Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG #1

Status
Please reply by conversation.
#1

Chapter 2 : Tanpa Kamu aku bukan apa-apa

Tara tampak sibuk memeriksa lembar demi lembar yang ada di hadapannya saat ini. Tangannya memutar-mutar pena berwarna merah yang selalu ia gunakan saat ia butuh menandatangani dokumen penting. Saat ini ia tengah berada di ruang tengah apartemen tempat tinggalnya. Sedang memeriksa laporan evaluasi bulanan perusahaan milik mendiang Ayahnya. Tara adalah pemilik perusahaan tersebut, namun kakak tirinya, Ken adalah orang yang memimpin perusahaan.

“Tania kirim salam untukmu,” ujar Ken sembari menyeruput kopi hangatnya. “Dede sama Dewi juga. Tampaknya kepopuleranmu tidak menurun sedikitpun meski jarang berkunjung ke kantor.”

“Justru di situ kuncinya, Kak,” Tara tidak melepaskan pandangan dari deret angka di hadapannya. “Sesekali muncul akan memberikan rasa penasaran yang lebih besar. Secara tidak langsung menaikkan daya pikat.”

“Lantas apa tidak ada yang menarik dari sekian banyak staff wanita di perusahaan?” Ken membenarkan posisi kacamatanya. “Bagaimana dengan Tania? Terakhir kalian kan sempat makan malam berdua?”

“Terlalu berisik,” jawab Tara kalem. “Harusnya Kakak lebih tahu seberisik apa Tania di ranjang, hampir semua staff wanita pernah Kakak tiduri kan?”

Ken tidak menyangkal kalimat yang diucapkan Adik tirinya. Sudah selayaknya Ken mengakui bahwa ia memiliki libido cukup tinggi dengan berbagai wanita. Libido yang kadang bisa menjadi sangat sukar untuk dikendalikan.

“Profit di permukaan tahun ini cukup besar,” Tara mengomentari laporannya. “Terlalu besar bahkan. Apa divisi belakang tidak melakukan gerakan sama sekali?”

“Tahun kemarin divisi belakang sudah menggunakan dana yang luar biasa besar untuk persiapan setidaknya sepuluh tahun ke depan,” Ken menjelaskan. “Untuk berikutnya Divisi belakang mungkin tidak membutuhkan terlalu banyak dana.”

“Dan itu kurang baik, kan?” wajah dan nada bicara Tara kini tampak sangat serius. “Jika dana tidak tergunakan di divisi belakang, maka profit kita akan terlalu besar. Yang artinya akan lebih banyak lagi dana yang harus dicuci.”

“Akan kulakukan sesuatu terkait hal itu,” jawab Ken singkat dan padat. “Mungkin melebarkan diri ke luar kota bisa menjadi pilihan yang baik.”

“Hati-hati Kak, Ayah pernah melebarkan diri ke luar kota dan tidak berujung baik.”

“Itu karena Ayah tidak memiliki apa yang aku miliki kan?” Kali ini Ken tampak sangat percaya diri.

“Ya, itu benar. Divisi belakang memang tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius oleh Ayah. Hanya sebagai back-up kalau-kalau hal yang tak diinginkan terjadi.”

“Tapi sekarang berbeda, Divisi belakang juga bisa berguna meski itu berarti menambah resiko,” Ken menyeruput kembali kopi hangatnya. “Akan aku atur beberapa pos untuk mengurangi profit jika menurutmu itu perlu. Itu bukan hal yang sulit.”

“Tolong urus sepertiga dari profit. Lonjakan yang terlalu besar bisa membuat kita jadi sorotan pajak,” Tara membubuhkan tanda tangannya di lembar evaluasi kemudian meletakkan lembaran itu ke atas meja.

“Dan kamu sendiri bagaimana? Bukankah sudah waktunya berkeluarga?” Ken mengambil lembaran evaluasi tersebut lalu memasukkan ke dalam tas kerjanya.

“Kakak saja belum menikah kan?” balas Tara.

“Aku tidak begitu penting. Aku bukan penerus perusahaan. Memastikan yang terbaik untukmu adalah prioritasku, garis keturunanmu adalah penerus perusahaan. Sesuai amanat yang ditinggalkan Ayah.”

“Seharusnya Kakak yang jadi penerus perusahaan, Kakak jauh lebih mampu dariku.”

“Kakak terlalu dalam bergerak di Divisi Belakang. Itu tidak baik untuk perusahaan,” Ken membenarkan letak kacamatanya sekali lagi. “Kau yang memimpin di depan, Kakak yang menjaga dari belakang. Begitu Ayah mempersiapkan kita.”

Tara tidak menjawab. Memang apa yang baru saja disampaikan oleh Kakak tirinya adalah sesuatu yang memang telah dipersiapkan oleh mendiang Ayahnya. Sekilas Tara teringat saat pertama kali sang Ayah mempertemukannya dengan Ken. Sebelum pertemuan itu, yang Tara ketahui adalah ia anak tunggal dari Wedianto Wicaksana. Hingga sang Ayah mempertemukannya dengan Ken yang merupakan anak hasil hubungan sebelum Wedianto menikah dengan Cahayu Ningsih, Ibu kandung Tara.

Dan sejak pertemuan pertama itu, Ken memegang peranan penting di Divisi Belakang. Divisi terpisah dari perusahaan, dimana divisi tersebut mengurusi hal-hal di belakang layar yang cenderung terkesan ilegal. Menyediakan gadis-gadis pelayan seks untuk lobi dan entertainment, melakukan pencucian uang dengan usaha pinjaman berjangka, pekerjaan-pekerjaan kotor seperti sabotase dan bekerja sama dengan banyak oknum adalah salah satu dari tugas yang dikerjakan oleh Divisi Belakang.

Sepeninggal sang Ayah, Ken menjadi direktur utama perusahaan. Memimpin baik perusahaan dan Divisi Belakang menggantikan mendiang Wedianto. Hal itu sesuai dengan wasiat sang Ayah, Ken memegang kendali penuh hingga Tara siap mengambil alih. Hingga kini Ken masih menjadi direktur utama perusahaan, sedang Tara merupakan pemilik perusahaan. Gampangnya, Ken menjalankan perusahaan atas persetujuan dan pengawasan penuh dari Tara.

“Kau harus cepat menikah dan mengambil alih pimpinan perusahaan,” ujar Ken. “Aku tidak bisa selamanya menjalankan perusahaan dan divisi belakang secara bersamaan. Terlalu beresiko.”

Tara masih diam. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke atas.

“Bagaimana dengan Chaca? Putri dari Bapak Dian, pemilik PT. Arthemist, rekanan kita. Dia cantik dan berkepribadian baik, juga luwes. Ditambah dia cerdas lho, aku pikir kalian cocok,” Ken belum menyerah, masih saja mencoba menjodohkan Adik tirinya dengan seseorang. “Chaca masih perawan lho.”

“Sebenarnya aku sedang menunggu jawaban dari seseorang, Kak,” akhirnya Tara menjawab.

“What?” Ken tampak bersemangat atas jawaban Tara. “Siapa? Jangan lupa untuk mengenalkanku padanya.”

“Kakak kenal kok,” ujar Tara. “Kakak yang memperkenalkan aku padanya. Malah Kakak pernah tidur dengannya juga.”

“Heh?” Ken mengernyitkan dahinya. “Jangan bilang kalau dia adalah salah satu pelacur yang kukenalkan padamu?”

“Terlalu kasar kalau menyebutnya pelacur. Tapi ya… memang itu profesinya.”

“Jangan bercanda!” nada suara Ken sedikit meninggi. “Kau layak mendapatkan wanita baik-baik. Dan masih banyak wanita baik-baik yang bisa kau pilih! Siapa pelacur itu?”

“Jangan menyebutnya pelacur, Kak. Kata itu terlalu kasar. Lagipula itu hanya profesinya saja.”

“Hanya profesi?!” Ken menatap tajam ke arah Tara. “Kau pemilik perusahaan nomor tiga terbesar di Asia Tenggara dan kau berpasangan dengan seorang pelacur. Itu skandal! Dan jelas bukan hal baik untuk perusahaan! Bayangkan, mungkin beberapa staff perusahaan kita sudah pernah meniduri gadis itu!”

“Yang akan menjalin hubungan dengannya adalah aku! Bukan perusahaan! Dan aku tidak peduli dengan ocehan orang yang seenak jidatnya menghubung-hubungkan hidupku dengan perusahaan!” Nada suara Tara ikut meninggi.

“Tidak! Aku tidak setuju!”

“Aku tidak meminta persetujuanmu, Kak. Dan untuk kehidupan pribadiku aku tidak memerlukan persetujuanmu,” balas Tara tegas.

Kalimat Tara cukup untuk membungkam Ken. Ken memandangi adik tirinya dengan seksama. Mencoba menerka hal tidak masuk akal apa yang saat ini tengah ada dalam benak Adik tirinya. Ada sedikit rasa menyesal karena selama ini ia turut andil menyediakan gadis-gadis panggilan untuk Tara.

“Kau harus mendapatkan wanita baik-baik,” gumaman lirih keluar begitu saja dari mulut Ken. Cukup jelas untuk sampai ke telinga Tara.

“Untuk apa wanita baik jika pada akhirnya mereka hanya melukai? Mengapa tidak sekalian saja wanita yang terlihat buruk namun memiliki potensi untuk menjadi baik?” jawab Tara diantara kepulan asap rokok yang keluar dari bibirnya. “Daripada menebak hati seseorang yang tidak terlihat lebih baik menerima sesuatu yang terlihat kekurangannya. Sehingga tidak ada keburukan yang dapat mengejutkan. Tidak ada dusta yang perlu dikhawatirkan.”

Ken melayangkan pandangannya ke langit-langit ruangan, seolah mencari sesuatu yang tidak ada. Tampak dalam raut wajahnya sebuah ketidakpahaman atas pola pikir yang baru saja disampaikan oleh Adik tirinya. Ken menarik nafas panjang tidak lama kemudian.

“Siapa gadis itu?” tanya Ken kemudian.

“Dina,” Tara menjawab tanpa memandang ke arah Kakak tirinya.

“Hmm…” Ken mencoba mengingat nama yang disebut oleh Tara. “Ayam kampus yang baru masuk tahun pertama kuliah itu?” Ken mengingat Dina sebagai sosok baru di dunia ayam kampus. “Jam terbangnya masih minim, baru sekitar tiga bulan,” tambahnya.

“Ya, Dina yang itu,” Tara membenarkan.

“Kenapa dia? Aku bisa mengenalkanmu pada mahasiswi baru yang bukan wanita penghibur padamu,” Ken masih saja mencoba mengajukan tawaran.

“Dina saja sudah cukup,” Tara menolak mentah-mentah tawaran Ken. “Kenapa? Aku suka tubuhnya, cara bicaranya dan permainan ranjangnya cukup memuaskan. Jam terbangnya juga tergolong baru.”

“Kalau begitu aku akan mencoret namanya dari daftar wanita panggilan yang bisa digunakan untuk menghibur relasi,” sadar tidak bisa mencegah keinginan Adik tirinya, Ken melakukan apa yang ia bisa. Setidaknya untuk mengurangi resiko skandal yang dapat muncul.

“Tidak perlu,” jawab Tara dingin. “Biar ia tetap menggeluti profesinya. Biar ia menjalani hidupnya sendiri. Hubungan kami hanya sebatas status dan saling membutuhkan. Tidak lebih.”

“Jadi kau tidak masalah jika Dina melayani laki-laki lain?” pertanyaan Ken seolah menegaskan pernyataan yang baru saja diucapkan oleh Tara.

“Tidak masalah, itu haknya. Selama ia jujur maka aku tidak akan mempermasalahkannya.”

“Katakan…” Ken memandang tajam ke arah Tara. “Apa kau mencintainya?”

Tara tidak segera menjawab. Pandangannya melayang bebas ke arah langit-langit, seolah mengikuti arah kepulan asap rokok yang keluar dari bibir dan hidungnya. Ekspresi wajahnya tampak kosong, hampa dan tak terbaca.

“Mungkin,” jawabnya kemudian. “Cinta hanya sebuah permainan anak kecil,” tambahnya kemudian.

“Dia bisa saja hanya memanfaatkanmu, hanya untuk mengeruk hartamu,” Ken mengingatkan.

“Tidak masalah bagiku,” jawab Tara kalem.

“Aku tidak akan menyetujui penggunaan dana perusahaan untuk itu. Tidak akan dana perusahaan yang akan keluar untuk membiayai gadis itu,” Ken terus memberi tekanan.

“Tidak masalah bagiku,” kalimat yang sama dilontarkan kembali oleh Tara.

*_*_*​

‘Have a nice day honey. Tetap semangat dan jaga kesehatan ya cintaku.’

Senyum Tara mengembang saat ia membaca pesan singkat dari Shinta, gadis yang dipacarinya sejak awal kuliah. Hampir tiga tahun sudah mereka berpacaran, sebuah perjalanan penuh suka dan cinta untuk Tara dan Shinta.

Tara meletakkan ponselnya ke dalam saku jaket sebelum mengangkat tas ransel yang berisi pakaian dan perlengkapan selama ia menjalani KKN di sebuah desa, empat jam perjalanan dengan mobil dari kota tempat kuliahnya.

“Yakin mau kembali lebih awal?” Chandra, rekan satu kelompok KKN. Chandra berpapasan dengan Tara di ruang tamu, tampaknya ia baru saja dari dapur untuk mengambil sebotol air minum. Pemuda dengan bibir yang tampak selalu tersenyum itu saat ini hanya mengenakan celana pendek ¾ biru miliknya.

“Kan tugas KKN sudah selesai?” Tara membalas pertanyaan Chandra.

“Masih ada dua hari lagi sampai kontrakan rumah ini habis lho, kepala desa juga sudah mengijinkan kita untuk tinggal dua hari lagi. Herman, Rino, Andien juga belum mau kembali.”

Terdengar suara pintu kamar terbuka. Dari dalam kamar, Rino keluar dengan mengenakan T-shirt yang tampak kusut di beberapa bagian.

“Pulang bro?” sapa Rino kepada Tara. “Waktunya senang-senang santai kok malah pulang? Masih ada dua hari lagi lho.”

“Tenang, aku nggak langsung ke kampus kok. Dua hari lagi kita ketemu di kampus sesuai jadwal,” jawab Tara sambil tersenyum.

“Pasti mau ketemu Shinta ya? Ada yang rindu setengah mati nih kayaknya,” timpal Chandra.

Dukk… duk… dukk…

“Engh… Ahh.. Ahh..”


Suara benturan dan desahan mengalihkan perhatian mereka sejenak. Sumber suara berasal dari kamar ketiga yang dihuni oleh Andien. Satu-satunya gadis yang memilih tinggal sampai jadwal KKN benar-benar selesai.

“Man! Pelan-pelan nyodoknya woi!” Rino setengah berteriak menggoda Andien yang tampaknya sedang disetubuhi oleh Herman.

“Ah! Bikin konak aja Herman sama Andien nih,” Chandra beranjak meninggalkan ruangan.

“Mau kemana woi?” Rino bertanya pada Chandra.

“Ke kamar dulu, ngilangin konak ke Putri,” jawab Chandra sambil cengengesan.

“Eh?! Putri dari semalam masih di kamarmu? Nggak dicariin Bapaknya?” Rino tampak kaget mengingat putri adalah anak perempuan kepala desa tempat mereka KKN. “Bukannya kemarin kamu bilang persediaan kondommu habis?” tambahnya lagi.

“Putri mau kok nggak pakai kondom,” jawab Chandra masih dengan cengengesannya. “Lagi aman katanya jadi bisa keluarin di dalam. Dari semalam kan aku keluar di dalam terus.”

“Eh kampret! Enak banget, aku juga mau lah,” ujar Rino bersemangat.

“Tiga puluh menit lagi ya? Habis aku baru giliranmu. Kalo nggak tahan, tuh kayaknya bentar lagi Andien juga kelar,” Chandra berkata sambil melangkah masuk ke dalam kamar.

Rino menghempaskan pantatnya di kursi panjang tepat di hadapan Tara. Wajahnya tampak kesal.

“Kampret tuh Chandra, aku yang merawanin dia yang duluan keluar di dalam,” dengus Rino kesal.

Tara hanya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan rekan-rekan KKNnya. Entah sejak kapan kelompok KKNnya berubah menjadi pecinta seks bebas. Semula berawal dari Andien yang kepergok sedang bersetubuh dengan Bapak Kepala Desa di kamarnya. Sejak saat itu Andien jadi menu utama kelompok KKN mesum itu. Hanya Tara satu-satunya pria yang berusaha menjaga dirinya untuk tidak ikut larut dalam kemesuman mereka.

“Ya sudahlah, aku cabut dulu,” Tara mengangkat ranselnya. “Awas, jangan sampai bunting anak orang. Terutama si Putri sama sepupunya, Annisa.”

“Annisa sih memang sudah janda kan? Putri ini nih… sejak aku perawanin nggak pernah mau aku keluarin di dalam. Eh… malah Chandra duluan yang naruh benih. Kampret

“Iya deh, terserah. Aku cabut dulu,” Tara menyodorkan tangannya untuk berjabat.

“Oke, hati-hati Bro. Salam buat Shinta,” ujar Rino seraya menjabat tangan Tara.

*_*_*​

Empat jam terasa cukup singkat, Tara sendiri sudah membayangkan betapa terkejutnya sang kekasih saat menemui dirinya kembali dua hari lebih awal dari yang dijadwalkan. Selama dua bulan KKN, Shinta tidak pernah luput menyampaikan kalimat ‘I Miss you’ dalam setiap pesan singkat dan panggilan teleponnya. Kepulangan Tara yang lebih cepat dari jadwal pasti akan membuat Shinta senang.

Usai memarkirkan mobilnya di basement Apartemen, Tara bergegas naik menuju kamarnya di lantai lima. Ia dan Shinta memang memutuskan untuk tinggal bersama dalam satu apartemen. Tidak lupa, setangkai mawar merah muda kesukaan Shinta yang ia beli di perjalanan menuju apartemen tergenggam di tangan kanan Tara.

Tara membuka pintu apartemen dengan keycard miliknya. Sengaja ia mengendap-endap karena biasanya pada jam-jam ini Shinta sudah tertidur lelap. Tara ingin memberi kejutan pada Shinta. Dengan hati-hati Tara menutup pintu apartemen, meletakkan tas ranselnya di lantai dan mengendap ke kamar tidur tanpa menyalakan satu lampu sama sekali.

Dan langkahnya terhenti seketika di depan pintu kamar yang masih tertutup. Sayup tapi pasti ia dapat mendengar deru nafas yang diikuti lenguhan-lenguhan. Semakin lama suara yang didengarnya semakin jelas, diikuti dengan suara ranjang yang bergoyang menghantam-hantam dinding. Tanpa menunggu lebih lama tangan Tara meraih gagang pintu dan mendorongnya terbuka. Detik berikutnya tangannya telah menekan tombol saklar lampu kamar.


“Ah!”

Lenguhan itu terhenti. Berganti dengan pekikan terkejut. Pikiran Tara seolah tidak percaya dengan apa yang tergambar di bola matanya saat ini, seorang gadis, dikenalnya sebagai Shinta, kekasihnya sedang dalam keadaan merangkak, polos tanpa sehelai benang yang menutupi lekuk ramping tubuhnya, membiarkan kedua payudara bulat kencangnya menggantung bebas. Rambut panjangnya tampak berantakan, bulir-bulir keringat tampak di sekujur tubuhnya dan bibir merah Shinta terbuka merekah, seolah menggambarkan kenikmatan yang masih tertinggal.

Tepat di belakang Shinta, dengan pinggul merapat erat ke bongkahan pantat Shinta, seorang pria tanpa busana, juga bermandi keringat, dengan batang kejantanan masih tertancap dalam di kewanitaan sang gadis. Pria itu tampak terkejut, Tara mengenal pria itu sebagai Erwin, teman kuliahnya sendiri.
“Anjing!” Hanya itu kata yang meluncur penuh nada amarah dari mulut Tara. Tara merangsek maju dengan tangan terkepal dan pandangan tajam ke arah Erwin. Dan satu bogem mentah seolah melayang begitu saja ke pelipis rekan kuliahnya tersebut.

Erwin terjengkang di atas ranjang, penisnya lepas dari liang kenikmatan Shinta. Shinta mulai menjerit ketakutan. Tapi semua itu seolah tak terdengar oleh Tara. Dengan beringas Tara mengayunkan satu lagi tinjunya ke arah Erwin.

Kali ini meleset, Erwin sempat menghindar. Mengemudi selama empat jam rupanya cukup menguras tenaga Tara. Pukulannya hanya memberi sedikit sekali tekanan. Erwin segera menghindar dan mendaratkan tinjunya ke hidung Tara. Membuat darah segar mengalir seketika.

Tara terhuyung mundur, matanya masih menatap tajam ke arah Erwin, masih memancarkan amarah yang kuat ke rekan sekuliahnya tersebut. Ia kembali merangsek maju, membiarkan amarah memberinya tenaga lebih, namun Erwin lebih sigap. Satu uppercut keras mendorong naik dagu Tara, membuat lidahnya sedikit tergigit. Kali ini cukup telak, Tara hanya bisa tersungkur jatuh ke lantai, pandangannya kabur, nafasnya tersengal-sengal.

“An..jing…” kata itu keluar lagi dari mulut Tara yang kini berlumuran darah. Kali ini terdengar lirih dan nyaris tanpa tenaga. Satu tendangan ke rusuk kanannya membuat Tara ambruk terbaring di lantai.

“Sudah! Cukup Win!”

Tara dapat mendengar suara Shinta, suara kekasihnya, suara yang dirindukannya, suara yang keluar dari sosok gadis tercinta yang baru saja memberinya sebuah kejutan menyesakkan. Tara dapat melihat tubuh telanjang Shinta memeluk lengan Erwin yang tampaknya masih ingin melancarkan serangan.

“Sudah Win… sudah,” ujar Shinta di antara isak tangisnya. Isak tangis yang entah tertuju untuk siapa.

“Asal kamu tahu ya?” kali ini Erwin yang bicara. “Aku dan Shinta sudah sering berhubungan badan sejak satu tahun yang lalu! Dan dia lebih memilih aku daripada bocah manja kaya sepertimu!”

Suara hardikan Erwin terasa panas di telinga, namun tubuh Tara sudah terlalu letih untuk bangkit dan menyerang.

“An…jing…” hanya kata itu yang keluar lirih dari mulut Tara. Semua tampak melelahkan, semua tampak berputar.

Kemudian gelap.

*_*_*​

Saat Tara membuka matanya, ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang apartemennya. Perban menyumpal kedua hidungnya, memaksanya bernafas menggunakan mulut. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar tidur apartemennya. Hal kedua yang muncul di benaknya adalah ingatan tubuh telanjang Shinta dan Erwin.

“Sudah sadar?” sebuah suara memanggilnya. Tara memalingkan pandangan dan menemukan sosok Ken, kakak tirinya tengah duduk di tepi ranjang. “Siapa bajingan yang melakukan ini? Tidak ada barang yang hilang, jelas ini bukan perampokan.”

“Dimana Shinta?” ujar Tara. Ia baru saja mengalami pengalaman menyakitkan tapi masih saja hal yang pertama kali ditanyakannya adalah Shinta.

“Dia memanggilku kemari lewat telepon,” jawab Ken. “Saat aku datang pintu terbuka, Shinta sudah tidak ada lagi. Begitu pula dengan barang-barangnya. Kalian bertengkar? Kurasa tidak mungkin Shinta bisa membuatmu babak belur begini.”

Tara beranjak duduk, ia masih dapat merasakan nyeri di rusuk kanannya saat berusaha duduk.

“Seharusnya dua hari lagi kau baru kembali dari KKNmu. Kau pulang lebih awal?” Ken bertanya. Tara menjawabnya dengan anggukan.

“Dan ada laki-laki lain di apartemen ini bersama Shinta?”

Tara kembali mengangguk.

“Kalian terlibat perkelahian. Kau kalah dan sepertinya Shinta memilih kabur bersama laki-laki itu?”

Sekali lagi Tara mengangguk.

Ken membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun. “Siapa laki-laki itu? Sebutkan ciri-cirinya dan kita beri dia pelajaran. Aku juga bisa mengirim Shinta ke pelacuran kalau kau ingin.”

“Tidak… jangan sentuh Shinta,” ada nada sedih dalam ucapan Tara. “Biarkan dia… ini pilihannya.”

“Kalau begitu biar kuhajar yang laki-laki. Bagaimana cirinya?”

“Dia Erwin,” jawab Tara lirih.

“Erwin?” Ken mengernyitkan alisnya. “Kau mengenalnya?”

“Teman satu kampus,” suara Tara masih terdengar lirih.

“Apa badannya besar?”

“Lebih besar dari kita berdua,” mata Tara menyiratkan rasa dendam. “Tapi tidak lebih besar dari para tukang pukul kita.”

“Kau ingin menghajarnya?”

“Ya! Tolong buat si Anjing itu mampus! Kirimkan tukang pukul terkejam yang kita punya!” amarah kini sepenuhnya menguasai lidah Tara.

“Tidak, aku tidak akan mengirimkan satu tukang pukul sekalipun untuk menghajarnya,” jawab Ken dingin.

“Tapi Kak?” Tara hendak memprotes.

“Kau yang akan menghajarnya sendiri sebagai laki-laki,” ujar Ken. “Kau tidak boleh bergantung dan jadi bukan apa-apa tanpa Divisi Belakang. Pertama, kau harus punya kemampuan bela diri,” tambahnya kemudian.

*_*_*​
 
Njirrrr....Greget banget baca dipart terakhirnya hu....
Awas kau Erwin....:tabok:
Shinta juga....:galak:

ooo​

Part berikutnya masih masuk ke flashback kah hu Enyas....?
 
Thank u atensinya. Maaf gak bisa bales satu2.
@saminami81... dinanti aja chapter berikutnya apakah masih flashback atau flashdisk. Loh?!
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
haduh... ngenes bacanya.... :hammer: maksud hati ingin memberi kejutan.... :rose: ternyata.... ternyata... ternyata... :galak: :galak: :galak:

lebih baik dibeginikan :perang: saja dua orang itu, Hu
 
Thank u atensinya. Maaf gak bisa bales satu2.
@saminami81... dinanti aja chapter berikutnya apakah masih flashback atau flashdisk. Loh?!

Baiklah hu Enyas...
Akan dinanti dengan sabar.....:mancing:
Siapa tau masih dapet flashdisknya....:sendirian:
 
wow... satu lagi karya sang maestro enyas....cerita suhu enyas emang selalu bikin readernya penasaran, sepanjang apapun updatenya....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
weew.. telat ane.
numpang gelar tikar dicerita om letjen enyass..
:haha::haha::haha:

Christian D Ambaraksa apa kabar?
Loh eh..
:Peace: :Peace: :Peace:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd