci tangan dari minyak urut, Bu Farida duduk di tepi pembaringan, meraih handphonenya dengan maksud mematikannya seperti kebiasaannya menjelang tidur. Namun deg … tiba-tiba hatinya bergetar melihat layar kunci yang menampilkan notif chat WA dari nomor yang tidak ada namanya:
‘
Assalamu’alaikum, Bu hj sayang …’
Deg! Celaka! Wajah Bu Farida memucat, tanpa sadar ia menoleh ke suaminya yang sedang telentang sedang asik melihat handphonenya. Ingin sekali ia membuka chat tersebut, jelas itu dari Anton. Tidak mungkin dari yang lain. Tapi keadaan sekarang tidak memungkinkannya untuk melihat chat tersebut. Atau ia keluar kamar? Iya benar! Ia keluar kamar saja. Dengan cepat, Bu Farida hendak bangkit, namun ada satu tangan melingkar ke pinggangnya.
“Mau ke mana? Abi kangen!”
Bu Farida terpaku di tepi ranjang dengan wajah pucat, tanpa disadarinya tubuhnya gemetar mengeluarkan keringat dingin. Hatinya merasa sangat bersalah sekali.
“I-ini, Bunda mau mematikan HP, eh … lampu maksudnya!” sahutnya dengan tergagap. Menekan tombol power handphone sekuatnya, sampai jari telunjuknya memucat.
“Ya sudah, tidak usah dimatikan, diredupkan saja, seperti biasanya,” kata Pak Haji melepaskan rangkulannya.
Dengan langkah canggung, Bu Farida menuju saklar lampu, memutar panel untuk cahaya lampu meredup sesuai keinginannya. Kemudian ia kembali ke ranjang, mengawasi suaminya yang tengah bersusah payah terganjal perut buncitnya, melepaskan celana dalam dari balik kain sarungnya.
Perempuan setengah baya itu duduk kembali di tepi pembaringan, turut melepaskan celana dalamnya tanpa melepaskan daster. Itu memang kebiasaannya dari dulu. Toh, persetubuhan mereka tidak pernah lama, tidak lebih dari 10 menit. Kalau pun ada babak tambahan, itu pun biasanya menjelang subuh.
Bu Farida membaringkan tubuhnya setelah menarik dasternya hingga tergulung di atas perutnya. Ke dua lututnya masih merapat, menunggu Pak Haji Anas merangkak ke atas tubuhnya. Ia berdo’a di dalam hatinya. Semoga suaminya tidak merasa ada yang lain ketika memasukkan penis ke dalam vaginanya yang sudah pernah diterobos penis yang berlipat-lipat besar dan panjangnya daripada penis suaminya itu.
Dengan masih memakai kaos, setengah telanjang. Perut pak Haji Anas mendahului menekan perut rata Bu Farida. Dengan dengus napas berat, pria berusia 50 tahun itu mencium pipi istrinya, memagut bibirnya, kemudian turun menciBunda leher jenjangnya.
Jari-jari gemuknya membuka kancing daster, menarik turun BH berwarna merah, hingga tersembul dua buah payudara yang membusung menantang.
Ada banyak perempuan yang berusia 40 tahun ke atas, tubuhnya berkembang dan melebar, bahkan payudaranya juga turut mengikuti usia. Lembek dan menggayut, kecuali yang dirawat dengan perawatan yang mahal. Seperti para artis yang memasuki usia setengah baya. Namun ada sedikit perempuan yang tubuhnya awet seperti masa mudanya. Bu Farida termasuk salah satu dari yang sedikit itu.
Bu Farida tidak pernah mengikuti perawatan rutin yang mahal-mahal, ia hanya rutin mengikuti senam di rumah melalui tontonan youtube atau pun di televisi. Itu pun bukan untuk menjaga tubuhnya agar tetap menarik, ia hanya sekedar berolahraga melepas kebosanannya di rumah.
Bu Farida menggigit bibirnya sambil memejamkan mata, mencoba menikmati cumbuan suaminya. Dan sialnya, ia malah membayangkan cumbuan Anton yang tentu membuat birahinya makin naik. Napasnya mulai memburu, terengah-engah.
Pak Haji Anas dengan mendengus-dengus terus menciumi dan menghisap-hisap payudara istrinya dengan nikmat. Dia sedikit girang, merasa rangsangannya berhasil, tidak seperti yang lalu-lalu. Istrinya itu hanya diam memejamkan mata. Padahal kalau saja pak Haji itu tahu yang ada di bayangan istrinya …
Bu Farida membuka matanya dengan hati jengkel, ia ingin agar suaminya segera menuntaskan hasratnya kemudian tidur. Karena ia ingin secepatnya diam-diam menyalakan handphonenya dan membuka chat dari Anton.
Seakan tahu akan keinginan istrinya, pak Haji Anas merenggangkan lebih lebar kaki Bu Farida yang lututnya tertekuk. Menggesek-gesekan penis pendeknya yang masih layu di belahan vagina mulus istrinya tersebut.
Napas Pak Haji sudah terengah-engah, namun penisnya masih setengah ereksi. Padahal dari belahan vagina Bu Farida sudah merembes cairan kewanitaanya sebagai akibat dari fantasinya membayangkan laki-laki lain.
“Chuh!” Pak Haji meludah ke telapak tangannya, mengocok cepat penisnya. Hasilnya lumayan juga, penis pendek itu mulai mengembang. Lalu tanpa peringatan lagi, dia segera menusukan penisnya ke dalam vagina Bu Farida yang sedikit mengejang.
Bu Farida merasakan geli dan nikmat. Hanya itu saja, tanpa diembel-embeli sensasi yang lain.
Pak Haji mulai mengayuh. Bu Haji terus berfantasi.
“Bluk-bluk-bluk!”
Lima menit lebih sedikit, Pak Haji Anas menggeram. Mendorong pantat semampunya. Menyemburkan air mani di dalam rahim istrinya.
Bu Farida memejamkan matanya, konsentrasinya memusat ke fantasi liarnya, ia mendesah, merasakan kontraksi di perutnya. Menyemburkan orgasme sekedarnya. Jauh dari sengatan kenikmatan yang pernah digapainya tiga hari yang lalu.
Tubuh berlemak pak Haji Anas terguling di samping istrinya dengan napas terengah-engah, membetulkan kain sarung menggunakan kakinya, dan dengan ajaibnya dia lalu mengorok dengan cepat.
Kalau suaminya sudah tertidur, kalau saja Bu Farida mau berlari-lari keliling kamar, pak Haji Anas sama sekali tidak akan terbangun. Namun karena sekarang ini adalah kali pertama ia melakukan hal yang menurut hatinya salah. Maka dengan langkah mengendap-endap sangat perlahan, bahkan sampai menahan napas, Bu Farida keluar kamarnya. Saking tegangnya, sampai-sampai di keningnya muncul butiran-butiran keringat.
Sesampainya di luar kamar, dengan jantung berdetak keras, ia mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam kamar. Barangkali saja ada suara suaminya, kecuali suara dengkur yang keras, tiada suara lain yang terdengar dari dalam kamar.
Lucu memang. Dalam keadaan biasa, tingkah lakunya ini tentu akan membuatnya tertawa geli sendiri. Bagaimana tidak, kalau Pak Haji sudah tidur mengorok, biar ada bom meledak di bawah ranjang pun, suaminya itu tidak akan terbangun.
(Tentu saja tidak akan bangun lah, Bu Hajjah. Lha wong, bom meledak di bawah ranjangnya kok, bagaimana bisa sempat-sempatnya beliau bangun, yang ada malah modar! Ada-ada saja Bu Hajjah ini)
Tetap dengan hati yang tegang, bahkan handphonenya sampai disembunyikan di balik dasternya, menyentuh kulitnya yang di balik daster tidak mengenakan apa-apa lagi. Padahal selain mereka berdua, di rumah tersebut sudah tidak ada siapa-siapa lagi.
Bu Farida menimbang-nimbang, di mana tempat yang aman untuk membaca chat dari Anton. Di kamar mandikah? Atau di belakang rumah? Atau di dapur? Ia merasa semua tempat yang dipikirkannya sama sekali tidak aman. Mungkin di mushalla kecil di halaman belakang, tempat dulu mereka shalat berjamaah. Bu Farida menggeleng sendiri dengan malu hati, rasa bersalahnya melarang dirinya untuk menodai tempat suci tersebut.
Dengan hati bingung dan cemas, ia terus memandang berkeliling mencari-cari. Lalu matanya terpaku ke sebuah pintu kamar. Kamarnya Aisyah! Kenapa tidak terpikirkan. Dengan langkah tetap mengendap-endap, perempuan setengah baya itu menuju kamar tersebut, membuka pintunya sepelan mungkin, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang sambil menghembuskan napas lega.
Diambilnya handphone yang
casing-nya sudah sedikit basah oleh keringatnya. Membuka layar kunci dan menyentuh aplikasi
whatsapp.
Chat dari nomor tidak dikenal tersebut sudah terseret oleh beberapa
chat terbaru. Kebanyakan dari WA grup. Dia menatap
chat tersebut dengan ragu-ragu.
Memang menggelikan. Tadi ia ingin buru-buru membuka
chat tersebut. Tapi begitu sudah tinggal satu sentuhan untuk membukanya, ia malah ragu-ragu.
Aku harus membalas apa? Dan mengatakan apa? Bu Farida benar-benar kebingungan. Namun kemudian, dengan telunjuk gemetaran ia menyentuh
chat tersebut.
Bismillah, kata hatinya spontan. Mendadak wajahnya sedikit memerah. Mau melakukan hal berdosa kok malah berdo’a.
Tidak! Tidak, bukan perbuatan berdosa, hanya membaca
chat dari kenalan, apanya yang salah? Argumennya dalam hati memberi alasan.
Dengan hati berdebar tegang, ia membaca
chat tersebut.
‘
Assalamu’alaikum, Bu Hj Sayang. Ini Anton. Tadi sudah di sebrang jalan, namun ternyata sudah ada pak Haji. Padahal Anton kangen banget’ ada
emoticon menangis.
Dasar! Mendadak Bu Farida tersenyum-senyum sendiri dengan wajah tersipu-sipu. Tingkah lakunya persis seperti perawan yang baru mengalami cinta pertama. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, dengan sebagian kakinya tergantung di sisi pembaringan.
Payudaranya yang membusung dari balik daster tanpa BH, naik turun dengan cepat.
Ia kembali melihat layar handphonenya, membaca kata-kata
chat dari Anton itu berulang-ulang. Lalu memejamkan matanya, membayangkan momen yang membuatnya seperti melayang-layang. Momen ketika ia merebahkan tubuhnya dalam pelukan pemuda itu, terasa aman dan nyaman sekali.
Tiba-tiba Bu Farida membuka matanya, ia belum membalas
chat itu. apa yang harus aku ketik? Kebingungan. Dua jempolnya menari di tombol-tombol
qwerty virtual, mengetikan sebuah kalimat panjang, ragu-ragu. Menyentuh tombol hapus. Kemudian mengetik lagi. Hapus lagi. Begitu terus berkali-kali. Hingga akhirnya di menyentuh tombol ‘
send’ dengan hanya satu kata balasan:
‘
iya’
Ceklis satu.
Hatinya tersentak kaget. Rasa bersalahnya kembali berteriak-teriak. Dosa! Dosa! Dosa!
Dengan cepat ia menyentuh sedikit lama
chat dari Anton.
‘
Anda ingin menghapus chat ini?’
Jarinya gemetar menekan tombol ‘
ya’
‘
chat terhapus’ begitu
notif yang muncul dilayar handphonenya.
Mendadak Bu Farida menepuk keningnya dengan hati menyesal. Ia belum menyimpan nomor Anton ke dalam kontaknya!
Perempuan setengah baya yang tengah dimabuk asmara itu menatap layar handphonenya dengan perasaan sedih, kesal dan marah bercampur baur. Ia memaki-maki keteledoran dirinya sendiri.
Bu Farida kembali duduk di tepi pembaringan. Ia ingin marah-marah juga menangis. Ingin membanting sesuatu untuk melampiaskan penyesalannya. Berkali-kali ia melihat layar handphone tersebut. Berharap ada balasan dari Anton. Namun hatinya menjadi lemas, ketika teringat sebelum
chat tersebut dihapus,
chat balasan dirinya ceklis satu, tanda nomor Anton sedang dalam
mode offline.
Bu Farida menghela napas pasrah.
Bagus
kan, itu artinya perbuatan berbahaya dan berdosa itu tidak akan berlanjut, hatinya menghibur.
Ketika hati seseorang sudah mulai dibutakan oleh asmara mana bisa dihibur kata-kata semacam itu. Seorang perempuan yang sedang kesepian, dan juga hatinya masih diliputi rasa sakit hati akibat diduakan. Kemudian ada seseorang lain yang memberikan perhatian apalagi rasa nyaman, terlebih lagi perempuan itu sedang dalam masa puber ke dua. Klop sudah. Tanpa dibantu bisikan setan level terendah pun, perempuan itu akan jatuh dengan sendirinya. Begitu juga keadaan saat itu dengan Bu Farida.
Dengan langkah gontai, Bu Farida keluar dari kamar Aisyah, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, membaringkan tubuhnya di sisi pak Haji Anas yang mengorok dengan suara menggelegar.
Melihat tubuh suaminya yang sedang terlelap tersebut. Gara-gara kemunculan suaminya itu, Anton tidak jadi mampir dan bertemu dengannya. Tentu malam ini, yang dilihatnya bukan kebo bunting yang sedang mengorok. Namun sesosok tubuh tegap yang akan memeluknya dan menghangatkannya dari suhu dingin AC di kamarnya. Dan tentulah …, Bu Farida mendesah. Dengan hati berdebar dan bibir tersipu malu. Ia mengingat kejadian gila ketika mereka berdua berjalan sambil bersenggama dari kamar mandi ke ruang tengah. Dasar anak mesum gila, gerutunya dengan hati rindu. Vaginanya mendadak berdenyut-denyut hangat. Lalu muncul secara tiba-tiba rasa jijik di hatinya, ingin rasanya ia menendang tubuh bengkak itu, mendorongnya hingga menggelinding dari atas ranjang dan jatuh ke lantai. Puas hati rasanya.
Bu Farida menarik guling, memeluknya sambil memejamkan mata. Melamun sambil membayangkan cumbuan, pelukan hangat dan nyaman, juga kata-kata mesra yang dibisikan Anton. Hingga ia kemudian terlelap dengan senyuman bahagia tersembul di bibir tipisnya.
Kalau saja Bu Farida tahu saat ia membalas
chat Anton. Bahwa pemuda itu sedang asik berselancar dalam kayuhan lautan berahi yang panas membara dengan menggenjot ibunya di atas ranjang. Tentu rasa jijik terhadap suaminya akan berpindah tempat.
Ya! Malam itu, di ranjang dan rumah yang berbeda. Pemuda idaman Bu Farida itu tengah berpagutan liar dengan Bu Jubaedah, ibunya. Persetubuhan yang panas dan liar!
Mereka sudah saling memahami keinginan masing-masing. Saling memberi dan menerima. Tubuh montok berpantat bulat Bu Jubaedah mengayun lambat, sesekali menyentak untuk mendapatkan sensasi nikmat di vaginanya. Setiap kali bersetubuh dengan posisi WOT memang sangat menguras tenaganya dan mudah sekali jebol. Tapi justru posisi itulah yang paling dinikmatinya. Dimana ia seakan berkuasa penuh atas tubuh pasangan berahinya.
Bu Jubaedah merendahkan tubuhnya. Kemudian mendesah sambil memejamkan matanya. Menikmati cumbuan panas Anton yang sibuk mengenyot-mengenyot puting payudaranya yang menggelayut tepat di wajah anaknya tercinta tersebut.
Pantat yang mengayun lambat itu, kadang bergetar ketika pinggulnya menghentak menekan. Batang berurat yang pejal dengan kutil istimewanya itu, seakan mengkili-kili di kedalaman rahimnya. Nikmatnya tak terkatakan. Belum termasuk sengatan dahsyat dari kutil di pangkal batang penis anaknya itu yang menggaruk-garuk klitorisnya.
“Ahhh … ssssh,” desah Bu Jubaedah menggigit bibirnya setiap pinggulnya membuat gerakan memutar. Rahimnya seakan dibor. Penasaran dengan kelezatannya. Ia kembali memutar pinggulnya. Lagi, dan lagi. Tubuh montok Bu Jubaedah yang sudah berkeringat, gemetar dan meremang.
Tubuh Bu Jubaedah makin merendah, ke dua tangannya yang bertumpu ke bantal di sisi kiri-kanan Anton turut gemetaran. Wajah pemuda itu seakan tenggelam dalam buntalan empuk payudara ibunya. Ke dua siku Bu Jubaedah sudah tertekuk, gemetar menahan tarikan gravitasi berahi.
“Sudah mau keluar, Bu?” bisik Anton sambil menjilat nakal kuping ibunya. Bu Jubaedah menggelinjang. Menatap wajah anaknya dengan tatapan yang sudah sayu sekali. Wajahnya sudah merah membara.
Bibir merah basah itu bergetar.
“He … emh. Duuhhh … sssshhh. Nikmaaat shekali, Nhaak. Sssshhh,” desis Bu Jubaedah sambil menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Anton. Memeluknya dengan erat sekali.
Anton mengelus-elus punggung basah ibunya. membuat garukan lembut memanjang menelusuri punggung tersebut hingga sampai di bongkahan bulat pantat ibunya yang ototnya sedang menegang. Dia kemudian mencengkram bongkahan padat itu.
“Tahan sebentar, Bu. Kita keluar barengan,” geram Anton sambil mulai menggerakan pantatnya naik turun.
“Ibhuuu shudaaah tidak tahaaan,” lenguh Bu Jubaedah setengah merengek.
Anton mengeraskan rahangnya. Dengan buas pantatnya menghentak-hentak. Tubuh montok ibunya sampai bergetar di setiap hentakannya.
“Amm-phuuunssh!” Bu Jubaedah mengerang. Menghunjamkan gigi-giginya menggigit bahu Anton. Ke dua lututnya menjepit sekuat-kuatnya pinggul Anton sambil menekan ke bawah, sementara Anton mendorong ke atas.
“Hrrrhsssh!” Anton turut menggeram dan juga menggigit bahu ibunya.
Bu Jubaedah merasakan ulu hatinya ngilu oleh rasa sesak di dasar rahimnya oleh penis Anton. Otot perut dan pinggulnya berkontraksi, memeras semua cairan birahinya untuk merendam batang pejal itu.
Ke dua tubuh ibu beranak itu begitu rapat menyatu. Seperti menyatunya kenikmatan mereka berdua di puncak kelezatan sorgawi berahi. Mereka merasa melayang-layang ringan di keindahan nirwana kenikmatan.
Beberapa waktu lamanya, mereka terus berpelukan erat. Seakan tidak ingin terpisahkan, dan tidak ingin juga saling melepaskan pusakanya masing-masing. Sang ibu ingin penis anaknya tetap terendam dalam jepitan rahimnya, begitu pula sang anak yang tidak ingin mencabut penis dari sarang nikmatnya.
Namun pada akhirnya, keduanya tetap perlu beristirahat. Bu Jubaedah yang menggulingkan tubuh montoknya ke samping Anton. Napas keduanya masih terengah-engah.
Dengan manja, Bu Jubaedah menyandarkan kepalanya di bahu Anton sambil menarik selimut, ketika merasakan dingin AC menyentuh kulitnya. Dengan posisi menyamping, di dalam selimut, ia kembali bergelung memeluk tubuh Anton yang segera mendaratkan ciuman bertubi-tubi, di kening, pipi dan bibir ibunya.
Keduanya kemudian berpagutan lembut tanpa ada rasa puas-puasnya.
“Ibu benar-benar kewalahan melayani kamu,” bisik Bu Jubaedah sambil membelai pipi Anton dengan penuh kasih sayang.
“Habisnya, Anton benar-benar ketagihan memek ibu. Legit
banget,” sahut Anton sambil sedikit menurunkan selimut. Menarik sebongkah daging lunak yang empuk, menundukan wajahnya kemudian mengecup dan menghisap.
“engh!” Bu Jubaedah mendesah, “bentar ah, ibu perlu istirahat. Capek
banget!” rengeknya kemudian, sambil menggelinjang ketika jari-jari Anton kembali nakal di vaginanya yang masih merembes banjir cairan berahi.
“Baru juga satu ronde,” goda Anton menarik kembali tangannya. Membelai rambut ibunya.
“Satu ronde juga, tenaga ibu terkuras habis. Anu ibu juga masih ngilu!”
“Anu apaan
tuh?” mata Anton mengedip nakal.
Wajah ibunya merona merah, mencubit gemas pipi Anton, “ya anu itu!”
“Iyaaa … anu itu apaan?” kejar Anton sambil cengar-cengir.
“Mm-memek!” bisik Bu Jubaedah sangat pelan sekali. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu Anton dengan malu, sekalian menggigitnya gemas.
“Apa?” Anton memiringkan kepalanya.
“Auh!” dia berteriak ketika kupingnya digigit gemas ibunya.
“Rasain!” Bu Jubaedah merengut manja, “sudah ah. Ibu malu. Sepertinya kamu perlu punya pacar, Nak,” lanjut Bu Jubaedah sambil membelai rambut tebal Anton.
“Lah, Anton sudah punya kan,” sahut Anton cengar-cengir.
“Iya kah? Kok ibu tidak tahu. Siapa?” tanya Bu Jubaedah dengan cepat, ada nada cemburu dalam suaranya.
“Ini,” Anton meraih dagu ibunya. mengecup lembut.
“Hmmmph,” Bu Jubaedah tidak bisa berkata-kata, karena bibirnya dikulum Anton.
“Kamu itu ya,” kata Bu Jubaedah sedikit terengah-engah, “jujur saja, ibu sudah tua, Nak. Tenaga ibu tidak akan sanggup untuk memuaskan kebutuhan kamu. Kamu perlu pacar, atau sekalian saja nikah!”
“Ya sudah, kita nikah saja
yuk!” ujar Anton spontan.
Pipi Bu Jubaedah kembali memerah, “jangan gila ah. Tidak mungkin. Dosa besar, anak menikahi ibunya sendiri. Tidak boleh!”
“Masabodoh dengan dosa. Anton sudah cinta sama ibu. Kita menikah di luar kota, pindah rumah sekalian!”
“Jangan! Jangan! Tidak boleh! Ibu tidak mau!” Bu Jubaedah menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ibu tidak cinta Anton? Terus kenapa ibu mau disetubuhi Anton? Atau sebenarnya ibu cinta ke si Herry?” Anton menatap ibunya, suaranya bernada tinggi.
Bu Jubaedah menghela napas panjang. Membelai-belai rambut Anton dengan sayang, “jangan buat ibu sedih, Nak. Ibu sayang kalian berdua. Bukankah ibu rela melayani kamu dengan rela hati. Cinta? Ibu tidak tahu. Tidak paham cinta. Yang pasti ibu bahagia bisa menyenangkan kamu. Tapi lama-lama ibu makin tua, ada waktunya di kemudian hari ibu tidak sanggup lagi melayanimu. Karena itu ibu bilang, kamu perlu punya pasangan hidup. Tapi tentu, ibu siap kalau kamu menginginkan tubuh ibu. Namun tidak setiap waktu!”
“Tapi Anton cuma menginginkan ibu!” sergah Anton sambil memeluk tubuh montok ibunya, mendaratkan ciuman bertubi-tubi.
“Iya, boleh. Kapan saja kamu mau ibu, tentu dengan senang hati melayani kamu. Tapi kamu juga harus kasihan sama ibu. Anton tega lihat ibu kehabisan tenaga melayani birahimu yang tidak ada habisnya? Contohnya saja sekarang, satu ronde saja ibu sudah lemas kewalahan!”
Anton terdiam. Menatap mata ibunya. Dia melihat kejujuran dan rasa sayang di matanya. Tiba-tiba dia teringat sesosok tubuh sintal menggairahkan. Tidak terasa dia tersenyum simpul.
“Kenapa tersenyum?” tanya Bu Jubaedah curiga, menatap wajah Anton dengan pandangan menyelidik.
“Tidak apa-apa,” sahut Anton sambil mengecup kening Bu Jubaedah, “Anton bisa kok menahan diri tidak setiap hari minta dilayani.”
“Mana bisa kamu tahan, ini buktinya,” Bu Jubaedah menggelinjang geli, merasakan jari-jari anaknya itu menyelinap di belahan pantatnya, membelai bibir vaginanya dari arah belakang.
“Memang
sih, siapa yang tahan dengan tubuh montok ibu,” desis Anton sambil nyengir. Menggigit leher montok ibunya sampai meninggalkan cetakan merah.
“
Nah kan. Makanya kamu perlu pasangan hidup. Carilah, atau mau ibu carikan? Neng Asih puterinya Bu Kokom sepertinya masih belum punya pacar. Anaknya baik, cantik dan punya pekerjaan pula!”
“Tidak usah, Bu. Nanti Anton cari sendiri. Lagi pula, kalau sama-sama bekerja, malah sama-sama capek kan,” sahut Anton, menggelengkan kepalanya. Sementara benaknya kembali terbayang Bu Farida.
Yaph, dia tidak usah susah-susah cari sarang burung lain. Toh, ada sarang burung seksi yang siap melayaninya ketika ibunya sedang tidak sanggup. Tapi tidak mungkin istri pak Haji Anas itu disebutkan ke ibunya. bisa-bisa ibunya pingsan begitu mendengar teman pengajiannya jadi teman tidur anaknya.
Tiba-tiba Bu Jubaedah menarik kepalanya sedikit menjauh, menatap wajah Anton seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Kenapa, Bu?” tanya Anton ingin tahu.
“Herry! Ibu khawatir dengan abangmu itu. sudah lima hari tidak ada kabarnya. Ibu WA sepertinya tidak dibaca, di telepon juga tidak diangkat. Besok coba cari tahu ya, Nak.”
“Biarkan saja. Bagus tidak pulang, jadi ibu aman tidak ketakutan terus,” sahut Anton dengan ketus.
“Kamu berdua sebelum kejadian itu sangat akur. Cuma karena ibu kemudian kalian berdua seakan kalau bertemu akan berkelahi. Ibu sedih kalau ternyata seperti itu. ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ibu harus pergi agar kalian berdua akrab kembali, ibu rela. Kalau ternyata adanya ibu malah membuat kalian berdua berkelahi,” kata Bu Jubaedah dengan mata berkaca-kaca.
Anton menghela napas dalam, dia meraih tubuh montok ibunya ke dalam pelukannya kembali, “ya sudah, besok Anton akan cari tahu. Tapi kalau nanti dia pulang kembali menyiksa ibu, jangan salahkan Anton kalau nanti berkelahi dengan dia.”
“Tidak mungkin dia mau menyiksa ibu. Ibu yakin Herry sebenarnya menyayangi ibu dan kamu juga. Yang dulu itu, m-mungkin dia khilaf. Kamu tidak usah khawatir,” bisik Bu Jubaedah dengan hati berdebar-debar aneh.
Entah kenapa tiba-tiba ia merasa rindu dengan perlakuan Herry ketika menyetubuhinya. Perlakuan kasar anak itu entah kenapa mendatangkan sensasi rasa nikmat yang lain. Herry memang tidak mempunyai keistimewaan seperti penis Anton. Tapi cara kasar dalam menyetubuhinya kenapa meninggalkan bekas nikmat yang aneh? Ahhh, apa ia sudah gila atau ia ada kelainan bisa menikmati siksaan ketika disetubuhi? Pikirnya dengan hati bingung.
Kau memang gila, Jubaedah. Rela disetubuhi anak sendiri bukankah sudah menunjukkan kelainan? Bisik hatinya sambil mencibir.
Duh, Gustiii, Bu Jubaedah menangis dalam hatinya. Makin menyembunyikan wajahnya di pelukan Anton.
Sesaat keduanya tidak berkata-kata. Hanya saling merasakan kehangatan tubuh masing-masing di dalam selimut. Lama kemudian, Anton mendengar dengkur halus dari ibunya. ternyata Bu Jubaedah telah terlelap dalam pelukan Anton.
Sebenarnya Anton masih ingin menyetubuhi kembali ibunya. satu ronde mana cukup buat dia. Tapi ketika melihat wajah lelah sang ibu dalam tidurnya, Anton tidak tega untuk membangunkannya. Mendadak dia merasa haus, dengan perlahan Anton menggeser tubuh montok itu dari posisi rebahan di pelukannya. Kemudian duduk di tepi ranjangnya, meraih segelas air putih yang sudah tersedia di meja di samping tempat tidur dan meminumnya dalam sekali tegukan. Hingga kemudian dia kembali merebahkan dirinya di samping ibunya, menarik selimut dan mencoba tidur.
Anton seakan baru sekejap tidur, ketika dia merasa terganggu oleh suara-suara aneh di sampingnya! Bahkan ranjang yang ditidurinya terasa sedikit bergetar. Suara aneh berupa erangan, rintihan dan geraman yang tertahan-tahan. Bahkan samar-samar dia mencium bau khas lendir birahi!
“Hrrrhsh!” terdengar geraman halus. Anton sangat mengenal suara itu. Suara Herry!
“Pelan-pelan, Her. Nanti Anton bangun … Owhsh!” desis situ jelas desis ibunya, ada nada khawatir di suaranya.
Tubuh Anton mendadak panas dingin. Antara murka, kecewa dan cemburu juga. Entah kenapa dia juga merasakan debar aneh. Debar aneh yang membangkitkan birahinya seketika. Penisnya mengeras dengan cepat, membayangkan tubuh montok ibunya sedang disetubuhi Herry tepat di sampingnya.
“Duhssh … jangan keras-keras, Nak. Shakiiit!” terdengar ibunya mengerang.
Bangsat anjing! Anton memaki-maki di dalam hatinya. Saat itu ingin rasanya dia bangun dan menerjang dua tubuh di belakangnya yang sedang mengayuh birahi itu. Namun saat itu dia sedang telanjang di dalam selimut dengan penis ereksi maksimal. Bagaimana dia bisa berkelahi dalam keadaan seperti itu!
Anton merasa tersiksa sekali. Tubuhnya gemetar hebat di balik selimut. Antara siksaan menahan hasrat juga amarah bercampur cemburu. Lama-lama akhirnya dia tidak tahan. Sambil menahan selimut untuk tetap menutupi tubuhnya. Dia berbalik, memuntahkan makian paling kotor yang bisa diingatnya.
“Anjing keparat
lu, Her!” raung Anton sambil membalikan tubuhnya dengan mata merah.
Dua tubuh yang sedang memeras peluh bersetubuh itu, tersentak kaget.
Tubuh Bu Jubaedah sedang dalam menungging dengan sebagian badannya rata di kasur. Bongkahan payudaranya menyembul seperti balon tergencet bantal yang di letakkan di dadanya. Sementara Herry dalam keadaan setengah jongkok dengan tubuh sedikit melengkung dengan kedua tangannya mencekik tengkuk ibunya, menekan dalam-dalam. Wajah Bu Jubaedah saat itu sedang memerah sedikit mengerenyit. Herry menoleh ke arah Anton sambil menyeringai.
“A-Anton …,” Bu Jubaedah membuka suara sedikit terengah-engah. Bingung, malu dan merasa bersalah.
“Jangan mau menang sendiri
lu, Ton.
Gue juga
kan pengen ngewe lon ….”
“Tutup mulut!” bentak Anton dengan wajah murka.
“Sori, ibu!” ralat Herry sambil nyengir. Kembali menggenjot dengan brutal vagina ibunya sambil meram melek.
“Kalau mau ngewe, ngewe sepuas
lu. Tapi cari kamar lain,
taik! Jangan di kamar gue! Dan
gue larang
lu sambil menyiksa ibu.
Lu ga kasihan? Tega
lu!” geram Anton dengan rahang mengeras.
“
Lah, ibu juga senang-senang aja,
ngapa lu yang sewot?”
Bu Jubaedah yang sudah merasa kepalang tanggung, menggeser tubuhnya sambil meraih tangan Anton yang berusaha menepis. Namun tangan ibunya begitu keras mencengkramnya. Menarik tubuhnya mendekat.
“Ma .. maafkan ibu, Nak. Ibu menyayangi kalian berdua. Kalau … kalau bisa membuat kalian berdua bahagia, i-ibu rela melakukan apa pun yang kalian mau,” ujarnya sambil membelai pipi Anton dengan penuh kasih sayang.
Anton kebingungan dan merasa tak berdaya. Menatap wajah ibunya dengan pipi memerah, dia merasakan hembusan panas dari napasnya.
“Anton … Naksssh,” Bu Jubaedah mendesah. Mata sayunya seperti menginginkan sesuatu, ia menggigit bibirnya yang merah basah.
Anton tidak tahan. Dia segera menarik kepala ibunya, memagut bibir merah basah itu dengan buas. Suara kecipak ciuman mereka berbaur dengan kecipak vagina yang sudah becek digempur penis Herry. Tangan Bu Jubaedah merayap ke balik selimut, mencari-cari sesuatu. Ketika sudah didapatnya, barang itu digenggamnya dan dikocoknya lembut.
“Anjing! Enak sekali jepitan memekmu, Bu!” geram Herry sambil menampar bolak-balik bongkah besar pantat Bu Jubaedah.
Anton mendelik gusar, ketika ibunya mengerenyit kesakitan. Herry pura-pura tidak melihatnya. Birahinya terasa sudah sampai di ujung penisnya, ngilu rasanya.
“Remas yang keras, Naaak,” Bu Jubaedah mengejang-ngejang oleh cumbuan ke dua anaknya. Ia sudah tidak malu-malu lagi. Otaknya sudah dibakar birahi sepanas-panasnya. Bibirnya melumat liar mulut Anton, bahkan menggigitnya.
“Owwhh-enghsssh!” Bu Jubaedah mengerang panjang. Tubuhnya tersentak-sentak oleh puncak orgasme yang nikmat sekali. Vaginanya berkedut-kedut memeras penis Herry yang juga mengejang menyemburkan mani kenikmatannya. Kemudian mencabut penisnya dan terguling di sisi lain tempat tidur sambil menghembuskan napas puas.
“Aku juga mau, Bu!” geram Anton dengan wajah merah.
“Ibu … hosh-hosh-hosh, istirahat dulu ya, Nak. Hoh-hosh-hosh. Biarkan … biarkan ibu mengambil napas dulu,” kata Bu Jubaedah masih terengah-engah.
“Tidak mau!” sahut Anton sambil bangkit. Menggulingkan tubuh ibunya dalam posisi telentang. Anton merenggangkan ke dua paha ibunya.
“Lap dulu, Nak,” kata Bu Jubaedah dengan suara lelah.
“Tidak mau!” kata Anton ketus.
Dengan hati marah dibakar cemburu. Anton sudah tidak perduli lagi dengan ibunya yang masih kelelahan tak berdaya. Dia mengarahkan penisnya ke belahan vagina ibunya yang sudah merah merekah, basah oleh banjir lendir cairan orgasme.
‘Sleeerp!”
Penisnya dengan lancar, menyusup masuk tertelan vagina Bu Jubaedah yang membusung kemerahan. Dengan ledakan amarah yang luar biasa, Anton menggenjot vagina ibunya dengan buas dan kejam.
Bu Jubaedah memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya keras-keras. Badanya terasa luluh lantak. Ia sedikit khawatir dengan genjotan ganas Anton, dinding-dinding rahimnya lecet atau bahkan terluka. Tapi ia tidak berani melarang anak itu, bahkan untuk sekedar meminta Anton menggenjotnya dengan lembut. Ia paham, Anton sedang sangat marah. Yang sekarang bisa dilakukannya adalah membuat tubuhnya rilek walau pun vaginanya terasa ngilu serasa terkoyak-koyak.
Anton menggeram-geram ganas. Dia terus menggenjot tanpa ampun vagina ibunya.
Tiba-tiba,
‘Plak!’
“Jangan ikut campur!” geram Anton dengan gusar. Menepis tangan Herry yang merayap hendak meremas-remas payudara ibunya. Belum puas menggenjot dalam posisi
missionaris. Dia mencabut penisnya.
“Sini naik!” perintahnya kepada ibunya yang membuka matanya terheran-heran.
“Ibu tidak kuat, Nak. Masih capek,” keluh Bu Jubaedah , tapi melihat kemarahan Anton, mau tidak mau ia harus menurut.
Bu Jubaedah perlahan bangkit, merayap naik ke atas tubuh Anton, memposisikan vaginanya di atas penis anaknya itu yang mengacung keras penuh dengan lendir.
‘Blesh!’
Bu Jubaedah mendongak sambil menggigit bibirnya merasakan rahimnya terasa amat sangat ngilu. Kemudian dengan sangat perlahan, ia mulai mengayun lembut pantatnya.
Herry mengawasi persetubuhan adik dengan ibunya itu dengan hati tertarik. Penisnya terasa bangun lagi.
“
Gue juga ingin lagi
nih!” kata Herry kemudian sambil bangun.
Anton dan Bu Jubaedah menoleh serentak dengan wajah bingung.
“Jangan macam-macam
lu.
Gue belum kelar!” geram Anton masih dengan wajah marah.
“Jangan, Her. M-me … memek ibu bisa robek, tidak akan muat,” kata Bu Jubaedah ketakutan.
“
Kan masih ada lubang yang satunya lagi,” sahut Herry santai. Meraih celananya dan mengambil sesuatu dari dalam dompetnya.
“Orang gila!” omel Anton sambil memberi isyarat agar ibunya kembali menggenjot. Namun bu Jubaedah tidak bereaksi, tubuhnya gemetaran sampai panas dingin. Ia maklum dengan yang dimaksud anak sulungnya itu soal ‘lubang yang satunya’. Ia merinding ketakutan. Mengawasi Herry yang sedang membuka bungkusan tipis yang bukan lain adalah kondom adanya.
Kondom itu dimasukan hingga ke pangkal penisnya, lalu dia bergerak ke arah belakang ibunya.
“Jangan, Her. Ibu belum pernah begitu,” rengek Bu Jubaedah ketakutan sekali.
Namun Herry sudah tidak perduli. Dia mendorong tubuh ibunya, mengangkat pantatnya dan mecolok-colok lubang pantat yang masih sangat rapat itu.
“Jangan, Riii,” Bu Jubaedah terus merengek-rengek, mencoba meronta. Namun tubuhnya sudah kelelahan. Dengan dorongan sedikit, tubuh montok yang gemetaran itu ambruk menindih tubuh Anton yang terbengong-bengong.
“Akkkhhh! Sha-khittt!” Bu Jubaedah menjerit hampir pingsan. Merasakan lubang pantatnya didesak benda tumpul yang memaksa menerobosnya.
“Anjing! Seret
banget!” Herry mengomel-omel sendiri. Terus menekan-nekan penisnya yang terselubung kondom agar bisa menerobos lubang pantat ibunya.
‘Prrrt’
Bu Jubaedah menggigit bahu Anton keras-keras, menahan jeritannya. Lubang pantatnya terasa sangat sakit sekali.
“Engggh, enaknyaaa!” Herry mengerang merasakan jepitan lubang pantat ibunya yang seperti hendak memenggal putus batang penisnya. Dia mencengkram bongkahan pantat ibunya yang sudah merah-merah. Menggenjotnya lubang pantat tersebut dengan susah payah saking seretnya.
Anton tidak mau kalah, didera sensasi aneh yang membuat dirinya berdebar-debar oleh rangsangan hebat dari perlakuan kakaknya menyetubuhi ibunya melalui lubang pantat. Dia segera ikut mengayunkan pantatnya.
Yang paling tersiksa tentu saja Bu Jubaedah.
Kalau boleh memilih, ia jelas memilih pingsan. Agar tidak merasakan sakit, geli dan ngilu secara serentak seperti itu.
Tubuh montok itu terjepit tidak berdaya ketika dua lubangnya digenjot habis-habisan oleh dua batang penis perkasa.
Persetubuhan gila antara ibu dan ke dua orang anaknya itu seakan hendak membuat tempat tidur tersebut ambruk oleh kekuatan dahsyat mereka bertiga.
Jerit kesakitan. geraman. Erangan juga rintihan. Bercampur baur.
Sensasi nikmat yang berlipat-lipat lebih dari biasanya, membuat mereka bertiga dengan cepat hampir mencapai puncak kenikmatannya masing-masing.
Anton mencengkram payudara ibunya yang menggelembung tergencet tubuh mereka berdua. Dengan buas, dia melumat bibir Bu Jubaedah yang mendesah-desah pasrah.
Dua batang penis, menyentak dan menekan sekuat-kuatnya ke dalam dua lubang. Dua raungan berkumandang diiringi jeritan nikmat.
Tiga tubuh ambruk bertumpang tindih. Anton yang posisi badannya paling bawah mengap-mengap keberatan.
Sesaat kemudian Herry mencabut penisnya dan terguling terlebih dahulu. Melepas kondomnya dan membuang sembarangan ke lantai kamar. Diikuti tubuh montok Bu Jubaedah turut terguling di tengah-tengah ke dua anaknya, mengap-mengap kehabisan napas.
Walau pun tubuhnya terasa hancur luluh, capek dan lelah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merah kepala ke dua anaknya tersebut ke pelukannya.
“Ibu lelah sekali … hhh-hhh. Tapi ibu bahagia sekali bisa melayani kalian berdua. Tapi ..,” ia menarik napas sejenak. Kemudian lanjutnya, “ibu harap kalian jangan pernah berkelahi atau marah-marahan antara kalian berdua. Ibu tentu akan sedih sekali. Kalian berjanjilah. Kalau kalian berdua kembali akur seperti sebelumnya. Apa yang kalian berdua mau, ibu akan melayani kalian berdua sepenuh hati. Berjanjilah!”
Bu Jubaedah menoleh ke kanan dan kirinya, menatap penuh rasa sayang ke dua anak bujangnya yang kini seperti macan jinak di pelukannya.
”Syukurlah!” ujar Bu Jubaedah dengan hati senang ketika Herry dan Anton mengangguk, “ibu sangat menyayangi kalian berdua, bagi ibu kalian adalah anak-anak sekaligus suami-suami ibu,” lanjutnya dengan suara perlahan, ada rona merah di pipinya, “tapi ada yang perlu ibu katakana,” lanjutnya sambil tangannya membelai pipi masing-masing anaknya, “kalian harus memahami, bahwa ibu tidak mungkin bisa melayani kamu berdua setiap hari, apalagi sampai keroyokan seperti barusan. Ampun, ibu tidak sanggup. Kamu berdua harus punya pasangan hidup, kalau belum ada, nanti ibu carikan dari anak-anaknya teman pengajian.”
“Aku sudah punya, Bu,” sahut Herry yang kemudian bangkit, turun dari pembaringan. Memakai celana kemudian melangkah dan … terpeleset kondom yang dilemparnya sembarangan tadi.
Di tengah makian marah-marah dari Herry, ditimpali suara tertawa dari Bu Jubaedah dan Anton.
“Siapa gadis itu, Her? Bisa dikenalkan ke ibu?” tanya Bu Jubaedah.
“Annisa!” Herry menjawab pendek, sedikit meringis sambil mengusap-usap sikunya yang dipakai menahan tubuh waktu jatuh terpeleset.
“Annisa mana?” Anton yang kini bertanya dengan hati tertarik.
“Annisa bini Bos Ferdian,” kekeh Herry sambil menyeringai.
Bu Jubaedah beristighfar dengan wajah kaget, “aduuuh! Jangan ganggu istri orang
atuh, Nak. Apalagi orang yang sudah kasih kamu pekerjaan!”
“Bos Ferdian
ga doyan
cewek, Bu. Dia gay. Makanya Nisa kesepian, kasihan
kan.”
“Hah! Gay?” hampir bersamaan, Bu Jubaedah dan Anton berseru kaget, menatap Herry dengan wajah tidak tidak percaya.
Herry mengangguk, dia menatap Anton sambil tersenyum, “Nisa sering
nanyain lu juga, Ton.
Kayaknya Nisa tertarik juga sama
elu. Kalau
lu berminat,
gue mau kok berbagi. Baik kan
gue!” katanya sambil tertawa.
“
Gue juga udah punya kok,” sahut Anton sambil nyengir.
“Siapa?” kini Bu Jubaedah dan Herry yang bertanya penasaran.
Anton berpikir sejenak, kemudian menggeleng, “sepertinya tidak usah dikatakan!”
“Berarti
lu boong. Tidak usah malu-malu lah. Nisa memang sepertinya menyukai
elu, Ton. Siapa
tau Nisa suka juga main keroyokan,” kekeh Herry sambil melangkah menuju keluar kamar.
“Edan
lu!” maki Anton.
“Ibu bisa minta tolong ambilkan ibu minum, Her? Ibu
capek banget sudah tidak ada tenaga lemas sekali rasanya!” seru Bu Jubaedah, Herry menjawab dengan anggukan.
“Siapa gadis itu, Nak? Jangan sampai istri orang juga. Jangan mengganggu rumah tangga orang lain. Itu tidak baik!” kata Bu Jubaedah menatap Anton dengan pandangan menyelidik.
“Bukan siapa-siapa, Bu. Ibu tenang saja,” sahut Anton sambil membelai rambut Bu Jubaedah, mengecup keningnya, kemudian memagut bibir ibunya itu untuk menghalangi agar ia tidak bertanya terus.
“Katanya
capeeek!” sindir Herry sambil meletakkan segelas besar air putih di meja kamar.
“Cuma ciuman
kok!” jawab Bu Jubaedah dengan wajah malu. Melepaskan bibirnya dari dari pagutan Anton yang cuma nyengir.
---
Begitulah akhirnya yang terjadi di hari-hari selanjutnya. Bu Jubaedah membatasi hasrat anak-anaknya dalam menggauli tubuhnya tidak sebebas-bebasnya. Kadang ia harus melayani hasrat
nyeleneh Herry yang ketagihan dengan lubang pantatnya. Kadang juga ia dengan berat hati harus mengingatkan Anton akan keterbatasan tubuhnya ketika Anton yang bernafsu dan bertenaga besar meminta tambah.
Pada pagi hari setelah persetubuhan luar biasa semalam. Anton berangkat bekerja sambil menyalakan handphonenya. Membaca beberapa
chat, termasuk balasan dari Bu Farida yang singkat.
Sambil memanaskan mesin motor, Anton iseng mengetik :
‘
kok iya doang? Pak Haji berapa hari di situ? Suruh pergi aja, biar Anton ntar malam bisa ke situ’ dibubuhi
emot tertawa.
Ketika pemuda itu hendak menjalankan motornya, handphonenya bergetar. Penasaran dia melihat notif WA di layarnya.
‘
hush’ balasan pendek dari Bu Farida.
Anton tertawa kecil. Dia tidak berniat langsung membalasnya. Nanti sore saja sepulang kerja, pikirnya.
Pemuda itu tidak tahu. Untuk balasan sependek itu saja, Bu Farida sampai mengucurkan keringat dingin, bersembunyi sambil menahan napas di kamar mandi. Sekitar sejam ia berada di dalam kamar mandi, barangkali Anton kembali membalas. Tunggu tinggal tunggu, profil
chat tidak kelihatan
online.
Diam-diam, Bu Farida menghela napas kecewa. Sebelum menghapus
chat tersebut, ia buru-buru menyimpan kontak Anton. Begitu tersimpan, foto profil kontak pemuda itu muncul. Foto Anton di atas motor sambil tersenyum menatap ke arah si pemoto.
Melihat wajah dan senyum pemuda itu, tiba-tiba Bu Farida tersenyum sendiri, seakan membalas senyuman di foto profil WA tersebut. Ia berdebar bahagia melihat foto pemuda itu. Rasa kecewanya karena Anton tidak membalas
chatnya tergantikan oleh foto tersebut.
Aduuuh, aku ini kenapa? Bisik hati Bu Farida dengan bingung dan malu.
Ahhh, orang yang sedang jatuh cinta memang suka membingungkan, Bu Hajjah.
Sambil berdandan, mata perempuan setengah baya yang masih cantik itu tanpa henti melihat handphonenya yang tergeletak di meja rias di kamar, berharap berkedip oleh notif
chat WA. Layarnya memang berkedip-kedip menginfokan deret
chat yang baru masuk. Namun tidak ada satu pun
chat dari si ‘
Dia’.
Pagi itu, dengan di temani pak Haji Anas. Bu Farida berangkat menuju ke rumah sakit. Di jalan, Pak Haji menyetir sambil menerima telepon entah dari siapa. Bu Farida yang duduk di depan, samping Pak Haji tidak terlalu memperhatikan. Ia sibuk dengan handphone dan harapan yang tetap sia-sia.
“Zizah sudah duluan di rumah sakit, menunggu di parkiran,” kata Pak Haji memberi tahu.
“Oh, iya,” gumam Bu Farida tidak terlalu memperhatikan ucapan suaminya. Ia sedang asik melihat status Anton di tempat kerjanya.
‘
Senin yang sibuk’ begitu bunyi
caption-nya status Anton tersebut. Dengan foto dirinya dikelilingi banyak dus-dus bertebaran. Sedang tertawa sambil mengacungkan dua jari.
Entah kenapa, melihat foto Anton sedang tertawa, Bu Farida ikut tersenyum. Untung saja suaminya sedang berkonsentrasi ke jalan raya yang macet, tidak memperhatikan tingkah laku istrinya yang tidak biasanya.
Sesampainya di parkiran mobil rumah sakit, begitu keluar dari mobil. Tampak dua orang perempuan yang salah satunya melambai-lambaikan tangan di samping mobil Inova warna putih dan tampak menggendong bayi. Bu Farida mengenal salah satunya. Ia menoleh ke suaminya dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Lho, bukankah sudah kubilang tadi Zizah sudah menunggu di parkiran rumah sakit,” kata Pak Haji Anas balik menatap dengan kening berkerut.
“Ah, iya,” Bu Farida mengangguk kebingungan, mengingat-ingat kapan suaminya mengatakan hal tersebut.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa seorang perempuan muda yang menggendong bayi, mencium tangan pak Haji Anas juga mencium tangan Bu Farida yang membalas salam sambil tersenyum. Keduanya kemudian cipika-cipiki.
“Lama menunggu, Dik Zizah? Sini Farhan biar ibu gendong,” tanya Bu Farida sambil meraih bayi di pelukan madunya. Ke empat orang itu berjalan beriringan, dengan Azizah tampak menggelendot manja di tangan pak Haji Anas.
Bu Farida yang mengikuti dari belakang bersama-sama dengan perempuan tua yang sepertinya asisten rumah tangga Azizah yang tidak dikenalnya, menghela napas. Bagaimanapun, dua puluh lima tahun bersama, dan melihat suaminya digelendotin perempuan muda seumuran Aisyah anaknya. Jelas ada rasa cemburu di hatinya.
Ia mengalihkan pandangannya ke wajah bayi mungil di pangkuannya. MenciBunda dengan gemas, tapi mendadak ia agak tertegun dengan wajah bayi itu. Entah kenapa, menurut perasaannya, wajah bayi itu tidak ada mirip-miripnya dengan suaminya. Dari rambut, kening, mata, hidung … semuanya. Tak ada satu pun bagian dari bayi tersebut ada kemiripan dengan pak Haji Anas! Hati Bu Farida berdebar-debar. Memandang lenggok madunya dari belakang dengan pikiran menduga-duga.
Ah, biarlah, anak ini siapa pun ayahnya, tidak berdosa sama sekali, pikirnya di dalam hati sambil mencium gemas pipi gembul bayi tersebut, sebelum menyerahkannya ke pelukan asisten rumah tangga Azizah Karena bayi mau pun anak kecil di larang masuk ke dalam rumah sakit.
Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor rumah sakit, dengan Bu Farida mengikuti dua orang itu. azizah asik berceloteh bercerita tentang apa saja yang tidak satu pun dipahami Bu Farida.
Ketika mereka berbelok di persimpangan koridor, mendadak Bu Farida melihat satu bangunan yang membuat jantungnya berdetak kencang dan langkahnya sedikit melambat. Pipinya merona merah.
Mana mungkin ia akan bisa melupakan bangunan itu, walau pun malam itu keadaan remang-remang. Bangunan tersebut mengingatkannya akan sebuah adegan mendebarkan yang sekarang membuat seluruh rambutnya seakan meremang. Kenangan yang di hatinya yang paling dalam, diakuinya begitu menggoda, mendebarkan, menggairahkan.
Setelah berhenti, mengawasi bangunan tersebut sejenak, dengan langkah terburu-buru ia segera melangkah menyusul ketika menyadari suaminya menoleh kepadanya.
“Agaknya Dik Zizah untuk sementara tidak usah masuk ke dalam, Abi,” kata Bu Farida hati-hati, takut madunya tersinggung.
Pak Haji Anas, menghela napas dengan wajah muram, “kamu tunggu saja di sini ya, Dek,” katanya kemudian kepada Azizah yang tersenyum sambil mengangguk.
Diam-diam Bu Farida, mau tidak mau harus memuji kecantikan madunya itu. wajahnya memang cantik sekali. Kecantikan khas timur tengah. Di dalam hatinya ia masih heran, perempuan secantik itu mau-maunya dinikahi buntelan kentut seperti suaminya ini.
Dengan langkah gemulai, Azizah menuju bangku tunggu di koridor ruangan pasien. Mengeluarkan handphonenya dan asik sendiri dengan dunianya.
Masuk ke ruangan pasien, tampak Cahyo tergeletak tak berdaya. Tubuhnya penuh balutan. Wajahnya terlihat pucat. Pemuda itu tersenyum menyambut kedatangan ke dua orangtuanya.
Tiba-tiba handphone Pak Haji Anas berdering, dia memberi isyarat ke Cahyo dan istrinya untuk mengangkat telepon di luar kamar pasien.
Beberapa lama kemudian, dia masuk kembali. Duduk di kursi di samping ranjang pasien. Menatap Cahyo sejenak kemudian mengawasi Bu Farida yang sedang mengeluarkan barang-barang kebutuhan menjaga Cahyo.
“Barusan Abi ditelepon salah satu jamaah pengajian Abi,” kata pak Haji Anas membuka percakapan. Kemudian lanjutnya, “dia memberi tahu ada kenalannya yang ahli patah tulang di daerah Sukabumi sana.”
“Sukabumi?” Bu Farida menghentikan kesibukannya sebentar.
Pak Haji mengangguk, “iya. Dia akan menjamin semuanya sampai Cahyo sembuh.”
“Sukabumi jauh sekali, Bi,” tukas Bu Farida dengan nada sedikit tinggi, “luka-luka Cahyo tidak mungkin bisa sekali sembuh dengan sekali datang. Bagaimana bisa Cahyo dibawa bolak-balik ke Sukabumi sana!”
“Dengarkan dulu,” potong pak Haji dengan nada tegas, “Cahyo tidak dibawa bolak-balik, dia tinggal di sana untuk dirawat sampai sembuh.”
“Tapi … ,” protes Bu Farida, namun pak Haji mengangkat tangan sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
“Dalam penanganan rumah sakit, abi sudah berkonsultasi dengan dokter ortophedi. Cahyo paling cepat pulihnya dalam setengah tahun. Sedangkan menurut jamaah abi itu, Cahyo bisa sembuh dalam setengah bulan, atau sebulan paling lama.”
“Tapi, sebulan di Sukabumi … ,” Bu Farida terlihat ragu-ragu.
“Hanya Cahyo yang menginap di sana,” sahut pak Haji Anas.
“Iya, Bun,” tiba-tiba Cahyo turut bersuara, “di sana tidak disediakan penginapan untuk para penunggu pasien.”
“Kamu tahu?” tanya Bu Farida tercengang.
“Iya, Bunda masih ingat Sony yang motornya tabrakan? Dia kan kakinya patah di tiga bagian, terus dibawa ke Sukabumi, Cahyo kan yang mengantarnya ke sana. Tiga hari saja, kakinya yang patah sudah bisa nendang bola,” kata Cahyo sambil tertawa.
“Nah itu kamu bisa menunggu Sony selama tiga hari, berarti Bunda juga bisa menemani kamu di sana, tidak apa-apa harus menginap di penginapan juga selama sebulan,” ujar Bu Farida.
“Beda situasinya, Bun,” Cahyo menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil sedikit mengerenyit merasakan rasa sakit, “tempatnya di pelosok, Bun. Jauh banget dan di sana tidak ada penginapan. Cahyo bersama teman-teman yang lain kan menginap di rumah penduduk kampung di sekitar padepokan patah tulang itu. Sudah, tidak apa-apa, Bun. Cahyo ke Sukabumi saja daripada tergeletak setengah tahun di rumah sakit. Ampuuun, Cahyo tidak sanggup.”
“Nah, itu baru laki-laki jantan,” pak Haji Anas mengacungkan jempolnya ke arah Cahyo dengan hati senang.
“Kalian berdua itu ya … ,” Bu Farida melotot gemas ke dua laki-laki tersebut.
Pada akhirnya, setelah berdebat sejenak dengan pihak rumah sakit. Esok harinya Cahyo diijinkan untuk dibawa pihak keluarga pasien, dengan menyewa sebuah ambulan menuju Sukabumi. Ambulan tersebut diikuti mobil Fortuner yang dikendarai suami Aisyah, yang di dalamnya berisi pak Haji Anas, Bu Farida juga Aisyah. Azizah, istri muda pak Haji tidak diperbolehkan ikut, mengingat masih punya bayi dan hubungannya yang kaku dengan Aisyah mau pun Cahyo.
Di tengah perjalanan. Bu Farida yang sedang melamun, mendengar nada pelan dari handphonenya yang berada di dalam tas kecil di pangkuannya. Ada
chat WA masuk dari layar handphonenya yang berkedip.
Chat dari Anton!
Dengan hati berdebar, Bu Farida melirik suaminya yang tertidur pulas, kepalanya bersandar ke tepi kabin di ganjal bantal empuk. Sementara di depan sana, Aisyah sedang asik bercakap-cakap dengan suaminya sendiri.
Dengan handphone masih di dalam tas kecilnya, jarinya menyentuh layarnya. Membuka
chat dari Anton sambil matanya kadang melirik ke arah suaminya.
‘
Assalamu’alaikum, Bu Hj Tersayang’
Wajah Bu Farida menghangat oleh rona merah.
‘
Kata ibu, bu hj tersayang sedang ke Sukabumi mengantar Mas Cahyo berobat ya. Cepat pulih lagi Mas Cahyonya, tapi tentu di Sukabuminya lama ya. Anton kangen banget’ emot menangis.
Bu Farida kembali celingak-celinguk sebelum menunduk menyentuh huruf-huruf virtual dengan susah payah karena posisi handphonenya masih di dalam tas.
‘
tidak lama, mengantar saja’
Buru-buru
chat obrolan itu dihapusnya.
Tapi muncul
chat baru, cepat sekali anak itu mengetik balasannya.
‘alhamdulillah, kita bisa puas kangen-kangenan dong’ emot love.
Bu Farida kebingungan hendak membalas apa. Di saat ia masih kebingungan. Muncul lagi
chat-chat dari pemuda itu dengan cepat.
‘
Nanti bilangin pak Haji suruh di istri mudanya saja’
Bu Farida hampir tertawa.
‘
Biar Anton puas bisa memeluk kesayangan’
‘Anton kangen kayak waktu di rumah sakit kemarin itu’
‘Mangku kesayangan, meluk, cium’
Bu Farida cepat-cepat mematikan handphone-nya dengan hati berdebar-debar. Wajahnya memerah, ada rasa takut, cemas, bingung, tapi ada senyum tersembul di bibirnya.
Padepokan tempat mengobati patah tulang itu benar-benar berada di pelosok yang jauh dari mana-mana. Ke dua mobil itu merayap mendaki jalanan yang jeleknya bukan main. Ketika memasuki perkampungan, sebagian dari rumah-rumah penduduk masih berupa rumah panggung.
“Kalau tidak melihat sendiri, sukar dipercaya masih ada kondisi rakyat yang masih seperti ini,” gumam Andi, suaminya Aisyah.
Akhirnya, mereka sampai ke halaman sebuah rumah semi permanen yang besar dan luas. Halaman rumah tersebut, tampak belasan orang sedang duduk atau bergeletakan di balai-balai yang tersedia di situ. Rata-rata anggota tubuh mereka terbebat kain atau kulit pohon. aneh rasanya melihat pemandangan tersebut. Mereka seperti baru saja memasuki kamp pengungsian perang.
Mereka di sambut oleh empat orang pria yang tanpa berkata-kata menggotong tubuh Cahyo yang tergeletak tak berdaya di atas brangkar ambulan. Bu Farida dan Aisyah mengikuti empat orang itu masuk ke dalam rumah. Sementara pak Haji Anas dengan di temani Andi, bercakap-cakap dengan seseorang pria tua yang agaknya usianya sudah lanjut sekali.
Bau ramuan yang menyengat, menyambut mereka.
Bu Farida melihat sebuah ruangan luas di tengah rumah tersebut. Di mana lebih banyak orang sedang bergeletakan di atas balai kayu yang tersebar tidak teratur. Terdengar rintihan kesakitan di mana-mana.
Sesampainya di depan sebuah panggung sederhana. Bau ramuan sangat menyengat tercium, sampai Bu Farida dan Aisyah sedikit menahan napas. Brangkar di letakan di bawah panggung tersebut, kemudian tubuh Cahyo dengan hati-hati diletakan di atas panggung. Salah seorang dari para pria itu berbalik menghadap ke Bu Farida dan Aisyah.
“Cukup sampai di sini sajah, Eneng berdua mengantar,” kata pria itu dengan logat sunda yang kental, “percayakan kepada kami untuk mengobati si Ujang kasep ini sampai pulih kembali!”
Bu Farida mengangguk, kemudian menghampiri Cahyo yang sedang meringis-ringis, duduk di samping anaknya tersebut dengan sedih.
“Kamu masih bisa berubah pikiran, Yo. Kalau ragu-ragu di sini, kita pulang lagi,” kata Bu Farida sambil membelai rambut anak itu dengan penuh kasih sayang, Cahyo yang segera menggeleng.
“Cahyo di sini lebih cepat sembuhnya, Bun. Percayalah, Cahyo sudah melihat buktinya langsung,” tekad pemuda itu sambil tersenyum, kemudian katanya dengan setengah berbisik, “kalau Bunda mau lebih yakin, kecelakaan yang Cahyo alami itu, sudah di ramalkan oleh Abah yang mengobati Sony dulu itu!”
“Jangan ngaco kamu!” seru Aisyah dengan wajah ngeri.
“Serius, Kak. Aslinya!” Cahyo kemudian menceritakan secara singkat yang dialaminya.
Bu Farida dan Aisyah saling pandang, antara percaya dan tidak percaya.
“Memang benar, Neng. Abah itu mempunyai karomah yang sakti sekali. Jadi Eneng berdua tidak usah khawatir, si Ujang Kasep ini kami jamin akan pulih seperti sedia kala,” kata pria yang tadi berkata tersenyum, “sekarang, silahkan untuk keluar, agar kami bisa mempersiapkan si Ujang untuk pengobatannya.”
Dengan berat hati, Bu Farida dan Aisyah akhirnya berjalan menuju ke luar ruangan tersebut setelah Cahyo menenangkan mereka dengan menunjukkan handphonenya, berjanji akan selalu memberi kabar kemajuan pengobatannya.
IKLAN :
(SEPERTINYA ANE TERTARIK UNTUK MEMBUAT SPIN OFF TENTANG CAHYO … Dengan catatan mood dan idenya tersedia … he-he)
Singkat cerita, dalam perjalanan pulang, mereka berempat bercakap-cakap tentang padepokan tersebut, terutama seperti yang diceritakan Cahyo kepada Bu Farida dan Aisyah.
“Bagaimana menurut Abi hal-hal yang seperti itu di jaman modern seperti ini?” tanya Andi kepada bapak mertuanya.
“Hal semacam itu tidak terkait jaman, Andi,” kata pak Haji Anas dengan suara perlahan. Kemudian lanjutnya, “itu akan terus ada sampai
yaumil akhir. Point pentingnya adalah bahwa apakah keistimewaan mereka itu berlandaskan Ketuhanan atau tidak. Seperti yang kamu tahu tadi ketika kita bercakap-cakap dengan si Abah, Abi yakin sepuh itu pernah mengenyam pesantren. Jadi, kalian tenanglah, Cahyo berada dalam tangan yang tepat. Melihat Abah sepuh itu menggunakan anugerah istimewanya untuk membantu sesamanya. Itu tentu kebaikan yang sangat berpahala sekali,” tutupnya. Pak Haji Anas tidak menambahkan percakapan rahasia antara dirinya di Abah Sepuh yang tidak didengar oleh Andi. Bahwa si Abah meminta ijin kepada dirinya untuk menahan Cahyo lebih lama di padepokan. Karena menurut Abah, dia melihat potensi dari Cahyo yang mempunyai bakat lebih dari seorang pemuda kebanyakan.
Awalnya, pak Haji Anas keberatan dengan maksud Abah Sepuh. Namun orang tua lanjut usia itu membisikan sesuatu kepadanya yang membuatnya ternganga tak percaya. Dan bisikan itu tentu mengenai Azizah, istri mudanya! Karena kemudian dia sibuk menelepon Azizah dengan rahang mengeras.
Suasana di dalam mobil mendadak hening dan kaku, mendengar nada keras pak Haji Anas yang sedang menelepon.
“
Wa’alaikumsalam, kamu di mana, Dek?”
“Di rumah? Yakin? Bukannya sedang menonton di AEON Mall sama si Rizal?” nada pak Haji Anas terdengar sangat sinis sekali. Telepon ditutupnya dan digenggamnya dengan keras.
“Tidak usah mampir-mampir lagi, Ndi. Langsung antar Abi ke rumah, dan kalian tidak usah ikut mampir, langsung pulang!” putus pak Haji Anas dengan suara tegas.
Kalau pak Haji Anas sedang marah, tidak ada seorang pun yang akan berani interupsi walau sebenarnya ingin sekali mereka mengetahui apa yang terjadi.
“Siapa Rizal, Bun?” tanya Aisyah di dalam perjalanan seusai mengantar Abinya turun di rumah istri mudanya.
“Entahlah, bunda juga tidak kenal,” sahut Bu Farida dengan wajah bingung. Diam-diam ia kembali teringat kebingungannya ketika menggendong anak tirinya itu yang tidak ada kemiripan sama sekali dengan suaminya. Hmmm, jangan-jangan …Bu Farida cepat menendang jauh-jauh su’udzonnya sambil beristighfar.
Gerimis turun bertepatan dengan tibanya Bu Farida di rumahnya ketika waktu menunjukan pukul 10 malam.
“Aisyah
ga mampir ya, Bun. Besok ada
meeting,” kata Aisyah sambil mencium tangan Bu Farida yang hanya mengangguk.
Setelah menyalakan lampu, Bu Farida masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap pergi mandi. Karena tubuhnya terasa sangat lengket sekali, ketika mendengar bunyi dering handphone yang masih berada di dalam tas.
Karena masih kepikiran tentang tindak-tanduk aneh suaminya. Bu Farida yang sudah mengenakan handuk, mengambil handphonenya, barangkali ada berita dari suaminya itu. namun ketika melihat si pemanggil, wajah Bu Farida berubah merah. Hanya sayang, panggilan itu berhenti sebelum diangkatnya. Antonlah si penelepon itu.
Di layar ada notif
chat WA.
‘Kesayangan, Anton di depan nih
’
Deg. Jantung Bu Farida seakan mau copot membaca
chat dari Anton tersebut. Terdengar guntur menggelegar di luar sana disertai gemuruh hujan deras. Ia menarik napas lega. Segera mengetik balasan.
‘
Jangan becanda ah. Bikin panik aja.’
‘Lah, beneran tuh’