Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 14 HARI (RSP Series)

TIGA



BU SUKMA


Ketegangan sempat menghampiri ketika pada hari ketujuh, Tea tiba-tiba merasa tidak enak badan. Badannya panas dan suhu tubuhnya meningkat hingga 38.27 derajat. Petugas kesehatan datang dan memeriksa secara lebih intensif. Syukurlah setelah diberi obat antiseptik dan penurun demam, keesokan harinya ia membaik sehingga tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Bukan karena tidak bahaya, tapi karena seluruh rumah sakit sudah penuh, dan hanya diprioritaskan bagi mereka yang benar-benar berada dalam kondisi darurat.

Situasi seperti ini bukan hanya membuat kondisi mental Tea drop, tetapi juga membuat Bu Sukma dan Bu Yasinta stress. Aku juga stress, tapi mau tidak mau harus bersikap tenang agar tetap bisa membantu. Ketiganya tidak boleh bertemu, sedangkan aku ditugaskan menyediakan makanan untuk Tea yang diletakkan di depan balkon tanpa melakukan kontak. Pengawasan dan pengamatan hanya dilakukan melalui media komunikasi. Hampir dua jam sekali aku menelpon Tea untuk memastikan keadaannya.

Bu Yasinta semakin sering datang ke kamarku untuk merokok atau memainkan “rokok” plastik yang memang ia bekal dari Indo. Sialnya, aku harus sering mengungsi dan duduk di balkon sambil mendengar desahan-desahan erotis. Masturbasi menjadi satu-satunya cara bagi Bu Yasinta untuk melepaskan stress. Sekarang malah seperti maniak, tapi tetap ia hanya melakukannya secara solo karier. Aku sempat menawarkan diri secara sukarela, namun malah dibalas tabokan.

Positifnya, isi kulkasku penuh. Bu Yasinta sering menyuruhku belanja bukan hanya untuk keperluan mereka, tetapi juga membelikan untukku. Yeaah.. aku rela sering-sering mengganti sprei sejauh kulkasku bisa terisi. Inilah metodeku dalam bertahan hidup. Azas manfaat? Entahlah.. biar suwirers yang menilai.

Sebetulnya atas saran pihak kedutaan dan desakan pihak perusahaan tempat mereka bekerja, Bu Yasinta dan Bu Sukma disarankan untuk pulang ke Indonesia lebih dulu. Alasannya, karena tanah air sendiri akan menutup semua penerbangan yang berasal dari negara-negara pandemik. Namun kondisi Tea yang seperti ini, membuat keduanya bersikukuh untuk tetap bertahan, meskipun tidak bisa saling bertemu dan berkumpul bersama.

Sore ini Bu Sukma datang ke kamarku untuk mengantar sup masakannya. Bukan hanya untukku, tetapi terutama untuk Tea. Setelah kupindahkan pada mangkok yang dibungkus plastik, langsung kuletakan pada kursi di atas balkonnya, melewati tembok pembatas.

Setelahnya, aku menelpon gadis itu supaya makan. Ia rupanya baru selesai mandi, dan mengucapkan terima kasih. Ia juga mengaku sudah merasa lebih baik dan sudah tidak demam lagi. Aku cukup lega mendengarnya, dan langsung kusampaikan kepada Bu Sukma yang sedang duduk di atas kursi di samping kulkas.

“Bu Yasinta sering ke sini, ya Le, ngapain?” tanya Bu Sukma.
“Hanya nongkrong, Bu, katanya stress kalau di kamar terus dan butuh suasana baru.” aku mencoba beralasan.
“Bukannya merokok? Kok kalau pulang sering tercium bau rokok.”
“Eh.. nggak kok, Bu. Mungkin bajunya bau rokok dari asapku.” aku masih mencoba menutupinya.
“Kamu tuh.. suami ibu juga perokok, jadi ibu tahu mana yang bau karena merokok dan mana yang hanya terkena asap rokok orang lain.”
“Hehehe…”
“Jadi, beneran Bu Yasinta merokok?”

Aku pun mengangguk karena sudah tidak bisa lagi berkelit. Untung sebelum Bu Sukma datang aku sempat merapikan kasur dan menyemprotkan parfum, kalau tidak mungkin ia juga akan bertanya karena ada bau yang lain.

Nampak Bu Sukma mendesah panjang tanpa berkata apa-apa setelahnya, sedangkan aku meraih sup masakannya.

“Terima kasih supnya, Bu. Ibu dan Bu Yasinta sudah makan?” tanyaku.
“Kamu makan saja, kami sudah makan duluan.” jawabnya.

Aku pun makan di bawah tatapan matanya. Cukup grogi juga makan dilihatin oleh wanita cantik baik hati dan penuh sifat keibuan.

Kami tidak banyak bercakap-cakap sampai aku menyelesaikan makanku. Namun begitu, aku sering mencuri pandang pada paras cantiknya. Kalau Bu Yasinta menarik karena cantik dan energik, juga sering tampil apa adanya tanpa jaim; sedangkan Bu Sukma memiliki daya tarik karena selain cantik, juga bersifat lembut dan tutur katanya sangat dijaga. Body Bu Sukma juga lebih montok dibandingkan Bu Yasinta. Kulitnya kuning langsat, wajahnya berbentuk oval dengan bibir cukup tebal; ukuran dadanya juga di atas rata-rata. Ia juga mengenakan kacamata sehingga mempermanis penampilannya.

“Le, ibu mau minta tolong boleh?” ujar Bu Sukma.
“Minta tolong apa, Bu?”

Aku menatapnya sejenak. Aneh.. dadaku berdesir melihat parasnya. Padahalnya kami sudah sering bertemu dan tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tapi kali ini terasa berbeda.

“Persediaan ibu sudah habis, apakah kamu bisa membelikan?”
“Maksud ibu persediaan apa?”
“Ibu sedang datang bulan, besok berakhir.” pipi Bu Sukma sedikit memerah.
“Hehe.. ibu ini.. bilang aja minta dibeliin pembalut.” aku terkekeh mendengarnya.
“Ya ibu malu, kamu lagi malah nyebutin..” wajahnya semakin tersipu. Rasanya aneh ketika berhadapan dengan seorang wanita dewasa tapi masih malu mengungkapkan kebutuhan pribadinya.

Tapi karena aku sedang tidak fokus aku malah berkata semprul, “Apa, Bu? Jembutin?”

Buuuuk!! Bantal sofa pun melayang dan aku tergagap sambil menangkap. Kini wajahku yang merah padam.

“Alleee!!!” Bu Sukma melotot.

“Euu.. maaf-maaf.” aku salah tingkah.
“Kamu!”
“Maaaaf, Bu.”
“Mesum!!”

“…” garuk-garuk kepala.

“Jadi? Kamu bisa bantu ibu?”
“Bbisa.. bisa, Bu.” aku tergagap menyanggupi, tapi kemudian aku menyadari sesuatu, “Tapi yang model gimana ya? Euuu.. kalau orang sini kan tembem-tembem dan ukurannya besar, takutnya kegedean untuk ibu.”
“Alle…!!!”
“Eh.. euhh.. uuh.. maaf, Bu.”

Bu Sukma pun ngomel dengan wajah memerah, aku tak kalah salah tingkahnya, pipiku terasa panas.

“Mesum!!” entah sudah berapa kali kata itu keluar dari mulut Bu Sukma.

Akhirnya kuputuskan untuk mengajak Bu Sukma ke supermarket. Masih ada waktu setengah jam sebelum tutup. Pergi bersama dia akan lebih baik, daripada aku membeli salah ukuran atau apalah.. aku tidak paham yang begituan. Cara berpikirku sih sederhana.. kondom saja ada ukuran dan modelnya, bahkan pake rasa-rasa, siapa tahu pembalut pun begitu. Aku kan tidak tahu apakah pembalut juga ada rasa-rasa buahnya atau tidak.

Kami berdua mengenakan masker dan bergegas meninggalkan apartemen tanpa banyak bicara. Bu Sukma tampaknya masih kesal karena perkataan mesumku.

Selesai dari supermarket kami tidak langsung pulang ke apartemen, aku mengajak Bu Sukma jalan-jalan menyusuri jalanan sekitar apartemen. Sekali-kali Bu Sukma meminta berhenti untuk berfoto di tengah jalanan yang sepi. Kesalnya sudah hilang, dan suasana kembali cair.

Langkah kami pendek, sekali-kali berhenti untuk berfoto atau sekedar mengamati sudut kota yang menarik. Obrolan pun mengalir dari yang tidak jelas sampai mengarah pada kehidupan pribadi masing-masing. Ia menceritakan karier dan pekerjaannya, aku bercerita tentang perjuanganku sampai bisa menempuh pendidikan di kota ini. Ia bercerita tentang masa kisah manisnya di masa lalu dengan pria yang kini sudah menjadi suaminya, aku menuturkan kejombloanku selama merantau.

Ia berkeluh kesah tentang ketakutannya, tentang kerinduannya pada suami dan kedua anaknya, aku berusaha menghiburnya. Kami terus saling berbagi cerita tanpa berhenti melangkah. Tanpa terasa kami berjalan sangat jauh dan keluar dari zona tempat kami tinggal.

“Wow keren sekali, Le.” Bu Sukma antusias ketika kami tiba di tepi lapangan sebuah alun-alun yang luas dan dikelilingi bangunan kuno yang artistik. Gedung-gedung nampak keemasan karena lampu kuning yang menyinari.

Kalau Bu Sukma nampak senang, sebaliknya aku mulai khawatir. Kami berdua sudah keluar terlalu jauh, tidak seharusnya kami berada di tempat ini. Namun aku diam karena tidak mau merusak kegembiraan Bu Sukma.

Kuambil smartphonenya ketika ia minta difoto, diakhiri sebuah selfie agar kelak bisa tetap mengingat bahwa kami pernah berjumpa.

“Ibu bawa passport?” tanyaku ketika kulihat sebuah mobil polisi mendekat, tanpa sirine tapi lampunya sangatlah menyilaukan.
“Tidak, Le, kenapa?”

Degh!!

“Kiamat dah.” gerutuku membuat Bu Sukma kaget dan heran, pandangannya mengikuti arah sorot mataku.

Kuremas kantong plastik yang berisi belanjaan kami, sedangkan tangan kiri meraih tangan Bu Sukma.

“Kita harus lari.” gumamku tegas.
“Tapi kenapa, Le? Memangnya gak boleh yah kita berada di sini?” Bu Sukma masih polos.

Bersamaan itu mobil polisi pun berhenti sekitar sepuluh meter di depan kami. Lampu jauh disorotkan tiga kali ke arah kami, dan nampak pintu di samping sopir terbuka.

Secepat kilat aku mengamati suasana, beruntung kami sedang tidak berada di tengah lapangan alun-alun, melainkan berada di sisi barat, di depan sebuah museum.

“Lari!!” seruku.

Kutarik tangan Bu Sukma melewati sebuah gerbang yang hanya bisa dilewati pejalan kaki.

“Fermate!! (Berhenti).” teriak seorang polisi.

Suara langkah sepatu terdengar menyusul kami. Bukannya berhenti, lari kami malah semakin kencang. Keluar gerbang kami tiba di bibir sebuah jalan yang lurus tanpa belokan. Ini sangat menyulitkan karena kami tidak bisa bersembunyi. Sementara teriakan di belakang terdengar berulang-ulang.

“Ikut saya, Bu!” kutarik tangan Bu Sukma dan berbelok ke arah kanan.

Kami berlari dan terus berlari, begitu juga pengejar terus menyusul kami. Keringat mulai bercucuran dan Bu Sukma mulai kepayahan. Aku berdoa dan berharap satu hal, polisi itu tidak menembak kami.

Aku semakin panik ketika terdengar panggilan radio, rupanya sang pengejar mulai menghubungi polisi lainnya.

Bu Sukma tergopoh kesulitan berlari, nafasnya semakin pendek terengah.

“Buang saja sendalnya, Bu.” perintahku.

Tanpa pikir panjang, kami kembali berlari. Aku yang sudah mengenal lingkungan langsung mengajak Bu Sukma menuju sebuah bangunan bar yang terpisah dari gedung apartemen di sebelahnya, di mana ada gang kecil di sampingnya. Keberuntungan masih menaungi kami ketika lampu di depan bar mati. Kutarik Bu Sukma berbelok memasuki gang, tapi tidak terus berlari, melainkan berputar mengitari bar dan berlindung di depan pintu belakang.

Aku hanya mengandalkan keberuntungan, berharap polisi yang mengejar tidak berhenti dan terus berlari ke dalam gang. Kulirik Bu Sukma yang sedang berdiri tegang, nafasnya tersengal, dengan mulut terbuka untuk menghindari suara. Keringatnya bercucuran.

Aku sendiri mengigit jempolku agar mulut ini tidak terkatup. Punggungku sudah basah kuyup karena keringat.

Nafasku seakan berhenti ketika terdengar langkah sepatu yang mendekat, dan nafas lega langsung kuhembuskan ketika suara itu tidak berhenti, melainkan terus berlari menyusuri gang.

“Ibu takut, Le.” Bu Sukma berbisik.
“Ibu tenang yah, jangan panik.” ujarku. Padahal aku sendiri merasakan ketakutan dan kepanikan yang sama.
Setengah menit kemudian aku melongok dan mengamati situasi. Begitu kulihat tidak ada polisi lain, aku menarik tangan Bu Sukma keluar, kembali ke pinggir jalan. Kami berdua menyusuri trotoar setengah berlari. Lima puluh meter kemudian aku mengajak Bu Sukma menaiki anak tangga menuju hutan kecil di atas bukit yang sekaligus menjadi taman kota.

Bu Sukma sudah tidak bisa lagi berlari, langkahnya tertatih. Spontan aku menyilangkan tangannya pada pundakku, dan ia tidak menolak. Perlahan kami mendaki dan tiba di bibir hutan yang sekaligus menjadi taman. Kami memasuki hutan lebih dalam, menyusuri jalan yang menjadi track jogging. Meski hutan, situasinya tidaklah menyeramkan. Lampu terpasang dan menerangi sekitar. Kami juga tidak sendiri, nampak beberapa orang yang sedang jogging, beberapa berjalan sambil menuntun anjing peliharaan.

Aku mengajak Bu Sukma keluar dari jalan, melewati hamparan rumput hijau, menuju sebuah bangku di pinggir kolam yang air mancurnya tidak berfungsi. Namun airnya nampak jernih.

“Haaaah… gilaaaa.. ini benar-benar gila!!” Bu Sukma melepaskan ketakutan dan mengungkapkan kelegaannya. Ia belum tahu bahwa sebetulnya kami belum benar-benar terbebas dari pencarian polisi.

Kenyataan bahwa kami lari akan membuat polisi semakin curiga dan mulai mengerahkan pencarian. Tetapi jika kami tidak lari, juga akan menjadi masalah karena kami keluar dari zona tempat kami tinggal.

Bu Sukma duduk sambil mengusapi keringat, sedangkan aku tetap berdiri sambil membuka botol minum yang tadi kami beli. Kusodorkan dan ia meraihnya, langsung habis setengah botol.

Aku sendiri bukannya meminum botolku melainkan menatap Bu Sukma antara kagum dan kasihan. Aku kasihan karena berkat keteledoranku, ia harus menjadi seperti ini. Tapi rasa kasihan ini terkalahkan oleh rasa kagum. Aku terkagum oleh aura kecantikannya yang nampak semakin natural dan bahkan terkesan seksi karena bermandi keringat, rambutnya juga basah dan kusut.

Rok panjangnya nampak basah, dan meninggalkan cetakan kaos dalamnya. Rupanya ia masih mengenakan dalaman bertali di antara baju luar dan behanya. Meski rok itu selutut, ia juga mengenakan celana pendek ketat yang terlihat samar-sama karena sorotan lampu.

“Alle, kaki ibu sakit.” lepas dari kepanikan dan rasa capek, ia mulai merasakan sakit pada telapak kakinya.

Ia pun menaikan kakinya, roknya terangkat, pahanya terpajang. Kuning langsat dan nampak bersinar diterpa temaram lampu taman. Ia menunduk untuk memeriksa telapak kakinya, kali ini belahan payudaranya yang terpamer. Nampak menggelembung menggiurkan.

Aku mengerjap beberapa kali untuk membuang pikiran mesum, dan berusaha fokus pada telapak kaki Bu Sukma. Kaki kirinya nampak lecet, mungkin karena menginjak kerikil-kerikil tajam. Ada juga titik yang berdarah karena sayatan kecil.

“Ibu tahan ya.” ujarku.

Kubasuh dengan air dari botol minumku. Ia meringis perih, tangannya mencengkeram pergelanganku. Aku menghibur sambil terus membasuh, dan kukeringkan dengan sweaterku.

“Makasih, Le.” ujarnya tulus sambil menyelonjorkan kembali kakinya. Ujung roknya juga ia turunkan.

“Maaf, ya Bu, saya malah membuat ibu menjadi seperti ini.” tulusku, dan ia menggeleng sambil tersenyum. Ia malah berterima kasih karena aku berhasil membawanya melarikan diri.

“Tapi kita belum aman, Bu. Polisi pasti akan mencari kita.” ujarku.
“Lalu kita gimana donk?” Bu Sukma nampak khawatir kembali.

Aku duduk di samping Bu Sukma tanpa menjawab.

Tik tok tik tok.

Aku memikirkan rencana, Bu Sukma juga diam entah apa yang ada dalam benaknya. Cukup lama kami saling diam. Kami sedikit terhibur ketika ada seekor anjing husky yang berlari ke tengah kolam dan berenang riang. Kulirik pemiliknya yang mengamati dari seberang tempat kami duduk.

Konsentrasi aku dan Bu Sukma teralihkan. Gembira mengamati tingkah anjing besar yang terlihat sangat pandai berenang. Kulihat pemiliknya menjauh, dan berlari-lari kecil.

Degh.

“Bu, kita harus mengantisipasi kedatangan polisi.” aku sedikit ragu untuk menyampaikan ideku.
“Mereka pasti mengenali kita dari pakaian yang kita kenakan. Maaf, bukan maksud saya mesum, tapi sepertinya ibu harus membuka baju luar ibu.” ujarku.

“Hah? Ngaco kamu, Le. Gak mungkinlah ibu berpakaian seksi di tempat umum.” protesnya.
“Ini di eropa, Bu, tidak masalah berpakaian mini. Dan ini demi kebaikan kita.” aku mencoba meyakinkan.
“Nggak. Ibu tidak mau.”

Aku mendesah mendengar penolakannya.

“Pokoknya kalau sampai ada polisi memeriksa kita di sini, kita harus bilang bahwa kita adalah couple dan tinggal di gedung apartemen itu.” aku sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi di bawah kami.
“Kamu semakin ngaco, Le. Jangan aneh-aneh deh, atau kamu sedang modus yah?” raut tidak suka terpancar pada wajah Bu Sukma.

Aku menghela nafas kehabisan kata. Aku sendiri merasa lebih aman karena telah melepaskan sweaterku saat mengeringkan kaki Bu Sukma tadi. Kini aku hanya mengenakan kaos dalam yang ketat. Kubuang dan kumasukan sweaterku pada tempat sampah tak jauh dari tempat kami duduk.

“Kok dibuang, Le?” tanya Bu Sukma.
“Untuk menghilangkan jejak, Bu. Kita pasti sudah terekam CCTV saat di alun-alun tadi, dan kita harus menyamarkan dengan mengubah penampilan. Ayolah, Bu, ibu buka rok ibu. Masih pake celana pendek, kan?” aku kembali membujuknya.
“Gak mungkin, Leee!! Ibu hanya memakai celana begini hanya kalau tidur.” ia masih menyanggah.

Aku sendiri memang memakai celana pendek, meski bukan celana olahrahraga, jadi kupikir cukup aman. Konyol juga kalau aku melepasnya dan hanya mengenakan celana dalam. Malah akan ditangkap karena dianggap gila.

Belum juga aku duduk kembali dan merayu Bu Sukma agar mau melepas roknya, kulihat kilauan lampu biru di pinggiran selatan taman. Mobil patroli datang.

“Bu, lihat itu. Ibu memilih lari dengan peluang tertangkap, atau memilih membuka rok dan tetap tinggal di sini?” aku mulai menekan Bu Sukma.

Wanita itu ikutan berdiri dan melihat ke arah selatan. Ia memandangku takut sekaligus ragu.

“Bu?” aku mulai tidak sabar.

“Iiiya..” Bu Sukma meraih ujung bawah roknya, namun tidak melakukan apa-apa setelahnya.

“Bu, cepat!” aku mulai panik. Sementara sinar mobil patroli semakin mendekat dan berhenti. Kuyakin para polisi sudah turun untuk memeriksa taman.

“Alle, kita lari saja.” suara Bu Sukma gemetar.
“Ibu yakin bisa lari dengan kondisi kaki ibu seperti itu?”

Helaan nafas panjang kami hembuskan berdua. Bu Sukma akhirnya mengalah, ia pun mulai mengangkat roknya. Sorot matanya tajam ke arah, dan aku mengerti, aku melengos pura-pura meliat husky yang masih berenang. Sang empunya anjing sedang rebahan di atas rumput sambil melihat langit.

Namun aku juga tidak mau membuang kesempatan, begitu wajah Bu Sukma tertutup aku langsung menengok. Nafasku pun seolah berhenti berdetak, jantungku berdebar, isi celanaku menggeliat bergetar. Kulit Bu Sukma benar-benar mulus, celana ‘gemes’ ketat berwarna hitam membungkus pinggul dan selangkangannya. Nampak menggembung dan tebal pada vagian kemaluan karena ia mengenakan pembalut. Kaos kutangnya ikut terangkat sehingga kulit perutnya terpajang, dan juga memamerkan gundukan atas payudaranya yang disangga beha yang juga berwarna hitam. Pemadangan itu hanya beberapa detik, tapi tetap tergambar di dalam benakku. Aku segera melihat ke arah kolam ketika Bu Sukma meloloskan roknya melalui kepala.

“Sudah, Le.” ujar Bu Sukma. Nampak ia menutupi pahanya dengan rok yang sudah ia lepas. Bagian atas cukup terlindung dan hanya memamerkan bahu mulusnya dengan tali beha dan kaos kutang yang menggaris vertikal.

Segera kuambil roknya, tapi ia menahan. Kami saling tarik sebentar, sementara di bagian atas nampak dua orang pria berseragam semakin mendekat sambil menenteng tongkat dan juga senter.

Aku langsung menarik Bu Sukma agar duduk bersebelahan. Aku berbisik supaya ia bersikap tenang. Kutarik paksa roknya dan kumasukan ke dalam plastik berisi belanjaan. Lalu kudorong plastik itu ke kolong bangku dengan menggunakan kaki.

“Maaf, Bu.” bisikku.

Kutarik bahu polos Bu Sukma agar semakin mendekat, ia tidak menolak tapi tubuhnya sangatlah kaku. Kubenamkan kepalanya di atas bahuku.

Bu Sukma mendongak hendak marah. Tapi ia langsung diam ketika aku melotot dan memberi kode.

“Maaf, Bu, kita harus kelihatan bahwa kita memang pasangan. Mereka tidak akan mempermasalahkan perbedaan umur.” bisikku.

Bu Sukma diam tanpa mengalihkan tatapan. Ia seolah mencari kebenaran atas ucapanku. Sementara suara gemerisik semakin mendekat. Kurasakan pelipisku basah, Bu Sukma juga mulai tersengal. Bukan karena nafsu, tapi karena panik dan takut.

Seandainya terlihat dari depan, tentu saja kami berdua akan terlihat ganjil karena setengah berpelukan dengan kondisi tegang. Beruntung bahwa kedua polisi itu datang dari arah belakang.

Kutatap kedua bola mata Bu Sukma yang sedikit merah karena takut. Bibirnya nampak pucat dan sedikit bergetar. Tanpa pikir panjang langsung kukecup. Bu Sukma langsung mengatupkan bibir dan berusaha menjauh tapi kutahan. Sementara dari ara belakang, suara langkah sudah sangat dekat.

Kucoba untuk mengulum bibir Bu Sukma. Ia tidak membalas, tetapi tidak juga menolak. Itu sudah cukup bagiku. Aku sedikit meremas rambut belakangnya, dan Bu Sukma pun seketika membalas ciumanku. Ia memejamkan mata. Kami berpagutan layaknya sepasang kekasih. Kurasakan payudara Bu Sukma turun naik, entah takut atau karena terbuai oleh cumbuan.

Ciuman kami semakin intens, meski tanpa saling membelitkan lidah.

“Selamat malam.” terdengar sapaan.

Kami berdua melepaskan ciuman dan Bu Sukma menegakan duduknya. Nafas panjang ia hembuskan, mungkin merasa lega karena ciuman kami berakhir. Atau mungkin malah merasa menyesal dan tidak ingin mengakhiri? Entahlah.

“Iya, selamat malam.” jawabku pada dua polisi yang kini sudah berdiri di depan kami. Keduanya adalah orang berbeda dengan yang mengejar kami tadi. Kutarik lutut Bu Sukma supaya merapatkan kaki, melindungi kantong plastik yang tergeletak di bawah bangku.

“Kalian orang sini?”
“Iya, apartemen kami di sana.” aku menjawab sesantai mungkin sambil menunjuk sebuah gedung. Bu Sukma mengamini dengan mengangguk dan tersenyum. Entah siapa yang memulai, tangan kami sudah saling menggenggam.

Kedua polisi itu mengamati kami sejenak, salah seorang sambil melihat ipad pada tangannya, mungkin sedang mencocokan data dengan tangkapan kamera yang direkam CCTV.

“Ada yang bisa kami bantu?” tanyaku. Tapi sebelum polisi itu menjawab, aku langsung berteriak pada husky yang sedang berenang tepat di depan kami, “Hei Boy, ayo keluar! Jangan lama-lama di air, kita akan pulang.”

Satu polisi melihat ke arah kolam, sedangkan yang satunya lagi masih mengamati wajah kami berdua. Beruntung anjing di dalam kolam itu menggonggong pelan seolah menolak jawabanku.

“Hmm.. tidak ada apa-apa.” jawab sang penanya. Ujarnya lagi, “Apakah kalian melihat kedua orang ini?”

Ia pun mengambil ipad dari tangan rekannya dan menunjukan layar ke arah kami berdua. Nampaklah sosok aku dan Bu Sukma yang sedang berlari di ke arah gerbang alun-alun. Beruntung bahwa wajah kami tidak terlalu jelas karena kami berdua masih mengenakan masker, dan pakaian kami juga tentu saja sudah sangat berbeda dengan saat ini.

“Ah di sini banyak sekali orang yang sedang jogging malam atau membawa binatang peliharaan mereka keluar. Kami tidak yakin apakah melihat mereka atau tidak.” jawabku.

Kedua polisi itu manggut-manggut. Mereka masih mengajukan beberapa pertanyaan wajar dan aku menjawab dengan tenang. Tanpa perlu menjelaskan panjang lebar, mereka langsung yakin bahwa kami adalah pasangan yang sedang menghirup udara malam sambil membawa anjing kami jalan-jalan.

Mereka pun akhirnya pamit untuk melanjutkan pencarian. Mereka juga berpesan untuk kembali mengenakan masker ketika kami pulang dan selalu menjaga jarak dengan yang lain. Langsung kuiyakan dengan penuh keyakinan.

Aku mengantar kepergian mereka sambil menghela nafas lega. Lucunya salah satu dari polisi itu malah melambaikan tangan kepada si anjing yang masih bermain air dan ikut-ikutan memanggil: Boy. Tentu saja anjing itu tak peduli karena namanya belum tentu Boy.

Aku sangat bersyukur bahwa mereka tidak meminta kami menunjukkan dokumen, atau tidak mengajak kami pulang untuk membuktikan bahwa kami memang tinggal di sebuah apartemen yang dimaksud, dan akan melihat dokumen kami di sana.

Bukan hanya aku yang menghela nafas lega, tetapi juga Bu Sukma. Kami pun berpandangan dan saling berbagi senyuman.

“Eh..!!” bu Sukma sadar kembali akan keadaannya.

Ia langsung melepaskan genggaman dan merapatkan kedua pahanya. Ujung kaos kutangnya ia tarik ke bawah untuk menutupi selangkangan. Namun tentu saja tidak bisa menutupi.

“Maafkan yang tadi, Bu, aku sadar melakukannya, tapi itu semua kulakukan supaya sandiwara kita tidak ketahuan.” aku menjelaskan dan jujur mengakui kesengajaanku.

“Iyah.” jawabannya sangat singkat. Wajahnya berubah murung dan seolah merasa bersalah.

Ia mengambil kantong plastik di kolong bangku dan mengeluarkan kembali roknya.

“Jangan dipakai lagi, Bu.” kujelaskan bahwa polisi sudah punya rekaman, dan memakai kembali baju itu sama saja dengan menyerahkan diri.

Kusampaikan pula, bahwa dengan berpakaian seperti ini, mereka menjadi yakin bahwa kami memang tinggal di sekitar sini. Semua itu semakin meyakinkan ketika kami berciuman, dan dibantu oleh ‘si boy’ yang nama aslinya entah siapa.

“Jadi kita akan pulang dengan tetap seperti ini, dan juga akan menggunakan jalan yang berbeda.” aku memungkas penjelasan.

Bu Sukma nampak paham dan tidak menunjukan bahwa ia marah karena aku telah mencumbunya, namun begitu ia nampak murung dan lebih banyak diam.

“Sandiwara ibu juga bagus, kalau ibu tidak membalas ciumanku mungkin ceritanya akan lain dan polisi akan tetap curiga.” ujarku setengah menggodanya.

“Enak aja!! Ibu membalas karena kamu meremas rambut ibu. Ibu pikir itu kode supaya ibu membalas.” Bu Sukma bersungut-sungut.

Aku pun terkekeh mendengarnya. Ternyata kesalahpahaman itu membuahkan hasil yang baik sehingga kami tidak dicurigai. Padahal sejatinya aku menekan kepala belakangnya supaya mulut kami semakin menempel sehingga polisi tidak melihat bahwa ciuman kami sangatlah kaku dan hanya sepihak.

Aku pun mengeluarkan belanjaan dan membalikan plastiknya sehingga logo supermarket tersamar berada di bagian dalam. Setelah berkemas kami pun menuju pintu keluar taman. Langkah kami pelan karena Bu Sukma bertelanjang kaki, sempat kuberikan sepatuku tapi kebesaran untuk ukuran kakinya.

Kami melangkah sambil bergandengan tangan. Sandiwara ini harus terus berlanjut sampai rumah. Berkah bagiku, derita bagi Bu Sukma. Ia sepertinya tidak suka, tapi apa daya.

Perjalanan pulang kami lebih jauh karena harus berputar-putar dan menyusuri jalan-jalan sempit di antara gedung-gedung apartemen yang menjulang. Sekali-kali kami juga harus berhenti dan sembunyi ketika mendengar suara orang. Takutnya mereka adalah polisi.

Bu Sukma masih banyak diam, dan hanya menjawab seperlunya ketika kutanya. Aku dibuat gregetan, karena sejujurnya aku belum bisa melupakan ciuman saat di taman tadi. Apalagi melihatnya berpakaian seksi seperti ini, membuatku ingin mengulangnya kembali.

Senakal-nakalnya Bu Yasinta, aku belum pernah melihatnya berpakaian seksi, kecuali mendengar desahan tertahannya di bawah selimut. Tapi justru Bu Sukma yang paling sopan dan alim, aku malah bisa menikmati separuh lekuk tubuhnya.

“Masih jauh, ya Le?” Bu Sukma mulai kelelahan.
“Lumayan sih, Bu.”

Kami menyeberangi sebuah jalan, dan bersamaan dengan itu sebuah mobil patroli melintas pelan. Kami tidak bisa lagi menghindar. Terpaksa aku menyeberangi jalan sambil menggandeng pinggang Bu Sukma. Wanita itu paham dan tidak berusaha menolak. Aku cukup berdebar karena takut polisi melihat Bu Sukma yang tidak memakai alas kaki, itu bisa menjadi bahan kami dihentikan dan diinterogasi. Beruntung ketakutanku tidak terjadi.

Begitu kami memasuki jalan kecil, Bu Sukma langsung mengurai tanganku dan menjauhkan diri. Jujur aku kecewa, tapi semuanya kusembunyikan dan tetap bersikap wajar.

“Ini gila, sih Le. Ibu tidak pernah berpakaian seperti ini sebelumnya, apalagi di tempat umum.” akhirnya Bu Sukma mau berbicara.
“Masa di rumah juga nggak pernah berpakaian begini, Bu?” aku penasaran.
“Kalau ada pembantu ama anak-anak sih nggak, kecuali….”
“Di depan suami, ya Bu? Hehee…” aku mencoba menebak karena Bu Sukma tidak meneruskan ucapannya.

Wanita itu tertawa kecil dan sedikit tersipu malu. Aku yang sudah ketagihan lembut bibirnya, mulai berpikir ngawur. Aku harus mencari peluang untuk bisa mengulanginya lagi. Maka kupancing sisi primordialnya sebagai manusia sekaligus sebagai perempuan.

“Kalau di sini sih sudah biasa, Bu, dan mungkin ibu juga pernah melihat bahwa banyak yang berpakaian lebih seksi dari ibu saat ini.” ujarku.
“Iya, sih. Tapi walau berpakaian seksi, mereka nampak nyaman karena tidak ada yang mengganggu, dan tidak ada yang ngeliatin penuh mesum.” ia mengamini ucapanku.

Suasana kembali cair, Bu Sukma seperti sudah bisa memaklumi dan melupakan ciuman kami. Sebaliknya denganku, semakin berusaha aku melupakan, lembut bibirnya semakin terbayang.

“Tapi ibu, maaf ya Bu, merasa seksi gak sih berpakaian seperti ini di tempat umum. Kalau menurutku sih, biar bagaimana pun sensasinya akan berbeda. Siapapun ingin dikagumi.” aku mulai memancing.

Bu Sukma menghantikan langkah dan menatapku. Keningnya mengkerut seolah ia tidak sedang salah dengar. Aku cukup tegang karena takut Bu Sukma marah.

“Ibu sudah tua, Le.” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan. Kulihat wajahnya agak tersipu, seolah malu akan isi pikirannya sendiri.

“Ini bukan masalah tua atau muda, Bu. Ibu kan pernah lihat sendiri bahwa banyak wanita yang lebih tua dari ibu tapi tetap tidak malu mempertontonkan lekuk tubuh mereka.” aku tidak mau menyerah.

“Iya, sih.” singkatnya.
“Iya apa, Bu?”
“Ya nggg.. ya gitu aja, rasanya beda.” jawabnya sambil kembali melangkah mendahuluiku, ia seolah malu.

Aku sengaja tidak langsung menjejeri Bu Sukma, namun berjalan agak di belakang. Pandanganku terpaku pada bongkahan pinggulnya yang terbungkus ketat dan bergoyang seiring langkah kakinya.

“Inilah yang namanya kebebasan, Bu. Bebas tapi tidak ngawur. Orang bebas berekspresi dan setiap orang bisa menghargai. Berpakaian seperti ini adalah salah satu bentuk ekspresi diri yang dihormati hukum dan juga masyarakat.” takut tanganku meremas pinggulnya di luar kontrol kesadaran, aku berkata begitu sambil menjejeri langkahnya.

“…”

“Ibu mungkin merasa malu karena kita sama-sama orang Timur, tapi apakah ibu merasa malu pada orang-orang yang melihat kita?” aku terus memprovokasi pikiran Bu Sukma.

Ajaib!! Bu Sukma mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak mengiyakan, tapi juga tidak membantah. Langkahnya malah terlihat semakin ringan, padahal kakinya lecet. Ia juga tidak terlihat sungkan lagi.

“Enak yah tinggal di sini.” gumamnya.

“Ya nggak gara-gara bebas berpakaian, lalu kita merasa enak juga Bu. Biar bagaimana pun akan lebih enak berada di negeri sendiri.” aku masih tarik-ulur, tidak mau dianggap pemuda mesum dan banyak modus.

Mendengar ucapanku, Bu Sukma tertawa sambil mendongak ke atas dan merentangkan tangan. Ia seolah sedang merayakan kebebasan; sekaligus membuang beban ketakutan yang selama ini menghinggapinya. Kalau bukan malam hari, mungkin ia akan berteriak sekencang-kencangnya.

Aku mendenguskan nafas. Kelegaan yang dirasakan Bu Sukma membuat ia semakin abai pada penampilannya. Ujung kaos kutangnya terangkat, dan kulit perut serta pusarnya terpamer. Mulus dan seksi. Sedikit lipatan lemak malah membuatnya nampak semakin memesona dan menggiurkan.

Kami malanjutkan perjalanan. Ibu Sukma tidak lagi sediam tadi, wajahnya lebih ceria. Peristiwa menegangkan yang telah kami alami seakan menjadi petualangan seru di tanah asing, yang tidak bisa dialami oleh semua orang, termasuk oleh kedua temannya yaitu Bu Yasinta dan Tea.

“Makasih, ya Le. Ibu benar-benar tidak akan bisa melupakan kejadian malam ini. Tapi ngomong-ngomong kita masih jauh gak sih?” ujarnya.

“Lumayan sih, Bu.” singkatku.

Sebetulnya kami sudah dekat, tapi karena kami datang dari arah yang berbeda membuat Bu Sukma tidak tahu di mana kami sedang berada. Aku lelaki, dan aku masih menginginkannya. Benakku terus mencari cara.

Kini situasi berbalik, aku lebih banyak diam dibandingkan Bu Sukma. Dua blok pun terlewati, dan kami tinggal menyeberangi satu blok lagi untuk sampai di gedung apartemen kami.

Sekali lagi aku merasa beruntung, dan aku tidak ingin membuang kesempatan. Kulihat tiga orang polisi melintas berjalan kaki. Tanpa sepengetahuan Bu Sukma, aku melambaikan tangan sambil membuka masker sebentar. Mereka kenal aku, dan salah satu dari mereka membalas lambaianku.

“Bu..” aku menghentikan langkah Bu Sukma dan meraih tangannya.

Ia menengok, dan wajah gembiranya berubah pucat ketika melihat tiga orang polisi yang sedang berjalan ke arah kami.

“Gimana ini, Le?” ia nampak panik.

“Maaf, Bu, tidak ada cara lain.” ujarku, kali ini aku sungguh berbohong dan memanfaatkan situasi.

Kutarik tubuh Bu Sukma dan kami berdiri mepet ke tembok sebuah gedung. Aku bersandar dan kupeluk pinggang Bu Sukma sehingga kami tubuh kami merapat. Bu Sukma seakan mengerti bahwa kami harus kembali pura-pura di hadapan petugas polisi, dan memang itu yang kumau.

Kali ini malah ia yang mengambil inisiatif dengan melingkarkan tangannya pada leherku, sedangkan tanganku memeluk pinggangnya. Aku dan Bu Sukma saling bertatapan dengan nafas tersengal. Bedanya aku bergairah, sedangkan Bu Sukma karena ketakutan. Tanpa komando kami menurunkan masker masing-masing sampai ke bawah dagu.

Keinginanku yang sejak tadi kutahan-tahan kini langsung kutumpahkan, kukecup dan kukulum bibir tebal Bu Sukma. Lembut kurasakan. Wanita dalam dekapanku balas mengecup sambil memejamkan mata. Agar tidak dianggap kurang ajar dan memanfaatkan situasi, aku hanya menempelkan bibir dan mengulum tipis.

Langkah para polisi pun semakin mendekat, suasana malam yang sunyi membuat suara sepatu mereka terdengar nyaring. Kurasakan tubuh Bu Sukma menjadi kaku. Kukulum bibir bawahnya, dan ia membalas pelan. Kuhisap dan ia membalas. Ia mengimbangi irama cumbuanku. Tubuh kami semakin lekat menempel, payudaranya terhimpit kenyal.

Kurasakan jantung Bu Sukma berdetak kencang, dan nafasnya semakin tersengal. Mulutnya semakin terbuka dan aku semakin leluasa mencumbunya. Dari sudut mataku kulihat ketiga polisi itu tinggal beberapa meter saja melewati kami, dan kutahu mereka tidak akan menyapa karena kami sedang bercumbu. Ini sudah menjadi semacam norma tak tertulis. Kalau tadi di taman ada polisi yang menyapa kami saat sedang bercumbu, itu hanyalah kasus khusus.

Tanganku turun dan meremas bongkahan pinggul Bu Sukma, ia menggelinjang, tubuhnya bagai kesetrum. Mulutnya terbuka, dan langsung aku menjulurkan lidah menerobos lubang mulutnya. Bu sukma seperti tercekat, sejenak ia terdiam. Tetapi begitu para polisi melewati kami ia membalas. Lidah kami saling menggelitik, saling mencucuk dan membelit. Aku mulai terhanyut, begitu pula Bu Sukma. Ia membalas kuluman dan lumatanku, takut dan gairah telah membuatnya gerah. Akal sehat terganti syahwat.

Waktu seakan berhenti, kamu khusyuk bercumbu. Bibir kami basah, namun semakin memberi sensasi nikmat ketika saling menghisap. Polisi sudah menjauh dan bahkan menghilang, namun cumbuan ini tak berhenti, malah semakin panas. Tanganku semakin kuat meremas, Bu Sukma menggelinjang penuh gairah. Kemaluan kami sudah saling menekan. Entah sadar atau tidak, Bu Sukma sendiri setengah bergoyang-goyang, sedangkan kepalanya tidak mau berhenti miring ke kiri dan ke kanan dengan mulut tetap bertautan.


Aku semakin terlena, terbuai rasa nikmat. Ciuman panas ini membuatku lupa daratan. Dan…

Hmmmmfff.

Ia mendorong dadaku dengan keras.

Plop.

Bibir kami terlepas dengan sebentang liur yang yang tertarik, lalu putus dan terjatuh. Tangan Bu Sukma melayang hendak menampar. Aku tercekat kaget. Namun tangan itu berhenti hanya beberapa senti sebelum mendarat.

“Alle!!” ia mendengus frustasi. Seperti ingin marah, tapi ia sendiri merasa bersalah karena telah meladeni. Seperti ingin melabrak, tapi kesalahan bukan hanya ada padaku.

Bu Sukma mundur beberapa langkah sambil membersihkan bibirnya dengan kasar. Nafasnya tersengal karena marah bercampur rasa bersalah. Kedua bola matanya merah berair.

“Maaf, Bu.” aku mengutuki diri.

“Kita pulang!” disusul air matanya yang tumpah. Kalau saja tahu jalan pulang, mungkin ia sudah berlari mendahuluiku.

Aku mengangguk lemah dan meraih tangannya untuk kutuntun, namun ia menepis dengan keras. Aku menghela nafas, dan mendahuluinya melangkah. Tidak ada percakapan, tiada obrolan. Diam.. itulah yang kami lakukan.

Setibanya di apartemenku, Bu Sukma ikut masuk dengan sangat terpaksa. Ia harus mampir untuk memakai kembali roknya. Tanpa banyak kata, ia mengambil bajunya dan melangkah ke kamar mandi. Aku hanya bisa duduk mematung di depan kulkas. Botol air yang kuambil pun tidaklah kuminum.

Tak lama kemudian ia keluar kamar mandi dan telah mengenakan kembali rok panjangnya. Rambutnya sudah rapi karena disisir namun wajahnya nampak sembab. Sorot mata kami beradu, namun ia melengos. Tanpa permisi, ia pun meninggalkan kamarku sambil menenteng pembalut yang tadi kami beli. Sisa belanjaan ia tinggalkan.

“Aaaarghh!!” Begitu pintu tertutup dari luar, aku langsung mengerang sambil meremasi rambut.

Sebuah kebodohan telah kulakukan, dan aku telah membuat perasaan Bu Sukma bagai roller coaster yang perubahannya terjadi secara drastis. Takut… tegang… bahagia… senang… nikmat.. sekaligus bergejolak penuh amarah yang tak bisa diungkapkan.

Aku mendengus resah. Kuraih bungkus rokok di atas meja, dan kusulut sambil keluar balkon. Mataku memandang suasana malam yang begitu sunyi. Pikiranku mengingat semua kejadian malam ini, dan mengutuki kebodohanku di saat-saat terakhir kebersamaan. Kusulut batang rokok ketiga sambil mengintip ke balkon sebelah.

Degh!!

Sup dan makan malam Tea masih utuh. Ia tidak mengambilnya. Kulirik ke arah dalam kamar, nampak gelap gulita.

“Tea!!” aku berusaha memanggil sambil berjinjit dan mengetuk-ngetuk kaca jendelanya.

Tidak ada jawaban. Kuketuk lebih keras, tidak terdengar suara. Aku mulai panik. Kumatikan rokokku. Kunaiki kursi plastik dan menyeberangi tembok pembatas.

“Teaa!!” aku terus memanggilnya sambil menuju pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon.

Beruntung ia tidak mengunci pintu itu. Aku segera masuk sambil menyalakan korek. Ruangan nampak kosong.

“Tea!!” panggilku lebih keras.

Karena tidak ada jawaban, aku segera menyalakan lampu dan menuju kamarnya. Pintunya tidak tertutup rapat. Kudorong dengan tangan bergetar. Cahaya lampu pun menerobos masuk.

Nampak Tea sedang terbujur di atas kasur, berbungkuskan selimut. Aku tercekat melihatnya. Segera kunyalakan lampu kamar, dan bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd