Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
Orang Ketiga

Sesampainya di kamar, Lani mendapati keadaan tempat tidur tak berubah. Berantakan, guling terjatuh mengenai pintu lemari yang berada di dekat tempat tidur. Ujung sprei terurai tak karuan dari kasur menunjukkan compang-camping kehidupan Lani saat ini. Tumpukan pakaian tumbang ke lantai. Lani tergeleng dengan tanggung jawab yang tidak dipegang putranya, Fikri.

Anak itu seperti biasanya menghilang kalau sudah diminta mengerjakan sesuatu. Ia belum kembali. Lani berusaha membereskan sedikit selanjutnya berganti pakaian. Lani memahami kondisi Fikri yang tak betah di kamar kos dan berharap Fikri mau mengerti dan beradaptasi. Di samping itu, ia belum punya solusi perihal hidup ke depannya ke depan. Sementara masih bergantung kepada kedua orang tuanya semenjak berpisah rumah dari suaminya, Bagus (40 tahun)

Luluh lantak rumah tangga Lani karena Bagus sulit sekali diatur. Pria itu sering pulang malam, berdalih kerjaan tak henti-hentinya. Lani memaklumi, tetapi tidak bisa menerima keadaan dia dan fikri seolah-olah mereka hidup tanpa seorang pemimpin di tengah keluarga kecil.

Kalau di rumah, Bagus lebih banyak tertidur atau duduk di depan laptop, kembali menyelesaikan pekerjaan. Lani tak betah. Ditambah, Bagus beringas kalau sudah diingatkan dan diberi saran baik-baik. Letupan amarah berwujud pukulan menyambar beberapa anggota tubuh Lani, seperti pipi, lengan, dan punggung. Pada akhirnya Lani memutuskan pergi dari lelaki yang malas saat berada di rumah. Tak ada rugi, sekadar Fikri tumbuh tak lagi ada peran seorang ayah.

"Pakai tanktop aja deh ya. Lagi gerah juga di luar"

Ketika Lani melepas blus yang habis digunakannya sepulang dari pasar, terpampang sepasang gundukan bukit kembar yang dibungkus BH berwarna putih. Kemudian Ia berdiri di depan cermin.

"Kalau begini aja? Hihi", Lani berganti BH Hitam. Kemudian Ia mengenakan tanktop jumbonya. "Apa iya betul aku sudah tak menarik lagi? Hhhmm", tanya Lani teringat ejekan suaminya dulu bahwa ia terlihat gendut macam singa laut. Kendati tanktop yang dikenakan memperlihatkan betul belahan dada Lani, Ia tak cemas Pak Sarmin mengintip karena sudah biasa ia mengenakan pakaian yang menonjolkan keindahan bentuk payudaranya, Pak Sarmin biasa-biasa saja, curi-curi pandang, itu masih normal.

Tak berlama-lama, Lani keluar menjemput bahan belanjaannya yang telah diletakkan di meja dapur kos. Situasi yang sepi lewat siang, penampilan Lani yang cukup seksi dan sensual tak ada yang lihat, kecuali Pak Sarmin yang memang sudah menantinya. Dari kejauhan, Laki-laki paruh baya itu sedang menghisap sebatang rokok seraya menatap sosok perempuan dengan punggung terbuka dan celana lejing berwarna cokelat berjalan menuju anak tangga.

"Jangan cuman dilihatin, susul!", bisik setan mengusik iman Pak Sarmin. Dihabiskan sebatang rokoknya, Pak Sarmin justru berjalan masuk kamar kosnya sendiri.

Sementara itu, Lani memulai aktivitas memasaknya. Ia keluarkan semua bahan dari plastik, dicucinya hingga bersih lalu diiris serta ditumbuk sebagai bumbu dapur. Kompor dinyalakan, ia memanaskan wajan. Beberapa kali pula Lani menyeka leher yang basah karena keringat. Tiba-tiba ponselnya berdering. Lani melihat ada telepon tak dikenal dan buru-buru diangkat.

Mr. XXX: Halo sayang, gimana kabar kamu?

Lani: Belum puas juga kamu bikin semua jadi kacau?

Mr. XXX: Ooow? Apa yang kacau yah?! Ada?!

Lani: diam kamu brengsek! jangan ganggu kehidupan saya lagi! taik!

Mr. XXX: uuuduuh, ada yang marah tampaknya. Sayang, Aku masih rindu bobok sama kamu. Lagi yuk. Kita ketemuan.

Lani: Aku sudah ada yang punya!

Mr. XXX: hahaha. Mana mungkin, nasibmu saja....

Lani buru-buru memutuskan sambungan telepon yang tak diberi nama. Ia tidak mau membiarkan laki-laki itu bicara lagi. Akibatnya, Lani kehilangan mood memasak. Ia kesal lalu menitikkan air mata karena masalah yang dideritanya tak berkesudahan. Apakah ini karena perbuatannya dahulu? Lani buang jauh-jauh pengalaman buruknya, sia-sia dipikirkan berlarut-larut. Sebaliknya Ia ingat dihadapannya semua bahan masakan telah siap diolah dan itu adalah pemberian Pak Sarmin yang ingin makan malam bersama dengan Lani dan Fikri. Lagipula, ia dapat sambil memikirkan bagaimana cara lelaki keparat yang barusan meneleponnya tidak mengganggu kehidupannya lagi. Laki-laki itu adalah mantan pacarnya, Doni (39 tahun), yang menjadi biang keladi rumah tangga Lani amburadul. Pria yang juga sudah berumah tangga itu seperti belum puas dan ingin menyiksa Lani.

"Wah, wah, sudah mulai memasaknya ya?"

"Aduh, bapak, buru-buru banget datang kemari, belum beres semuanya nih", Lani terkejut dengan kehadiran Pak Sarmin. Ia buru-buru menyeka sisa air mata.

"Enggak apa-apa, sebab bau makanannya kecium sampai ke atas, itu makanya saya langsung ke sini, sudah tak sabar melahap makan malam buatan Mba Lani"

"Hehe. Bisa aja meledeknya, belum ada yang dimasak, pak"

"Oh begitu, maaf, hehe"

"Ayo duduk dulu, Pak"

Lani membetulkan posisi meja makan, ia mengelap meja yang basah karena plastik belanjaannya. Tentu, apa yang dilakukan Lani menggoda perhatian dan mata Pak Sarmin. Lapar perut berganti menjadi lapar birahi, mengamati belahan dada Lani yang menggiurkan. Ada apakah dengan Lani? Apakah ia sengaja berpakaian begitu dan berniat bikin pusing Pak Sarmin? Pak Sarmin mendekat, supaya dapat melihatnya lebih jelas.



"Haduh gak kuat ini, gak kuat!", batin Pak Sarmin berontak. Batang penisnya tak pernah sekeras ini sekarang. Bayangannya terbentuk Lani mengenakan lingerie hitam yang ditemuinya diam-diam di kamar kos Lani, termasuk pembayangan Pak Sarmin 'menghajar' Lani di atas tempat tidur.

"Mau minum kopi apa teh, pak?"

"Susu! Eh teh saja!", Pak Sarmin salah sebut. Lani pun terkaget. Ia mengernyitkan dahi kurang jelas mendengar. "Apa?"

"Maaf mba Lani, maaf!"
"Saya minum teh saja"

"Ooo teh, baik", Lani kembali ke dapur untu menghidangkan secangkir kopi. Ia coba cerna dan amati yang ditanyakan ceplos oleh Pak Sarmin. Lani tersenyum meraba buah dadanya sendiri.

"Sepertinya bener kata Fikri, Pak Sarmin ada rasa denganku", gumam Lani, belum percaya. Ia perlu mengetes.

Selagi menyediakan secangkir teh hangat, Lani turut duduk menemani. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Pak Sarmin pun mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya.

"Anakmu ke mana, ndak kelihatan?"

"Sedang mampir ke rumah temannya, ya suka begitu kan pak seperti yang sudah aku ceritain", jawab Lani sengaja mempertontonkan belahan dadanya ke arah Pak Sarmin.

"Enggak apa apa, anak laki-laki ini, di sini juga dia tidak ada teman seumuran"

"Bener, asal inget waktu aja siih", Lani semakin memancing. Ia coba kendurkan lagi bagian leher tanktopnya.

"Emmm, Kalau Mamanya siapa yang nemenin?"
"Hehe", Pak Sarmin menatap ke arah Lani.

"Pak Sarmin, ini lagi nemenin kan"
"Hihi",

"Saya boleh nanya sesuatu?"

"tanya aja pak, seperti baru kenal seminggu."

"Hohoho, begitu yah, maaf nih ya sebelumnya, semoga kamu enggak marah, dan jangan berpikir yang enggak-enggak dulu nih", Pak Sarmin memendam sebuah pertanyaan. Dia ragu Lani menjawabnya secara baik-baik.

"Iya silakan ditanya aja, kalau enggak, aku mau masak sekarang"

"Itu susumu besar, enggak apa kan saya lihatin?"

"Hehehe, kirain nanya apaa", Lani tergelak. Benarlah dugaannya.

"Malah ketawa kamu"

"Jadi harus marah?"

"Ya jangaan dong", jawab Pak Sarmin, gemas dirinya menatap Lani. Dikira Lani akan menyambut pertanyaannya dengan amarah. Perempuan itu malah tergelak. Apakah itu isyarat Pak Sarmin tak perlu sembunyi lagi melirik ke arah bodi molek Lani.

"Ternyata pertanyaannya cuman gitu aja, aku mau masak dulu deh, pak"

"Tolong dijawab dulu...", Pak Sarmin menahan Lani agar tidak beranjak.

"Silakan, Pak Sarmin, silakan, nih!", Lani berbalik badan, mempersilakan Pak Sarmin menatap ke arahnya. "Bentuknya sama aja pak seperti istri bapak punya."

"Kayaknya enggak, coba sini saya pegang"

"Ih enggah boleh!", Lani menangkis tangan Pak Sarmin.

=∆=​

Fikri meluapkan kejenuhannya dengan berkunjung ke rumah adik papanya, Tante Diah. Berbekal kartu elektronik yang bisa digunakan untuk menaikki transportasi massal, Fikri meluncur ke Bekasi. Ia pergi tak bilang mamanya, pun pemilik rumah tempat yang ditujunya. Alhasil, sampai di sana, rumah itu dikunci. Fikri kesal. Ia menggerutu. Apalagi Tante dan Omnya mengatakan mereka sedang pergi bekerja. Sia-sia Fikri yang sudah jauh-jauh datang kemari. Ditambah duit yang dimiliki menipis, sejatinya ia bisa balik ke pangkuan mamanya berharap diberi uang oleh tante dan omnya. Tak rela menunggu lama di teras, Fikri mampir ke rumah tetangga sebelah, memelas belas kasihan dengan alasan mau bertamu dan terpaksa menunggu.

"Permisi! Selamat Siang!"

"Iya! Ada apa dek?", keluar seorang pria kurus dewasa dengan kening mengkilap gelap karena rambut kian menipis.

"Boleh numpang istirahat sebentar di sini, saya keponakannya Tante Diah dan Om Ruly"
"Aku kebetulan datang, karena gak sempet kasih tahu, baru tahu kalau mereka sedang kerja"

"Hemm, keponakannya si Diah, hayuk masuk"
"Iya, gak apa apa, naik apa ke sini?"

"Naik kereta, Pak, terus lanjut naik ojek online"

"Siapa pak?!" teriak seorang perempuan berkerudung dari dalam rumah. ia mengenakan gamis dan memerhatikan kehadiran Fikri yang tidak dikenalinya.

"Keponakannya Diah dan Ruly"

"Enmhh, mereka berdua kan lagi di luar"

"Hehehe, iya maaf bu, jadi tadi saya ke sini gak sempet bilang ke mereka, jadinya begini deh heheh"

"Yasudah gapapa, duduk dulu di sini"

"Hemmm, si bapak, kalau sudah tamunya berkaitan sama si diah, sumringah banget"

"Ah kamu Bu, selalu aja sikap sinis"

Fikri merasa langkah yang diambilnya keliru. Itu berbeda jauh dengan seorang pria yang sedang menyambutnya ramah, Darno (40 tahun) seolah-olah kedatangan Fikri sudah dinanti-nanti.

"Terima kasih ya pak, maaf jadi ngerepotin"

"Heng enggak, enggak ngerepotin sama sekali kok"
"Tunggu sebentar di sini ya", Darno tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Fikri justru semakin penasaran dengan tetangga tante dan omnya.

"Kamu tunggu di sini aja dulu ya, sampai om atau tante kamu pulang"
"Kamu enggak sekolah?"

"Hehe enggak, Pak"

"Loh kenapa?", Darno terperanjat.

"Enghh, maaf ada sesuatu yang gak bisa saya ceritain"
"Hehehe"

"Ooo, ya sudah enggak apa apa"
"Emmm, nanti kalau ketemu Tante Diah nya, tolong kasihkan ini ya"

"Iya Pak, nanti saya kasihkan", Fikri bertanya-tanya dalam hati mengapa perihal flash disk dan satu paket kotak bingkisan tidak diberikan langsung sendiri saja ke Tantenya. Malahan, dititip ke dia.

"Oke terima kasih"

"Kalau boleh tahu, kenapa tidak dikasihkan langsung saja, ya?"

Darno menoleh ke arah dalam rumahnya, "istri saya cemburuan, makany saya minta tolong ke kamu, dek"

"Oo gitu, hehehe", dalam hati Fikri semakin penasaran dengan isi barang yang hendak dititipkan ke Tante Diah.

=∆=​

Lani berhasil menyelesaikan tahapan memasaknya. Ia memasak ayam goreng, telur dadar, dan tumis kangkung. Lani mencicipinya sedikit dan ternyata enak. Pak Sarmin pasti tak akan kecewa, tetapi mungkin sekadar kecewa tak bisa menyentuh apa yang dilihatnya. Lani tertawa bahagia. Namun, kebahagiannya kembali diusik oleh seseorang yang sama dan kembali menghubunginya. Lani enggan menanggapi. Akan tetapi, sekilas ia ingin mendengarkan.

Lani: ada apa lagi?! Aku sudah bilang enggak akan menuruti kemauan kamu lagi.

Mr. XXX: Enghh, jadi galak yah sekarang. Apa karena lama enggak aku sentuh? Atau lama gak disentuh siapapun jadi nyeremin? Hahahaha

Lani: Aku mohon, jangan telepon aku lagi, aku sudah lelah.

Mr. XXX: Kalau kamu ingin berakhir, ayo temui aku.

Lani: Jangan harap!

Mr. XXX: Baiklah, itu kan maumu

Lani: (terdiam), aku sudah ada yang punya!

Mr. XXX: kamu ngomong apa sih sayang, ya betul, yang memiliki kamu adalah aku. Hehehe. Suamimu kan dah berpaling

Lani memutus telepon dari orang yang sama. Sepertinya memang betul hal ini tidak boleh dibiarkan. Lani tak mau Doni terus menerus mengganggunya. Lani merencanakan sesuatu. Barangkali, Pak Sarmin bisa dimintai tolong. Setelah menutup makanan yang dimasak dengan tudung saji, Lani bertolak ke kamar. Ia mandi sampai bersih betul. Sesudahnya, Ia heran mengapa Fikri belum juga pulang. Ketika dihubungi anak itu kembali tidak mengangkat atau sekedar membalas pesan yang dikirimkan. Kepindahan ke rumah kos, bukanlah mau mereka berdua. Keterusiran dari rumah lama dan tidak mau merepotkan orang lain adalah jalan yang ditempuh Lani dan putranya. Seandai laki-laki bajingan itu tidak masuk ke dalam rumah tangga yang telah dibangun Bagus dan Lani, pastinya tak perlu ada yang Namanya mengungsi ke rumah kos.

Bersambung
 
👍😎👍 updates.....•⌣»̶·̵̭̌✽̤̈🐡 Terima Kasih 🐡✽̤̈·̵̭̌«̶⌣•
 
Orang Ketiga

Sesampainya di kamar, Lani mendapati keadaan tempat tidur tak berubah. Berantakan, guling terjatuh mengenai pintu lemari yang berada di dekat tempat tidur. Ujung sprei terurai tak karuan dari kasur menunjukkan compang-camping kehidupan Lani saat ini. Tumpukan pakaian tumbang ke lantai. Lani tergeleng dengan tanggung jawab yang tidak dipegang putranya, Fikri.

Anak itu seperti biasanya menghilang kalau sudah diminta mengerjakan sesuatu. Ia belum kembali. Lani berusaha membereskan sedikit selanjutnya berganti pakaian. Lani memahami kondisi Fikri yang tak betah di kamar kos dan berharap Fikri mau mengerti dan beradaptasi. Di samping itu, ia belum punya solusi perihal hidup ke depannya ke depan. Sementara masih bergantung kepada kedua orang tuanya semenjak berpisah rumah dari suaminya, Bagus (40 tahun)

Luluh lantak rumah tangga Lani karena Bagus sulit sekali diatur. Pria itu sering pulang malam, berdalih kerjaan tak henti-hentinya. Lani memaklumi, tetapi tidak bisa menerima keadaan dia dan fikri seolah-olah mereka hidup tanpa seorang pemimpin di tengah keluarga kecil.

Kalau di rumah, Bagus lebih banyak tertidur atau duduk di depan laptop, kembali menyelesaikan pekerjaan. Lani tak betah. Ditambah, Bagus beringas kalau sudah diingatkan dan diberi saran baik-baik. Letupan amarah berwujud pukulan menyambar beberapa anggota tubuh Lani, seperti pipi, lengan, dan punggung. Pada akhirnya Lani memutuskan pergi dari lelaki yang malas saat berada di rumah. Tak ada rugi, sekadar Fikri tumbuh tak lagi ada peran seorang ayah.

"Pakai tanktop aja deh ya. Lagi gerah juga di luar"

Ketika Lani melepas blus yang habis digunakannya sepulang dari pasar, terpampang sepasang gundukan bukit kembar yang dibungkus BH berwarna putih. Kemudian Ia berdiri di depan cermin.

"Kalau begini aja? Hihi", Lani berganti BH Hitam. Kemudian Ia mengenakan tanktop jumbonya. "Apa iya betul aku sudah tak menarik lagi? Hhhmm", tanya Lani teringat ejekan suaminya dulu bahwa ia terlihat gendut macam singa laut. Kendati tanktop yang dikenakan memperlihatkan betul belahan dada Lani, Ia tak cemas Pak Sarmin mengintip karena sudah biasa ia mengenakan pakaian yang menonjolkan keindahan bentuk payudaranya, Pak Sarmin biasa-biasa saja, curi-curi pandang, itu masih normal.

Tak berlama-lama, Lani keluar menjemput bahan belanjaannya yang telah diletakkan di meja dapur kos. Situasi yang sepi lewat siang, penampilan Lani yang cukup seksi dan sensual tak ada yang lihat, kecuali Pak Sarmin yang memang sudah menantinya. Dari kejauhan, Laki-laki paruh baya itu sedang menghisap sebatang rokok seraya menatap sosok perempuan dengan punggung terbuka dan celana lejing berwarna cokelat berjalan menuju anak tangga.

"Jangan cuman dilihatin, susul!", bisik setan mengusik iman Pak Sarmin. Dihabiskan sebatang rokoknya, Pak Sarmin justru berjalan masuk kamar kosnya sendiri.

Sementara itu, Lani memulai aktivitas memasaknya. Ia keluarkan semua bahan dari plastik, dicucinya hingga bersih lalu diiris serta ditumbuk sebagai bumbu dapur. Kompor dinyalakan, ia memanaskan wajan. Beberapa kali pula Lani menyeka leher yang basah karena keringat. Tiba-tiba ponselnya berdering. Lani melihat ada telepon tak dikenal dan buru-buru diangkat.



Lani buru-buru memutuskan sambungan telepon yang tak diberi nama. Ia tidak mau membiarkan laki-laki itu bicara lagi. Akibatnya, Lani kehilangan mood memasak. Ia kesal lalu menitikkan air mata karena masalah yang dideritanya tak berkesudahan. Apakah ini karena perbuatannya dahulu? Lani buang jauh-jauh pengalaman buruknya, sia-sia dipikirkan berlarut-larut. Sebaliknya Ia ingat dihadapannya semua bahan masakan telah siap diolah dan itu adalah pemberian Pak Sarmin yang ingin makan malam bersama dengan Lani dan Fikri. Lagipula, ia dapat sambil memikirkan bagaimana cara lelaki keparat yang barusan meneleponnya tidak mengganggu kehidupannya lagi. Laki-laki itu adalah mantan pacarnya, Doni (39 tahun), yang menjadi biang keladi rumah tangga Lani amburadul. Pria yang juga sudah berumah tangga itu seperti belum puas dan ingin menyiksa Lani.

"Wah, wah, sudah mulai memasaknya ya?"

"Aduh, bapak, buru-buru banget datang kemari, belum beres semuanya nih", Lani terkejut dengan kehadiran Pak Sarmin. Ia buru-buru menyeka sisa air mata.

"Enggak apa-apa, sebab bau makanannya kecium sampai ke atas, itu makanya saya langsung ke sini, sudah tak sabar melahap makan malam buatan Mba Lani"

"Hehe. Bisa aja meledeknya, belum ada yang dimasak, pak"

"Oh begitu, maaf, hehe"

"Ayo duduk dulu, Pak"

Lani membetulkan posisi meja makan, ia mengelap meja yang basah karena plastik belanjaannya. Tentu, apa yang dilakukan Lani menggoda perhatian dan mata Pak Sarmin. Lapar perut berganti menjadi lapar birahi, mengamati belahan dada Lani yang menggiurkan. Ada apakah dengan Lani? Apakah ia sengaja berpakaian begitu dan berniat bikin pusing Pak Sarmin? Pak Sarmin mendekat, supaya dapat melihatnya lebih jelas.



"Haduh gak kuat ini, gak kuat!", batin Pak Sarmin berontak. Batang penisnya tak pernah sekeras ini sekarang. Bayangannya terbentuk Lani mengenakan lingerie hitam yang ditemuinya diam-diam di kamar kos Lani, termasuk pembayangan Pak Sarmin 'menghajar' Lani di atas tempat tidur.

"Mau minum kopi apa teh, pak?"

"Susu! Eh teh saja!", Pak Sarmin salah sebut. Lani pun terkaget. Ia mengernyitkan dahi kurang jelas mendengar. "Apa?"

"Maaf mba Lani, maaf!"
"Saya minum teh saja"

"Ooo teh, baik", Lani kembali ke dapur untu menghidangkan secangkir kopi. Ia coba cerna dan amati yang ditanyakan ceplos oleh Pak Sarmin. Lani tersenyum meraba buah dadanya sendiri.

"Sepertinya bener kata Fikri, Pak Sarmin ada rasa denganku", gumam Lani, belum percaya. Ia perlu mengetes.

Selagi menyediakan secangkir teh hangat, Lani turut duduk menemani. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Pak Sarmin pun mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya.

"Anakmu ke mana, ndak kelihatan?"

"Sedang mampir ke rumah temannya, ya suka begitu kan pak seperti yang sudah aku ceritain", jawab Lani sengaja mempertontonkan belahan dadanya ke arah Pak Sarmin.

"Enggak apa apa, anak laki-laki ini, di sini juga dia tidak ada teman seumuran"

"Bener, asal inget waktu aja siih", Lani semakin memancing. Ia coba kendurkan lagi bagian leher tanktopnya.

"Emmm, Kalau Mamanya siapa yang nemenin?"
"Hehe", Pak Sarmin menatap ke arah Lani.

"Pak Sarmin, ini lagi nemenin kan"
"Hihi",

"Saya boleh nanya sesuatu?"

"tanya aja pak, seperti baru kenal seminggu."

"Hohoho, begitu yah, maaf nih ya sebelumnya, semoga kamu enggak marah, dan jangan berpikir yang enggak-enggak dulu nih", Pak Sarmin memendam sebuah pertanyaan. Dia ragu Lani menjawabnya secara baik-baik.

"Iya silakan ditanya aja, kalau enggak, aku mau masak sekarang"

"Itu susumu besar, enggak apa kan saya lihatin?"

"Hehehe, kirain nanya apaa", Lani tergelak. Benarlah dugaannya.

"Malah ketawa kamu"

"Jadi harus marah?"

"Ya jangaan dong", jawab Pak Sarmin, gemas dirinya menatap Lani. Dikira Lani akan menyambut pertanyaannya dengan amarah. Perempuan itu malah tergelak. Apakah itu isyarat Pak Sarmin tak perlu sembunyi lagi melirik ke arah bodi molek Lani.

"Ternyata pertanyaannya cuman gitu aja, aku mau masak dulu deh, pak"

"Tolong dijawab dulu...", Pak Sarmin menahan Lani agar tidak beranjak.

"Silakan, Pak Sarmin, silakan, nih!", Lani berbalik badan, mempersilakan Pak Sarmin menatap ke arahnya. "Bentuknya sama aja pak seperti istri bapak punya."

"Kayaknya enggak, coba sini saya pegang"

"Ih enggah boleh!", Lani menangkis tangan Pak Sarmin.

=∆=​

Fikri meluapkan kejenuhannya dengan berkunjung ke rumah adik papanya, Tante Diah. Berbekal kartu elektronik yang bisa digunakan untuk menaikki transportasi massal, Fikri meluncur ke Bekasi. Ia pergi tak bilang mamanya, pun pemilik rumah tempat yang ditujunya. Alhasil, sampai di sana, rumah itu dikunci. Fikri kesal. Ia menggerutu. Apalagi Tante dan Omnya mengatakan mereka sedang pergi bekerja. Sia-sia Fikri yang sudah jauh-jauh datang kemari. Ditambah duit yang dimiliki menipis, sejatinya ia bisa balik ke pangkuan mamanya berharap diberi uang oleh tante dan omnya. Tak rela menunggu lama di teras, Fikri mampir ke rumah tetangga sebelah, memelas belas kasihan dengan alasan mau bertamu dan terpaksa menunggu.

"Permisi! Selamat Siang!"

"Iya! Ada apa dek?", keluar seorang pria kurus dewasa dengan kening mengkilap gelap karena rambut kian menipis.

"Boleh numpang istirahat sebentar di sini, saya keponakannya Tante Diah dan Om Ruly"
"Aku kebetulan datang, karena gak sempet kasih tahu, baru tahu kalau mereka sedang kerja"

"Hemm, keponakannya si Diah, hayuk masuk"
"Iya, gak apa apa, naik apa ke sini?"

"Naik kereta, Pak, terus lanjut naik ojek online"

"Siapa pak?!" teriak seorang perempuan berkerudung dari dalam rumah. ia mengenakan gamis dan memerhatikan kehadiran Fikri yang tidak dikenalinya.

"Keponakannya Diah dan Ruly"

"Enmhh, mereka berdua kan lagi di luar"

"Hehehe, iya maaf bu, jadi tadi saya ke sini gak sempet bilang ke mereka, jadinya begini deh heheh"

"Yasudah gapapa, duduk dulu di sini"

"Hemmm, si bapak, kalau sudah tamunya berkaitan sama si diah, sumringah banget"

"Ah kamu Bu, selalu aja sikap sinis"

Fikri merasa langkah yang diambilnya keliru. Itu berbeda jauh dengan seorang pria yang sedang menyambutnya ramah, Darno (40 tahun) seolah-olah kedatangan Fikri sudah dinanti-nanti.

"Terima kasih ya pak, maaf jadi ngerepotin"

"Heng enggak, enggak ngerepotin sama sekali kok"
"Tunggu sebentar di sini ya", Darno tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Fikri justru semakin penasaran dengan tetangga tante dan omnya.

"Kamu tunggu di sini aja dulu ya, sampai om atau tante kamu pulang"
"Kamu enggak sekolah?"

"Hehe enggak, Pak"

"Loh kenapa?", Darno terperanjat.

"Enghh, maaf ada sesuatu yang gak bisa saya ceritain"
"Hehehe"

"Ooo, ya sudah enggak apa apa"
"Emmm, nanti kalau ketemu Tante Diah nya, tolong kasihkan ini ya"

"Iya Pak, nanti saya kasihkan", Fikri bertanya-tanya dalam hati mengapa perihal flash disk dan satu paket kotak bingkisan tidak diberikan langsung sendiri saja ke Tantenya. Malahan, dititip ke dia.

"Oke terima kasih"

"Kalau boleh tahu, kenapa tidak dikasihkan langsung saja, ya?"

Darno menoleh ke arah dalam rumahnya, "istri saya cemburuan, makany saya minta tolong ke kamu, dek"

"Oo gitu, hehehe", dalam hati Fikri semakin penasaran dengan isi barang yang hendak dititipkan ke Tante Diah.

=∆=​

Lani berhasil menyelesaikan tahapan memasaknya. Ia memasak ayam goreng, telur dadar, dan tumis kangkung. Lani mencicipinya sedikit dan ternyata enak. Pak Sarmin pasti tak akan kecewa, tetapi mungkin sekadar kecewa tak bisa menyentuh apa yang dilihatnya. Lani tertawa bahagia. Namun, kebahagiannya kembali diusik oleh seseorang yang sama dan kembali menghubunginya. Lani enggan menanggapi. Akan tetapi, sekilas ia ingin mendengarkan.



Lani memutus telepon dari orang yang sama. Sepertinya memang betul hal ini tidak boleh dibiarkan. Lani tak mau Doni terus menerus mengganggunya. Lani merencanakan sesuatu. Barangkali, Pak Sarmin bisa dimintai tolong. Setelah menutup makanan yang dimasak dengan tudung saji, Lani bertolak ke kamar. Ia mandi sampai bersih betul. Sesudahnya, Ia heran mengapa Fikri belum juga pulang. Ketika dihubungi anak itu kembali tidak mengangkat atau sekedar membalas pesan yang dikirimkan. Kepindahan ke rumah kos, bukanlah mau mereka berdua. Keterusiran dari rumah lama dan tidak mau merepotkan orang lain adalah jalan yang ditempuh Lani dan putranya. Seandai laki-laki bajingan itu tidak masuk ke dalam rumah tangga yang telah dibangun Bagus dan Lani, pastinya tak perlu ada yang Namanya mengungsi ke rumah kos.

Bersambung
panas dingin bacanya hu...
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd