Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Lah,.. terus ini?
Aya di dunia nyata beda dengan yang ada di cerita ini gan. Anyway kejadian di cerita ini hanyalah fiksi belaka hehe :hore:

Kyaknya enak ya zombie outbreak, bebas hehe
Yakin enak?
Ane list bagian gak enaknya:

1. Makanan, minuman, perlengkapan, amunisi sangat menipis di dunia post apocalypse, jadi manusia mau gak mau harus melakukan apa yang nenek moyang mereka lakukan dulu, berburu.
2. Bahan bakar sangat langka, udah jelas pom-pom bensin sudah dijarah bahan bakarnya. Jalan kaki menjadi hal yang biasa (yang penting sehat, hehe)
3. Zombie ada dimana saja dan kapan saja. Bayangkan sehari semalam diganggu zombie terus.
4. Hidup atau mati. Live or Die. Prinsip dunia post apocalypse.
5. Kill or be killed, membunuh atau mati dibunuh.
6. Terakhir, salah satu bagian tersulit dari bertahan hidup di dunia post apocalypse.......

Mempertahankan rasa kemanusiaan :haha:
Bersabarlah sampai musim semi tiba
:hore::hore:
 
Yakin enak?
Ane list bagian gak enaknya:

1. Makanan, minuman, perlengkapan, amunisi sangat menipis di dunia post apocalypse, jadi manusia mau gak mau harus melakukan apa yang nenek moyang mereka lakukan dulu, berburu.
2. Bahan bakar sangat langka, udah jelas pom-pom bensin sudah dijarah bahan bakarnya. Jalan kaki menjadi hal yang biasa (yang penting sehat, hehe)
3. Zombie ada dimana saja dan kapan saja. Bayangkan sehari semalam diganggu zombie terus.
4. Hidup atau mati. Live or Die. Prinsip dunia post apocalypse.
5. Kill or be killed, membunuh atau mati dibunuh.
6. Terakhir, salah satu bagian tersulit dari bertahan hidup di dunia post apocalypse.......
Well, I had been called heartless. Jadi sepertinya mampu untuk bertahan, atau bahkan mungkin jadi satu pemimpin faksi yg memimpin sebuah daerah. Hahaha
 
Wah seram.. Tapi kok dino sempet2nya ena2 :Peace::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir:
Emang sangean aslinya dia wkekwk
Well, I had been called heartless. Jadi sepertinya mampu untuk bertahan, atau bahkan mungkin jadi satu pemimpin faksi yg memimpin sebuah daerah. Hahaha
Mereka akan bertahan, tapi tetap saja akan ada sebuah "pengorbanan" yang setimpal
 
Maaf kuota ane abis pas mau aplod apdetan wkwk. Enjoy and happy reading

8. Deflection


Satu minggu kemudian, kira-kira.....

Aku sedang duduk santai di kursi plastik pada pagi hari ini, kuseruput segelas susu hangat yang disiapkan Citra. Aku memandangi pemandangan disekitar camp, sudah mulai terlihat ramai dengan beberapa orang yang mulai menjalankan aktivitasnya masing-masing. Sejauh ini kondisi sekitar camp masih bisa dikatakan aman, walaupun beberapa mayat hidup mulai sering menyerang tempat ini, kita dapat mengatasinya dengan cukup mudah. Kawan-kawanku mulai bisa menguasai penggunaan senjata api, terutama wanita. Anin dan Citra yang paling mahir diantara mereka, luka tembak di bahu Anin sudah semakin membaik dan sudah bisa mengangkat senjata api yang berat. Gaby juga mahir menggunakan pistolnya, aku baru tahu dia pernah mengikuti pelatihan penggunaan senapan tingkat dasar saat dia bekerja dulu. Aya juga demikian walau dia masih terlihat takut menghadapi mayat hidup. Kalau si Fidly, aku tak akan meragukan dia mengingat dia sudah sering menghadapi mereka saat tinggal di hutan itu.

Tinggal Dila yang belum terbiasa menggunakan pistol, aku tahu dia kidal sehingga cukup kesulitan menggunakannya, mungkin aku harus terus melatihnya supaya mahir. Kulihat Citra berjalan menghampiriku dan membawa sebuah bungkus makanan mungkin snack, dia terlihat segar dan cantik.

"Pagi kak"

"Hei, pagi juga"

"Tumben kak udah disini, masih pagi banget" katanya.

"Menikmati udara pagi kan baik untuk tubuh Cit. apalagi ada kamu disini, tubuhku makin sehat" kataku.

"Pagi-pagi lancar juga gombalnya kak haha" dia tertawa, aku senang saat melihat ekpresinya yang menggemaskan itu. Ingin sekali aku memainkan pipinya.

"Hehe"

"Eh kak, aku udah bisa pakai senjatanya Fidly loh" kata Citra.

"Masak sih? itu senjata lumayan susah dipakai" balasku.

"Iya kak, awalnya susah sih, tapi dia ngajarin aku dan akhirnya aku bisa kak hehe" dia terlihat senang. "keren ya kak senjatanya"

"Iya, kayak di film-film"

Citra memang cepat belajar mengenal hal-hal baru, termasuk mengalahkan mayat hidup dan menggunakan senjata api. Bahkan kita saja heran melihat Citra yang bisa mengalahkan beberapa mayat hidup seorang diri saat mereka menyerang pagar camp tempo hari. Dia bisa beradaptasi dengan dunia baru. Aku semakin kagum dengan dia dan tentu saja, semakin menyukainya.

"Kamu hebat ya Cit, cepet belajar" aku mengelus rambutnya yang masih sedikit basah.

"Itu semua karena kakak yang ngajarin aku, teman-teman kita juga hehe" balasnya.

Kami terdiam sejenak menikmati segarnya udara pagi ini, sebuah angin lembut menyapa kami memberikan rasa dingin yang sangat nyaman.

"Oh iya kak, si Fidly orangnya cantik ya, friendly banget. Aku suka" kata Citra.

"Hehe enak kan punya temen baru lagi. Kulihat kamu akrab banget sama dia" balasku.

"Iya kak, aku jadi keinget sama Gracia dan Kyla saat bersama Fidly, oh iya biasanya aku panggil dia Fia, lebih mudah ngejanya"

"Atau Zahra juga boleh kok"

"Iya sih kak, tapi aku lebih suka panggil Fia hehe"

Dia tersenyum kearahku, matanya membulat indah. Kubalas dia dengan senyumanku.

"Emmm, aku juga mau bilang ke kakak kalau kak Galang sama Anin jadian tadi malam"

"Hah, serius?" tanyaku terkejut.

"Iya, aku dibilangin sama Anin hehe. Harusnya ini rahasia sih tapi aku mau ngasih tau aja ke kakak" balasnya. Sebenarnya aku tak terlalu kaget juga mengingat Anin sendiri pernah bilang kalau dia dekat dengan Galang, bahkan sampai berhubungan badan juga hehe. Ada-ada aja, dunia sudah berubah total tetap aja ada kisah cinta ya.

"Yaudah bagus deh, moga aja langgeng hehe" balasku.

"Hehe iya kak"

"Dino....."

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara Dila, aku menoleh kearah sumber suara. Dia berjalan mendekati kami.

"Eh Citra, met pagi" kata dia.

"Pagi juga Nad" kami berbarengan membalas salamnya.

"Kak, aku turun dulu ya. Mau bantuin Fia dibawah hehe" Citra langsung berjalan menuju tangga, dan tinggal aku dan Dila di balkon ini. Kami hanya terdiam saling memandang satu sama lain, dan entah kebetulan atau tidak pakaian yang dikenakan Dila sama seperti Citra, kaos berwarna putih polos.

"Ngapain kesini Py?" tanyaku memecah keheningan.

"Pengen temenin kamu hehe" dia terkekeh sejenak.

"Ohh" aku membalasnya. Aku menoleh melihatnya, dia juga cantik sekali pagi ini. Ah, kenapa dua wanita ini selalu membuatku luluh.

"Din"

"Iya?"

"Aku boleh minta sesuatu?" tanya dia, matanya membulat dan aku tahu maksudnya.

"Iya, apa Dila?"

"Ajarin aku nembak dong" ia berkata. Sebenarnya aku juga ingin mengajari dia, namun ternyata Dila juga memikirkan hal yang sama.

"Kebetulan sih, aku juga ingin ngajarin kamu hehe" balasku. "Kamu siap-siap dulu nanti kita keluar ke hutan satu jam lagi" tambahku.

"Nanti aja Din, agak siangan hehe" balasnya. Hmmm benar juga kata Dila, hari masih terlalu pagi untuk pergi ke hutan.

"Yaudah deh, nanti siang aja. Ini kebetulan cuaca juga gak cerah banget" balasku. Dila duduk disampingku dan menatapku, dia melemparkan senyuman yang manis sekali, hatiku mungkin sekarang lebih berbunga-bunga setelah mendapat senyuman Citra, sekarang dari Dila. Ah, semoga saja aku bisa menikmati mereka setiap hari.

Namun aku menyadari dari senyuman seorang Dila memiliki banyak arti, apakah aku mulai mencintainya kembali atau mungkin tidak? entahlah, aku masih bingung dengan perasaan ini. Tapi yang pasti aku bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama.

"Emm kenapa Din?" tanya dia membuyarkan tatapanku. "Ada yang salah?"

"Enggak kok emmm" aku membalasnya sambil menggarukan kepalaku yang tak gatal.

"Aku jelek ya pagi ini?" tanya dia. Hah? kenapa dia bertanya seperti itu.

"Eh enggak kok, kamu selalu cantik setiap hari" balasku melawan argumen dia.

"Gombal kan, sudah kuduga haha" dia tertawa. Aku juga ikutan tertawa.

"Haha, tapi bener kok Py. Apalagi kamu pakai kaos polos gitu, makin suka akunya"

"Emm, kaosku sama kayak yang dipakai Citra" dia membalas dengan mimik heran.



"Oh, kebetulan aja kali hehe" aku membalas.

"Iya deh, tahu kok" dia memalingkan wajahnya. Tak lama Dila meregangkan kedua tangannya keatas, suara sendi terdengar pelan. Aku tercengang melihat pemandangan dia yang menurutku sangat menghipnotis. Yep, buah dadanya yang kencang itu tercetak jelas di kaosnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan itu, salah satu dari beberapa bagian tubuh Dila yang aku kagumi setelah bibir, perut dan pahanya. Yang aku sebutkan terakhir adalah bagian tubuhnya yang paling menggoda, pahanya yang besar dan kenyal. Aku sudah sering melihat bagian tubuh itu saat dia mengenakan celana pendeknya, dan yang pasti aku pernah merasakannya hehe.

Sialan! kemaluanku malah mengeras saat memikirkan pahanya. Aku langsung meminum susu hangat yang sudah tersisa setengah hingga habis, berharap alat kelamin bangsat ini bisa menyusut. Hughhh.

******

"Udah siap Py?" tanyaku kepada Dila yang menggendong tas berisi makanan dan minuman. Aku berencana untuk membawanya cukup jauh dari camp ini.

"Udah" balasnya pendek. Dia mengenakan jaket hitam milik Gaby dan sebuah topi. Dia terlihat semakin cantik dan kembali aku menelan ludah.

"Eh, mau kemana Din" Anin bertanya disampingku. Aku menoleh menatap dia.

"Nih mau ngajarin Dila nembak" balasku. "Wah, itu senjata apaan Nin, keren banget kayaknya" tanyaku.

"Punya Galang sih, aku lagi pinjem hehe" balasnya lucu. Senjata itu memiliki laras yang cukup panjang.

"Gak berat pakai senjata itu?" tanyaku.

"Nih lihat Din, aku bisa ngangkat pakai satu tangan" dia berlagak pamer dengan mengangkatkan senjata itu dengan tangannya yang dulunya pernah tertembak.



"Hehe bagus deh, udah sembuh tanganmu" kataku kepada Anin.

"Iya dong, aku bisa nembak mahkluk-mahkluk itu lagi hehe" balasnya. "aku mau jaga pagar camp ini Din, ati-ati kamu diluar"

"Siap"

"Kak, hati-hati. Nadila nya dijaga" Citra memelukku erat, aku tersenyum dan mengelus rambutnya.

"Iya, aku pasti jagain dia" balasku. Citra dan aku melepas pelukan dan saling menatap. Dia tersenyum.

"Yuk Dila, jalan"

******

Aku dan Dila berjalan menyusuri hutan, aroma hujan tercium jelas disini menimbulkan rasa segar. Kulihat Dila yang sedang membawa senapan shotgunku berjalan pelan dan menggerutu, entah apa yang dipikirkannya.

"Emmm kenapa Py?" tanyaku.

"Berat" balasnya.

"Sini aku bawakan"

"Gak usah Din, aku aja"

"Kalo gitu wajahmu jangan cemberut gitu lah hehe, senyum dikit gitu napa" balasku. Dila langsung mengganti mimik wajahnya. Ah aku jadi gemas melihat wajahnya sekarang.

"Nah gitu dong" kataku. Dila hanya tersenyum.

"Nanti kita belajar apa Din?" tanya dia.

"Menembak, awalnya pakai pistol dulu terus kalau udah dirasa bisa, kamu coba pakai senjata serbu. Dah itu aja sih"

"Kayaknya asyik" balasnya senang. "Oh iya, kamu gak ngajarin aku pakai senjata ini Din?" tanyanya sambil mengangkat sedikit senapan shotgunku.

"Itu hentakannya keras banget Py, dan kamu kidal soalnya jadi lebih susah kalau pakai shotgun" balasku.

"Owh" dia menggangguk kecil.

"Nanti selain pakai target kaleng, kamu akan kuajarin nembak target beneran"

"Target beneran?" tanyanya heran.

"Yep, kalau udah merasa bisa, kamu akan latihan dengan target mahkluk itu Py. Supaya terbiasa hehe" aku melihat raut muka Dila berubah cemas.

"Dah tenang aja Py, aku pasti akan melindungi kamu. Jangan khawatir" aku menenangkannya. Memang Dila masih takut dengan mayat hidup dan aku harus membuatnya terbiasa menghadapi mereka.

Kami berjalan menyusuri pinggir sungai untuk menghindari mayat-mayat hidup yang sudah pasti tersebar di dalam hutan. Sesekali aku mendengar Dila bersenandung, suaranya merdu sekali.

"Emmm, harusnya aku bawa gitar selama ini Din. Sayang gitarku rusak" kata Dila.

"Kapan-kapan kita cari gitar yang baru" balasku.

"Nah sampai"

"Kayaknya kita jalan jauh banget dari camp kita Din"

"Kita biasanya latihan nembak disini, jauh emang biar suara senjata tidak mengundang mayat itu Py hehe. Tenang aja disini aman kok" aku menaruh tas besar berisi beberapa senjata api beserta peluru-pelurunya ke tanah. Kuambil beberapa kaleng kosong dan menaruhnya diatas batu besar, setelah beres aku mengambil sebuah pistol, mengecek amunisinya dan memberikannya kepada Dila.

"Nih"

"Iya Din" dia mengambil pistol itu dari tanganku.

"Nah, sebelum itu kamu coba keluarkan magasin peluru dari pistol itu. Kamu bisa kan?" kataku.

"Bisa kok"

"Coba"

Dila menekan sebuah tombol yang terletak di pegangan pistol itu. Magasinnya langsung terlepas, setelah itu Dila menarik tuas pistol itu sehingga peluru yang masih ada di chamber terpental pertanda pistol ini sudah tak terisi peluru.

"Wah padahal belum aku suruh Py hehe" aku terkekeh melihatnya. Dia hanya tersenyum. "Kalau ini mah aku udah bisa Din" balasnya.

"Nah sekarang kamu coba isi peluru pistolnya" aku menyuruhnya. Dila memegang magasin yang sudah penuh terisi peluru dan memasangnya dan tak lupa ia menarik sedikit tuas pistol itu.

"Oke kerja bagus Py, berarti kamu udah bisa cara ngisi peluru senjata" kataku senang. "Sekarang posisikan diri dan jangan lupa cara pegang pistol yang benar" Dila menggangguk dan langsung bersiap. Kulihat dia memegang pistolnya dengan tangan kiri, kubenarkan sedikit posisinya supaya dia merasa nyaman.

"Tangan kamu harus siap ya Py"

"Iya aku tahu kok"

"Oke, sekarang tembak kaleng itu"

Dila menghela napas perlahan dan mulai memposisikan diri. Tangan kirinya sedikit berguncang.

DOR

Peluru itu melesat cukup jauh dari target.

"Ah, gak kena Din" kata dia sedikit kesal.

"Tadi tanganmu goyang dikit Py, saat membidik senjata kamu harus tenang supaya peluru itu bisa mengenai target" jelasku. Dia mengganguk tanda mengerti.

"Nah coba lagi ayo. Kamu pasti bisa kok"

Kembali Dila memposisikan diri dan menghela napas pendek. Kuperhatikan dia dengan seksama, nampaknya Dila sudah lebih siap dari sebelumnya.

"Sekarang, tembak!"

DOR

Tepat sasaran. Kaleng itu terpental jatuh akibat dihantam peluru dari pistol Dila. Tangannya sedikit terpental karena hentakan senjata itu namun raut mukanya terlihat senang.

"Yee kena Din"

"Mantap hehe"

"Tapi tangan kiriku agak nyeri" keluhnya sambil mengusap-usap tangannya.

"Lama-lama bakal biasa kok. Aku dulu juga gitu pas pakai senjata pertama kali hehe" balasku.

Singkatnya Dila meneruskan latihan menembak ini, dia sudah bisa menembak dengan tenang dan berhasil menjatuhkan empat kaleng yang sudah kusiapkan tadi. Aku senang melatih dia, sama seperti Citra, Dila juga cepat belajar. Aku jadi teringat waktu kuliah dulu saat Dila mengajariku cara memainkan gitar, sampai kena omel juga pada saat itu haha.

Tapi karena dia, aku bisa bermain gitar.

Setelah cukup lama berlatih aku dan Dila sedang duduk di pinggir sungai. Langit masih terlihat berawan sehingga sinar matahari tak bisa menyinari karena terhalang awan. Dila sedang memainkan kakinya dengan air sungai yang dingin dan jernih ini. Aku juga melakukan hal yang sama.

"Din"

"Iya?"

"Gimana rasanya?" tanya dia.

"Rasa apa?" tanyaku balik.

"Kita berdua disini, di alam terbuka yang indah ini. Gimana rasanya?"

"Emmm, damai sih hehe" jawabku. Dila tersenyum kearahku.

"Sama, aku juga merasa damai" balasnya. Dila mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke sungai. "Aku merindukan kehidupan dulu Din" kata dia pelan.

"Sama hehe. Mungkin kalau bencana ini tidak terjadi aku udah naik pangkat jadi project manager di kantorku" kataku.

"Kalau bencana ini tidak terjadi, aku sudah jadi penyanyi, mungkin bikin solo album gitu hahaha" dia tertawa. Aku memandanginya.

"Kalau bencana ini tidak terjadi, kita tak akan pernah ketemu lagi....." dia langsung menoleh kearahku begitu aku melontarkan kata-kata itu. Raut mukanya berubah seperti bersalah.

"Din, maaf...."

"Udah gak usah dibahas Py, hehe. Yang berlalu biarlah berlalu"

"Tapi Din, secara tidak langsung aku udah ngancurin hatimu waktu itu. Kamu masih ingat saat kamu nembak aku di cafe dekat kampus?" memori di otakku mulai berputar mengingat kejadian yang tak akan kulupakan saat itu. Yep, Dila menolakku. Namun apa yang terjadi setelah kejadian itu? kita tetaplah sahabat dekat seolah-olah tak terjadi apa-apa.

"Aku gak salah dengar ini?"

"Emmmm gimana ya"

"Dino, kamu serius?"

"Iya, aku serius. Aku ingin kita pacaran"

"Emmm Din, sebaiknya kamu jangan cepat-cepat kasih keputusan ini"

"Kenapa?"

"Aku... aku belum siap Dino, maaf"


Yep. Itulah salah satu potongan memori yang terlintas dalam pikiranku, salah satu memori yang tak akan pernah kulupakan tentunya.

"Iya tahu, aku masih inget banget" jawabku.

"Aku minta maaf karena aku gak pernah jelasin alasan nolak kamu" kata Dila dengan perasaan bersalah.

"Hehe udah gak apa-apa kok" balasku.

"Kamu mau tahu alasannya?" tanya dia. Aku menggangguk saja. Ingin tahu apa jawaban dari dia selanjutnya.

"Aku ingin mengejar impianku sebagai penyanyi solo akustik Dino, aku gak mau karena soal percintaan impianku jadi lenyap. Itulah kenapa aku sengaja menghilang dari kamu. Tetapi lama-kelamaan aku sadar keputusanku ini salah, setiap hari aku merasa bersalah, hatiku tak bisa berbohong. Aku menyukaimu, Dino"

Perkataan Dila membuat hatiku luluh, aku menatap dia yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Aku tak peduli kamu dekat dengan wanita manapun. Aku tetap suka sama kamu Din"

"Dila....."

Tiba-tiba tubuhku dipeluk kencang oleh dia, aku bisa mendengar isak tangisnya. Kuelus rambutnya untuk menenangkannya.

"Udah-udah jangan nangis Py hehe" kataku. Kami melepas pelukan, kuusap air matanya yang membasahi pipinya yang lucu itu. Dia tersenyum.

"Kita lanjut latihannya yuk"

Dia menggangguk. Kami bergegas menuju hutan mencari mayat hidup yang bisa dijadikan target latihan. Tidak susah mencari mahkluk itu sebenarnya karena aku sengaja masuk ke tempat yang bisa dibilang cukup berbahaya.

"Nah itu ada dua mayat Py, yang penting kamu jangan takut. Yakin pada dirimu sendiri" aku memberikan saran "untuk melumpuhkan mahkluk itu kamu harus membidik kepalanya" tambahku.

"Iya Din, aku pasti bisa kok" balasnya.

"Oke, sekarang coba tembak yang disana" aku menunjuk salah satu mahkluk yang berjalan pelan menuju arah kami. Dila langsung memposisikan diri dan mulai membidik pistolnya. Jarak antara mereka cukup aman jadi tak akan kenapa-napa, pikirku.

"Tembak sekarang"

DOR

Peluru itu melesat mengenai leher mayat itu, aku bisa maklumi karena memang cukup susah membidik mahkluk itu saat berjalan. Dila aku suruh untuk memposisikan tangannya agak keatas dan tepat kearah kepala mayat itu.

"Nah, sekarang tembak Py"

DOR

Akhirnya peluru itu bisa mengenai kepala mayat hidup itu, Dila terlihat senang berhasil melumpuhkannya.

"Yeee kena Din"

"Mantap, tapi kamu harus bidik di kepalanya Py supaya cepat mati, kalau kena selain itu malah bikin mayat itu marah" kataku.

"Siapp"

"Yuk coba lagi, ada satu tuh disana" aku menunjuk kearah mayat seorang wanita sepertinya yang terlihat berdiri saja. Dila kembali membidik pistolnya dan langsung menembak tanpa aku suruh. Dan berhasil, mayat itu langsung jatuh dan tewas.

"Bagus hehe, lama-lama kamu bakal terbiasa kok menghadapi mereka" kataku memuji. Dila tersenyum kearahku.

"Nah coba lagi Py, ada satu lagi tuh"

"Siap Din"

"Bidik sekarang"

Sesosok mayat sedang menatap kami, Dila memposisikan diri dan kembali membidik pistolnya. Dia menekan pelatuk pistolnya, mayat itu kembali berhasil dilumpuhkan.

Tak terasa hari sudah menjelang sore, aku dan Dila sedang duduk menikmati makanan yang kami bawa dari camp. Ekspresi Dila tampak senang sekali, dia sudah tak terlihat ketakutan saat menghadapi mayat hidup. Terkadang kami tertawa bersama saat membahas masa-masa kuliah. Untuk saat ini aku bahagia melihat dia ceria seperti sebelum dunia ini berubah.

"Udah cukup ya latihannya, besok kamu mulai latihan tingkat lanjut" kataku.

"Ihh Dino, kayak instruktur aja kamu hahaha"

"Tapi bener kan aku jadi mentormu sekarang" balasku tertawa.

"Iya Din iya ihhh. Yaudah yuk cabut"

"Emm bentar, kita pergi ke suatu tempat yuk" ajakku.

"Kemana?" tanyanya heran.

"Dah ikut aja"

Kami berjalan menyusuri hutan, aku memang berniat untuk mengajak Dila ke tempat itu, tak lama kemudian kita sudah sampai. Dila tampak heran melihat tempat itu dan langsung bertanya kepadaku.

"Dino, ini makamnya siapa?"

"Temanku Py, namanya Gracia"

Kami berdiri disamping tempat peristirahatan terakhir Gracia. Tanah itu sudah ditumbuhi rerumputan, aku mencabuti beberapa rumput dan dedaunan yang berserakan di sekitar tempat itu. Dila langsung ikut membantuku membersihkan makam ini.

"Apa yang terjadi dengan dia?" tanyanya.

"Dia tergigit mahkluk itu, dan aku harus menembaknya sebelum berubah, sesuai permintaan dia" jawabku datar.

"Aku.... aku gagal menjaga dia Dila, semua ini salahku....." hatiku terasa dipelintir setelah mengucapkan kata itu, aku teringat kembali kenangan-kenangan bersama dia. Air mata ini tak bisa kutahan lagi.

Kalau boleh jujur kepada kalian, sebenarnya aku masih merasa sangat kehilangan dengan sosok Gracia. Dia adalah wanita yang selalu ceria dimana saja dan kapan saja, bahkan disaat kelompok kami terlihat tak ada harapan, Gracia selalu bisa mencairkan suasana.

Dunia memang sudah berubah, tetapi Gracia tetaplah Gracia, dia selalu membuat semuanya menjadi terang disaat gelap.

Karena itulah, aku menyukai dia.

"Dino.... maafkan aku...." kurasakan Dila menggenggam lenganku erat, aku menoleh menatap dia, mata kita sama-sama berkaca-kaca.

"Hiks.... hiks..... seandainya aku melarang dia ikut ke radio tower itu....." kata-kataku terputus, tangisanku pecah.

"Dino...."

"Aku... aku mencintainya Dila....." tiba-tiba Dila memelukku erat sekali, dia juga menangis sesegukan dalam pelukanku. Hangat tubuhnya sedikit memberikanku rasa nyaman, kuelus rambutnya lembut.

Air hujan mulai turun dari langit, aku bisa merasakan air hujan itu walau hanya gerimis saja. Aku teringat saat kuliah dulu saat Dila nyaris dirampok oleh dua orang preman, aku berhasil menyelamatkan dia walau aku harus menerima beberapa pukulan di sekujur tubuhku. Dila memelukku dan menangis melihat kondisiku yang babak belur, dan disaat itu hujan turun dengan derasnya. Itu yang diceritakan Dila kepadaku saat itu.

Kami melepaskan pelukan, kuusap air mata Dila yang membasahi pipi dan pinggir matanya, dia juga melakukan hal yang sama denganku.

"Semuanya sudah terjadi, Din. Kamu harus bangkit. Kamu harus terus maju kedepan menghadapi semua ini" perkataan Dila membuatku tertegun sejenak. Dila benar, aku harus bangkit dari keterpurukanku ini.

"Dino yang aku kenal orangnya kuat, tegar, wani terak kalau bahasa jawanya" dalam hati aku justru tertawa mendengar dia berkata bahasa jawa. Aku tahu dia kurang mahir.

"Wani terak.... kamu gak berubah ya ngomong gitu keliatan aneh" balasku.

"Hehe"

Gerimis ini masih terjadi, kami berdiri dan memandangi makam Gracia. Kami berdoa sejenak.

"Aku jadi penasaran Gracia orangnya seperti apa, penampilannya" kata Dila.

"Sayang aku gak punya fotonya, tapi aku yakin kamu pasti suka sama orangnya. Dia cepat akrab dengan orang baru" balasku.

"Hehe"

"Yuk kita pulang, bentar lagi gelap"

"Iya Din"

*****

Kami berjalan menuju camp, hari sudah mulai gelap walau begitu kita masih bisa melihat sekitar tanpa harus pakai senter. Tiba-tiba aku mendengar suara mayat hidup yang bersahut-sahutan dan suara letusan senapan. Suara itu semakin keras disaat kami berjalan mendekati camp.

GGGRRRHHHHHHHH GGGRHRHHHHHHHH

Tidak mungkin, camp kita...

"Dila, kita percepat langkah, sekarang!" aku berkata kepada Dila yang terlihat cemas.

"Dino... mayat itu...."

"Siapkan pistolmu Py"

"Iya"

Dan dugaanku benar, camp ini diserang oleh mayat hidup yang berjumlah sangat banyak, beruntung aku dan Dila berada di tempat yang tidak diserang. Kami memasuki camp lewat pintu belakang. Aku terkejut melihat mayat-mayat hidup itu menyerang dan memakan beberapa penghuni camp ini.

Tidak, Citra......

"CITRAAAA" aku berteriak dan berlari sambil menembaki beberapa mayat yang menyerang kami. Dila juga mulai menembakkan pistolnya dan berhasil melumpuhkan dua mayat hidup.

"CITRAAA, CITRAAAAA KAMU DIMANA" aku terus berteriak memanggil dia. Mayat-mayat hidup itu terus menyerang, aku membalasnya dengan tembakan dan tebasan, aku mulai putus asa melihat kondisi yang sangat kacau ini.

Citra....

DOR DOR DOR

Aku terkejut saat mayat hidup yang nyaris saja menyerangku dari samping itu terjatuh dan tewas. Kulihat siapa yang menembaknya.

"Kak Dino"

"Citra"

Kupeluk erat tubuhnya erat-erat dan Citra juga membalas pelukanku. Air matanya mulai keluar saat dia menatapku dalam.

"Kak Dino, hiks.... hiks...." isak tangisnya jelas terdengar dari telingaku.

"Aku disini Citra, aku disini"

"Dino, Nadila. Kalian selamat ternyata" Galang menghampiriku.

"Apa yang terjadi Lang? kenapa mayat itu bisa menerobos camp?"

"Aku tak tahu Din, tiba-tiba saja gerombolan mayat itu menyerang di sisi yang kita tak jaga Din. Mungkin mayat itu berasal dari kota" jelasnya panik.

"Kita tak akan bisa habisi mereka, kita harus pergi dari sini" kata Sandi sambil membawa tas berisi senjata api.

"Kemana?" tanyaku.

"Entahlah, kita bisa pikirkan itu nanti. Yang jelas kita pergi jauh-jauh dari sini. Ayo semua naik ke mobil"

Kami berlari menuju tempat parkir mobil. Aku melihat mayat hidup itu mulai berjalan kearah kami, dengan shotgun ini kuhabisi beberapa mayat yang menyerang. Dila dan Citra juga ikutan menembakkan senapannya.

"Sudah lengkap kalian semua? Aya, Anin, Gaby, Fidly, Dani?" teriak Galang yang juga sedang menembakkan senapannya. Tampaknya mereka sudah berkumpul disini

"GABY, GABY DIMANA??" Dila terlihat panik.

"Tadi aku lihat dia sedang menembak mayat itu saat bersamaku" kata Aya yang juga panik.

"Dimana Ay?" tanyaku.

"Disana"

Aku langsung berlari ketempat yang Aya maksud, dengan nekat aku menerobos kerumunan mayat itu, kutembakkan shotgun ini sembarangan kearah mayat itu. Setelah susah payah menerobos aku menemukan Gaby yang tersungkur di tanah dan nyaris saja mayat itu menggigit dia, dengan cepat kutembakkan senjata ini sebelum mayat-mayat itu memakan dia.

Kugendong tubuh Gaby yang terlihat lemas itu, kepalanya mengeluarkan darah, aku terus berlari menuju mobil. Galang dan Dani sedang menghalau mayat-mayat hidup yang menyerang.

"Gaby kenapa Din?"

"Mungkin dia jatuh" kumasukkan Gaby kedalam mobil. Aya terlihat kaget melihat kondisi Gaby.

"Din, kenapa?" tanya dia.

"Kepalanya berdarah, mungkin kebentur sesuatu"

"Semuanya sudah masuk" teriak Galang. Kami membalas.

"Kita pergi dari sini"

Mobil ini melaju meninggalkan camp yang sudah dikuasai oleh mayat hidup. Aku menoleh ke belakang melihat beberapa mahkluk itu berusaha mengejar mobil kami. Aya dan Anin sedang memeriksa Gaby yang masih tak sadarkan diri.

"Ya ampun" Aya terlihat kaget.

"Kenapa Ay?"

"Tangannya, dia terluka" wajah Aya terlihat sangat panik. Aya memperlihatkan lengan kiri Gaby yang basah bersimbah darah, dia langsung merobek bagian. Darah langsung memancar dari luka itu, Aya langsung mengikat bagian sekitar luka dengan kain sekencang mungkin, sedangkan aku memegang tubuh Gaby sambil memperhatikan Aya.

"Dino....ini....." raut muka Aya berubah panik.

Aku tak percaya yang kulihat sekarang.

Gaby.....

Dia tergigit.....

.
.
.
.
.
.
.
Credits Roll
 
Terakhir diubah:
Sedikit Trivia

1. Turut berbelasungkawa untuk kakak tiri yang kemarin2 kena bantai jersey ori (loh kok....)
2. Dengan ini cerita sudah selesai, terimakasih yang sudah membaca dan ikut komen dan like. Tanpa itu mungkin cerita ini bakal macet. Selamat tinggal di lain waktu hehe
Maksudnya cerita yang di camp sudah selesai hehe. Part 2 masih lama kok tamatnya.......
3. Silahkan kalian kasih teori apa yang terjadi pada Gaby
4. Dan untuk episode selanjutnya akan ada tokoh baru hehe
 
Terus aja,..
Sebut aja terus.. Udah dibikin mati juga :sendirian: :sendirian:
Dia akan terus dikenang huhu
Ga usah aneh-aneh deh,.. Stadion masih numpang juga
Hehehe respect hu, ane jg kasian liat kondisi mereka :Peace:
Gaby potong tangan :)
Waduh
Bedain napa.. Yang menang ke puncak, sama yang kalah ama yang di juru.. Bdw, ngmongin apaan ini yak kelean..
Ngomongin benda bulat kenyal yang bisa ditendang dan dipegang huehehe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd