Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DOSA-DOSA BERKARAT (TamaT)

kembangin jg cerita iparnya anton dan ibunya
Wah, bisa nambah episode atuh, Gan
:ampun:
Masih menunggi
Sabar, Hu. Malam Minggu kita ngopi sambil :baca:
:banzai:
Menanti petualangan Herry sama Anton nih,, bakal ada threesome ga yaa
Ntar jadi spoiler dong, Gan... Ahaha
:beer:
Nyimak keren ceritanya
Terima kasih udah mampir, Hu
:beer:
Nyimak aja
Terima kasih udah menyempatkan mampir, Hu
:beer:
Up kurang panjang ceritanya..
Kalo kepanjangan, malah kaga kelar lagi, Gan...
:ampun:
Monitoring & Obeservasie
Malam Minggu ngopi-ngopi, Gan
:beer:
D tunggu hh
Malam Minggu pukul 9 malam ajah, Hu
:banzai:
Hmmmm
Enak bacanya
Ikutan ndeprok disini om
Terima kasih banyak udah mampir, Hu
:beer:
Nunggu mamang suhu sambil netek calon ibu mertua bolehlah dicoba 😁
Bagi atuh, Gan... Hiji sewang... Ahaha
:nenen:
Hu kamana wae?? Turut bahagia suhu lejen is backk
Ripuhhhh skripsi, Brader...
:ampun:
C mamang yusua sbrh euy nepi k bisa nyekil stw umur 54th??. Salut euyyy
Sataum gerilyana ge, Kang...
Tapi memuaskan.
. Ahaha
:beer:
Mangga d lanjutt ki @Jaka_Balung 😁😁😁
Malam Minggu, Gan. Kita gelar tiker ngopi-ngopi
:beer:
:haha:Terima kasih tips nya suhu.
Bukan tips itu mah, cuma berbagi pengalaman ajah, smangaaat, Gan
:banzai:
monggo dilanjoet
Satu episode nan panjang, Gan...
2 batang rokok sama kopi pekat...
:beer:
mantap, lanjut terus
Cuma tinggal 1 episode lagi, Gan 😁
Titip jejak dulu
Terima kasih udah mampir, Hu
:beer:
 
Ki @Jaka_Balung tdinya ane iseng2 doang huu, 2011 kan masih aga susah nyari2 cuan, krna ane demen bisnis dn jga doi suka bisnis, yaa intinya sama2 dapet keuntungan finansial, yaa soal ekse mahh durasi 4bln jalan kira2... Tau lah org lemur ulin k tengah gmana hehe, antara baik2 dan bangor,, tpi kita gak terlalu sering ekse jga sihh, yaa lebih ke selingan usaha aja..
Mantap pisan, Hu...
Simbiosis mutualisme eta teh namina...
Sok atuh ceritakan bagaimana awal mulanya... Asik pisan sigana
:beer:
 
pantes tulisannya tema kek gini, ternyata penulisnya punya fetish stw juga wkwkwkwk. kebanyakan yg suka mantengin forum keknya pada punya fetish yg sama termasuk ane xixi
 
pantes tulisannya tema kek gini, ternyata penulisnya punya fetish stw juga wkwkwkwk. kebanyakan yg suka mantengin forum keknya pada punya fetish yg sama termasuk ane xixi
Aslinya, Gan. Tantangan adrenalinnya lebih dahsyat dan nikmat dengan stw mah. Ane pernah ma gadis muda, beberapa kali, walopun belom pernah dapet perawan. Nah, cewek-cewek muda mah lebih ke kepuasan birahi yang biasa aja selain kebanggaan. Kalo stw, dah Mateng itu mah, udah paham banget dan ga malu-malu lagi. Bukankah kepuasan hqq kayak gitu yang kita cari? Wkwk.
Btw, agan ada pengalaman sama stw, berbagi yuk di sinih...
:beer:
 
kagak hu, ane mah cupu. kenakalan paling banter sebates ngebokep doang wkwkwkwk. ga berani ane sama konsekuensinya, apalagi kalo sama binor. cuma jadi fantasi yg ga berani ane wujudin, takut ketagihan juga kalo udah sekali nyobain wkwkwkwk
 
kagak hu, ane mah cupu. kenakalan paling banter sebates ngebokep doang wkwkwkwk. ga berani ane sama konsekuensinya, apalagi kalo sama binor. cuma jadi fantasi yg ga berani ane wujudin, takut ketagihan juga kalo udah sekali nyobain wkwkwkwk
Sungguh anak yang baik.
Ane juga ga berani kalo ma binor mah, serem. Ha ha ha
Padahal ada 2 binor stw yang nungguin di ekse, cuman ane tarik ulur. Blom berani nyalinya. Untung rumahnya pada jauh-jauh, paling sekedar vcs doang. Mendingan ma janda aja dah, aman tentram dan dameyyy... Wkwk
 
Bagian ke III (TamaT)​



….

“Aaakh!” Annisa menjerit kesakitan mendapat jambakan kasar Herry yang disertai gigitan keras di putingnya.

“Oh, maaf, Nisa. Sakitkah?” Herry mengangkat wajahnya, mulutnya belepotan air susu yang menyemprot dari puting perempuan itu.

“Tidak … tidak apa-apa, enak sekali, Her. Teruskan!” engah Annisa dengan wajah merah dibakar api birahi. Sensasi rasa sakit dan nikmat secara bersamaan membuatnya hampir gila. Disetubuhi sambil disiksa seperti itu ternyata membangkitkan gairah seksnya lebih dahsyat dari biasanya.

Dengan posisi menungging di tepi ranjang, ternyata Herry masih bisa menggapai payudara Annisa dengan mulutnya. Tapi jelas itu menguras tenaganya, pinggangnya terasa panas.

Genjotan penisnya di vagina Annisa mulai perlahan.

“Owhhh, genjot yang keras, Herry Bangsat! Cepaaat!” lenguh Annisa sambil memaki-maki.

“Pinggangku pegal, Nisa. Berbaliklah, duduk ngangkang di tepi pembaringan,” kata Herry nyengir.

“Tanggung, Her. Lagi enak-enaknya. Ayolah, jangan memaksa untuk menyusu, berdiri biasa saja,” gerutu Annisa sambil menggoyangkan pinggulnya naik turun.

“Oke,” sahut Herry pendek.

“Ukh!” Annisa mendongak sambil mengerenyit menahan sakit ketika Herry menarik rambutnya.

Herry kembali menggenjot brutal. Penisnya keluar masuk vagina Annisa dengan cepat.

“Bluk-bluk-bluk!” terdengar suara tumbukan dari selangkangan pemuda itu ke pantat Annisa yang sudah merah-merah dan baret akibat ditampar juga digigit Herry.

“Anjiiing. Nikmatnyaaaa! Bajingan!” makian-makian dari mulut Annisa menyembur begitu saja, “aku mau keluar, Herrr. Owhhhh,” Annisa mengerang. Ia meracau makian-makian paling kasar yang mungkin pernah diteriakkannya. Pinggulnya memutar liar. Herry merasakan batang penisnya seperti diperas.

“Tekan yang dalam, Bangsat!” Annisa kembali berteriak tidak terkendali. Tubuhnya melengkung. Tangannya memukul-mukul kasur, bahkan mulutnya menggigit seprai, merasakan semburan nikmat di dalam rahimnya.

“Gila! Gila! Nikmat sekali, Her,” engah Annisa membalikkan tubuhnya sambil mengangkat tangannya meminta pelukan. Herry tersenyum sambil merangkul tubuh sintal yang basah oleh keringat itu ke dalam pelukannya.

“Memekmu juga legit tiada tandingannya, Nis,” Herry memberi kecupan hangat di bibir perempuan itu.

Malam di mana Herry kali pertama menginap di rumah Annisa. Sekaligus kali pertama dia langsung bisa meniduri istri bosnya tersebut.

Isyarat dari Annisa memang sangat mudah dimengerti, bahkan oleh orang paling bego sekali pun.

Ketika Herry masuk ke dalam kamar yang pintunya setengah terbuka, dia mendapati Annisa tengah tersenyum duduk di tepi ranjang ukuran big size. Tidak perlu berbasa-basi. Dia hanya cukup berlutut, kemudian mereka pun berciuman dengan panasnya. Saling mempreteli pakaian masing-masing.

“Ada yang perlu kamu ketahui, Nis,” gumam Herry di sela ciumannya ketika itu.

“Apa?” tanya Annisa tanpa menghentikan keasikannya mengocok dan mengurut batang penis Herry yang diakuinya lebih besar dari milik Ferdian, suaminya.

“Aku …,” Herry terlihat ragu-ragu.

Annisa akhirnya menatap pemuda itu dengan wajah curiga, “jangan bilang kamu juga gay!”

“Tidak! Tidak … bukan itu,” Herry menggeleng, “aku … aku kadang suka secara spontan berlaku kasar saat ngewe, Nis.”

“Owh,” Annisa memandang tajam, “sekasar apa?”

“Mmmm,” Herry menggaruk-garuk rambutnya, “seperti menjambak, memukul, menggigit … hal-hal semacam itulah. Kalau kamu tidak suka, tidak apa-apa!”

“Maka lakukanlah,” ujar Annisa mengangkat bahunya tidak perduli, kembali ke keasikannya dengan mainan barunya.

“Kalau kamu sakit atau tidak suka ingatkan saja, Nis,” kata Herry sambil mencengkram dua buah payudara Annisa keras-keras. Air susunya menyemprot dalam gencetan tangan pemuda itu.

“Auhhh!” Annisa menjerit sambil meringis.

“Nah kan,” Herry menatap sambil nyengir.

“Tidak apa-apa, teruskan,” desis Annisa sambil membuat tubuhnya serileks mungkin.

Maka, kejadian selanjutnya seperti yang sudah di ceritakan di atas.



“Apa Anton juga memiliki orientasi seks seperti kamu, Her?” tanya Annisa sambil bersandar di dada Herry.

“Anton?” Herry seperti berpikir sejenak. Kemudian katanya dengan nada hati-hati, “Anton malah lebih gila lagi orientasi seksnya!”

“Maksudnya?” Annisa menatap tajam.

“Dia … dia, tapi kamu berjanji dulu hanya dirimu yang tahu rahasia ini,” kata Herry balas menatap.

“Oke … oke, I swear!” Annisa mengacungkan dua jari tangannya.

“Aku sudah tahu sejak lama kebiasaan anak itu. Dari SMP Anton sering … sering mengintip ibu!”

“Ibu? Ibu siapa maksudmu?”

“Ibunya, ibuku juga!”

“Hah?” Annisa bangkit dengan mata terbelalak. Entah kenapa dirinya merasa merinding, tapi bukan merinding jijik. “serius?”

Herry mengangguk sambil meringis.

“Sampai sekarang?”

“Sekarang mungkin diam-diam dia sudah mengewe ibu!”

“Dan kamu diam saja?”

“Mungkin, Nis. Aku belum pernah memergoki mereka. Api siapa yang tahu kan!”

“Kamu mendiamkan lama begitu jangan-jangan kamu juga punya keinginan yang sama ya?” Annisa tertawa kecil, kemudian menggelinjang ketika Herry dengan sengaja menyelipkan telapak tangannya di vagina perempuan itu keras-keras.

Annisa membalas dengan menggigit puting dada pemuda itu. mereka bergulat di atas kasur.

“Ahhhh!” Herry berteriak keras ketika kulit batang penisnya digigit gemas Annisa. Dia segera membalas dengan menusukan jarinya ke dalam lubang dubur Annisa.

Begitulah selanjutnya, mereka terus saling merangsang dengan tindakan-tindakan kasar yang menjurus ke saling menyakiti. Tapi justru tindakan itu membuat birahi mereka kembali menggelegak.

Selama beberapa hari menginap di rumah bosnya. Herry sungguh puas sekali. Dia seperti mendapat pasangan yang bisa melayani seks anehnya. Dulu-dulu, kalau dia ingin menuntaskan hasrat birahinya, terpaksa harus jajan dengan open BO. Membayar lebih tarif dengan perjanjian boleh melakukan BDSM. Oleh karena itu, kadang-kadang gajinya cepat habis.

Dia memperkosa Bu Jubaedah pun karena saat itu dia memang tidak punya uang, kebetulan dipancing dengan pemandangan merangsang dari kegiatan ibunya dan Mang Ikin.

***

Bu Farida menghempaskan tubuhnya di tempat tidur yang selama 2 hari tidak pernah ditidurinya. Saat inilah ia merasakan lelah dan capeknya setelah 2 hari pikiran dan hatinya tercurah untuk kesembuhan Cahyo. Ia tidak bisa mengandalkan Aisyah karena anak itu juga bekerja dan perlu istirahat yang cukup. Suaminya?

Datang sih. Semua biaya memang ditanggung sepenuhnya oleh dia. Tapi bukankah itu memang kewajibannya? Tapi hanya sekedar datang. Cahyo, seperti dirinya dan juga Aisyah. Belum menerima sepenuhnya Abinya menikah lagi. Terlalu menyakitkan memang. Hampir dua puluh lima tahun membina rumah tangga tanpa masalah berat, tiba-tiba Anas mohon ijin untuk menikah lagi. Dua puluh lima tahun yang lalu, mereka berdua menikah secara ta’aruf. Tanpa saling mengenal sebelumnya. Tapi tidak pernah menjadi masalah, mereka saling menyayangi selayaknya rumah tangga muslim yang taat. Pesantren yang diasuhnya berkembang dengan pesat. Lalu suaminya itu tiba-tiba mohon ijin untuk menikah lagi. Langit seakan runtuh hendak menimpanya. Ia teringat, saat itu ia menangis dengan hati yang sangat sakit. Menanyakan apa kesalahannya, dari memohon ampun hingga maaf.

Suaminya malah mengeluarkan dalil, berdalih bahwa perempuan yang dinikahinya adalah janda yatim piatu yang merupakan kewajibannya untuk merawatnya. Ia terpaksa luluh saat itu. tapi tidak untuk Cahyo dan Aisyah. Keduanya berontak. Hanya ia yang bisa meyakinkan ke dua anak tersebut. Hanya dirinya yang mampu membuat Cahyo dan Aisyah menurut.

Teringat pula ia akan sakit hati dan kemarahannya, ketika janda yatim piatu itu usianya tidak lebih tua dari Aisyah. Lebih cantik dan lebih muda, tanpa anak pula! Mereka menikah di depan matanya, dengan ijinnya disertai senyum palsu untuk menutupi rasa sakit yang diterimanya.

Saat itu syaratnya cuma satu, ia tidak ingin satu rumah dengan madunya.

Anas mengabulkannya. Dengan uang pesantren yang dimilikinya, mudah saja dia membuatkan rumah baru untuk istri mudanya. Awalnya, suaminya membagi jatah lima hari dengannya dan dua hari bersama istri mudanya. Lama-kelamaan, sepertinya menjadi terbalik. Namun ia tidak perduli lagi, hatinya sudah menjadi sangat dingin bahkan beku. Sebeku saat ia melayani kewajiban batinnya sebagai seorang istri terhadap suaminya. Itu pun hanya sekedarnya, hanya alakadarnya. Toh, dari dulu juga kemampuan suaminya begitu-begitu saja. Tidak seperti Anton …

Anton?

Hati Bu Farida tersentak.

Hatinya merintih rindu. Kangen. Belaiannya, pelukan hangatnya, kata-kata gombalnya, sentuhannya.

Ihhh, tidak tahu malu. Dosa! Nuraninya mencela.

Bu Farida berbaring dengan tubuh mulai menghangat. Ia teringat ketika ibu-ibu pengajian datang menengok Cahyo, termasuk Bu Jubaedah. Ia tidak berani beradu pandang dengan perempuan itu ketika teringat anaknya pernah … pernah. Ahhh … Pipi Bu Farida bersemu merah, tidak berani melanjutkan kata-kata di dalam hatinya.

Betapa tadi ia sempat ketakutan, khawatir Anton turut datang menemani ibunya bersama teman-teman pengajian lainnya. Kalau bertemu, entah bagaimana tingkah lakunya, mungkin bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan kecurigaan.

Tapi untunglah, pemuda itu tidak ada karena ternyata ibu-ibu pengajian itu berangkat dengan menyewa angkutan umum. Ada rasa lega, ada juga rasa kecewa. Entah mana yang lebih besar dari kedua perasaan tersebut.

Ketika teringat sesuatu, ia segera mengambil handphonenya, memeriksa chat WA yang sudah bertumpuk. Ada banyak chat grup atau pun japri dari banyak kenalannya. Semuanya hampir seragam, turut prihatin atas musibah yang menimpa Cahyo sambil mendo’akan agar segera pulih lagi. Dari sekian ratus chat, tidak ada satu pun dari Anton.

Bu Farida terus memeriksa WA, menscrolnya, ada beberapa nomor tidak dikenal yang tidak tersimpan di kontaknya, namun bukan Anton. Atau pemuda itu menggunakan nomor Bu Jubaedah? Ia memeriksa chat ibunya Anton itu. tidak ada ada chat beda, kecuali chat terakhir ucapan prihatin. Ahhh, apakah pemuda itu cuma membohonginya mengucapkan rasa sukanya? Setelah menikmati tubuhnya lalu melupakannya?

Bu Farida merasakan kekecewaan dan ada rasa perih yang menyakitkan.

Ketika ia masih berbaring dengan hati sedih dan kecewa, mendadak terdengar suara gerbang pagar seperti digeser, kemudian terdengar suara mesin mobil masuk ke garasi. Mobil Anas, suaminya.

Kenapa dia datang pas lagi begini. Pikir Bu Farida dengan hati sebal. Namun sebagai istri yang baik, mau tidak mau, ia harus segera menyambut kedatangan suaminya tersebut.

Dengan ogah-ogahan ia bangkit dari tempat tidurnya, sekilas ia melihat layar handphonenya berkedip, mengabarkan ada pesan WA baru masuk, dari nomor tidak dikenal. Ia mengabaikannya. Dengan langkah malas, Bu Farida keluar kamar menuju pintu depan.

Assalamu’alaikum!”

Wa’alaikumussalam!” sambut Bu Farida sambil mencium tangan pak Haji Anas yang baru datang.

“Bunda belum sempat masak, Abi. Baru sampai dari rumah sakit, sekarang Aisyah yang ganti jaga. Bunda buatkan nasi goreng saja ya?” ujar Bu Farida dengan hati merasa bersalah.

“Tidak usah. Tadi sudah sempat makan. Buatkan teh manis saja. Bagaimana Cahyo? Anak itu masih juga belum menerima Azizah,” sahut pak haji Anas sambil duduk di sofa, menghembuskan napasnya dengan kecewa. Azizah adalah istri mudanya, madu dari Bu Farida.

“Tidak apa-apa, nanti juga mereka akan terbiasa sendiri. Tidak usah dipaksakan. Biarkan secara alamiah saja, Bunda juga terus akan memberi mereka pengertian!” hibur Bu Farida sambil membawa tas suaminya ke dalam kamar, “Abi mau mandi sekalian? Bunda siapkan air panas dulu!” tanyanya kemudian.

“Iya boleh. Abi juga ingin diurut, Azizah sama sekali tidak bisa memijat,” sahut Pak Haji sambil menselonjorkan kakinya.

Ya, keahlian mengurutnya, memang itu satu-satunya kelebihan yang boleh dibanggakannya dibanding madunya. Keluh Bu Farida menghela napas dalam.

---

Selesai mencuci tangan dari minyak urut, Bu Farida duduk di tepi pembaringan, meraih handphonenya dengan maksud mematikannya seperti kebiasaannya menjelang tidur. Namun deg … tiba-tiba hatinya bergetar melihat layar kunci yang menampilkan notif chat WA dari nomor yang tidak ada namanya:

Assalamu’alaikum, Bu hj sayang …’

Deg! Celaka! Wajah Bu Farida memucat, tanpa sadar ia menoleh ke suaminya yang sedang telentang sedang asik melihat handphonenya. Ingin sekali ia membuka chat tersebut, jelas itu dari Anton. Tidak mungkin dari yang lain. Tapi keadaan sekarang tidak memungkinkannya untuk melihat chat tersebut. Atau ia keluar kamar? Iya benar! Ia keluar kamar saja. Dengan cepat, Bu Farida hendak bangkit, namun ada satu tangan melingkar ke pinggangnya.

“Mau ke mana? Abi kangen!”

Bu Farida terpaku di tepi ranjang dengan wajah pucat, tanpa disadarinya tubuhnya gemetar mengeluarkan keringat dingin. Hatinya merasa sangat bersalah sekali.

“I-ini, Bunda mau mematikan HP, eh … lampu maksudnya!” sahutnya dengan tergagap. Menekan tombol power handphone sekuatnya, sampai jari telunjuknya memucat.

“Ya sudah, tidak usah dimatikan, diredupkan saja, seperti biasanya,” kata Pak Haji melepaskan rangkulannya.

Dengan langkah canggung, Bu Farida menuju saklar lampu, memutar panel untuk cahaya lampu meredup sesuai keinginannya. Kemudian ia kembali ke ranjang, mengawasi suaminya yang tengah bersusah payah terganjal perut buncitnya, melepaskan celana dalam dari balik kain sarungnya.

Perempuan setengah baya itu duduk kembali di tepi pembaringan, turut melepaskan celana dalamnya tanpa melepaskan daster. Itu memang kebiasaannya dari dulu. Toh, persetubuhan mereka tidak pernah lama, tidak lebih dari 10 menit. Kalau pun ada babak tambahan, itu pun biasanya menjelang subuh.

Bu Farida membaringkan tubuhnya setelah menarik dasternya hingga tergulung di atas perutnya. Ke dua lututnya masih merapat, menunggu Pak Haji Anas merangkak ke atas tubuhnya. Ia berdo’a di dalam hatinya. Semoga suaminya tidak merasa ada yang lain ketika memasukkan penis ke dalam vaginanya yang sudah pernah diterobos penis yang berlipat-lipat besar dan panjangnya daripada penis suaminya itu.

Dengan masih memakai kaos, setengah telanjang. Perut pak Haji Anas mendahului menekan perut rata Bu Farida. Dengan dengus napas berat, pria berusia 50 tahun itu mencium pipi istrinya, memagut bibirnya, kemudian turun menciBunda leher jenjangnya.

Jari-jari gemuknya membuka kancing daster, menarik turun BH berwarna merah, hingga tersembul dua buah payudara yang membusung menantang.

Ada banyak perempuan yang berusia 40 tahun ke atas, tubuhnya berkembang dan melebar, bahkan payudaranya juga turut mengikuti usia. Lembek dan menggayut, kecuali yang dirawat dengan perawatan yang mahal. Seperti para artis yang memasuki usia setengah baya. Namun ada sedikit perempuan yang tubuhnya awet seperti masa mudanya. Bu Farida termasuk salah satu dari yang sedikit itu.

Bu Farida tidak pernah mengikuti perawatan rutin yang mahal-mahal, ia hanya rutin mengikuti senam di rumah melalui tontonan youtube atau pun di televisi. Itu pun bukan untuk menjaga tubuhnya agar tetap menarik, ia hanya sekedar berolahraga melepas kebosanannya di rumah.

Bu Farida menggigit bibirnya sambil memejamkan mata, mencoba menikmati cumbuan suaminya. Dan sialnya, ia malah membayangkan cumbuan Anton yang tentu membuat birahinya makin naik. Napasnya mulai memburu, terengah-engah.

Pak Haji Anas dengan mendengus-dengus terus menciumi dan menghisap-hisap payudara istrinya dengan nikmat. Dia sedikit girang, merasa rangsangannya berhasil, tidak seperti yang lalu-lalu. Istrinya itu hanya diam memejamkan mata. Padahal kalau saja pak Haji itu tahu yang ada di bayangan istrinya …

Bu Farida membuka matanya dengan hati jengkel, ia ingin agar suaminya segera menuntaskan hasratnya kemudian tidur. Karena ia ingin secepatnya diam-diam menyalakan handphonenya dan membuka chat dari Anton.

Seakan tahu akan keinginan istrinya, pak Haji Anas merenggangkan lebih lebar kaki Bu Farida yang lututnya tertekuk. Menggesek-gesekan penis pendeknya yang masih layu di belahan vagina mulus istrinya tersebut.

Napas Pak Haji sudah terengah-engah, namun penisnya masih setengah ereksi. Padahal dari belahan vagina Bu Farida sudah merembes cairan kewanitaanya sebagai akibat dari fantasinya membayangkan laki-laki lain.

“Chuh!” Pak Haji meludah ke telapak tangannya, mengocok cepat penisnya. Hasilnya lumayan juga, penis pendek itu mulai mengembang. Lalu tanpa peringatan lagi, dia segera menusukan penisnya ke dalam vagina Bu Farida yang sedikit mengejang.

Bu Farida merasakan geli dan nikmat. Hanya itu saja, tanpa diembel-embeli sensasi yang lain.

Pak Haji mulai mengayuh. Bu Haji terus berfantasi.

“Bluk-bluk-bluk!”

Lima menit lebih sedikit, Pak Haji Anas menggeram. Mendorong pantat semampunya. Menyemburkan air mani di dalam rahim istrinya.

Bu Farida memejamkan matanya, konsentrasinya memusat ke fantasi liarnya, ia mendesah, merasakan kontraksi di perutnya. Menyemburkan orgasme sekedarnya. Jauh dari sengatan kenikmatan yang pernah digapainya tiga hari yang lalu.

Tubuh berlemak pak Haji Anas terguling di samping istrinya dengan napas terengah-engah, membetulkan kain sarung menggunakan kakinya, dan dengan ajaibnya dia lalu mengorok dengan cepat.

Kalau suaminya sudah tertidur, kalau saja Bu Farida mau berlari-lari keliling kamar, pak Haji Anas sama sekali tidak akan terbangun. Namun karena sekarang ini adalah kali pertama ia melakukan hal yang menurut hatinya salah. Maka dengan langkah mengendap-endap sangat perlahan, bahkan sampai menahan napas, Bu Farida keluar kamarnya. Saking tegangnya, sampai-sampai di keningnya muncul butiran-butiran keringat.

Sesampainya di luar kamar, dengan jantung berdetak keras, ia mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam kamar. Barangkali saja ada suara suaminya, kecuali suara dengkur yang keras, tiada suara lain yang terdengar dari dalam kamar.

Lucu memang. Dalam keadaan biasa, tingkah lakunya ini tentu akan membuatnya tertawa geli sendiri. Bagaimana tidak, kalau Pak Haji sudah tidur mengorok, biar ada bom meledak di bawah ranjang pun, suaminya itu tidak akan terbangun.

(Tentu saja tidak akan bangun lah, Bu Hajjah. Lha wong, bom meledak di bawah ranjangnya kok, bagaimana bisa sempat-sempatnya beliau bangun, yang ada malah modar! Ada-ada saja Bu Hajjah ini)

Tetap dengan hati yang tegang, bahkan handphonenya sampai disembunyikan di balik dasternya, menyentuh kulitnya yang di balik daster tidak mengenakan apa-apa lagi. Padahal selain mereka berdua, di rumah tersebut sudah tidak ada siapa-siapa lagi.

Bu Farida menimbang-nimbang, di mana tempat yang aman untuk membaca chat dari Anton. Di kamar mandikah? Atau di belakang rumah? Atau di dapur? Ia merasa semua tempat yang dipikirkannya sama sekali tidak aman. Mungkin di mushalla kecil di halaman belakang, tempat dulu mereka shalat berjamaah. Bu Farida menggeleng sendiri dengan malu hati, rasa bersalahnya melarang dirinya untuk menodai tempat suci tersebut.

Dengan hati bingung dan cemas, ia terus memandang berkeliling mencari-cari. Lalu matanya terpaku ke sebuah pintu kamar. Kamarnya Aisyah! Kenapa tidak terpikirkan. Dengan langkah tetap mengendap-endap, perempuan setengah baya itu menuju kamar tersebut, membuka pintunya sepelan mungkin, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang sambil menghembuskan napas lega.

Diambilnya handphone yang casing-nya sudah sedikit basah oleh keringatnya. Membuka layar kunci dan menyentuh aplikasi whatsapp. Chat dari nomor tidak dikenal tersebut sudah terseret oleh beberapa chat terbaru. Kebanyakan dari WA grup. Dia menatap chat tersebut dengan ragu-ragu.

Memang menggelikan. Tadi ia ingin buru-buru membuka chat tersebut. Tapi begitu sudah tinggal satu sentuhan untuk membukanya, ia malah ragu-ragu.

Aku harus membalas apa? Dan mengatakan apa? Bu Farida benar-benar kebingungan. Namun kemudian, dengan telunjuk gemetaran ia menyentuh chat tersebut. Bismillah, kata hatinya spontan. Mendadak wajahnya sedikit memerah. Mau melakukan hal berdosa kok malah berdo’a.

Tidak! Tidak, bukan perbuatan berdosa, hanya membaca chat dari kenalan, apanya yang salah? Argumennya dalam hati memberi alasan.

Dengan hati berdebar tegang, ia membaca chat tersebut.

Assalamu’alaikum, Bu Hj Sayang. Ini Anton. Tadi sudah di sebrang jalan, namun ternyata sudah ada pak Haji. Padahal Anton kangen banget’ ada emoticon menangis.

Dasar! Mendadak Bu Farida tersenyum-senyum sendiri dengan wajah tersipu-sipu. Tingkah lakunya persis seperti perawan yang baru mengalami cinta pertama. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, dengan sebagian kakinya tergantung di sisi pembaringan.

Payudaranya yang membusung dari balik daster tanpa BH, naik turun dengan cepat.

Ia kembali melihat layar handphonenya, membaca kata-kata chat dari Anton itu berulang-ulang. Lalu memejamkan matanya, membayangkan momen yang membuatnya seperti melayang-layang. Momen ketika ia merebahkan tubuhnya dalam pelukan pemuda itu, terasa aman dan nyaman sekali.

Tiba-tiba Bu Farida membuka matanya, ia belum membalas chat itu. apa yang harus aku ketik? Kebingungan. Dua jempolnya menari di tombol-tombol qwerty virtual, mengetikan sebuah kalimat panjang, ragu-ragu. Menyentuh tombol hapus. Kemudian mengetik lagi. Hapus lagi. Begitu terus berkali-kali. Hingga akhirnya di menyentuh tombol ‘send’ dengan hanya satu kata balasan:

iya’

Ceklis satu.

Hatinya tersentak kaget. Rasa bersalahnya kembali berteriak-teriak. Dosa! Dosa! Dosa!

Dengan cepat ia menyentuh sedikit lama chat dari Anton.

Anda ingin menghapus chat ini?’

Jarinya gemetar menekan tombol ‘ya’

chat terhapus’ begitu notif yang muncul dilayar handphonenya.

Mendadak Bu Farida menepuk keningnya dengan hati menyesal. Ia belum menyimpan nomor Anton ke dalam kontaknya!

Perempuan setengah baya yang tengah dimabuk asmara itu menatap layar handphonenya dengan perasaan sedih, kesal dan marah bercampur baur. Ia memaki-maki keteledoran dirinya sendiri.

Bu Farida kembali duduk di tepi pembaringan. Ia ingin marah-marah juga menangis. Ingin membanting sesuatu untuk melampiaskan penyesalannya. Berkali-kali ia melihat layar handphone tersebut. Berharap ada balasan dari Anton. Namun hatinya menjadi lemas, ketika teringat sebelum chat tersebut dihapus, chat balasan dirinya ceklis satu, tanda nomor Anton sedang dalam mode offline.

Bu Farida menghela napas pasrah.

Bagus kan, itu artinya perbuatan berbahaya dan berdosa itu tidak akan berlanjut, hatinya menghibur.

Ketika hati seseorang sudah mulai dibutakan oleh asmara mana bisa dihibur kata-kata semacam itu. Seorang perempuan yang sedang kesepian, dan juga hatinya masih diliputi rasa sakit hati akibat diduakan. Kemudian ada seseorang lain yang memberikan perhatian apalagi rasa nyaman, terlebih lagi perempuan itu sedang dalam masa puber ke dua. Klop sudah. Tanpa dibantu bisikan setan level terendah pun, perempuan itu akan jatuh dengan sendirinya. Begitu juga keadaan saat itu dengan Bu Farida.

Dengan langkah gontai, Bu Farida keluar dari kamar Aisyah, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, membaringkan tubuhnya di sisi pak Haji Anas yang mengorok dengan suara menggelegar.

Melihat tubuh suaminya yang sedang terlelap tersebut. Gara-gara kemunculan suaminya itu, Anton tidak jadi mampir dan bertemu dengannya. Tentu malam ini, yang dilihatnya bukan kebo bunting yang sedang mengorok. Namun sesosok tubuh tegap yang akan memeluknya dan menghangatkannya dari suhu dingin AC di kamarnya. Dan tentulah …, Bu Farida mendesah. Dengan hati berdebar dan bibir tersipu malu. Ia mengingat kejadian gila ketika mereka berdua berjalan sambil bersenggama dari kamar mandi ke ruang tengah. Dasar anak mesum gila, gerutunya dengan hati rindu. Vaginanya mendadak berdenyut-denyut hangat. Lalu muncul secara tiba-tiba rasa jijik di hatinya, ingin rasanya ia menendang tubuh bengkak itu, mendorongnya hingga menggelinding dari atas ranjang dan jatuh ke lantai. Puas hati rasanya.

Bu Farida menarik guling, memeluknya sambil memejamkan mata. Melamun sambil membayangkan cumbuan, pelukan hangat dan nyaman, juga kata-kata mesra yang dibisikan Anton. Hingga ia kemudian terlelap dengan senyuman bahagia tersembul di bibir tipisnya.

Kalau saja Bu Farida tahu saat ia membalas chat Anton. Bahwa pemuda itu sedang asik berselancar dalam kayuhan lautan berahi yang panas membara dengan menggenjot ibunya di atas ranjang. Tentu rasa jijik terhadap suaminya akan berpindah tempat.

Ya! Malam itu, di ranjang dan rumah yang berbeda. Pemuda idaman Bu Farida itu tengah berpagutan liar dengan Bu Jubaedah, ibunya. Persetubuhan yang panas dan liar!

Mereka sudah saling memahami keinginan masing-masing. Saling memberi dan menerima. Tubuh montok berpantat bulat Bu Jubaedah mengayun lambat, sesekali menyentak untuk mendapatkan sensasi nikmat di vaginanya. Setiap kali bersetubuh dengan posisi WOT memang sangat menguras tenaganya dan mudah sekali jebol. Tapi justru posisi itulah yang paling dinikmatinya. Dimana ia seakan berkuasa penuh atas tubuh pasangan berahinya.

Bu Jubaedah merendahkan tubuhnya. Kemudian mendesah sambil memejamkan matanya. Menikmati cumbuan panas Anton yang sibuk mengenyot-mengenyot puting payudaranya yang menggelayut tepat di wajah anaknya tercinta tersebut.

Pantat yang mengayun lambat itu, kadang bergetar ketika pinggulnya menghentak menekan. Batang berurat yang pejal dengan kutil istimewanya itu, seakan mengkili-kili di kedalaman rahimnya. Nikmatnya tak terkatakan. Belum termasuk sengatan dahsyat dari kutil di pangkal batang penis anaknya itu yang menggaruk-garuk klitorisnya.

“Ahhh … ssssh,” desah Bu Jubaedah menggigit bibirnya setiap pinggulnya membuat gerakan memutar. Rahimnya seakan dibor. Penasaran dengan kelezatannya. Ia kembali memutar pinggulnya. Lagi, dan lagi. Tubuh montok Bu Jubaedah yang sudah berkeringat, gemetar dan meremang.

Tubuh Bu Jubaedah makin merendah, ke dua tangannya yang bertumpu ke bantal di sisi kiri-kanan Anton turut gemetaran. Wajah pemuda itu seakan tenggelam dalam buntalan empuk payudara ibunya. Ke dua siku Bu Jubaedah sudah tertekuk, gemetar menahan tarikan gravitasi berahi.

“Sudah mau keluar, Bu?” bisik Anton sambil menjilat nakal kuping ibunya. Bu Jubaedah menggelinjang. Menatap wajah anaknya dengan tatapan yang sudah sayu sekali. Wajahnya sudah merah membara.

Bibir merah basah itu bergetar.

“He … emh. Duuhhh … sssshhh. Nikmaaat shekali, Nhaak. Sssshhh,” desis Bu Jubaedah sambil menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Anton. Memeluknya dengan erat sekali.

Anton mengelus-elus punggung basah ibunya. membuat garukan lembut memanjang menelusuri punggung tersebut hingga sampai di bongkahan bulat pantat ibunya yang ototnya sedang menegang. Dia kemudian mencengkram bongkahan padat itu.

“Tahan sebentar, Bu. Kita keluar barengan,” geram Anton sambil mulai menggerakan pantatnya naik turun.

“Ibhuuu shudaaah tidak tahaaan,” lenguh Bu Jubaedah setengah merengek.

Anton mengeraskan rahangnya. Dengan buas pantatnya menghentak-hentak. Tubuh montok ibunya sampai bergetar di setiap hentakannya.

“Amm-phuuunssh!” Bu Jubaedah mengerang. Menghunjamkan gigi-giginya menggigit bahu Anton. Ke dua lututnya menjepit sekuat-kuatnya pinggul Anton sambil menekan ke bawah, sementara Anton mendorong ke atas.

“Hrrrhsssh!” Anton turut menggeram dan juga menggigit bahu ibunya.

Bu Jubaedah merasakan ulu hatinya ngilu oleh rasa sesak di dasar rahimnya oleh penis Anton. Otot perut dan pinggulnya berkontraksi, memeras semua cairan birahinya untuk merendam batang pejal itu.

Ke dua tubuh ibu beranak itu begitu rapat menyatu. Seperti menyatunya kenikmatan mereka berdua di puncak kelezatan sorgawi berahi. Mereka merasa melayang-layang ringan di keindahan nirwana kenikmatan.

Beberapa waktu lamanya, mereka terus berpelukan erat. Seakan tidak ingin terpisahkan, dan tidak ingin juga saling melepaskan pusakanya masing-masing. Sang ibu ingin penis anaknya tetap terendam dalam jepitan rahimnya, begitu pula sang anak yang tidak ingin mencabut penis dari sarang nikmatnya.

Namun pada akhirnya, keduanya tetap perlu beristirahat. Bu Jubaedah yang menggulingkan tubuh montoknya ke samping Anton. Napas keduanya masih terengah-engah.

Dengan manja, Bu Jubaedah menyandarkan kepalanya di bahu Anton sambil menarik selimut, ketika merasakan dingin AC menyentuh kulitnya. Dengan posisi menyamping, di dalam selimut, ia kembali bergelung memeluk tubuh Anton yang segera mendaratkan ciuman bertubi-tubi, di kening, pipi dan bibir ibunya.

Keduanya kemudian berpagutan lembut tanpa ada rasa puas-puasnya.

“Ibu benar-benar kewalahan melayani kamu,” bisik Bu Jubaedah sambil membelai pipi Anton dengan penuh kasih sayang.

“Habisnya, Anton benar-benar ketagihan memek ibu. Legit banget,” sahut Anton sambil sedikit menurunkan selimut. Menarik sebongkah daging lunak yang empuk, menundukan wajahnya kemudian mengecup dan menghisap.

“engh!” Bu Jubaedah mendesah, “bentar ah, ibu perlu istirahat. Capek banget!” rengeknya kemudian, sambil menggelinjang ketika jari-jari Anton kembali nakal di vaginanya yang masih merembes banjir cairan berahi.

“Baru juga satu ronde,” goda Anton menarik kembali tangannya. Membelai rambut ibunya.

“Satu ronde juga, tenaga ibu terkuras habis. Anu ibu juga masih ngilu!”

“Anu apaan tuh?” mata Anton mengedip nakal.

Wajah ibunya merona merah, mencubit gemas pipi Anton, “ya anu itu!”

“Iyaaa … anu itu apaan?” kejar Anton sambil cengar-cengir.

“Mm-memek!” bisik Bu Jubaedah sangat pelan sekali. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu Anton dengan malu, sekalian menggigitnya gemas.

“Apa?” Anton memiringkan kepalanya.

“Auh!” dia berteriak ketika kupingnya digigit gemas ibunya.

“Rasain!” Bu Jubaedah merengut manja, “sudah ah. Ibu malu. Sepertinya kamu perlu punya pacar, Nak,” lanjut Bu Jubaedah sambil membelai rambut tebal Anton.

“Lah, Anton sudah punya kan,” sahut Anton cengar-cengir.

“Iya kah? Kok ibu tidak tahu. Siapa?” tanya Bu Jubaedah dengan cepat, ada nada cemburu dalam suaranya.

“Ini,” Anton meraih dagu ibunya. mengecup lembut.

“Hmmmph,” Bu Jubaedah tidak bisa berkata-kata, karena bibirnya dikulum Anton.

“Kamu itu ya,” kata Bu Jubaedah sedikit terengah-engah, “jujur saja, ibu sudah tua, Nak. Tenaga ibu tidak akan sanggup untuk memuaskan kebutuhan kamu. Kamu perlu pacar, atau sekalian saja nikah!”

“Ya sudah, kita nikah saja yuk!” ujar Anton spontan.

Pipi Bu Jubaedah kembali memerah, “jangan gila ah. Tidak mungkin. Dosa besar, anak menikahi ibunya sendiri. Tidak boleh!”

“Masabodoh dengan dosa. Anton sudah cinta sama ibu. Kita menikah di luar kota, pindah rumah sekalian!”

“Jangan! Jangan! Tidak boleh! Ibu tidak mau!” Bu Jubaedah menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ibu tidak cinta Anton? Terus kenapa ibu mau disetubuhi Anton? Atau sebenarnya ibu cinta ke si Herry?” Anton menatap ibunya, suaranya bernada tinggi.

Bu Jubaedah menghela napas panjang. Membelai-belai rambut Anton dengan sayang, “jangan buat ibu sedih, Nak. Ibu sayang kalian berdua. Bukankah ibu rela melayani kamu dengan rela hati. Cinta? Ibu tidak tahu. Tidak paham cinta. Yang pasti ibu bahagia bisa menyenangkan kamu. Tapi lama-lama ibu makin tua, ada waktunya di kemudian hari ibu tidak sanggup lagi melayanimu. Karena itu ibu bilang, kamu perlu punya pasangan hidup. Tapi tentu, ibu siap kalau kamu menginginkan tubuh ibu. Namun tidak setiap waktu!”

“Tapi Anton cuma menginginkan ibu!” sergah Anton sambil memeluk tubuh montok ibunya, mendaratkan ciuman bertubi-tubi.

“Iya, boleh. Kapan saja kamu mau ibu, tentu dengan senang hati melayani kamu. Tapi kamu juga harus kasihan sama ibu. Anton tega lihat ibu kehabisan tenaga melayani birahimu yang tidak ada habisnya? Contohnya saja sekarang, satu ronde saja ibu sudah lemas kewalahan!”

Anton terdiam. Menatap mata ibunya. Dia melihat kejujuran dan rasa sayang di matanya. Tiba-tiba dia teringat sesosok tubuh sintal menggairahkan. Tidak terasa dia tersenyum simpul.

“Kenapa tersenyum?” tanya Bu Jubaedah curiga, menatap wajah Anton dengan pandangan menyelidik.

“Tidak apa-apa,” sahut Anton sambil mengecup kening Bu Jubaedah, “Anton bisa kok menahan diri tidak setiap hari minta dilayani.”

“Mana bisa kamu tahan, ini buktinya,” Bu Jubaedah menggelinjang geli, merasakan jari-jari anaknya itu menyelinap di belahan pantatnya, membelai bibir vaginanya dari arah belakang.

“Memang sih, siapa yang tahan dengan tubuh montok ibu,” desis Anton sambil nyengir. Menggigit leher montok ibunya sampai meninggalkan cetakan merah.

Nah kan. Makanya kamu perlu pasangan hidup. Carilah, atau mau ibu carikan? Neng Asih puterinya Bu Kokom sepertinya masih belum punya pacar. Anaknya baik, cantik dan punya pekerjaan pula!”

“Tidak usah, Bu. Nanti Anton cari sendiri. Lagi pula, kalau sama-sama bekerja, malah sama-sama capek kan,” sahut Anton, menggelengkan kepalanya. Sementara benaknya kembali terbayang Bu Farida.

Yaph, dia tidak usah susah-susah cari sarang burung lain. Toh, ada sarang burung seksi yang siap melayaninya ketika ibunya sedang tidak sanggup. Tapi tidak mungkin istri pak Haji Anas itu disebutkan ke ibunya. bisa-bisa ibunya pingsan begitu mendengar teman pengajiannya jadi teman tidur anaknya.

Tiba-tiba Bu Jubaedah menarik kepalanya sedikit menjauh, menatap wajah Anton seperti hendak mengatakan sesuatu.

“Kenapa, Bu?” tanya Anton ingin tahu.

“Herry! Ibu khawatir dengan abangmu itu. sudah lima hari tidak ada kabarnya. Ibu WA sepertinya tidak dibaca, di telepon juga tidak diangkat. Besok coba cari tahu ya, Nak.”

“Biarkan saja. Bagus tidak pulang, jadi ibu aman tidak ketakutan terus,” sahut Anton dengan ketus.

“Kamu berdua sebelum kejadian itu sangat akur. Cuma karena ibu kemudian kalian berdua seakan kalau bertemu akan berkelahi. Ibu sedih kalau ternyata seperti itu. ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ibu harus pergi agar kalian berdua akrab kembali, ibu rela. Kalau ternyata adanya ibu malah membuat kalian berdua berkelahi,” kata Bu Jubaedah dengan mata berkaca-kaca.

Anton menghela napas dalam, dia meraih tubuh montok ibunya ke dalam pelukannya kembali, “ya sudah, besok Anton akan cari tahu. Tapi kalau nanti dia pulang kembali menyiksa ibu, jangan salahkan Anton kalau nanti berkelahi dengan dia.”

“Tidak mungkin dia mau menyiksa ibu. Ibu yakin Herry sebenarnya menyayangi ibu dan kamu juga. Yang dulu itu, m-mungkin dia khilaf. Kamu tidak usah khawatir,” bisik Bu Jubaedah dengan hati berdebar-debar aneh.

Entah kenapa tiba-tiba ia merasa rindu dengan perlakuan Herry ketika menyetubuhinya. Perlakuan kasar anak itu entah kenapa mendatangkan sensasi rasa nikmat yang lain. Herry memang tidak mempunyai keistimewaan seperti penis Anton. Tapi cara kasar dalam menyetubuhinya kenapa meninggalkan bekas nikmat yang aneh? Ahhh, apa ia sudah gila atau ia ada kelainan bisa menikmati siksaan ketika disetubuhi? Pikirnya dengan hati bingung.

Kau memang gila, Jubaedah. Rela disetubuhi anak sendiri bukankah sudah menunjukkan kelainan? Bisik hatinya sambil mencibir.

Duh, Gustiii, Bu Jubaedah menangis dalam hatinya. Makin menyembunyikan wajahnya di pelukan Anton.

Sesaat keduanya tidak berkata-kata. Hanya saling merasakan kehangatan tubuh masing-masing di dalam selimut. Lama kemudian, Anton mendengar dengkur halus dari ibunya. ternyata Bu Jubaedah telah terlelap dalam pelukan Anton.

Sebenarnya Anton masih ingin menyetubuhi kembali ibunya. satu ronde mana cukup buat dia. Tapi ketika melihat wajah lelah sang ibu dalam tidurnya, Anton tidak tega untuk membangunkannya. Mendadak dia merasa haus, dengan perlahan Anton menggeser tubuh montok itu dari posisi rebahan di pelukannya. Kemudian duduk di tepi ranjangnya, meraih segelas air putih yang sudah tersedia di meja di samping tempat tidur dan meminumnya dalam sekali tegukan. Hingga kemudian dia kembali merebahkan dirinya di samping ibunya, menarik selimut dan mencoba tidur.

Anton seakan baru sekejap tidur, ketika dia merasa terganggu oleh suara-suara aneh di sampingnya! Bahkan ranjang yang ditidurinya terasa sedikit bergetar. Suara aneh berupa erangan, rintihan dan geraman yang tertahan-tahan. Bahkan samar-samar dia mencium bau khas lendir birahi!

“Hrrrhsh!” terdengar geraman halus. Anton sangat mengenal suara itu. Suara Herry!

“Pelan-pelan, Her. Nanti Anton bangun … Owhsh!” desis situ jelas desis ibunya, ada nada khawatir di suaranya.

Tubuh Anton mendadak panas dingin. Antara murka, kecewa dan cemburu juga. Entah kenapa dia juga merasakan debar aneh. Debar aneh yang membangkitkan birahinya seketika. Penisnya mengeras dengan cepat, membayangkan tubuh montok ibunya sedang disetubuhi Herry tepat di sampingnya.

“Duhssh … jangan keras-keras, Nak. Shakiiit!” terdengar ibunya mengerang.

Bangsat anjing! Anton memaki-maki di dalam hatinya. Saat itu ingin rasanya dia bangun dan menerjang dua tubuh di belakangnya yang sedang mengayuh birahi itu. Namun saat itu dia sedang telanjang di dalam selimut dengan penis ereksi maksimal. Bagaimana dia bisa berkelahi dalam keadaan seperti itu!

Anton merasa tersiksa sekali. Tubuhnya gemetar hebat di balik selimut. Antara siksaan menahan hasrat juga amarah bercampur cemburu. Lama-lama akhirnya dia tidak tahan. Sambil menahan selimut untuk tetap menutupi tubuhnya. Dia berbalik, memuntahkan makian paling kotor yang bisa diingatnya.

“Anjing keparat lu, Her!” raung Anton sambil membalikan tubuhnya dengan mata merah.

Dua tubuh yang sedang memeras peluh bersetubuh itu, tersentak kaget.

Tubuh Bu Jubaedah sedang dalam menungging dengan sebagian badannya rata di kasur. Bongkahan payudaranya menyembul seperti balon tergencet bantal yang di letakkan di dadanya. Sementara Herry dalam keadaan setengah jongkok dengan tubuh sedikit melengkung dengan kedua tangannya mencekik tengkuk ibunya, menekan dalam-dalam. Wajah Bu Jubaedah saat itu sedang memerah sedikit mengerenyit. Herry menoleh ke arah Anton sambil menyeringai.

“A-Anton …,” Bu Jubaedah membuka suara sedikit terengah-engah. Bingung, malu dan merasa bersalah.

“Jangan mau menang sendiri lu, Ton. Gue juga kan pengen ngewe lon ….”

“Tutup mulut!” bentak Anton dengan wajah murka.

“Sori, ibu!” ralat Herry sambil nyengir. Kembali menggenjot dengan brutal vagina ibunya sambil meram melek.

“Kalau mau ngewe, ngewe sepuas lu. Tapi cari kamar lain, taik! Jangan di kamar gue! Dan gue larang lu sambil menyiksa ibu. Lu ga kasihan? Tega lu!” geram Anton dengan rahang mengeras.

Lah, ibu juga senang-senang aja, ngapa lu yang sewot?”

Bu Jubaedah yang sudah merasa kepalang tanggung, menggeser tubuhnya sambil meraih tangan Anton yang berusaha menepis. Namun tangan ibunya begitu keras mencengkramnya. Menarik tubuhnya mendekat.

“Ma .. maafkan ibu, Nak. Ibu menyayangi kalian berdua. Kalau … kalau bisa membuat kalian berdua bahagia, i-ibu rela melakukan apa pun yang kalian mau,” ujarnya sambil membelai pipi Anton dengan penuh kasih sayang.

Anton kebingungan dan merasa tak berdaya. Menatap wajah ibunya dengan pipi memerah, dia merasakan hembusan panas dari napasnya.

“Anton … Naksssh,” Bu Jubaedah mendesah. Mata sayunya seperti menginginkan sesuatu, ia menggigit bibirnya yang merah basah.

Anton tidak tahan. Dia segera menarik kepala ibunya, memagut bibir merah basah itu dengan buas. Suara kecipak ciuman mereka berbaur dengan kecipak vagina yang sudah becek digempur penis Herry. Tangan Bu Jubaedah merayap ke balik selimut, mencari-cari sesuatu. Ketika sudah didapatnya, barang itu digenggamnya dan dikocoknya lembut.

“Anjing! Enak sekali jepitan memekmu, Bu!” geram Herry sambil menampar bolak-balik bongkah besar pantat Bu Jubaedah.

Anton mendelik gusar, ketika ibunya mengerenyit kesakitan. Herry pura-pura tidak melihatnya. Birahinya terasa sudah sampai di ujung penisnya, ngilu rasanya.

“Remas yang keras, Naaak,” Bu Jubaedah mengejang-ngejang oleh cumbuan ke dua anaknya. Ia sudah tidak malu-malu lagi. Otaknya sudah dibakar birahi sepanas-panasnya. Bibirnya melumat liar mulut Anton, bahkan menggigitnya.

“Owwhh-enghsssh!” Bu Jubaedah mengerang panjang. Tubuhnya tersentak-sentak oleh puncak orgasme yang nikmat sekali. Vaginanya berkedut-kedut memeras penis Herry yang juga mengejang menyemburkan mani kenikmatannya. Kemudian mencabut penisnya dan terguling di sisi lain tempat tidur sambil menghembuskan napas puas.

“Aku juga mau, Bu!” geram Anton dengan wajah merah.

“Ibu … hosh-hosh-hosh, istirahat dulu ya, Nak. Hoh-hosh-hosh. Biarkan … biarkan ibu mengambil napas dulu,” kata Bu Jubaedah masih terengah-engah.

“Tidak mau!” sahut Anton sambil bangkit. Menggulingkan tubuh ibunya dalam posisi telentang. Anton merenggangkan ke dua paha ibunya.

“Lap dulu, Nak,” kata Bu Jubaedah dengan suara lelah.

“Tidak mau!” kata Anton ketus.

Dengan hati marah dibakar cemburu. Anton sudah tidak perduli lagi dengan ibunya yang masih kelelahan tak berdaya. Dia mengarahkan penisnya ke belahan vagina ibunya yang sudah merah merekah, basah oleh banjir lendir cairan orgasme.

‘Sleeerp!”

Penisnya dengan lancar, menyusup masuk tertelan vagina Bu Jubaedah yang membusung kemerahan. Dengan ledakan amarah yang luar biasa, Anton menggenjot vagina ibunya dengan buas dan kejam.

Bu Jubaedah memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya keras-keras. Badanya terasa luluh lantak. Ia sedikit khawatir dengan genjotan ganas Anton, dinding-dinding rahimnya lecet atau bahkan terluka. Tapi ia tidak berani melarang anak itu, bahkan untuk sekedar meminta Anton menggenjotnya dengan lembut. Ia paham, Anton sedang sangat marah. Yang sekarang bisa dilakukannya adalah membuat tubuhnya rilek walau pun vaginanya terasa ngilu serasa terkoyak-koyak.

Anton menggeram-geram ganas. Dia terus menggenjot tanpa ampun vagina ibunya.

Tiba-tiba,

‘Plak!’

“Jangan ikut campur!” geram Anton dengan gusar. Menepis tangan Herry yang merayap hendak meremas-remas payudara ibunya. Belum puas menggenjot dalam posisi missionaris. Dia mencabut penisnya.

“Sini naik!” perintahnya kepada ibunya yang membuka matanya terheran-heran.

“Ibu tidak kuat, Nak. Masih capek,” keluh Bu Jubaedah , tapi melihat kemarahan Anton, mau tidak mau ia harus menurut.

Bu Jubaedah perlahan bangkit, merayap naik ke atas tubuh Anton, memposisikan vaginanya di atas penis anaknya itu yang mengacung keras penuh dengan lendir.

‘Blesh!’

Bu Jubaedah mendongak sambil menggigit bibirnya merasakan rahimnya terasa amat sangat ngilu. Kemudian dengan sangat perlahan, ia mulai mengayun lembut pantatnya.

Herry mengawasi persetubuhan adik dengan ibunya itu dengan hati tertarik. Penisnya terasa bangun lagi.

Gue juga ingin lagi nih!” kata Herry kemudian sambil bangun.

Anton dan Bu Jubaedah menoleh serentak dengan wajah bingung.

“Jangan macam-macam lu. Gue belum kelar!” geram Anton masih dengan wajah marah.

“Jangan, Her. M-me … memek ibu bisa robek, tidak akan muat,” kata Bu Jubaedah ketakutan.

Kan masih ada lubang yang satunya lagi,” sahut Herry santai. Meraih celananya dan mengambil sesuatu dari dalam dompetnya.

“Orang gila!” omel Anton sambil memberi isyarat agar ibunya kembali menggenjot. Namun bu Jubaedah tidak bereaksi, tubuhnya gemetaran sampai panas dingin. Ia maklum dengan yang dimaksud anak sulungnya itu soal ‘lubang yang satunya’. Ia merinding ketakutan. Mengawasi Herry yang sedang membuka bungkusan tipis yang bukan lain adalah kondom adanya.

Kondom itu dimasukan hingga ke pangkal penisnya, lalu dia bergerak ke arah belakang ibunya.

“Jangan, Her. Ibu belum pernah begitu,” rengek Bu Jubaedah ketakutan sekali.

Namun Herry sudah tidak perduli. Dia mendorong tubuh ibunya, mengangkat pantatnya dan mecolok-colok lubang pantat yang masih sangat rapat itu.

“Jangan, Riii,” Bu Jubaedah terus merengek-rengek, mencoba meronta. Namun tubuhnya sudah kelelahan. Dengan dorongan sedikit, tubuh montok yang gemetaran itu ambruk menindih tubuh Anton yang terbengong-bengong.

“Akkkhhh! Sha-khittt!” Bu Jubaedah menjerit hampir pingsan. Merasakan lubang pantatnya didesak benda tumpul yang memaksa menerobosnya.

“Anjing! Seret banget!” Herry mengomel-omel sendiri. Terus menekan-nekan penisnya yang terselubung kondom agar bisa menerobos lubang pantat ibunya.

‘Prrrt’

Bu Jubaedah menggigit bahu Anton keras-keras, menahan jeritannya. Lubang pantatnya terasa sangat sakit sekali.

“Engggh, enaknyaaa!” Herry mengerang merasakan jepitan lubang pantat ibunya yang seperti hendak memenggal putus batang penisnya. Dia mencengkram bongkahan pantat ibunya yang sudah merah-merah. Menggenjotnya lubang pantat tersebut dengan susah payah saking seretnya.

Anton tidak mau kalah, didera sensasi aneh yang membuat dirinya berdebar-debar oleh rangsangan hebat dari perlakuan kakaknya menyetubuhi ibunya melalui lubang pantat. Dia segera ikut mengayunkan pantatnya.

Yang paling tersiksa tentu saja Bu Jubaedah.

Kalau boleh memilih, ia jelas memilih pingsan. Agar tidak merasakan sakit, geli dan ngilu secara serentak seperti itu.

Tubuh montok itu terjepit tidak berdaya ketika dua lubangnya digenjot habis-habisan oleh dua batang penis perkasa.

Persetubuhan gila antara ibu dan ke dua orang anaknya itu seakan hendak membuat tempat tidur tersebut ambruk oleh kekuatan dahsyat mereka bertiga.

Jerit kesakitan. geraman. Erangan juga rintihan. Bercampur baur.

Sensasi nikmat yang berlipat-lipat lebih dari biasanya, membuat mereka bertiga dengan cepat hampir mencapai puncak kenikmatannya masing-masing.

Anton mencengkram payudara ibunya yang menggelembung tergencet tubuh mereka berdua. Dengan buas, dia melumat bibir Bu Jubaedah yang mendesah-desah pasrah.

Dua batang penis, menyentak dan menekan sekuat-kuatnya ke dalam dua lubang. Dua raungan berkumandang diiringi jeritan nikmat.

Tiga tubuh ambruk bertumpang tindih. Anton yang posisi badannya paling bawah mengap-mengap keberatan.

Sesaat kemudian Herry mencabut penisnya dan terguling terlebih dahulu. Melepas kondomnya dan membuang sembarangan ke lantai kamar. Diikuti tubuh montok Bu Jubaedah turut terguling di tengah-tengah ke dua anaknya, mengap-mengap kehabisan napas.

Walau pun tubuhnya terasa hancur luluh, capek dan lelah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merah kepala ke dua anaknya tersebut ke pelukannya.

“Ibu lelah sekali … hhh-hhh. Tapi ibu bahagia sekali bisa melayani kalian berdua. Tapi ..,” ia menarik napas sejenak. Kemudian lanjutnya, “ibu harap kalian jangan pernah berkelahi atau marah-marahan antara kalian berdua. Ibu tentu akan sedih sekali. Kalian berjanjilah. Kalau kalian berdua kembali akur seperti sebelumnya. Apa yang kalian berdua mau, ibu akan melayani kalian berdua sepenuh hati. Berjanjilah!”

Bu Jubaedah menoleh ke kanan dan kirinya, menatap penuh rasa sayang ke dua anak bujangnya yang kini seperti macan jinak di pelukannya.

”Syukurlah!” ujar Bu Jubaedah dengan hati senang ketika Herry dan Anton mengangguk, “ibu sangat menyayangi kalian berdua, bagi ibu kalian adalah anak-anak sekaligus suami-suami ibu,” lanjutnya dengan suara perlahan, ada rona merah di pipinya, “tapi ada yang perlu ibu katakana,” lanjutnya sambil tangannya membelai pipi masing-masing anaknya, “kalian harus memahami, bahwa ibu tidak mungkin bisa melayani kamu berdua setiap hari, apalagi sampai keroyokan seperti barusan. Ampun, ibu tidak sanggup. Kamu berdua harus punya pasangan hidup, kalau belum ada, nanti ibu carikan dari anak-anaknya teman pengajian.”

“Aku sudah punya, Bu,” sahut Herry yang kemudian bangkit, turun dari pembaringan. Memakai celana kemudian melangkah dan … terpeleset kondom yang dilemparnya sembarangan tadi.

Di tengah makian marah-marah dari Herry, ditimpali suara tertawa dari Bu Jubaedah dan Anton.

“Siapa gadis itu, Her? Bisa dikenalkan ke ibu?” tanya Bu Jubaedah.

“Annisa!” Herry menjawab pendek, sedikit meringis sambil mengusap-usap sikunya yang dipakai menahan tubuh waktu jatuh terpeleset.

“Annisa mana?” Anton yang kini bertanya dengan hati tertarik.

“Annisa bini Bos Ferdian,” kekeh Herry sambil menyeringai.

Bu Jubaedah beristighfar dengan wajah kaget, “aduuuh! Jangan ganggu istri orang atuh, Nak. Apalagi orang yang sudah kasih kamu pekerjaan!”

“Bos Ferdian ga doyan cewek, Bu. Dia gay. Makanya Nisa kesepian, kasihan kan.”

“Hah! Gay?” hampir bersamaan, Bu Jubaedah dan Anton berseru kaget, menatap Herry dengan wajah tidak tidak percaya.

Herry mengangguk, dia menatap Anton sambil tersenyum, “Nisa sering nanyain lu juga, Ton. Kayaknya Nisa tertarik juga sama elu. Kalau lu berminat, gue mau kok berbagi. Baik kan gue!” katanya sambil tertawa.

Gue juga udah punya kok,” sahut Anton sambil nyengir.

“Siapa?” kini Bu Jubaedah dan Herry yang bertanya penasaran.

Anton berpikir sejenak, kemudian menggeleng, “sepertinya tidak usah dikatakan!”

“Berarti lu boong. Tidak usah malu-malu lah. Nisa memang sepertinya menyukai elu, Ton. Siapa tau Nisa suka juga main keroyokan,” kekeh Herry sambil melangkah menuju keluar kamar.

“Edan lu!” maki Anton.

“Ibu bisa minta tolong ambilkan ibu minum, Her? Ibu capek banget sudah tidak ada tenaga lemas sekali rasanya!” seru Bu Jubaedah, Herry menjawab dengan anggukan.

“Siapa gadis itu, Nak? Jangan sampai istri orang juga. Jangan mengganggu rumah tangga orang lain. Itu tidak baik!” kata Bu Jubaedah menatap Anton dengan pandangan menyelidik.

“Bukan siapa-siapa, Bu. Ibu tenang saja,” sahut Anton sambil membelai rambut Bu Jubaedah, mengecup keningnya, kemudian memagut bibir ibunya itu untuk menghalangi agar ia tidak bertanya terus.

“Katanya capeeek!” sindir Herry sambil meletakkan segelas besar air putih di meja kamar.

“Cuma ciuman kok!” jawab Bu Jubaedah dengan wajah malu. Melepaskan bibirnya dari dari pagutan Anton yang cuma nyengir.

---

Begitulah akhirnya yang terjadi di hari-hari selanjutnya. Bu Jubaedah membatasi hasrat anak-anaknya dalam menggauli tubuhnya tidak sebebas-bebasnya. Kadang ia harus melayani hasrat nyeleneh Herry yang ketagihan dengan lubang pantatnya. Kadang juga ia dengan berat hati harus mengingatkan Anton akan keterbatasan tubuhnya ketika Anton yang bernafsu dan bertenaga besar meminta tambah.

Pada pagi hari setelah persetubuhan luar biasa semalam. Anton berangkat bekerja sambil menyalakan handphonenya. Membaca beberapa chat, termasuk balasan dari Bu Farida yang singkat.

Sambil memanaskan mesin motor, Anton iseng mengetik :

kok iya doang? Pak Haji berapa hari di situ? Suruh pergi aja, biar Anton ntar malam bisa ke situ’ dibubuhi emot tertawa.

Ketika pemuda itu hendak menjalankan motornya, handphonenya bergetar. Penasaran dia melihat notif WA di layarnya.

hush’ balasan pendek dari Bu Farida.

Anton tertawa kecil. Dia tidak berniat langsung membalasnya. Nanti sore saja sepulang kerja, pikirnya.

Pemuda itu tidak tahu. Untuk balasan sependek itu saja, Bu Farida sampai mengucurkan keringat dingin, bersembunyi sambil menahan napas di kamar mandi. Sekitar sejam ia berada di dalam kamar mandi, barangkali Anton kembali membalas. Tunggu tinggal tunggu, profil chat tidak kelihatan online.

Diam-diam, Bu Farida menghela napas kecewa. Sebelum menghapus chat tersebut, ia buru-buru menyimpan kontak Anton. Begitu tersimpan, foto profil kontak pemuda itu muncul. Foto Anton di atas motor sambil tersenyum menatap ke arah si pemoto.

Melihat wajah dan senyum pemuda itu, tiba-tiba Bu Farida tersenyum sendiri, seakan membalas senyuman di foto profil WA tersebut. Ia berdebar bahagia melihat foto pemuda itu. Rasa kecewanya karena Anton tidak membalas chatnya tergantikan oleh foto tersebut.

Aduuuh, aku ini kenapa? Bisik hati Bu Farida dengan bingung dan malu.

Ahhh, orang yang sedang jatuh cinta memang suka membingungkan, Bu Hajjah.

Sambil berdandan, mata perempuan setengah baya yang masih cantik itu tanpa henti melihat handphonenya yang tergeletak di meja rias di kamar, berharap berkedip oleh notif chat WA. Layarnya memang berkedip-kedip menginfokan deret chat yang baru masuk. Namun tidak ada satu pun chat dari si ‘Dia’.

Pagi itu, dengan di temani pak Haji Anas. Bu Farida berangkat menuju ke rumah sakit. Di jalan, Pak Haji menyetir sambil menerima telepon entah dari siapa. Bu Farida yang duduk di depan, samping Pak Haji tidak terlalu memperhatikan. Ia sibuk dengan handphone dan harapan yang tetap sia-sia.

“Zizah sudah duluan di rumah sakit, menunggu di parkiran,” kata Pak Haji memberi tahu.

“Oh, iya,” gumam Bu Farida tidak terlalu memperhatikan ucapan suaminya. Ia sedang asik melihat status Anton di tempat kerjanya.

Senin yang sibuk’ begitu bunyi caption-nya status Anton tersebut. Dengan foto dirinya dikelilingi banyak dus-dus bertebaran. Sedang tertawa sambil mengacungkan dua jari.

Entah kenapa, melihat foto Anton sedang tertawa, Bu Farida ikut tersenyum. Untung saja suaminya sedang berkonsentrasi ke jalan raya yang macet, tidak memperhatikan tingkah laku istrinya yang tidak biasanya.

Sesampainya di parkiran mobil rumah sakit, begitu keluar dari mobil. Tampak dua orang perempuan yang salah satunya melambai-lambaikan tangan di samping mobil Inova warna putih dan tampak menggendong bayi. Bu Farida mengenal salah satunya. Ia menoleh ke suaminya dengan pandangan penuh tanda tanya.

“Lho, bukankah sudah kubilang tadi Zizah sudah menunggu di parkiran rumah sakit,” kata Pak Haji Anas balik menatap dengan kening berkerut.

“Ah, iya,” Bu Farida mengangguk kebingungan, mengingat-ingat kapan suaminya mengatakan hal tersebut.

“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa seorang perempuan muda yang menggendong bayi, mencium tangan pak Haji Anas juga mencium tangan Bu Farida yang membalas salam sambil tersenyum. Keduanya kemudian cipika-cipiki.

“Lama menunggu, Dik Zizah? Sini Farhan biar ibu gendong,” tanya Bu Farida sambil meraih bayi di pelukan madunya. Ke empat orang itu berjalan beriringan, dengan Azizah tampak menggelendot manja di tangan pak Haji Anas.

Bu Farida yang mengikuti dari belakang bersama-sama dengan perempuan tua yang sepertinya asisten rumah tangga Azizah yang tidak dikenalnya, menghela napas. Bagaimanapun, dua puluh lima tahun bersama, dan melihat suaminya digelendotin perempuan muda seumuran Aisyah anaknya. Jelas ada rasa cemburu di hatinya.

Ia mengalihkan pandangannya ke wajah bayi mungil di pangkuannya. MenciBunda dengan gemas, tapi mendadak ia agak tertegun dengan wajah bayi itu. Entah kenapa, menurut perasaannya, wajah bayi itu tidak ada mirip-miripnya dengan suaminya. Dari rambut, kening, mata, hidung … semuanya. Tak ada satu pun bagian dari bayi tersebut ada kemiripan dengan pak Haji Anas! Hati Bu Farida berdebar-debar. Memandang lenggok madunya dari belakang dengan pikiran menduga-duga.

Ah, biarlah, anak ini siapa pun ayahnya, tidak berdosa sama sekali, pikirnya di dalam hati sambil mencium gemas pipi gembul bayi tersebut, sebelum menyerahkannya ke pelukan asisten rumah tangga Azizah Karena bayi mau pun anak kecil di larang masuk ke dalam rumah sakit.

Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor rumah sakit, dengan Bu Farida mengikuti dua orang itu. azizah asik berceloteh bercerita tentang apa saja yang tidak satu pun dipahami Bu Farida.

Ketika mereka berbelok di persimpangan koridor, mendadak Bu Farida melihat satu bangunan yang membuat jantungnya berdetak kencang dan langkahnya sedikit melambat. Pipinya merona merah.

Mana mungkin ia akan bisa melupakan bangunan itu, walau pun malam itu keadaan remang-remang. Bangunan tersebut mengingatkannya akan sebuah adegan mendebarkan yang sekarang membuat seluruh rambutnya seakan meremang. Kenangan yang di hatinya yang paling dalam, diakuinya begitu menggoda, mendebarkan, menggairahkan.

Setelah berhenti, mengawasi bangunan tersebut sejenak, dengan langkah terburu-buru ia segera melangkah menyusul ketika menyadari suaminya menoleh kepadanya.

“Agaknya Dik Zizah untuk sementara tidak usah masuk ke dalam, Abi,” kata Bu Farida hati-hati, takut madunya tersinggung.

Pak Haji Anas, menghela napas dengan wajah muram, “kamu tunggu saja di sini ya, Dek,” katanya kemudian kepada Azizah yang tersenyum sambil mengangguk.

Diam-diam Bu Farida, mau tidak mau harus memuji kecantikan madunya itu. wajahnya memang cantik sekali. Kecantikan khas timur tengah. Di dalam hatinya ia masih heran, perempuan secantik itu mau-maunya dinikahi buntelan kentut seperti suaminya ini.

Dengan langkah gemulai, Azizah menuju bangku tunggu di koridor ruangan pasien. Mengeluarkan handphonenya dan asik sendiri dengan dunianya.

Masuk ke ruangan pasien, tampak Cahyo tergeletak tak berdaya. Tubuhnya penuh balutan. Wajahnya terlihat pucat. Pemuda itu tersenyum menyambut kedatangan ke dua orangtuanya.

Tiba-tiba handphone Pak Haji Anas berdering, dia memberi isyarat ke Cahyo dan istrinya untuk mengangkat telepon di luar kamar pasien.

Beberapa lama kemudian, dia masuk kembali. Duduk di kursi di samping ranjang pasien. Menatap Cahyo sejenak kemudian mengawasi Bu Farida yang sedang mengeluarkan barang-barang kebutuhan menjaga Cahyo.

“Barusan Abi ditelepon salah satu jamaah pengajian Abi,” kata pak Haji Anas membuka percakapan. Kemudian lanjutnya, “dia memberi tahu ada kenalannya yang ahli patah tulang di daerah Sukabumi sana.”

“Sukabumi?” Bu Farida menghentikan kesibukannya sebentar.

Pak Haji mengangguk, “iya. Dia akan menjamin semuanya sampai Cahyo sembuh.”

“Sukabumi jauh sekali, Bi,” tukas Bu Farida dengan nada sedikit tinggi, “luka-luka Cahyo tidak mungkin bisa sekali sembuh dengan sekali datang. Bagaimana bisa Cahyo dibawa bolak-balik ke Sukabumi sana!”

“Dengarkan dulu,” potong pak Haji dengan nada tegas, “Cahyo tidak dibawa bolak-balik, dia tinggal di sana untuk dirawat sampai sembuh.”

“Tapi … ,” protes Bu Farida, namun pak Haji mengangkat tangan sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.

“Dalam penanganan rumah sakit, abi sudah berkonsultasi dengan dokter ortophedi. Cahyo paling cepat pulihnya dalam setengah tahun. Sedangkan menurut jamaah abi itu, Cahyo bisa sembuh dalam setengah bulan, atau sebulan paling lama.”

“Tapi, sebulan di Sukabumi … ,” Bu Farida terlihat ragu-ragu.

“Hanya Cahyo yang menginap di sana,” sahut pak Haji Anas.

“Iya, Bun,” tiba-tiba Cahyo turut bersuara, “di sana tidak disediakan penginapan untuk para penunggu pasien.”

“Kamu tahu?” tanya Bu Farida tercengang.

“Iya, Bunda masih ingat Sony yang motornya tabrakan? Dia kan kakinya patah di tiga bagian, terus dibawa ke Sukabumi, Cahyo kan yang mengantarnya ke sana. Tiga hari saja, kakinya yang patah sudah bisa nendang bola,” kata Cahyo sambil tertawa.

“Nah itu kamu bisa menunggu Sony selama tiga hari, berarti Bunda juga bisa menemani kamu di sana, tidak apa-apa harus menginap di penginapan juga selama sebulan,” ujar Bu Farida.

“Beda situasinya, Bun,” Cahyo menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil sedikit mengerenyit merasakan rasa sakit, “tempatnya di pelosok, Bun. Jauh banget dan di sana tidak ada penginapan. Cahyo bersama teman-teman yang lain kan menginap di rumah penduduk kampung di sekitar padepokan patah tulang itu. Sudah, tidak apa-apa, Bun. Cahyo ke Sukabumi saja daripada tergeletak setengah tahun di rumah sakit. Ampuuun, Cahyo tidak sanggup.”

“Nah, itu baru laki-laki jantan,” pak Haji Anas mengacungkan jempolnya ke arah Cahyo dengan hati senang.

“Kalian berdua itu ya … ,” Bu Farida melotot gemas ke dua laki-laki tersebut.

Pada akhirnya, setelah berdebat sejenak dengan pihak rumah sakit. Esok harinya Cahyo diijinkan untuk dibawa pihak keluarga pasien, dengan menyewa sebuah ambulan menuju Sukabumi. Ambulan tersebut diikuti mobil Fortuner yang dikendarai suami Aisyah, yang di dalamnya berisi pak Haji Anas, Bu Farida juga Aisyah. Azizah, istri muda pak Haji tidak diperbolehkan ikut, mengingat masih punya bayi dan hubungannya yang kaku dengan Aisyah mau pun Cahyo.

Di tengah perjalanan. Bu Farida yang sedang melamun, mendengar nada pelan dari handphonenya yang berada di dalam tas kecil di pangkuannya. Ada chat WA masuk dari layar handphonenya yang berkedip. Chat dari Anton!

Dengan hati berdebar, Bu Farida melirik suaminya yang tertidur pulas, kepalanya bersandar ke tepi kabin di ganjal bantal empuk. Sementara di depan sana, Aisyah sedang asik bercakap-cakap dengan suaminya sendiri.

Dengan handphone masih di dalam tas kecilnya, jarinya menyentuh layarnya. Membuka chat dari Anton sambil matanya kadang melirik ke arah suaminya.

Assalamu’alaikum, Bu Hj Tersayang’

Wajah Bu Farida menghangat oleh rona merah.

Kata ibu, bu hj tersayang sedang ke Sukabumi mengantar Mas Cahyo berobat ya. Cepat pulih lagi Mas Cahyonya, tapi tentu di Sukabuminya lama ya. Anton kangen banget’ emot menangis.

Bu Farida kembali celingak-celinguk sebelum menunduk menyentuh huruf-huruf virtual dengan susah payah karena posisi handphonenya masih di dalam tas.

tidak lama, mengantar saja’

Buru-buru chat obrolan itu dihapusnya.

Tapi muncul chat baru, cepat sekali anak itu mengetik balasannya.

‘alhamdulillah, kita bisa puas kangen-kangenan dong’ emot love.

Bu Farida kebingungan hendak membalas apa. Di saat ia masih kebingungan. Muncul lagi chat-chat dari pemuda itu dengan cepat.

Nanti bilangin pak Haji suruh di istri mudanya saja’

Bu Farida hampir tertawa.

Biar Anton puas bisa memeluk kesayangan’

‘Anton kangen kayak waktu di rumah sakit kemarin itu’

‘Mangku kesayangan, meluk, cium’


Bu Farida cepat-cepat mematikan handphone-nya dengan hati berdebar-debar. Wajahnya memerah, ada rasa takut, cemas, bingung, tapi ada senyum tersembul di bibirnya.

Padepokan tempat mengobati patah tulang itu benar-benar berada di pelosok yang jauh dari mana-mana. Ke dua mobil itu merayap mendaki jalanan yang jeleknya bukan main. Ketika memasuki perkampungan, sebagian dari rumah-rumah penduduk masih berupa rumah panggung.

“Kalau tidak melihat sendiri, sukar dipercaya masih ada kondisi rakyat yang masih seperti ini,” gumam Andi, suaminya Aisyah.

Akhirnya, mereka sampai ke halaman sebuah rumah semi permanen yang besar dan luas. Halaman rumah tersebut, tampak belasan orang sedang duduk atau bergeletakan di balai-balai yang tersedia di situ. Rata-rata anggota tubuh mereka terbebat kain atau kulit pohon. aneh rasanya melihat pemandangan tersebut. Mereka seperti baru saja memasuki kamp pengungsian perang.

Mereka di sambut oleh empat orang pria yang tanpa berkata-kata menggotong tubuh Cahyo yang tergeletak tak berdaya di atas brangkar ambulan. Bu Farida dan Aisyah mengikuti empat orang itu masuk ke dalam rumah. Sementara pak Haji Anas dengan di temani Andi, bercakap-cakap dengan seseorang pria tua yang agaknya usianya sudah lanjut sekali.

Bau ramuan yang menyengat, menyambut mereka.

Bu Farida melihat sebuah ruangan luas di tengah rumah tersebut. Di mana lebih banyak orang sedang bergeletakan di atas balai kayu yang tersebar tidak teratur. Terdengar rintihan kesakitan di mana-mana.

Sesampainya di depan sebuah panggung sederhana. Bau ramuan sangat menyengat tercium, sampai Bu Farida dan Aisyah sedikit menahan napas. Brangkar di letakan di bawah panggung tersebut, kemudian tubuh Cahyo dengan hati-hati diletakan di atas panggung. Salah seorang dari para pria itu berbalik menghadap ke Bu Farida dan Aisyah.

“Cukup sampai di sini sajah, Eneng berdua mengantar,” kata pria itu dengan logat sunda yang kental, “percayakan kepada kami untuk mengobati si Ujang kasep ini sampai pulih kembali!”

Bu Farida mengangguk, kemudian menghampiri Cahyo yang sedang meringis-ringis, duduk di samping anaknya tersebut dengan sedih.

“Kamu masih bisa berubah pikiran, Yo. Kalau ragu-ragu di sini, kita pulang lagi,” kata Bu Farida sambil membelai rambut anak itu dengan penuh kasih sayang, Cahyo yang segera menggeleng.

“Cahyo di sini lebih cepat sembuhnya, Bun. Percayalah, Cahyo sudah melihat buktinya langsung,” tekad pemuda itu sambil tersenyum, kemudian katanya dengan setengah berbisik, “kalau Bunda mau lebih yakin, kecelakaan yang Cahyo alami itu, sudah di ramalkan oleh Abah yang mengobati Sony dulu itu!”

“Jangan ngaco kamu!” seru Aisyah dengan wajah ngeri.

“Serius, Kak. Aslinya!” Cahyo kemudian menceritakan secara singkat yang dialaminya.

Bu Farida dan Aisyah saling pandang, antara percaya dan tidak percaya.

“Memang benar, Neng. Abah itu mempunyai karomah yang sakti sekali. Jadi Eneng berdua tidak usah khawatir, si Ujang Kasep ini kami jamin akan pulih seperti sedia kala,” kata pria yang tadi berkata tersenyum, “sekarang, silahkan untuk keluar, agar kami bisa mempersiapkan si Ujang untuk pengobatannya.”

Dengan berat hati, Bu Farida dan Aisyah akhirnya berjalan menuju ke luar ruangan tersebut setelah Cahyo menenangkan mereka dengan menunjukkan handphonenya, berjanji akan selalu memberi kabar kemajuan pengobatannya.



IKLAN :

(SEPERTINYA ANE TERTARIK UNTUK MEMBUAT SPIN OFF TENTANG CAHYO … Dengan catatan mood dan idenya tersedia … he-he)
:ampun:



Singkat cerita, dalam perjalanan pulang, mereka berempat bercakap-cakap tentang padepokan tersebut, terutama seperti yang diceritakan Cahyo kepada Bu Farida dan Aisyah.

“Bagaimana menurut Abi hal-hal yang seperti itu di jaman modern seperti ini?” tanya Andi kepada bapak mertuanya.

“Hal semacam itu tidak terkait jaman, Andi,” kata pak Haji Anas dengan suara perlahan. Kemudian lanjutnya, “itu akan terus ada sampai yaumil akhir. Point pentingnya adalah bahwa apakah keistimewaan mereka itu berlandaskan Ketuhanan atau tidak. Seperti yang kamu tahu tadi ketika kita bercakap-cakap dengan si Abah, Abi yakin sepuh itu pernah mengenyam pesantren. Jadi, kalian tenanglah, Cahyo berada dalam tangan yang tepat. Melihat Abah sepuh itu menggunakan anugerah istimewanya untuk membantu sesamanya. Itu tentu kebaikan yang sangat berpahala sekali,” tutupnya. Pak Haji Anas tidak menambahkan percakapan rahasia antara dirinya di Abah Sepuh yang tidak didengar oleh Andi. Bahwa si Abah meminta ijin kepada dirinya untuk menahan Cahyo lebih lama di padepokan. Karena menurut Abah, dia melihat potensi dari Cahyo yang mempunyai bakat lebih dari seorang pemuda kebanyakan.

Awalnya, pak Haji Anas keberatan dengan maksud Abah Sepuh. Namun orang tua lanjut usia itu membisikan sesuatu kepadanya yang membuatnya ternganga tak percaya. Dan bisikan itu tentu mengenai Azizah, istri mudanya! Karena kemudian dia sibuk menelepon Azizah dengan rahang mengeras.

Suasana di dalam mobil mendadak hening dan kaku, mendengar nada keras pak Haji Anas yang sedang menelepon.

Wa’alaikumsalam, kamu di mana, Dek?”

“Di rumah? Yakin? Bukannya sedang menonton di AEON Mall sama si Rizal?” nada pak Haji Anas terdengar sangat sinis sekali. Telepon ditutupnya dan digenggamnya dengan keras.

“Tidak usah mampir-mampir lagi, Ndi. Langsung antar Abi ke rumah, dan kalian tidak usah ikut mampir, langsung pulang!” putus pak Haji Anas dengan suara tegas.

Kalau pak Haji Anas sedang marah, tidak ada seorang pun yang akan berani interupsi walau sebenarnya ingin sekali mereka mengetahui apa yang terjadi.

“Siapa Rizal, Bun?” tanya Aisyah di dalam perjalanan seusai mengantar Abinya turun di rumah istri mudanya.

“Entahlah, bunda juga tidak kenal,” sahut Bu Farida dengan wajah bingung. Diam-diam ia kembali teringat kebingungannya ketika menggendong anak tirinya itu yang tidak ada kemiripan sama sekali dengan suaminya. Hmmm, jangan-jangan …Bu Farida cepat menendang jauh-jauh su’udzonnya sambil beristighfar.

Gerimis turun bertepatan dengan tibanya Bu Farida di rumahnya ketika waktu menunjukan pukul 10 malam.

“Aisyah ga mampir ya, Bun. Besok ada meeting,” kata Aisyah sambil mencium tangan Bu Farida yang hanya mengangguk.

Setelah menyalakan lampu, Bu Farida masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap pergi mandi. Karena tubuhnya terasa sangat lengket sekali, ketika mendengar bunyi dering handphone yang masih berada di dalam tas.

Karena masih kepikiran tentang tindak-tanduk aneh suaminya. Bu Farida yang sudah mengenakan handuk, mengambil handphonenya, barangkali ada berita dari suaminya itu. namun ketika melihat si pemanggil, wajah Bu Farida berubah merah. Hanya sayang, panggilan itu berhenti sebelum diangkatnya. Antonlah si penelepon itu.

Di layar ada notif chat WA.

‘Kesayangan, Anton di depan nih

Deg. Jantung Bu Farida seakan mau copot membaca chat dari Anton tersebut. Terdengar guntur menggelegar di luar sana disertai gemuruh hujan deras. Ia menarik napas lega. Segera mengetik balasan.

Jangan becanda ah. Bikin panik aja.’

‘Lah, beneran tuh’
 
Ada lampiran foto. Teras rumahnya!

Aduh’

Hanya itu yang bisa dibalasnya.

‘Kenapa? Terpeleset lagi kok aduh?’

Anak ini, pikir Bu Farida antara gemas dan gereget.

Kamu pulang aja ya. Ibu takut’

Telepon berdering. Anton memanggil.

Dengan hati bimbang, mau tidak mau ia mengangkat juga panggilan tersebut.

Assalamu’alaikum,” terdengar suara Anton.

Wa-wa’alaikumussalam,” sahut Bu Farida dengan suara tergagap.

“Saya kedinginan nih. Tega banget ih!

“Aduh! Jangan nekad, Anton. Ibu takut!”

Nah, justru karena takut Anton bisa temenin kan!”

“Bukan takut itu,” kata Bu Farida dengan suara gemas, “kamu malam-malam datang, takut ada yang lihat!”

“Hujan-hujan begini mana ada orang iseng lihat-lihat rumah orang atuh, Bu!”

“Tetap saja. Kita mana tahu kan. Pulang saja ya, ibu mohon!”

“Jadi Anton pulang saja nih?”

“I-iya, ibu takut!”

“Jadi ibu tega, lihat Anton pulang hujan-hujanan? Jalan kaki pula.”

Lho, memang motornya kemana?”

“Mogok. Cuma karena Anton kangen banget, Anton nekat datang. Tapi ternyata malah diusir pulang hujan deras begini pula. Teganya!” nada suara Anton terdengar sedih.

Perasaan halus Bu Farida bergejolak. Sungguh ia pun … rindu. Betapa pikirannya selalu dipenuhi bayangan pemuda itu.

Lupa bahwa ia masih mengenakan handuk, dengan langkah sedikit tertahan-tahan, Bu Farida melangkah menuju ruang depan. Mengintip dari balik gorden.

Benar saja. Dalam penerangan lampu teras, terlihat, Anton sedang berjongkok menggigil kedinginan di pojok, berlindung di balik tiang penyangga dak teras.

Dengan hati bingung, Bu Farida meraih kunci dan membuka pintu sedikit.

Angin dingin yang basah menyerbu masuk.

Bu Farida menjerit kecil, tubuhnya menggigil terhembus angin basah tersebut. Baru menyadari ia hanya mengenakan handuk. Saking kagetnya, perempuan setengah baya itu membalikkan badannya bermaksud kembali ke kamar. Namun libatan ketat handuk menghalangi langkah gugupnya. Tubuhnya terhuyung, tangannya menggapai sisi sofa ruang tamu. Menoleh, menatap pintu yang menjeblak terbuka dibanting angin. Menatap sesosok tubuh tinggi tegap yang masuk.

Langkah sosok itu tertegun. Matanya menatap terpana ke pemandangan indah di hadapannya!

Dia bukan lain adalah Anton! Yang kemudian menutup pintu sekalian menguncinya. Dengan langkah pasti, dia menghampiri sosok sintal yang hanya terbalut handuk, bersandar lemah ke sisi sofa. Tubuh itu menggigil dan gemetar.

“Anton …,” hanya itu yang sanggup diucapkan bibir tipis itu ketika Anton dengan berani, meraih sosok yang kemudian terkulai lemah tersebut ke dalam pondongannya.

“Terpeleset lagikah?” bisik Anton dengan tatapan lembut. Duduk di kursi santai di ruang keluarga dengan tubuh sintal Bu Farida di pangkuannya.

“Ah, Anton … jangan,” desah Bu Farida memejamkan matanya dengan tubuh tak berdaya walau pun harga dirinya menyuruhnya mencoba meronta hanya untuk sekedar menyatakan dirinya tidak terlalu cepat pasrah. Namun itu hanya salah satu keinginan kecil dari setumpuk keinginan lain yang lebih besar.

Anton mengecup kening yang mulai berkeringat itu. menyibakkan anak-anak rambutnya dengan lembut. Detil yang tampak sepele dan kecil namun berdampak besar. Bu Farida merasakan gejolak sensasi luar biasa di setiap sentuhan itu.

“Anton kok jadi teringat di rumah sakit kemarin dulu ya. Hampir sama, Cuma suasananya berbeda,” bisik pemuda itu, dengan nakal menggigit lembut cuping telinga Bu Farida.

“Anton … ahhh,” tubuh perempuan itu menggigil gemetaran. Menggelinjang, ketika jari-jari nakal pemuda itu menggaruk bahu turun ke pangkal lengannya, “i-ibu belum mandi. Ma-masih b-bau,” gagap kata-kata Bu Farida.

“Tidak apa-apa. Buat Anton tetap saja wangi kok,” sahut Anton sambil mencium pipi yang mulai kemerahan tersebut.

“Tidak boleh, Nak. I-ini dosa,” rintih perempuan itu mencoba mempertahankan akal warasnya, menahan tangan Anton yang jari-jari nakalnya menelusuri handuk sampai ke pahanya. Menggaruk lembut.

Namun akhirnya pertahanan yang sudah sangat tipis itu jebol juga, ketika Anton menunduk mengecup lembut bibir tipisnya yang merah basah.

Sosok yang menyiksa batinnya dengan rindu dendam selama berhari-hari itu kini memeluknya. Memberikan semua yang diangan-angankan dan disembunyikan di relung paling gelap hasratnya.

Di luar kuasanya, kalau tangannya kini bergelung di leher kokoh itu ketika mereka terus berpagutan dengan cepat. Lidah mereka saling bertaut, bertukar liur sampai gigi-gigi mereka saling beradu.

Jari-jari Anton sudah berkeliaran ke mana-mana. Menyentuh, membelai dan menggaruk.

Dalam pangkuan Anton, tubuh sintal itu menggeliat dan menggelinjang.

“Kamar?” tanya Anton di sela mengambil napas dari ciuman tak berkesudahannya.

Bu Farida hanya menatap sayu. Meringkuk dalam pondongan Anton dengan hati berdebar-debar seperti debur ombak ganas.

“Ja-jangan kamar itu. ke sana saja,” mata sayu itu menunjukkan letak kamar Aisyah. Jelas, ia masih merasa bersalah untuk menggunakan kamar yang biasanya hanya ditiduri oleh dirinya dan suaminya.

Anton menurut.

Sesampainya di dalam kamar, tubuh sintal yang handuknya sudah terjatuh di atas sofa ruang tamu itu, dibaringkannya dengan kehati-hatian seperti seorang kurator museum meletakan porselen yang rentan pecah.

Anton berdecak kagum.

Tubuh yang tengah tergeletak dengan kaki terlipat dan tangan yang menutup gunungan yang membusung itu, sungguh sempurna sekali. Sepasang kaki jenjang yang putih mulus, lututnya tertekuk menyamping. Namun tidak bisa menyembunyikan sembulan vagina yang terjepit paha mulusnya. Vagina berwarna kemerahan dengan rambut-rambut halusnya yang mengintip. Naik ke atas, perut itu memang tidak serata perut seorang perempuan yang merawat tubuhnya secara maksimal dengan pergi ke gym yang mahal atau pun rutin ke perawatan pijat lemak perut. Namun dibandingkan dengan perut perempuan seumurannya, jelas menang jauh.

Ibu Anton sendiri, Bu Jubaedah. Perutnya ketika dalam posisi merangkak, jelas kelihatan menggantung. Dan perut Bu Farida ini, anda bisa membayangkan perut rata milik Wulan Guritno. Hanya saja, Wulan Guritno tidak mempunyai pinggul sebulat Bu Farida ini. Wulan Guritno hanya menang di ramping. Bahkan payudaranya, artis setengah baya itu kalah jauh. Payudara milik Bu Farida, bulat sempurna, begitu padat dan mengkal. Memang tidak sebesar payudara Bu Jubaedah yang menggelembung. Namun besarnya proporsional. Bisa diadu dengan perawan umur 20-an, perawan itu tentu tidak ada apa-apanya.

“Jangan dilihat. Malu. Nenek-nenek begini,” desah Bu Farida yang tadi memejamkan mata, terpaksa mengintip pemuda itu yang dirasanya belum juga menjamahnya.

“Indah sekali tubuhmu, Bu,” gumam Anton dengan tatapan terpesona.

Perempuan setengah baya itu hendak berkata, namun kata-katanya ditelan kembali ketika jari-jari Anton mulai bergerilya. Membelai betisnya lalu merayap naik.

Bu Farida menggigit bibirnya oleh rasa geli dan rasa lainnya yang membuat seluruh bulu-bulu ditubuhya meremang.

Anton yang sekarang, jelas bukan Anton yang hampir sebulan yang lalu masih polos dan bloon soal mencumbu perempuan.

Di bawah panduan perempuan sematang Bu Jubaedah. Anton kini menjadi seorang pecumbu lihai. Dia sudah memahami seluk-beluk tubuh perempuan. Mengetahui benar bagian-bagian sensitif yang mampu membakar gairah lawan mainnya secepat sumbu meriam.

Dengan tenang, dia menciumi betis mulus itu. kadang menggigitnya lembut. Kemudian ke paha. Jari-jarinya sudah mendahului menggaruk dan membelai perut Bu Farida, kadang menyamping, membuat garukan memanjang di pinggulnya.

Istri pak Haji Anas yang tengah tenggelam dalam asmara itu, mencoba bertahan dengan menggigit bibirnya keras-keras. Sumpah mati, ia seumur-umur tidak pernah mendapat perlakuan dicumbu dan dirangsang sedemikan rupa.

“Annn-thooon,” rintihnya kemudian tanpa dapat ditahannya. Gelegak birahinya seperti letupan lahar di puncak gunung yang siap meledak sewaktu-waktu. Padahal Anton saat itu belum sampai menyentuh dua bagian paling sensitifnya!

“Sabar, Sayang. Anton ingin menikmati setiap inchi tubuh indahmu ini,” bisik Anton yang lidahnya sudah sampai di pangkal paha hampir ke selangkangan. Membuat satu hisapan kuat yang membuat pinggul Bu Farida mendadak melambung.

“Aaakhk!” kepala Bu Farida menghentak ke belakang dengan bibir ternganga dan mata mendelik. Merasakan ngilu-ngilu nikmat ketika ada benda lunak, basah dan hangat menyentuh sesuatu di mustika miliknya. Ke dua tangannya sudah lupa menutupi payudaranya. Kini tangan itu terentang meraih apa saja yang bisa diraihnya untuk diremasnya kuat-kuat.

Bibirnya yang ternganga, menghisap udara dengan cepat. Sesaat kemudian, dengan penasaran ia melihat apa yang tengah dilakukan pemuda itu.

Baru ia menyadari ke dua lututnya sudah merenggang. Ke dua sikunya menancap di kasur agar tubuhnya bisa sedikit bangun. Di sela antara lembah dua gunung kembarnya. Bu Farida melihat kepala Anton tengah tenggelam di selangkangannya.

“Ihhh, Anton, jorok! Kamu tidak jijik, Nak?” pekiknya dengan heran. Kemudian tubuhnya kembali ambruk, mengejang hebat saat Anton menjawabnya dengan gelengan kepala. Mulut terlalu penuh untuk berkata-kata, karena sedang mengunyah vagina indah milik Bu Farida. Gelengan kepalanya otomatis membuat perempuan itu merasa vaginanya sedang dicabik-cabik, ditarik ke kiri, ke kanan. Nikmat dan lezatnya tak terkatakan.

“Anton, i-ibu tidak tahaaan. Amphuuunsssh!” desis Bu Farida dengan suara lemah dan napas terengah-engah. Pinggangnya terasa panas menahan kontraksi otot perutnya. Rasa ngilu terasa sampai ke ulu hatinya. Tanpa sadar, ke dua pahanya menjepit kepala Anton sekuat-kuatnya.

Gunung itu pun meledak.

Memuncratkan lahar panas berlapis-lapis.

Beberapa saat. Tubuh Bu Farida tergeletak tak bergerak. Seperti pingsan. Namun dadanya yang membusung tampak naik turun dengan cepat. Hanya terdengar deru napasnya yang terengah-engah.

Gila! Hanya beberapa menit saja, belum apa-apa ia sudah sampai di puncak kenikmatan birahi yang tiada bandingannya, pikir Bu Farida. Tubuhnya masih terasa lemas oleh rasa nikmat, mengingat ia barusan tidak sengaja menjepit kepala pemuda itu dengan pahanya. Khawatir Anton kenapa-napa, ia memaksakan diri untuk bangun dibantu ke dua sikunya.

Bu Farida ternganga, saat melihat Anton sedang menyengir dengan mulut penuh dengan lendir.

“Mm-maaf!” kata Bu Farida dengan hati malu. Ia buru-buru meraih selimut yang masih terlipat rapih di ujung pembaringan. Kemudian mengelap wajah pemuda itu dengan penuh rasa sayang.

“Enak, Sayang?” tanya Anton sambil mengecup kening dan pipi Bu Farida yang merona.

“hm-mmh,” gumam Bu Farida dengan suara tidak jelas. Seluruh wajahnya tampak kemerahan.

Namun ketika Anton mencium bibirnya dan lidah mereka saling bertaut. Bu Farida mencium aroma asing berikut rasa getir-getir kesat di lidahnya. Ia agak jijik, itu jelas dari lendir yang keluar dari vaginanya! Namun sepertinya Anton tidak mempermasalahkannya. Maka, mau tidak mau, Bu Farida terpaksa turut mencoba tidak memperdulikannya. Ia malah makin penasaran. Menunggu dengan hati berdebar-debar, apalagi yang hendak dilakukan oleh pemuda itu untuk memuaskan dahaganya akan birahi. Ia sudah melupakan rasa takut akan dosa. Ia hanya ingin kembali menikmati puncak orgasme yang luar biasa dan belum pernah dirasakannya selama 25 tahun berumah tangga. Suaminya tidak mampu memberikannya. Pemuda inilah ternyata yang bisa membuatnya terkapar hanya dalam beberapa menit. Itu pun belum sampai ke persetubuhan yang sesungguhnya.

Ini baru pemanasan, begitu istilahnya orang-orang.

Keduanya duduk berhadapan, yang satu bersimpuh yang satu lagi dengan kaki terlipat ke belakang. Sekilas, sudut mata Bu Farida melihat benda yang mengacung dengan jarak yang sangat dekat, bahkan ujungnya sesekali menyentuh perutnya. Terasa kakunya.

Bukannya ia tidak pernah melihat barangnya orang laki-laki. Penis suaminya sendiri sering dilihatnya. Namun ukuran besar dan panjang barang ini sungguh membuatnya takjub. Pantas saja kemarin dulu vaginanya seakan terasa robek. Duhhh, Bu Farida mulai gelisah, ia menginginkannya barang itu tertanam secepatnya di rahimnya. Namun pemuda itu seakan ingin menyiksanya. Rangsangan dan cumbuan tanpa henti Anton membuat dirinya tersiksa, siksaan yang nikmat!

Bu Farida mengangkat dagunya, memberi ruang Anton untuk mengeksplor leher jenjangnya. Giginya menggaruk-garuk di leher tersebut, sambil sesekali menghisap dan mencium. Dengan satu tangan menahan punggung perempuan itu agar tetap tegak, tangan yang lain sudah sibuk meremas dan memuntir-muntir puting payudara yang bulat membusung menggemaskan tersebut.

“Sssh … duhhhsh, Nhaak Antoooon!”

Bu Farida hanya bisa merintih dan mengerang. Kemudian tubuhnya sedikit melenting ke belakang ketika mulut Anton sudah sampai di bukit indah yang menggantung menantang tersebut. Ia tidak menyadari, kulit putih mulus leher sampai dadanya sudah timbul gurat-gurat kemerahan dari garukan gigi-gigi Anton. Bahkan yang di bawah dagunya ada dua bulatan kecil merah.

Tubuh Anton melengkung memudahkan dirinya memuaskan mulutnya di dua bukit yang lunak membusung itu.

Hampir separuh dari bongkah lunak itu seakan tersedot masuk ke dalam mulut pemuda itu.

“Duhhhssh,” lenguh Bu Farida merasakan geli nikmat, ketika puting payudaranya yang sedang di telan Anton, dipermainkan lidah dan gigi pemuda itu. ke dua tangannya bergelung di leher Anton agar tubuhnya yang terasa lemas tidak terjengkang.

“Ihhh!” Bu Farida menjerit kecil dengan hati malu, ketika tangan Anton menuntun tangannya agar menggenggam batang penisnya.

“Kocok, Sayang,” dengus Anton dengan suara memburu di sela-sela kegiatannya menikmati ranumnya dua buah daging lunak yang menggairahkan itu.

Bu Farida kebingungan. Ia menggenggam batang pejal tersebut dengan jari-jari lentiknya. terasa panas dan berdenyut-denyut.

“Ouwh!” Bu Farida sedikit melonjak ketika merasakan jari nakal pemuda itu, membelah pantatnya dari belakang. Menusuk lalu menggaruk-garuk kecil lobang pantatnya, dengan jari yang lain menyelinap di vaginanya.

Sengatan nikmat yang menusuk, membuat napasnya terasa sesak.

Pemuda ini sungguh lihai sekali, tentu sudah banyak perempuan yang pernah merasakan kehebatannya, pikir Bu Farida dengan hati cemburu.

Anton sebenarnya masih sangat ingin menikmati mencumbu dua buah daging lunak yang indah itu. dia memang sangat menyukai payudara. Apalagi payudara seindah itu. namun dia merasa kasihan dengan perempuan itu. Tubuh Bu Farida terasa menggigil dalam dekapannya, hembusan napasnya terdengar memburu terengah-engah. Bahkan sesekali bahunya digigit keras-keras tanpa sadar. Dia sangat tahu dengan hal tersebut. Biasanya untuk ibunya, tentu akan segera memintanya untuk menyetubuhinya. Namun tentu tidak dengan perempuan ini, ia masih malu-malu, hanya menunjukkan dengan beberapa isyarat saja.

Tubuh sintal itu dipeluk dan direbahkannya dengan hati-hati di atas kasur. Wajah Bu Farida sudah merah dibakar birahi, matanya sudah sangat sayu, menatapnya penuh permohonan.

Anton mengecup kening yang sudah berkeringat tersebut. Sesaat kemudian mereka berpagutan dengan cepat.

Bu Farida menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap sayu ketika Anton merenggangkan ke dua lututnya yang tertekuk.

Anton meletakan batang penisnya di belahan vagina Bu Farida yang sudah sangat basah dan lengket.

“Crek-crek-crek.” Terdengar bunyi decak halus seiring gesekan batang penis berurat itu di belahan vagina yang bibir-bibirnya sudah merah menyala.

“Hati-hati, Nak,” desah Bu Farida dengan wajah khawatir. Ia sudah mengetahui benar ketika batang itu tertanam di rahimnya. Sakitnya seakan masih terasa.

Anton mengangkat pantatnya setengah berjongkok. Dibantu jari-jarinya merenggangkan bibir vagina Bu Farida, dia meletakan helm besar berkutilnya di lubang basah berbusa itu yang masih kelihatan sempit, sehingga secara logika, helm penis sebesar itu tidak mungkin muat di lubang sesempit itu.

Pantat Anton menekan. Menekan. Dan terus mendorong.

‘Slep!’

Helmnya sudah masuk. Lubang itu seperti mencekik di cincin helm penisnya.

“Akkkh!” Bu Farida mengejang. Punggungnya mengeras sementara otot perutnya terasa kram.

“Tahan, Sayang,” geram Anton. Jari-jari yang tadi membantu merenggangkan bibir vagina Bu Farida, kini mengelus dan menggaruk klitoris perempuan itu. Sementara tangan yang lain, sibuk meremas dan memelitir salah satu puting payudaranya. Tiga kegiatan dalam satu tindakan, adalah sesuatu hal yang luar biasa bisa dilakukan oleh seorang laki-laki yang sedang menyetubuhi pasangannya. Karena itu perlu keahlian dalam membagi konsentrasi. Dan Anton mampu melakukannya!

Hal itu dilakukannya agar Bu Farida tidak terlalu merasakan sakit di rahimnya.

“Hemmmfh!” Bu Farida memejamkan mata sambil menghembuskan napas kuat-kuat untuk menahan desakan hebat di rahimnya. Untunglah, Anton membantunya meredam rasa sakit itu dengan dua kegiatan lain yang nikmat.

Anton terus mendorong.

‘Prrrt! Blesssh!’

Bu Farida hampir semaput.

Akhirnya penisnya tenggelam sepenuhnya tertelan rahim Bu Farida. Vagina itu tampak menggembung penuh.

Anton mendiamkan sejenak penisnya dikunyah-kunyah oleh rahim Bu Farida. Dia menatap wajah perempuan itu yang terlihat gelisah, menggeleng ke kiri dan ke kanan. Mata terpejam, bibir bawahnya digigit erat dengan wajah merah berkeringat. Sungguh pemandangan terindah dari seorang perempuan yang sedang diamuk birahi. Anton tersenyum puas penuh kemenangan.

Perlahan-lahan Anton menarik pantatnya ke belakang. Vagina itu melawan dengan hisapan yang sangat kuat. Nikmatnya tak terkatakan. Dia terus menarik sampai cincin helmnya tersembul. Kemudian mendorong kembali.

“Ahhhssssh!” Bu Farida mendesah panjang, ia sudah tidak kuat menahan desakan nikmat dengan menggigit bibirnya. Ia sudah tidak perduli apa-apa lagi. Bahkan bila perlu, ia ingin menjerit-jerit dengan kenikmatan tersebut.

Dalam tiga ayunan, Anton ingin menggoda perempuan itu di ayunan ke empat. Dia mencabut penisnya dengan helm yang sudah dilumuri cairan kental berwarna putih.

‘Plof’

“Akh,” Bu Farida mengerang kecewa. Mata sayu yang sedikit berair itu menatap penuh tanda tanya.

“Lagi?” Anton menggoda dengan senyum nakal.

“Enggghhh,” Bu Farida menjawabnya dengan rengekan. Pinggulnya melenting naik mengejar penis nakal tersebut.

Anton kembali menekan.

‘blesh!’

Tidak sesulit yang pertama. Rahim itu sudah beradaptasi dengan besarnya batang penis Anton. Dia mulai menggenjot. Kedua tangannya sudah dari tadi sibuk dengan bongkah kenyal dari payudara Bu Farida.

Persetubuhan dahsyat tersebut tentu membuat Bu Farida seperti dilambung-lambungkan ke angkasa raya. Nikmatnya lebih dari saat pertama kali diperkosa pemuda itu. kini, ia memang menginginkannya. Sangat menginginkannya. akumulasi dari keinginan-keinginan birahi selama kurang lebih 25 tahun. Menjadi ledakan nuklir birahi yang mengguncangkan dada.

Anton terus menggenjot diiringi liukan erotis pinggul Bu Farida yang tanpa menyadari kemampuan alaminya.

Erangan dan geraman saling sahut. Aroma berahi menguar tajam di kamar tersebut.

Kemampuan Anton memang sudah terlatih. Apalagi ditunjang dengan kekuatan tubuhnya agar tidak jebol buru-buru. Menit-menit berlalu dengan cepat tanpa terasa. Masih dalam posisi missionaris, dua tubuh yang sudah dibanjiri peluh itu bergulat. Bu Farida sudah mulai bisa mengimbangi ketangguhan Anton setelah tadi jebol hanya dalam waktu beberapa menit. Ia bertahan, demi agar tidak mengecewakan pemuda itu. ia ingin memberi kepuasan yang sama dengan yang pernah diraihnya.

Anton menatap kagum perempuan itu yang mampu bertahan lama dalam pertempuran birahi tersebut. Dia tahu, Bu Farida hampir beberapa kali jebol, karena merasakan remasan kuat di batang penisnya, namun kembali dinding-dinding rahimnya kembali rileks.

Pemuda itu menjadi penasaran, tubuhnya kini meliuk lentur dalam gaya lumba-lumba. Menyerang dengan kutil andalannya yang berada di pangkal batang penisnya. Pantatnya bukan lagi menggenjot naik turun, melainkan menggesek maju-mundur.

Benar saja. Bibir merah basah itu ternganga-nganga oleh kelezatan nikmat tiada tara.

“Duhhhsssh. Enggghhhsh!” Bu Farida kelojotan.

Ke dua tangannya meraih tengkuk Anton, menariknya sekaligus menguncinya. Dengan tanpa malu-malu lagi, ia menciumi wajah pemuda itu sambil berdesah-desah. Mulut ke dua orang itu saling mengunci. Terdengar gemeletuk beradunya gigi-gigi serta decap lidah-lidah mereka yang saling menghisap.

Anton merasakan keistimewaan vagina Bu Farida, sedikit berbeda dengan vagina tebal ibunya. lebih legit dan mempunyai daya hisap yang luar biasa.

“Owwwh, Hrrrsssh. Nikmat benar memekmu, Sayaaang,” geram Anton di sela mengambil napas dalam berciuman.

“Hmmmhh,” rintih Bu Farida sebagai jawabannya.

Keduanya berpelukan erat, dengan gigi masing-masing menghunjam di pundak.

Anton menekan pantatnya sekuat-kuatnya. Sementara kaki-kaki jenjang Bu Farida, mengikat pantat pemuda itu, ketika keduanya melepas lendir kenikmatan yang tiada duanya bersamaan.

Ketika nafsu birahi mereka sudah reda, baru terasa ruang kamar tersebut gerahnya bukan main. Tubuh keduanya basah oleh keringat. Bu Farida meraih remote AC dengan malas-malasan, ia sesungguhnya tidak ingin lepas dari pelukan pemuda itu, tapi hawa kamar panas sekali.

Dengan cepat, suhu kamar menjadi sejuk. Perempuan itu menarik selimut yang terhampar, lupa bahwa selimut tersebut tadi dipakai mengelap wajah Anton dari semburan cairan orgasmenya.

Di dalam selimut, mereka berpelukan tanpa kata-kata, hanya saling membelai dengan rasa sayang. Terutama Bu Farida yang telah takluk sepenuhnya.

“Anton ingin nenen lagi, Bu. Susu ibu sungguh membuat Anton tergila-gila,” bisik Anton sambil mengecup lembut pipi perempuan setengah baya tersebut.

Kamu juga sudah membuat ibu jadi gila, Anton. Kata Bu Farida di dalam hatinya. Ia hanya tersenyum, menggeser naik tubuhnya, dengan sedikit menggeliat ia mengangsurkan payudaranya yang indah membusung. Anton segera menyerbu sepuas-puasnya.



Begitulah yang terjadi semalam suntuk. Anton seperti mendapat lawan yang sepadan. Walau pun Bu Farida seumuran dengan Bu Jubaedah, ibunya. Namun soal ketahanan melayani hasrat birahi pemuda itu, Bu Farida mampu mengimbanginya. Bu Farida benar-benar merasakan nikmatnya birahi yang tidak ada putus-putusnya. Menjelang subuh, dalam dekapan tubuh tegap Anton, perempuan itu terlelap dengan senyum penuh kepuasan.

*

Hari-hari selanjutnya. Anton dapat menikmati dua vagina yang secara bergantian. Nafsu besarnya terlampiaskan dengan adanya Bu Jubaedah dan Bu Farida.

Bahkan dua minggu kemudian, dia mendapat vagina perempuan yang ketiga, yang bukan lain adalah milik Annisa!

Pada awalnya, memang Annisa lebih menyukai Anton, namun sikap pendiam pemuda itu, membuatnya ragu-ragu untuk membuatnya seakrab seperti kedekatan dirinya dengan Herry. Namun ketika ia mendapat bisikan dari Herry bahwa pemuda itu telah menyetubuhi ibu kandungnya sendiri. Betapa dirinya tercengang tidak percaya. Namun membayangkan perbuatan incest itu, malah membuat dirinya merinding sendiri. Kenyataan bahwa di rumahnya sendiri, hubungan terkutuk itu sudah terjadi antara Parmi dan Pak Abdul. Diam-diam ia menginginkan Anton juga untuk menyetubuhinya.

Dan itu tidak sulit. Dengan bantuan Herry juga kepercayaan dirinya bahwa ia lebih muda dan lebih menarik dari Bu Jubaedah. Pemuda itu akhirnya terpikat juga.

Annisa sudah menjelma menjadi perempuan yang binal. Jilbab yang dikenakannya hanyalah cangkang dari dusta dan palsu untuk menutupi hasrat liarnya tentang seks.

Dan Anton mampu memuaskannya lebih dari yang bisa dibayangkannya. Penis istimewa pemuda itu mampu membuatnya menggelepar dan kelojotan.

Yang lebih luar biasa lagi. Ia sudah tidak perduli lagi kebinalannya diketahui oleh Ferdian, suaminya yang gay itu. Dan gilanya, Ferdian malah merasa senang hati. Orientasi seksnya yang menyimpang seperti mendapat persetujuan tidak langsung, dia sendiri tidak mau kalah, membawa Ardi atau Anggi secara bergantian atau malah sekaligus keduanya. Ketika suatu waktu, Annisa melakukan threesome dengan dua kakak adik itu sekalian. Bahkan sebetulnya, Ferdian sendiri tertarik dengan Herry dan Anton, namun ancaman serius yang dilontarkan Annisa, membuatnya tidak berkutik, hanya mampu meneguk ludah ketika melihat tubuh-tubuh kokoh berkeringat kakak-beradik itu lalu-lalang di depannya.

*

“Gila! Sungguh gila sekali enaknya kontolmu, Sayang,” lenguh Annisa seusai keduanya bersetubuh pada suatu sore. Memejamkan mata sejenak, menikmati kedutan batang kekar Anton di dalam rahimnya. Anton hanya menjawab lewat dengusan di hidungnya karena mulutnya sedang penuh oleh payudara Annisa.

Tiba-tiba Herry masuk ke dalam kamar sambil menyeringai. Tanpa kata-kata, Herry membuka seluruh pakaiannya, naik ke atas ranjang, kemudian mengangkat pantat Annisa hingga penis Anton yang masih tenggelam di vagina perempuan itu terlepas.

‘Slep!’

Penis Herry sudah dijejalkan ke dalam vagina Annisa yang merah merekah.

“Anjing! Gue masih belum napas, Herry Bangsat!” maki Annisa dengan ngos-ngosan. Ngilunya bukan main. Rahimnya seperti dikilik-kilik. Dengan posisi menungging seperti itu, ia tidak bisa membalas kekasaran Herry langsung ke orangnya. Anton lah yang menjadi sasarannya. Bahu sampai ke dadanya, tampak guratan akibat cakaran Annisa. Perempuan itu berubah menjadi garang kalau yang menyetubuhinya adalah Herry.

Setengah jam kemudian, Annisa tergeletak dengan badan serasa luluh lantak di antara Herry dan Anton.

“Sepertinya aku hamil!” katanya dengan nada santai.

“Whaduh!” seru ke dua pemuda itu bersamaan. Menatap Annisa dengan kaget.

“Kenapa? Cuma lu berdua yang ngewe gue. Jadi yang gue kandung ini anak salah satu dari lu berdua!” kata Annisa dengan nada tinggi. Wajahnya merengut tidak suka.

“Ooo … oke, tidak apa-apa, Nis. Aku senang sekali bisa punya anak dari kamu,” ujar Herry yang lebih dulu mampu mencairkan suasana, memeluk Annisa sambil mengecup keningnya. Kemudian katanya kembali, “ngomong-ngomong, nanti antara aku sama Anton, siapa yang boleh nikahin kamu?”

Annisa tertawa geli, “statusku masih bini Ferdian, memangnya mau poliandri?”

“Eh, terus bagaimana ini?” celetuk Anton dengan wajah bingung.

“Tenang, Sayang,” ujar Annisa sambil mengelus pipi Anton, “status resmi aku tetap akan menjadi istri Ferdian. Namun realitasnya, aku istri kamu berdua.”

“Lah, kenapa kamu tidak minta cerai saja? Aku atau Anton tentu dengan senang hati dipilih kamu untuk menjadi suamimu,” kata Herry dengan kecewa. Sungguh, dia rela untuk menjadi suami dari perempuan secantik Annisa, dan rela pula seandainya Annisa lebih memilih Anton untuk menjadi suaminya.

Annisa tersenyum pahit, “aku belum sanggup untuk minta cerai kepada Ferdian. Untuk sekarang-sekarang ini, aku mohon kalian berdua mengerti kesulitanku ini!”

Herry dan Anton saling pandang. Mereka memang belum mengerti kesulitan apa yang dialami Annisa itu.

“Ceritakanlah, aku dan Anton tentu akan membantu sekuat tenaga untuk meringankan kesulitanmu itu! Aku mau pun Anton memang tidak setajir Ferdian, namun tentu akan bisa menjadi suami yang lebih baik daripada Ferdian.”

Annisa menggeleng, “nanti mungkin akan aku ceritakan, tapi untuk sementara ini aku belum bisa cerita apa-apa. Nah, sekarang, siapa yang mau duluan menengok calon anak ini?” ujar Annisa tersenyum manis.

“Eh, tapi aku ada permintaan untuk dikabulkan,” Annisa mengedipkan matanya sambil kembali tersenyum menggiurkan.

“Apa itu?” tanya Anton yang tidak tahan ketika tangan Annisa menyelinap ke balik selimut dan menyentuh penisnya.

“Aku terus terang saja, lama-lama kewalahan juga melayani nafsu seks kalian berdua. Aku ingin dibantu ibu kalian. Bawalah kemari, ia tentu bisa membantuku bertempur dengan kalian berdua!”

“Hah?”

“Busyeeet!”

Herry dan Anton ternganga.

“Alaaah, jangan pura-pura kamu, Her. Aku tahu kamu juga ikut menyetubuhi ibumu sendiri. Entah kenapa, aku ingin sekali kita main berempat. Seru kali ya!”

“Whalah-whalah-whalah!” Herry dan Anton secara bersamaan bangun dan bersandar ke kepala ranjang ukuran big size tersebut.

“Kalau kalian bingung, besok aku sendiri yang jemput beliau,” kata Annisa sambil memiringkan tubuhnya ke Anton, menarik selimut lalu dengan cepat menyerbu penis Anton yang sempat terkulai karena majikannya kaget.

“T-tapi, mana mungkin ibu mau, iya kan, Her?” Anton menoleh ke arah Herry yang tampak sedang berpikir keras.

“Memang sulit! Sepertinya mustahil juga ibu bakalan mau,” Herry mengangguk dan menggeleng.

“Sudahlah! Itu nanti aku yang mengatur. Besok aku yang jemput ibumu. Sekarang tolong, kamu jilat memekku. Tapi tidak boleh mengewe duluan. Aku ingin ngewe dulu sama Anton!” kata Annisa dengan suara binal, menggeser pantatnya ke arah Herry, sedikit mengangkatnya sehingga kelihatan belahan vaginanya yang merekah merah segar.

Begitulah yang terjadi kemudian. Keinginan Annisa yang kebinalannya sudah melampaui batas kewajaran, terpenuhi, ketika ia bisa membawa Bu Jubaedah ke rumahnya pada keesokan harinya.

Waktu sudah lewat maghrib ketika mobil yang dikendarai Annisa dengan membawa Bu Jubaedah tiba di rumahnya.

Hujan disertai petir turun dengan derasnya.

Sebelumnya, Rayhan, anak Annisa dari Ferdian yang masih berusia kurang lebih 2 tahun, dibawa Annisa ke rumah orangtuanya. Dititipkan di sana sebelum ia menjemput Bu Jubaedah.

Di rumah Annisa di lantai 2 yang sudah dikuasai Annisa dan melarang Ferdian untuk menggunakan lantai 2 tersebut. Herry dan Anton menunggu dengan berdebar-debar. Membayangkan yang nanti terjadi, sungguh membuat nafsu birahi mereka tiba-tiba saja naik dengan cepat sekali.

Main berempat? Tentu luar biasa sekali kalau ibu mereka mau menuruti kemauan si Binal Annisa. Tapi apa ibu mau? Malah bisa jadi ia akan marah besar dan memaki-maki mereka berdua.

Betapa terheran-herannya mereka ketika ibu mereka tiba dengan dituntun Annisa yang tersenyum-senyum menuju ke sofa di mana Herry dan Anton duduk. Menatap kedatangan dua perempuan yang berbeda itu dengan wajah tercengang. Bu Jubaedah datang dengan wajah menunduk, kemerahan dan tampak malu-malu. Entah apa yang dikatakan Annisa untuk membujuk ibunya itu.

“Ibu duduk dulu ya, mau minum apa?” tanya Annisa sambil menunjuk ke arah sofa panjang di antara Herry dan Anton.

“Tt-tidak usah, Neng,” sahut Bu Jubaedah dengan suara tergagap.

“Jangan malu-malu, Bu. Ini sudah menjadi rumah ibu juga. Sebentar,” ujar Annisa sambil beranjak ke luar ruangan. Terdengar seruannya ke Parmi, pembantunya untuk membuat teh manis panas. Dari atas tangga rumah, Annisa sekilas melihat Ferdian keluar kamar dengan hanya mengenakan celana dalam, turut berteriak ke Parmi minta dibuatkan kopi tiga cangkir. Ke duanya sempat beradu pandang dengan acuh.

“Apa yang dikatakan Nisa ke ibu?” tanya Herry penasaran.

Bu Jubaedah menengok ke Herry dengan wajah bahagia, “neng Nisa bilang, ia sedang mengandung anak salah satu dari kalian. Kok bisa? Tapi tidak apa-apa, ibu sebentar lagi bisa momong cucu.”

“Terus apalagi yang dikatakan Nisa?” desak Anton yang juga sama penasarannya.

“A-anu … duh, bagaimana ini?” ujar Bu Jubaedah kebingungan.

“Bagaimana apanya?”

“Itu … anu. Kamu berdua mengapa mengatakan rahasia kita ke neng Nisa? Ibu malu!” sahut Bu Jubaedah sambil menutup wajahnya.

Ketika Annisa kembali ke dalam ruangan, tampak ketiga ibu beranak itu sedang bercakap-cakap.

“Tidak usah malu-malu lagi, Bu. Hidup hanya sekali, kita harus menikmati apa yang seharusnya bisa kita nikmati,” kata Annisa sambil menyuruh Anton menggeser duduknya. Kemudian ia duduk di samping Bu Jubaedah yang kembali menundukan wajahnya.

Beberapa saat kemudian, datanglah Parmi membawa pesanan Annisa. Pembantu berwajah manis itu bukan tidak tahu kegiatan para majikannya. Namun ia memilih pura-pura tidak tahu, toh, ia seperti mendapat pembenaran dengan kegiatan birahinya sendiri dengan bapaknya.

Ia buru-buru turun, ketika teringat bahwa tadi sempat mencium bau gas bocor dari dapur. Namun ketika melintas di koridor menuju dapur, mendadak tangannya ditarik seseorang.

Parmi sedikit menjerit tertahan karena kaget. Ketika ia menoleh, Pak Abdul, Bapaknya sedang menyeringai dan menyeretnya masuk ke dalam kamar.

“Nanti dulu, Pak. Kayaknya gas bocor, Parmi mau memeriksa ke dapur … auhhh!” Parmi kembali menjerit kecil ketika tubuhnya didorong hingga tergeletak ke atas kasur di kamar sempit tersebut.

“Nanti saja lah, bapak sudah tidak tahan, Mi,” kata Pak Abdul dengan suara serak. Mengangkat dan menggulung kain sarungnya ke atas pinggang. Di balik sarung dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Pria tua itu segera menerkam Parmi yang tengah telentang.

Parmi menggelinjang. Menikmati cumbuan bapaknya. Lupa sudah keinginannya untuk memeriksa dapur.

Sementara di lantai 2, ada kegiatan birahi lain yang lebih menarik lagi.

Annisa tahu, Bu Jubaedah tentu masih malu-malu. Maka ia harus berinisiatif memancingnya. Ia berbalik merangkul Anton yang juga terlihat masih kebingungan dan bisanya cuma cengar-cengir tidak jelas.

“Cumbu aku,” bisiknya ke Anton sambil mendahului mencium pemuda itu yang membalasnya sedikit ragu-ragu. Otak warasnya masih memikirkan bahwa ibunya ada di situ hanya terhalang oleh tubuh sintal Annisa.

Birahinya memang sudah naik dari tadi-tadi. Mendapat rangsangan dari Annisa, jelas dia tidak bisa pura-pura lagi. Tangannya yang sudah lihai mulai bergerilya ke atas dan ke bawah.

“Enggghsssh!” Annisa sengaja berdesah-desah dengan suara keras agar Bu Jubaedah terpancing.

Namun tidak ada gerakan apa pun dari perempuan setengah baya itu.

Duuuhhh, dasar tidak tahu malu, pikir Bu Jubaedah yang malah dirinya sendiri yang jadi malu.

Malah Herry yang terpancing. Dia menggeser tubuhnya merapat ke tubuh montok ibunya.

“Bu!” gumam Herry pendek, memeluk bahu Bu Jubaedah yang meronta. Namun apa daya, tubuhnya tergencet antara Herry dan Annisa yang mulai menggila bersama Anton.

“Jangan, Her!” Bu Jubaedah meronta dengan susah payah, ketika Herry hendak mencium bibirnya. Tidak dapat bibir, mulut Herry meluncur ke leher ibunya. menghisap dan menggigit kasar.

“Herry! Hentikan!” Bu Jubaedah mendorong tubuh Herry sekuat tenaga. Sementara di sampingnya, Annisa mendesah-desah ketika Anton mengenyot-ngenyot salah satu puting payudaranya yang BH juga gamis yang dikenakannya terbuka lebar.

“Terus hisap yang kuat, Anton sayang,” rintih Annisa tanpa malu-malu.

Bu Jubaedah yang masih menolak cumbuan Herry merasa sangat risih dengan suara-suara percumbuan di sampingnya.

Ia memang mulai terangsang, namun untuk melakukan hal gila tanpa tau malu seperti yang dilakukan anaknya dengan Annisa, jelas tidak mungkin.

Annisa juga mulai menyadari kegigihan Bu Jubaedah menolak Herry.

“Di kamar saja, Her, sepertinya ibu masih malu-malu,” ujar Annisa menyempatkan menoleh, kemudian ia naik ke pangkuan Anton yang celananya sudah melorot ke lutut.

Tubuh sintal Annisa menggelinjang erotis di pangkuan Anton yang masih asik menyusu.

“Ke kamar, Bu!” Herry bangkit, menarik tangan ibunya yang kembali mencoba menolak. Namun dipikirnya, ia akan tersiksa sendiri dengan sepasang manusia tidak tahu malu ang tengah bercumbu di sampingnya.

Dengan hati bingung, akhirnya perempuan setengah baya itu mengalah walau pun langkahnya seperti setengah digusur Herry. Sudut matanya melihat Annisa setengah berdiri di atas sofa, dengan ke dua lutut bertumpu di sandaran sofa. Dengan wajah Anton tenggelam di selangkangan perempuan muda itu. Bu Jubaedah melengos dengan hati malu dan cemburu!

Bagaimana pun, Anton sudah dianggap suaminya sendiri.

Herry yang sudah sangat bernafsu sekali, tubuh ibunya didorong ke atas kasur empuk. Dengan kasar dan cepat, sebentar saja pakaian sangat tertutup ibunya sudah berterbangan ke segala arah.

Tubuh montok itu menggigil meringkuk di atas kasur.

“Pintunya,” seru Bu Jubaedah dengan gugup ketika melihat pintu masih setengah terbuka. Namun Herry sudah tidak peduli. Dengan satu auman panjang, tubuh montok itu diterkamnya.

Ke dua paha mengkal ibunya, direnggangkan selebar-lebarnya, lalu mulutnya merangsek mengunyah gundukan bukit tebal yang gundul itu.

Bu Jubaedah mengejang.

Gigitan-kunyahan kasar gigi Herry seperti merobek-robek mulut vaginanya. Bu Jubaedah menggigit bibirnya keras-keras. Menahan jerit sakit dan ngilu.

Sementara di luar kamar. Pergulatan Anton dan Annisa sedikit melembut. Annisa sedang asik mengulum penis Anton dengan posisi menyungsang. Karena Anton dalam posisi masih duduk di atas sofa, mulutnya sibuk mengunyah vagina merah merekah istri Ferdian itu.

Beberapa saat kemudian, Annisa yang menyungsang, kepalanya sedikit pusing. Ia segera meluncur berbalik.

“Pangku aku, Sayang. Bawa ke kamar!” bisiknya sambil kembali ke pangkuan Anton. Mengocok sebentar batang kekar penis tersebut. Menempatkannya di vaginanya yang sudah basah.

Dengan Annisa di pangkuannya, Anton bangkit berdiri.

‘Slerp’

Penis Anton menusuk ke atas, menerobos lubang nikmat milik Annisa.

“Ehmmsh!” desis Annisa sambil memejamkan mata. Kedua tangannya sudah bergelung ke leher Anton. Mereka berciuman sejenak, sebelum pemuda itu kemudian melangkah dengan beban tubuh Annisa dalam pangkuannya.

“Akh … Antooon?” Bu Jubaedah yang sedang dalam posisi setangah berdiri dengan kaki terlipat ke belakang, dimana posisi Herry bersandar di kepala ranjang. Menjerit tertahan dengan hati bingung dan sangat malu. Namun ia sedang dalam posisi tanggung, apalagi rambutnya tengah ditarik ke belakang oleh Herry.

“Berbaringlah di depan ibumu, Sayang. Aku ingin menggenjotmu dari atas,” bisik Annisa dengan pinggul tetap naik turun.

Anton menurut. Bu Jubaedah memejamkan mata tidak berdaya. Namun hatinya sedikit terkejut, ketika pipinya ada yang membelai. Mau tidak mau ia membuka matanya. Wajah cantik yang sedang memerah itu tengah tersenyum sambil mendesah-desah kepadanya.

“Tidak usah malu lagi, Bu. Nikmatilah. Nanti kita gentian ya,” desis Annisa dengan senyum binal.

Sungguh menakjubkan kejadian di kamar tersebut. Dua perempuan berbeda usia, sedang menggenjot pasangan birahinya masing-masing dengan penuh semangat. Rintihan dan erangan mereka silih berganti diiringi geraman-geraman dari dua macan muda yang perkasa.

Persetubuhan semacam itu yang baru mereka alami, malah membuat sensasi birahi mereka terasa lebih nikmat dari yang sudah-sudah.

Dan lebih gilanya lagi. Annisa iseng melumat bibir Bu Jubaedah yang terbelalak kaget dengan kelakuan mantu ilegalnya tersebut.

Dua puluh menit berlalu dengan cepat.

Tiba-tiba Herry mendorong tubuh ibunya hingga tersungkur di atas tubuh Anton, dia segera meraih tubuh Annisa yang tengah melenting-lenting digelitik penis Anton. Tubuh sintal itu kemudian dibantingnya di atas kasur. Annisa memaki-maki alakadarnya, membiarkan saja Herry menyetubuhinya dalam posisi konvensional.

Sementara Anton segera bangkit, tubuh ibunya yang tertelungkup, ditahan. Penisnya yang sudah mengkilat oleh cairan vagina Annisa di tusukan ke belahan gumpalan besar pantat ibunya. menembus vagina gemuk yang terjepit tersebut.

“Ugh! Ugh!” Bu Farida dibantai rasa nikmat yang lezatnya bukan main.

Persetubuhan gila-gilaan itu entah kapan usainya. Walau pun di luar sana, gelegar guntur disertai kilat petir bersama hujan deras seperti sedang mengamuk. Kemarahan alam itu seperti memang ditumpahkan dari langit yang sedang murka.

Bau khas birahi menguar, menghampar di kamar mewah yang luas itu. mengalahkan bau lain yang mengalir diam-diam memenuhi setiap ruangan yang sedang panas membara oleh syahwat.

Di dahului oleh sambaran kilat.

Terdengar dua dentuman keras, saling susul menyusul.

Itu bukanlah dentuman guntur.

Melainkan dentuman dari dua tabung gas 12 kg yang meledak dari dapur.

Rumah kokoh itu seperti dguncang gempa dahsyat, sebelum tiang-tiang kokohnya kemudian ambruk. Menghentikan semua kemaksiatan terkutuk di rumah tersebut.

***

Epilog:



Anton kok tidak bisa di telepon?’

‘Tolong ke rumah, ibu mohon’


4 jam tidak ada balasan. Chat masih tetap ceklis satu.

Ibu hamil! Positif! Ibu takut! Tolong ke rumah secepatnya!’

Bagaimana bisa? Pikir Bu Farida dengan hati tidak percaya. Di usianya yang sudah menyentuh angka 46 tahun, ia kembali hamil? Apa test pack ini keliru?

Bu Farida memandang dua garis di test pack strip di jarinya yang gemetar.

Rasa takut, bingung, tidak percaya, mengaduk-aduk perasaannya. Dan tiba-tiba, rasa mual itu kembali. Sudah dari hari kemarin tepatnya. Mual, muntah dan tidak selera makan.

Wajah cantik yang pucat itu, meletakan test pack dan handphonenya di atas meja. Dengan langkah terhuyung, Bu Farida berlari menuju kamar mandi. Berjongkok di toilet memuntahkan air kental, mengingat dari semalam perutnya tidak kemasukan makanan apa pun.

Dengan tubuh lemas dan mata berkaca-kaca karena rasa takut dan panik, Bu Farida kembali berdiri. Langkahnya terhuyung-huyung keluar kamar mandi.

Di pintu kamar mandi ke dua kakinya berhenti seakan terpaku. Wajahnya yang sudah pucat makin memucat, matanya menatap ketakutan ke sesosok tubuh gemuk yang sedang berdiri di samping meja dengan tangan memegang handphone kepunyaan Bu Farida yang tadi ditinggal di atas meja, menatapnya dengan tatapan berapi dan wajah merah padam. Pak Haji Anas, suaminya!



***

Bagaimanapun suatu kisah atau cerita, sebrutal dan seliar apa pun, tetap harus menyampaikan pesan moralnya ya, Gan. Setiap perbuatan terlarang adalah sebuah kejahatan, dan tentulah akan dibayangi oleh karma. :ampun:

Punya ibu yang cantik dan montok itu sungguh merupakan suatu penyiksaan batin yang kejam, ahaha. Tapi jangan sampai cerita ini menjadi ide gila yang menakutkan buat Agan dan Suhu sekalian. Tetaplah berpikir sehat dan berotak waras. Lebih baik fantasi liarnya dijadikan bahan tulisan seperti ini sajah, okeh.

:beer: :beer: :beer:


(TAMAT)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd