Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
Kereenn suhu karyanya, bacanya kyk real dan flash back dgn serial WD. Mungkin klo digabung ceritanya dengan bumbu resident evil, bakal makin panjang ceritanya hu. Saluut dah.
Baca maraton 1 minggu baru kelar. Memang beda kalau cerita yg dibuat dengan niat sungguh-sungguh. Ditunggu suhu karya selanjutnya :beer:
 
Kereenn suhu karyanya, bacanya kyk real dan flash back dgn serial WD. Mungkin klo digabung ceritanya dengan bumbu resident evil, bakal makin panjang ceritanya hu. Saluut dah.
Baca maraton 1 minggu baru kelar. Memang beda kalau cerita yg dibuat dengan niat sungguh-sungguh. Ditunggu suhu karya selanjutnya :beer:
Makasih hu udah sempetin mampir kesini sampai maraton segala wkwk:ngacir:
 
28. South Beach

"Ughh nyeri banget sih"

Sehari kemudian setelah kejadian gila yang melibatkan aku dan dua wanita, Citra dan Dila, selangkangan ini masih terasa nyeri bahkan untuk buang air kecil saja aku rasa nyeri itu semakin bertambah. Ah sial, mungkin aku harus istirahat "gituan" dulu sampai batang kemaluanku sehat kembali, hehe.

Aku menggeleng-gelengkan kepala mengingat kejadian tak terduga sekaligus gila itu. Tapi aku senang karena itu adalah pengalaman pertama selama hidupku apalagi ini kulakukan bersama orang yang aku cintai, Dila dan Citra.

"Ahhh, kok bisa sih. Masih gak nyangka hhhh...."

"Apaan yang gak nyangka?" aku kaget melihat Aya yang entah bagaimana ceritanya dia bisa ada disini.

"Ehhh bukan Ay, hehe...." kataku kagok. Ekspresi Aya berubah serius.

"Apaan sih, aneh" balasnya. Aku hanya membalasnya dengan garukan kepalaku. "Eh iya Din, apa rencanamu sekarang? kita gak bisa kan disini terus?" tanyanya serius.

"Iya Ay, nanti kita bicarakan sama yang lain. Aku udah ada rencana sih sebenarnya" balasku. Aya sedikit tersenyum mendengarnya.

"Baguslah kalau begitu. Kamu pemimpin kelompok ini sekarang, jadi tanggung jawabmu besar" kata Aya. Aku mengangguk. Dia benar, aku bertekad untuk bisa mempertahankan kelompok ini dari ancaman apapun.

"Yaudah Din, aku kesana dulu. Mau siapin makanan" Aya melemparkan senyum manisnya padaku dan berjalan meninggalkanku, sepertinya dia sudah melupakan kejadian yang mungkin mempengaruhi dirinya. Aya sudah banyak menerima cobaan selama ini mulai dari kelumpuhan yang menimpanya hingga kehilangan kekasihnya, Dani.

Singkatnya aku berjalan santai menuju mobil truk milik Satria, kulihat Saktia yang sedang sibuk mengecek barang-barang milik kelompok kita. Karena kasihan aku menghampiri dia.

"Pagi Sak" ucapku, dia langsung menoleh.

"Eh, pagi Din hehe"

"Aku bantu sini" kataku sambil membantu Saktia mengangkat tas yang sepertinya cukup berat untuk diangkat oleh seorang wanita.

"Emmm makasih Din, tapi sebenarnya aku bisa angkat sendiri kok" kata Saktia.

"Ya sesama teman kan harus saling membantu" balasku. Dia hanya tersenyum saja. Tak lama kemudian kami selesai mengangkat barang-barang itu turun dari mobil. Saktia mengelap keningnya yang berlumuran keringat dengan punggung tangannya, kuberikan dia botol air minum bertanda "Sk" kepadanya. Tanda itu dibuat Melati supaya tidak tertukar katanya.

"Capek?" tanyaku ramah.

"Yah begitulah haha" balasnya sedikit tertawa.

"Eh Dino, Saktia" kami bersamaan menoleh melihat Rachel yang sedang membawa tiga senjata api laras panjang milik kelompok kami.

"Pagi Hel, kamu ngapain?" tanyaku.

"Ini Din, aku abis bersihin senjata-senjata ini mumpung gabut akunya hehe" balasnya.

"Baguslah kalau gitu"

"Kemarin diajarin Satria cara bersihin senjata hehe"

"Walah, taunya nanti deket beneran. Ya kan Din?" celetuk Saktia bercanda.

"Eh gak gitu ya....." balas Rachel bingung, kami hanya tertawa saja.

"Kalau mau deketan minta ijin dulu nih sama adiknya" ucapku. Saktia memukul bahuku pelan. Rachel semakin bingung melihat tingkah kami.

"Ehh.... emmmm....."

"Yaudah terserah kamu aja Hel, tapi asal kamu tahu aja kak Satria agak susah kalau deket sama cewek wkwk" tawa Saktia renyah. Rachel hanya diam saja dengan bibirnya manyun.

"Ihhh apaan dah, aku gak ada niatan deket sama cowok sekarang" sanggahnya.

"Halah boong wkwkwk" kami tertawa bersama yang dibarengi dengan Rachel. Aku senang kami cepat akrab satu sama lain, mengingatkanku pada kehidupan sebelumnya yang penuh dengan interaksi dan sosialisasi, jujur aku merindukan masa-masa itu. Singkatnya aku, Saktia dan Rachel saling membantu mengangkat barang-barang yang masih tersisa sekaligus mengeceknya. Hari sebelumnya mereka pergi berpencar untuk mencari makanan dan barang-barang yang masih berguna, dan berhasil walau sedikit. Aku sendiri tidak ikut karena masih terlelap akibat kejadian gila itu hehe.

Dasar ya, pemimpin loh.....

Kulihat Gaby dan Sandi berjalan kearah kami yang masih sibuk memeriksa barang-barang itu. Wajah mereka tampak sumringah, entah apa yang dipikirkan mereka.

"Wah, pasangan baru" celetukku kearah mereka. Sandi langsung salah tingkah.

"Apaan sih Din" ucap Gaby juga salah tingkah, aku hanya tertawa saja melihat mereka. Saktia dan Rachel juga ikut tertawa. Dalam hati aku sedikit berpikiran kotor kalau mereka habis memadu kasih sepertinya.

"Udah-udah ketawanya haha. Eh iya nanti abis makan kita kumpul dulu ya ada yang mau aku bahas nanti" kataku kepada mereka.

"Oke Din, ayuk Gab kita sarapan dulu" ucap Sandi sambil memegang tangan Gaby.

"Apaan sih San megang tanganku segala, gak malu dilihat sama mereka?"

"Hahaha"

******

Kami berkumpul di luar sambil menyantap sarapan yang memang seadanya. Daging kornet ini agak aneh rasanya walau sudah dihangatkan terlebih dahulu namun aku tetap menikmatinya. Dila dan Citra berada disampingku juga sedang melahap makanan, bedanya Citra hanya memakan makanan ringan saja. Sesekali kusuapi Dila yang dengan manja memintaku untuk menyuapinya, dalam hati aku tertawa karenanya.

"Enak?" kataku kepada Dila yang sedang mengunyah makanan, ia memberi isyarat untuk menelan dulu sebelum menjawab.

"Agak hambar sih Din" balasnya.

"Ya mau gimana lagi Py, syukur banget kita masih bisa makan sekarang"

"Iya Din, aku bersyukur banget kok" jawabnya. "Mmm suapin dong sini" Dila sedikit merengek memintaku untuk disuapin seperti anak kecik, aku langsung mengiyakan saja permintaannya.

"Aakkkk, buka mulut kamu" kataku sambil menyodorkan sendok plastik berisi keratan daging kornet itu, ia membuka mulutnya lucu.

"Mmmhh enak hehe" balas Dila sambil mengunyah makanannya, aku melihat Citra menatapku dengan senyuman khasnya.

"Hehe mesra banget ya kalian" ucap Citra. Aku hanya tersenyum saja.

"Kamu gak makan ini Cit?" tanyaku kepadanya.

"Enggak usah kak hehe, cukup makan makanan ringan ini udah kenyang kok rasanya" balas Citra, Dila bergerak mendekati Citra dan mengambil satu biskuit itu dan memakannya.

"Enak banget Cit, aku minta semuanya ya"

"Gak boleh Nad, ini punyaku hihi" kekehnya lucu.

"Dila emang doyan banget makan Cit, dulu waktu kuliah pernah dia ngabisin dua piring gitu haha" kataku yang dibalas Dila dengan pukulan ke bahuku.

"Ihh gak usah diceritain ke dia lah. Nakal" ucap Dila dengan muka grumpy-nya yang khas itu dan membuatku gemas melihatnya. Citra sontak tertawa mendengar ucapanku.

"Hahaha gitu ya kak, pantesan Nadila rada gendut gitu....."

"Enak banget kalo ngomong ya Cit, aku jitak loh" kata Dila semakin grumpy dan berusaha untuk menjitak kepala Citra, aku semakin gemas melihat tingkah mereka.

"Aghhh canda-canda Nad....."

"Nyebelin sih...."

"Haha udah-udah jangan berantem" ucapku kepada mereka, aku senang sekali melihat keakraban mereka. Citra dan Dila mulai sibuk mengobrol entah apa yang mereka bahas, mungkin membahas tentang malam nanti untuk tidur berdua bersama mereka? Hahaha.

Setelah menghabiskan makanan ini aku berjalan menuju Aya yang sedang sibuk memilah-milah kaleng makanan, dia memang lebih suka menyendiri ketimbang teman-teman yang lain sehingga aku sebagai pemimpin kelompok wajib untuk menemaninya.

"Hei" sapaku, dia menoleh dengan ekspresi datar.

"Iya Din" balasnya.

"Enak sih ini kornetnya hehe" ucapku.

"Beneran? makasih ya Din" balasnya sambil tersenyum, akhirnya aku bisa melihat senyumannya setelah sekian lama.

"Nah gitu dong senyum, kan aku seneng ngelihatnya"

"Apaan sih Din hehe" Aya tersipu malu saat aku puji.

Aku duduk disamping Aya yang bersiap untuk menyantap makanan yang ia pilih, aku melihat teman-temanku yang sedang asyik dengan kesibukannya masing-masing. Citra dan Dila sedang asyik mengobrol sesuatu dengan sesekali mereka mendorong-dorong tubuh sambil tertawa, bahkan sekarang Rachel dan Saktia ikut bergabung bersama mereka. Tak jauh dari aku duduk kulihat Melati dan Fidly juga sedang mengobrol dengan asyik diselingi dengan gelak tawa mereka. Melati memang asyik orangnya.

"Dino, Aya boleh gabung?" tanya Anin yang berjalan menghampiri kami.

"Iya boleh Nin" balasku. Lalu Anin duduk disebelahku sambil meneguk botol air minum.

"Galang mana?" tanyaku kepada Anin.

"Itu lagi di dalam, sibuk sendiri" jawabnya.

"Ohhh, gak apa-apa bagus lah kalau sibuk hehe" balasku lagi.

"Ihh apaan sih Din, gak asyik malahan....." ucap Anin menggerutu, aku langsung tahu apa maksudnya. Kuarahkan kepalaku ke dekat telinganya dan membisikkan sesuatu.

"Pasti nganu ya Nin wkwk"

"Heh Dinoo...."

"Hahaha"

Anin memukul lenganku cukup keras dan aku sedikit mengaduh kesakitan, Aya tampak sedikit tertawa melihat aku dan Anin bercanda.

"Apaan sih kalian haha"

Kami bertiga melanjutkan obrolan kesana-kemari sampai tak sadar kalau matahari sudah naik ke atas langit pertanda hari sudah menjelang siang. Aku senang melihat Aya yang sudah kembali ceria seperti dulu, semoga saja dia bisa mulai melupakan kejadian itu.

Kemudian Anin meninggalkan kami sehingga tinggal aku dan Aya saja yang masih duduk bersebelahan. Kuambil batang rokok dari bungkusnya dan menyulutnya hingga terbakar, hisapan dalam asap rokok itu kunikmati hingga mengisi paru-paruku, ah rasanya nikmat sekali.

"Dino"

"Iya Ay?" balasku ramah.

"Seneng ya lihat mereka bisa bersenda gurau gitu" ucap Aya tersenyum.



"Iya aku seneng kok, sudah lama kita tak merasakan ini setelah di lapangan golf itu. Terlebih kita dapat orang baru juga dan mereka mau bergabung bersama kita. Itu bagus"

"Tapi sebaiknya setelah ini kita tak usah menambah orang lagi untuk gabung ke kelompok kita Din" Aya menoleh menatapku.

"Hmm kenapa Ay?" tanyaku heran.

"Ya kita juga tak tahu tujuan terselubung dari orang-orang yang kita temui Din bahkan termasuk dari kita sendiri. Aku hanya takut jika hal itu akan memecah belah kelompok kita, jujur aku belum bisa terima kedatangan Rachel karena kejadian yang menimpa kamu dan berdampak pada kita....." tambah Aya yang sepertinya cukup serius berkata padaku.

"Aya, kamu tak boleh berkata seperti itu. Rachel sudah banyak membantuku dan mereka yang lain. Kita hanya tidak beruntung saat itu Ay" jelasku setelah kuhisap batang rokok itu. Aya hanya menatapku datar sambil meraih rokok itu ke tangannya, ia menghisap rokok itu pelan dan menyemburkan asap keluar dari mulutnya.

"Iya, mungkin aku salah menilai Rachel Din, tapi aku cuma tak ingin kamu dan mereka mengalami hal yang sama sepertiku...."

"Tidak, itu tak akan terjadi Aya. Kita tak akan kehilangan orang lagi, aku akan berusaha untuk mewujudkannya, aku janji...." aku bersungguh-sungguh menjawab perkataannya. Aya menggangguk paham.

"Semoga saja ya Din, aku percaya sama kamu"

"Makasih Aya...."

Kami kembali terdiam tanpa berkata apa-apa. Kuhisap kembali batang rokok ini dalam-dalam lalu memberikannya kepada Aya yang langsung ia hisap.

"Hmmm Aya...."

"Iya Din?"

"Aku mau ngomong sesuatu, tapi tolong simpan baik-baik ya, aku tak ingin teman-teman yang lain tahu"

"Oke, gak apa-apa" ucap Aya lalu menatapku dengan penasaran.

"Waktu aku, Citra, Dila dan Satria ke kota untuk mencari makanan, rencana itu sebenarnya tidak berjalan mulus Ay. Kami dicegat oleh sekelompok orang-orang yang ingin mengambil barang-barang kami....." kataku memulai, Aya terkejut mendengarnya namun tetap menatapku dengan penuh penasaran.

"Orang-orang itu menyeret Citra dan Dila tepat didepanku dan berusaha untuk melecehkan mereka. Aku berusaha untuk menghentikan mereka namun aku tak mampu....."

"Lalu?"

"Saat kulihat Dila ditampar keras oleh orang itu hingga pingsan, emosiku meledak dan.... aku membunuh orang-orang itu....." ucapanku sempat terputus mengingat kejadian mengerikan itu. Aya kembali terkejut dan sempat ia menutup mulutnya.

"Astaga, Dino...."

"Itulah kenapa aku terpaksa berbohong kepada teman-teman disini karena aku tak ingin mereka cemas dan takut, aku..... aku merasa berbeda saat membunuh mereka Aya....." aku menggeleng-gelengkan kepala semakin tenggelam dengan kejadian itu. "Setelah itu aku sadar bahwa bahaya itu tidak hanya dari mayat-mayat hidup tapi manusia biasa seperti kita....."

"Kulakukan itu untuk melindungi mereka Aya, terutama Citra dan Dila..... aku tak ingin mereka kenapa-napa....."

"Dino...." tangan Aya mengusap-usap punggungku merasakan sedikit nyaman pada diriku.

"Kamu udah melakukan hal yang benar Din...." ucapnya padaku. "Kalau memang kamu yakin orang itu mau berbuat jahat kepada kita, bunuh saja" ucap Aya yang membuatku terkejut karena perkataannya.

"Jujur Din, setelah kejadian di lapangan golf itu. Aku mulai merasa tak percaya dengan orang-orang baru. Dengan pengecualian Satria, Saktia dan Rachel ya Din karena aku mulai yakin mereka bukan orang yang ingin mengusik kelompok kita...." kata Aya, aku menatapnya dengan serius.

"Aku juga pernah membunuh orang Din, waktu bersama kelompok Citra dulu, aku bertemu dengan seseorang yang kakinya terluka dan ia menceritakan padaku kalau dia adalah anggota kelompok yang menyerang lapangan golf Din.... jadi aku bunuh saja karena aku sangat yakin dia adalah ancaman...."

"Aya...." kubelai rambut pendeknya.

"Mungkin ini jalan hidup kita sekarang Din, membunuh atau dibunuh. Aku sadar akan itu, aku juga tak ingin kelompok ini diganggu oleh orang bangsat, kelompok kita sudah aku anggap sebagai keluargaku yang hilang selama wabah ini......" Aya menitikkan air mata yang langsung diseka oleh punggung tangannya.

"Sudah cukup aku kehilangan banyak orang Din, aku tak ingin hal itu terjadi lagi di keluarga kita....."

Aku tertegun mendengar perkataan Aya yang memiliki makna dalam. Sama seperti aku dan teman-teman lain, kita sudah kehilangan segalanya akibat wabah ini. Keluarga, teman, kehidupan normal semuanya hilang karena mayat hidup. Dalam hati aku bertekad untuk melindungi mereka dengan segala kemampuanku.

"Jadi aku mempercayai semuanya kepadamu Din. Kamu pasti bisa melindungi mereka ya...." kata Aya sambil menepuk-nepuk punggungku.

"Iya Aya, makasih sekali lagi...." balasku yang dibalas dengan senyumannya.

"Yaudah Din, gimana katanya mau ada yang diomongin sama mereka?"

"Oh iya ya, hehe nunggu rokok ini abis dulu"

"Aku bantu abisin"

*****

Setelah kami sudah berkumpul diluar untuk membahas rencana yang akan kami lakukan kedepan. Mereka sudah berkumpul dan bersiap untuk mendengar rencanaku.

Aku menjelaskan kepada mereka tentang rencana menuju ke kota Cilacap dengan harapan disana masih ada orang-orang yang selamat dari wabah ini. Galang dan Sandi menyutujui rencanaku begitu juga dengan kawan-kawan yang lain, namun sebelum itu aku memutuskan untuk memeriksanya terlebih dahulu untuk memastikan kota tersebut masih aman dari mahkluk-mahkluk itu.

"Aku akan kesana untuk memeriksa keadaan, jadi kita tak perlu membawa banyak orang untuk memeriksanya. Jadi siapa yang mau ikut denganku?"

Tak terduga, Gaby bersedia untuk ikut denganku. Awalnya Sandi seperti tak setuju dengan keputusannya dan mereka mulai berargumen, aku melerai mereka dan berkata kalau aku tak memaksa Gaby untuk ikut namun dia tetap ngotot.

"Sandi, aku gak akan kenapa-napa kok. Percaya sama aku......"

"Tapi Gaby, kalau kamu ikut aku juga"

"Kan Dino udah bilang cuma dua orang aja. Kalau kamu memang sayang sama aku, tolong....."

"Gaby, udah kalau Sandi gak ngijinin aku cari yang lain aja...."

"Enggak Dino, aku bersedia ikut"

Dan pada akhirnya Sandi mengijinkan Gaby untuk ikut denganku. Ia tampak senang mendengarnya, aku menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka bertengkar karena hal ini.

"Baiklah, aku dan Gaby akan berangkat besok. Untuk hari ini kalian bisa istirahat sambil menjaga tempat ini dari mayat hidup. Tetap waspada kawan"

******

Keesokan harinya, aku dan Gaby sibuk memasukkan barang-barang yang kami perlukan kedalam mobil yang ditemukan Sandi beberapa hari yang lalu. Tak lupa kupilih dua senjata api dan senjata tajam untuk bertahan diri saat perjalanan. Setidaknya kami harus cepat berangkat ke kota.

"Dino...." aku langsung menoleh kearah Dila yang berada didekatku.

"Iya Py?" tanyaku tersenyum padanya.

"Gak lama kan?" kata Dila to the point.

"Besok pulang kok hehe, semoga aja rencanaku ini bisa berjalan lancar...." balasku, Dila menunduk merespon perkataanku.

"Hei, kenapa Py?" tanyaku lagi.

"Emmm.... aku cuma khawatir aja sama kamu Din"

"Hehe tenang saja, aku bisa kok lagian juga ada temennya hehe"

"Iya sih, Gaby. Tapi aku juga khawatir sama dia Dino, selama ini aku dan Gaby selalu bersama gitu" ucapnya.

"Aku akan jagain Gaby juga, aku janji" kataku meyakinkan Dila. Ia tersenyum melihatku.

"Harus dong, dia sahabatku dan juga dia udah punya Sandi. Sebagai pemimpin kamu harus jaga dia" kata Dila yang kubalas dengan anggukan.

"Hmmm Din, aku boleh minta sesuatu?"

"Iya dong boleh, apapun permintaanmu aku turuti...."

"Carikan gitar hehe"

"Oalah siap-siap. Itu mah gampang, di kota pasti ada kok" ucapku.

"Rasanya hampa Din kalau gak ada gitar, lagian aku mau coba bikin lagu setelah ini" balas Dila dengan mata berbinar, aku tahu dia sangat suka dengan musik.



"Wah keren ya kamu, sempat-sempatnya dalam kondisi ini bisa ada keinginan untuk bikin lagu"

"Iya dong haha" Dila tertawa membalasku.

"Kalau boleh tahu lagunya tentang apa?" tanyaku penasaran.

"Tentang kamu Din, sama teman-teman kita" Dila tampak antusias. "Biar kita bisa nyanyi bareng-bareng gitu hehe" tambahnya, aku sejenak membayangkan teman-temanku menyanyikan lagu yang dibuat Dila pasti mereka akan senang untuk melakukannya hehe.

"Hebat kamu Py, bangga banget punya pacar kayak kamu hehe"

"Ihh"

Seketika Dila memelukku dengan erat sekali seakan-akan tak ingin lepas, kuturunkan tubuhku dan wajah kami saling bertatapan, Dila tersenyum manis sekali dan mencium bibirku beberapa saat. Kecupan lembut dan penuh arti dan aku menikmatinya.

"Love you, Py...."

"Love you too... Dino. Janji ya cepet pulang"

"Iya sayang"

Lalu kulihat Citra menghampiri kami yang sedang berpelukan erat, Dila melepas pelukannya dan tersenyum menatapku.

"Tuh Citra juga mau ngomong sesuatu Din" ucap Dila.

Aku menggangguk lalu menghampiri Citra, ia melemparkan senyuman manis padaku dan memeluk tubuhku erat.

"Hati-hati ya kak disana" kata Citra.

"Hehe siap-siap" balasku santai. "Aku titip Dila, tolong jagain dia ya"

"Iya kak, itu sudah jadi kewajibanku" balasnya.

"Tak perlu Cit, aku bisa kok jaga diri hehe" balas Dila disampingnya, kami tertawa bersama.

"Ya pokoknya kalian saling melindungi lah, kan udah akrab juga hehe"

"Dih, enggak wek" ucap Dila sambil menjulurkan lidahnya kearah Citra, aku kembali tertawa melihat tingkahnya yang lucu itu.

"Hahaha"

"Oh iya Cit nanti bantuin aku bikin lagu ya" ucap Dila.

"Wah bikin lagu? Hmmmm gimana ya Nad aku gak bisa...." ucap Citra sambil menggaruk kepalanya.

"Hehe aku ajarin nanti, tenang aja sebenarnya gak susah kok" jawab Dila antusias.

"Hmmm boleh-boleh Nad, aku mau bantu hehe. Nanti sekalian aku ajak Rachel, dia juga bisa main musik seperti kamu Nad"

"Iya Cit, nanti aku bilang sama dia" jawab Dila.

"Yaudah aku mau siap-siap dulu, kalian bahas aja lagunya sekarang" ucapku kepada Dila dan Citra dan mereka membalasnya dengan anggukan dan senyuman.

"Hati-hati disana Dino"

"Hati-hati juga kak"

Singkatnya setelah semuanya siap aku memasuki mobil dan menutup pintunya, dibarengi dengan Gaby. Tak lupa aku membuka jendela mobil dan tampak Galang menyambutku, ia memberi salam padaku dengan erat.

"Hati-hati disana Din, semoga rencana ini berjalan lancar" ucap Galang.

"Siap Lang, aku usahakan besok sudah sampai disini lagi. Oh iya nanti aku kabari pakai radio walkie ini, aku sudah perbaiki semuanya jadi kita bisa saling berkomunikasi" jawabku.

"Siap Din hehe"

Lalu kulihat Sandi juga memberikan salam padaku, binar matanya seakan memberikanku harapan untuk menjaga kekasihnya, Gaby.

"Jagain Gaby ya Din" ucapnya mantap sambil sekilas menatap kekasihnya, Gaby membalasnya dengan senyuman.

"Hoho siap-siap" balasku enteng.

"Aku bisa jaga diri kok San, kamu gak usah khawatir ya" kata Gaby.

"Ya jangan gitu, aku cepet kangen soalnya" balas Sandi.

"Dih...."

"Udah-udah. Kami berangkat dulu, aku titip teman-teman kita Lang" ucapku kepada Galang.

"Itu sudah jadi kewajibanku Din. Aku akan berusaha semaksimal mungkin" balas Galang mantap meyakinkanku.

"Oke Lang, aku percaya sama kamu. Kita berangkat sekarang"

Kuputar setir mobil ini keluar dari tempat kami, aku sejenak melihat dari spion, Citra dan Dila melambaikan tangannya kearahku dan saling bergandengan tangan. Aku bahagia melihat mereka yang selalu bersama.

Mobil ini dengan perlahan mulai meninggalkan "rumah" sementara teman-teman kami, aku menoleh kearah Gaby yang sedang merapikan rambutnya.

"Udah siap Gab?" tanyaku.

"Iya Din, siap"

******

Siang ini tampak mendung sekali, sesekali air hujan dalam bentuk kecil mulai membasahi kaca depan mobil. Aku sendiri sedang menyupir mobil ini kekota bersama Gaby, dia sendiri tampak diam saja sambil kepalanya bersender di kaca jendela samping. Suasana didalam juga hening hanya suara mesin mobil yang terdengar sayup-sayup.

Tujuan kami ke kota untuk menjarah atau mengambil barang-barang yang berguna bagi kelompok kami, terutama makanan. Sekaligus memeriksa keadaan disana yang nantinya setelah pulang, kelompok kami akan menuju kesana kalau kota tersebut aman dari mayat hidup atau mungkin manusia-manusia asing yang ingin melawan kelompok kami.

"Sampai kapan kamu diem terus Gab?" aku mencoba untuk memecahkan keheningan ini. Gaby langsung menoleh kearahku.

"Emmm, emang mau ngobrol apaan Din?" tanyanya.

"Apa aja terserah, yang penting jangan sepi gitu hehe" kekehku.

"Apa ya? padahal aku udah kenal kamu lumayan lama ya tapi jarang ngobrol gitu haha" Gaby tertawa. "Oh iya, aku mau tanya. Kamu percaya sama Satria dan Saktia Din? mereka orang baru kan"

"Aku percaya sama mereka. Lagian kalau aku tak ketemu mereka mungkin aja aku sama Melati masih tersesat di hutan...."

"Iya juga sih Din, tapi entah kenapa aku merasa masih belum bisa percaya sepenuhnya pada mereka....."

"Tenang saja, mereka orang baik kok" kataku meyakinkan Gaby yang dibalas oleh anggukannya. Kami kembali terdiam cukup lama sambil menikmati perjalanan ini. Kuusahakan untuk tidak meng-ngegas mobil ini terlalu kencang untuk menghemat bahan bakar.

"Oh iya Gab, emm...... gimana hubungan kamu dengan Sandi?" tanyaku. Ia tampak terkejut.

"Itu...... ehhh.... gimana ya?" Gaby tampak kagok sambil merapikan rambut panjangnya kembali.

"Aku tahu kok kalian ada hubungan dekat satu sama lain sejak di lapangan golf dulu, hehe. Dan sekarang kalian juga resmi pacaran"

"Entahlah, aku nyaman-nyaman aja sama dia. Tapi....."

"Kenapa?"

"Gimana ya Din, aku agak ragu sama dia...."

"Kenapa ragu?" tanyaku semakin penasaran.

"Dia dua tahun lebih muda dari aku Din, jadi ada sedikit rasa canggung saat kami bertemu gitu" jelas Gaby.

"Ohhh gitu, seharusnya bukan sebuah masalah kan hehe....."

"Bukan gitu Dino, tapi... emmmm....."

"Gimana-gimana? cerita aja ke aku"

"Beneran? nanti kamu ember terus cerita sama yang lain termasuk dia...."

"Santai aja kok Gaby, dulu aku sering kok dengerin curhat-curhat sama temen cewek hehe. Rahasia dijamin" balasku sambil mengacungkan jempol. Gaby masih tampak ragu denganku selama beberapa saat.

"Hmmm yaudah deh, tapi beneran ya gak usah kasih tau sama yang lain"

"Hehe siap. Cerita aja"

"Emmmm, sebelumnya aku pernah nolak perasaan dia saat di lapangan golf dulu"

"Hah? Seriusan?" kataku terkejut. Aku tak menyangka Sandi pernah menyatakan perasaannya ke Gaby saat itu. "Lalu kenapa kamu tolak dia?"

"Karena waktunya enggak pas Din, besoknya kan kita harus melawan orang-orang yang mau nyerang lapangan golf itu, kenapa coba dia malah nembak aku pas situasi darurat kayak gitu" Gaby menjawab dengan ekspresi cemberut, lucu sekali pikirku.

"Ohhh gitu doang ya, berarti seandainya kalau lapangan golf itu gak diserang kamu mau nerima dia?"

Perkataanku tak langsung dijawab Gaby, ia menoleh kearah kaca jendela samping, aku heran dibuatnya.

"Entahlah Din, dia cowok yang berbeda, gak kayak Billy....." ucapnya memalingkan kepalanya ke jendela samping.

"Billy.... tunggu sebentar, aku ingat dengan nama itu" ucapku kepadanya, ia menolehkan kepalanya kearahku.

"Iya Din, Sandi sudah cerita semuanya. Billy adalah kawannya dia waktu itu saat kamu bersama dia" kata Gaby, aku semakin penasaran dengan dia.

"Billy adalah pacarku sebelum wabah ini menyerang Din. Dia dulunya seorang koki yang handal banget kalau masak makanan, aku sekarang masih inget banget dia kalau bikin masakan selalu enak dan aku suka banget...." jelas Gaby sambil senyum-senyum sendiri. Aku menggangguk paham.

"Iya Gab, aku juga masih inget waktu di camp Sandi dia masak makanan buat teman-temanku dan rasanya enak dan nikmat padahal pakai bahan-bahan seadanya" kataku.

"Seandainya kalau wabah ini tidak ada, dia akan menikahiku Din...." perkataan Gaby terputus dan ia tampak mengelap matanya.

"Hidupku sudah pasti bahagia Din, punya suami yang pandai masak sedangkan aku sendiri masih belum mampu...... kenapa dia meninggalkanku begitu cepat dan bahkan aku belum sempat melihat dia untuk yang terakhir kali....."

"Gaby...." kupelankan laju kendaraan ini dan mengelus punggungnya, ia tampak menahan isak tangisnya namun percuma, Gaby akhirnya menangis.

"Hiks... hiks.... emmm.... maaf Din, aku gak tahan...." ucapnya sambil menyeka air matanya yang tersisa.

"Udah gak apa-apa kok. Kamu sudah ikhlas kan?" tanyaku.

"Aku berusaha untuk ikhlas Dino, tapi.... entahlah kenapa susah...." balasnya.

"Pasti bisa, kan sekarang kamu udah punya Sandi...." ucapku, Gaby menatapku tajam lalu membenarkan rambutnya yang sempat menutupi wajahnya sebagian.

"Emmm Din, aku..... sebenarnya ada tujuan lain kenapa aku ingin ikut sama kamu...."

"Apa Gaby?" tanyaku heran.

"Aku..... aku ingin menghindari Sandi...."

"Hah? kok gitu?" tanyaku kembali semakin penasaran bercampur heran.

"Enggak.... bukan gitu Din, kamu jangan salah sangka dulu.... tapi..... aku menghindari dia untuk sementara waktu, untuk memikirkan keputusanku untuk menerima dia benar apa tidak, gitu" jelasnya. Aku paham dengan maksudnya.

"Oalah gitu, tapi ya seharusnya kamu gak perlu ikut denganku kalau begitu. Tadi gitu harusnya aku ajak Rachel atau Satria...."

"Enggak enggak, aku siap bantu kamu kok Din... ini sudah jadi keputusanku dan Sandi juga sudah ngijinin" sanggahnya.

"Hmmm okelah, sekalian kamu pikirin hehe" ucapku sedikit terkekeh. Jujur aku masih tak paham dengan situasi Gaby tapi okelah biarkan dia cari jawabannya sendiri.

Dia sedikit tersenyum dan kembali menyenderkan kepalanya di jendela mobil. Aku kembali fokus menyetir mobil ini, sesekali kudengar Gaby bergumam sendiri sepertinya dia melantukan bait lagu untuk melawan kebosanan, aku tersenyum sendiri mendengar suaranya yang ternyata cukup merdu walau aku tak paham dengan lagu yang dimaksud.

Sudah cukup lama mobil ini berjalan mengikuti jalan alternatif menuju pusat kota yang aku tahu dari papan penanda jalan. Jalanan mulai berkelak kelok dengan pemandangan hutan dan bukit di sebelahnya. Aku menoleh sejenak melihat Gaby yang tertidur. Parasnya memang cantik sekali bahkan disaat tidur pun, terkadang aku merasa gemas sendiri saat ia tersenyum, manis sekali bahkan diperparah dengan lesung pipi yang selalu terbentuk saat tersenyum. Ah! kenapa pikiran kotorku mulai menyerang?



Tubuhnya sendiri memang bagus dan seksi. Terlebih dengan posisi tidurnya yang kedua tangannya mengapit dada sehingga buah dadanya tercetak jelas. Sepertinya bulat dan sekal menurutku, pikiran kotor ini terus berjalan membayangi kalau dia bisa kutiduri nanti.....

Sialan Din! tolong jangan berpikiran kotor! dia sudah punya orang, apalagi kamu juga udah ada Dila ngapain lagi....

"Hahaha" aku tertawa sendiri sambil menggaruk-garuk rambutku. Tidak Din, jangan kau lakukan hal bodoh itu.

"Hah? Sialan!" aku terkejut melihat beberapa kendaraan melintang menghalangi jalan yang akan kami lewati. Dengan terpaksa kuberhentikan mobil ini ke pinggir jalan dan memeriksanya, kubangunkan Gaby yang masih tertidur lelap.

"Emmmm Geb, bangun....." kusentuh pundaknya dan mengguncangnya perlahan, ia langsung terbangun dan menoleh kearahku.

"Mmmm ada apa Din? kita udah sampai?" tanya Gaby sambil mengucek matanya.

"Belum, disana banyak kendaraan yang menghalangi jalan. Kita harus menyingkirkannya" ucapku.

"Yaudah deh aku nurut kamu aja"

Singkatnya kami keluar dari mobil dengan membawa senjata api dan tajam untuk berjaga-jaga kalau ada mayat hidup disana. Tak lupa aku memasang pisau pada barel senjata dengan menggunakan selotip. Aku meniru cara Satria supaya aku bisa melawan mayat itu dengan mudah. Gaby tampak heran melihatku memasang pisau itu.

"Buat apa Din?" tanya Gaby.

"Ya biar gampang aja kalau lawan mayat Gab, jadi kita gak usah bawa dua senjata gitu"

"Ohhh caranya gimana?"

"Ini kamu pasang aja pisau ini ke senjatamu lalu ikat pakai selotip" ucapku. Gaby menggangguk dan langsung memasang pisau itu pada senjata shotgun-nya, tampaknya ia sudah paham dengan ucapanku.

"Gini ya?"

"Nah bener kayak gitu, cepet paham ya kamu" kataku.

"Hehe" ia tertawa kecil.

"Oke, kita singkirkan semua kendaraan disana dan kamu tetap dibelakangku, waspada"

Kami berjalan menuju ke kumpulan kendaraan yang menghalangi jalan itu. Dan seperti yang aku duga ada beberapa mayat hidup yang sudah siap menyambut kami. Aku menyuruh Gaby untuk tidak meletuskan senjata api dan melawannya dengan senjata tajam yang sudah diikat pada senjata sehingga kami tinggal menusukkan saja ke kepala mayat. Mungkin ada enam buah mayat hidup yang untungnya bisa kita habisi dengan mudah. Sepertinya Gaby juga mampu melawan mayat itu tanpa kesulitan berarti dan aku kagum sama dia yang memang sudah mampu beradaptasi dengan kondisi ini.

"Huffftttt.... kayaknya tinggal ini doang Din" ucap Gaby sambil melepaskan senjatanya yang tertancap pada kepala mayat hidup.

"Sepertinya. Yaudah kita dorong mobil ini bareng-bareng"

"Iya Din, ayo"

Kami bersama-sama mendorong salah satu mobil berjenis sedan itu ke pinggir jalan, untung saja mobil tersebut tidak berat sehingga kami dapat menyingkirkannya dengan mudah, namun masih banyak mobil-mobil yang tersisa disini dan akan menjadi pekerjaan yang melelahkan sepertinya.

Karena kelelahan, kami menghentikan sejenak kegiatan mendorong mobil ini dan beristirahat. Gaby mengambil dua botol air dari mobil kami dan memberikannya padaku, kuteguk air minum ini hingga tinggal setengah. Kulihat dia mengelap keringat wajahnya dengan tangan dan mengikat rambut panjangnya, terlihat kulit lehernya yang mengkilap karena keringat. Jenjang dan seksi, hehe.

"Capek ya Gab?" tanyaku kepadanya.

"Iya. Huffttt tapi lumayan lah dapet keringat hehe" balasnya.

"Iya juga sih, malah sehat haha. Oh iya, aku harus kabarin Galang" kuambil radio walkie dari saku celanaku dan mencoba untuk menghubungi teman-temanku disana, semoga saja radio walkie ini dapat terhubung kesana.

Bzzzzttt bzzzttttt

Sialan! padahal sudah kuatur pada frekuensi yang bisa dihubungi namun hanya terdengar suara statis yang menandakan kalau sinyal ini belum dapat mencapai kesana. Aku berusaha untuk terus mengotak-atik radio walkie ini.

"Halo.... Halo.... Galang... Masuk" ucapku, namun belum ada balasan padahal aku yakin frekuensi ini sudah kuatur dengan benar.

"Ah, anjing!"

"Kenapa Din? sinyalnya belum masuk?" tanya Gaby ingin tahu.

"Iya Gab, padahal aku yakin sinyalnya bisa sampai kesana......"

Bzzzzzttt bbbzzzttttt

"Hei.... Dino.... Masuk......." ternyata Galang membalas panggilan ini, aku langsung menekan tombol "IN" pada radio walkie untuk membalasnya.

"Hei Lang.... gimana suaraku masuk......"

"Iya Din..... lumayan.... walau bzzztttt kurang jelas..... Bbbzzzzttt" ucap Galang walau masih terdapat suara statis namun dia bisa mendengarku.

"Oke Lang, kita sudah setengah perjalanan tapi kami harus menyingkirkan kendaraan yang menghalangi jalan disini" ucapku sambil tak lupa menekan tombol "IN" supaya suaraku bisa masuk kesana.

"Bbzzzzzttt...... oke Din, bukan masalah.... Bzzzttttt..... semoga rencanamu berjalan...... Bbzzzttt..... lancar......."

"Dinooo......"

"Kak Dinoo......"

Aku terkejut mendengar suara Citra dan Dila disana.

"Lang, aku mau ngomong sama Dila"

"Iya Din, silahkan....."

"Dino..... bbzzzttt..... kamu gak kenapa-napa...... Bbzzztt.... kan disana?" suara Dila keluar dari speaker walkie ini dan aku sontak tersenyum.

"Iya Py, aku baik kok sama Gaby. Keringetan doang hehe...."

"Bbbzzztttt..... ihhh gitu yaahhh. Yaudah...... Bbzzzttt deh kamu cepet pulang ya.... Bzztttt..... jangan lupa janjimu....."

"Hehe siap"

"Kak Dino..... bbzzztttt..... senang bisa denger suaramu.... Bbbzzzttt" giliran suara Citra yang terdengar di walkie-ku.

"Iya Citra, aku senang juga"

"Bbbzzztt.... oh iya kak.... Ini kak Sandi mau ngomong ke Gaby....."

"Oke. Gab, ini pacarmu mau ngomong" ucapku sambil memberikan walkie itu kepada Gaby, bibirnya manyun membalasku.

"Ihhh.... Sandi...... ada apa?" ucap Gaby.

"Bbzzzttt...... hehe gak apa-apa sih..... Bbzzzzttt.... pengen dengar suaramu aja..... Bbzzzttt"

"Nyebelin ah, cuma itu aja....." gerutu Gaby sambil memayunkan bibirnya kembali, aku tertawa melihatnya.

"Bbzzzttt..... hahaha..... hati-hati ya disana.... Bbzzttt.... aku sayang kamu...."

"Mmm.... iya Sandi, aku juga....." ucapnya senang lalu memberikan radio walkie itu kepadaku.

"Yaudah Lang, kita akan lanjutkan perjalanan. Nanti kalau sudah sampai aku kabari lagi...."

"Bbzzzttt.... oke Din, hati-hati...."

"Ayo Geb, kita lanjutin dorong mobilnya" ajakku kepadanya yang langsung dibalas dengan anggukan.

"Yuk"

Singkatnya kami berhasil menyingkirkan mobil-mobil disini walau tetap saja melelahkan setelah kami sempat mendorong sebuah mobil jip besar, setelah semuanya beres kami kembali masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan kami tak menemui halangan apapun hanya beberapa mayat hidup yang seakan-akan menyambut kami, akan tetapi kami abaikan saja mereka.
Kulihat Gaby melihat-lihat pemandangan pada kaca jendela samping mobil, terkadang ia terkejut melihat sesuatu yang mungkin menyeramkan baginya.



"Ngeri ya Din" ucapnya.

"Ada apa? kok ngeri?" tanyaku balik.

"Aku tadi lihat ada mayat hidup tapi wujudnya anak kecil Din, dan dia kayak gandeng tangan mayat hidup yang mungkin itu ibunya gitu....." kata Gaby dengan ekspresi sedikit ketakutan.

"Kirain kamu udah biasa liat yang begitu Geb, there is not worse..."

"Really? what's worse?" balasnya penasaran.

"People who trying to fuck us. That's a worst thing" ucapku tanpa melihatnya.

"Ehm, iya sih..... aku masih gak menyangka ada orang jahat yang mengganggu kita Din." balasnya.

"Beginilah kehidupan kita sekarang Gaby, kita tak harus percaya sama orang-orang yang pertama kali kita temui. Walau mungkin tujuan mereka baik"

"Kenapa gitu Din?" tanya Gaby penasaran.

"Entahlah..... aku cuma tak ingin kelompok kita.... maksudku keluarga kita kena bahaya" jawabku. "Saat aku bertemu dengan orang-orang yang menyerang lapangan golf dulu aku mengira mereka orang baik seperti kita, ternyata aku salah, mereka bajingan" jawabku lagi, sebenarnya aku ingin menceritakan kejadian itu kepada Gaby namun aku urungkan saja.

"Ya pokoknya mau gak mau kita harus siap menghadapi bahaya kedepan Gab, demi untuk bertahan hidup"

"Iya Din, aku paham"

Kami kembali terdiam cukup lama menikmati setiap kilometer perjalanan ini. Aku terus fokus untuk menyetir mobil dan mengatur kecepatan supaya tidak kehabisan bahan bakar. Sepanjang perjalanan tak ada yang menarik selain jalanan kosong.

*****

"Sepertinya kita mau sampai Gab"

"Iya Din"

"Setelah ini kita keliling kota untuk memeriksa keadaan disana" ucapku.

"Terus?"

"Ya kalau memang benar-benar aman aku tinggal kabarin Galang lalu besoknya pulang. Kita akan singgah ke kota ini gitu" jelasku. Gaby menggangguk paham.

"Oke siap"

"Moga aja aman dah"

Singkatnya mobil ini terus melaju sampai akhirnya kami sampai di pusat kota. Suasana di sekitar memang sangat sepi dan mencekam ditambah dengan puing-puing bangunan yang tercecer di jalan, aku harus memelankan mobil ini dan menghindari puing. Terkadang kami menemukan beberapa mayat-mayat hidup yang kami abaikan saja.

Gaby dengan rasa ingin tahu melihat-lihat kondisi kota lewat kaca jendela.

"Kok kota ini bisa hancur ya Din?" tanyanya.

"Kayaknya abis di bom militer deh sepertinya. Aku yakin penduduk disini juga sudah mengungsi entah kemana"

"Sama kayak Jakarta, Bandung. Memang wabah ini benar-benar memberikan dampak yang dahsyat" balasnya.

"Mungkin semua kota besar juga Gab. Agh, tampaknya memang kota ini sudah tak bisa ditinggali lagi" ucapku kesal. Mobil ini terus melaju pelan ke dalam pusat kota, aku melihat reruntuhan gedung yang mungkin dulunya adalah supermarket, lalu kami menemukan gedung pemerintahan yang juga sudah runtuh tinggal dinding saja. Sejenak aku berpikir kalau penduduk di kota ini tak hanya mengungsi namun mungkin setengahnya sudah menjadi mayat sehingga militer membom habis kota ini.



Tak lama kemudian mobil ini berhenti karena jalan utama ini tertutup puing bangunan sehingga kami tak bisa lewat. Kuputar setir mobil dan memutar balik ke jalan yang semga saja tidak terhalang.

"Kita muter-muter doang berarti Din?" tanya Gaby yang sepertinya bosan.

"Ya begitulah" jawabku.

"Eh Din, apa itu?" Gaby menunjuk kearah depan jalan.

"Entahlah, kita coba kesana"

Mobil ini melaju kearah sesuatu yang menarik perhatian kami, dan ternyata yang kami temukan adalah puing-puing helikopter milik militer kalau dilihat dari logo yang menempel pada ekor heli. Kuberhentikan mobil ini untuk memeriksanya sedangkan aku menyuruh Gaby untuk tetap didalam.

"Kamu disini ya, aku coba periksa"

"Iya"

Singkatnya aku berjalan dengan hati-hati ke puing helikopter itu sambil membawa pistol revolverku. Tak ada benda-benda yang bisa kuambil selain mayat tentara yang sudah membusuk bahkan sebagian tinggal tulang saja. Setelah yakin tak ada apa-apa aku berjalan kembali ke mobil.

"Gimana?"

"Gak ada apa-apa sih, kita coba lewat situ aja" balasku sambil menunjuk ke jalan yang sepertinya kosong.

GRRRGGGGHHHH

RRRAAGHHHHHH

Kami seketika terkejut saat mendengar suara mayat hidup yang berasal dari belakang mobil, jumlahnya cukup banyak setelah aku menoleh kebelakang.

"Ayo Din"

"Iya, sebentar"

BBRRRMMMMMM

Mobil ini melaju cukup kencang melewati beberapa gerombolan mayat hidup yang berusaha mengejar kami, tapi untunglah laju kendaraan ini lebih cepat dari langkah kaki mereka.

"Hampir aja Gab"

"Aku deg-degan Din"

"Hehe tenang-tenang kita sudah lolos dari mereka"

Lalu kami melanjutkan perjalanan memutari seluruh jalanan kota yang masih bisa dilewati. Ternyata mayat-mayat hidup disini berjumlah cukup banyak sehingga kami harus memutar balik mobil ini berkali-kali. Sebenarnya aku ingin mencari tempat yang menjual alat musik atau sejenisnya, sembari mengegas mobil aku celingak-celinguk melihat semua bangunan di pinggir jalan tapi anehnya aku tak menemukan tempat yang kuinginkan.

"Agh, dimana sih..... masak kota segede ini gak ada....."

"Apaan sih Din, kok ngomong sendiri" tanya Gaby.

"Ehhh aku mau cari gitar Gab, buat Dila-ku tersayang hehe"

"Ihhh dasar" gerutu Gaby. "Tapi emang Nadila suka banget sama gitar Din"

"Iya, obsesinya dengan musik besar sekali. Bahkan rencananya dia mau bikin lagu setelah kita pulang nanti"

"Wah keren ya, kamu pasti bangga punya kekasih kayak dia" ucap Gaby senang dan aku membalasnya dengan senyum cengar-cengir. "Suara dia juga bagus sama jago banget main gitar Din, sebelum kami bertemu kelompokmu dia selalu menyempatkan untuk bernyanyi bareng-bareng waktu itu, walau aku gak mahir nyanyi tapi dia sempat mengajariku hehe" jelas Gaby senang.

"Dan juga awalnya dia bawa gitar kesukaannya tapi sayang rusak saat itu" tambahnya.

"Aku ingin mewujudkan impiannya Gab, dan aku sangat menyayangi dia...." ucapku.

Setelah berkeliling-keliling kota akhirnya kami berhasil menemukan toko alat-alat musik yang anehnya tidak hancur tak seperti bangunan lainnya. Aku dan Gaby langsung keluar dari mobil dengan tak lupa membawa senjata untuk melawan mayat hidup jika ada. Toko itu sepertinya terkunci rapat saat kucoba untuk membukakan pintu namun dinding luarnya terbuat dari kaca sehingga kuputuskan untuk memecahkannya.

Kami masuk kedalam toko alat musik itu, suasana didalam masih sangat rapi tanpa ada tanda-tanda mayat hidup. Tak sulit untuk menemukan gitar yang aku cari, namun sialnya ada beberapa disini sedangkan aku kurang paham akan jenis-jenis gitar yang biasa dipakai Dila.

"Kayaknya yang ini Din" kata Gaby sambil membawa salah satu gitar yang sepertinya cukup mahal harganya.

"Sini aku coba"

Ia memberikan gitar itu padaku lalu kucoba memetiknya. Suaranya bagus menurutku dan kualitas senarnya juga bagus. Aku yakin ini gitar yang disukai Dila.

"Kamu bisa main emangnya?"

"Dulu waktu kuliah pernah diajarin Dila tapi udah lupa-lupa ingat sekarang hehe" balasku. Lalu kuambil sarung gitar yang letaknya tak jauh dari posisiku dan memasukkannya.

"Oke dah beres, sekarang kita ngapain lagi?"

"Emmm..... Din, aku boleh minta sesuatu gak?' tanya Gaby.

"Yaudah ngomong aja"

"Kita ke pantai yuk, aku bosen"

"Lah? kok gitu?" tanyaku heran.

"Emmm.... gimana ya Din, aku pengen mikirin keputusanku untuk menerima Sandi seperti yang aku bilang tadi, yaaa.... pengen merenung gitu" balasnya meminta. Aku berpikir sejenak, mungkin ide bagus juga sih terlebih aku juga sudah lama tidak merasakan indahnya pantai. Tapi di sisi lain aku tidak tahu bahayanya kedepan.

"Boleh ya?" tiba-tiba ia memegang tanganku erat seakan-akan menunggu jawabanku yang ditambah dengan tatapan mukanya memohon.

"Yaudah deh kita kesana, tapi jangan lama-lama....."

GREP

Seketika Gaby memeluk tubuhku erat, aku sempat terkejut dengan sikapnya namun kubalas pelukannya juga. Buah dadanya menempel di perutku karena perbedaan tinggi badan. Sekal dan bulat kurasa.

"Makasih ya Dino. Ayo kita kesana....." ucapnya setelah melepaskan pelukannya. Jujur aku sempat terlena dibuatnya.

*****

"Ya Tuhan, bagus banget pantainya....."

Gaby langsung berlari menuju tepi pantai dengan cepat sampai aku sendiri tak bisa menyusulnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Gaby yang seperti anak kecil menurutku.

"Tunggu Gab....."

Ia tampak senang sekali sambil berusaha memercikan air laut berulang kali. Suasana di pantai ini memang sepi sekali tanpa tanda-tanda mayat hidup, hanya pasir pantai dan beberapa kapal nelayan yang terdampar menghiasi tempat ini.

BYUR BYUR

"Ah sialan! jadi basah deh" ucapku kesal saat Gaby dengan sengaja memercikan air laut kearahku. Ia tertawa lepas melihatku.



"Hahaha, kan kita bawa baju Din...."

BYUR BYUR

Kubalas perbuatan dia sehingga bajunya juga ikutan basah, aku ikut tertawa.

"Ihhh Dinooo....."

"Rasain lu Gab, biar kamunya ikutan basah hahaha"

Kami bermain-main air bersama seperti anak kecil, tapi jujur saja aku sangat merindukan suasana seperti ini jadi tak heran. Setelah merasa lelah kami duduk di pasir pantai sambil menikmati desiran ombak pantai yang cukup besar, berbeda dengan pantai utara yang ombaknya kecil. Suara air menggulung yang disertai dengan hembusan angin kencang khas pantai menambah syahdu suasana sore ini.

Kulihat Gaby meraih pasir pantai didekatnya lalu membuangnya kedepan, pasir itu langsung hilang ditelan ombak.

"Jadi gimana?" tanyaku memecah keheningan.

"Gimana apanya?" Gaby malah bertanya balik.

"Ya itu, yang sekarang lagi mengganjal hatimu"

"Owh"

"Gimana?"

"Ga tau Din....."

"Yahh" keluhku sambil mengambil pasir lalu melemparkannya ke pantai sama seperti dia. Kami terdiam menikmati indahnya suasana pantai, kulihat sejenak Gaby yang melihat laut disana tanpa ekspresi.

"Dino...."

"Iya Gab"

"Aku salah gak sih?" tanyanya tanpa menoleh.

'Salah kenapa?" balasku tak mengerti.

"Ya itu Din, tentang Sandi. Aku salah gak kalau misalnya aku tak benar-benar cinta sama dia?" Gaby menoleh kearahku dan saling bertatapan.

"Sebenarnya jujur aja, kamu memang gak ada perasaan sama sekali dengan Sandi?" tanyaku serius. Gaby mematung sejenak seperti memikirkan pertanyaanku.

"Emm, ada"

"Bener? jawaban dari hatimu?"

"Iya Din, ada"

"Lalu kenapa kamu ngomong seperti itu Gab? seharusnya kalau kamu memang ada perasaan sama dia ya jalanin aja....."

"Enggak Din, bukan gitu.... aku memang punya perasaan sama dia tapi bukan berarti aku juga cinta sama dia. Aku cuma tak ingin salah aja" jawabnya serius. Kami kembali terdiam menikmati ombak pantai yang deras.

"Hmmm gini Gaby, jujur ini menurutku ya, kamu salah memikirkan hal itu. Aku yakin Sandi tulus mencintai kamu Gab, kalau kamu tiba-tiba minta putus sama dia aku yakin Sandi akan kecewa banget. Kasih dia kesempatan buat buktikan, Gaby....." ucapku. Gaby menatapku dalam memikirkan perkataanku.

"Aku yakin Sandi cowo yang baik. Mungkin lebih baik dari aku sendiri hehe....."

"Mmmmm gitu ya Din, aku akan coba jalanin ini semua. Makasih atas sarannya Din"

"Hehe kan kita temen Gab, bisa saling curhat dan beri solusi hehe" balasku. Ia tersenyum manis, sepertinya ia sudah menemukan jawabannya sekarang dan aku senang akan hal itu.

"Oh iya Din, tadi kamu sempet ngomong "lebih baik dari aku sendiri"...... kamu juga cowo yang baik kok hehe pantas saja Nadila suka banget sama kamu....."

"Kamu salah Gaby, aku gak pernah merasa jadi cowo baik selama ini....."

"Eh? masak sih? coba cerita sini...." entah kenapa Gaby seakan seperti ingin sekali menggali sifat jelekku. Apa aku harus menceritakan semuanya?

"Emmm... gimana ya Gab, kamu nanti ember sama yang lain" ucapku sambil menggaruk kepala.

"Hehe janji deh, aku juga sama kayak kamu Din suka dengerin curhatan cowo..."

"Wah dulu pacarnya pasti banyak ya" candaku. Gaby langsung cemberut mendengarnya.

"Ihhh enggak ya. Cuma Billy sama Sandi doang Din" balasnya, aku tertawa melihat reaksinya. "Yaudah ceritain dong, kan aku juga udah cerita semua ke kamu. Sekarang gantian"

"Iya iya deh, tapi janji ya ini rahasia kita berdua"

"Hehe sip"

"Hmmm cerita apaan ya?" kataku bingung.

"Ya yang tadi, kenapa kamu anggap sendiri cowo yang gak baik Din"

"Hmmmm.... tapi kamu jangan kaget ya"

Akhirnya aku bercerita tentang diriku, lebih tepatnya masa laluku sendiri kepadanya. Gaby tampak mendengarnya dengan serius, sesekali ia tertawa saat cerita ini sampai di bagian yang lucu. Di titik ini juga aku merasa semakin dekat dengan seorang Gaby sehingga aku memberanikan diri untuk cerita tentang hal yang sedikit miring.

Yep, aku menceritakan tentang aku yang sebenarnya lebih tepatnya saat kami masih menjalani kehidupan normal.

Gaby tampak terkejut saat kuceritakan tentang kehidupanku setelah Dila "meninggalkanku" ia menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah tak percaya denganku.

"Masak sih? gila banget kamu Din"

"Ya begitulah kenyataannya Gab"

"Gak nyangka sih kamu orangnya fuckboy..... jujur aku gak suka sifat cowo kayak gitu. Itu sifat jelek Din, gak bisa menghargai wanita..." ucapnya serius dan aku hanya diam saja tanpa meresponnya.



"Jadi dari beberapa cewe yang kamu kencani dan tiduri, kamu sama sekali tak ada rasa sama mereka?" tanya Gaby sambil jarinya memberikan tanda saat ia ngomong "tiduri".

"Enggak. Aneh, padahal aku melakukan itu untuk melupakan Dila, malah aku semakin tak bisa melupakannya waktu itu...." balasku yang membuat Gaby kembali menggelengkan kepalanya. Tentu saja aku tak akan menceritakan ke Gaby tentang hubunganku dengan beberapa wanita di kelompok kami, dia pasti akan marah sekali.

"Berarti kamu lemah Din. Kalau Dila sampai tahu hal ini, aku yakin dia bakal sangat kecewa sama kamu. Kamu hanya menggunakan hawa nafsumu sebagai pelampiasan Din" ucapnya tegas, yap dia sedang menghakimiku sekarang dan aku hanya terdiam.

"Aku tak tahu harus bagaimana lagi Gab, aku kacau waktu itu. Bahkan aku tak paham dengan diriku sendiri...." ucapku. "Aku tak mau Dila tahu keadaanku sebenarnya saat dia meninggalkanku Gab...."

"Dia gak perlu tahu Din...." jawabnya. "Itu rahasiamu dan kamu berhak untuk menyimpannya" tambah Gaby serius. Aku menghela napas lega mendengarnya.

"Tapi sekarang aku sudah tidak seperti itu Gab, aku tak menyangka bisa bertemu Dila lagi"

"Emmm iya..... tapi coba kamu pikir, seandainya kalau kamu tak bertemu dia lagi, apa kamu akan terus melakukan hal bodoh itu Din?" tanya Gaby serius, matanya menatapku tajam seolah-olah ingin menggali jawabanku. Sejenak aku terdiam memikirkan ucapan Gaby yang jujur cukup menusuk hatiku. Susah, susah sekali untuk menjawabnya.

"Aku tak tahu....."

"Cowok itu harus punya pendirian kuat Dino" ucapnya sambil memukulkan tangannya ke bahuku pelan. "Jika kamu memang mencintai seorang wanita kamu harus commit dan tidak memainkan perasaannya, aku tahu cewe lemah soal rasa dan itu adalah senjata utama cowo hidung belang buat menarik si cewe....."

"Aku bukan cowo hidung belang Gab...." aku jawab dengan sedikit emosi, namun juga malu karena ini untuk pertama kalinya aku berhadapan dengan wanita yang cerdas soal cowok.

"Emmm iya iya Din. Aku percaya kamu kok mungkin kamu sudah berusaha untuk berubah" balas Gaby. Ah, kenapa aku semakin merasa akrab dengannya.



"Jadi aku bisa tarik kesimpulan kalau kamu punya sifat gampang suka sama cewek tapi juga gampang buat ninggalin hehe....."

"Eh? kamu kok bisa tahu?" tanyaku heran.

"Ilmu psikologi ini akhirnya bisa aku gunakan hehehe. Iya Din, aku lulusan psikolog jadi aku bisa baca sifat orang gitu hehe"

"Dih, sialan hahaha. Enak ya si Sandi bisa dapet cewe cerdas kayak kamu" balasku sambil mendorong tubuhnya pelan.

"Ihhh apaan sih haha"

"Eh iya, kita asyik ngobrol gini sampai gak kerasa udah sore" kataku menatap langit yang mulai mendung.

"Iya Din. Tapi sayang malah mendung gak bisa lihat sunset" balasnya.

"Yaudah kita cabut yuk. Masih ada bagian kota yang belum kita periksa Gab"

*****

Singkatnya kami menyusuri kembali setiap jalanan yang belum dilewati. Sesekali kami berhenti saat melihat bangunan minimarket yang ternyata tidak hancur dan untungnya juga masih ada beberapa bahan makanan dan pakaian yang bisa kita ambil. Tentu saja perjalanan ini tidak mulus akibat mayat-mayat hidup yang terus mengganggu kami, kami berusaha dan saling bekerja sama melawan mayat-mayat itu. Aku sendiri semakin kagum padanya yang mampu melawan mahkluk itu, selain cerdas dan cantik, insting bertahan hidupnya semakin berkembang saja.

Sialnya, hujan turun sangat deras tepat disaat matahari sudah terbenam sehingga kami terpaksa berlindung di sebuah bangunan rumah bertingkat dalam pusat kota. Aku sudah berusaha untuk mengabari Galang lewat radio walkie tapi hasilnya nihil, aku tahu karena cuaca buruk ini sinyal radio pasti terganggu.

Aku duduk terpaku menatap kaca jendela yang basah oleh air hujan, kulihat gerombolan mayat-mayat hidup mulai mengerubungi area sekitar rumah ini. Memang suara hujan dan guntur menarik perhatian mayat-mayat hidup, ya bisa dikatakan kita sekarang terjebak. Aku hanya bisa berharap besok pagi mayat-mayat itu sudah pergi.

"Din, ini minum" Gaby menghampiriku sambil memberiku botol air. Aku langsung mengambilnya dan meneguknya habis.

"Kamu laper? makan aja tuh" ucapku.

"Lah kamu sendiri?" tanyanya.

"Emmm.... belum laper sih"

"Makan barengan aja Din hehe"

"Yaudah deh"

Aku dan Gaby duduk bersender di dinding sambil melahap makanan ringan yang kami bawa. Hanya sebuah biskuit yang untungnya tanggal kadaluarsanya masih berlaku, kami tetap menikmatinya. Terkadang aku dan Gaby saling mengobrol kesana-kemari dengan tujuan untuk saling mengakrabkan diri, aku sendiri semakin terasa nyaman dengannya karena kemampuannya untuk asyik mengobrol yang selalu nyambung, sesekali kami tertawa bersama saat membahas hal-hal yang lucu seakan melupakan situasi sulit yang kami alami sekarang.

Hujan di luar semakin deras saja yang sekarang disertai dengan angin kencang. Kuusap-usap kedua telapak tanganku berulang kali untuk menciptakan panas pada tubuhku namun tetap saja rasa dingin itu cukup menusuk. Gaby sendiri sedang duduk disampingku dengan mengenakan jaket hitam milikku untuk mengurangi rasa dingin. Raut wajahnya datar sambil melihat kaca jendela yang basah.

"Kira-kira kita bisa keluar dari sini Din?" tanya Gaby memecah kesunyian.

"Bisa lah, asal kita bisa kerjasama melawan mereka, tak ada yang perlu dikhawatirkan" balasku mantap walau dalam hati kecil sebenarnya aku juga khawatir.

"Hmmm.... mereka disana gimana ya Din?"

"Aku yakin mereka gak kenapa-napa. Emang kenapa Gab? kangen Sandi?" tanyaku bercanda. Raut muka Gaby langsung berubah.

"Ihhhh gak dia doang Dino. Temen-temen yang lain juga lah. Hayoo aku tebak kamu juga kangen Nadila kan"

"Iya dong, baru sehari doang aku sudah ingin banget meluk dia erat hehe"

"Dasar bucin"

"Biarin. Kamu sendiri juga"

"Dinooo ah....."

BRUK

Gaby yang berusaha untuk mendorong tubuhku tiba-tiba saja terjatuh, tubuhnya terjatuh menimpa tubuhku di bawah, pantatku terasa sakit karena bertubrukan dengan lantai. Sontak secara bersamaan terdengar suara guntur yang lumayan keras, kami saling bertatapan dalam posisi ini. Waktu terasa seperti berhenti saat kulihat wajahnya yang cantik dan manis itu.

Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kepalaku bergerak keatas menuju wajah Gaby dan menyambar bibir tipisnya. Dia terkejut melihat aksiku namun dengan cepat kuraih lehernya dengan tanganku dan menguncinya berharap dia tak lepas dari cumbuanku.

"Mmmmmm....." entah kenapa Gaby justru bergumam. Apakah dia menerima ciumanku?

Dan ternyata dugaanku benar, bibir Gaby mulai bergerak membalas cumbuanku dengan pelan dan lembut. Suara lirih yang keluar dari sela bibirnya seakan menandakan kalau dia menyukai perlakuanku. Deru napas kami saling bertabrakan pada wajah, aku memejamkan mata meresapi irama dan rasa pada cumbuan ini.

"Ccpppppp..... Mmmmmm....."

Kuberanikan untuk menjulurkan lidah masuk kedalam rongga mulut Gaby lalu berusaha untuk memainkan lidahnya, awalnya dia sedikit terkejut namun tak butuh waktu lama ia meresponnya sehingga lidah kami saling berdansa didalam rongga mulutnya.

Namun sesaat kemudian aku merasakan hal aneh dalam diriku, terpampang wajah Dila yang melayang-layang di pikiranku. Seakan-akan tersadar, aku langsung melepaskan bibirku dari bibirnya.

"Ma.... maafkan aku Gaby.... aku kelewatan" ucapku merasa bersalah.

Ia hanya terdiam saja sambil membetulkan posisinya. Sekarang kami kembali duduk bersender di dinding, tak ada perkataan dari dia sama sekali. Jujur aku merasa bersalah sekali sama dia karena baru saja tadi sore aku bilang padanya untuk tidak melakukan hal bodoh itu namun aku mengingkarnya.

"Gaby, maafkan aku...." kataku memecah kesunyian. Ia langsung menoleh kearahku dan anehnya ia justru tersenyum padaku.

"Benar kan dugaanku Din, kamu memang gampang suka sama cewek" balasnya yang membuatku terheran-heran.

"I... iya Gaby, maafkan aku...." balasku tertunduk menyesali perbuatanku padanya.

"Tapi aku lihat kamu sudah bisa melawan sifat jelek itu Din, ya.... gak apa-apa sih tapi jangan kamu ulangi lagi hehe" balasnya terkekeh, aku masih menunduk saja.

"Hmmm apa yang kamu pikirkan tadi Din sampai kamu melepas bibirku?" tanya Gaby penasaran.

"Enggg..... aku keinget Dila Gab"

"Hehe bagus kalau gitu. Berarti aku bisa tarik kesimpulan kalau kamu memang serius mencintai Nadila, dan sebenarnya tadi aku memang sengaja ngelakuin itu Din..."

"Hah?" jelas aku kaget.

"Hehe iya. Aku sengaja jatuhin badanku ke kamu, penasaran sama reaksimu dan dugaanku benar kamu malah cium bibirku" ucapnya, aku semakin heran dibuatnya.

"Aku ngelakuin ini semua buat ngetest kamu Din, pengen tahu reaksimu saat dalam situasi kayak tadi hehe. Maaf ya" ucapnya. Dalam hati aku justru mentertawai diriku sendiri, mungkin ini pertama kalinya aku mengurungkan niat untuk melakukan hal yang lebih jauh setelah bercumbu bibir. Gaby menatap wajahku dan kembali melemparkan senyumannya.

"Hihi kenapa Din? jangan-jangan kamu mulai suka sama aku...."

"Eh enggak ya, kamu kan udah punya orang..... jadi yaa.... aku anggep temen aja" balasku. Gaby tersenyum mendengar ucapanku. Ya walau sebenarnya aku juga sebal karena ulahnya tadi.

"Hmmm aku ngantuk Din. Kamu sendiri?" tanya Gaby.

"Belum sih"

"Tinggal tidur dulu ya, udah gak kuat hehe"

"Yaudah silahkan tidur"

"Tapi awas gak boleh macem-macem" kata Gaby dengan ekspresi tajam yang dibalas dengan anggukanku. Lalu ia merebahkan tubuhnya ke alas tikar yang sudah kami gelar sebelumnya. Aku sedikit tertawa entah kenapa, seharusnya aku bisa menidurinya sekarang menyetubuhinya habis-habisan sebagai balasan namun aku mengurungkan niat itu dan membuangnya jauh-jauh.

Agh, aku sendiri juga mulai mengantuk.

CREDITS ROLL

 
Gak ada trivia, cuma mau ingetin kalo series ini tinggal 2 episode lagi. Mungkin season finale mau ane aplod 2 episode sekaligus atau mungkin juga satu-satu kayak biasanya, entahlah

Makasih yang masih setia ngikutin cerita ini hehe. Stay safe and stay healthy sobat 👊👊👊
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd