Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI KUTUK!

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 3

"Aku enggak mau ikut-ikutan"
"Titik!"

"Jangan berubah pikiran dadakan gitu dong, Ma"

"Enggak ada yang berubah pikiran, itu kamu aja yang maksa-maksa"
"Udah ah Mama gak mau ikut!"

"Hayuk, Ma!"
"Hayuk!!!"

"Enggak!"

Di bawah pohon, Mutia bertengkar dengan Gatot. Suara ribut kecil mereka berdua tak kalah nyaring dengan suara burung-burung yang sudah kembali ke sangkar jelang malam. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang selesai mengajar daring di sekolah, Mutia tiba di sebuah perkampungan terpencil di daerah Jawa Barat, tepatnya di sebuah rumah tembok yang dikelilingi rumpun bambu dan semak belukar. Jarak rumah dengan rumah lainnya di perkampungan ini tidak berdekatan, kalau ada mungkin 2 atau 3 rumah saja. Jalanan yang berliku, mendaki, dan menuruni simpang yang curam, ditambah kanan-kiri hutan yang sepertinya masih perawan, meragukan niat Mutia yang sudah sepakat mendatangi 'orang pintar' bersama suaminya itu. Keinginan Mutia sederhana, bukan karena ingin cepat kaya dengan mengambil jalan pintas, tetapi sekadar berharap agar peruntungan atau rezeki suaminya bisa lancar. Akhir-akhir ini Mutia menilai Gatot ketiban apes. Mulai dari pekerjaan yang tergusur akibat pandemi dan usaha yang pailit oleh akibat yang sama. Melamar kerja pun susah.

"Kita sudah sampai sini. Dan kamu tiba-tiba gak mau, lantas mau ngapain?!"

"Ya udah balik!"

"Kacau kamu!"

"Ya udah Papa aja yang ke sana"
"Mama tetep di sini"

"Ya gak bisa begitu"
"Mama harus ikut!"

"Serah Papa!"
"Intinya aku tetep di sini"

"Mama ini yaa..."
"Errrhggh, kesel aku lama-lama"

Mutia teguh dengan pendiriannya, ia biarkan Gatot berjalan sendirian masuk ke rumah itu, menemui 'orang pintar' bernama Abah Acan. Sambil menunggu, Mutia terheran-heran dengan sepinya perkampungan ini. Barangkali karena Azan Magrib usai berkumandang hanya beberapa orang saja yang dilihatnya semenjak masuk perkampungan. Kendati terpencil, perkampungan ini sudah dijamah listrik. Lampu-lampu sudah menyala terang, kurang ramai saja sehingga perkampungan terkesan gelap di kala malam. Berisiknya mungkin karena suara jangkrik, kodok, atau tokek di beberapa tempat.

Dingin mulai menyeruak, menembus jaket yang dikenakan oleh Mutia. Ia bersedekap berusaha menghangatkan diri sendiri. Namun, lama-lama bosan datang menghampirinya. Ditengok kiri-kanan, tak dilihatnya sebuah warung. Mutia kehausan. Malahan, Nyamuk-nyamuk hutan yang muncul mulai menjengkelkan. Betis halus Mutia digigiti berakibat bentol memerah. Mutia hanya bertaut rok yang jangkauannya sampai lutut. Nyamuk pun berlomba menghisap darah.

"Aduh lama banget sih Papa ini"

PLAK PLAK PLAK PLAK

Mutia menepukki nyamuk yang berusaha hinggap di betisnya hingga dia tiba-tiba terkejut ada seorang pemuda tampan dan gagah yang muncul di balik pohon. Entah sudah berapa lama pemuda itu berdiri di sana. Andai saja bukan pemuda tampan yang muncul, mungkin Mutia sudah menjerit ketakutan. Penampilannya saja mengenakan baju koko biru gelap dan sarung sebagai bawahan. Mutia kira pemuda ini baru saja pulang dari masjid atau mushola di sekitar sini.

"Ada yang bisa dibantu Bu?"

"Iya saya lagi nunggu suami saya di sini, enghh kalau boleh tahu warung di sekitar sini di mana ya?"

"Oh warung, agak jauh"

"Enggak apa-apa yang terpenting saya bisa minum"

"Kalau sekedar minum saja, ibu bisa mampir di rumah saya"

"Aduh jangan deh, gak enak, cari warung aja, saya juga laper mau ngemil makanan"

"Kalau suami ibu nyariin bagaimana?"

"Masih lama"

"Baiklah, mari ikut saya"

"Motornya aman kan?"

"Aman Bu"

Mutia terpukau jalan berdampingan dengan pemuda yang kini ada di sebelahnya. Wajahnya nenyerupai mantannya ketika kuliah dahulu. Gagah dan atletis. Mutia menduga pemuda ini berusia 27-29 tahun. Mungkin ia bekerja membantu orang tuanya mengangkut hasil hutan setiap pagi dan siang. Mustahil ada tempat latihan kebugaran di kampung terpencil seperti ini.

"Ada keperluan apa ya Bu kalau boleh tahu kemari, sebab saya rasa ibu bukan penduduk di sini?"

"Enghhh", Mutia membisu, berpikir alasan apa yang tepat. "Bertamu aja, suami saya silaturahmi kebetulan ada temen kantornya sakit dan dibawa pulang kampung ke rumah orang tuanya"

"Ohh, ibu kenapa gak temenin dan malah berdiri di luar?"

"Hehehe kebetulan saya udah masuk tadi dan lagi kepengen menghirup udara segar"

Pemuda yang berjalan menemani mutia tersenyum misterius. Sayangnya, Mutia tidak menyadari. Apalah pemuda itu mengetahui Mutia berbohong?

"Masnya kalau boleh tahu siapa?"

"Oh saya? Saya Raihan"

"Owh, kamu kerja atau lagi kuliah?"

"Hahaha, saya hanya tamatan SMA"
"Kerja saya ya bantu-bantu bapak angkat-angkat bambu untuk dijual, kadang juga rotan"

"Pantes badannya kekar berotot gitu ya"

"Hahaha Ibu bisa aja"

"Jangan panggil saya Ibu, panggil Mba Mutia aja"
"Saya belum terlihat tua"

"Hhmm Maaf-maaf, baik Mba Mutia"

=O=​

Feri tak tahu harus bagaimana memapah kedua orang yang sedang pingsan di halaman belakangnya. Tubuhnya terlampau kecil dan tenaganya belum mumpuni. Feri bermaksud menghubungi tetangganya, tetapi ia tidak mau bikin situasi jadi ramai. Ketika ia hubungi Papa dan Mamanya, ia justru mendapat jawaban operator kalau telepon sedang di luar jangkauan area. Pasrah ia dengan keputusan Papa dan Mamanya yang akan mengambil jalan sesat. Yang mampu diharapkan Feri itu semua tidak benar-benar terjadi, hanya perasaan buruknya saja.

Kemudian Feri mencoba menghubungi Om Jaka. Lama telepon itu tersambung, Feri pesimis telepon itu dijawab dan benarlah itu. Jalan satu-satunya Feri mengirim pesan Whatsapp ke Om Jaka, supaya dibaca karena Hape orang tuanya sepertinya tidak ada sinyal atau mati. Baru akan mengetik, Om Jaka menelepon balik.

"Iya kenapa Fer?"

"Inih Om, mmm....", Feri bingung menyampaikan berita tidak sadarkan dirinya Tante Lena dan Supirnya.

"Iya ada apa?"

"Tante Lena pingsan..."

"Heh?! Pingsan?!"

"Iya Om, mending Om ke sini deh, papa-mama kan lagi gak ada, jadi tolong bantuin aku angkatin Tante Lena, karena masalahnya pingsannya di halaman belakang rumah"

"Waduwh! Oke Om segera ke sana!"

"Iya Om", Feri bisa bernafas lega.

Sembari menunggu Om Jaka, Feri tetap mencari tahu bagaimana cara menyadarkan orang yang pingsan agar siuman. Ia berselancar menelusuri web demi web di hapenya, dicarinya solusi yang mudah tanpa harus keluar rumah untuk membeli sesuatu. Tiba-tiba ia ingat ada minyak kayu putih di kamarnya. Konon jika bau minyak kayu putih dioleskan di hidung orang yang pingsan bisa lekas menyadarkan. Feri mengoleskan minyak kayu putih itu di jarinya lalu menempelkan di dekat lubang hidung Tante Lena terlebih dulu. Bertumpah-tumpah minyak kayu putih, Feri mengoleskannya beberapa kali. Dikira semakin banyak, semakin menyengat akan lantas membuat Tante Lena melek.

"Tante Lena! Tante Lena!"

"...", kelopa mata Tante Lena pelan-pelan berkedap-kerdip. Feri lalu menggerak-gerak tubuh Tantenya sehingga tak sengaja menyentuh bagian dada Tante Lena.

"Duh, maaf Tan", sambil bergumam,"haduh maaf Tan, jadi kesenggol susunya"

"Feri? Feri?"

"Iya Tan, Alhamdulillah sadar juga akhirnya"
"Aku ambilin minum dulu deh"

Lena mengusap-ngusap kedua matanya, masih tak percaya ia tergeletak di atas rerumputan tanah halaman belakang rumah sang kakak. Kedua telapak tangan saling menepak-nepuk membersihkan tanah. Ditoleh langit malam yang gelap, samahalnya dengan Pak Wongso yang gelap belum sadarkan diri. Lena berusaha bangkit duduk di tengah tubuh yang masih lemas, namun tetap tidak bisa. Feri lalu datang menyodori segelas air kepada Lena. Ia membantu duduk, barulah Lena habiskan air minum hingga tak tersisa. Lena terdiam tak mengerti mengapa tubuhnya bisa ikut-ikutan ambruk. Apakah dia belum makan atau kekurangan cairan. Rasanya tidak. Pusing iya. Kemudian Lena menyorongkan tangannya ke Feri agar dibantu bangkit berdiri.

"Ini Pak Wongso gimana Tan?"

"Kita papah bareng lagi yuk"

"Seriusan? Tante kan masih lemes"

"Enggak, yuk buru-buru kita bawa"

Feri memapah tubuh bagian sebelah kanan Pak Wongso, Lena sebelah kanan. Perlahan-lahan keduanya menyeret Pak Wongso ke kamar, kadang berhenti sebentar untuk beristirahat mengambil nafas. Sampai di kamar, dibaringkan Pak Wongso di atas tempat tidur yang biasanya Lena tempati. Feri memberikan minyak kayu putih lalu Lena membuka tutup botol minyak itu dan mendekatkannya ke lubang hidung Pak Wongso. Tapi reaksi yang timbul tidak sama dengan apa yang dialami Lena. Feri dan Lena mulai berpikir menghubungi ambulans karena Pak Wongso belum juga siuman.

"Jadi gimana?"

"Enghh, kita biarin aja dulu, mungkin Pak Wongso perlu istirahat"

"Beneran nih? Kan belum melek kayak Tante"

"Kalau meleknya sih iya, setidaknya kan masih bernafas, mungkin bisa nanti kita coba lagi"

"Gak sekarang aja Tan panggil ambulans"

"Jangan dulu, repot kalau warga sini pada tahu"

"Iya juga sik"

"Yaudah kamu sekarang giliran istirahat, Fer"
"Biar ini urusan Tante"

"Jangan gitu!"

"Bener enggak apa"
"Kamu mending mandi, nih kan dah malem"

"Gitu ya.."
"Oh ya Tan, Papa dan Mama hari ini gak pulang"

"Mereka kemana?"

"Kurang tahu, aku suruh dikabari tolong kasih tahu Tante Lena"

"Terima kasih ya"

"Sama satu lagi, tadi Aku udah sempet telepon Om Jaka"
"Habis panik banget mau minta tolong sama siapa, terpaksa deh hubungi dia"
"Katanya mau ke sini"

"Iya gak apa-apa, kita lihat aja dia beneran ke sini apa enggak", jawab Lena meragukan niat suaminya.

"Maksudnya?"

"Kamu habis mandi langsung istirahat ya Fer, terima kasih banyak dah bantuin Tante"
"Maaf jadi ngerepotin", Lena menggiring Feri keluar kamar. Ia menghindari pertanyaan Feri, agar keponakannya tidak sampai tahu ia dan Jaka diambang perceraian.

"Wah enggak ngerepotin kok, malah seneng", senyum Feri yang pamit berjalan masuk menuju kamarnya.

Lena berusaha memperoleh akal bagaimana cara segera membangunkan Pak Wongso. Bisa-bisa gawat kalau laki-laki ini mati di sini. Lena bisa dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Dia tidak mau warga tempat kakaknya tinggal berkerumun apalagi situasi masih pandemi, walaupun dia ingin sekali ambulans datang menjemput. Alhasil, Lena mencoba menekan-nekan dada Pak Wongso bermodalkan pengalaman organisasi Palang Merah Remaja saat SMA. Akan tetapi, tetap nihil hasilnya. Lena belum putus asa. Ia menggendorkan jaket yang dipakai Pak Wongso. Begitu juga celana jins yang dikenakan lelaki itu. Dilepas pengait dan sabuknya, agar mempermudah jalan nafas sang supir.

"haduh ini orang gak sadar-sadar kenapa yah"
"Bahaya kalau mati di sini"
"Jangan sampai deh", keluh Lena penuh cemas seraya duduk beristirahat sebentar sembari membuka hape, kali saja ada pesan WA dari Jaka yang katanya mau datang menjemput. Faktanya, tidak ada. Terpakss Lena duduk melamun di lantai diperhatikannya Pak Wongso yang masih tergeletak. Dia jadi berkesimpulan mungkin benar Pak Wongso stroke atau darah tinggi sehingga tak sadarkan diri. Apalagi dia ingat ketika Pak Wongso bercerita bahwa dia habis dari warteg untuk makan siang. Sumbernya berasal dari makanan itu. Terpintas di benak soal makanan, perut Lena keroncongan. Ia lapar.

Lena berencana memesan makanannya secara online, tetapi bunyi grusak grusuk dari lemari di kamar itu mengundang perhatian.

JEGLAK JEGLEK JEGLAK JEGLEK

Lena penasaran bercampur takut. Ia mendekati lemari itu, tapi ia sudah tahu lemari itu tidak bisa dibuka, terkunci. Ada yang bergerak-gerak di dalam lemari yang pantasnya disebut lemari buku mini. Mungkinkah tikus yang terjebak? Ah nyaris tidak mungkin lemarinya dari kayu jati berkualitas. Tak ditemui lubang-lubang di sekitar. Lantas apa? Tuyul? Jengglot? atau?

"Mbak Lena!"

"Hiyaaaaaaaaa!!!", jerit Lena

Pak Wongso tiba-tiba terbangun dan jelas Lena terkejut menjerit.

"Pak Wongso! Ternyata udah bangun ya daritadi!!", jawab Lena menghardik sambil memukul Pak Wongso

"Wadoh! Baru banget Mba"
"Beneran!"

"Ah bohong nih! Buktinya masa langsung ngagetin gitu bangunnya"

"Iya, soalnya pas melek, saya ngelirik Mba Lena ngapain deketin meja itu ngendap-ngendap"
"Kayak mau nangkap burung mbak"
"Hehe"

"Ah pasti bohong!"

"Beneran Mba Lena, Sumpah! Demi Tuhan!"

"Saya enggak percaya!"

"Ya terserah Mba sekarang, saya intinya udah sumpah-sumpahan", Pak Wongso baru menyadari kancing-kancing pakaiannya terbuka. Celananya pun demikian. "Loh???"

"Itu saya buka biar bapak cepet sadar!", sahut Lena supaya Pak Wongso tidak berpikir macam-macam.

"Ah yang bener?! Saya gak percaya!", tersenyum Pak Wongso.

"Terserah Bapak!"

"Wah jangan-jangan Mba Lena ngelihatin barang punya saya nih"
"Hehe", ucap Pak Wongso melirik celananya masih terbuka.

"Idih! bapak ngaco banget ngomongnya!"

"Buktinya begini"

"Itu emang saya buka, biar Pak Wongso nafasnya gampang"
"Kalau gak, nanti mati siapa yang mau tanggung jawab"

"Oke, Oke, percaya kok, percaya!"

Lena duduk kembali bersandar di tembok. Ia masih kesal karena dikageti oleh Pak Wongso yang dicemaskannya semenjak laki-laki itu pingsan. Apalagi Lena sudah membopongnya bersama Feri. Sejujurnya Lena lebih penasaran dengan lemari yang terkunci itu karena semenjak Pak Wongso mengagetkan Lena, bunyinya hilang.

BERSAMBUNG....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd