Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 14 HARI (RSP Series)

LIMA



Bu Sukma melayani kebutuhan makan malam Tea melalui balkon. Menu istimewa yang ia masak bersama Bu Yasinta. Sebetulnya ia mengundang Tea untuk makan bersama kami, meskipun harus melanggar aturan untuk tidak bekumpul. Tapi Tea menolak. Kuyakin bukan karena takut menularkan, melainkan masih tidak mau berjumpa denganku. Dan aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan itu.

Setelah kebutuhan Tea tercukupi, kami duduk melingkar di meja makan apartemenku. Bu Yasinta membuatnya sedikit romantis dengan menyalakan lilin. Nasi sudah terhidang. Sup daging campuran kol, kentang, dan wortel masih mengepul. Aroma bawang daun memenuhi ruangan dan menggugah selera. Oseng sawi dan tumis cabe yang dicampur kecap juga menyertai. Gelas kami pun diisi red wine.

Bu Yasinta bertindak sebagai ‘ibu keluarga’ yang mengisi mangkok dan piring kami. Acara makan pun dimulai, diselingi obrolan ringan penuh persahabatan dan kekeluargaan. Sekali-kali cerita lucu saling kami lontarkan. Memang masih ada yang kurang, karena Tea tidak ada di tengah kami dan ia makan sendiri. Tetapi kami sendiri harus membuat diri bahagia untuk membuang stress karena harus terisolir di negeri orang, sekaligus agar auto imun tubuh tetap terpelihara.

Tanpa Bu Yasinta tahu, aku dan Bu Sukma sering berbagi tatapan mesra. Senyum indah kami sunggingkan, sekali-kali saling menyentuh seolah tidak sengaja ketika mengambil makanan. Secara spontan, Bu Sukma juga sering menambahkan lauk pada piringku.

Makan pun selesai, tetapi tak satu pun dari kami yang beranjak. Obrolan masih terus berlanjut sambil menikmati wine. Rokok pun mengepul dari mulutku dan Bu Yasinta. Itu saja tidak cukup, Bu Yasinta kembali mengeluarkan botol blue label. Hanya kami berdua yang minum, Bu Sukma tidak kami perkenankan.

Perlahan tapi pasti, suasana romantis berubah gerah ketika Bu Yasinta mulai tidak bisa mengontrol minumnya. Obrolan menjurus porno kembali terjadi seperti siang tadi. Kali ini Bu Yasinta benar-benar terbawa suasana dan terpengaruh alkohol. Aku dan Bu Sukma berkali-kali mengingatkan, tetapi Bu Yasinta tidak menggubris. Tidak seorang pun di antara kami yang dibolehkan menjauhkan botol.

“Gua bahagia banget bersama kalian, dan ini harus dirayakan.” keukeuhnya, bahasanya mulai gaul.

Gaya bicara Bu Yasinta yang sudah tanpa saringan, membuat aku dan Bu Sukma juga larut dalam imajinasi masing-masing. Bayangan-bayangan erotis mulai mengisi pikiran.

Tanganku turun ke bawah meja, hal yang sama Bu Sukma lakukan. Kami saling menyentuh tipis, saling menggenggam setelahnya. Remasan-remasan kecil kami lakukan. Kurasakan ia mencubit ketika aku menyentuh lututnya. Ia mendelik tersamar, namun itu semakin membuatku gemas.

“Yah beginilah siklus hidup…” ujar Bu Yasinta sambil menghabiskan isi gelasnya. “Lu bisa ngewe tapi jarang orgasme, gua sering orgasme tapi gak dapat kasih sayang.”

Bu Sukma hanya menggeleng mendengar omongan Bu Yasinta. Kuyakin ia mengamini, tetapi juga jengah mendengar kata-kata vulgarnya.

“Le, jangan!” bisik Bu Sukma ketika aku menggeser kursiku lebih mendekat dan tanganku pindah memeluk pinggangnya.

Dalam keadaan biasa mungkin ia akan berontak, tetapi ia takut sikap menolaknya malah akan membuat Bu Yasinta tahu apa yang sedang kulakukan. Ia hanya bisa pasrah dan menutupi dengan menyondongkan duduknya, berpangku dagu pada meja.

“Habis, Le.” keluh Bu Yasinta ketika melihat isi botol yang sudah kosong.
“Itu bagus, biar ibu berhenti minum.” ujarku.

“Haisssh… ni gua malah sange. Mana dildo gua di kamar lagi.” ia menggerutu.

Aku dan Bu Sukma saling bertatapan mendengar ucapan Bu Yasinta. Kulihat wajahnya memerah.

Bu Yasinta berdiri terhuyung, aku ikut berdiri untuk memapahnya, tapi ia melambaikan tangan tanda menolak. Dibukanya kulkas, dan dengan tak sabar mengobrak-abrik isinya. Yang dicari pun ia temukan, sebuah terong berwarna ungu.

“Awas kalau kalian ngintip!! Terserah kalian mau tetap di sini atau pergi, yang jelas memek gua gatel banget.”

“Bu Yasinta!!” Bu Sukma merasa kian jengah.

Namun wanita yang ditegurnya tidak peduli, ia langsung menuju kamarku setengah terhuyung.

Setelah tubuhnya menghilang, aku dan Bu Sukma kembali berpandangan. Nampak sekali kalau ia merasa canggung dan tidak nyaman.

Aku yang merasa mendapat peluang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Kukecup kilat pipi Bu Sukma. Ia mendelik. Tangannya terulur mendorong pipiku, namun kurasakan lebih berupa elusan. Aku merunduk untuk kembali mencium, namun kali ini tangannya benar-benar menahan.

Ia langsung berdiri sambil tersenyum malu, dan membereskan meja makan. Aku hanya bisa menghela nafas. Aku ikut berdiri dan memasukan sisa makanan ke dalam kulkas, sedangkan Bu Sukma mencuci wajan dan piring-piring kotor. Setelah mengelap meja, aku membantunya. Ia menyabuni, aku membilas. Tanpa kata, namun lirikan-lirikan kami berbicara.

Di tengah kemesraan diam kami, terdengar desahan-desahan halus Bu Yasinta dari dalam kamarku. Rupanya ia tidak sempat menutup pintu kamar. Bu Sukma tediam dan menatapku, wajahnya kembali memerah.

“Biarkan saja.” ujarku.

Aku dan Bu Sukma menyelesaikan pekerjaan, diringi desahan erotis dari dalam kamar.

Setelah pekerjaan kami selesai, aku dan Bu Sukma duduk bersisian di atas sofa. Tanpa kata. Sepertinya pikirannya sedang berkecamuk, terbawa imajinasi oleh desahan dan erangan Bu Yasinta.

Aku sadar bahwa benih-benih sayang ini sudah tumbuh di dalam hati masing-masing. Aku akan sukarela membelainya dan memberi kepuasan, tetapi aku juga menghormati statusnya. Inginku adalah kami bermesra tanpa bimbang dan paksaan.

Kuraih tangan Bu Sukma dan menariknya menuju balkon. Kulirik kamar sebelah, dari sela tirai nampak lampu kamar Tea masih menyala. Sementara di hadapan kami lampu-lampu malam bersinar indah, memberi efek keemasan pada gedung-gedung bangunan. Langit juga nampak bersih meski tak terlihat bintang.

Bu Sukma nampak begitu menikmati suasana malam yang sunyi namun syahdu. Tangannya memegang pagar besi dengan pandangan jauh ke depan. Rambutnya berkibar diterpa sepoi angin, helaian rambut pada wajahnya ia biarkan.

Aku menghembuskan nafas halus mengaguminya. Wajahnya terlihat sangat keibuan, anggun dan gerak-geriknya lembut. Paras cantik ovalnya nampak memancarkan aura keemasan karena sorot lampu, anting emas menjadi ornamen manis yang membuatnya terlihat semakin memesona.

Ada lipatan-lipatan kecil pada lehernya, menggaris indah dan seksi. Dadanya membusung. Di bagian bawah, ujung roknya bekibar seolah angin sedang mempermainkannya. Menggoda naluri kelelakianku.

“Apah?” Bu Sukma sadar sedang kuperhatikan, tapi tak sedikit pun menengok.

“Cantik.” aku tidak sedang menggoda, tapi jujur mengatakannya.

“Makasih.” ia tersenyum.

Aku gemas. Tangan kiriku terulur, melingkari pinggang dari belakang. Ia melirik sedikit, dan tetap diam pada posisinya. Pemandangan malam yang syahdu, dan juga erangan-erangan Bu Yasinta yang samar terdengar membuat aku dan Bu Sukma terbuai. Terbawa suasana.

Kueratkan pelukan, dan ia malah menyandarkan kepala pada pundakku. Tanganku pindah pada puhu lengannya, kuusap lembut. Kukecup kepalanya, dan ia memejamkan mata. Tangannya terasa sedikit ragu, namun perlahan tapi pasti melingkar pada pinggangku. Kukecup kembali kepalanya, kali ini lebih lama. Aku seakan mencurahkan apa yang kurasa, sekaligus menghirup aroma rambutnya.

Aku ingin lebih. Kuubah posisi dan menempatkan diri di belakang tubuhnya, kupeluk tubuhnya dengan kedua tangan tepat di bawah payudara. Gundukan besar itu terangkat karena tertahan tenganku. Bu Sukma sama sekali tidak menolak, ia malah menumpukan berat badannya, bersandar padaku. Tangannya mengusapi lenganku.

Kukecup pipinya, lalu kutumpangkan daguku. Menumpang di atas pundak, pipiku melekat pada lehernya. Bu Sukma menggelinjang halus, pinggul besarnya sedikit terdorong ke belakang.

Mesra ini tanpa kata. Hanya sentuhan-sentuhan halus yang menjadi bahasa. Kami berdua sudah tidak lagi fokus pada erangan Bu Yasinta yang nampaknya sudah mengalami orgasme pertamanya. Khusyuk meresapi setiap sentuhan, terbuai rasa yang tiba-tiba ada.

Kukecupi pundak dan leher bawahnya, kurasankan ia meremas lenganku. Nafasku mulai hangat terdorong gairah. Kukecup juntaian antingnya, lalu pada belakang telinga. Bu Sukma menggelinjang dan mencoba menghindar.

Kubalikan tubuhnya dan kami berhadapan. Saling pandang. Sorot matanya nampak redup dan sayu. Sangat memesona dan menggoda. Telapak tanganku meraih pinggang dari sisi yang berbeda. Ia malah melingkari leherku. Wajah kami begitu dekat, nafas hangat saling beradu.

Aku tidak ingin merusak suasana dengan mengagumi kecantikannya berupa kata-kata. Biarlah bahasa tubuh yang berbicara. Kukecup keningnya. Cukup lama. Kecupanku pindah pada ujung hidungnya yang tidak terlalu mancung. Kening kami saling menempel.

Bu Sukma menjinjit sambil membuka sedikit bibir. Wajah kami miring berlawanan arah. Mimpi ini menjadi nyata kembali ketika bibir kami bersentuhan. Menempel tipis sesaat, diam, saling tatap dekat.

Cuuup!! Aku menekan, ia membalas. Syahdu kami saling mengecup, kukulum bibir bawahnya yang tebal. Ia gelisah dan menghisap bibir atasku.

Gelayutan tangannya pada leherku membuat wajah kami semakin rapat. Kuluman pun berubah menjadi lumatan basah. Lama dan lama… semakin dalam. Ia menggelinjang ketika ujung lidah kami bersentuhan, saling menggelitik.

“Shhhs…. Alle…” ia mengambil nafas.

Kulumat kembali, kali ini lidah kami bukan lagi menggelitik, tapi saling menyapu. Membelit dan menjelajahi dinding-dinding rongga mulut. Ciuman kami semakin basah, tubuhnya kian gelisah. Tanganku meremas.

Tanpa melepas ciuman, kubimbing tubuh montok Bu Sukma ke dalam ruangan. Gerakan kami lembut dan pelan seakan sedang berdansa, sementara mulut terus bertautan, dan bibir berpagutan.

“Aaah… sssshhh… aaah… kontol uuuuh….” erangan Bu Yasinta dari dalam kamar ikut memanaskan suasana antara aku dan Bu Sukma.

Wanitaku seakan terbakar gairah yang tak terkata. Ciumannya semakin liar dan tak beraturan. Nafsu sudah menguasai.

Sengaja aku tidak langsung merebahkannya di atas sofa. Tanpa melepas ciuman, tanganku mulai menggerayangi pahanya yang terasa halus. Tanganku terus menjelajah seraya mendorong roknya ke atas. Bu Sukma semakin gelisah.

Ciuman kami terlepas, dan dengan serba terburu kuloloskan penutup tubuhnya melalui kepala. Ia membantu dengan mengangkat tangan.

Mataku nanar, penisku langsung berkedut keras. Tubuh polos Bu Sukma terpajang, kuning langsat dan tanpa noda.

Celana dalam hitam tercetak ketat dengan pusat selangkangan yang menggelembung. Perutnya sedikit berlemak, namun tidak mengurangi keseksiannya. Payudaranya memang besar, bagian atasnya menyebul menggairahkan, terbungkus beha yang juga berwarna hitam.

Kulempar dasternya, dan Bu Sukma langsung memelukku erat. Ia seolah malu mataku menjelajahi lekuk tubuhnya. Kurebahkan dan kutindih. Ciuman kami kembali panas. Kami masyuk bercumbu diiringi musik erotis berupa lenguhan-lenguhan dan erangan Bu Yasinta. Entah sudah berapa kali ia orgasme, setahuku ia tidak pernah sebentar ketika mengobel lubang nikmatnya.

Kini bukan hanya mulut kami yang tak puasanya saling melumat, tetapi tangan masing-masing sudah saling menjelajah. Mengusap dan meremas. Desahan-desahan halus Bu Sukma menjadi melodi lembut yang membuat kami kian kusyuk.

Perlahan aku melepas cumbuan dan tanganku menari lincah membuka kaitan behanya. Aku tercekat. Keindahan sempurna. Seorang wanita paruh baya dengan kematangan yang tergurat di wajahnya. Rambut yang sedikit acak-acakkan. Lipatan indah di lehernya. Bahu yang lebar. Dada yang menggunung sekal. Perut yang rata. Sungguh gurat matang keibuannya terpancar, kesempurnaan wanita dewasa yang telah diterpa pengalaman hidup, sekaligas gerak binal tubuhnya yang sempurna. Ia terbaring dengan hanya menyisakan celana dalam. Kedua payudaranya menggunung.

Bu Sukma menangkupkan tangannya pada pucuk gunung kembarnya, seakan malu mempertontonkan payudaranya yang sudah tanpa penutup. Tapi aku tetap bisa menikmatinya, meski putingnya tak terlihat. Besar dan masih kenyal, urat-urat kebiruan terlihat kontras dengan warna kulitnya.

Dengan resah karena terbakar gairah, kulepaskan kaosku. Kutanggalkan celana panjangku. Penisku menggelembung, dan Bu Sukma menggigit bibir melihatnya.

Aku ingin sejenak menggodanya. Kutarik karet celana dalamku dan menunduk seolah mengintip isinya. Kudengar Bu Sukma menghela nafas, gerah, resah tak sabar menanti. Perlahan kepala penisku menyembul, batangnya terpamer, seiring melorotnya celana dalam.

Bu Sukma yang anggun, berubah nakal, ia sendiri langsung duduk dan melepaskan celana dalamnya sendiri. Payudaranya bergelantungan.

Bugil! Itulah keadaan kami sekarang. Mata kami masih sama-sama terbelalak. Saling mengagumi, saling mengekspos nakal, saling mengundang.

Cepat kutempatkan tubuhku di atasnya. Penyatuan yang sempurna. Dia berpinggul besar, dan aku berdada bidang. Kali ini bibir kami langsung saling melumat tanpa basa-basi. Kedua payudaranya mengganjal lembab karena jentik keringat. Kemaluanku melintang vertikal di atas vaginanya. Kugeser kepalaku mencium kedua telinganya bergantian; kugesek kemaluanku. Dengan nafas yang semakin berpacu kuciumi lehernya, turun ke bawah, pada kedua payudaranya. Namun kubiarkan putingnya… aku lebih ingin membenamkan wajahku di belahan itu. Aku diam sejenak di sana dan terasa tangannya mengelus rambutku. Terasa tenteram aku berada di sana, meski nafasku harus tersengal.

Setelah merasa cukup, kuangkat wajahku dan kukecup-kecup payudara berputing kehitaman itu. Kukecup-kecup dindingnya yang kenyal dan… haaap.. kucaplok puting kirinya yang menegang. “Aaaah…” Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar erangan kecilnya. Kusedot dan kuhisap bergantian.. kujilat dan kuremas. Rambutku dijambak.

Aku yang punya mainan baru menjadi asik dibuatnya. Berlama-lama aku berada di sana. Kemudian terasa ada tarikan kuat di rambutku. Aku pun mendongak memandangnya… tatapannya syahdu dan berbinar nafsu. Dadanya tersengal.

Puas dengan payudaranya, aku merambat turun, menciumi setiap inchi kulit perutnya. Kujilati lipatan-lipatan kecil bekas timbunan lemak pada perutnya. Sementara tanganku tetap ke atas, meremas payudara besarnya.

Tubuh Bu Sukma gelisah tak bisa diam, meskipun mulutnya terkunci tak ada lagi erangan. Aku malah merasakan sensasi yang berbeda. Aku menjelajahi tubuh Bu Sukma, tetapi Bu Yasinta yang mengerang-erang. Puas dengan wilayah perut dan menjilati lubang pusar, aku semakin ke bawah. Kedua paha Bu Sukma merenggang.

Aku diam sesaat untuk mengatur nafas. Pandanganku nanar. Kemaluan Bu Sukma terlihat begitu indah. Bibinya tembem dan tebal, dan saling menempel rapat. Ada rembesan basah pada ujungnya. Bagian atas bermahkotakan bulu-bulu halus yang tertata rapi. Halus dan lurus, tidak keriting. Ujung-ujungnya lancip membentuk gunungan segitiga.

Aku merunduk, dan aroma khas vagina langsung membuatku limbung. Nafasku menderu.

Kuusap bulu-bulu vagina Bu Sukma dengan telapak tangan. Ia menggelinjang. Kusisir dengan jari-jariku. Kusuwir ke kiri dan ke kanan, kurapikan kembali dengan telapak tangan searah vertikal. Kulakukan berulang-ulang sehingga Bu Sukma mulai kelejotan.

Kulihat bibir vagina Bu Sukma berkedut dan nampak kian lembab. Klitorisnya mencuat, basah dan mengkilat. Belum saatnya…

Bu Sukma sendiri semakin gelisah menggelinjang. Kadang kakinya membujur kaku, kadang mengangkang, sekal-kali menendang-nendang kecil. Akhirnya satu kakinya menjuntai, menjejak lantai. Pinggulnya terangkat seakan memintaku segera mencecap surga miliknya.

Aku mendongak. Matanya sayu penuh damba, rasa nikmat ingin ia dapatkan segera. Kedua tangannya mencengkeram tepian sofa.

Kuhembuskan nafas panjang pada bulu-bulu vagina Bu Sukma. Kulihat pori-porinya semakin mekar. Ia merinding.

Kalau tadi tanganku yang menyuwir, kini lidahku yang bekerja. Lidahku terjulur menyapu bulu-bulu halusnya ke atas. Kurasakan ia meraih kepalaku, rambutku dijambak.

Lidahku terus menyapu ke atas, merapikan basah. Kusibak ke sambing kiri dan kanan dengan jemari, kurapikan kembali dengan lidahku. Kulakukan berulang..

Pada titik tertentu, Bu Sukma sudah tidak sabar. Kakinya kian mengangkang, dan tangannya menghentak mendorong kepalaku.

“Mmmmhhh…” ia melenguh tertahan ketika lidahku mendarat pada klitorisnya.

“Aaahhh kontoool…” pekik Bu Yasinta dari dalam kamar.

Tubuh atas Bu Sukma terangkat untuk melihat apa yang sedang kulakukan, dan langsung ambruk kembali ketika aku menghisap klitorisnya. Otot-otot pahanya mengejang, jambakannya semakin keras.

Ciumanku turun kebawah. Kubuka lipatan bibir tebal vaginanya, dan aku langsung disuguhi dinding dalam yang merah dan basah. Kubuka lebih lebar, lubangnya terpajang, berkedut sedikit menciut keriput.

Lidahku terjulur, kucucuk, kujilat, kusapu, kuhisap.

“Ahh.. aah.. aaah.. mmmhh… sssh… uuhhh iyah ahh.. ooh…” erangan erotis semakin memenuhi genderang telingaku. Bukan suara Bu Sukma, melainkan suara Bu Yasinta. Mirip seperti toa, Bu Sukma hanya mendesah dalam hati, namun berkumandangnya di dalam kamar.

Tiba-tiba pinggul Bu Sukma terangkat tinggi, bersamaan dengan itu keluar gumpalan putih dan kental. Langsung kuhisap dan kutelan, dan Bu Sukma ambruk kembali tanpa suara. Kakinya berkejat-kejat, lemas setelahnya. Orgasme pertama ia dapatkan.

Kuusap bibirku, lalu merangkak naik, menindih tubuh seksi setengah baya di bawahku. Kemaluan kami menempel, penisku membelah lipatan bibir vaginanya. Lembab dan basah.

Bu Sukma hanya meringis tanpa suara. Matanya sayu penuh kepuasan.

Aku ingin membuatnya merasa tersanjung, menjadi seorang hawa yang pantas disayang dan diperlakukan secara lembut. Aku sudah bisa menyimpulkan bahwa ia bukan tipe wanita yang gaduh saat bercinta, namun bahasa dan gerak tubuhnya sudah mengungkapkan semuanya.

Kuusap tepian rambutnya yang penuh jentik keringat, lalu kukecup keningnya. Bu Sukma menatap. Rona puas dan bahagia tergambar, sekaligus bersemu malu. Sungguh menggemaskan; juga menggairahkan.

Kukecupi lembut. Mulai dari kening, ujung hidung, juga kelopak mata. Ia mendekapku dan mengusapi punggungku.

Sekali lagi kubelai rambutnya, kusisipkan helaian pinggirnya di belakang telinga. Binar bahagia semakin tergambar.

Kecupan-kecupan lembut akhirnya kami lakukan pada bibir, tak lama berselang langsung berlanjut lumatan panjang.

Tenaga Bu Sukma pulih, birahinya bangkit kembali. Ia mendorongku supaya duduk bersandar. Diraihnya penisku yang tegak keras menjulang. Ia bersimpuh di atas lantai sambil mengocok. Ia mendongak nakal, aku meringis menunggu momen menegangkan.

Bu sukma menarik rambutnya ke belakang dan ia pegang tanpa melepaskan. Tangan kirinya masih mengocok. Ia pun merunduk.

“Ssssh…” aku mendesis ketika ujung lidah Bu Sukma menyentuh kepala penisku. Menyapu dan menggelitik. Aku menggelinjang.

Ia tidak langsung mengoral, melainkan menyapu seluruh batangku dengan lidahnya. Setiap urat ia telusuri, setiap inci ia kecupi.

“Mmmh…” aku kembali menggumam tertahan, yang kutunggu akhirnya kudapatkan.

Ia mengoralku. Kepala penisku menyapu dinding-dinding mulutnya, sedangkan lidahnya lincah menyapu batangnya. Ia cukup lihai, dan nampak sudah terbiasa melakukan hal ini pada suaminya.

Tubuhku terasa panas, jentik keringat mulai menyembul. Kutarik bahu Bu Sukma, dan ia duduk mengangkangi.

Ia memeluk leherku, wajahku terbenam di antara payudaranya. Kuhisap dan bahkan kucupang, Bu Sukma menggelinjang, mendongak ke belakang.

Tak lama kemudian, Bu Sukma mengangkat pinggulnya sambil merunduk, kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa. Kuarahkan penisku pada lubang nikmatnya.

Cleeep.

Tubuh kami sama-sama bergetar. Bu Sukma malah menggigit pundakku.

Kepala penisku terasa ngilu-nikmat dihisap gerbang vaginanya.

Cleeep.. cleeep… blesss…

Bu Sukma melenguh. Kini ia mendudukiku dengan penis sudah amblas sepenuhnya. Kusentuh dan kuremas lipatan pinggulnya yang erasa licin karena keringat.

Kami terdiam kaku, memberi waktu dan saling menyesuaikan diri. Ia mencumbuku, aku membalas setengah meringis. Seluruh batang penisku diremas dinding-dinding basah, sedangkan kepalanya disambut kedutan gerbang rahimnya.

“Enak banget.” bisiknya.

Mendengarnya aku langsung menggoyang, menyodok dari bawah. Sisanya Bu Sukma yang naik-turun. Nikmatnya tak terkata. Sekali-kali ia berhenti memompa, berganti memutar pinggul sambil bercumbu panas. Penisku bagai dipelintir.

Ia tidak mengerang, tidak menjerit. Hanya desisan kepedasan yang sekali-kali terdengar. Sementara dari dalam kamar sudah tidak ada lagi suara, nampaknya Bu Yasinta sudah tertidur lemas.

Bu Sukma tidak bertahan lama. Ia tidak bisa mengeluarkan energi banyak karena bergoyang sambil merasakan kenikmatan. Ia hendak membuang tubuhnya berbaring di atas sofa, tapi kutahan. Ia mengernyit protes dan heran. Binar birahinya sangat jelas terpancar.

Kuposisikan Bu Sukma supaya bertumpu lutut di atas sofa, dada dan tangannya bertumpu sadaran. Awalnya ia nampak bingung, namun tetap menuruti mauku. Aku berdiri di belakangnya. Kini aku disuguhi bongkahan pinggulnya yang lebar. Vaginanya menyempil, bibirnya menggelambir.

Kutepuk pinggulnya hingga memerah; lalu kuremas. Ia menengok belakang, sorot matanya seolah mengiba minta segera dipuaskan. Aku merunduk untuk mengecup bibirnya, kedua tanganku meremas payudaranya. Puas dengan itu, aku berdiri tegak kembali, kuarahkan penisku.

Bu Sukma masih menengok dengan mulut terbuka. Sangat seksi dan menggairahkan. Desahan halus pun terdengar, seiring terobosan batang penisku. Kini aku yang memompa dan bergoyang; ia nampak sangat menikmati.

“Alle..” desisnya. Setelah itu, Bu Sukma membekap mulutnya sendiri seolah takut bersuara.

Aku semakin mempercepat sodokan, meski diremas dinding-dinding basah namun penisku terasa panas. Membengkak seiring desakan sperma.

Bu Sukma menyambut kalap, rasa nikmatnya kian memuncak. Bahkan lututnya bergetar, tak kuat lagi menahan sodokan.

Cepat-cepat aku mencabut penisku dan memintanya telentang. Tubuhnya mengkilat karena keringat, aku kalap terdorong birahi yang kian tinggi.

Satu kaki Bu Sukma terjuntai menjejak lantai, satu lagi kuangkat dan kusandarkan pada pundakku. Nikmat ini datang kembali. Penisku kembali menerobos masuk. Langsung memompa dan bergoyang liar.

Bu Sukma menggingit bibir, tangannya meremas apapun yang bisa ia raih. Matanya terpejam, sekali-kali terbuka mendelik.

Vaginanya semakin terasa basah. Remasan dan hisapannya semakin kuat.

“Alle…” rintihnya.

Aku tahu ia sudah diambang orgasme, pun pula aku. Kuturunkan kakinya dari pundakku, dan kukaitkan pada sandaran sofa sehingga ia semakin mengangkang. Kini aku memompa menindihnya. Aku mencabut, ia bergoyang; aku menekan, ia menyambut.

“Ssshh.. sssh… ayo…” ia mengiba.

Tubuhnya mulai mengejang. Kedua tangannya meremas pinggulku kuat-kuat. Ia menjadi liar dan berkelejotan. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhnya dan menggigit pundakku. Perih. Terasa cairan hangat berdesir di bawah sana.

Hah..hah..hah… nafasnya tersengal.

Aku terus bergoyang. Berusaha meraih nikmat bersamaan. Penisku pun mendesak hendak mengeluarkan laharnya. Bu Sukma tahu itu. Ia mempercepat goyangannya, demikian juga aku. Kami mengerang bersamaan seiring puncak kepuasan yang kami capai bersama. Cairan nikmat kami saling menyembur dan menyambut di dalam vaginanya, lalu meleleh.

Tubuhku ambruk di atasnya. Tidak ada lagi aku ataupun dia. Tiada lagi dunia. Semua tenang. Damai. Aku berada di dunia kenikmatan yang menenteramkan.

Lima menit kemudian ia menggeliat, aku mengangkat tubuh berpangku sikut. Kami bertatapan sendu, binar kepuasan terpancar, senyumnya terulas bersemu malu. Kuangkat pinggulku, tapi ia menahan dengan melilitkan kedua kaki. Kami sama-sama meringis, penisku urung terlepas. Perlahan menciut di dalam vaginanya.

Kami berciuman. Sambil saling membelai wajah, mengusap keringat yang basah.

Ia berbisik mesra, dan aku mengerti. Aku menyimpulkan bahwa ia jarang mendapat kepuasan dari suaminya, karena mereka tidak mengenal berbagai gaya dalam bercinta. Ini adalah pengalaman pertamanya.

Bu Sukma pun memejamkan mata. Setengah tertidur melepas lelah. Penisku pun terlepas, namun aku masih enggan berpisah. Kupeluk tubuh polosnya, dan ia melenguh manja.

Tak bosannya aku membelai, tak jemunya aku memandang wajah tenangnya yang terpejam. Dan…

Kulihat Bu Yasinta keluar kamar dengan pakaian serampangan. Ia muncul dengan baju tanpa beha. Payudara dan putingnya menerawang. Sedangkan bagian bawah hanya memakai celana dalam. Aku tercekat, ia kaget. Matanya terbelalak.

Aku kikuk. Kutatap dua wanita ini bergantian. Kulihat Bu Sukma masih terpejam, mungkin sudah tertidur. Nafasnya terdengar halus dan senyumnya masih tersungging.

Bu Yasinta bisa menguasai keadaan lebih dahulu. Ia memberi kode supaya aku tidak membangunkan Bu Sukma. Ia berjingkat perlahan tanpa mengalihkan padangan. Ada kerling dan senyum misterius yang tersungging. Ia pun mengambil botol minum dan kembali ke dalam kamar.

Aku menghela nafas. Tegang dan lega bercampur menjadi satu. Tapi bahwa Bu Sukma tidak tahu, itu sudah cukup bagiku.

Tubuh Bu Sukma adalah candu. Aku malah kembali bergairah. Kukecupi dan kulumat bibirnya, tanganku menelusup memelintir putingnya. Wanitaku menggelinjang dan membuka mata. Kami berpandangan tanpa kata, dan kami saling tahu, kenikmatan ini harus diulang.

Cumbuan panas kami lakukan, dan pergumulan kami mulai kembali. Lelahku hilang, gairahku malah berlipat-lipat. Kenapa? Karena kusadar, tanpa Bu Sukma tahu, Bu Yasinta mengintip kami. Gairah wanita itu sepertinya juga ikut terbakar, dan ia masturbasi sambil menonton kami. Untung ia bisa meredam suara.

Aku dan Bu Sukma terus berpacu dengan berbagai gaya. Orgasme demi orgasme ia dapatkan. Dan kami terhempas lemah di akhir ejakulasiku. Kami hanya punya sisa tenaga untuk mengenakan pakaian, sisanya langsung tertidur berpelukan.



Bersambung…
Karya luarbiasa
 
ENAM



Dasar Bu Yasinta. Inginku adalah ia menyimpan rahasia dan pura-pura tidak tahu. Tapi ia malah menginterogasi, membuat Bu Sukma malu. Sebetulnya Bu Yasinta tidak menghakimi, tetapi ingin kami saling terbuka. Setengah terpaksa karena malu aibnya ketahuan, Bu Sukma mengakui, dengan syarat ini akan menjadi rahasia kami bertiga. Kami setuju. Kisah ini hanyalah milik kami bertiga yang akan dibawa sampai mati.

Kupret. Bu Yasinta tertawa di akhir kejujuran kami. Ia mengaku ini menjadi rencananya. Ia sengaja masturbasi ketika ada kami agar merangsang birahi. Alasannya satu, ia prihatin pada kehidupan seksual Bu Sukma, dan ia ingin sahabatnya merasakan kepuasan. Dalam hati aku berkata: tanpa dipancing pun sepertinya aku dan Bu Sukma akan tidur bersama juga.

Di luar itu, bohong kalau Bu Sukma tidak merasa bersalah. Ia merasa telah berkhianat dan menyesali perbuatan kami. Namun nikmat itu menjadi jerat, kami melakukannya lagi dan lagi. Maka hari-hari berikutnya, hubunganku dengan Bu Sukma tak ada bedanya bagai suami istri. Kali ini dia yang lebih sering berada di apartemenku, bukan lagi Bu Yasinta. Tak jarang kami juga tidur berdua, meski tanpa bercinta.

Hal tergila pernah kami lakukan. Ketika aku dan Bu Sukma sedang bercinta, Bu Yasinta datang. Rupanya ia membawa kunci cadangan yang ia temukan pada laci mejaku. Ia memergoki kami. Bu Sukma tentu saja panik, namun saat itu sedang menuju puncak kenikmatan. Kami pun orgasme di bawah tontonan Bu Yasinta.

Tentu saja Bu Sukma malu walaupun kami sudah saling tahu. Sehari kemudian, Bu Sukma sudah terbiasa, tak malu bermesra di hadapan Bu Yasinta. Kami kembali sering bertiga, aku dan Bu Sukma tak lagi malu pamer kemesraan di depan Bu Yasinta. Puncak kegilaan itu, aku dan Bu Sukma bercinta, dan Bu Yasinta terang-terangan menonton. Bu Sukma awalnya tidak mau, tapi akal sehat kalah oleh nafsu. Aku dan dia bersenggama, Bu Yasinta menonton sambil memainkan dildonya.

Sebetulnya aku sempat berharap bahwa Bu Yasinta juga mau tidur denganku, apalagi main bertiga. Namun ia telalu berpegang teguh untuk tidak tidur dengan laki-laki lain. Dunia kami terbalik, yang setia berkhianat; yang dikhianati berupaya setia.

Bagaimana dengan Tea? Ia masih tidak mau kutemui, dan aku berusaha tidak peduli. Hati dan pikirku teralihkan oleh kehadiran Bu Sukma. Meski aku tidak memungkiri, jauh di dalam lubuk hatiku, ada kerinduan untuk melihatnya. Yeah walaupun itu sekedar melihat dari jauh.

Hari keempat belas tiba. Esok hari Tea akan melakukan test kedua. Kudengar Tea cukup tegang menghadapinya, tapi Bu Sukma dan Bu Yasinta selalu setia menemani dan menghibur, meskipun sebatas sambungan video call.

Hari ini Bu Sukma terlihat murung, wajahnya banyak ditekuk. Kami duduk di atas sofa sambil menurunkan isi perut seusai makan malam. Bu Yasinta sudah pergi ke kamarnya karena masih harus membereskan beberapa pekerjaan. Sebetulnya aku dan Bu Sukma sambil menonton acara komedi di televisi, tapi hanya aku yang tertawa karena wanitaku tidak mengerti.

Kuelus kepalanya yang sedang berbaring di atas pangkuanku. Kedua alisnya kutelusuri dengan ibu jari.

“Kenapa murung?” tanyaku.

Ia menatapku, sorot matanya sedih dan sendu.

“Takut.” singkatnya.

Kuusap ujung bibirnya. Ia memiringkan badan merangkul pinggangku, wajahnya terbenam pada perutku. Daster sutranya terangkat memamerkan hampir seluruh pahanya. Tanganku tak tahan, kuusap bongkahan pinggulnya.

Ia menggelinjang dan kembali ke posisi semula. Matanya mendelik manja, meski sedih itu tetap ada. Ia pun mengungkapkan dilema hatinya. Ia takut Tea masih positif, itu berarti mereka harus menunggu empat belas hari lagi. Ia sudah rindu pada keluarganya. Tapi ia juga takut kalau Tea dinyatakan negatif, itu berarti kami harus berpisah. Yeah.. cepat atau lambat kami memang harus berpisah, dan itu akan meninggalkan lubang sepi, mungkin juga rasa bersalah. Atau bahkan selalu rindu? Entahlah!

Aku tak menanggapi keresahannya, tak punya kata untuk menanggapi. Sejujurnya aku juga tidak mau berpisah, tapi kupendam agar Bu Sukma tidak merasa semakin terbebani.

“Kita masih bisa ketemu di Jakarta, kan?” tanyanya.
“Itu pasti. Aku akan mengabari ibu kalau pulang nanti.” tegasku.
“Masih bisa seperti ini?”

Aku menghela nafas. Di pihakku tentu saja aku masih ingin menggaulinya lagi dan lagi, tapi apakah Bu Sukma sendiri masih mau? Ia telah terbawa suasana di negeri ini, tetapi jika sudah berada di tengah keluarga, aku tidak yakin ia masih mau mengulanginya kembali.

“Mungkin bisa, tapi mungkin juga tidak. Lingkungan dan situasi bisa saja mengubah.” ujarku.

Ia mengangguk lemah.

“Apapun itu, kenangan kita akan selalu kusimpan, dan aku tidak menyesal.” lanjutku.

Ia menatapku lekat, kulempar seulas senyum.

“Kamu hampir seumur anak sulungku.” ia mencolek hidungku. Ia memang lebih tua daripada Bu Yasinta.
“Rasa sayang itu tidak pernah menua.”

Ia menjulurkan lidah layaknya anak gadis.

“Jangan sedih.” sambil menepuk-nepuk lembut pipinya yang agak chubby.

Ia manyun. Langsung kuangkat kepalanya dan kusosor mulutnya. Kami saling melumat sesaat.

“Daripada sedih, mendingan kita membuat kenangan yang tak terlupakan yuk. Kita bertualang.” aku mulai berpikir usil.
“Caranya?”
“Kita jalan-jalan ke taman.”
“Ayooo.” ia bangkit bersemangat.

“Tapi bukan jalan-jalan biasa agar berkesan.” ujarku, tatapannya berubah heran.

Aku menyampaikan ide nakalku. Aku ingin mengajak jalan-jalan tanpa ia mengenakan dalaman. Tujuannya adalah bercinta di taman. Tentu saja Bu Sukma ngambek dan menolak mentah-mentah.

“Kita rayakan kebebasan di sini, yang tak mungkin bisa kita lakukan di tanah air. Kadang sisi liar itu perlu diberi ruang. Kita ekspresikan.” aku masih terus merayu.

Bu Sukma tetap menolak, dan sebetulnya aku juga tidak terlalu berharap. Kucumbu bibirnya agar tidak marah lagi. Ia membalas dan mulai terhanyut.

“Mmmmh…” ia melenguh sambil melepaskan cumbuan.

“Ayo.” ujarnya sambil berdiri.
“Heh?”
“Ke taman hihi…”
“Seriusan?” aku masih belum percaya.

Ia mengangguk.

“Wow…” aku gembira.

Bu Sukma langsung melepaskan celana dalamnya di hadapanku, matanya mengerling nakal. Ia seolah sengaja memamerkan vaginanya dengan sedikit mengangkang. Aku terkesiap, gairahku seketika bangkit. Tanganku terulur tapi ia berhasil menghindar dan menurunkan kembali dasternya. Kini selangkangannya nampak membayang hitam oleh bulu-bulu kemaluannya.

Dengan cekatan ia juga melepaskan behanya tanpa melepaskan daster. Areola dan putingnya tercetak. Wanita alim bertingkah nakal memang sangat memberi sensasi gairah luar biasa. Penisku langsung tegang.

Aku langsung masuk kamar untuk mengambil sweater, dan kupakaikan pada tubuhnya. Tak seorang pun akan menyangka bahwa di balik penutup tubuhnya sudah tidak ada lagi dalaman. Aku sendiri hanya mengenakan kaos dan celana training tanpa celana dalam.

“Hah.. hah.. fiuuuh…” Bu Sukma nampak grogi sekaligus tertantang melakukan sesuatu yang gila seperti ini.

“Yakin?” aku masih memastikan.
“Hmmm..? Ayoo!!”

Ia menarik tanganku keluar kamar. Meski begitu wajahnya terlihat tegang, dan nafasnya tersengal. Adrenalinnya mulai terpacu. Tangannya selalu memegang ujung sweater dan menarik ke bawah untuk menutupi selangkangannya. Padahal tanpa begitu pun tidak akan terlihat.

Keluar dari pintu di lantai dasar, Bu Sukma berhenti ragu. Wajahnya celingukan ke kiri dan kanan, dan memang masih terlihat beberapa orang yang sedang mengajak jalan-jalan anjing peliharaan mereka. Ia nampak bimbang.

Sebelum ia berubah pikiran, langsung kutarik tangannya menyeberangi jalan. Ia cekikikan antara takut dan tertantang.

Aku dan Bu Sukma duduk pada sebuah bangku dengan pencahayaan temaram. Meski begitu sekali-kali orang berlalu-lalang. Ada yang lari, atau sekedar jalan-jalan. Beberapa juga kukenal dan kami saling sapa walau hanya sebentar.

“Kok ngos-ngosan?” godaku sambil mendudukannya di atas pangkuan.
“Ini gila, Le. Benar-benar gila.” ujarnya.

Ia memang sudah tidak risih bermesraan di tempat terbuka, kultur kebebasan cukup terasa, dan orang tidak ambil pusing dengan kehidupan pribadi orang lain. Tetapi bahwa kami akan mesum, itu memang sedikit nekat dan di luar nalar mereka. Biar bagaimana pun, warga di sini tidak pernah mesum di tempat umum. Ciuman memang biasa, tapi berupa ungkapan kasih sayang, bukan dorongan dari selangkangan.

Aku tidak mau terburu. Kubuat Bu Sukma merasa nyaman. Kami hanya berpelukan, sekali-kali bercumbu lembut dan saling membelai.

Kukecup anting emasnya dan ia menggelinjang manja, kukulum kuping bawahnya dan ia menggigit bibirnya menahan geli.

Kami kembali saling melumat bibir, menghisap lidah, dan berbagi liur. Bahasa tubuhnya mulai gelisah. Hawa nafsu dan bakaran birahi membuatnya terhanyut, kesadarannya bahwa sedang berada di tempat umum mulai memudar.

Ia merubah posisi duduk mengangkang di atas pangkuanku. Pahanya langsung terpamer karena dasternya terangkat, kain sutera lembut itu membungkus ketat kedua bongkahan pinggulnya.

Tanpa melepas lumatan, kulepas sweaternya, dan kusampirkan sekedar menutup bokongnya.

Kuremas kedua payudaranya. Ia mendongak ke belakang dengan tangan dilingkarkan pada leherku. Kukeluarkan salah satu gunungan seksinya dari lubang kerah yang lebar dan langsung kuhisap. Sekilas ia nampak celingukan untuk memastikan keadaan, begitu tidak ada penolakan langsung kuhisap puting dan pucuk gunungannya. Mulutku terasa penuh.

Birahi dan rasa takut Bu Sukma membuatnya cepat terbakar birahi, tidak seperti biasanya yang lebih senang diperlakukan lembut dan perlahan-lahan. Kali ini ia lebih binal, dan remasan kasarku seolah menyukakannya. Puas melumat dan menjilat payudara kanannya hingga basah, kulakukan pada payudara kirinya.

Bu Sukma mulai terengah, namun ia langsung mendorong kepalaku dan memeluk. Kulirik.. memang ada orang yang lewat. Dadanya kurasakan naik turun, detak jantungnya terasa cepat. Tanganku menyusup ke dalam sweater dan kuremas bokongnya. Dalam keadaan normal mungkin ia akan mendesah dan menggelinjang, tapi pelukannya kali ini kaku menahan getaran.

Begitu orang itu lewat, ia langsung menciumi wajahku dengan panas dan berpuncak dengan saling melumat. Tanganku semakin intens mengusap dan meremas sehingga ujung dasternya sudah melingkar di pinggang. Bagian bawahnya sudah telanjang.

Bu Sukma yang semula kukenal santun, kini menunjukan sisi primordialnya sebagai manusia. Ia lebih agresif. Tubuhnya menggelesor turun dan berjongkok di atas paving block. Setelah celingukan dan dirasa aman, ia mengeluarkan penisku dan langsung mengoral liar. Aku sungguh gelapapan, kuremas rambutnya sambil tetap berusaha mengamati sekitar. Hisapan-hisapannya kasar dan penuh nafsu, namun tetap lihai tanpa menggores kejantananku dengan giginya.

Aku sungguh kelabakan, Bu Sukma yang sekarang sangatlah berbeda. Bercinta di ruang terbuka membuat isi kepalanya dipenuhi fantasy tak beraturan. Ia seakan menemukan kembali sisi liarnya yang selama ini dipendam atas nama norma dan etika seorang perempuan.

Fatasyku sendiri semakin tidak terkawal, kuminta Bu Sukma mengeluarkan kedua payudaranya. Ia tidak mengerti mauku, tapi kemudian tersenyum nakal ketika kujepitkan penisku di antara gelayutan kenyalnya. Sisanya ia sendiri yang meremas payudaranya dan mengocok penisku. Nikmatnya tak terkata, aku tak henti meringis sambil mengacak-acak rambutnya.

Pertahananku hampir runtuh, dan aku tidak mau kalah. Aku tidak mau spermaku menyembur di luar, atau tertumpah di dalam mulutnya. Kami pasti akan berciuman dan aku tidak mau merasakan spermaku sendiri.

Kutarik tubuhnya dan kududukan di atas bangku dengan posisi mengangkang. Kini gantian aku yang berjongkok. Vagina Bu Sukma rupanya sudah banjir, padahal biasanya tidak semudah ini ia terangsang basah.

Suwiran pun kumulai, ritus kesenangan yang selalu kulakukan, yaitu memainkan bulu kemaluannya. Lidahku lincah menyapu, menyisir ke atas dan ke samping. Bu Sukma menempatkan kedua tangannya pada bibir bangku, pinggulnya terangkat minta vaginanya langsung dijilat.

Sebetulnya aku masih ingin menggoda, tetapi kuturuti maunya. Kukecup klitorisnya, Bu Sukma sudah tidak bisa menahan desahan. Ia mengerang kecil dan meringis. Bukan hanya itu, jariku langsung menerobos ke dalam liang senggamanya. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Biasanya hanya lidah, kali ini bersama jari.

Efeknya di luar dugaan, pinggul Bu Sukma menghentak-hentak ke atas.

“Aah.. aaah.. sshh.. mmmh…” ia mulai meracau pelan. Padahal setahuku ia tidak pernah berisik ketika bercinta; kali ini berbeda. Aku suka..!!

Kalau biasanya penisku yang dihisap dan diremas vaginanya, kini jemariku. Lidah dan jariku terus bekerja, memberinya kepuasan. Tentu saja karena ukuran jari lebih kecil, aku menjadi lebih bisa merasakan setiap lekuk apa yang ada di dalam. Selain mencucuk dan mengocok, juga bisa ditekuk dan menekan setiap dinding sensitifnya.

“Ahhh.. eeeuuuh… shhshhh uuh..” volume desahannya mulai tidak terkontrol. Sekali-kali tangannya meremas rambutku, kadang teramat keras.

Jariku menyentuh gundukan kecil dan lembut pada dinding atas lubang vaginanya. Kutekan-tekan cukup keras.

“Aaaaah…” Bu Sukma memekik mengagetkanku.

Tubuhnya menghentak-hentak tak terkendali, kakinya menendang sehingga aku nyaris terjengkang.

“Aaaahhh… bucaaat….” pekiknya lagi, dan…

Srrrr… srrrr… crot.. crooott… Bu Sukma squirt!

Ia terkencing-kencing menyembur leher dan dadaku. Aku terlalu terpesona oleh pemandangan di hadapanku; menghindar pun tidak.

Bu Sukma terkejat-kejat, seluruh badannya kaku seperti orang step, mirip kesurupan. Cukup lama ia mengucurkan deras squirtnya, lalu badannya miring dan berbaring di atas bangku. Tubuhnya bergetar keras dengan kedua telapak tangan mengepal.

Keadaan ini membuat kami lalai. Tiga orang pemuda yang lewat menonton kami, dan mereka terbengong-bengong. Aku yakin mereka tidak berniat mengintip atau menonton, tetapi juga tak bisa menghindar. Sikap shock mereka bukannya membuat mereka cepat berlalu, melainkan malah membuat terdiam menyaksikan.

Aku malah celingukan, bagai terpaku karena masih terkagum pada kelejotan Bu Sukma. Menutupi tubuhnya pun tidak. Bu Sukma sendiri seperti sadar kalau ada orang asing menyaksikan tubuhnya yang nyaris bugil, tapi ia sendiri tidak bisa mengusai rasa nikmat yang seumur-umur baru kali ini ia rasakan. Takut dan nikmat malah membuat stepnya semakin lama, dan squirtnya menyembur kembali.

Aku yang lebih dulu sadar. Aku bangkit dan menurunkan daster Bu Sukma agar vaginanya terlindung. Kini wanitaku sudah terkulai lemas, menggerakan tubuh pun tidak bisa.

“Bravo.. bravo…” ketiga pemuda itu malah bertepuk tangan.

Aku sebetulnya malu, Bu Sukma lebih lagi. Pujian dan apresiasi malah kami dapatkan dari ketiga pemuda itu, tentu saja Bu Sukma tidak paham bahasa mereka, tapi aku mengerti.

“Grazie.” ujarku, dan mereka pun melangkah pergi sambil tertawa.

Aku masih kentang, dan birahiku terbakar karena pemandangan menakjubkan tadi. Susah payah kubopong tubuhnya, menyeberangi rerumputan. Di bawah pohon yang lebih temaram, kubaringkan. Dan aku menggaulinya dengan penuh nafsu. Orgasme demi orgasme kami dapatkan, dan kami terkulai hingga lewat tengah malam. Berpelukan tanpa sehelai benang yang menutupi.


*

*

*


Kabar gembira itu datang. Sehari setelah dilakukan test kedua, hasilnya langsung kami terima. Tea dinyatakan negatif. Seharusnya Bu Sukma dan Bu Yasinta pun ditest ulang, namun kuyakinkan petugas bahwa mereka berdua tidak pernah keluar kamar selama empat belas hari ini. Mereka percaya. Surat keterangan yang menyatakan bahwa ketiganya bebas dari Covid19 pun didapatkan.

Kukabarkan hal ini kepada pihak kedutaan, dan mendapat sambutan gembira. Kabar buruknya adalah, besok lusa Jakarta akan menutup seluruh penerbangan dari dan ke luar negeri. Mereka bertiga panik, dan langsung mencari tiket kepulangan ke Jakarta. Beruntung.. kondisi pandemi membuat maskapai penerbangan tidak mendapatkan banyak penumpang, dan masih banyak kursi kosong bagi mereka. Tiga tiket kelas bisnis pun mereka dapatkan.

Ketiganya langsung berbagi kabar ke Jakarta. Mengontak keluarga dan para sahabat. Suasana gembira sangat jelas terpancar. Di pihakku, masih ada yang mengganjal, meskipun sudah berjumpa Tea dan kami berkumpul berempat, ia masih bersikap dingin padaku. Bicara pun hanya seperlunya. Aku berusaha mencairkan suasana, tapi hasilnya selalu sia-sia. Aku pun pasrah dan mungkin memang harus begini pada ujungnya.

Sore ini kami mengadakan syukuran berupa pesta kecil di apartemenku. Minuman dan makanan ringan kami beli, sedangkan menu masakan memanfaatkan yang masih ada di dalam kulkas. Kulkasku sudah penuh karena sisa barang-barang yang ada di kamar Tea dan kamar Bu Sukma-Bu Yasinta sudah dihibahkan semua.

“Le, kita bisa bicara sebentar?” Tea mendekatiku, sedangkan Bu Sukma dan Bu Yasinta sedang menyiapkan masakan.

“Eh… euu…” aku tergagap. Sebuah keajaiban gadis ini mau berbicara lagi denganku.

“Bu, saya bicara dulu dengan Alle ya.” ia tidak peduli pada sikapku, malah minta ijin pada Bu Sukma dan Bu Yasinta.

Bu Yasinta mengangguk dan tersenyum gembira, Bu Sukma juga sama, bedanya ada sedikit pancaran cemburu. Tanpa menunggu persetujuanku, Tea langsung menarik tanganku menuju balkon. Pintu pun ia tutup sehingga suara kami tidak bisa terdengar ke dalam.

“Ngomong apa, Tea?” aku pura-pura bodoh.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Hela nafas ia hembuskan, matanya memandang jauh ke depan. Kutatap wajah cantiknya yang kali ini lebih kurus, kedua pipinya juga nampak cekung. Dadaku berdesir, rasa ini kembali ada.

“Maaf.” ujar kami bersamaan.

Tea mengubah posisi berdirinya, kami berhadapan. Senyum kecut saling kami sunggingkan seusai mengucapkan kata yang sama.

“Kamu dulu.” ujarnya.
“Kan kamu yang ngajak aku ngomong duluan.”
“Cowok dululah.. jangan pengecut.” juteknya.

Aku tahu ia tidak sungguh-sungguh karena kemudian senyumnya kembali tersungging.

“Ya.. aku minta maaf atas kejadian malam itu.” aku mengalah.
“Udah itu aja?” selidiknya.
“Hmm… ya aku juga minta maaf jika selama kamu ada di sini, ada sikap atau tutur kataku yang lain yang tidak berkenan.”
“Udah?”

“…” bingung garuk-garuk kepala.

“Kenapa kamu menciumku?” pertanyaannya sudah tanpa tedeng aling-aling.
“Hmm.. karena.. karena malam itu aku terlalu terbawa suasana. Maaf…”
“Hanya karena itu?”

Haish!! Oke. Ia sendiri yang mendesak, dan aku tidak peduli kalau ia sudah punya pacar. Kuhirup nafas dalam-dalam dan kehembuskan panjang. Kutatap Tea yang juga sedang menatapku.

“Aku mengagumimu. Aku suka.. aku.. waktu itu aku merasa sayang.” sesak dadaku langsung merasa lega setelah mengungkapkannya.

Tea ikut menghembuskan nafas panjang, pandangannya kembali ia buang ke kejauhan.

“Jadi hanya pada waktu itu? Kalau sekarang?” tanyanya tanpa menengok.

Aku ikut menjejerinya, dan memandang ke arah jalanan di bawah sana. Aku memang tertarik pada kecantikan dan sifat Tea, dan aku tahu bahwa rasa sayang itu ada… Sampai sekarang. Semuanya hanya hilang sesaat karena kehadiran Bu Sukma. Tapi aku juga sadar, Tea sudah ada yang punya. Aku sudah mengganggu rumah tangga orang yaitu Bu Sukma, dan tak mau ditambah menjadi penghalang hubungan orang. Lagipula, aku tidak mungkin mengakui hubungan terlarangku dengan Bu Sukma.

“Bisa ya, bisa tidak.” lirihku, Tea tetap diam menunggu kelanjutan.

“Apapun itu, aku tidak bisa, Tea. Aku tahu kamu sudah punya pacar dan aku tidak mau menjadi penghalang.”

“Geer kamu, memang aku suka sama kamu?”

Kupret!!! Sikapnya membuatku sedikit kesal, tetapi bahwa ia tersenyum setelah mengatakan itu, aku diam terheran.

“Makasih, Le, kamu udah jujur.” suara Tea kembali lembut. “Aku juga minta maaf atas sikapku selama ini, padahal kamu sudah banyak membantu selama ini. Padahal.. padahal kamu sudah sayang ama aku, tapi akunya malah bersikap arogan.”

Sambil tetap memandang ke depan, Tea pun bercerita bahwa ia memang marah ketika sadar di akhir ciuman. Itulah sebabnya kenapa ia menamparku. Tapi sesungguhnya ia marah bukan padaku saja, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia marah karena terlena dan membalas, ia marah karena merasa tidak bisa mengontrol kesedihan dan kesepiannya. Ia marah karena merasa telah mengkhianati Bagas.

“Tapi…” ia seperti kering tenggorokan.

Ucapannya terputus dan kulihat nafasnya sedikit tersengal. Aku diam menunggu, kali ini sambil menatapnya. Ia membalas sesaat tetapi sekejap kemudian berpaling.

“Terutama aku marah.. karena aku juga merasakan hal yang sama seperti kamu. Aku juga sayang kamu.”

Degh.

Entah harus sedih atau senang mendengarnya. Aku tidak menyangka bahwa ia pun merasakan hal yang sama. Perjumpaan kami terjadi dalam waktu yang boleh dibilang singkat, tapi rasa bisa saling memikat kapan saja.

“Itulah sebabnya aku marah. Karena aku sendiri bingung, Le, bingung… aku ketemu kamu di saat aku sudah punya Bagas. Kami sudah lima tahun pacaran.”

“Makasih.. makasih atas kejujuranmu, Tea.” suaraku sendiri terdengar datar, tapi sebetulnya aku tulus mengatakannya.

Tea menangis. Air matanya mengalir. Ia berusaha mengusap, tetapi masih terus saja meleleh.

“Aku bingung, Le, hiks.. hiks…”

Tanganku bergetar, rasanya ingin mengusap air mata itu, dan bahkan memeluknya. Tapi aku berusaha menahan, aku tak ingin rasa sayangnya semakin dalam.

“Kamu jangan bingung, Tea. Gak perlu… Kamu pulang dengan tenang, dan temui Bagasmu.” ujarku.

Hatiku perih mengatakan itu, tapi menjadi lelaki gentel juga berarti lelaki yang rela melepaskan.

Tea semakin menangis. Ia menatapku pedih dengan air mata yang bercucuran. Kali ini aku sangat iba, kusentuh bahunya, dan ia rubuh dalam pelukanku. Kudekap lembut sambil mengusapi punggungnya, kubiarkan ia menumpahkan segala rasa sampai air matanya berhenti.

“Aku sayang kamu, Le. Hiks hiks…”
“Aku juga.” aku sigap membalas.

“Tapi kamu pulang, jangan menambah kenangan yang harus ditinggalkan di sini. Temui Bagasmu sampai kamu tahu dan yakin, apakah cintamu murni untukku atau untuk dia. Kamu merasa sayang aku, ya karena kamu sedang bersamaku. Nanti kamu akan tahu, apakah rasamu terhadap Bagas akan tetap ada ketika bersama dia. Beri kesempatan kepada waktu untuk menunjukannya.”

Dekapan Tea semakin erat, namun tangisnya perlahan reda. Cukup lama.. saling mendekap tanpa lagi kata. Pada titik ini aku semakin yakin bahwa aku memang menyayanginya, sekaligus juga ada gores luka yang mulai menganga.

Biar bagaimana pun kami bukan lagi anak remaja yang mengharu-biru dengan gejolak perasaan, akal sehat masih bisa mengontrol, meski perasaan memang tak bisa diukur logika. Sekali lagi kami saling mengungkapkan rasa sayang, bukan untuk jadian, melainkan agar kami tidak berpisah dengan saling meninggalkan beban.

Aku? Munafik kalau aku bilang tidak ingin mempertahankan Tea dan merebutnya dari Bagas. Aku lelaki, punya naluri untuk melindungi milik diri. Tetapi aku memilih menjadi pengecut yang membiarkan Tea pergi, karena aku tidak ingin ia pulang ke Jakarta dengan membawa pengalaman sebagai ‘pengkhianat’ pada pasangan. Cukup aku saja dengan Bu Sukma, Tea jangan. Kalau memang waktu menunjukan, dan semesta memberi jawaban, cinta kami tidak akan kemana. Jodoh akan mempertemukan dan mempersatukan pada waktu dan saat yang tepat. Itu akan sangat indah.

Perlahan pelukan kami terurai, tatap kami dekat dan lekat. Senyum lega saling kami sunggingkan, meskipun menyisakan hampa di dalam dada. Kuusap lembab pipi dan kelopak matanya. Ia terpejam meresapi.

“Boleh?” tanyaku.

Ia membuka mata, kutatap keningnya. Ia mengangguk. Aku merunduk. Kecupan sayang sekaligus perpisahan kudaratkan pada keningnya.

Sisanya Tea sendiri yang merapikan wajah dan rambutnya. Setelah merasa sama-sama terlihat normal dan wajar kami pun kembali ke dalam. Hidangan sudah tersedia, tinggal menunggu lasagna yang masih berada dalam oven.

Adalah Bu Yasinta.. Dia yang pandai menciptakan suasana. Biar bagaimana pun wanita itu yang paling peka atas hubunganku dengan Tea, sepeka tebakannya pada apa yang terjadi antara aku dan Bu Sukma. Gaya bicara dan canda-tawanya mencairkan suasana. Bu Sukma yang semula diam karena cemburu kembali bersikap biasa.

Makan malam ini, menjadi ajang syukur atas perjumpaan, atas kebersamaan. Menjadi ajang gembira atas enyahnya virus dari tubuh Tea. Ajang sukacita bertemu saudara sebangsa di tanah asing. Sekaligus menjadi ajang sendu menjelang perpisahan.


*

*

*


Aku bangun pagi dalam keadaan lemas. Hampir semalaman aku bergumul dengan Bu Sukma, percintaan perpisahan yang seakan tidak ada puasnya. Dan setelah ia kembali ke kamarnya jam tiga pagi, aku masih tidak bisa memejamkan mata. Tea menggantikan keberadaannya dalam benakku. Kalau tidak ingat harus menghantar kepulangan mereka, mungkin aku akan bangun siang.

Aku terhuyung menuju kamar mandi, badanku benar-benar tidak enak, menelan liur pun rasanya sakit. Sengaja aku mandi dengan air hangat, sekedar menyegarkan badan dan pikiran.

Tak lama setelah mandi, Bu Sukma dan Bu Yasinta datang. Lengkap dengan koper besar dan tas mereka. Tea mengabari bahwa ia masih beres-beres. Bu Sukma memelukku erat, tak sungkan pada rekan kerja yang sudah menjadi sahabatnya.

Kalau dulu ia menangis karena jauh dari keluarga, kini ia menangis karena akan berpisah denganku. Kebersamaan kami cukup singkat, tetapi kenangannya mungkin akan dibawa sampai akhir hayat.

Kubalas erat, seakan menjadi pelukan terakhir yang tak bisa kami ulang. Tak ada kata, tiada ucap. Mendekap erat.. dan erat…

Kami baru saling melepaskan ketika smartphonenya berbunyi, rupanya suaminya menelpon. Bu Sukma pun melangkah menuju balkon untuk menjawabnya.

“Ibu tidak menyangka hubungan kalian akan sejauh ini.” ujar Bu Yasinta setengah berbisik.
“Aku takut.” ujarku.

Aku memang sering curhat padanya, aku tidak pernah berbohong. Spermaku selalu kuberikan pada Bu Sukma, tetapi pergulatan hidupku kupercayakan pada Bu Yasinta. Ia banyak tahu tentang aku, masa laluku, kegembiraanku, juga ketakutan-ketakutanku. Hal yang sama ia lakukan padaku, meski gaya bicaranya kadang tidak terkontrol, tetapi yang sifatnya sangat rahasia hanya ia sampaikan padaku.

“Kamu tenang saja, ibu akan membantu Bu Sukma sepulangnya ke Jakarta. Semoga dengan kegembiraannya kembali ke tengah keluarga, ia bisa melupakanmu.” ia meneguhkan.
“Makasih, Bu.”

“Dan ibu bangga, Le..” ucapannya terputus.
“Bangga kenapa, Bu?”

Senyumnya terulas. Bu Yasinta terlihat sangat cantik, dan sikapnya lebih anggun. Kalau tidak mengenalnya, tak seorang pun akan menyangka kebinalannya di atas kasur, meskipun itu hanya sekedar bersolo karier.

“Semalam Tea meminta ibu menemaninya karena tidak bisa tidur, dan ia cerita.” ujarnya.

Aku paham dan aku tidak perlu bertanya lebih lanjut.

“Yeah begitulah.” lirihku.
“Hebat! Ibu tidak menyangka kamu bisa seperti itu.” pujinya lagi.

Aku pun terkekeh.

Tiba-tiba ia memelukku. Erat..!! Aku ragu karena kaget, tapi membalas setelahnya.

“Terima kasih atas semuanya, Le. Terima kasih…!! Kalau pulang ke Jakarta, temui ibu. Harus!! Persahabatan kita jangan hanya berhenti di sini.” pintanya.

“Itu pasti.” aku menjawab tegas.

Bu Yasinta pun mencium kedua pipiku. Nampak wajar dan biasa. Tapi bagiku sangat berkesan dan berharga, biar bagaimana pun ini adalah pelukan pertama, juga ciuman pertama; sekaligus mungkin yang terakhir.

Bu Sukma masuk tepat setelah pelukan kami terlepas, dan Tea datang tak lama kemudian. Suasana kembali sendu karena perpisahan. Aku pura-pura tegar, sepertinya hanya Bu Yasinta yang tahu kalau aku hanya pura-pura.

Kami saling meneguhkan dan menguatkan, juga mendoakan. Linang air mata setelah itu, peluk tangis perpisahan pada ujungnya. Bu Sukma menangis memelukku, dan aku tahu alasannya. Tea terisak dalam dekapanku, aku juga tahu alasannya.

Terakhir Bu Yasinta. Ketegarannya runtuh. Pelukannya paling erat dan lama, air matanya paling deras. Butuh waktu untuk meninggalkan apartemen, butuh waktu menyediakan ruang pada rasa bernama rela. Butuh waktu bagi mereka untuk kembali merapikan dandanan.

Sisanya.. kami melangkah menuju lift, menuruni gedung apartemen. Tak ada lagi banyak kata, apalagi canda tawa. Sebuah mobil sewaan dari perusahaan yang diawasi ketat pemerintah sudah menunggu. Mereka tidak bisa menggunakan taksi, karena semua sudah tidak boleh beroperasi. Dan atas kebijakan pemerintah di sini, aku tidak bisa mengantar sampai bandara. Butuh dokumen perjalanan untuk bisa ke sana.

Peluk perpisahan kami ulangi, kali ini sudah tanpa linangan air mata. Rasa syukur perjumpaan dan hampa perpisahan tak lagi terkata. Mereka pergi meninggalkanku. Meninggalkan kenangan, menyisakan sepi. Kosong dan hampa!

Begitu mobil menghilang, aku duduk di trotoar. Tak ingat waktu. Kami tetap berbagi kabar, dan aku baru berdiri tiga jam kemudian, setelah mereka menaiki pesawat.

Aku semakin merasa tidak enak badan. Mungkin efek dari rasa kehilangan, atau karena terlalu lama terkena sengat matahari di bawah tadi. Langkahku gontai…

Bruuuuk!!! Aku ambruk…!

“——”



Bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd