Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI KUTUK!

Status
Please reply by conversation.
Cang, ci, crooot, kentang, kunci gagal crooot, nunggu update hu
 
Episode 2

Terik matahari menyinari hampir sebagian wilayah di daerah Tangerang. Belum jam 12 siang, malaslah mereka yang tidak memasak makan siang. Pandemi sungguh menyiksa bagi yang tak punya cukup uang. Pesan online, harganya bikin kantong lumayan goyang. Sementara Pak Wongso berupaya nekad, kepalanya dibiarkan terbakar panas, baginya hanya silau belaka, keriting ikalnya laksana kumpulan tenda teduh yang buat kulit kepala tetap adem.

Sebaliknya isi kepala Pak Wongso justru yang kepanasan. Pamit merokok, sejujurnya ia mencari warteg karena perutnya sudah menuntut makan. Didapatlah warteg di ujung gerbang komplek rumah. Sampainya di sana, ia memilah milih lauk yang pas dilahap dompet. Pesanlah ia, nasi telur dadar dan orek. Pak Wongso memilah milih lauk tadi dengan kutat pikiran bagaimana cara membongkar isi rumah orang tanpa dituduh maling. Jawaban belum ketemu, makanan sudah datang. Dimanjakan dululah perutnya.

Ketika sesuap nasi hendak masuk ke dalam mulut, telepon dari majikan laki-lakinya masuk, terpaksa ia harus menjawab.

"Bagaimana? Beres?!"

"Belum, Mas"

"Loh kok?!"

"Saya makan dulu"

"Waduwh waduwh.."
"Perutmu saja yang dipikir"

"Maaf pak, saya betul kelaparan"

"Aku yang gaji kamu loh!"
"Aku bisa buat kamu betul kelaparan seumur hidup, gandul!"

"Tapi, Mas?"

"Selesaikan dulu kerjamu!!!"
"Cepet!"

BLEPH

Penjaja warung makan terbingung-bingung, ia menyediakan teh tawar hangat pesanan Pak Wongso, seraya mengamati ocehan yang kurang didengar jelas olehnya. Pak Wongso lalu bergegas berdiri, ancang-ancang keluar.

"Maaf, saya tidak jadi makan"

"Loh??? Bayar dulu..."

"Lah kan tidak jadi makan"

"Bahan-bahan di sini dibeli dengan uang"

"Siapa peduli?!"

"Sampeyan.."

GEPLAAAAKKKK
Pak Wongso menggebrak meja. Kuli-kuli berbadan kecil yang sedang makan kaget jantungan. Mereka tak terima, karena isi makanan dalam mulut hampir melompat. Sayangnya amarah mereka menciut, geger oleh badan kekar Pak Wongso yang menebar aura takut. Lengan berototnya seperti kumpulan batu-batu bundar yang tersusun, diperoleh karena ia pernah bekerja di tempat fitnes, tetapi sedikit kendor oleh nafsu makannya dan dirusak perut yang tambun. Lecet di beberapa mukanya bercampur dengan raut jelek tua yang lelah dan lapar, ditambah kekesalan yang baru dialami. Para kuli jelas melihat itu ketika Pak Wongso hendak makan.

"Aku bisa bikin kau, seperti kikil itu!!!", nada suara Pak Wongso meninggi, menunjuk-nunjuk muka si penjaja makan yang belum laris dagangan.

"Ya sudah, tidak apa-apa"
"Maaf, maaf, Pak", jawab si penjaja terbata bata.

"Cari untung, cari untung saja!"
"Jangan cari masalah!"

"Iya pak, Iya, saya minta maaf"

"Ini saya bayar! Pakai uang!" Pak Wongso malah tiba-tiba mengeluarkan uang Rp20.000 dari saku celana, ditaruh di atas lemari kaca, dekat sepiring pisang ambon yang bertumpuk.

"Katanya?"

"Aku tak mau terhina, hanya karena makan tak bayar"

"Tidak usah, tidak usah pak, gak apa-apa"

"Terima saja!", si penjaja bergidik terdiam.

Pak Wongso tidak ingin lama-lama di sana, ia buru-buru lekas pergi meninggalkan warteg yang sedang sepi itu. Hanya saja lapar tetap ikut, pikiran melumatnya. Sepanjang jalan diratapi maksud sang majikan, bagaimana cara obrak abrik sebuah rumah yang sedang dikunjunginya bersama majikan perempuan, Pak Wongso mengumpat melempar kesalnya. Dikira jadi maling itu gampang? Apalagi maling secara baik-baik?!!

SEMPRUL!!! EDAAN!!!

"kalau saja bukan karena bininya, mungkin aku sudah tidak bekerja untuk dia lagi"
"Tapi, agh, sedikit lagi!"
"Apa iya Lena bisa ditaklukan?"

Bergeser pikiran Pak Wongso, mengingat usaha-usaha pendekatan iblis ketika berada di dekat Lena, majikan perempuannya. Ketika hampir tiba di rumah yang sedang didatangi, Pak Wongso berhenti sejenak. Ia merogoh saku celana panjang bagian belakang.

"Katanya si Mbah, jimat ini manjur"
"Tapi toh belum ada tanda-tanda Lena mesem mesem sama aku ya?", tanya Pak Wongso kepada dirinya sendiri sambil mengamati sebuah bungkusan putih, berisi batu akik bertuliskan huruf arab. Kemudian ia terbersit sesuatu. Konon itu ucapan yang sampai saat ini tak dimengertinya. Ucapan dari seorang 'guru spiritual', sekadar untuk aksi keji.

"CARI SEKUTU, BARU AMPUH!"

=O=

"Duh tenangnya, entah mengapa selalu nyaman dan enakan badan kalau istirahat di sini", tutur Lena, membetulkan kancing blus bagian atas layaknya seorang ibu habis menetekki seorang bayi.

Lena terbangun dari tidur lelap semenjak pagi hari di rumah kakaknya, Gatot. Untuk ke sekian kali, ia berkunjung ke rumah itu dan tidak terhitung ini kedatangan ke berapa. Jelasnya, Lena kalau bertandang, pastinya akan menyempatkan tidur di kamar bagian belakang dekat dapur. Rumahnya yang jauh lebih besar dan megah, tak sebanding saat cape dan lelahnya dari problema kehidupan apabila tidur di sana, menjadi enteng dan tidak membebani kepala. Lena mulai menganggap tidur di kamar itu sebagai terapi. Terapi yang sulit didefinisikan, terapi macam apa.

Kendati sedikit pengap karena sirkulasi udara di kamar ini kurang baik, tetaplah menurut Lena, menenangkan dan enak untuk tidur di kamar itu. Ia beranjak berdiri, mengintip melalui celah ventilasi. Dipandanginya, pepohonan rindang nan hijau di halaman belakang. Pohon mangga bersebelahan dengan belimbing, pohon ketapang dan jambu, dan pohon sawo berselingan dengan pohon jati. Mereka tumbuh dengan akar tak beraturan, hingga diujung bikin asri dan teduh sehingga Lena mengira merekalah penyebab tidur di kamar ini terasa nyaman. Selebihnya bentang rumput rumput hijau dengan beberapa pot kepunyaan kakak iparnya, Mutia.

"Pak Wongso kok belum balik-balik ya, kemana dia?", tanya Lena seraya mencari-cari hapenya. Ia duduk di pinggir tempat tidur, diambilnya hape yang berada di balik bantal kepala.

AHHH AAHHHH

"Aduwh, lupa ngecilin suaranya lagih, mudah-mudahan gak kedengeran sampai luar", ceplos Lena memutar rekaman video perselingkuhan suaminya, Jaka (33 tahun). Video itu diperoleh Lena dari teman dekat Jaka. Dari video yang sudah beberapa kali diputar, Lena harus merenung cerai atau tidak.

Rumah tangga Lena diambang kehancuran karena ulah suaminya. Jaka ada main dengan perempuan lain yang diketahui ialah teman kuliah sang suami. Lena geleng-geleng tak paham apa keunggulan perempuan ini ketimbang dirinya. Bukankah wanita berpayudara besar idaman bagi setiap pria? Lena menyadari ia gemuk, dan jelas tidak GENDUT. Menurut Pak Wongso malahan, Lena itu bukan gendut, tetapi BOHAY. Ada ada saja kaum pria mengklasifikasi kaum perempuan, pikir Lena. Ah mungkin karena ia kalah kaya dengan selingkuhan si Jaka. Patut diketahui, Lena dinikahi Jaka karena diperkenalkan dengan seorang teman. Kemapanan Jaka adalah alasan kuat Lena mau menerima pinangan. Lena sadar diri saat itu ia susah mendapatkan pekerjaan, karena hanya sebatas ijazah SMK. Sungguh berbeda dengan kakaknya yang sarjana, ditambah kakak iparnya seorang guru sekolah swasta bonafide.

Lena beranjak keluar kamar, ia tak mau dibilang hanya menumpang tidur di sini. Akan tetapi dia baru ingat Mas Gatot dan Mba Mutia sudah bilang mau berangkat kerja sebelum ia pamit masuk kamar. Selebihnya, Ia menduga keponakannya, Feri berangkat sekolah. Tersisalah pertanyaan kemana Pak Wongso, kenapa ia belum muncul-muncul setelah mengatakan hendak merokok.

"Permisi!"

"Dari mana aja Pak?", tanya Lena mendapati Pak Wongso yang melepaskan masker baru tiba.

"Eh, Mba, hehehe"
"Iya, tadi, ngerokok, tapi karena laper sekalian makan aja di warteg ujung"
"Kelamaan ngobrolnya, hehe"

"Ohhh"
"Boleh makan di tempat?"

"Enggak boleh sih, ya orang cari makan lagi susah sekarang, diakal-akalin aja"
"Hitung-hitung, bantu-bantulah
"Mba udah makan?"

"Belum"

"Wah saya belikan saja aturan tadi sekalian"
"Saya belikan dulu ya..."

"Udah, udah, jangan Pak!", Lena mencegah Pak Wongso keluar lagi, khawatirnya lelaki itu akan lama kembalinya.

"Terus Mba bagaimana?"

"Saya makan nanti aja, ya nurunin sedikit berat badan"
"Kan bapak tahu sendiri", Lena melempar senyum.

"Hahahahaha"
"Masih dipikirin ternyata sama Mba"
"Udahlah, jangan dipusingin"

"Iya pak, enggak dipusingin kok"

"Oh iya, Mba, kamar mandinya di mana ya?"

"Di belakang Pak, dekat dapur"

"Baik, saya ke sana dulu"

Lena duduk di bangku ruang tamu, melamun sambil meraup makanan ringan yang terletak di dalam toples di atas meja. Selang beberapa waktu kemudian, Pak Wongso muncul dengan sirat wajah kaget.

"Ada apa Pak? Kayak habis kagetan?

"Hah?! Gak ada apa apa Mba, baik-baik aja"

"Bener?"

"Bener", jawab Pak Wongso ambil duduk bersebelahan dengan Lena.

"Bapak, mau dibikinin kopi?"

"Wah gak usah, tadi sudah ngopi saat makan di warteg"

"Yaudah deh"

"Mba itu cantik loh, gak usah dengerin mereka yang ngomong Mba Lena gembrot, gendut atau segala macemnya lah"

"Iya kok, Lena udah gak ada musingin hal itu lagi", Lena yang sudah cukup mengenal Pak Wongso, kurang lebih telah bekerja 5 tahun kepada suaminya, adalah lelaki yang sedang berusaha menggodanya. Lihat saja saat ini, ia berusaha duduk dekat Lena, memandangi mata Lena, dan tentunya senantiasa memuji Lena.

"Nah bagus kalau begitu"

"Engghh Lena boleh tanya sesuatu Pak?"

"Silakan, ah kamu kayak orang baru aja"
"Harus pakai nanya begitu"

"Hehe, emang gak boleh?"

"Yaiya, kamu kan sudah bapak anggap seperti anak sendiri", sahut Pak Wongso seraya tangannya tiba tiba merangkul Lena.

"Ah bapak gak gitu juga", Lena sedikit risih dengan rangkulan tangan Pak Wongso yang bersandar di punggungnya.

"Kamu kan sudah tahu, bapak itu di rumah enggak punya anak laki-laki, sekalinya ada perempuan yang dekat seperti kamu, bapak merasa punya anak perempuan"

"Duh terharu denger ucapannya

"Hhmm Kita ke belakang yuk, Mba"
"Sepertinya ada taman tadi, boleh ke sana?"

"Engghh, kayaknya boleh", diajaklah Lena ke taman belakang rumah kakaknya. Padahal ada hal yang ingin diceritakannya kepada Pak Wongso. Menurut Lena, ya tidak usah diceritakan saja karena hal itu juga sifatnya pribadi.

Sampai di halaman rumah bagian belakang. Terpukaulah keduanya dengan suasana asri halaman. Dahan-dahan pepohonan memayungi tanah dari sinar matahari yang terik. Gersang seakan tak mampu menjangkau wilayah ini. Lena biasa saja sebetulnya, karena memang dia bukan pendatang baru. Sebaliknya dia malah kebingungan mengamati gerak gerik Pak Wongso yang setibanya di taman dan menghampiri beberapa pohon, ia seperti lelaki yang sempoyongan dan tubuhnya mau rubuh. Lena menduga Pak Wongso sedang sakit kepala. Ketika ia hendak tanyakan, ambruklah seketika tubuh pria itu.

"Aduh, jangan-jangan si bapak kena stroke ini"
"Haduh gimana yaa..", Lena cemas, tak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa.

=O=

Feri berusaha untuk tidak peduli dan memikirkan soal kamar belakang yang sedang ditempati Tante Lena itu. Setelah salah perkiraan, otak mesum seorang laki-laki mengatakan Tante Lena sedang masturbasi, nyatanya salah besar. Ia sekarang sedang ingin lebih peduli dengan nasib kedua orang tuanya.

"Halo Fer"

"Iya Pah, kenapa?"

"Mama sama Papa tidak pulang ke rumah ya malam ini"

"Apa? Papa sama mama nginep?"

"Iya sehari doang, Papa sama mama lagi ada urusan"
"Tante Lena masih ada di rumah?"

"Masih kok Pah"

"Nanti tolong sampaiin ke Tante Lena juga ya"

"Makan malam aku gimana, Pah?"

"Kamu pesen online aja dulu, nanti papa isiiin saldonya"

"Gitu ya, yaudah hati-hati papa sama mama"

"Iya, kamu juga Fer..."

Barusan Feri dihubungi papanya, mengawang-ngawang tak karuan bayangan Feri. Jangan-jangan Papa dan mamanya malam ini sedang ingin konsultasi praktik pesugihan. HADUH. KACAU! Feri tak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia menyesal masih berumur 15 tahun dan merasa dirinya belum dewasa, serta tidak bisa apa apa. Feri memasrahkan apa yang akan terjadi berikutnya nanti. Dia sudah berimajinasi yang tidak-tidak tentang kedua orang tuanya, akan terkena azab atau sebaliknya dia yang akan menjadi TUMBAL PESUGIHAN. Keduanya tak ada yang baik. Belum lagi dia cemas akan tidur sendirian di rumah malam ini.

"Halo Fer, Feri?!"
"kamu ada di dalam?"

"Eh? Iya Tan! kenapa?!"

"Tolongin Tante dong?!"

"Tolongin apa?"

"Kamu keluar dulu sebentar?!"

Kaget dengan suara Tante Lena yang terdengar dadakan, Feri keluar dari kamarnya. Ia merasa ada sesuatu yang gawat.

"Iya kenapa?", tanya Feri Heran, memerhatikan rambut panjang Tante Lena yang kusut dan raut wajah yang resah.

"Iya itu, supirnya Tante pingsan, kamu bantuin Tante bopong dia"

"Hah? Pingsan?! Beneran?!"

"Iyaa, yaudah yuk buruan bantuin Tante", Tante Lena berjalan tergesa-gesa, mengarahkan Feri ke Pak Wongso yang sedang tergeletak.

"Wah, kok bisa pingsan, kenapa ya"
"Gak dipanggilin ambulans aja Tan?"

"Gak perlu kayaknya, tadi Tante cek jantungnya masih berdetak"
"Coba kamu cek sendiri"

Feri mendekatkan telinganya ke dada sebelah kiri Pak Wongso, walau sedikit jelas. Feri meyakini bapak ini masih hidup.

"Iya masih, terus mau dibawa kemana nih?"

"Ke kamar yang di situ aja", Tante Lena menunjuk kamar tempat dia baru saja melepas lelah.

"Oke, yuk, feri mapah bagian sebelah kanan, Tante Lena sebelah kiri"

"Kamu kuat kan?"

"Kuat Tan!", jawab Feri yang tidak tahu pasti kekuatannya, dia hanya berupaya menolong orang. Ketika Feri mengucap bismillah sambil mengambil nafas, justru giliran Tantenya yang pingsan. Tambah pusinglah Feri dengan nasibnya hari ini. Ada apakah gerangan.

"Haduh harus gimana ini sekarang, apes banget gue, ya Tuhannn...."

Bersambung...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd