Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG #1

Status
Please reply by conversation.
Pergelaran LKTCP 2016 telah melewati malam puncak. Sekarang kembali menulis untuk update. Sabar ya semuanyaaa.
 
#1

Chapter 4 : Sangat Butuh


Gemericik butir-butir air yang keluar dari shower memenuhi kamar mandi di kamar kost Dina. Mata gadis itu terpejam, ia terlihat tidak menikmati guyuran air jernih yang bergerak turun membasuh dari rambut hingga tubuh telanjangnya. Alih-alih bahagia, butir air mata justru keluar dari sudut kelopak matanya yang terpejam. Diikuti sesenggukan yang tersamarkan oleh gemericik air.

Dina berjongkok, memeluk erat-erat lututnya di bawah guyuran air. Sesenggukannya kini semakin jelas terdengar, tubuhnya gemetar, seolah menggambarkan tekanan kesedihan yang kini melandanya.

*_*_*​

“Jangh…” penolakan Dina terpotong saat jari tengah Eza memaksa masuk begitu saja ke liang kewanitaannya. Tubuhnya masih terlalu lemas untuk menghindar kala Eza naik ke atas ranjang dan menyentuh tubuh telanjangnya. Kewanitaan Dina masih basah akibat persetubuhannya dengan Ramzi sang kekasih beberapa menit lalu, membuat jari Eza dengan mudah masuk dan bermain di dalamnya.

“Bagusnya badanmu Din,” celoteh salah satu dari keempat pria yang menyaksikan aksi Eza. Tiga pria lain menimpali dengan celoteh-celoteh mesum diantara gelak tawa mereka. Ramzi sang kekasih sudah mengenakan kembali pakaiannya dan hanya memandangi Eza yang mulai merabai tubuh telanjang Dina.

Dina memalingkan wajahnya menghindari Eza yang hendak mencium bibirnya. Tubuh gadis itu meronta tak berdaya di bawah pelukan Eza. Berkali-kali ia berusaha menghindar hingga akhirnya Eza menyerah dan memilih mendaratkan ciumannya ke leher sang dara. Jari-jari tangan Eza yang lain kini sibuk meremas buah dada padat Dina beberapa kali sebelum mulai memilin putting gadis itu. Menyebabkan nafas Dina semakin memburu.

Ramzi menundukkan kepalanya, tak lagi melihat apa yang sedang dilakukan Eza pada tubuh telanjang kekasihnya. Kamar itu kini makin ramai dengan celoteh-celoteh yang diselingi tawa nakal dari teman-temannya sendiri. Ramzi memegangi bagian belakang kepalanya dengan tangannya, seolah sedang menyesali apa yang kini terjadi.

Eza melepaskan tindihannya dari tubuh Dina dan mulai melepaskan pakaiannya sendiri. Menyadari apa yang akan terjadi, Dina mulai terisak, bayangan bahwa ia akan disetubuhi pria lain di depan kekasihnya membuatnya merasa tertekan, apalagi tidak ada jaminan keempat pria lain yang saat ini menyaksikan perbuatan Eza tidak akan ikut menikmati tubuhnya.

Dan ketika Eza selesai menelanjangi dirinya sendiri, mimpi buruk Dina dimulai. Dengan sedikit paksaan Eza membuka kaki gadis itu, hanya dalam hitungan detik, Dina dapat merasakan ujung kejantanan Eza yang telah mengeras menyentuh bibir kenikmatannya. Gadis itu memejamkan mata, kepalanya menggeleng lemah, menolak apa yang sebentar lagi terjadi pada tubuhnya.

‘I hate you but I miss you, My Girl!’

‘I hate you but I miss you, My Girl!’

Lantunan tembang ‘I Miss you but I hate you’ dari Slank memecah perhatian seisi ruangan. Asalnya dari ponsel milik Eza yang tergeletak di atas meja komputer kamarnya.

“Bangsat!” maki Eza kesal. Ia memberi isyarat pada salah satu temannya untuk mengambil ponsel miliknya. Raut wajahnya berubah ketika ia membaca identitas pemanggil yang tertera di layar ponselnya. “Kampret!” makinya lagi sembari beranjak keluar kamar tanpa mengenakan pakaiannya terlebih dahulu.

Dina merasa lega saat Eza meninggalkan kamar, namun rasa leganya hilang saat keempat teman Eza naik ke atas ranjang dengan senyum yang menggambarkan kemesuman. Dina tak lagi dapat melawan ketika keempat pria itu merabai tubuh telanjangnya, kepalanya tak dapat lagi menghindar saat salah seorang mencium bibirnya, seorang lagi meremasi dadanya, menghisap putingnya dan memainkan jari di kewanitaannya. Dina terisak menangis, namun tangisnya tak menghentikan keempat pria tersebut.

Stop!” teriak Eza kala ia kembali ke dalam kamar dengan wajah kesal. “Orang tuaku sebentar lagi sampai. Sialan! Benar-benar waktu yang nggak tepat!” ujarnya kesal sambil mengenakan kembali pakaiannya.

Kalimat Eza terdengar melegakan Dina. Keempat pria yang tadi mengerubungi tubuh telanjangnya beranjak mundur. Ramzi mendekat ke arah Dina dan menyerahkan pakaian gadis tersebut tanpa sepatah katapun.

“Dengar, Bro!” ujar Eza pada Ramzi. “Selama hutang seratus lima puluh jutamu belum kamu lunasi, Dina harus melayani kita!” ancamnya kemudian.

“Kita bawa saja Dina ke tempat lain, kita garap di sana,” usul salah seorang dari keempat pria teman Eza. Yang lain menyetujui usul tersebut.

“Supaya kalian bisa bersenang-senang sementara aku terjebak di sini dengan orang tuaku yang super kolot??” timpal Eza. “Enak betul kalian Hah?!” hardiknya. Keempat pria itu tampak cukup takut dengan Eza yang memang pemimpin gank mereka. “Jangan kuatirlah, selama seratus lima puluh juta itu belum kembali, kita masih punya waktu buat ngentotin Dina,” tambah Eza diikuti tawa empat pria lainnya.

Next time ya Din?” ujar Eza sembari meremas payudara kiri Dina dari balik kemejanya.

Malam itu, tak satupun kalimat keluar dari bibir Ramzi saat ia mengantar kekasihnya kembali ke kost. Dina bergegas turun dan berjalan masuk ke rumah kostnya tanpa menoleh sekalipun ke arah Ramzi.

*_*_*​

Tara melangkah turun dari Honda CR-V yang dikendarainya. Malam itu ia mengenakan kemeja berwarna biru langit dibalut dengan jaket kulit coklat tua dan celana jeans biru tua. Pria itu tampak rapi, ia selalu terlihat rapi jika berada di luar apartemen. Langkah Tara berhenti sejenak, memandang huruf-huruf neon yang menyala kuning-hijau bergantian. ‘SEJE Café’ begitulah kata yang dirangkai oleh neon-neon terang tersebut. Tara mengambil tempat di meja kayu berbentuk segi empat tidak jauh dari pintu masuk kafe. Seorang pemuda, pramusaji di kafe tersebut, mendekat ke arahnya sembari membawa buku menu.

Cappucinno hangat,” Tara memesan minumannya setelah cukup lama membolak-balik menu. Tampaknya tak satupun yang tertera di daftar menu menggugah seleranya. Ia menyodorkan buku menu ke sang pelayan yang langsung bergegas kembali ke meja bar.

Tara melayangkan pandangannya ke interior rumah berlantai dua yang disulap menjadi kafe tersebut. Beberapa poster iklan rokok tertempel di dinding kafe tersebut. Dua speaker berukuran sedang tergantung di pojok ruangan, melantunkan musik-musik pop mancanegara yang sedang hit saat itu. Beberapa meja tampak terisi dengan muda-mudi yang asyik dengan obrolan mereka masing-masing, menghiraukan bisingnya lagu yang keluar dari speaker.

Dari raut wajah Tara saat ini, jelas SEJE Café bukanlah tempat favoritnya. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kafe kecil yang menjadi tongkrongan anak-anak dengan usia lebih muda darinya. Perhatian Tara sedikit teralih saat ia mendengar gelak tawa sekumpulan pemuda, empat meja dari mejanya. Pemuda-pemuda itu bicara dengan suara keras, bercanda konyol seolah menikmati masa muda yang mereka miliki. Sesuatu yang tidak pernah Tara alami dalam hidupnya. Masa mudanya dihabiskan dengan belajar, membantu Ken, kakak tirinya mengurus perusahaan yang ditinggalkan Sang Ayah. Pelayan datang mengantarkan Cappucinno hangat pesanannya saat sudut matanya menangkap sosok gadis yang ditunggunya masuk melalui pintu depan kafe.

“Maaf, sudah lama?” Dina duduk berhadapan dengan Tara. “Ah, nanti aja Mas,” ujar Dina saat pelayan menyodorkan buku menu padanya.

Tara tidak segera menjawab, dengan tenang ia mengangkat Cappucinno hangatnya dan mengesapnya sedikit.

“Baru saja, kok,” Tara melempar senyum. Memandang Dina yang malam itu datang dalam balutan T-Shirt ketat berwarna kuning dipadu celana jeans biru muda. “Tumben nggak pakai jilbab?” tanya Tara menyadari ada yang kurang dari penampilan Dina yang biasa ia temui.

“Lagi malas, Mas,” Dina menjawab sekenanya. “Maaf aku minta Mas ketemuan di tempat ini.”

“Nggak masalah,” Tara mengesap kembali minumannya. “Ini pertama kalinya aku masuk ke tempat tongkrongan anak muda. Membuatku sadar seberapa tuanya diriku,” kelakarnya kemudian. Dina tertawa.

“Jadi, bagaimana? Di telepon kamu bilang akan memberikan jawaban atas tawaranku tempo hari?” Tara langsung ke topik bahasan utama yang membawanya ke SEJE Café malam ini.

“Ah iya…” Dina diam sesaat, nada suaranya sedikit bergetar, menampakkan sebuah keraguan.

“Kalau memang belum bisa menjawab atau masih ragu-ragu, dipikir-pikir saja dulu, Din,” timpal Tara menangkap keraguan yang terbersit dari raut dan nada suara Dina.

“Ah.. enggak kok Mas, bukan itu,” Dina menimpali cepat-cepat. “Soal penawaran Mas itu, Mas yakin?” alih-alih menjawab gadis itu malah melontarkan pertanyaan.

“Haruskah hal itu dipertanyakan?” Tara membalas pertanyaan Dina dengan pertanyaan.

“Emm… Oke, berarti Mas yakin,” dan Dina mengambil kesimpulannya sendiri. “Aku mau jadi pacar Mas, tapi dengan syarat…” Dina berhenti lagi, kali ini sedikit memalingkan pandangannya, seolah menghindari tatapan Tara.

“Katakan,” kali ini Tara berkata singkat dan tegas.

“Aku minta bayaran di depan,” akhirnya Dina meneruskan kalimat yang sedari tadi membuatnya ragu.

“Oke,” jawab Tara sembari mengangkat gelas dan meneguk Cappucino hangatnya. “Berapa yang harus aku bayar di depan?” tanyanya sembari tersenyum.

Dina diam. Wajah gadis itu tertunduk. Seolah pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Tara adalah pertanyaan yang amat berat baginya. Tara memandang lekat ke wajah sang gadis.

Tubuh Dina tersentak kecil ketika jemari kanan Tara mengangkat dagunya dengan lembut. Membuat wajah keduanya kini berhadapan dan mata mereka beradu pandang. Tara tersenyum kepadanya.

“Katakan saja,” ujar Tara lembut tanpa kehilangan senyum hangatnya.

“Se…” ucapan Dina terhenti lagi, terdengar lirih seolah tercekat di leher mulusnya.

“Sepuluh juta?” Tara berkata lembut, mencoba menangkap kalimat yang terputus dari bibir Dina.

“Se…seratus lima puluh juta, Mas,”

Dina kembali menundukkan wajahnya dengan sangat cepat. Membuat dagunya lepas dari sentuhan lembut jemari kanan Tara. Pipi gadis itu memerah, mata indahnya terpejam menahan malu. Tampaknya angka yang baru saja ia sebutkan terdengar seperti permintaan yang mustahil. Jumlah itu tidaklah sedikit dan Dina sangat menyadari hal itu.

“Hmm…” Tara menangkupkan jemari ke mulutnya sendiri sembari memandang lekat ke arah Dina. Entah sedang mempertimbangkan sesuatu atau sedang mencoba menangkap apa yang sedang terjadi pada gadis itu hingga sang gadis segera menunduk setelah menyebutkan nominal yang dimaksud.

Dina melirik takut-takut ke arah Tara yang kini memejamkan mata, masih menangkupkan jari tangan kirinya ke mulut dan bergumam sendiri. Saat itulah Dina sadar betul bahwa apa yang ia minta sangatlah kelewatan dan tidak masuk akal. Dirinya sendiri mungkin tidak seharga seratus lima puluh juta.

“Ng.. nggak usah Mas, nggak jad…”

Kalimat Dina terpotong saat Tara menyodorkan telapak tangan kanannya tepat di hadapan wajah sang gadis. Tiga jari Tara berdiri tegak sementara dua lainnya terlipat.

“Tiga hari,” Tara melepaskan jari tangan kirinya yang menutupi mulut. “Beri aku waktu tiga hari untuk memberikan uang itu,” lanjutnya sembari tersenyum.

Dan entah untuk keberapa kalinya malam itu, Dina kembali terdiam. Setengah tidak percaya bahwa Tara, pria yang ada di hadapannya telah menyanggupi permintaan seratus lima puluh jutanya.

“Sekarang pesanlah sesuatu dan temani aku ngobrol,” ujar Tara sembari memberi isyarat kepada pelayan kafe.

*_*_*​

See?” Ken merentangkan kedua tangannya sambil memandang ke arah Tara. Saat ini keduanya tengah berada di ruang tamu apartemen milik Tara. “Mereka itu kaum hedonis yang tidak akan segan menguras hartamu,” tambah Ken kemudian. “Jangan bilang kau menyanggupi permintaan seratus lima puluh juta itu.”

“Aku meminta waktu tiga hari untuk memenuhinya,” jawab Tara sembari mengunyah french fries yang baru saja ia panaskan dengan microwave.

“Ooh I see…” Ken manggut-manggut. “Jadi dalam waktu tiga hari kau akan mengambil keuntungan dengan menggarap tubuh Dina secara gratis lalu di hari ketiga baru mengatakan bahwa kau tidak bisa memenuhi permintaannya. Strategi bagus, mereka memang sesekali harus diberi pelajaran seperti itu.”

“Aku akan membayarnya, Kak.”

“Ya… tentu saja, kau akan membayarnya dengan tarif normalnya kan?” ujar Ken sebelum meneguk minuman Root Beer dingin miliknya.

“Aku akan memberinya seratus lima puluh juta,” Tara menegaskan.

What?!” Ken beranjak dari duduknya. Root Beer yang baru saja diteguknya hampir saja menyemprot keluar. “Kau akan memberinya seratus lima puluh juta?? Kenapa?”

“Karena Dina membutuhkannya, Kak.”

“Kau hanya dimanfaatkan!” nada suara Ken meninggi. “Mereka itu kaum hedonis! Yang ada dalam pikiran mereka hanya bagaimana cara mengeruk harta darimu! Apa kau gila?”

“Mungkin,” senyum tersungging dari bibir Tara. “Mungkin aku memang sudah tergila-gila pada Dina.”

For a God sake!!” tampak frustasi, Ken menyisirkan jari-jarinya ke rambutnya sendiri. Membuat rambutnya tampak acak-acakan.

“Dina membutuhkannya,” Tara kembali bicara. “Aku melihat raut wajahnya, ekspresinya. Ia tampak sangat tertekan dan membutuhkan uang itu.”

“Oh! Kau jadi ahli membaca ekspresi orang sekarang,” Ken menghempaskan pantatnya ke sofa empuk yang tadi didudukinya. “Katakan, kenapa Dina sangat membutuhkan uang itu?”

Tara mengangkat kedua pundaknya.

“Dia tidak mengatakannya padamu?” Ken kembali bertanya.

“Aku tidak menanyakannya,” jawab Tara singkat.

“Dan kenapa kau tidak menanyakannya wahai adikku yang tengah digilakan cinta?” Ken tampak benar-benar kesal. “Apa kau benar-benar cinta padanya?”

Untuk kedua kalinya Tara mengangkat kedua pundaknya.

“Aku senang di dekatnya,” jawab Tara kemudian.

“Dan dia senang di samping kotak uang,” timpal Ken sekenanya. “Dengar, aku tidak akan membiarkan ada dana seratus lima puluh juta keluar dari perusahaan, bahkan dari Divisi Belakang sekalipun!”

“Tidak masalah,” Tara mengambil sebatang French Fries dan mengunyahnya.

“Lalu bagaimana kau akan mendapatkan seratus lima puluh juta dalam waktu tiga hari?” Ken mengernyitkan alisnya, menatap tajam ke adik tirinya.

Tara beranjak dari kursinya, melangkah ke meja komputer di sudut ruangan, membuka laci dan mengelurakan sebuah benda kecil dari dalam laci tersebut. Tara mengapit benda itu dengan tiga jarinya dan menggoyang-goyangkan ke arah Ken.

“Kau benar-benar gila!” komentar Ken.

*_*_*​

Tara melangkah masuk ke dalam showroom yang menampilkan mobil-mobil mewah. Ini adalah hari ketiga sejak ia menyanggupi permintaan Dina. Pria itu sengaja tidak melakukan apapun dalam dua hari pertama. Ia punya rencana dan seandainya rencananya tidak berhasil sekalipun, seratus lima puluh juta bukanlah hal yang sulit jika kau memiliki mobil Mini Cooper S Turbo Panoramic Roof keluaran tahun 2006 yang memiliki harga jual dua kali lipat dari nominal yang disebutkan oleh Dina.

“Kami sudah menunggu anda, Tuan Astara,” sambut Mr. Djoe, manajer pemilik showroom tersebut. Pria tua itu adalah kawan lama Ayahnya. “Kami akan sangat senang menerima kembali mobil yang kami jual ke mendiang Tuan Wedianto Wicaksana sepuluh tahun lalu. Itu mobil yang istimewa, termasuk satu dari dua ratus mini cooper S turbo yang pertama diprdoduksi di dunia,” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Dan Tiga ratus dua puluh lima juta adalah harga yang kami taksir dari mobil tersebut.”

“Hanya segitu?” timpal Astara kalem. Dia tahu betul mobil warisan Ayahnya bernilai lebih tinggi dari itu.

“Ah! Kita bisa mulai proses tawar-menawar di ruanganku,” ujar Mr. Djoe mempersilahkan.


Apa jadinya aku andai kamu nggak ada

Tanpa kamu aku bukan apa-apa

Dan A…a…aku… sangat butuh…

Dan A…a…aku… slalu ingin kau sentuh…

Lantunan tembang milik Slank yang menjadi nada dering ponsel Astara membuat pria itu menghentikan langkahnya. Tara memberi isyarat kepada Mr. Djoe untuk bersabar selagi ia menerima panggilan dari Kakak tirinya, Ken.

“Ya Kak?” Tara membuka pembicaraan.

“Kamu di mana?” suara Ken terdengar cukup khawatir.

“Di showroom milik Mr. Djoe. Langganan Ayah.”

“Aku tahu siapa Mr. Djoe,” timpal Ken. “Kau yakin akan menjual mobil warisan Ayah?”

“Ini sudah hari ketiga dan aku harus menepati janjiku. Kurasa Mr. Djoe yang paham betul tentang mobil warisan Ayah dapat memberi harga yang pantas.”

“Dengar… aku sudah memeriksa background keluarga Dina. Semua anggota keluarganya sehat walafiat. Tidak ada yang membutuhkan dana sebesar itu untuk operasi atau apapun. Tidak ada alasan Dina benar-benar membutuhkan uang itu!”

“Yang kutahu, Dina sangat butuh uang itu.”

“Dina mempermainkanmu! Coba kau pikir untuk apa Dina membutuhkan uang sebanyak itu?!”

“Kalau ingin meyakinkanku untuk tidak memenuhi janjiku kepada Dina. Seharusnya Kakak bergerak lebih cepat. Untuk memeriksa background seorang mahasiswi bukan hal yang sulit bagi Divisi Belakang kan? Sekarang sudah terlambat.”

“Terlambat? Kau sudah menjual mobil itu?”

“Tidak, belum, tapi beberapa menit lagi akan terjual. Mr. Djoe tampaknya sangat antusias.”

“Bawa pulang mobil itu!”

“Aku harus menjualnya, aku punya janji yang harus aku penuhi.”

“Aku beli mobil itu empat ratus juta rupiah! Dananya segera di transfer ke rekeningmu beberapa menit lagi. Sekarang bawa pulang mobil itu dan simpan baik-baik di garasi!” Ken akhirnya menyerah dan memutuskan membeli mobil warisan mendiang Ayah mereka.

“Dua menit, atau aku lanjutkan transaksiku dengan Mr. Djoe,” ujar Tara.

“Deal!” bentak Ken sembari memutuskan panggilan.

Astara tetap berpura-pura menelepon sebelum akhirnya sebuah pemberitahuan bahwa dana sebesar empat ratus juta telah masuk ke rekening pribadinya. Ia tersenyum, rencananya berjalan lancar.

“Maaf, Mr. Djoe,” ujar Tara sambil tersenyum senang. “Mobilnya ternyata sudah laku,” tambahnya yang segera diikuti raut kekecewaan di wajah Mr. Djoe.

*_*_*​

Dan malam itu Astara kembali duduk di SEJE Café, tempat pertemuan sesuai janji yang dia buat bersama Dina. Tidak lama kemudian Dina tampak memasuki kafe dan duduk tepat di hadapan Astara. Meja yang sama dengan meja tempat mereka bertemu tiga hari yang lalu.

“Dananya sudah ada di mobil. Seratus lima puluh lima juta,” ujar Tara kalem sembari menghisap rokok di tangannya.

“Hah? Kan yang aku minta hanya seratus lima puluh juta?” tanya Dina.

“Lima juta untuk biaya bulananmu. Aku sudah janji akan menanggung semua kebutuhan hidupmu kan?” Tara menjelaskan sembari tersenyum. “Ngomong-ngomong, kamu habis travelling?” Tara menunjuk ke tas ransel yang dibawa oleh Dina.

“Oh… aku habis pulang kampung, Mas,” Dina menjelaskan.

“Lho? Bukannya kamu kuliah?”

“Bolos, hehe…” ujar Dina cengengesan.

“Menimba ilmu itu penting,” komentar Tara kemudian. “Tanpa ilmu yang cukup kamu tidak akan jadi siapapun.”

“Iya, Mas…” Dina menunduk, tampak seperti seseorang yang tengah dimarahi.

“Sudah, ayo, uangnya di mobil. Biar sekalian kuantar kamu ke kost.”

“Apa kita ke hotel?” tiba-tiba Dina mengajukan pertanyaan yang terdengar aneh. Tara menatap Dina dalam-dalam.

“Kamu mau ke hotel?” kali ini Tara melontarkan pertanyaan balasan.

“Kalau Mas mau ke hotel, Dina nggak masalah melayani Mas sampai pagi nanti,” ujar Dina, wajahnya masih menunduk.

“Kamu baru saja sampai dari kampung kan?” ujar Tara seraya menengadahkan wajah manis Dina ke arahnya. “Aku antar ke kost, biar kamu bisa istirahat,” ujarnya lembut.

Tara beranjak dari kursinya dan melangkah menuju Honda CRV miliknya. Dina mengikuti sembari membawa ransel yang kelihatannya cukup berat. Menyadari hal itu, Tara mengambil alih ransel Dina. Sebagai gantinya, pria itu menggandeng lembut tangan sang gadis.

“Sebenarnya… aku nggak ingin pulang ke kost Mas,” Dina bicara tepat ketika mereka sampai di depan rumah kostnya.

“Lho? Kita sudah sampai sini lho,” tanya Tara tidak mengerti. “Kenapa kok kamu nggak ingin pulang ke kost? Ada masalah dengan teman kost?”

“…” Dina tidak menjawab, gadis itu tampak makin larut dalam kemurungannya sendiri.

“Ya udah, ayo kita ke hotel,” baru saja Tara hendak memutar kunci mobil, Dina menghentikan tangan Tara. Keduanya lantas bertatapan sangat dekat.

“Eh… aku pulang kost aja, Mas,” ujar Dina sembari menarik ranselnya dan bergegas turun. Gadis itu tampak aneh dan salah tingkah. “Mas hati-hati di jalan ya?” ujarnya seraya menutup pintu mobil.

Tara tidak bergerak, dia diam menyaksikan Dina yang kini berjalan menuju ke rumah kostnya. Kini jelas sekali Dina menyembunyikan sesuatu, entah apa. Wajah Tara tampak serius, seolah sedang menghubungkan kejanggalan demi kejanggalan guna menemukan sebuah kesimpulan.

Saat Tara sedang larut dalam pikirannya sendiri. Sebuah Yamaha Byson putih melintas dan berhenti tepat di depan Dina. Membuat langkah gadis itu terhenti. Tara menyaksikan pengendara motor tersebut membuka kaca helmnya dan mengatakan sesuatu kepada Dina. Dari ekspresi yang dilihat oleh Tara, Dina mengenal pengendara motor tersebut.

Entah apa yang mereka bicarakan, namun akhirnya Dina melanjutkan langkahnya mendekati pagar rumah kost. Sang pengendara turun dari motornya, menarik paksa pundak kiri sang gadis dan seketika itu menamparnya hingga Dina tersungkur ke aspal tepi jalan. Tara sontak terkejut dan bergegas turun dari mobilnya.

“HEI!!” Hardik Tara seraya menudingkan telunjuknya ke arah pengendara motor.

“JANGAN IKUT CAMPUR! INI BUKAN URUSANMU!” Sang pengendara rupanya membalas hardikan Tara dengan berteriak. Cukup nyaring meski terhalang helm full-face yang masih ia kenakan.

Tara mempercepat langkahnya, sang pengendara berbalik menghadap ke arahnya. Tangannya terkepal.

“Nggak usah ikut campur! Ini urusanku sama pacarku!” ujar sang pengendara yang tak lain adalah Ramzi, kekasih Dina.

Tara tidak menggubris ocehan Ramzi dan bergegas membantu Dina berdiri, siku tangan gadis itu tampak lecet akibat tergesek aspal tepi jalan.

“Heh Anjing!” kesal karena diabaikan, Ramzi menarik pundak kanan Astara kuat-kuat sambil melayangkan tinju kanannya. Telak menghantam rahang kiri Tara, membuat Tara sedikit terhuyung sebelum kembali menemukan keseimbangannya.

“Din! Masuk mobil!” perintah Tara tegas. Dina segera berlari menuju mobil.

“HEH!! DIN!!” Ramzi bergerak hendak mengejar Dina namun sebuah sapuan ke kakinya membuatnya sontak kehilangan keseimbangan. Tanpa banyak bicara, hanya dalam gerakan cepat dan hanya satu dengusan nafas, Tara mendaratkan lututnya ke ulu hati Ramzi. Membuat Ramzi tersungkur kesakitan. Nafas Tara terdengar memburu, saat itu ia seakan teringat apa yang dilakukan Erwin pada dirinya beberapa tahun silam. Kakinya menendang keras helm full-face yang dikenakan Ramzi berkali-kali, membuat tubuh Ramzi terguling-guling seperti bola.

“MAS!! SUDAH MAS!! AYO!!”

Teriakan Dina seolah mengembalikan kesadaran Astara. Di dekat kakinya, Ramzi masih tersungkur sembari merintih kesakitan. Keributan yang terjadi menarik perhatian penghuni rumah kost Dina. Tanpa banyak bicara, Tara memutuskan untuk berlari ke mobilnya, menyalakan mesin dan meninggalkan tempat tersebut. Keringat tampak bercucuran di wajah Tara.

*_*_*​
 
Terakhir diubah:
numpang baca dulu om nyas

ada typo om
“Dananya sudah ada di mobil. Lima ratus lima puluh lima juta,” ujar Tara kalem sembari menghisap rokok di tangannya.
 
Terakhir diubah:
Ijin baca suhu..
Oh iya ijin skip yg part 3 y suhu..ane g hobi rape n gangbang
 
:mantap: :mancing:
 
Perasaan sadis amat yak tuh si astara .
. btw ceritanya mantap suhu , semangat lanjutinnya
 
numpang baca dulu om nyas

ada typo om
“Dananya sudah ada di mobil. Lima ratus lima puluh lima juta,” ujar Tara kalem sembari menghisap rokok di tangannya.

Terima kasih sudah diingatkan.
 
:mantap:suhu enyas akhirnya ada updatetan jg sambil menunggu updatetan dr suhu2 yg laen..txs..
 
Bimabet
Mantap hu..tp kayaknya ada typo dikit bukan lima ratus lima puluh juta tp seratus lima puluh lima juta kali hu..soalnya lebihnya kan 5 juta
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd