Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
LUPUT

"Mantull, enak bener, masakanmu!"
"Hehehe"

"Hayuk tambah pak"

"Kamu juga harus tambah, biar makin berisi, makin montok bodimu", Pak Sarmin menyendokki nasi lagi di piringnya. Lauk ayam goreng ditaruh satu bersama tempe.

"Ih Pak Sarmin, aku gak mau kegemukkan"

"Gemuk sehat, Mba"

"Suamiku enggak seneng aku gemuk loh"

"Wah kok bisa begitu? Aku malah seneng lihat kamu bodimu gemuk seperti ini"

"Begitu ya?", Lani terpegun mengamati Pak Sarmin makan, sebelumnya jarang ada laki-laki luar yang bertandang ke rumah dulu untuk merasai masakannya. Suaminya saja susah. Pulang-pulang, katanya sudah makan.

"Anakmu ke mana?"

"Enggak tahu juga, enggak ada kabar, dihubungi susah"

"Anak laki-laki memang suka begitu"
"Anakku pun demikian, duh..."

"Ada apa dengan anak bapak?"

"Dia itu jarang kasih kabar ke kami yang di kampung, kirim uang saja jarang, kami tahu di kampung kami tidak kekurangan, setidaknya ada perhatian dari seorang anak"

"Kalau boleh tahu anak Pak Sarmin ada berapa?"

"Anakku 2, yang pertama perempuan, buka usaha jahit, yang kedua laki-laki yang di sini"

"Ooo, yang pertama sudah menikah?

"Belum, susah dibujuk, kemarin mau dijodohkan dia tidak mau, katanya calon pasangannya kurang mapan"

"Perempuan pasti punya pilihan dan pertimbangan"

"Kamu sendiri bagaimana dengan suamimu, sudah ada perkembangan?", tanya Pak Sarmin sorot matanya tertuju ke arah Lani. Ia mengidam-ngidam dapat durian runtuh, siapa tahu Lani kasih jalan untuknya mengisi dingin malam ini.

"Ya masih begitu-begitu aja"

"Aneh loh, kok bisa suamimu jauh-jauh dari kamu, apa jangan-jangan sudah punya wanita idaman lain?"

"Enggak, enggak begitu pak"

"Terus, bagaimana cerita?"

Pertanyaan ini membingungkan bagi Lani. Di satu sisi kalau ia menceritakan yang sebenarnya akan menguak kehidupan rumah tangganya, bahwa penyebab utama keretakan ialah dirinya. Sebaliknya jika disembunyikan, ia tak tahu bagaimana bisa keluar dari problem yang mendera dirinya seorang. Lani sudah kenal dekat dengan Pak Sarmin. Ia ragu laki-laki paruh baya ini bisa jaga rahasia rumah tangganya. Lagipula perkara rumah tangga tak bisa sembarang orang tahu.

"kok malah melamun, kalau tidak bisa tak apa-apa"
"Tidak semua orang berhak tahu urusan rumah tangganya"

"Pak, kalau seorang istri punya salah, apakah seorang suami akan memaafkannya?"

"Tergantung salahnya apa, memaafkan mungkin, melupakan tidak"

"Humm..."

"Kalau suaminya beneran sayang, segala bentuk kesalahan istrinya pasti dimaafkan"



"Pak Sarmin ngelihatnya kok ke sini mulu sih"
"Hihihi", Lani berupaya memecah suasana, menyadari kalau Pak Sarmin sedang gelisah dengan cara berpakaian dan ukuran payudaranya.

"Iya nih, aduh, aduh, lagian bentuknya gede"
"Bukan salah saya dong"
"Hehehe"

"Ah bisa aja"

"Buru dihabiskan, saya udah habis"

"Tambah lagi pak"

"Kenyang, huorrghhh...", jawab Pak Sarmin sembari bersendawa.

Lani teringat Doni yang acap mengusiknya melalui telepon. Barangkali untuk masalah ini ia bisa menceritakannya kepada Pak Sarmin. Ketika disampaikan ke Pak Sarmin masalahnya apa, membludaklah amarah Pak Sarmin. Lani mengatakan kalau laki-laki ini suka melecehkan dirinya. Ia adalah mantan pacar Lani waktu di kampus dan masih suka sekali menghubungi Lani hingga ia sudah menikah dengan memiliki anak 1. Doni sendiri sudah berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak.

"Terus aku bisa bantu apa? Laki-laki model begini tidak bisa didiamkan"

"Bantu apa ya?"

"Sini, mana nomor hapenya, saya mau bikin perhitungan dengan dia"

"Jangan pak, jangan sampai begitu"

"Lalu?"

"Nanti saya pikirin bapak bisa bantu apa"

"Baik, saya tunggu"

Selesai makan malam, Pak Sarmin menunggui Lani mencuci piring. Ia tatap tubuh Lani dari berbagai arah, justru memancingnya untuk mendekat. Pak Sarmin menengok ke kanan dan kiri, memastikan situasi sepi. Tanpa sepengetahuan Lani, tiba-tiba Pak Sarmin merangkul pinggangnya. Lani sontak kaget, ia segera menghindar. Kemudian mempertanyakan maksud Pak Sarmin.

"Iih bapak, apa-apaan sih?"

"Maaf, gak kuat saya melihat dari jauh terus"
"Hehe"

"Jangan macem-macem ya, kalau enggak nanti kita gak akan dekat seperti ini lagi"

"Maaf ya, maaf"

=∆=​

POV Pak Sarmin

Tak ada yang bisa aku perbuat di tempat macam ini. Panas, sempit, dan sumpek. Anak laki-lakiku 'mengurung' bapaknya seperti sangat tak diinginkan berkunjung. Diberi kebebasan iya, tetapi diberi uang jajan tak banyak. Dibelikan makan pagi dan siang bersamaan, terpaksa dapat makanan dingin. Makan malam diantarkan driver ojol, namun tak sesuai selera. Ia tak pernah membawa bapaknya jalan-jalan mengelilingi kota, ke pasar, ke bazar malam, tempat makan, apalagi Mall yang serba mewah. Kerja pagi hingga larut malam, namun begitu-begitu saja. Katanya banyak uang, bapaknya tak terurus. Entah kerja apa dia. Penampilan gagah berkemeja dan mengkilap, mengemudi sepeda motor matic yang berukuran besar itu. Apakah ia banyak utang? Sampai mengirim uang ke kampung jarang.

"Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira."
(Terjadinya dirimu karena diciptakannya ibu bapakmu sehingga kedua orang tua harus dimuliakan)

Bukan sekadar rindu, aku menghampiri anak pertamaku, melainkan juga memastikan apa yang dihadapinya sehingga hampir tak pernah menengok orang tua. Selalu kami yang menghubunginya, seolah-olah kami yang perlu, dan bagi kami penting sekali kabar seorang anak sekalipun Ia kurang peka dan peduli.
Di samping itu juga kemari dalam rangka pelarian, pelarian dari hiruk pikuk dusun akibat ulah istri yang gemar mengocehi tetangga dan beberapa malam menembang kidung konon anak perempuanku jadi ketakutan. Keributan kecil kerap terjadi. Beberapa warga berlomba mendatangi agar istri aku ditegur. Sayangnya, ia keras kepala dan sangat sulit diberi tahu untuk tidak banyak bicara. Pada akhirnya, pelarian ini menjadi pembebas dari gerutuan penduduk dusun akibat kelakuan istri.

"Pak, kapan pulang?"

"Belum tahu, aku betah di sini"

"Bapak ndak kangen sama aku, udah ndak sayang?"

"Sayang Bu, sayang"

"Loh, terus?"

"Aku bahagia dekat anak laki-lakiku, maaf Bu, aku belum bisa mengajaknya pulang"

"Ndak apa apa, Ibuk yang salah, belum bisa tengok"

"Ibu sudah makan? Vina sudah?"

"Alhamdulillah, kami sudah pak, bapak bagaimana? Dibelikan apa? Lele lagi?"

"Hari ini bapak makan enak bu"

"Loh kok bisa? Makan apa?"

"Pokoknya makan enak Bu"

"Dapat dari mana? Anak kita yang belikan?"

"Tetangga Bu, ajak bapak makan"

"Tetangganya baik ya pak, ibu turut senang"

"Sudah dulu ya, kamu istirahat buk, bapak juga mau istirahat"

"Baik, besok jangan lupa bangun pagi pak, bapak mesti olahraga, supaya sehat"

Beruntung istri tak tahu bahwa tetangga yang menemani makan malam cantiknya juara. Gemuk bodinya menggemaskan, bikin lahap makanku. Lani namanya, si calon janda yang montok itu apakah sedang memberi harapan bahwa aku boleh menyentuhnya? Bualan, semenjak bertemu hati sudah terpaut, tetapi sekadar memandang dan memuji tak enak juga kalau tak bisa ditiduri. Sedih nasibku ini. Selalu tiap hari aku rindu bertemunya, ajak ngobrol ngalor ngidul. Pernah terbawa mimpi, untung saja putraku tak bertanya mimpi apa dan siapa.

"Bapak ngigau apaan sih pak, malam malam nyahutnya SUSU SUSU"
"Sadar pak!"

"Eh?! Mimpi toh?! Bapak ngimpi minum susu.."

"Aduh gusti! Susu siapa?"

"Ya susu sapi! Jangan ngawur pikiranmu!"

Itu mengapa aku masih kerasan di sini, bukan karena anak, tetapi tetanggaku yang bernama Lani. Malam ini senang sekali ia mau masak dengan jatah uang makan yang aku kumpul beberapa minggu terakhir. Makannya berdua, saling bercerita dan tertawa bahagia bahwa kami sama-sama terpinggir dari problema hidup. Duh, Lani, kalau kamu sudah benar-benar bercerai dari suamimu, aku mau sekali jadi suamimu, sayang. Asal ada kamu, berani adu nyali aku tinggal di kota meninggalkan desa. Malam akan senantiasa indah disambut bodimu, satu kasur bersamamu, sayang.

Kalau kamu suka bermain-main dengan benda macam ini saat sedang butuh belaian dan kepuasan (Pak Sarmin mencuri Dildo kepunyaan Lani), aku berani kasih kamu yang sungguhan dan betul-betul akan beri kehangatan. Semustinya sehabis makan malam, kita berakhir di tempat tidur, sayang. Kamu jadi buat diriku yang jauh dari istri ini tersiksa. Pun saat aku ingin menyentuh susunya yang kadang malam masuk ke mimpi. Aku lelah memimpikan dan sekadar memandangnya. Apakah benar hanya khayalan aku bisa menyentuhmu dan merasaimu, sayang. Sedih sekali rasanya.

"Pak! Hoi! Daripada melamun, bapak bantu aku beresin kamar ini"

"Kamu sendiri kan bisa"

"Bapak seharian ngapain aja?!"

"Kamu tak mengerti, tak mengerti apa yang dipikirkan bapakmu, kamu sibuk dengan urusanmu"

"Kan aku sudah bilang, kalau di sini waktuku tak banyak untuk bapak, tapi bapak masih enggan pulang, kan lebih enak tinggal sama ibu, ada yang merhatiin"

"Baiklah, fokus saja dengan pekerjaanmu, bapak bisa urus diri bapak sendiri, kalau kamu masih perhatian ya syukur, enggak pun syukur"

Dasar, kenapa harus anakku mewarisi sifat ibunya yang suka mengoceh itu. Malam ini sebetulnya aku sudah ingin beristirahat, tetapi ia malah memberi perintah. Anak durhaka berani-beraninya menyuruh orang tua.

"Bapak mau kemana lagi? Ini udah malam pak. Masuk angin nanti"

"Aku mau merokok satu batang, tak kemana mana"

"Hemmm"

Angin malam lebih membuatku tenang daripada anakku satu itu. Kalau kondisi seperti ini terus, kepulangan ke kampung sepertinya akan benar-benar terjadi. Sementara Lani juga begitu, capek aku memerhatikannya. Tak pernah ada tanggapan bagus nan serius. Ia apakah sengaja kasih aku umpan yang manis manis itu. Ketika aku baru sebentar memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya. Ah, malah dipukul. Sakit manis rasanya. Apakah itu pukulan sayang? Jangan ngimpi kamu Sarmin! Ternyata itu bukan umpan, memang itulah dirinya yang suka pamer belahan susunya dan beberapa bagian yang lain. Kemana mana ia memang tertutup. Karena tinggal berdekatan, akulah yang lebih sering menyaksikan ia dengan penampilan rumahan.

"Lani sedang apa ya? Apakah anaknya sudah pulang"

"Pak ini benda macam apa? Bapak dapat dari mana?! Makin kacau bapak di sini. Aku musti lapor ibu" Haduh haduh haduh, aku lupa menyembunyikan temuan yang kudapat dari kamar Lani. Putraku menagih jawaban sambil memelototi.

"Jangan! Bapak bisa jelaskan!"

"Oke, jadi ini dapat dari mana? Bapak masih sehatkan? Normal kan?!"

"Ya jelas, masih!"

"Terus dapat dari mana ini?!"

"Itu.... Itu...."

"Ah kacau bener ini, bapak besok pulang pak, error bapak lama-lama di sini..."

"Yan, tunggu dulu! Yan! Bapak bisa jelasin! Kamu jangan pikir macem-macem sama bapakmu ini!"

"Bapak bisa jawab gak? Enggakkan?!"

"Lantas kamu mau tuduh bapakmu apa dengan barang itu?'

"Gilaa!"

"Kurang ajar kamu lama-lama!"

"Lah, benda macam ini bisa dapat dari mana? Perlunya apa? Kalau ibu tahu juga, ibu akan punya pikiran yang sama"

"Mau kamu apa sih sebetulnya?!"

"Mauku bapak pulang!"

=∆=​



"Kamu dari mana baru pulang jam segini?"
"Kamu sengaja buat mama pusing?"

"Ya enggak"

"kamu habis dari mana?", Lani mengenakan daster kembang, lengannya apabila Pak Sarmin melihat mungkin semakin penasaran. Lani menyambut kepulangan Fikri pukul 9 malam.

"Makan malam barengnya sudah?"

"Jawab dulu pertanyaan Mamah. Kamu dari mana?"

"Aku dari tempatnya Tante Diah, Mah"

"Ya Tuhan, Fikri. Kamu jauh banget jalannya, mau ngapain"

"Bosen aja, Maah. Eh iya, Mama gak tahu tadi Pak Sarmin berantem sama anaknya di luar?"

"Enggak. Beneran?"

"Iya barusan"

Lani memeriksa keluar. Ia lihat Pak Sarmin termangu mematung. Raut murung terpancar dari wajahnya. Bersama Fikri, Lani menghampiri Pak Sarmin. Ketika disampari, ia kaget dan mengusap muka. Tidak ada yang bisa diceritakan. Pak Sarmin hanya ingin perlu ditemani. Keduanya pun mengarahkan Pak Sarmin masuk ke kamar kos mereka. Tanpa disadari Lani lupa membalut daster yang menempel di tubuhnya. Postur tubuh Lani yang terekspose memacu Pak Sarmin yang sudah kadung menaruh nafsu, makin panas saja dengan penampilan Lani. Ia seolah lupa telah bertengkar dengan anak lelakinya.

Lani mempersilakan Pak Sarmin duduk di lantai beralaskan tikar spons plastik. Ia mengambilkan minum dari sebotol tumbler agar bisa menenangkan hati Pak Sarmin. Fikri menyalakan kipas angin, tak sabar menyimak cerita apa yang akan diutarakan dari pertengkaran mulut yang disaksikannya.

"Kenapa pak?"

"Itulah hubungan bapak dengan anak"
"Kamu belum pernah alami?"

"Belum, tetapi aku pernah dibentak, tetapi tak sempat membentak balik"

"Huuss, Fikri!"

"Bagus, jangan ditiru yang tadi ya", ucap Pak Sarmin memilih bersandar di tembok.

"Maaf ya pak, kosannya sempit"

"Gak apa, kan sama dengan kosan disebelahnya"
"Hehehe"

"Diusir ya?"

"Fikri!"

"Sudah, tak apa-apa, anakmu bener, Mba"
"Saya diusir", jawab Pak Sarmin memandangi Lani. Wajahnya masih menyisakan kemurungan, perlu simpati. Sementara hatinya berkata lain. Ia menatap tajam bagian dada Lani. Pak Sarmin menaruh hasrat. Ia tak tahu bagaimana menuntaskan birahi yang beranjak bangun perlahan dari tidurnya.

Fikri menyadari kedua tatapan mata Pak Sarmin yang tak beres ke arah tubuh Mamanya. Melemahkan diri agar dapat simpati. Fikri seakan mau mengusir Pak Sarmin juga, tetapi sedikit tak tega. Ia justru punya kesempatan lain dengan situasi saat ini, bahwa Pak Sarmin punya kehendak lain atas Mamanya. Kesempatan Fikri untuk memperoleh bukti kalau Pak Sarmin memang memendam sesuatu.

"Aku mau sekalian pamit di sini, besok aku balik ke kampung"

"Baguslah", sahut Fikri pelan.

"Fikri! Kamu inih.."

"Sudah biarkan, jangan terlalu dikeraskan, nanti jadinya seperti anakku", Pak Sarmin bangkit berdiri.

"Mau kemana pak?"

"Cari angin, hehehe"
"Panas..."

"Sudah malam, yang ada masuk angin"
"Di dalam saja", pinta Lani meminta Fikri mengencangkan kipas anginnya.

"Aku tak mungkin istirahat di sini, kasihan kalian berdua"

"Bapak bisa tiduran di bawah, Fikri nanti sama aku tidur di atas"

"Mama?!"

"Sudah, tidak usah", jawab Pak Sarmin sungkan. Ia kemudian memandangi Lani, "terima kasih Mbak...".

"Sama-sama", Lani mengangguk memberi senyum. "Pak Sarmin di sini dulu aja ya?"

"Tak usah, saya rebahan di bangku luar saja, sampai besok"

Fikri mendadak berubah pikiran. Sebetulnya ia tidak menginginkan Pak Sarmin mengungsi ke kamar kosnya. Tentu akan bertambah mepet. Ia sudah tumbuh remaja, tidur bersama mamanya. Namun, menurut Fikri, ini adalah pembuktian apakah Pak Sarmin benar benar memendam sesuatu. Siapa tahu Fikri bisa melabrak dan seketika membuat mamanya percaya. Setelah itu, ia berharap mamanya akan mulai menjauhi Pak Sarmin, bahkan kalau bisa membenci.

Lani sendiri tetap berupaya membujuk Pak Sarmin agar mau tinggal sementara di kamar kosnya hingga besok. Ia tak mungkin tega membiarkan orang yang selama ini dekat dengannya kedinginan di luar. Apalagi Pak Sarmin besok sudah tak di sini. Itu berarti Lani akan kehilangan teman mengobrolnya.

"Sudah pak di sini aja, gak apa"

"Ih kamu kok berubah?"

"Iya Maa, gak tega juga aku biarin Pak Sarmin duduk di luar semalaman"
"Bisa sakit besoknya"

"Sudah tidak usah, tidak apa saya berada di luar"

"Di sini aja Pak Sarmin, ya?", bujuk Lani.

"Aduh saya yang tak enak"

"Gak apa, santai pak"

"Baiklah, saya menurut saja dengan kalian, tetapi saya keluar sebentar ya"

"Mau kemana?"

"Merokok, supaya pusing cepet hilang"

=∆=​

POV Fikri

Sehabis mandi dan keramas, gue kehilangan mama. Padahal, sebelum mandi gue lihat mama sedang melipat baju. Kemana ya? Gue mengeringkan rambut terlebih dulu dan segera berpakaian sembari menyisir rambut. Apa mungkin ia menyusul Pak Sarmin yang merokok di luar. Gue coba memeriksa ke depan. Tak ada siapapun di luar. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aduh gue kehilangan jejak Mama dan Pak Sarmin. Gue tinggalkan kamar kos dan mencari Mama.

Gue tertuju kepada dapur tempat makan di mana kami biasa ngobrol di situ. Bisa jadi mereka melanjutkan obrolan di tempat itu. Ketika gue datangi, eh kosong. Yang gue temukan adalah jatah makan malam yang sepertinya ini jatahnya makan malam gue. Aduh kemana ya? Jadi tak ada selera makan.

Gue bukan beranggapan Pak Sarmin itu jahat, tetapi gue menduga dia pria berotak mesum yang punya banyak akal bulus. Bagaimana tidak, kalau sudah bicara dengan mama, tatapan matanya suka jelalatan, cara bicaranya menggurui sok pintar. Tak tahu adab. Sedangkan mama seperti itu tampilannya. Padahal gue sudah berulang kali kasih tahu, hati-hati sama Pak Sarmin. Namun, mama seakan memberi harapan pada itu orang. Lelaki bejat! Gue hanya perlu menunjukkan bukti kalau Pak Sarmin itu berbahaya. Nah, malam ini jalan terangnya.



Itu mereka! Ternyata di taman belakang kosan. Duh mama, kok gak pakai jaket sih! Malah duduknya sebelahan gitu lagi sama Pak Sarmin. Ah gue gak rela! Sabar Fikri. Gue mengendap-ngendap ingin mengetahui lebih dulu apa yang mereka sedang bicarakan.

"Ya beginilah realita kehidupan kita berdua"

"Sabar ya Pak..."

"Kamu juga"

"Sudah malam, ayo pak kita masuk, mungkin Fikri sudah mencari-cari"
"Gak bagus juga dilihat penghuni kos yang lain"

"Sebentar...", Pak Sarmin mengamati dari atas hingga bawah penampilan Mama.

"Apa? Pasti aneh-aneh deh..."

"Aneh bagaimana? Saya itu mau muji kamu cantik banget malam ini"

"Haduh haha, gombal malem nih yeee", ledek Lani.

Tanpa basa-basi, Pak Sarmin tiba-tiba merangkul pundak mama, turun mencengkam lengan. Gue pun terperanjat dan memilih menahan diri dulu.

"Malam ini kita tidur berdua ya?"

"Ih ngaco"

"Dingin..."

"Makanya masuk pak, jangan di luar lagi"

"Oo kamu mau dimasukkin?"
"Hehe"

"Eitss bukan, ah udah ah"
"Candaannya dah gak lucu", Mama beranjak berdiri, hendak kembali ke kamar.

"Jangan buru-buru, sini dulu", Pak Sarmin mendesak Mama duduk kembali.

"Apalagi?"

"Kalau saya sayang sama kamu, bagaimana mba?"

"Hah? Enggak boleh, Pak Sarmin sudah punya istri"

"Hemm begitu, padahal saya pengen bisa tidur sama kamu", Pak Sarmin meraba paha mama.

"Ooo hanya karena pengen tidur sama aku"

"Yaa enggaklah, jadi suamimu pun saya rela tinggalkan istri demi kamu", Pak Sarmin kini merangkul pinggang Mama.

"Wushh, aku enggak mau jadi orang ketiga"

"Yang pertama, kalau saya sudah terlanjur sayang sama kamu? Ya kan?"
"Hehehe", Pak Sarmin semakin erat merangkul pinggang Mama. "Susumu besar ya?"

"Ihhh bapak ngomongnya susu muluk"

"Yaiya, dah lama gak nyusu saya, hehehe"
"Coba kamu pegang ini...", Pak Sarmin menuntun tangan mama memegang daerah selangkangannya.



"Ihhh makin ngaco, udahan, udahan", Mama melepas paksa rangkulan tangan Pak Sarmin di pinggangnya. Ia berjalan tergesa-gesa. Aduh, Gue harus segera kembali ke kamar kos. Bisa-bisa malah mama yang mencari gue dan berbalik mencurigai. Namun, karena waktu kembali yang sedikit, gue memutuskan untuk singgah di dapur seraya mengisi perut, agar ada alasan ketika mama melacak keberadaan gue. Dengan tenang, gue melahap lauk dan nasi. Lagipula gue makan hari ini tak kenyang karena menumpang makan siang di rumah orang. Segan untuk makan banyak-banyak.

Apa yang dilakukan Pak Sarmin tak bisa dimaafkan, dia sudah melecehkan mama. Kemudian apa yang bisa gue perbuat? Ajak baku hantam? Dengan papa saja aku tak berani. Apalagi dengan orang lain yang sosoknya lebih sangar dan besar daripada papa. Payah sekali gue. Ah gue mau kenyangin perut dulu. Biar tenang. Sesaat mengunyah makanan gue menanti-nanti kedatangan mama, yang gue kira pasti sampai kemari. Bisa jadi Pak Sarmin mengikuti. Namun, hingga makanan ini gue habiskan, tak bersisa nasinya sedikitpun. Tidak ada tanda-tanda mereka ke sini. Aigh! Pede banget gue. Buru-buru gue minum dan menuju kamar.

Membuka pintu tanpa mengetuk, gue dengan terengah-engah melihat Pak Sarmin sudah telanjang dada dan melepas celana panjangnya. Ia duduk bersila di lantai. Mama duduk di atas tempat tidur, meselunjurkan kaki dan memeluk bantal. Keduanya menengok ke arah gue.

"Maaf ya, saya terpaksa buka baju"

"Enghh, iya gak apa apa, saya maklum kok pak, emang di sini panas"

"Jendelanya mungkin agak dibuka aja, sayang", pinta Mama menunjuk ke arah jendela dekat pintu.

"Darimana?"

"Emmm, habis makan"

"Piringnya ditaruh aja, nanti biar mama yang cuci"

"Hayuk duduk, kok malah berdiri di situ", ucap Pak Sarmin bergeser dan memberi tempat.

Gue tidak bisa memberi reaksi spontan atas apa yang gue lihat di bangku taman belakang. Kemudian gue menutup pintu dan duduk di atas tempat tidur membelakangi mama. Sebelum tidur, kami bertiga bicara sedikit mengenai sekolahku. Apakah belajarnya lancar dan perlu biaya saja tak usah sungkan untuk disampaikan. Pak Sarmin mengetahui keadaan mama dan gue yang serba terbatas, mengatakan dia mau membantu sedikit-sedikit. Tak ada yang WOW, dari yang diucapkannya. Bagi gue itu hanya modus mendapatkan perhatian mama. Lagipula gue telah mendengar percakapan mereka tadi.

Barulah setelah itu kami bertiga memutuskan untuk tidur. Mama tidur bersebelahan dengan tembok. Sebaliknya gue berada di tepi ranjang. Pak Sarmin berada di bawah. Persis di sebelah gue. Kakinya berhadapan dengan pintu kamar mandi. Sebelah kirinya adalah lemari. Sunyi suasana membuat gue berdiam sejenak kira kira langkah apa selanjutnya yang akan gue ambil. Lagipula Pak Sarmin sudah gue relakan tidur di sini dengan penuh keterpaksaan. Gue gak mau berakhir dengan sia-sia.

Nah! Setelah mencari ide beberapa menit, Gue menemukannya. Akan tetapi, gue harus menunggu hingga mama benar-benar tertidur. Alhasil, gue menunggu sejam dengan melamun kendati telah beberapa kali menguap. Setelah yakin,

"Pak, Pak Sarmin?"

"Eh, iya? Ada apa?", ia membuka matanya yang tampak kuyu.

"Psssttt. Bapak mau tidur di atas gak? Saya di bawah, saya kepanasan soalnya"

Pak Sarmin terdiam, ia memandang ke arah mama yang berbaring menghadap tembok.

"Boleh", jawab Pak Sarmin sembari tersenyum.

Ketika sudah berbaring di bawah, gue perhatikan posisi tidur Pak Sarmin menghadap langit-langit. Belum ada reaksi seperti apa yang gue harapkan. Gue pun terpaksa menguap dan terus menguap hingga bosan ditelan kantuk.

=∆=​

Jam telah menunjukkan pukul 1 malam, suasana rumah kos bertingkat tiga kian hening. Kelelawar beterbangan, berpindah pohon ke loteng-loteng rumah warga sekitar rumah kos. Di tengah kesunyian malam. Pak Sarmin dan Fikri ternyata sedang saling menunggu siapa yang bertahan dan tidak ditenggelamkan oleh kantuk. Lucunya, Mereka berdua tak saling menyadari kalau sedang saling menunggu siapa yang tertidur. Usai memastikan kemenangan, Pak Sarmin menoleh ke fikri yang telah mendengkur, menghadap lemari. Batinnya berbunga-bunga, berbalik badan, memandangi bodi Lani. Ia merasa sebagian angan-angannya akan terwujud malam ini.

Tetap membiarkan Lani tertidur, dan menjaga situasi terkendali, Pak Sarmin bangkit terduduk. Ia bergeser pelan agar ranjang tak berbunyi. Pak Sarmin ingin mengamati paha mulus milik Lani. Disingkapnya bagian bawah daster Lani pelan-pelan merangkak naik.

"Huuummmhh, harumm, paha ini lebih kelihatan nikmat daripada paha ayam tadi", lirih Pak Sarmin selanjutnya ia berusaha mengintip selangkangan Lani di antar kedua belah pahat yang merapat dan terbungkus celana dalam berwarna biru muda. Dia endus dengan tetap menjaga jangkauan agar Lani tidak terbangun.

"Itu! di sana makananmu!", ucap Pak Sarmin seraya menyentuh batang kemaluannya yang lambat laun mengeras. Pak Sarmin lalu beralih ke ketiak Lani. Meski terendus sedikit kecut, bagi Pak Sarmin memiliki Lani mengalahkan segalanya.

"Bodoh betul suamimu, entah apa yang ada dipikirannya"
"Duh haduh..."

Pak Sarmin hendak berbuat nekad, tetapi kehadiran Fikri membuatnya sedikit khawatir akan terjadi reaksi berlebihan. Apakah ia akan melewatkan peluang emasnya? Kapan lagi?! Ini saatnya hoi! Setan berlomba membisikki jiwa Pak Sarmin. Ia gelisah, memilih tidur pun jadi susah. Akhirnya Pak Sarmin hanya mengelus-ngelus penisnya yang keras karena putus asa tak dapat berbuat banyak.

Sementara Lani membuka matanya, menyadari tempat tidurnya seakan lebih berat dan penuh. Selama ini ia tidur sendiri sehingga bisa membedakan. Lani terbangun. Ia mendengar seseorang melenguh, disimak baik-baik lenguhan itu sembari terdengar namanya disebut meski sayup-sayup. Lani sangat ragu-ragu dan takut untuk melihat. Namun, ia mulai mengetahui kalau kini yang tidur di sebelahnya adalah Pak Sarmin. Lani ingin melabrak, tetapi itu berisiko mempermalukan Pak Sarmin di depan anaknya. Dia lalu mengambil langkah berbalik badan, namun berpura-pura tidur.

Betapa terkejutnya Lani sambil menyipitkan mata agar tak ketahuan, Pak Sarmin, ia lihat menge mengulurkan penisnya yang tegang dan dikelilingi bulu-bulu yang memanjang.

"Ini punyamu Lani, sayang, ough, hayuk mainkan"

"Pak Sarmin, Ck" Lani menggerutu kesal dalam hatinya. Namun, sebaliknya Lani merasa dialah yang bersalah. Sepertinya benar kata Fikri karena terlampau dekat dengan Pak Sarmin, laki-laki itu jadi birahi. Lani bukan terlambat menyadari. Ia sadar kehadiran Pak Sarmin di rumah kos ini menghilangkan suasana jenuh dan sepi. Itu mengapa dia sulit untuk jauh-jauh dari Pak Sarmin. Entah bagaimana besok setelah Pak Sarmin pulang kampung. Siapa teman mengobrol Lani?

Tampaknya satu-satunya yang bisa mencegah kepergian Pak Sarmin, ya Lani sendiri. Lani tidak punya cara lain.

"Pak, ngapain sih?"

"Eh?!", Pak Sarmin sontak kaget, ia buru-buru memasukkan kembali kemaluannya. "Maaf, maaf"

"Telat, udah ketahuan"

"Hehehe"

"Kok bisa di sini?"

"Fikri katanya mau tukeran, dia kepanasan"

"Oooh"

"Beruntung banget bisa tidur di sebelah kamu malam ini", Pak Sarmin menatap Lani.

"Hemm, tapi kan bapak besok pulang"

"Maunya kamu sendiri bagaimana?"

"Ya pulang aja"

"Ooo baik, besok saya pulang", jawab Pak Sarmin mengangguk.

"Tapi...."

"Tapi apaa?"

Lani tercenung, memikirkan baik-baik apa betul ia akan mencegah kepulangan Pak Sarmin besok. Lani diterpa kegalauan. Kegamangannya menjawab ditangkap Pak Sarmin dengan menggerayangi payudara Lani.

"Achhh"

"Ayo, apa jawabannya? Hehehe"

"Achhhhh"

"Psssssstt, pelenin desahannya, sayang", ucap Pak Sarmin. Ia memepetkan Lani ke tembok. Kemudian diulurkan kembali batang penisnya yang tegang dan ditunjukkan ke Lani.

"Jangan deket-deket iih"

"Makanya dijawab", Pak Sarmin selanjutnya berbisik,"Mana besar sama mainan kamu?"
"Hehehe"

"Tahu dari mana?", Lani kian terpojok.

"Tak perlu kamu tahu, sayang"
"Ayo kamu belum jawab"
"Segera dijawab, nanti anakmu bangun loh"

Lani menghela nafas sebelum menjawab,"bapak silakan pulang saja besok, tapi.... tolong sentuh aku dulu"

"Hehehe, akhirnya"
"Kita lepaskan kesepian kita malam ini, sayang", Pak Sarmin lekas memeluk dan mencumbu leher Lani. Perempuan itu tergolek menengadahkan kepala, supaya Pak Sarmin mencumbunya bebas.

"Ummfhhh"

"Aichhh...."

Kepala Lani bergerak tak tentu, Pak Sarmin menyerbu leher Lani dengan jilatan lidahnya. Lani memberontak pasrah. Apalagi ketika tangan Pak Sarmin mencari-cari buah dadanya. Pak Sarmin sudah penasaran sekali ingin melihat puting susu Lani. Karena kesulitan dengan BH yang membekap, Pak Sarmin meminta Lani menunjukkannya sendiri.

"Ayo perlihatkan susumu..."

"Sama aja pak, aduhh"

"Kamu yaaa...", Pak Sarmin kesal. Ialu meremas salah satu buah dada Lani.

"Aaaaahhh, sakiiit"

"Kasih aku lihat makanya"

"Tunggu sebentar...", Karena harus membuka BH dulu, Lani terpaksa mencopoti daster dari badannya. Tersisa Lani hanya mengenakan BH Hitam dan celana dalam biru muda. Pak Sarmin lantas membaringkan Lani. Ia sudah bernafsu sekali. Dikuak celana dalam Lani. Diletakkannya di kolong ranjang. Lani tak sudi begitu saja. Ia merapatkan paha. Pak Sarmin lalu memintanya dibuka. Ia mencoba lihat vagina idamannya. Akan tetapi, Lani sedikit menolak. Pak Sarmin mau tak mau bersabar. Ia memilih menelanjangi diri.

"Bukan cuman aku, tetapi dia juga butuh kehangatanmu, sayang"
"Hehe"

"Pak, udahan deh, kalau Fikri bangun bisa repot", lirih Lani cemas.

"Aduh, apa kamu tega, dia sudah keras sekali"

"Duh gimana" Lani melirik Fikri masih tertidur pulas.

Dengan kondisi tak pasti, Pak Sarmin berupaya menggiring Lani ke kamar mandi. Lani mengelak tak mau. Pak Sarmin tak bisa memaksa. Ia berharap Lani menyusul kendati masuk sendirian. Ditinggal, Lani awalnya memutuskan tidak menyusul. Vagina yang kelewat gatal karena lama tak disentuh membuat resah. Lani harus mengambil keputusan cepat. Siapa tahu ditinggal lama, Pak Sarmin klimaks sendirian.

Lani bangkit berdiri. Ia perlahan-lahan mengambil sesuatu dalam laci lemari agar tidak membangunkan Fikri. Apa respon anak itu melihat mamanya dalam keadaan bugil begini. Setelah berhasil diambil, Lani dengan langkah pelan masuk ke kamar mandi.

"Lama banget"

"Tahu ah", Lani membuang badan. Pak Sarmin terkekeh menghampiri. Ia merangkul Lani. Batang kemaluannya pun bertubrukan dengan bokong yang selama ini menggemaskannya.

"Saya besok kan mau pulang, pastinya saya kangen banget sama kamu, Lani...", Sejujurnya hati senang, namun entah mengapa ia membenci kalimatnya.

"Buruan pak, keburu masuk angin, keburu fikri bangun juga"

"Siap Nona", Lani bersandar ke tembok. Ia menungging, mengarahkan bokong semoknya ke hadapan Pak Sarmin.

"Makananmu datang, bleh"

"Jangan dimasukkin dulu, dibasahin dulu pak..."

"Iyaaaah"

Pak Sarmin mengarahkan bibirnya ke selangkangan Lani. Dia jilati dan sentuh klitorisnya. Lani pun menggeliat. Sudah lama ia tak diperlakukan seperti ini. Terakhir bersama Doni. Namun, doni tak hati hati, malah merusak rumah tangganya. Lani telah lupakan. Ia fokus menikmati jilatan lidah Pak Sarmin hingga bokongnya bergoyang.

"Aahhhhhhh"

SELEEEEEFHHHHHHH

"Aiiiiiiiiihhhh"

"Mantaaaaappp, saya kira masakanmu saja yang enak, memekmu juga hehehe"

"Huh huh huh huh"

"Sudah siap sayang?", tanya Pak Sarmin tak sabar menanti giliran penisnya yang menikmati.

"Pakai ini dulu pak..."

"Apa itu?"

Lani menyerahkan satu strip kondom yang pernah mau digunakan suaminya, tetapi tak jadi digunakan karena terlampau longgar. Sayangnya, Lani tak tahu kalau Pak Sarmin tidak mengerti cara memakai kondom. Terpaksa Lani yang memasangkan.

"Kontolnya dah keras banget kan..."

"Iyaa", Sambil sedikit mengocoknya, Lani tercengang karena kondom itu muat dipasangkan untuk penis Pak Sarmin.

"Sudah"

"Akhirnya, hehehe"

"Pelen-pelen ya pak..."

"Akhirnya, mimpiku entot kamu terwujud", Pak Sarmin mengarahkan ujung kepala penis ke liang senggama Lani. Ia pegang bokong Lani dan dorong batang kemaluannya perlahan-lahan. Kemudian ia tarik mundur, dan dorong lagi. Ketika ia merasai mulai licin dan mudah keluar masuk, Pak Sarmin membenamkan seluruh batang penisnya di vagina Lani.

"Aaahhhhhhhh"

"Ughhhh"

Lani megap-megap. Batang penis Pak Sarmin memenuhi vaginanya. Ia tak mau Pak Sarmin lama diam. Vaginanya ingin digaruk. Lani memancing dengan menggoyangkan bokongnya. Pak Sarmin lekas menyambut dengan tusukan demi tusukan.

"Ughhhhhhh, mimpi apa aku bisa entot kamu, mba"

"Aahhhhhh, terusss pak, agak dicepetin"

*Ughhh siyaaaphh"

"Aahhhhh!!!!", desah Lani menerima sodokan brutal Pak Sarmin.

Pak Sarmin lalu mengangkat salah satu kaki Lani. Dipapah, lalu seketika penis Pak Sarmin mendorong keluar masuk tak terkontrol. Lani menjerit. Vaginanya betul-betul menikmati sodokan penis Pak Sarmin. Ia berpegangan kepada tembok sekuat tenaga.

"Uughhhh, enakkan sayang?"
"Coba dari dulu kamu jangan tolak"
"Awas kamu jadi kangen, hehehe"

"Aaahhhhhhh"

"Ughhhhh, aku juaranya sekarang!", pak sarmin menarik batang kemaluannya. Lani roboh. Selagi membiarkan Lani istirahat, Pak Sarmin rebahan di atas lantai kamar mandi. Karena nafsu birahi, ia jadi tak takut penyakit kuman dan lainnya. Pak Sarmin meminta Lani menungganginya. Lani bangkit berdiri.

"Pak, jangan lama-lama"

"Iya, ini mau diselesaikan, hayuk masukkin ini sayang"

"Oooohhhh...", Lani berjongkok, mengarahkan penis Pak Sarmin ke liang vaginanya.

BLLLLESSSSSHHHH

"UGHFFFFFHHH, enak pol memekmu"

"Ahhhhh"

"Goyang sayang"

"Iyaaaahhh... Ahhhhhh"

Di hadapan wajah Pak Sarmin, payudara Lani yang masih terkatup bra berayun-ayun. Tentu bikin ngiler Pak Sarmin yang sudah lama menginginkannya. Lani terlanjur fokus menggoyang penis Pak Sarmin. Ia memang menyukai gaya wanita di atas pria. Terlebih, penis yang dinaikinya saat ini tak seperti sebelumnya. Lani ingin segera mengakhiri permainannya dengan Pak Sarmin.

"Pak, aku gak tahan,..."

"Ughhhff, mau diapakan sayang, heh?"

"Aaahhhhhhh, bapak gerakkinn"

"Kasih lihat susumu dulu, yang katanya sama, mana?"

"Ahhhhh, kenapa sih gak percayaan", demi menuntaskan hasratnya, Lani membuka cup BH nya."ini susunya Lani, pak"
"Aaaahhhh"

"Oohhhh ini beda sayang, hummpphhhh", bibir Pak Sarmin lantas melahap payudara Lani. Lani pun bergoncang semakin hebat seiring dorongan penis Pak Sarmin.

"Ahhhhhh, udah gak kuattt"

"Ayo sayang, kita keluarin sama sama"
"Ughhhhhhh"

"Ahhhhhhhhhhhhhhhh", Lani melonjak dahsyat. Pak Sarmin mendekapnya dan mencapai klimaks bersamaan dengan Lani.

CROOOOOOTTTTTTTTTT
 
Terakhir diubah:
LUPUT

"Mantull, enak bener, masakanmu!"
"Hehehe"

"Hayuk tambah pak"

"Kamu juga harus tambah, biar makin berisi, makin montok bodimu", Pak Sarmin menyendokki nasi lagi di piringnya. Lauk ayam goreng ditaruh satu bersama tempe.

"Ih Pak Sarmin, aku gak mau kegemukkan"

"Gemuk sehat, Mba"

"Suamiku enggak seneng aku gemuk loh"

"Wah kok bisa begitu? Aku malah seneng lihat kamu bodimu gemuk seperti ini"

"Begitu ya?", Lani terpegun mengamati Pak Sarmin makan, sebelumnya jarang ada laki-laki luar yang bertandang ke rumah dulu untuk merasai masakannya. Suaminya saja susah. Pulang-pulang, katanya sudah makan.

"Anakmu ke mana?"

"Enggak tahu juga, enggak ada kabar, dihubungi susah"

"Anak laki-laki memang suka begitu"
"Anakku pun demikian, duh..."

"Ada apa dengan anak bapak?"

"Dia itu jarang kasih kabar ke kami yang di kampung, kirim uang saja jarang, kami tahu di kampung kami tidak kekurangan, setidaknya ada perhatian dari seorang anak"

"Kalau boleh tahu anak Pak Sarmin ada berapa?"

"Anakku 2, yang pertama perempuan, buka usaha jahit, yang kedua laki-laki yang di sini"

"Ooo, yang pertama sudah menikah?

"Belum, susah dibujuk, kemarin mau dijodohkan dia tidak mau, katanya calon pasangannya kurang mapan"

"Perempuan pasti punya pilihan dan pertimbangan"

"Kamu sendiri bagaimana dengan suamimu, sudah ada perkembangan?", tanya Pak Sarmin sorot matanya tertuju ke arah Lani. Ia mengidam-ngidam dapat durian runtuh, siapa tahu Lani kasih jalan untuknya mengisi dingin malam ini.

"Ya masih begitu-begitu aja"

"Aneh loh, kok bisa suamimu jauh-jauh dari kamu, apa jangan-jangan sudah punya wanita idaman lain?"

"Enggak, enggak begitu pak"

"Terus, bagaimana cerita?"

Pertanyaan ini membingungkan bagi Lani. Di satu sisi kalau ia menceritakan yang sebenarnya akan menguak kehidupan rumah tangganya, bahwa penyebab utama keretakan ialah dirinya. Sebaliknya jika disembunyikan, ia tak tahu bagaimana bisa keluar dari problem yang mendera dirinya seorang. Lani sudah kenal dekat dengan Pak Sarmin. Ia ragu laki-laki paruh baya ini bisa jaga rahasia rumah tangganya. Lagipula perkara rumah tangga tak bisa sembarang orang tahu.

"kok malah melamun, kalau tidak bisa tak apa-apa"
"Tidak semua orang berhak tahu urusan rumah tangganya"

"Pak, kalau seorang istri punya salah, apakah seorang suami akan memaafkannya?"

"Tergantung salahnya apa, memaafkan mungkin, melupakan tidak"

"Humm..."

"Kalau suaminya beneran sayang, segala bentuk kesalahan istrinya pasti dimaafkan"



"Pak Sarmin ngelihatnya kok ke sini mulu sih"
"Hihihi", Lani berupaya memecah suasana, menyadari kalau Pak Sarmin sedang gelisah dengan cara berpakaian dan ukuran payudaranya.

"Iya nih, aduh, aduh, lagian bentuknya gede"
"Bukan salah saya dong"
"Hehehe"

"Ah bisa aja"

"Buru dihabiskan, saya udah habis"

"Tambah lagi pak"

"Kenyang, huorrghhh...", jawab Pak Sarmin sembari bersendawa.

Lani teringat Doni yang acap mengusiknya melalui telepon. Barangkali untuk masalah ini ia bisa menceritakannya kepada Pak Sarmin. Ketika disampaikan ke Pak Sarmin masalahnya apa, membludaklah amarah Pak Sarmin. Lani mengatakan kalau laki-laki ini suka melecehkan dirinya. Ia adalah mantan pacar Lani waktu di kampus dan masih suka sekali menghubungi Lani hingga ia sudah menikah dengan memiliki anak 1. Doni sendiri sudah berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak.

"Terus aku bisa bantu apa? Laki-laki model begini tidak bisa didiamkan"

"Bantu apa ya?"

"Sini, mana nomor hapenya, saya mau bikin perhitungan dengan dia"

"Jangan pak, jangan sampai begitu"

"Lalu?"

"Nanti saya pikirin bapak bisa bantu apa"

"Baik, saya tunggu"

Selesai makan malam, Pak Sarmin menunggui Lani mencuci piring. Ia tatap tubuh Lani dari berbagai arah, justru memancingnya untuk mendekat. Pak Sarmin menengok ke kanan dan kiri, memastikan situasi sepi. Tanpa sepengetahuan Lani, tiba-tiba Pak Sarmin merangkul pinggangnya. Lani sontak kaget, ia segera menghindar. Kemudian mempertanyakan maksud Pak Sarmin.

"Iih bapak, apa-apaan sih?"

"Maaf, gak kuat saya melihat dari jauh terus"
"Hehe"

"Jangan macem-macem ya, kalau enggak nanti kita gak akan dekat seperti ini lagi"

"Maaf ya, maaf"

=∆=​

POV Pak Sarmin

Tak ada yang bisa aku perbuat di tempat macam ini. Panas, sempit, dan sumpek. Anak laki-lakiku 'mengurung' bapaknya seperti sangat tak diinginkan berkunjung. Diberi kebebasan iya, tetapi diberi uang jajan tak banyak. Dibelikan makan pagi dan siang bersamaan, terpaksa dapat makanan dingin. Makan malam diantarkan driver ojol, namun tak sesuai selera. Ia tak pernah membawa bapaknya jalan-jalan mengelilingi kota, ke pasar, ke bazar malam, tempat makan, apalagi Mall yang serba mewah. Kerja pagi hingga larut malam, namun begitu-begitu saja. Katanya banyak uang, bapaknya tak terurus. Entah kerja apa dia. Penampilan gagah berkemeja dan mengkilap, mengemudi sepeda motor matic yang berukuran besar itu. Apakah ia banyak utang? Sampai mengirim uang ke kampung jarang.

"Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira."
(Terjadinya dirimu karena diciptakannya ibu bapakmu sehingga kedua orang tua harus dimuliakan)

Bukan sekadar rindu, aku menghampiri anak pertamaku, melainkan juga memastikan apa yang dihadapinya sehingga hampir tak pernah menengok orang tua. Selalu kami yang menghubunginya, seolah-olah kami yang perlu, dan bagi kami penting sekali kabar seorang anak sekalipun Ia kurang peka dan peduli.
Di samping itu juga kemari dalam rangka pelarian, pelarian dari hiruk pikuk dusun akibat ulah istri yang gemar mengocehi tetangga dan beberapa malam menembang kidung konon anak perempuanku jadi ketakutan. Keributan kecil kerap terjadi. Beberapa warga berlomba mendatangi agar istri aku ditegur. Sayangnya, ia keras kepala dan sangat sulit diberi tahu untuk tidak banyak bicara. Pada akhirnya, pelarian ini menjadi pembebas dari gerutuan penduduk dusun akibat kelakuan istri.

"Pak, kapan pulang?"

"Belum tahu, aku betah di sini"

"Bapak ndak kangen sama aku, udah ndak sayang?"

"Sayang Bu, sayang"

"Loh, terus?"

"Aku bahagia dekat anak laki-lakiku, maaf Bu, aku belum bisa mengajaknya pulang"

"Ndak apa apa, Ibuk yang salah, belum bisa tengok"

"Ibu sudah makan? Vina sudah?"

"Alhamdulillah, kami sudah pak, bapak bagaimana? Dibelikan apa? Lele lagi?"

"Hari ini bapak makan enak bu"

"Loh kok bisa? Makan apa?"

"Pokoknya makan enak Bu"

"Dapat dari mana? Anak kita yang belikan?"

"Tetangga Bu, ajak bapak makan"

"Tetangganya baik ya pak, ibu turut senang"

"Sudah dulu ya, kamu istirahat buk, bapak juga mau istirahat"

"Baik, besok jangan lupa bangun pagi pak, bapak mesti olahraga, supaya sehat"

Beruntung istri tak tahu bahwa tetangga yang menemani makan malam cantiknya juara. Gemuk bodinya menggemaskan, bikin lahap makanku. Lani namanya, si calon janda yang montok itu apakah sedang memberi harapan bahwa aku boleh menyentuhnya? Bualan, semenjak bertemu hati sudah terpaut, tetapi sekadar memandang dan memuji tak enak juga kalau tak bisa ditiduri. Sedih nasibku ini. Selalu tiap hari aku rindu bertemunya, ajak ngobrol ngalor ngidul. Pernah terbawa mimpi, untung saja putraku tak bertanya mimpi apa dan siapa.

"Bapak ngigau apaan sih pak, malam malam nyahutnya SUSU SUSU"
"Sadar pak!"

"Eh?! Mimpi toh?! Bapak ngimpi minum susu.."

"Aduh gusti! Susu siapa?"

"Ya susu sapi! Jangan ngawur pikiranmu!"

Itu mengapa aku masih kerasan di sini, bukan karena anak, tetapi tetanggaku yang bernama Lani. Malam ini senang sekali ia mau masak dengan jatah uang makan yang aku kumpul beberapa minggu terakhir. Makannya berdua, saling bercerita dan tertawa bahagia bahwa kami sama-sama terpinggir dari problema hidup. Duh, Lani, kalau kamu sudah benar-benar bercerai dari suamimu, aku mau sekali jadi suamimu, sayang. Asal ada kamu, berani adu nyali aku tinggal di kota meninggalkan desa. Malam akan senantiasa indah disambut bodimu, satu kasur bersamamu, sayang.

Kalau kamu suka bermain-main dengan benda macam ini saat sedang butuh belaian dan kepuasan (Pak Sarmin mencuri Dildo kepunyaan Lani), aku berani kasih kamu yang sungguhan dan betul-betul akan beri kehangatan. Semustinya sehabis makan malam, kita berakhir di tempat tidur, sayang. Kamu jadi buat diriku yang jauh dari istri ini tersiksa. Pun saat aku ingin menyentuh susunya yang kadang malam masuk ke mimpi. Aku lelah memimpikan dan sekadar memandangnya. Apakah benar hanya khayalan aku bisa menyentuhmu dan merasaimu, sayang. Sedih sekali rasanya.

"Pak! Hoi! Daripada melamun, bapak bantu aku beresin kamar ini"

"Kamu sendiri kan bisa"

"Bapak seharian ngapain aja?!"

"Kamu tak mengerti, tak mengerti apa yang dipikirkan bapakmu, kamu sibuk dengan urusanmu"

"Kan aku sudah bilang, kalau di sini waktuku tak banyak untuk bapak, tapi bapak masih enggan pulang, kan lebih enak tinggal sama ibu, ada yang merhatiin"

"Baiklah, fokus saja dengan pekerjaanmu, bapak bisa urus diri bapak sendiri, kalau kamu masih perhatian ya syukur, enggak pun syukur"

Dasar, kenapa harus anakku mewarisi sifat ibunya yang suka mengoceh itu. Malam ini sebetulnya aku sudah ingin beristirahat, tetapi ia malah memberi perintah. Anak durhaka berani-beraninya menyuruh orang tua.

"Bapak mau kemana lagi? Ini udah malam pak. Masuk angin nanti"

"Aku mau merokok satu batang, tak kemana mana"

"Hemmm"

Angin malam lebih membuatku tenang daripada anakku satu itu. Kalau kondisi seperti ini terus, kepulangan ke kampung sepertinya akan benar-benar terjadi. Sementara Lani juga begitu, capek aku memerhatikannya. Tak pernah ada tanggapan bagus nan serius. Ia apakah sengaja kasih aku umpan yang manis manis itu. Ketika aku baru sebentar memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya. Ah, malah dipukul. Sakit manis rasanya. Apakah itu pukulan sayang? Jangan ngimpi kamu Sarmin! Ternyata itu bukan umpan, memang itulah dirinya yang suka pamer belahan susunya dan beberapa bagian yang lain. Kemana mana ia memang tertutup. Karena tinggal berdekatan, akulah yang lebih sering menyaksikan ia dengan penampilan rumahan.

"Lani sedang apa ya? Apakah anaknya sudah pulang"

"Pak ini benda macam apa? Bapak dapat dari mana?! Makin kacau bapak di sini. Aku musti lapor ibu" Haduh haduh haduh, aku lupa menyembunyikan temuan yang kudapat dari kamar Lani. Putraku menagih jawaban sambil memelototi.

"Jangan! Bapak bisa jelaskan!"

"Oke, jadi ini dapat dari mana? Bapak masih sehatkan? Normal kan?!"

"Ya jelas, masih!"

"Terus dapat dari mana ini?!"

"Itu.... Itu...."

"Ah kacau bener ini, bapak besok pulang pak, error bapak lama-lama di sini..."

"Yan, tunggu dulu! Yan! Bapak bisa jelasin! Kamu jangan pikir macem-macem sama bapakmu ini!"

"Bapak bisa jawab gak? Enggakkan?!"

"Lantas kamu mau tuduh bapakmu apa dengan barang itu?'

"Gilaa!"

"Kurang ajar kamu lama-lama!"

"Lah, benda macam ini bisa dapat dari mana? Perlunya apa? Kalau ibu tahu juga, ibu akan punya pikiran yang sama"

"Mau kamu apa sih sebetulnya?!"

"Mauku bapak pulang!"

=∆=​



"Kamu dari mana baru pulang jam segini?"
"Kamu sengaja buat mama pusing?"

"Ya enggak"

"kamu habis dari mana?", Lani mengenakan daster kembang, lengannya apabila Pak Sarmin melihat mungkin semakin penasaran. Lani menyambut kepulangan Fikri pukul 9 malam.

"Makan malam barengnya sudah?"

"Jawab dulu pertanyaan Mamah. Kamu dari mana?"

"Aku dari tempatnya Tante Diah, Mah"

"Ya Tuhan, Fikri. Kamu jauh banget jalannya, mau ngapain"

"Bosen aja, Maah. Eh iya, Mama gak tahu tadi Pak Sarmin berantem sama anaknya di luar?"

"Enggak. Beneran?"

"Iya barusan"

Lani memeriksa keluar. Ia lihat Pak Sarmin termangu mematung. Raut murung terpancar dari wajahnya. Bersama Fikri, Lani menghampiri Pak Sarmin. Ketika disampari, ia kaget dan mengusap muka. Tidak ada yang bisa diceritakan. Pak Sarmin hanya ingin perlu ditemani. Keduanya pun mengarahkan Pak Sarmin masuk ke kamar kos mereka. Tanpa disadari Lani lupa membalut daster yang menempel di tubuhnya. Postur tubuh Lani yang terekspose memacu Pak Sarmin yang sudah kadung menaruh nafsu, makin panas saja dengan penampilan Lani. Ia seolah lupa telah bertengkar dengan anak lelakinya.

Lani mempersilakan Pak Sarmin duduk di lantai beralaskan tikar spons plastik. Ia mengambilkan minum dari sebotol tumbler agar bisa menenangkan hati Pak Sarmin. Fikri menyalakan kipas angin, tak sabar menyimak cerita apa yang akan diutarakan dari pertengkaran mulut yang disaksikannya.

"Kenapa pak?"

"Itulah hubungan bapak dengan anak"
"Kamu belum pernah alami?"

"Belum, tetapi aku pernah dibentak, tetapi tak sempat membentak balik"

"Huuss, Fikri!"

"Bagus, jangan ditiru yang tadi ya", ucap Pak Sarmin memilih bersandar di tembok.

"Maaf ya pak, kosannya sempit"

"Gak apa, kan sama dengan kosan disebelahnya"
"Hehehe"

"Diusir ya?"

"Fikri!"

"Sudah, tak apa-apa, anakmu bener, Mba"
"Saya diusir", jawab Pak Sarmin memandangi Lani. Wajahnya masih menyisakan kemurungan, perlu simpati. Sementara hatinya berkata lain. Ia menatap tajam bagian dada Lani. Pak Sarmin menaruh hasrat. Ia tak tahu bagaimana menuntaskan birahi yang beranjak bangun perlahan dari tidurnya.

Fikri menyadari kedua tatapan mata Pak Sarmin yang tak beres ke arah tubuh Mamanya. Melemahkan diri agar dapat simpati. Fikri seakan mau mengusir Pak Sarmin juga, tetapi sedikit tak tega. Ia justru punya kesempatan lain dengan situasi saat ini, bahwa Pak Sarmin punya kehendak lain atas Mamanya. Kesempatan Fikri untuk memperoleh bukti kalau Pak Sarmin memang memendam sesuatu.

"Aku mau sekalian pamit di sini, besok aku balik ke kampung"

"Baguslah", sahut Fikri pelan.

"Fikri! Kamu inih.."

"Sudah biarkan, jangan terlalu dikeraskan, nanti jadinya seperti anakku", Pak Sarmin bangkit berdiri.

"Mau kemana pak?"

"Cari angin, hehehe"
"Panas..."

"Sudah malam, yang ada masuk angin"
"Di dalam saja", pinta Lani meminta Fikri mengencangkan kipas anginnya.

"Aku tak mungkin istirahat di sini, kasihan kalian berdua"

"Bapak bisa tiduran di bawah, Fikri nanti sama aku tidur di atas"

"Mama?!"

"Sudah, tidak usah", jawab Pak Sarmin sungkan. Ia kemudian memandangi Lani, "terima kasih Mbak...".

"Sama-sama", Lani mengangguk memberi senyum. "Pak Sarmin di sini dulu aja ya?"

"Tak usah, saya rebahan di bangku luar saja, sampai besok"

Fikri mendadak berubah pikiran. Sebetulnya ia tidak menginginkan Pak Sarmin mengungsi ke kamar kosnya. Tentu akan bertambah mepet. Ia sudah tumbuh remaja, tidur bersama mamanya. Namun, menurut Fikri, ini adalah pembuktian apakah Pak Sarmin benar benar memendam sesuatu. Siapa tahu Fikri bisa melabrak dan seketika membuat mamanya percaya. Setelah itu, ia berharap mamanya akan mulai menjauhi Pak Sarmin, bahkan kalau bisa membenci.

Lani sendiri tetap berupaya membujuk Pak Sarmin agar mau tinggal sementara di kamar kosnya hingga besok. Ia tak mungkin tega membiarkan orang yang selama ini dekat dengannya kedinginan di luar. Apalagi Pak Sarmin besok sudah tak di sini. Itu berarti Lani akan kehilangan teman mengobrolnya.

"Sudah pak di sini aja, gak apa"

"Ih kamu kok berubah?"

"Iya Maa, gak tega juga aku biarin Pak Sarmin duduk di luar semalaman"
"Bisa sakit besoknya"

"Sudah tidak usah, tidak apa saya berada di luar"

"Di sini aja Pak Sarmin, ya?", bujuk Lani.

"Aduh saya yang tak enak"

"Gak apa, santai pak"

"Baiklah, saya menurut saja dengan kalian, tetapi saya keluar sebentar ya"

"Mau kemana?"

"Merokok, supaya pusing cepet hilang"

=∆=​

POV Fikri

Sehabis mandi dan keramas, gue kehilangan mama. Padahal, sebelum mandi gue lihat mama sedang melipat baju. Kemana ya? Gue mengeringkan rambut terlebih dulu dan segera berpakaian sembari menyisir rambut. Apa mungkin ia menyusul Pak Sarmin yang merokok di luar. Gue coba memeriksa ke depan. Tak ada siapapun di luar. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aduh gue kehilangan jejak Mama dan Pak Sarmin. Gue tinggalkan kamar kos dan mencari Mama.

Gue tertuju kepada dapur tempat makan di mana kami biasa ngobrol di situ. Bisa jadi mereka melanjutkan obrolan di tempat itu. Ketika gue datangi, eh kosong. Yang gue temukan adalah jatah makan malam yang sepertinya ini jatahnya makan malam gue. Aduh kemana ya? Jadi tak ada selera makan.

Gue bukan beranggapan Pak Sarmin itu jahat, tetapi gue menduga dia pria berotak mesum yang punya banyak akal bulus. Bagaimana tidak, kalau sudah bicara dengan mama, tatapan matanya suka jelalatan, cara bicaranya menggurui sok pintar. Tak tahu adab. Sedangkan mama seperti itu tampilannya. Padahal gue sudah berulang kali kasih tahu, hati-hati sama Pak Sarmin. Namun, mama seakan memberi harapan pada itu orang. Lelaki bejat! Gue hanya perlu menunjukkan bukti kalau Pak Sarmin itu berbahaya. Nah, malam ini jalan terangnya.



Itu mereka! Ternyata di taman belakang kosan. Duh mama, kok gak pakai jaket sih! Malah duduknya sebelahan gitu lagi sama Pak Sarmin. Ah gue gak rela! Sabar Fikri. Gue mengendap-ngendap ingin mengetahui lebih dulu apa yang mereka sedang bicarakan.

"Ya beginilah realita kehidupan kita berdua"

"Sabar ya Pak..."

"Kamu juga"

"Sudah malam, ayo pak kita masuk, mungkin Fikri sudah mencari-cari"
"Gak bagus juga dilihat penghuni kos yang lain"

"Sebentar...", Pak Sarmin mengamati dari atas hingga bawah penampilan Mama.

"Apa? Pasti aneh-aneh deh..."

"Aneh bagaimana? Saya itu mau muji kamu cantik banget malam ini"

"Haduh haha, gombal malem nih yeee", ledek Lani.

Tanpa basa-basi, Pak Sarmin tiba-tiba merangkul pundak mama, turun mencengkam lengan. Gue pun terperanjat dan memilih menahan diri dulu.

"Malam ini kita tidur berdua ya?"

"Ih ngaco"

"Dingin..."

"Makanya masuk pak, jangan di luar lagi"

"Oo kamu mau dimasukkin?"
"Hehe"

"Eitss bukan, ah udah ah"
"Candaannya dah gak lucu", Mama beranjak berdiri, hendak kembali ke kamar.

"Jangan buru-buru, sini dulu", Pak Sarmin mendesak Mama duduk kembali.

"Apalagi?"

"Kalau saya sayang sama kamu, bagaimana mba?"

"Hah? Enggak boleh, Pak Sarmin sudah punya istri"

"Hemm begitu, padahal saya pengen bisa tidur sama kamu", Pak Sarmin meraba paha mama.

"Ooo hanya karena pengen tidur sama aku"

"Yaa enggaklah, jadi suamimu pun saya rela tinggalkan istri demi kamu", Pak Sarmin kini merangkul pinggang Mama.

"Wushh, aku enggak mau jadi orang ketiga"

"Yang pertama, kalau saya sudah terlanjur sayang sama kamu? Ya kan?"
"Hehehe", Pak Sarmin semakin erat merangkul pinggang Mama. "Susumu besar ya?"

"Ihhh bapak ngomongnya susu muluk"

"Yaiya, dah lama gak nyusu saya, hehehe"
"Coba kamu pegang ini...", Pak Sarmin menuntun tangan mama memegang daerah selangkangannya.



"Ihhh makin ngaco, udahan, udahan", Mama melepas paksa rangkulan tangan Pak Sarmin di pinggangnya. Ia berjalan tergesa-gesa. Aduh, Gue harus segera kembali ke kamar kos. Bisa-bisa malah mama yang mencari gue dan berbalik mencurigai. Namun, karena waktu kembali yang sedikit, gue memutuskan untuk singgah di dapur seraya mengisi perut, agar ada alasan ketika mama melacak keberadaan gue. Dengan tenang, gue melahap lauk dan nasi. Lagipula gue makan hari ini tak kenyang karena menumpang makan siang di rumah orang. Segan untuk makan banyak-banyak.

Apa yang dilakukan Pak Sarmin tak bisa dimaafkan, dia sudah melecehkan mama. Kemudian apa yang bisa gue perbuat? Ajak baku hantam? Dengan papa saja aku tak berani. Apalagi dengan orang lain yang sosoknya lebih sangar dan besar daripada papa. Payah sekali gue. Ah gue mau kenyangin perut dulu. Biar tenang. Sesaat mengunyah makanan gue menanti-nanti kedatangan mama, yang gue kira pasti sampai kemari. Bisa jadi Pak Sarmin mengikuti. Namun, hingga makanan ini gue habiskan, tak bersisa nasinya sedikitpun. Tidak ada tanda-tanda mereka ke sini. Aigh! Pede banget gue. Buru-buru gue minum dan menuju kamar.

Membuka pintu tanpa mengetuk, gue dengan terengah-engah melihat Pak Sarmin sudah telanjang dada dan melepas celana panjangnya. Ia duduk bersila di lantai. Mama duduk di atas tempat tidur, meselunjurkan kaki dan memeluk bantal. Keduanya menengok ke arah gue.

"Maaf ya, saya terpaksa buka baju"

"Enghh, iya gak apa apa, saya maklum kok pak, emang di sini panas"

"Jendelanya mungkin agak dibuka aja, sayang", pinta Mama menunjuk ke arah jendela dekat pintu.

"Darimana?"

"Emmm, habis makan"

"Piringnya ditaruh aja, nanti biar mama yang cuci"

"Hayuk duduk, kok malah berdiri di situ", ucap Pak Sarmin bergeser dan memberi tempat.

Gue tidak bisa memberi reaksi spontan atas apa yang gue lihat di bangku taman belakang. Kemudian gue menutup pintu dan duduk di atas tempat tidur membelakangi mama. Sebelum tidur, kami bertiga bicara sedikit mengenai sekolahku. Apakah belajarnya lancar dan perlu biaya saja tak usah sungkan untuk disampaikan. Pak Sarmin mengetahui keadaan mama dan gue yang serba terbatas, mengatakan dia mau membantu sedikit-sedikit. Tak ada yang WOW, dari yang diucapkannya. Bagi gue itu hanya modus mendapatkan perhatian mama. Lagipula gue telah mendengar percakapan mereka tadi.

Barulah setelah itu kami bertiga memutuskan untuk tidur. Mama tidur bersebelahan dengan tembok. Sebaliknya gue berada di tepi ranjang. Pak Sarmin berada di bawah. Persis di sebelah gue. Kakinya berhadapan dengan pintu kamar mandi. Sebelah kirinya adalah lemari. Sunyi suasana membuat gue berdiam sejenak kira kira langkah apa selanjutnya yang akan gue ambil. Lagipula Pak Sarmin sudah gue relakan tidur di sini dengan penuh keterpaksaan. Gue gak mau berakhir dengan sia-sia.

Nah! Setelah mencari ide beberapa menit, Gue menemukannya. Akan tetapi, gue harus menunggu hingga mama benar-benar tertidur. Alhasil, gue menunggu sejam dengan melamun kendati telah beberapa kali menguap. Setelah yakin,

"Pak, Pak Sarmin?"

"Eh, iya? Ada apa?", ia membuka matanya yang tampak kuyu.

"Psssttt. Bapak mau tidur di atas gak? Saya di bawah, saya kepanasan soalnya"

Pak Sarmin terdiam, ia memandang ke arah mama yang berbaring menghadap tembok.

"Boleh", jawab Pak Sarmin sembari tersenyum.

Ketika sudah berbaring di bawah, gue perhatikan posisi tidur Pak Sarmin menghadap langit-langit. Belum ada reaksi seperti apa yang gue harapkan. Gue pun terpaksa menguap dan terus menguap hingga bosan ditelan kantuk.

=∆=​

Jam telah menunjukkan pukul 1 malam, suasana rumah kos bertingkat tiga kian hening. Kelelawar beterbangan, berpindah pohon ke loteng-loteng rumah warga sekitar rumah kos. Di tengah kesunyian malam. Pak Sarmin dan Fikri ternyata sedang saling menunggu siapa yang bertahan dan tidak ditenggelamkan oleh kantuk. Lucunya, Mereka berdua tak saling menyadari kalau sedang saling menunggu siapa yang tertidur. Usai memastikan kemenangan, Pak Sarmin menoleh ke fikri yang telah mendengkur, menghadap lemari. Batinnya berbunga-bunga, berbalik badan, memandangi bodi Lani. Ia merasa sebagian angan-angannya akan terwujud malam ini.

Tetap membiarkan Lani tertidur, dan menjaga situasi terkendali, Pak Sarmin bangkit terduduk. Ia bergeser pelan agar ranjang tak berbunyi. Pak Sarmin ingin mengamati paha mulus milik Lani. Disingkapnya bagian bawah daster Lani pelan-pelan merangkak naik.

"Huuummmhh, harumm, paha ini lebih kelihatan nikmat daripada paha ayam tadi", lirih Pak Sarmin selanjutnya ia berusaha mengintip selangkangan Lani di antar kedua belah pahat yang merapat dan terbungkus celana dalam berwarna biru muda. Dia endus dengan tetap menjaga jangkauan agar Lani tidak terbangun.

"Itu! di sana makananmu!", ucap Pak Sarmin seraya menyentuh batang kemaluannya yang lambat laun mengeras. Pak Sarmin lalu beralih ke ketiak Lani. Meski terendus sedikit kecut, bagi Pak Sarmin memiliki Lani mengalahkan segalanya.

"Bodoh betul suamimu, entah apa yang ada dipikirannya"
"Duh haduh..."

Pak Sarmin hendak berbuat nekad, tetapi kehadiran Fikri membuatnya sedikit khawatir akan terjadi reaksi berlebihan. Apakah ia akan melewatkan peluang emasnya? Kapan lagi?! Ini saatnya hoi! Setan berlomba membisikki jiwa Pak Sarmin. Ia gelisah, memilih tidur pun jadi susah. Akhirnya Pak Sarmin hanya mengelus-ngelus penisnya yang keras karena putus asa tak dapat berbuat banyak.

Sementara Lani membuka matanya, menyadari tempat tidurnya seakan lebih berat dan penuh. Selama ini ia tidur sendiri sehingga bisa membedakan. Lani terbangun. Ia mendengar seseorang melenguh, disimak baik-baik lenguhan itu sembari terdengar namanya disebut meski sayup-sayup. Lani sangat ragu-ragu dan takut untuk melihat. Namun, ia mulai mengetahui kalau kini yang tidur di sebelahnya adalah Pak Sarmin. Lani ingin melabrak, tetapi itu berisiko mempermalukan Pak Sarmin di depan anaknya. Dia lalu mengambil langkah berbalik badan, namun berpura-pura tidur.

Betapa terkejutnya Lani sambil menyipitkan mata agar tak ketahuan, Pak Sarmin, ia lihat menge mengulurkan penisnya yang tegang dan dikelilingi bulu-bulu yang memanjang.

"Ini punyamu Lani, sayang, ough, hayuk mainkan"

"Pak Sarmin, Ck" Lani menggerutu kesal dalam hatinya. Namun, sebaliknya Lani merasa dialah yang bersalah. Sepertinya benar kata Fikri karena terlampau dekat dengan Pak Sarmin, laki-laki itu jadi birahi. Lani bukan terlambat menyadari. Ia sadar kehadiran Pak Sarmin di rumah kos ini menghilangkan suasana jenuh dan sepi. Itu mengapa dia sulit untuk jauh-jauh dari Pak Sarmin. Entah bagaimana besok setelah Pak Sarmin pulang kampung. Siapa teman mengobrol Lani?

Tampaknya satu-satunya yang bisa mencegah kepergian Pak Sarmin, ya Lani sendiri. Lani tidak punya cara lain.

"Pak, ngapain sih?"

"Eh?!", Pak Sarmin sontak kaget, ia buru-buru memasukkan kembali kemaluannya. "Maaf, maaf"

"Telat, udah ketahuan"

"Hehehe"

"Kok bisa di sini?"

"Fikri katanya mau tukeran, dia kepanasan"

"Oooh"

"Beruntung banget bisa tidur di sebelah kamu malam ini", Pak Sarmin menatap Lani.

"Hemm, tapi kan bapak besok pulang"

"Maunya kamu sendiri bagaimana?"

"Ya pulang aja"

"Ooo baik, besok saya pulang", jawab Pak Sarmin mengangguk.

"Tapi...."

"Tapi apaa?"

Lani tercenung, memikirkan baik-baik apa betul ia akan mencegah kepulangan Pak Sarmin besok. Lani diterpa kegalauan. Kegamangannya menjawab ditangkap Pak Sarmin dengan menggerayangi payudara Lani.

"Achhh"

"Ayo, apa jawabannya? Hehehe"

"Achhhhh"

"Psssssstt, pelenin desahannya, sayang", ucap Pak Sarmin. Ia memepetkan Lani ke tembok. Kemudian diulurkan kembali batang penisnya yang tegang dan ditunjukkan ke Lani.

"Jangan deket-deket iih"

"Makanya dijawab", Pak Sarmin selanjutnya berbisik,"Mana besar sama mainan kamu?"
"Hehehe"

"Tahu dari mana?", Lani kian terpojok.

"Tak perlu kamu tahu, sayang"
"Ayo kamu belum jawab"
"Segera dijawab, nanti anakmu bangun loh"

Lani menghela nafas sebelum menjawab,"bapak silakan pulang saja besok, tapi.... tolong sentuh aku dulu"

"Hehehe, akhirnya"
"Kita lepaskan kesepian kita malam ini, sayang", Pak Sarmin lekas memeluk dan mencumbu leher Lani. Perempuan itu tergolek menengadahkan kepala, supaya Pak Sarmin mencumbunya bebas.

"Ummfhhh"

"Aichhh...."

Kepala Lani bergerak tak tentu, Pak Sarmin menyerbu leher Lani dengan jilatan lidahnya. Lani memberontak pasrah. Apalagi ketika tangan Pak Sarmin mencari-cari buah dadanya. Pak Sarmin sudah penasaran sekali ingin melihat puting susu Lani. Karena kesulitan dengan BH yang membekap, Pak Sarmin meminta Lani menunjukkannya sendiri.

"Ayo perlihatkan susumu..."

"Sama aja pak, aduhh"

"Kamu yaaa...", Pak Sarmin kesal. Ialu meremas salah satu buah dada Lani.

"Aaaaahhh, sakiiit"

"Kasih aku lihat makanya"

"Tunggu sebentar...", Karena harus membuka BH dulu, Lani terpaksa mencopoti daster dari badannya. Tersisa Lani hanya mengenakan BH Hitam dan celana dalam biru muda. Pak Sarmin lantas membaringkan Lani. Ia sudah bernafsu sekali. Dikuak celana dalam Lani. Diletakkannya di kolong ranjang. Lani tak sudi begitu saja. Ia merapatkan paha. Pak Sarmin lalu memintanya dibuka. Ia mencoba lihat vagina idamannya. Akan tetapi, Lani sedikit menolak. Pak Sarmin mau tak mau bersabar. Ia memilih menelanjangi diri.

"Bukan cuman aku, tetapi dia juga butuh kehangatanmu, sayang"
"Hehe"

"Pak, udahan deh, kalau Fikri bangun bisa repot", lirih Lani cemas.

"Aduh, apa kamu tega, dia sudah keras sekali"

"Duh gimana" Lani melirik Fikri masih tertidur pulas.

Dengan kondisi tak pasti, Pak Sarmin berupaya menggiring Lani ke kamar mandi. Lani mengelak tak mau. Pak Sarmin tak bisa memaksa. Ia berharap Lani menyusul kendati masuk sendirian. Ditinggal, Lani awalnya memutuskan tidak menyusul. Vagina yang kelewat gatal karena lama tak disentuh membuat resah. Lani harus mengambil keputusan cepat. Siapa tahu ditinggal lama, Pak Sarmin klimaks sendirian.

Lani bangkit berdiri. Ia perlahan-lahan mengambil sesuatu dalam laci lemari agar tidak membangunkan Fikri. Apa respon anak itu melihat mamanya dalam keadaan bugil begini. Setelah berhasil diambil, Lani dengan langkah pelan masuk ke kamar mandi.

"Lama banget"

"Tahu ah", Lani membuang badan. Pak Sarmin terkekeh menghampiri. Ia merangkul Lani. Batang kemaluannya pun bertubrukan dengan bokong yang selama ini menggemaskannya.

"Saya besok kan mau pulang, pastinya saya kangen banget sama kamu, Lani...", Sejujurnya hati senang, namun entah mengapa ia membenci kalimatnya.

"Buruan pak, keburu masuk angin, keburu fikri bangun juga"

"Siap Nona", Lani bersandar ke tembok. Ia menungging, mengarahkan bokong semoknya ke hadapan Pak Sarmin.

"Makananmu datang, bleh"

"Jangan dimasukkin dulu, dibasahin dulu pak..."

"Iyaaaah"

Pak Sarmin mengarahkan bibirnya ke selangkangan Lani. Dia jilati dan sentuh klitorisnya. Lani pun menggeliat. Sudah lama ia tak diperlakukan seperti ini. Terakhir bersama Doni. Namun, doni tak hati hati, malah merusak rumah tangganya. Lani telah lupakan. Ia fokus menikmati jilatan lidah Pak Sarmin hingga bokongnya bergoyang.

"Aahhhhhhh"

SELEEEEEFHHHHHHH

"Aiiiiiiiiihhhh"

"Mantaaaaappp, saya kira masakanmu saja yang enak, memekmu juga hehehe"

"Huh huh huh huh"

"Sudah siap sayang?", tanya Pak Sarmin tak sabar menanti giliran penisnya yang menikmati.

"Pakai ini dulu pak..."

"Apa itu?"

Lani menyerahkan satu strip kondom yang pernah mau digunakan suaminya, tetapi tak jadi digunakan karena terlampau longgar. Sayangnya, Lani tak tahu kalau Pak Sarmin tidak mengerti cara memakai kondom. Terpaksa Lani yang memasangkan.

"Kontolnya dah keras banget kan..."

"Iyaa", Sambil sedikit mengocoknya, Lani tercengang karena kondom itu muat dipasangkan untuk penis Pak Sarmin.

"Sudah"

"Akhirnya, hehehe"

"Pelen-pelen ya pak..."

"Akhirnya, mimpiku entot kamu terwujud", Pak Sarmin mengarahkan ujung kepala penis ke liang senggama Lani. Ia pegang bokong Lani dan dorong batang kemaluannya perlahan-lahan. Kemudian ia tarik mundur, dan dorong lagi. Ketika ia merasai mulai licin dan mudah keluar masuk, Pak Sarmin membenamkan seluruh batang penisnya di vagina Lani.

"Aaahhhhhhhh"

"Ughhhh"

Lani megap-megap. Batang penis Pak Sarmin memenuhi vaginanya. Ia tak mau Pak Sarmin lama diam. Vaginanya ingin digaruk. Lani memancing dengan menggoyangkan bokongnya. Pak Sarmin lekas menyambut dengan tusukan demi tusukan.

"Ughhhhhhh, mimpi apa aku bisa entot kamu, mba"

"Aahhhhhh, terusss pak, agak dicepetin"

*Ughhh siyaaaphh"

"Aahhhhh!!!!", desah Lani menerima sodokan brutal Pak Sarmin.

Pak Sarmin lalu mengangkat salah satu kaki Lani. Dipapah, lalu seketika penis Pak Sarmin mendorong keluar masuk tak terkontrol. Lani menjerit. Vaginanya betul-betul menikmati sodokan penis Pak Sarmin. Ia berpegangan kepada tembok sekuat tenaga.

"Uughhhh, enakkan sayang?"
"Coba dari dulu kamu jangan tolak"
"Awas kamu jadi kangen, hehehe"

"Aaahhhhhhh"

"Ughhhhh, aku juaranya sekarang!", pak sarmin menarik batang kemaluannya. Lani roboh. Selagi membiarkan Lani istirahat, Pak Sarmin rebahan di atas lantai kamar mandi. Karena nafsu birahi, ia jadi tak takut penyakit kuman dan lainnya. Pak Sarmin meminta Lani menungganginya. Lani bangkit berdiri.

"Pak, jangan lama-lama"

"Iya, ini mau diselesaikan, hayuk masukkin ini sayang"

"Oooohhhh...", Lani berjongkok, mengarahkan penis Pak Sarmin ke liang vaginanya.

BLLLLESSSSSHHHH

"UGHFFFFFHHH, enak pol memekmu"

"Ahhhhh"

"Goyang sayang"

"Iyaaaahhh... Ahhhhhh"

Di hadapan wajah Pak Sarmin, payudara Lani yang masih terkatup bra berayun-ayun. Tentu bikin ngiler Pak Sarmin yang sudah lama menginginkannya. Lani terlanjur fokus menggoyang penis Pak Sarmin. Ia memang menyukai gaya wanita di atas pria. Terlebih, penis yang dinaikinya saat ini tak seperti sebelumnya. Lani ingin segera mengakhiri permainannya dengan Pak Sarmin.

"Pak, aku gak tahan,..."

"Ughhhff, mau diapakan sayang, heh?"

"Aaahhhhhhh, bapak gerakkinn"

"Kasih lihat susumu dulu, yang katanya sama, mana?"

"Ahhhhh, kenapa sih gak percayaan", demi menuntaskan hasratnya, Lani membuka cup BH nya."ini susunya Lani, pak"
"Aaaahhhh"

"Oohhhh ini beda sayang, hummpphhhh", bibir Pak Sarmin lantas melahap payudara Lani. Lani pun bergoncang semakin hebat seiring dorongan penis Pak Sarmin.

"Ahhhhhh, udah gak kuattt"

"Ayo sayang, kita keluarin sama sama"
"Ughhhhhhh"

"Ahhhhhhhhhhhhhhhh", Lani melonjak dahsyat. Pak Sarmin mendekapnya dan mencapai klimaks bersamaan dengan Lani.

CROOOOOOTTTTTTTTTT
terima kasih updatenya hu 👏👏👏
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd