dbeat
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 13 Nov 2016
- Post
- 2.389
- Like diterima
- 13.705
Makasih updatenya mamang @tibelat_hate
Karya luarbiasaLIMA
Bu Sukma melayani kebutuhan makan malam Tea melalui balkon. Menu istimewa yang ia masak bersama Bu Yasinta. Sebetulnya ia mengundang Tea untuk makan bersama kami, meskipun harus melanggar aturan untuk tidak bekumpul. Tapi Tea menolak. Kuyakin bukan karena takut menularkan, melainkan masih tidak mau berjumpa denganku. Dan aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan itu.
Setelah kebutuhan Tea tercukupi, kami duduk melingkar di meja makan apartemenku. Bu Yasinta membuatnya sedikit romantis dengan menyalakan lilin. Nasi sudah terhidang. Sup daging campuran kol, kentang, dan wortel masih mengepul. Aroma bawang daun memenuhi ruangan dan menggugah selera. Oseng sawi dan tumis cabe yang dicampur kecap juga menyertai. Gelas kami pun diisi red wine.
Bu Yasinta bertindak sebagai ‘ibu keluarga’ yang mengisi mangkok dan piring kami. Acara makan pun dimulai, diselingi obrolan ringan penuh persahabatan dan kekeluargaan. Sekali-kali cerita lucu saling kami lontarkan. Memang masih ada yang kurang, karena Tea tidak ada di tengah kami dan ia makan sendiri. Tetapi kami sendiri harus membuat diri bahagia untuk membuang stress karena harus terisolir di negeri orang, sekaligus agar auto imun tubuh tetap terpelihara.
Tanpa Bu Yasinta tahu, aku dan Bu Sukma sering berbagi tatapan mesra. Senyum indah kami sunggingkan, sekali-kali saling menyentuh seolah tidak sengaja ketika mengambil makanan. Secara spontan, Bu Sukma juga sering menambahkan lauk pada piringku.
Makan pun selesai, tetapi tak satu pun dari kami yang beranjak. Obrolan masih terus berlanjut sambil menikmati wine. Rokok pun mengepul dari mulutku dan Bu Yasinta. Itu saja tidak cukup, Bu Yasinta kembali mengeluarkan botol blue label. Hanya kami berdua yang minum, Bu Sukma tidak kami perkenankan.
Perlahan tapi pasti, suasana romantis berubah gerah ketika Bu Yasinta mulai tidak bisa mengontrol minumnya. Obrolan menjurus porno kembali terjadi seperti siang tadi. Kali ini Bu Yasinta benar-benar terbawa suasana dan terpengaruh alkohol. Aku dan Bu Sukma berkali-kali mengingatkan, tetapi Bu Yasinta tidak menggubris. Tidak seorang pun di antara kami yang dibolehkan menjauhkan botol.
“Gua bahagia banget bersama kalian, dan ini harus dirayakan.” keukeuhnya, bahasanya mulai gaul.
Gaya bicara Bu Yasinta yang sudah tanpa saringan, membuat aku dan Bu Sukma juga larut dalam imajinasi masing-masing. Bayangan-bayangan erotis mulai mengisi pikiran.
Tanganku turun ke bawah meja, hal yang sama Bu Sukma lakukan. Kami saling menyentuh tipis, saling menggenggam setelahnya. Remasan-remasan kecil kami lakukan. Kurasakan ia mencubit ketika aku menyentuh lututnya. Ia mendelik tersamar, namun itu semakin membuatku gemas.
“Yah beginilah siklus hidup…” ujar Bu Yasinta sambil menghabiskan isi gelasnya. “Lu bisa ngewe tapi jarang orgasme, gua sering orgasme tapi gak dapat kasih sayang.”
Bu Sukma hanya menggeleng mendengar omongan Bu Yasinta. Kuyakin ia mengamini, tetapi juga jengah mendengar kata-kata vulgarnya.
“Le, jangan!” bisik Bu Sukma ketika aku menggeser kursiku lebih mendekat dan tanganku pindah memeluk pinggangnya.
Dalam keadaan biasa mungkin ia akan berontak, tetapi ia takut sikap menolaknya malah akan membuat Bu Yasinta tahu apa yang sedang kulakukan. Ia hanya bisa pasrah dan menutupi dengan menyondongkan duduknya, berpangku dagu pada meja.
“Habis, Le.” keluh Bu Yasinta ketika melihat isi botol yang sudah kosong.
“Itu bagus, biar ibu berhenti minum.” ujarku.
“Haisssh… ni gua malah sange. Mana dildo gua di kamar lagi.” ia menggerutu.
Aku dan Bu Sukma saling bertatapan mendengar ucapan Bu Yasinta. Kulihat wajahnya memerah.
Bu Yasinta berdiri terhuyung, aku ikut berdiri untuk memapahnya, tapi ia melambaikan tangan tanda menolak. Dibukanya kulkas, dan dengan tak sabar mengobrak-abrik isinya. Yang dicari pun ia temukan, sebuah terong berwarna ungu.
“Awas kalau kalian ngintip!! Terserah kalian mau tetap di sini atau pergi, yang jelas memek gua gatel banget.”
“Bu Yasinta!!” Bu Sukma merasa kian jengah.
Namun wanita yang ditegurnya tidak peduli, ia langsung menuju kamarku setengah terhuyung.
Setelah tubuhnya menghilang, aku dan Bu Sukma kembali berpandangan. Nampak sekali kalau ia merasa canggung dan tidak nyaman.
Aku yang merasa mendapat peluang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Kukecup kilat pipi Bu Sukma. Ia mendelik. Tangannya terulur mendorong pipiku, namun kurasakan lebih berupa elusan. Aku merunduk untuk kembali mencium, namun kali ini tangannya benar-benar menahan.
Ia langsung berdiri sambil tersenyum malu, dan membereskan meja makan. Aku hanya bisa menghela nafas. Aku ikut berdiri dan memasukan sisa makanan ke dalam kulkas, sedangkan Bu Sukma mencuci wajan dan piring-piring kotor. Setelah mengelap meja, aku membantunya. Ia menyabuni, aku membilas. Tanpa kata, namun lirikan-lirikan kami berbicara.
Di tengah kemesraan diam kami, terdengar desahan-desahan halus Bu Yasinta dari dalam kamarku. Rupanya ia tidak sempat menutup pintu kamar. Bu Sukma tediam dan menatapku, wajahnya kembali memerah.
“Biarkan saja.” ujarku.
Aku dan Bu Sukma menyelesaikan pekerjaan, diringi desahan erotis dari dalam kamar.
Setelah pekerjaan kami selesai, aku dan Bu Sukma duduk bersisian di atas sofa. Tanpa kata. Sepertinya pikirannya sedang berkecamuk, terbawa imajinasi oleh desahan dan erangan Bu Yasinta.
Aku sadar bahwa benih-benih sayang ini sudah tumbuh di dalam hati masing-masing. Aku akan sukarela membelainya dan memberi kepuasan, tetapi aku juga menghormati statusnya. Inginku adalah kami bermesra tanpa bimbang dan paksaan.
Kuraih tangan Bu Sukma dan menariknya menuju balkon. Kulirik kamar sebelah, dari sela tirai nampak lampu kamar Tea masih menyala. Sementara di hadapan kami lampu-lampu malam bersinar indah, memberi efek keemasan pada gedung-gedung bangunan. Langit juga nampak bersih meski tak terlihat bintang.
Bu Sukma nampak begitu menikmati suasana malam yang sunyi namun syahdu. Tangannya memegang pagar besi dengan pandangan jauh ke depan. Rambutnya berkibar diterpa sepoi angin, helaian rambut pada wajahnya ia biarkan.
Aku menghembuskan nafas halus mengaguminya. Wajahnya terlihat sangat keibuan, anggun dan gerak-geriknya lembut. Paras cantik ovalnya nampak memancarkan aura keemasan karena sorot lampu, anting emas menjadi ornamen manis yang membuatnya terlihat semakin memesona.
Ada lipatan-lipatan kecil pada lehernya, menggaris indah dan seksi. Dadanya membusung. Di bagian bawah, ujung roknya bekibar seolah angin sedang mempermainkannya. Menggoda naluri kelelakianku.
“Apah?” Bu Sukma sadar sedang kuperhatikan, tapi tak sedikit pun menengok.
“Cantik.” aku tidak sedang menggoda, tapi jujur mengatakannya.
“Makasih.” ia tersenyum.
Aku gemas. Tangan kiriku terulur, melingkari pinggang dari belakang. Ia melirik sedikit, dan tetap diam pada posisinya. Pemandangan malam yang syahdu, dan juga erangan-erangan Bu Yasinta yang samar terdengar membuat aku dan Bu Sukma terbuai. Terbawa suasana.
Kueratkan pelukan, dan ia malah menyandarkan kepala pada pundakku. Tanganku pindah pada puhu lengannya, kuusap lembut. Kukecup kepalanya, dan ia memejamkan mata. Tangannya terasa sedikit ragu, namun perlahan tapi pasti melingkar pada pinggangku. Kukecup kembali kepalanya, kali ini lebih lama. Aku seakan mencurahkan apa yang kurasa, sekaligus menghirup aroma rambutnya.
Aku ingin lebih. Kuubah posisi dan menempatkan diri di belakang tubuhnya, kupeluk tubuhnya dengan kedua tangan tepat di bawah payudara. Gundukan besar itu terangkat karena tertahan tenganku. Bu Sukma sama sekali tidak menolak, ia malah menumpukan berat badannya, bersandar padaku. Tangannya mengusapi lenganku.
Kukecup pipinya, lalu kutumpangkan daguku. Menumpang di atas pundak, pipiku melekat pada lehernya. Bu Sukma menggelinjang halus, pinggul besarnya sedikit terdorong ke belakang.
Mesra ini tanpa kata. Hanya sentuhan-sentuhan halus yang menjadi bahasa. Kami berdua sudah tidak lagi fokus pada erangan Bu Yasinta yang nampaknya sudah mengalami orgasme pertamanya. Khusyuk meresapi setiap sentuhan, terbuai rasa yang tiba-tiba ada.
Kukecupi pundak dan leher bawahnya, kurasankan ia meremas lenganku. Nafasku mulai hangat terdorong gairah. Kukecup juntaian antingnya, lalu pada belakang telinga. Bu Sukma menggelinjang dan mencoba menghindar.
Kubalikan tubuhnya dan kami berhadapan. Saling pandang. Sorot matanya nampak redup dan sayu. Sangat memesona dan menggoda. Telapak tanganku meraih pinggang dari sisi yang berbeda. Ia malah melingkari leherku. Wajah kami begitu dekat, nafas hangat saling beradu.
Aku tidak ingin merusak suasana dengan mengagumi kecantikannya berupa kata-kata. Biarlah bahasa tubuh yang berbicara. Kukecup keningnya. Cukup lama. Kecupanku pindah pada ujung hidungnya yang tidak terlalu mancung. Kening kami saling menempel.
Bu Sukma menjinjit sambil membuka sedikit bibir. Wajah kami miring berlawanan arah. Mimpi ini menjadi nyata kembali ketika bibir kami bersentuhan. Menempel tipis sesaat, diam, saling tatap dekat.
Cuuup!! Aku menekan, ia membalas. Syahdu kami saling mengecup, kukulum bibir bawahnya yang tebal. Ia gelisah dan menghisap bibir atasku.
Gelayutan tangannya pada leherku membuat wajah kami semakin rapat. Kuluman pun berubah menjadi lumatan basah. Lama dan lama… semakin dalam. Ia menggelinjang ketika ujung lidah kami bersentuhan, saling menggelitik.
“Shhhs…. Alle…” ia mengambil nafas.
Kulumat kembali, kali ini lidah kami bukan lagi menggelitik, tapi saling menyapu. Membelit dan menjelajahi dinding-dinding rongga mulut. Ciuman kami semakin basah, tubuhnya kian gelisah. Tanganku meremas.
Tanpa melepas ciuman, kubimbing tubuh montok Bu Sukma ke dalam ruangan. Gerakan kami lembut dan pelan seakan sedang berdansa, sementara mulut terus bertautan, dan bibir berpagutan.
“Aaah… sssshhh… aaah… kontol uuuuh….” erangan Bu Yasinta dari dalam kamar ikut memanaskan suasana antara aku dan Bu Sukma.
Wanitaku seakan terbakar gairah yang tak terkata. Ciumannya semakin liar dan tak beraturan. Nafsu sudah menguasai.
Sengaja aku tidak langsung merebahkannya di atas sofa. Tanpa melepas ciuman, tanganku mulai menggerayangi pahanya yang terasa halus. Tanganku terus menjelajah seraya mendorong roknya ke atas. Bu Sukma semakin gelisah.
Ciuman kami terlepas, dan dengan serba terburu kuloloskan penutup tubuhnya melalui kepala. Ia membantu dengan mengangkat tangan.
Mataku nanar, penisku langsung berkedut keras. Tubuh polos Bu Sukma terpajang, kuning langsat dan tanpa noda.
Celana dalam hitam tercetak ketat dengan pusat selangkangan yang menggelembung. Perutnya sedikit berlemak, namun tidak mengurangi keseksiannya. Payudaranya memang besar, bagian atasnya menyebul menggairahkan, terbungkus beha yang juga berwarna hitam.
Kulempar dasternya, dan Bu Sukma langsung memelukku erat. Ia seolah malu mataku menjelajahi lekuk tubuhnya. Kurebahkan dan kutindih. Ciuman kami kembali panas. Kami masyuk bercumbu diiringi musik erotis berupa lenguhan-lenguhan dan erangan Bu Yasinta. Entah sudah berapa kali ia orgasme, setahuku ia tidak pernah sebentar ketika mengobel lubang nikmatnya.
Kini bukan hanya mulut kami yang tak puasanya saling melumat, tetapi tangan masing-masing sudah saling menjelajah. Mengusap dan meremas. Desahan-desahan halus Bu Sukma menjadi melodi lembut yang membuat kami kian kusyuk.
Perlahan aku melepas cumbuan dan tanganku menari lincah membuka kaitan behanya. Aku tercekat. Keindahan sempurna. Seorang wanita paruh baya dengan kematangan yang tergurat di wajahnya. Rambut yang sedikit acak-acakkan. Lipatan indah di lehernya. Bahu yang lebar. Dada yang menggunung sekal. Perut yang rata. Sungguh gurat matang keibuannya terpancar, kesempurnaan wanita dewasa yang telah diterpa pengalaman hidup, sekaligas gerak binal tubuhnya yang sempurna. Ia terbaring dengan hanya menyisakan celana dalam. Kedua payudaranya menggunung.
Bu Sukma menangkupkan tangannya pada pucuk gunung kembarnya, seakan malu mempertontonkan payudaranya yang sudah tanpa penutup. Tapi aku tetap bisa menikmatinya, meski putingnya tak terlihat. Besar dan masih kenyal, urat-urat kebiruan terlihat kontras dengan warna kulitnya.
Dengan resah karena terbakar gairah, kulepaskan kaosku. Kutanggalkan celana panjangku. Penisku menggelembung, dan Bu Sukma menggigit bibir melihatnya.
Aku ingin sejenak menggodanya. Kutarik karet celana dalamku dan menunduk seolah mengintip isinya. Kudengar Bu Sukma menghela nafas, gerah, resah tak sabar menanti. Perlahan kepala penisku menyembul, batangnya terpamer, seiring melorotnya celana dalam.
Bu Sukma yang anggun, berubah nakal, ia sendiri langsung duduk dan melepaskan celana dalamnya sendiri. Payudaranya bergelantungan.
Bugil! Itulah keadaan kami sekarang. Mata kami masih sama-sama terbelalak. Saling mengagumi, saling mengekspos nakal, saling mengundang.
Cepat kutempatkan tubuhku di atasnya. Penyatuan yang sempurna. Dia berpinggul besar, dan aku berdada bidang. Kali ini bibir kami langsung saling melumat tanpa basa-basi. Kedua payudaranya mengganjal lembab karena jentik keringat. Kemaluanku melintang vertikal di atas vaginanya. Kugeser kepalaku mencium kedua telinganya bergantian; kugesek kemaluanku. Dengan nafas yang semakin berpacu kuciumi lehernya, turun ke bawah, pada kedua payudaranya. Namun kubiarkan putingnya… aku lebih ingin membenamkan wajahku di belahan itu. Aku diam sejenak di sana dan terasa tangannya mengelus rambutku. Terasa tenteram aku berada di sana, meski nafasku harus tersengal.
Setelah merasa cukup, kuangkat wajahku dan kukecup-kecup payudara berputing kehitaman itu. Kukecup-kecup dindingnya yang kenyal dan… haaap.. kucaplok puting kirinya yang menegang. “Aaaah…” Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar erangan kecilnya. Kusedot dan kuhisap bergantian.. kujilat dan kuremas. Rambutku dijambak.
Aku yang punya mainan baru menjadi asik dibuatnya. Berlama-lama aku berada di sana. Kemudian terasa ada tarikan kuat di rambutku. Aku pun mendongak memandangnya… tatapannya syahdu dan berbinar nafsu. Dadanya tersengal.
Puas dengan payudaranya, aku merambat turun, menciumi setiap inchi kulit perutnya. Kujilati lipatan-lipatan kecil bekas timbunan lemak pada perutnya. Sementara tanganku tetap ke atas, meremas payudara besarnya.
Tubuh Bu Sukma gelisah tak bisa diam, meskipun mulutnya terkunci tak ada lagi erangan. Aku malah merasakan sensasi yang berbeda. Aku menjelajahi tubuh Bu Sukma, tetapi Bu Yasinta yang mengerang-erang. Puas dengan wilayah perut dan menjilati lubang pusar, aku semakin ke bawah. Kedua paha Bu Sukma merenggang.
Aku diam sesaat untuk mengatur nafas. Pandanganku nanar. Kemaluan Bu Sukma terlihat begitu indah. Bibinya tembem dan tebal, dan saling menempel rapat. Ada rembesan basah pada ujungnya. Bagian atas bermahkotakan bulu-bulu halus yang tertata rapi. Halus dan lurus, tidak keriting. Ujung-ujungnya lancip membentuk gunungan segitiga.
Aku merunduk, dan aroma khas vagina langsung membuatku limbung. Nafasku menderu.
Kuusap bulu-bulu vagina Bu Sukma dengan telapak tangan. Ia menggelinjang. Kusisir dengan jari-jariku. Kusuwir ke kiri dan ke kanan, kurapikan kembali dengan telapak tangan searah vertikal. Kulakukan berulang-ulang sehingga Bu Sukma mulai kelejotan.
Kulihat bibir vagina Bu Sukma berkedut dan nampak kian lembab. Klitorisnya mencuat, basah dan mengkilat. Belum saatnya…
Bu Sukma sendiri semakin gelisah menggelinjang. Kadang kakinya membujur kaku, kadang mengangkang, sekal-kali menendang-nendang kecil. Akhirnya satu kakinya menjuntai, menjejak lantai. Pinggulnya terangkat seakan memintaku segera mencecap surga miliknya.
Aku mendongak. Matanya sayu penuh damba, rasa nikmat ingin ia dapatkan segera. Kedua tangannya mencengkeram tepian sofa.
Kuhembuskan nafas panjang pada bulu-bulu vagina Bu Sukma. Kulihat pori-porinya semakin mekar. Ia merinding.
Kalau tadi tanganku yang menyuwir, kini lidahku yang bekerja. Lidahku terjulur menyapu bulu-bulu halusnya ke atas. Kurasakan ia meraih kepalaku, rambutku dijambak.
Lidahku terus menyapu ke atas, merapikan basah. Kusibak ke sambing kiri dan kanan dengan jemari, kurapikan kembali dengan lidahku. Kulakukan berulang..
Pada titik tertentu, Bu Sukma sudah tidak sabar. Kakinya kian mengangkang, dan tangannya menghentak mendorong kepalaku.
“Mmmmhhh…” ia melenguh tertahan ketika lidahku mendarat pada klitorisnya.
“Aaahhh kontoool…” pekik Bu Yasinta dari dalam kamar.
Tubuh atas Bu Sukma terangkat untuk melihat apa yang sedang kulakukan, dan langsung ambruk kembali ketika aku menghisap klitorisnya. Otot-otot pahanya mengejang, jambakannya semakin keras.
Ciumanku turun kebawah. Kubuka lipatan bibir tebal vaginanya, dan aku langsung disuguhi dinding dalam yang merah dan basah. Kubuka lebih lebar, lubangnya terpajang, berkedut sedikit menciut keriput.
Lidahku terjulur, kucucuk, kujilat, kusapu, kuhisap.
“Ahh.. aah.. aaah.. mmmhh… sssh… uuhhh iyah ahh.. ooh…” erangan erotis semakin memenuhi genderang telingaku. Bukan suara Bu Sukma, melainkan suara Bu Yasinta. Mirip seperti toa, Bu Sukma hanya mendesah dalam hati, namun berkumandangnya di dalam kamar.
Tiba-tiba pinggul Bu Sukma terangkat tinggi, bersamaan dengan itu keluar gumpalan putih dan kental. Langsung kuhisap dan kutelan, dan Bu Sukma ambruk kembali tanpa suara. Kakinya berkejat-kejat, lemas setelahnya. Orgasme pertama ia dapatkan.
Kuusap bibirku, lalu merangkak naik, menindih tubuh seksi setengah baya di bawahku. Kemaluan kami menempel, penisku membelah lipatan bibir vaginanya. Lembab dan basah.
Bu Sukma hanya meringis tanpa suara. Matanya sayu penuh kepuasan.
Aku ingin membuatnya merasa tersanjung, menjadi seorang hawa yang pantas disayang dan diperlakukan secara lembut. Aku sudah bisa menyimpulkan bahwa ia bukan tipe wanita yang gaduh saat bercinta, namun bahasa dan gerak tubuhnya sudah mengungkapkan semuanya.
Kuusap tepian rambutnya yang penuh jentik keringat, lalu kukecup keningnya. Bu Sukma menatap. Rona puas dan bahagia tergambar, sekaligus bersemu malu. Sungguh menggemaskan; juga menggairahkan.
Kukecupi lembut. Mulai dari kening, ujung hidung, juga kelopak mata. Ia mendekapku dan mengusapi punggungku.
Sekali lagi kubelai rambutnya, kusisipkan helaian pinggirnya di belakang telinga. Binar bahagia semakin tergambar.
Kecupan-kecupan lembut akhirnya kami lakukan pada bibir, tak lama berselang langsung berlanjut lumatan panjang.
Tenaga Bu Sukma pulih, birahinya bangkit kembali. Ia mendorongku supaya duduk bersandar. Diraihnya penisku yang tegak keras menjulang. Ia bersimpuh di atas lantai sambil mengocok. Ia mendongak nakal, aku meringis menunggu momen menegangkan.
Bu sukma menarik rambutnya ke belakang dan ia pegang tanpa melepaskan. Tangan kirinya masih mengocok. Ia pun merunduk.
“Ssssh…” aku mendesis ketika ujung lidah Bu Sukma menyentuh kepala penisku. Menyapu dan menggelitik. Aku menggelinjang.
Ia tidak langsung mengoral, melainkan menyapu seluruh batangku dengan lidahnya. Setiap urat ia telusuri, setiap inci ia kecupi.
“Mmmh…” aku kembali menggumam tertahan, yang kutunggu akhirnya kudapatkan.
Ia mengoralku. Kepala penisku menyapu dinding-dinding mulutnya, sedangkan lidahnya lincah menyapu batangnya. Ia cukup lihai, dan nampak sudah terbiasa melakukan hal ini pada suaminya.
Tubuhku terasa panas, jentik keringat mulai menyembul. Kutarik bahu Bu Sukma, dan ia duduk mengangkangi.
Ia memeluk leherku, wajahku terbenam di antara payudaranya. Kuhisap dan bahkan kucupang, Bu Sukma menggelinjang, mendongak ke belakang.
Tak lama kemudian, Bu Sukma mengangkat pinggulnya sambil merunduk, kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa. Kuarahkan penisku pada lubang nikmatnya.
Cleeep.
Tubuh kami sama-sama bergetar. Bu Sukma malah menggigit pundakku.
Kepala penisku terasa ngilu-nikmat dihisap gerbang vaginanya.
Cleeep.. cleeep… blesss…
Bu Sukma melenguh. Kini ia mendudukiku dengan penis sudah amblas sepenuhnya. Kusentuh dan kuremas lipatan pinggulnya yang erasa licin karena keringat.
Kami terdiam kaku, memberi waktu dan saling menyesuaikan diri. Ia mencumbuku, aku membalas setengah meringis. Seluruh batang penisku diremas dinding-dinding basah, sedangkan kepalanya disambut kedutan gerbang rahimnya.
“Enak banget.” bisiknya.
Mendengarnya aku langsung menggoyang, menyodok dari bawah. Sisanya Bu Sukma yang naik-turun. Nikmatnya tak terkata. Sekali-kali ia berhenti memompa, berganti memutar pinggul sambil bercumbu panas. Penisku bagai dipelintir.
Ia tidak mengerang, tidak menjerit. Hanya desisan kepedasan yang sekali-kali terdengar. Sementara dari dalam kamar sudah tidak ada lagi suara, nampaknya Bu Yasinta sudah tertidur lemas.
Bu Sukma tidak bertahan lama. Ia tidak bisa mengeluarkan energi banyak karena bergoyang sambil merasakan kenikmatan. Ia hendak membuang tubuhnya berbaring di atas sofa, tapi kutahan. Ia mengernyit protes dan heran. Binar birahinya sangat jelas terpancar.
Kuposisikan Bu Sukma supaya bertumpu lutut di atas sofa, dada dan tangannya bertumpu sadaran. Awalnya ia nampak bingung, namun tetap menuruti mauku. Aku berdiri di belakangnya. Kini aku disuguhi bongkahan pinggulnya yang lebar. Vaginanya menyempil, bibirnya menggelambir.
Kutepuk pinggulnya hingga memerah; lalu kuremas. Ia menengok belakang, sorot matanya seolah mengiba minta segera dipuaskan. Aku merunduk untuk mengecup bibirnya, kedua tanganku meremas payudaranya. Puas dengan itu, aku berdiri tegak kembali, kuarahkan penisku.
Bu Sukma masih menengok dengan mulut terbuka. Sangat seksi dan menggairahkan. Desahan halus pun terdengar, seiring terobosan batang penisku. Kini aku yang memompa dan bergoyang; ia nampak sangat menikmati.
“Alle..” desisnya. Setelah itu, Bu Sukma membekap mulutnya sendiri seolah takut bersuara.
Aku semakin mempercepat sodokan, meski diremas dinding-dinding basah namun penisku terasa panas. Membengkak seiring desakan sperma.
Bu Sukma menyambut kalap, rasa nikmatnya kian memuncak. Bahkan lututnya bergetar, tak kuat lagi menahan sodokan.
Cepat-cepat aku mencabut penisku dan memintanya telentang. Tubuhnya mengkilat karena keringat, aku kalap terdorong birahi yang kian tinggi.
Satu kaki Bu Sukma terjuntai menjejak lantai, satu lagi kuangkat dan kusandarkan pada pundakku. Nikmat ini datang kembali. Penisku kembali menerobos masuk. Langsung memompa dan bergoyang liar.
Bu Sukma menggingit bibir, tangannya meremas apapun yang bisa ia raih. Matanya terpejam, sekali-kali terbuka mendelik.
Vaginanya semakin terasa basah. Remasan dan hisapannya semakin kuat.
“Alle…” rintihnya.
Aku tahu ia sudah diambang orgasme, pun pula aku. Kuturunkan kakinya dari pundakku, dan kukaitkan pada sandaran sofa sehingga ia semakin mengangkang. Kini aku memompa menindihnya. Aku mencabut, ia bergoyang; aku menekan, ia menyambut.
“Ssshh.. sssh… ayo…” ia mengiba.
Tubuhnya mulai mengejang. Kedua tangannya meremas pinggulku kuat-kuat. Ia menjadi liar dan berkelejotan. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhnya dan menggigit pundakku. Perih. Terasa cairan hangat berdesir di bawah sana.
Hah..hah..hah… nafasnya tersengal.
Aku terus bergoyang. Berusaha meraih nikmat bersamaan. Penisku pun mendesak hendak mengeluarkan laharnya. Bu Sukma tahu itu. Ia mempercepat goyangannya, demikian juga aku. Kami mengerang bersamaan seiring puncak kepuasan yang kami capai bersama. Cairan nikmat kami saling menyembur dan menyambut di dalam vaginanya, lalu meleleh.
Tubuhku ambruk di atasnya. Tidak ada lagi aku ataupun dia. Tiada lagi dunia. Semua tenang. Damai. Aku berada di dunia kenikmatan yang menenteramkan.
Lima menit kemudian ia menggeliat, aku mengangkat tubuh berpangku sikut. Kami bertatapan sendu, binar kepuasan terpancar, senyumnya terulas bersemu malu. Kuangkat pinggulku, tapi ia menahan dengan melilitkan kedua kaki. Kami sama-sama meringis, penisku urung terlepas. Perlahan menciut di dalam vaginanya.
Kami berciuman. Sambil saling membelai wajah, mengusap keringat yang basah.
Ia berbisik mesra, dan aku mengerti. Aku menyimpulkan bahwa ia jarang mendapat kepuasan dari suaminya, karena mereka tidak mengenal berbagai gaya dalam bercinta. Ini adalah pengalaman pertamanya.
Bu Sukma pun memejamkan mata. Setengah tertidur melepas lelah. Penisku pun terlepas, namun aku masih enggan berpisah. Kupeluk tubuh polosnya, dan ia melenguh manja.
Tak bosannya aku membelai, tak jemunya aku memandang wajah tenangnya yang terpejam. Dan…
Kulihat Bu Yasinta keluar kamar dengan pakaian serampangan. Ia muncul dengan baju tanpa beha. Payudara dan putingnya menerawang. Sedangkan bagian bawah hanya memakai celana dalam. Aku tercekat, ia kaget. Matanya terbelalak.
Aku kikuk. Kutatap dua wanita ini bergantian. Kulihat Bu Sukma masih terpejam, mungkin sudah tertidur. Nafasnya terdengar halus dan senyumnya masih tersungging.
Bu Yasinta bisa menguasai keadaan lebih dahulu. Ia memberi kode supaya aku tidak membangunkan Bu Sukma. Ia berjingkat perlahan tanpa mengalihkan padangan. Ada kerling dan senyum misterius yang tersungging. Ia pun mengambil botol minum dan kembali ke dalam kamar.
Aku menghela nafas. Tegang dan lega bercampur menjadi satu. Tapi bahwa Bu Sukma tidak tahu, itu sudah cukup bagiku.
Tubuh Bu Sukma adalah candu. Aku malah kembali bergairah. Kukecupi dan kulumat bibirnya, tanganku menelusup memelintir putingnya. Wanitaku menggelinjang dan membuka mata. Kami berpandangan tanpa kata, dan kami saling tahu, kenikmatan ini harus diulang.
Cumbuan panas kami lakukan, dan pergumulan kami mulai kembali. Lelahku hilang, gairahku malah berlipat-lipat. Kenapa? Karena kusadar, tanpa Bu Sukma tahu, Bu Yasinta mengintip kami. Gairah wanita itu sepertinya juga ikut terbakar, dan ia masturbasi sambil menonton kami. Untung ia bisa meredam suara.
Aku dan Bu Sukma terus berpacu dengan berbagai gaya. Orgasme demi orgasme ia dapatkan. Dan kami terhempas lemah di akhir ejakulasiku. Kami hanya punya sisa tenaga untuk mengenakan pakaian, sisanya langsung tertidur berpelukan.
Bersambung…