Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Rara

Bimabet
ijin nenda hu, baru baca awal gaya bahasanya mayan menarik n beda dari cerpan yg pernah ane baca
 
Suhu little crot... Kapan update nih sdh 2 bln nggak ada kabar.
 
Banyak pnulis di sini yang keren
Tapi entah kenapa pembawaan ente asyik aja
Saya juga belum (tanpa maksud merendahkan) yakin berbagai referensi buku yang kece di awal2 chapter dalah asupan sehari2 pnulis
Pun jika bener
Ente punya level berbeda dengan penulis disini
Menulis adalah menceritakan kembali apa yang kita tahu dengan segala bumbunya

Masalah sudut pandang, gaya bertutur
Ente pasti bakal lebih baik ke depan
Ala bisa karena biasa bbukan...
Jam terbang yang akan melatih

Oiyaa
Saran saya
Hindari komunikasi langsung drngan pembaca
Gaya ini lebih menarik, ketimbang hrus melempar tanya atau joke secara langsung
Buat pembaca berpikir dengan pesan apa yang ingin ente sampaikan....
Apapun pesan itu...
Salam


Terima kasih, suhu..

Masukannya sangat berarti..


:ampun:
 

suka dengan tulisan suhu, yang selalu penuh detil kecil tanpa membuat cerita jadi melantur kemana2.
update-an kali ini meskipun singkat namun penuh emosi yang membuat reader mampu mengerti bagaimana rasanya gila.

:pusing:



Thanks, she...
:)

Update posted sebentar lagi, btw..
 
"Aku akan menukar hidupku untuk bisa
bertemu etta kembali, seandainya bisa...."
Suaraku bergetar.
"Tapi etta sudah mati, dan itu salahku.
Tolong, dari bagian manapun di kepalaku
sosok etta ini berasal, menghilanglah...."

Kubaca berulang dan tetap sukses bikin mbrebes mili

Aku suka baca karyamu gan. Nggak sukanya kadang bikin baper. Thanks updatenya bos. Semangat........ Update lanjutannya jgn lama2 ya bos?


Last chapter posted sebentar lagi, suhu...

Makasih, sudah mampir...

:ampun:
 
Gak bisa kebayang kalo harus menerima kenyataan pahit secara beruntun sekaligus.. Cerita yg benar benar membuat hanyut master, izin mengikuti sampai akhir cerita, benar benar recomended untuk dibaca sampai tamat, thankyou master.



:ampun:

Makasih, suhu...


Hore.. Nanta sembuh.. Nanta bisa lale lagi...


Nda boleh lale lagi, suhuuu...

:ngakak
 
Baru baca lagi...

Entah kenapa baca cerita ini bikin inget sama novel the rune stone saga

Detilnya itu, boleh tau referensi novel kesukaan anda suhu?


Wahhh, banyak sih, suhu..

Tapi bacaan buku saya belakangan ini lebih banyak angka-angka daripada kata...

:D
 
Kapan...
Kapan cerita akan di update lagi?
Aku selalu, dan selalu setia menunggu. Duduk bersandar pada kusen pintu, memainkan jari pada layar sentuh, berharap "rara" update.


Bentar lagi, suhu...
:)

Diklatnya sudah beres, btw?

:D
 
Update 09

***

“Sesekali main-mainlah keluar, jangan mengeram melulu di rumah,” kata Daeng Iga sore itu.

Aku sedang berjongkok di halaman belakang rumahnya, sibuk dengan tetanaman yang - tadinya - tumbuh berantakan. Daeng Iga berdiri di belakangku, memegang dua cangkir berisi kopi. Dari saku kemejanya, ditariknya secarik kertas berwarna biru dan diletakkannya di meja.

“Nih, ada selebaran job fair tadi dibagi-bagi orang di traffic light.

Ini pekan kedua sejak kutinggalkan Stroke Center. Daeng Iga berkeras agar aku tidak langsung pulang ke rumah orangtuaku, melainkan tinggal di rumahnya untuk beberapa waktu. Jadi di sinilah aku.

Salah satu pojok halaman belakang di rumahnya kuubah menjadi green corner untuk menyibukkan diri. Kutemukan bahwa berada di sela tetanaman adalah kesibukan yang menenangkan dan membuatku teralih dari pikiran-pikiran yang mengganggu.

“Iya Daeng, besok berencana keluar,” sahutku.

Beberapa hari di rumahnya, kusadari Daeng Iga terus menerus mengamatiku. Setiap kalimat yang diucapkannya dilontarkan dengan penuh hati-hati, sambil menunggu aku bereaksi. Sedikit menggelikan rasanya, tapi aku harus memaklumi.

Kuhentikan kesibukanku, mencuci tangan di keran air, lalu meraih cangkir kopi yang diangsurkan Daeng Iga. Kami berdiri berdampingan, menyesap cairan hitam kental yang - sedikit - kemanisan.

“Daeng,” kataku pelan-pelan. Daeng Iga menoleh ke arahku.

“Aku pernah menyakiti seseorang selama aku, eh, selama aku tidak sadar?” tanyaku.

“Iya, pernah. Berkali-kali,” sahutnya datar.

“Siapa?”

Daeng Iga menghela napas. Lalu mulai bercerita...


***

Cerita Ibu kepada Daeng Iga said:
“Nanta,”

Sang Bapak - dengan darah membasahi wajah hingga lehernya - berdiri menghampiri, ketika dilihatnya si anak bergeming terlalu lama. Mata Nanta terbelalak, mulutnya terbuka. Tubuhnya berdiri dengan kaku di ambang pintu mobil yang setengah terbuka.

“Hey! Nanta!”

Sang Bapak mulai mengguncang badan anaknya, berusaha menangkap tatapan matanya. Mulut Nanta mulai mengeluarkan suara samar yang perlahan-lahan mengeras. Sebuah erangan tidak berbentuk yang lalu berubah menjadi lengkingan.

“Waaaaaaarrrrrhrhhhhhhhh... Woaaa..Paaaaaakk....”

Pak Andi mulai menampari pipi anaknya itu, sambil terus berteriak memanggil namanya,

Plak! Plak!

“Hey, bangun! Bangun Nanta! Kau kenapa, Nak?”

Plak! Plak!

Keributan yang terjadi menarik perhatian orang-orang di dalam rumah. Rosichan berlari keluar menghambur, diikuti Sahara. Sang Ibu juga.

Rosichan ikut menghampiri adiknya, yang mulai berjalan berputar-putar seperti hewan terluka. Nanta tidak berhenti mengeluarkan suara-suara aneh dari mulutnya. Pelukan Pak Andi dan Rosichan tidak bisa menghentikan gerakannya.

Ananta kini berlari menabrak sekeliling. Berhenti, lalu membenturkan kepalanya ke dinding garasi.

“Paaaakkkk... Waaaaaaarrrrrhrhhhhhhhh WuuoaaaaaaaooPaaaaak!”

Dibenturkannya kepalanya sekali lagi.

Bukk!

Lalu sekali lagi. Berkali-kali. Semakin kencang dan semakin keras.

Bukk! Bukk! Bukk! Bukk!

“Paaaaaaak! Wooorrrhhhhhhhhh Haaaaaaa...!”

Ibunya mulai menjerit histeris. Hara berdiri dengan bingung dan mulai menangis. Ikut menangis. Seperti Nanta. Seperti Ibunya.

Darah mengucur deras dari wajah Nanta yang terus mencumbu dinding. Pada akhirnya gerakannya menjadi pelan dan berhenti, bukan karena pelukan dan kekangan bapak dan kakaknya, melainkan karena kesadarannya yang mengalir keluar bersama darahnya.

Rosichan bergegas menghampiri Sahara,

“Pergilah,” ucapnya.

“Iya, nanti aku kemb-”

“Kau keliru!” potong Rosichan.

“Kau keliru,” lanjutnya. “Aku tidak menyuruhmu pulang. Aku menyuruhmu pergi.” Pungkas Rosichan dingin.

Dengan penuh heran namun tidak memahami, Andi Bauk Mappalewu dan istrinya memandangi sang gadis - Sahara - melangkah mundur lalu berlari dalam tangisnya.



***

“Kata Ibu, kau dilarikan ke rumah sakit secepatnya malam itu. Aku baru mendapat kabar setelah kau masuk ICU.” Daeng Iga menghirup habis sisa kopinya.

“Baru kali itu aku berada dalam kondisi yang sama sekali bingung dan di luar kendaliku. Kau tahu. Aku ditelepon Ibu, disuruh menyusul ke rumah sakit, tanpa tahu siapa yang masuk rumah sakit dan karena apa. Haha...”

Daeng Iga adalah seorang pria dengan pribadi alfa. Selalu menjadi pengendali situasi di sekitarnya.

“Kau tersadar lagi keesokan harinya. Aku terbangun dan menemukanmu sedang membenturkan - lagi - kepalamu di kusen pintu.”

“Ya, Nanta. Kau menyakiti seseorang dalam ketidaksadaranmu. Kau menyakiti dirimu sendiri. Berkali-kali.”

“Kami lalu memindahkanmu ke Stroke Center, ketika kondisi itu tidak berubah selama berhari-hari.”

“Konon di Stroke Center itu terulang lagi yah,” ucapku lirih.

“Iya, di kamar mandi. Dan beberapa kali di meja kayu ruang rekreasi.”

Sesekali di hadapanku muncul warna cokelat tua yang bergerak maju dan mundur. Kemunculan si cokelat tua selalu diiringi rasa nyeri yang hebat, namun membuat ketagihan.

“Darahmu terciprat ke mana-mana waktu itu, haha...”

Pernah sekali, warna cokelatnya berubah merah tua.

“Nanta, aku tidak pernah berjalan dalam sepatumu. Aku tidak tahu tekanan dan kejutan apa yang terjadi padamu, dan cobaan apa yang menyiksamu. Tapi kau lelaki, itu yang tidak boleh kau lupakan.” Daeng Iga menepuk bahuku.

“Aku memintamu untuk tinggal di sini sementara saja, bukan untuk bersembunyi selamanya. Maka bergeraklah maju...”

Daeng Iga berbalik meninggalkanku.

Perlahan-lahan serbuan ingatan kembali menyerangku satu persatu. Wajah para perawat yang ketakutan, jarum-jarum suntik, jaket pengekang yang menumbuhkan rasa claustrophobic. Dan Bau anyir darah.

Kuhela napas. Semuanya kini jadi bagian tidak terpisahkan dari identitasku yang baru. Aku, seorang mantan pasien psikosis.


***

Bapak dan Ibu mengunjungiku sore itu. Tapi mereka tidak berlama-lama. Mata Bapak yang mulai menua akan menyulitkannya di jalan raya jika harus berkendara pada malam hari. Jadi mereka berdua berangkat pulang sebelum petang turun.

Tamu berikutnyalah yang membuatku bingung bereaksi. Beberapa saat setelah Bapak dan Ibuku pulang, datanglah Daeng Rosi.

***

Rumah Daeng Iga terletak di ujung jalan dalam kompleks yang dihuni - hampir seluruhnya - oleh pegawai kantor gubernur. Praktis, jalan di depan rumah Daeng Iga sangat sepi. Kami - aku dan Daeng Rosi - duduk di selasar rumah Daeng Iga. Teras tidak beratap yang menjorok ke depan.

Setelah saling tukar kabar sejenak, Daeng Iga dan Kak Shinta - istrinya - meninggalkan kami berdua di selasar.

Keheningan mengambang di sekeliling kami, memberitahuku bahwa dengan Daeng Rosi seharusnya tidak perlu lagi berbasa-basi.

“Dia muridku di SMA,” kata Daeng Rosi tanpa introduksi. Kami sama-sama tahu siapa yang kami bicarakan.

“Daeng, sebelum Daeng lanjutkan, perlu Daeng tahu, aku dan Sahara bukan kekasih. Jadi Daeng tidak punya kewajiban untuk menjelaskan.” Aku memotong dengan sopan.

Daeng Rosi tersenyum melanjutkan.

“Aku tahu. Aku tidak wajib. Tapi kamu punya hak untuk tahu,” ujarnya.

“Aku mengenal Sahara ketika dia naik ke kelas II. Aku menjadi wali kelasnya. Sahara murid yang cerdas tetapi selalu mengalami kesulitan fokus.”

“Perangainya begitu mudah berubah-ubah. Terkadang begitu ceria, tetapi pada kesempatan lain terlihat sangat depresi. Bahkan beberapa kali jelas terlihat dia ke sekolah tanpa mandi.”

Bipolar?” tanyaku.

“Mulanya kukira begitu. Oh, betapa hidup akan menjadi lebih mudah seandainya benar begitu saja,” ujar Daeng Rosi.

“Tetapi tidak. Sahara tidak menderita bipolar disorder.”

“Masalah dengan keluarganya?” tanyaku lagi.

“Iya, masalah dengan keluarganya. Atau lebih tepatnya; masalah karena tidak punya keluarga,”

Aku tidak mengerti.

“Kedua orangtua Sahara adalah orang-orang yang agamis dan konservatif. Bapaknya adalah pimpinan sebuah ormas Islam dan ketua yayasan pendidikan Islam terkemuka di kotanya. Sahara dan kakak-kakaknya dididik dengan keras dan tertutup sejak kecil. Salah satu kakaknya kabur dari rumah selepas SMA, karena tidak tahan pada kekangan orangtuanya.”

“Kaburnya tidak benar-benar jauh, sih. Tetapi orangtuanya sudah sedemikian murka dan menganggap si kakak bukan lagi anak mereka sejak saat itu. Tepatnya sejak si kakak ini kedapatan membawa pacarnya ke dalam kamarnya di malam hari.”

“Kata-kata kasar terucap. Makian dan kutukan tidak ketinggalan. Dia melarikan diri ke Makassar, mencari kerja dan menetap.”

“Kak Tirta,” kataku pelan.

“Ya. Namanya Tirta.”

“Kau tahu apa yang terjadi ketika orangtua terlalu angkuh untuk mengambil pelajaran dari kesalahan masa lalunya?”

“Jatuh ke lubang yang sama?” jawabku.

“Ya. Hal yang menimpa Tirta juga terjadi pada Sahara. Kecuali bahwa Sahara hamil pada masa SMP. Terlalu muda. Kandungannya gugur sebelum mereka benar-benar melakukan ******. Sahara diusir dari keluarganya. Pindah ke Makassar, di rumah seorang kakak yang kemudian menjadi role model baginya.”

“Dia terlibat dalam pergaulan yang benar-benar bebas, Nanta. Merusak dirinya dengan narkotika dan seks bebas. Dia menjadi PSK di bawah umur, untuk pembeli-pembeli yang usianya sepantar ayahnya,”

Kulanjutkan cerita itu dengan induksi di dalam kepalaku, sejalan dengan kalimat-kalimat Daeng Rosi yang melanjutkan ceritanya,

“Lalu aku mendekatinya, sebagai wali kelas yang prihatin. Sahara menyambut baik, menjadikanku sebagai pelabuhan masalah. Menempatkanku sebagai kakak, atau ayah, mungkin,”

Oedipal complex,” sahutku.

“Ya, itu. Diperburuk dengan pemujaan yang timbul karena kenyataan bahwa ketika itu hanya aku lelaki baik-baik yang mendekatinya dengan tulus.”

Hero worship,” sahutku lagi.

“Aku tidak bisa memungkiri, Nanta, ketika Sahara berhasil melepaskan diri dari pergaulannya yang buruk dan kecanduannya akan narkotika, dia berubah menjadi gadis yang sangat menarik. Aku tetap lelaki, walaupun umurku sudah segini,”

“Tua renta,” sahutku sekenanya.

Kami tertawa.

“Tapi aku tidak pernah menjawab rasa tertarikku, Nanta. Ingatan tentang anak-anaklah yang menahanku melangkah jauh. Tapi pada saat yang sama, aku juga tidak pernah menyatakan penolakan secara terang-terangan, dan itu kesalahan terbesarku.”

“Sahara kemudian lulus. Kami bertemu beberapa kali setelah itu, tetapi tidak ada pembahasan yang serius. Lalu suatu hari dia menemuiku, menanyakan ada hubungan apa antara aku denganmu, Nanta.”

“Kok? Apakah itu setelah kita bertemu di Pantai Appalarang?” (see Update 04).

“Bukan. Dia menanyakan itu setelah kunjunganmu yang pertama ke rumahnya. Dia mengenali motormu.”

“Motor???”

“Ya. Ingat dulu aku sering pinjam motormu? Beberapa kali di antaranya kupinjam ketika akan bertemu Sahara, di café atau rumah makan, agar tidak dikenali orang jika harus menggunakan mobil. Dia mengenali motormu, lalu mengamati kemiripan di wajah kita, katanya.”

“Mirip apanya, muka Daeng nggak ada bentuknya begitu,” ujarku.

Kami tertawa lagi.

“Pada hari itu, kularang Sahara untuk bertemu denganmu. Walaupun aku tahu itu sia-sia. Kalian adalah dua orang dewasa yang berkuliah di tempat yang sama. Apa kuasaku?”

“Lalu, aku ini dianggap apa oleh Sahara? Alat pelampiasan dendam karena Daeng tidak memberinya kepastian? Atau ada hal yang lain?” tanyaku.

“Kita tidak akan pernah benar-benar tahu itu, nampaknya,” jawab Daeng Rosi.

“Tapi bergeraklah, hidupmu jangan berhenti....”

***

Malam hari di kamarku (masih di rumah Daeng Iga), kusadari ada hal tidak lagi sama dalam hidupku.

Semangat meledak-ledak yang dulu menjadi ciri pribadiku tidak lagi di dalam sana. Aku menjadi mudah malu dan terlalu lama berpikir. Overthink, kata kekasihku di masa kini, hihi...

Kuraih notebook dari mejaku. Kupasang modem, lalu mengakses email dan semua laman media sosialku. Tanpa ragu, kuhapus satu per satu. Aku harus hidup di dunia yang benar-benar nyata, untuk dapat mengembalikan sisi baik dalam pribadiku yang dulu.

Aku melangkah ke ambang pintu menuju beranda belakang. Mataku tertumbuk ke lembaran kertas biru yang tadi siang diletakkan Daeng Iga di meja. Angin malam mengembuskan aroma tanah lembab dan samar wangi yang entah apa.

Hmmm.. Job fair. Patut dicoba.


***

Makassar Job Expo ini dilaksanakan di Lapangan Karebosi. Sebuah lapangan olahraga yang ikonik di kotaku. Event ini digelar oleh puluhan perusahaan besar yang berbasis atau membuka cabang di kota Makassar.

Aku melangkah ragu-ragu di sela kerumunan manusia beragam warna. Kemeja, hem, blazer dan jas aneka bentuk, berseliweran di depanku, dari stand ke stand.

Di depan setiap stand terpampang informasi singkat mengenai lowongan yang dibuka, dan spesifikasi pelamar yang diterima berkasnya.

Sesungguhnya aku tahu, untuk sarjana pendidikan sepertiku, tidak banyak peluang yang bisa kudapatkan di sini. Tapi entah mengapa, sejak semalam aku merasa akan menemukan sesuatu di sini.

Lalu- dari sela pinggang orang-orang yang berlalu-lalang - sepasang mata tepat menghujam pandanganku.

Mata itu.

Ika...

Kalian ingat adegan-adegan cliché di sinetron, di mana sepasang manusia yang hanya terpisah beberapa sosok tubuh, tidak jadi bertemu hingga beberapa episode bahkan hingga akhir season?

Untunglah hal itu tidak terjadi padaku, haha..

Mata kami saling kunci, ketika aku melangkah maju dengan pasti. Tidak kualihkan sedikitpun tatapanku, masih ada resiko adegan sinetron itu bisa terjadi.

“Hai,” sapanya. Ketika aku tepat berdiri di depannya.

Dari sekian puluh ribu penduduk kota Makassar, Sang Maha Takdir mengatur perjumpaanku dengannya, di sini, begitu cepat, untuk kali kedua.

Ini adalah sesuatu. Paling tidak menurutku begitu. Semoga dia pun merasa begitu.

“Hai,” balasku.

“Masih ingat aku?” tanyanya. “Kita bertemu di-, aku -”

“Stroke Center,” sergahku. “Iya, aku ingat,”

“Syukurlah kamu ingat, haha...” katanya. Senyumnya mengembang cerah.

Dia berdiri, berbisik sebentar kepada rekannya, menitipkan tugas menjaga stand yang dijaganya. Perusahaan tempatnya bekerja sedang membuka lowongan besar-besaran, nampaknya.

Kami berjalan menjauhi kerumunan. Di sebuah bangku panjang di bawah naungan pohon mahogani, kami duduk berdampingan. Satu menit, dua menit, lalu menjadi belasan. Kami hanya duduk dan diam. Hal yang membuatku heran.

Aku terdiam, jelas, karena bingung mau memulai percakapan ini dari mana. Lalu Ika? Kenapa dia ikut terdiam? Dia punya seribu satu pertanyaan untukku. Sebagai seorang terapis kepada pasien. Atau perawat. Atau dokter. Atau psikoanalis. Entahlah, aku tidak tahu pasti.

Kuberanikan diri memecahkan kebisuan.

“Kita belum berkenalan dengan baik,” kataku.

Kuangsurkan tangan, “Namaku Nanta-”

“Bauk Ananta Pancaroba. Aku tahu data hidupmu, hihi...”

Wajahnya dihiasi lesung di dagu dan pipi.

“Ika, stand for?” tanyaku pelan-pelan...

“Kalika. Kalika Rarasati,” ucapnya tersenyum.

“Kau boleh memanggilku Ika. Atau-”

“Rara....” Aku memotong.

Pada hari itu aku yakin, kisah hidupku bertemu titiknya. Bukan untuk berhenti. Melainkan untuk memulai kembali...

***

Semoga terhibur, suhu sekalian...

:)

Mohon maaf untuk semua kekurangan dan cetek-nya cerita ini.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Semoga...

NB :

Mudah bagi nubi untuk mengarang ending atau closure tentang Sahara. Tetapi sejujurnya nubi hingga saat ini tidak pernah lagi bertemu atau mendengar kabar darinya.

Banyak yang tidak terjelaskan, dan memang nubi tidak mampu menjelaskan. Tetapi kadang, beberapa hal perlu dibiarkan tetap menjadi misteri..
:)

Mungkin suatu saat.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Masalah Daeng Rosi - Sahara - Nanta cuman segitu aja hu penjelasannya..??
Masih menggantung kayanya hu...:bingung:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd