Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
Masih adakah yang nunggu cerita ini? hahaha

Mohon maaf sebelumnya untuk apdetan ini agak lama karena belum ada waktu yang pas buat nulis untuk saat ini. Dan juga nanti ane apdet dua episode langsung, tapi gak akan banyak kok haha. Udah ditarget juga cerita ini tamat sebelum puasa.
 
Masih adakah yang nunggu cerita ini? hahaha

Mohon maaf sebelumnya untuk apdetan ini agak lama karena belum ada waktu yang pas buat nulis untuk saat ini. Dan juga nanti ane apdet dua episode langsung, tapi gak akan banyak kok haha. Udah ditarget juga cerita ini tamat sebelum puasa.
Lets gooo..
Good luck buat semua urusannya :banzai::haha:
 
Masih adakah yang nunggu cerita ini? hahaha

Mohon maaf sebelumnya untuk apdetan ini agak lama karena belum ada waktu yang pas buat nulis untuk saat ini. Dan juga nanti ane apdet dua episode langsung, tapi gak akan banyak kok haha. Udah ditarget juga cerita ini tamat sebelum puasa.
Selalu setia menunggu suhu
 
Masih adakah yang nunggu cerita ini? hahaha

Mohon maaf sebelumnya untuk apdetan ini agak lama karena belum ada waktu yang pas buat nulis untuk saat ini. Dan juga nanti ane apdet dua episode langsung, tapi gak akan banyak kok haha. Udah ditarget juga cerita ini tamat sebelum puasa.
Selalu menunggu suhuu
 
Masih adakah yang nunggu cerita ini? hahaha

Mohon maaf sebelumnya untuk apdetan ini agak lama karena belum ada waktu yang pas buat nulis untuk saat ini. Dan juga nanti ane apdet dua episode langsung, tapi gak akan banyak kok haha. Udah ditarget juga cerita ini tamat sebelum puasa.
Masih setia dong
 
29. Live Together, Die Alone


Nadila


Entah kenapa aku merasa tidak bisa konsentrasi saat mencoba menulis beberapa bait lagu yang kubuat, kucoret-coret tulisan yang menurutku salah dan menulisnya lagi, coret lagi dan tulis lagi begitulah seterusnya. Hari sudah berganti tapi Dino dan Gaby belum juga pulang, Galang berusaha untuk menghubungi mereka dengan radio walkie namun tak ada kabar. Rasa cemas dan khawatir melanda diriku takut kalau Dino dan Gaby kenapa-napa disana namun aku berusaha untuk menghilangkan perasaan itu. Aku yakin mereka akan pulang dengan selamat.

"Nad....." aku menoleh kearah Citra yang memanggilku.

"Hai Cit" sapaku ramah.

"Kamu lagi apa?" tanyanya yang juga ramah.

"Ini, lagi coret-coret bait lagu Cit. Ya buat nyicil aja sih hehe"

"Ohhh oke...." balasnya. "Nad, kamu jangan cemas ya, kak Dino sama Gaby aku yakin mereka gak kenapa-napa disana...." Citra menepuk pundakku pelan, aku membalasnya dengan senyuman.

"Iya Citra, aku harap mereka bisa pulang dengan selamat"

"Hehe, boleh liat bait lagunya gak?" tanya Citra.

"Emmm.... belum selesai semua Cit, nanti kalau udah kelar aku liatin ke kamu dah haha" balasku.

"Yaudah deh, tapi kalau boleh tahu judul lagunya apa Nad?"

"Aku kasih judul "Bertahan". Lagu ini tentang kelompok kita dan situasi kondisi yang kita hadapi sekarang" jelasku singkat. Citra menggangguk mengerti.

"Jadi gak sabar dengerin lagunya haha" ucap Citra, aku tersenyum senang mendengarnya.

"Tapi rada susah sih bikinnya Cit, lagian aku juga udah lama gak nulis bait lagu"

"Kalau boleh aku ikutan bantu Nad, tapi yaa.... sebenarnya aku gak punya ilmu begitu"

"Makasih Citra. Hehe, padahal waktu pertama kali kenal kamu aku iri banget sama kamu" kataku sambil merapikan rambutku yang sedikit terurai menutupi mata kananku. Citra yang sekarang duduk disampingku menatap penasaran.

"Kenapa kamu harus iri padaku Nad? aku sendiri merasa tak istimewa....."

"Enggak, melihat kamu bisa melawan mayat-mayat itu dengan mudah itu yang membuatku iri Cit. Sama..... kedekatanmu dengan Dino...." Citra tampak sedikit tersentak mendengar perkataanku.

"Nadila....."

"Jujur sih Cit, waktu itu aku sedikit benci sama kamu dan aku berusaha untuk menyingkirkan kamu dari Dino, tapi setelah apa yang kita lewati sebelumnya aku merasa hal yang kulakukan itu salah Cit...." jelasku. "Aku merasa bersalah aja sama kamu, tak pantas aku melakukan hal itu"

"Nadila, aku tak pernah merasa begitu kok. Kamu kan lebih kenal dan dekat sama kak Dino dibandingkan aku"

"Tapi, kamu pernah merasa suka kan sama dia?" tiba-tiba tanpa sadar aku bertanya kepadanya. Aku yakin dia ragu untuk menjawabnya.

"Gak apa-apa Citra, jujur aja. Aku gak bakal marah kok" kataku lagi untuk meyakinkannya. Kami saling menatap, melihat kedua mata Citra yang sedikit berkilap.

"I.... iya Nad, aku pernah suka sama kak Dino.... tapi itu dulu sebelum kalian bertemu lagi waktu di camp itu"

Entah kenapa aku merasa lega mendengar perkataan Citra, namun disisi lain juga aku merasa sedikit sakit. Ah, aku akan buang jauh-jauh rasa itu.

"Kalau kamu marah, bilang aja sekarang Nad. Kalau perlu kamu boleh tampar aku...."

"Heh, kok gitu sih. Enggak aku gak akan marah Citra. Kamu sudah jujur sama aku dan aku senang kok hehe. Sekarang kan kita sahabatan, masak lupa" balasku, Citra tersenyum bangga mendengarnya lalu memelukku erat sekali, kuusap punggungnya.

"Terima kasih kamu sudah jagain Dino selama ini Citra. Aku bangga banget sama kamu....."

"I... Iya Nad, aku juga terimakasih sama kamu karena sudah bikin kak Dino bahagia" balas Citra dengan suara sembab.

"Hehe, kita bisa sama-sama bikin Dino bahagia Cit, kamu gak usah sungkan ya mulai saat ini. Aku dan kamu itu sama"

"Nadila.... aku....."

"Tak ada "orang kedua" Citra, kita semua sama"

Kedua mata Citra tampak berbinar setelah mendengar ucapanku, aku yakin dia senang mendengarnya.

"Citra, Nadila. Kalian harus keluar sekarang. Mayat-mayat hidup sedang menuju kemari...." tiba-tiba kami terkejut melihat Rachel yang masuk kedalam ruangan ini.

"Hah??"

"Iya Cit. Kita harus kesana sekarang!"

*****

"Kak, gimana?" ucap Citra kepada Galang sambil membawa senjata api dan pisau besar begitu juga aku. Kulihat mayat-mayat hidup dalam jumlah banyak berjalan kearah tempat tinggal kami. Keringatku mulai keluar dan terbit rasa cemas dan khawatir namun kubuang perasaan itu, aku teringat dengan perkataan Citra untuk tidak panik melawan mayat hidup.

"Citra, kamu sama Nadila gabung sama Rachel, Saktia dan Andi di belakang. Aku sama yang lain akan menghadapi mahkluk itu di depan" ucap Galang jelas yang dibalas dengan anggukan Citra. "Kita bisa habisi mereka semua, kalian tak boleh lengang!"

"Iya kak. Ayo Nad"

Aku dan Citra berlari menuju posisi belakang. Rachel, Saktia dan Andi sudah bersiap-siap dengan senjata apinya

"Nadila. Kamu tetap di belakang Citra, aku sama Saktia dan Andi yang akan coba nembak mayat-mayat itu. Setelah jumlah mereka berkurang baru kita lawan dari jarak dekat dengan senjata tajam" jelas Rachel. Aku menggangguk tanda mengerti dengan rencananya.

"Oke. Saktia, Andi, kita tembak sekarang. Usahakan bidik kepalanya agar cepat mati dan jangan buang-buang peluru. Amunisi kita terbatas.

DOR DOR DOR

DOR DOR DOR

Seketika setelah Rachel memberikan aba-aba, mereka mulai menembakkan senjata api kearah kerumunan mayat hidup yang berjalan semakin dekat. Mereka berbaris sejajar sesuai dengan perintah Rachel sedangkan Citra memegang tanganku dengan erat dan melihat pemandangan yang dulunya mengerikan tetapi aku sudah terbiasa dengan semua ini.

Rachel kembali berteriak kearah kami untuk mulai menghabisi mayat-mayat itu dari jarak dekat. Aku langsung mengiyakan perintahnya begitu pula teman-teman yang lain. Kami bergerak sedikit berpencar namun tetap menjaga jarak satu sama lain, aku sudah paham dengan posisi menyerang ini dari Dino dan Galang. Sebelumnya aku merasa takut dan tak ingin menghabisi mayat-mayat itu namun seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan semua ini.

Awalnya semua berjalan dengan lancar, aku berhasil membunuh tiga mayat hidup dengan cukup mudah karena postur tubuhnya yang tidak besar, mungkin dulunya mereka adalah orang-orang yang usianya jauh dariku.

"GGGRRAAHHHHH"

"HHHHHHHHH"

JLEB

JLEB

JLEB

Kutendang kaki salah satu mayat hidup hingga ia terjatuh ke tanah dan berteriak kesakitan, lalu dengan cepat kuhujam kepalanya dengan pisau besar milikku tiga kali hingga benar-benar mati. Darah mengucur deras dari bekas luka itu dan sedikit percikan darah mengenai pakaianku.

Aku melihat Citra dan Rachel berbarengan menyerang beberapa mayat hidup, taktiknya sama seperti yang kulakukan tadi, menendang kakinya hingga terjatuh lalu menusukkan senjata tajam pada kepalanya. Aku langsung berjalan menuju mereka yang masih berusaha melawan mayat-mayat itu.

"Aghhhhhh......" aku terkejut melihat Rachel yang tiba-tiba terjatuh ke tanah dan tertindih oleh mayat hidup yang belum mati. Seketika aku bergerak cepat dan menarik tubuh mayat hidup itu, Rachel langsung terlepas dari mahkluk itu dan menusukkan pisaunya kearah kepala hingga mati.

"Makasih Nad, hampir saja tadi" kata Rachel sambil kubantu dia untuk berdiri.

"Iya Hel" balasku.

"Ayo kita habisi sisanya Nad, jumlah mahkluk itu masih lumayan banyak"

Rachel benar, mayat-mayat itu masih cukup banyak tersisa walau kita sudah cukup banyak menghabisi mahkluk itu. Bahkan sekarang kerumunan mayat-mayat itu berjalan mendekati kami dari semua arah, kami membentuk formasi melingkar sesuai instruksi Rachel dan Andi. Detak jantungku terus berdegup kencang melihat kondisi yang sangat berbahaya ini, dan jujur saja rasa takut dan cemas kembali menyerang diriku namun sebisa mungkin kulawan perasaan negatif itu dari diriku karena hal itu justru akan membuatku lemah.

Itu yang dibilang Dino padaku.

SRAKKK

SRAKKK

DOR

DOR

DOR

Kembali kami harus bekerjasama dengan baik untuk membasmi mayat-mayat itu. Rachel, Saktia dan Andi menembakkan senjata apinya untuk menghabisi mayat yang jaraknya tidak terjangkau oleh senjata tajam dan sisanya kami menebas mayat-mayat itu. Rasa lelah mulai menyerang seluruh tubuhku yang ditambah dengan derasnya keringat yang keluar sedikit membasahi pakaianku.

Kapan semua ini berakhir? aku sudah bosan dengan semua ini.....

SRAK

SRAK

SRAK

DOR

DOR

DOR

Suara-suara senjata api beserta tebasan senjata tajam bercampur dengan suara mayat-mayat hidup yang buas dan menyeramkan. Telingaku terus menampung campuran suara itu yang secara tidak langsung sedikit mengganggu konsentrasiku dalam melawan mahkluk itu, bahkan pisau panjang yang aku genggam sempat terlepas sesaat setelah menyabet leher salah satu mayat hidup yang menyerangku.

"Nadila....." Citra membantuku mengambil pisau itu dan memberikannya padaku.

"Kamu capek?" tanya Citra, aku hanya menggeleng saja meskipun memang tubuhku sudah lelah sebenarnya.

"Enggak Cit, aku masih sanggup...." balasku.

"Nad, kalau kamu capek istirahat aja dulu. Kita bisa hadapi....."

"Enggak Citra. Aku sanggup!" ucapku tegas. Citra menatapku ragu.

"Ayo, kita harus bantu teman-teman kita Cit" kataku lagi yang dibalas dengan anggukannya.

Kulihat Saktia yang sedang kesulitan untuk mendorong dua mayat hidup yang menyerangnya, tanpa pikir panjang kubantu dia dengan menebas leher mayat hidup itu dan mendorongnya hingga jatuh. Saktia dengan sigap menginjakkan kakinya pada leher mayat yang sudah kulukai itu dan menusukkan kepalanya dengan pisau yang diikat pada senjata apinya.

"Makasih Nad" ucapnya. Aku menggangguk.

Beberapa menit kemudian kami masih bahu-membahu menghabisi gerombolan mayat-mayat yang menyerang tempat tinggal ini walau jumlah mereka sekarang sudah cukup berkurang. Aku dan Citra saling bekerjasama melawan mayat-mayat yang tersisa, secara tidak langsung semakin mempererat komunikasi antara aku dan dia. Aku sudah merasa terbiasa dengan lingkungan baru ini dan rasa takut yang selama ini selalu menghantui diriku sudah hilang berganti dengan keberanian yang terus meletup-letup.

"Citra, ini...." teriakku kepadanya saat aku berhasil menendang kaki mayat hidup yang ternyata adalah seorang wanita paruh baya. Citra langsung menghampiri mahkluk itu dan menghujamkan pisaunya kearah kepala berulang kali hingga mati.

Begitu juga sebaliknya saat Citra berhasil melumpuhkan salah satu mayat hidup dengan cara yang sama, aku tinggal menusukkan pisauku kearah kepala mayat hidup hingga benar-benar mati.

Setelah pertempuran yang cukup menguras tenaga akhirnya kami berhasil mempertahankan tempat ini. Meninggalkan tumpukan mayat-mayat yang sudah mati, darah segar membasahi rerumputan di sekitar dan bau anyir tercium jelas. Kami terengah-engah kelelahan termasuk aku dan Citra, aku duduk di tanah dengan kaki selonjoran, kuusap keringat yang membasahi wajahku dengan pakaianku. Aku tak menyangka kelompok kami berhasil melumpuhkan mayat-mayat yang berjumlah banyak itu.

"Nadila, ini minum" Aya menghampiriku dengan membawa botol air minum dan duduk disampingku. Ia juga tampak kelelahan.

"Makasih Aya" balasku sembari menegak air minum itu hingga tersisa setengah. Ah, rasa dahaga yang selama tadi menggangguku kini lenyap seketika.

"Kita beruntung hari ini Nad, tak ada mayat hidup yang menyerang lagi" ucap Aya sambil menaruh senjata tajamnya ke tanah.

"Semoga saja ini yang terakhir Ay, aku lelah dengan semua ini" balasku.

"Iya..... aku juga udah bosan Nad.

Lalu kulihat Citra dan Rachel berjalan menghampiri kami dengan membawa senjata mereka dan duduk disampingku. Mereka juga tampak kelelahan.

"Hufffttt capek juga ya" kata Rachel yang duduk disebelahku.

"Iya Hel hehe. Kamu gak apa-apa kan tadi?" tanyaku kepadanya.

"Enggak kok. Baik aja, kamu sendiri?"

"Hehe sama"

"Kerja kamu bagus tadi Nad. Makasih ya sekali lagi" Rachel berkata padaku sambil tersenyum manis, aku membalasnya dengan senyuman juga hingga dia sedikit tertawa.

"Manis juga" kata Rachel.

"Apaan sih Hel...."

"Gak apa-apa kok, jarang ngelihat cewe bisa senyum manis gitu" balasnya bercanda, dengan reflek aku memukul bahunya pelan.

"Ihhh biasa aja kali Hel"

"Hihihi. Emang beneran kok"

Mungkin hubunganku dengan Rachel belum terlalu dekat selama ini, dia orangnya lumayan asyik untuk diajak ngobrol dan terkadang candaan yang dikeluarkannya cukup membuatku tertawa, padahal selama ini aku beranggapan kalau dia adalah wanita yang serius dan perkiraanku salah. Aku sudah mengajaknya untuk membantuku membuat lagu dan dia dengan senang hati mau membantuku setelah ia bilang kepadaku bahwa Rachel bisa bermain gitar walau tidak sejago aku, hehe.

Aku ingin mengenalinya lebih jauh lagi, setelah semuanya selesai.

"Kalian istirahat dulu, huffttt kita beruntung banget hari ini" Galang dan Anin menghampiri kami.

"Iya Lang, tapi amunisi kita semakin menipis" balas Anin. "Lalu, sekarang gimana?"

"Abis ini kita bentuk kelompok untuk memeriksa sekitar tempat ini. Untuk memastikan tak ada mayat-mayat hidup lagi disana, nanti sisanya membakar mayat-mayat sampai bersih" Galang menjelaskan rencana selanjutnya dan aku hanya menggangguk saja tanda mengerti.

"Aku, Anin dan Satria akan memeriksa sisi depan tempat ini. Dan yang bagian belakang terserah siapa yang mau...."

"Biar aku aja kak, serahkan semuanya padaku" ucap Citra.

"Cit, aku ikut temenin kamu...." balasku kepadanya, Citra langsung menoleh kearahku.

"Nad, sebaiknya kamu tetap disini aja. Ikut bersihin tempat ini....."

"Enggak Cit, aku mau bantu kamu..." aku memohon kepada Citra. Tak berapa lama kemudian ia mengiyakan.

"Yaudah boleh. Kak Galang, aku sama Nadila yang memeriksa sisi belakang"

"Aku ikut juga" kata Rachel sambil mengganti magasin senjata apinya yang kosong.

"Oke, yuk kita lakukan sekarang. Yang lain bersihkan tempat ini dan membakar mayat-mayat itu, beruntung kita masih punya persediaan kayu dan bensin....."

Singkatnya aku, Citra dan Rachel bersiap-siap untuk memeriksa sisi belakang tempat tinggal kami. Aku mengelap pisau besar yang masih berlumuran darah dengan kain jarik hingga bersih dan tak lupa kuambil pistol di tempat penyimpanan senjata. Kuperiksa sekilas senjata api ini sesuai dengan ucapan Dino yang masih kuingat, lalu kumasukkan magasin yang penuh oleh peluru dan mengokangnya. Oh iya tak lupa kumatikan tuas safety dulu supaya senjata tersebut tidak menembak secara tak sengaja.

Dino.....

Tiba-tiba saja aku teringat Dino saat melihat senjata api yang kugenggam. Memoriku berjalan kembali saat dia dengan sabar mengajariku cara menembak senjata saat itu. Aku senyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu saat dengan sombongnya aku berkata padanya kalau aku sudah siap melawan mayat hidup padahal aku masih takut saat itu.

Din, cepat pulang ya....

Aku kangen kamu....

"Nad...."

"Eh iya Cit, gimana?" tanyaku saat melihat Citra yang berjalan mendekatiku dengan membawa pisau parang. Dia tampak gagah sekali.

"Kamu udah siap?" tanyanya.

"Siap kok hehe" balasku.

"Yaudah, yuk kita berangkat. Udah ditungguin Rachel tadi....."

*****

Kami berjalan dengan hati-hati menyusuri hutan yang cukup rimbun. Citra memimpin kelompok kecil ini dan berjalan didepan sedangkan Rachel berada di posisi belakang dengan membawa senjata apinya. Ekspresi wajahnya tampak serius dan waspada sambil melihat-lihat sekeliling, berbeda dengan saat tadi. Citra pun juga begitu ia terkadang menenggok kanan-kiri dengan membawa pisau parangnya. Ah, rasanya aku seperti dikawal saja.

"Citra, gimana?" tanya Rachel kepada Citra.

"Hmmm, bagian sini aman-aman aja Hel. Bentar aku tandai dulu" Citra mengambil sebuah kain berwarna merah yang sudah disobek lalu mengikatnya pada dahan pohon.

"Ini tanda kalau kita sudah berhasil memeriksa tempat ini. Yuk kita lanjut" jelas Citra.

Cukup lama kami berjalan memasuki hutan lebih dalam. Terkadang angin berhembus kencang selama beberapa saat menimbulkan rasa segar pada pernapasanku, pemandangan di sekitar hutan ini tampak indah menurutku, sudah lama aku tidak merasakan kedamaian seperti ini.

GGRRRHHHHH

RRRGGHHHHH

Mendengar suara-suara itu Citra langsung memberikan isyarat berhenti kepadaku, kami bersembunyi di sebuah batang kayu pohon yang sepertinya runtuh entah kenapa. Kuintip sekilas dan melihat ada lima mayat hidup yang berdiri dan berjalan-jalan seperti mencari sesuatu. Dan sepertinya mahkluk itu mengetahui keberadaan kami dan langsung berjalan pelan kearah posisi kami.

"Kita tembak bareng-bareng. Eh iya, aku bawa ini dan pasangkan ke senjata kalian" ucap Citra mengambil sesuatu di tasnya. Beberapa botol air minum kosong yang terisi sesuatu entah apa itu. Citra menjelaskan kepadaku secara singkat cara memasang benda itu dan aku langsung mengerti.

"Ini biar suaranya keredam Nad"

"Hmm oke aku udah ngerti"

"Oke, kalian siap?" aku dan Rachel menggangguk.

"Dalam hitungan ketiga, kita langsung tembak mahkluk itu. Kepala targetnya" kata Citra yang mulai tampak serius.

"Satu...."

"Dua....."

"...."

"...."

"Tiga!"

Kami secara bersamaan keluar dari tempat persembunyian dan langsung melakukan posisi membidik, meskipun kidal aku sudah cukup mampu memegang pistol, kutekan pelatuk pistol itu dan hentakan yang cukup keras melanda kedua tanganku. Peluru itu melesat kearah salah satu mayat hidup yang kujadikan target. Ah, sepertinya peluru itu sedikit meleset dan mengenai dada mayat hidup. Dengan cepat kuangkat sedikit tanganku dan kembali menekan pelatuk, hufftt akhirnya peluru yang keluar tadi tepat mengenai kepala mayat hidup hingga tewas

PEW

PEW

PEW

PEW

"Beres Cit" kata Rachel sambil menurunkan senjata apinya.

"Oke, kamu gak apa-apa Nad?" tanya Citra padaku.

"Enggak kok, cuma tanganku agak nyeri tadi" balasku memegang lengan yang memang terasa pegal akibat hentakan pistol tadi.

"Yaudah, sebentar aku tandai dulu"

Kembali Citra mengambil kain berwarna merah dan mengikatnya pada dahan pohon. Lalu kami melanjutkan tugas untuk memeriksa keadaan sekitar, dan kembali kami harus menghadapi mayat-mayat hidup yang sepertinya masih ada cukup banyak di hutan ini, beruntung kami bisa menghabisi mahkluk-mahkluk itu tanpa kesulitan berarti. Di kesempatan ini juga Rachel mengajariku cara membidik senjata dengan cepat dan aku cepat paham mungkin karena ucapannya yang mudah kumengerti.

"Jadi gimana?" tanya Citra kepada Rachel setelah menghabisi mayat hidup yang kesekian kalinya.

"Sepertinya sudah cukup aman untuk saat ini Cit" balasnya.

"Oke, berarti tugas kita selesai. Yuk balik"

Kami berjalan kembali ke camp dengan langkah cepat, aku bisa bernapas lega ini semua sudah berakhir.

"Citra?" ucapku kepadanya yang berjalan didepanku.

"Iya Nad" balasnya ramah.

"Emmm..... gak apa-apa sih. Aku cuma ngerasa cemas akan keselamatan Dino dan Gaby...." kataku. Citra menoleh dan menatapku.

"Kamu tak usah khawatir Nad, aku yakin mereka akan baik-baik saja...."

"Citra, kamu juga ngerasain apa yang kurasakan kan?"

"Iya, aku juga merasa cemas. Tapi aku yakin kak Dino dan Gaby gak kenapa-napa. Mereka sudah terbiasa dengan lingkungan ini sama seperti kita Nad...." jelas Citra walau dari matanya aku bisa menangkap kalau dia juga merasakan khawatir.

"Hmmm baiklah, aku cuma pengen lagu yang kubuat bisa cepat selesai dan bisa kunyanyikan Cit...."

"Hehe, santai aja. Aku sama Rachel akan bantuin kamu kok. Ya kan Hel?"

"Iya dong, kita pasti bantuin kamu kok....."

GGRRRHHHHH

RRRGGHHHHH

AAARRGGGGH

Tiba-tiba saja tanpa disadari beberapa mayat hidup berjalan cepat kearah kami. Citra, aku dan Rachel langsung membentuk posisi melingkar, dan benar mayat-mayat itu dengan cepat bergerak mengerubungi kami sehingga kami terpojok. Aku mencabut pisau besar yang terselip di pinggangku begitu juga mereka, bersiap untuk menghabisinya.

"Ayo, kita harus melawan mereka...."

Kami bergerak cepat dan menyerang mayat-mayat itu. Namun tak terduga gerakan mahkluk itu cukup cepat tidak seperti biasanya, dengan melawan rasa takut dan cemas yang mulai menyerang diriku, kuhindari setiap serangan mayat hidup itu sambil mencari celah untuk menusuk kepalanya. Hufftt..... hampir saja aku diterkam oleh mahkluk gila itu sehingga dengan cepat kuhujam pisau besar ini kearah kepala mayat itu hingga mati.

Aku melihat Citra kesulitan melawan mayat-mayat itu dan tanpa pikir panjang kudorong salah satu mayat itu namun karena terlalu keras aku jatuh terjerembab ke tanah. Dengan cepat kuhujam kepala mayat itu dengan pisauku sampai mati.

"Hhggggghhhh....." aku kesulitan untuk menyingkirkan tubuh mayat hidup yang sudah mati itu namun berat sekali karena tubuhnya memang cukup besar. Namun dengan sekuat tenaga kuangkat tubuh mayat itu sekuat tenaga.

"GGRRRRHHHHH"

"......."

Dengan cepat aku menyadari kalau ada mayat hidup lagi disampingku, dengan cepat kugulingkan tubuhku untuk menghindari serangannya, entah kenapa tubuhku mulai mengeluarkan banyak keringat namun kuabaikan saja. Pisau yang kugenggam ini kutusukkan tepat di kepala mayat itu dalam-dalam hingga tewas.

"Hhghhhhhhh" aku bergumam berusaha untuk melepaskan pisau yang cukup berat untuk dilepaskan. Lantas aku mencoba untuk berdiri namun entah kenapa sendi-sendi pada kakiku terasa nyeri.

"Kamu gak apa-apa Nad?" tanya Citra, tapi aneh kenapa suara itu terdengar samar-samar.

"Nadila...."

"Eh, Citra. Aku gak apa-apa kok....."

"Beneran? aku lihat tadi kamu rada sempoyongan gitu?"

"Enggak kok, tadi aku ketindihan mayat itu jadi pas aku berdiri rasanya kayak kesulitan. Tapi beneran aku gak kenapa-napa" ucapku kepada Citra. Ia sepertinya mengerti.

"Yaudah deh. Ayo kita kembali ke camp"

Singkatnya kami berjalan cepat menuju tempat tinggal kelompok kami. Tugas ini sudah selesai tanpa kesulitan yang berarti, meskipun aku merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku setelah kejadian tadi aku berusaha untuk tidak berpikiran buruk.

Tidak Nadila..... aku yakin aku tidak kenapa-napa.....


Dino

"Hmmmppphh......"

"Ayo Din, dorong terus....."

"Iyah ini aku dorong kok hhmmmpphhh...."

"Bertahanlah....."

"Hhggghhhh......"

"......"

"......"

"......"

BRAK

BRAK

BRAK

"Aghhhhhh Dino.... aku udah gak kuat....."

"Bertahanlah Gaby.... kita bisa menahan ini...."

BRAK

BRAK

BRAK!!

Meskipun kami sudah berusaha sekuat tenaga, mayat-mayat itu seperti tanpa lelah terus mendobrak pintu yang kami tahan dengan lemari. Entah apa sebabnya mahkluk-mahkluk itu mengetahui keberadaan kami disini.

"Dino, sepertinya kita harus lawan mereka" ucap Gaby yang tampak mulai kelelahan begitu juga aku. Dia benar, kita tak bisa bertahan seperti ini terus.

"Gaby, kita tembak mereka semua dalam hitungan ketiga kita lepaskan lemari ini dan mengambil senjata disana" jelasku kepadanya yang dibalas dengan anggukan tanda mengerti. Kemudian kami bersiap-siap untuk melakukan rencana yang kubuat.

"Satu.... dua..... tiga!!"

Secara bersamaan kami melepaskan lemari ini dan bergerak cepat kebelakang mengambil senjata api, aku dengan pistol revolver dan Gaby dengan shotgunnya. Benar saja, lemari itu langsung terhempas ke samping ditambah dengan suara dobrakan pintu. Mayat hidup dengan jumlah banyak merangsek maju kearah kami.

"Tembak!!"

DOR

DOR

DOR

BLAM

BLAM

Rentetan tembakan kami lancarkan kearah mayat-mayat itu yang terus bergerak maju. Beberapa mahkluk itu kami berhasil lumpuhkan namun sepertinya usaha yang kita lakukan tidak membuahkan hasil, mayat-mayat itu sepertinya sudah mengerubungi tempat ini.

Aku berpikir keras bagaimana caranya supaya kita bisa keluar dari sini. Mungkin ini kesalahanku untuk memutuskan bermalam disini tanpa disadari kalau wilayah ini cukup banyak mayat-mayat hidup, sekarang aku dan Gaby berada dalam situasi hidup-mati.

Setelah pistol revolver yang kugunakan habis peluru aku langsung mengambil senjata laras panjang dan kembali menembak mayat-mayat hidup yang terus berjalan kearah kami, kulihat Gaby dengan tergesa-gesa mengisi ulang senjata shotgunnya. Kulindungi dia dengan bergerak sedikit kedepan dengan posisi menembak, kupastikan bidikan ini tepat mengenai kepala mayat hidup sebagai titik lemahnya.

"Gaby, kita gak bisa gini terus" ucapku kepadanya yang sudah dalam posisi siap menembak.

"Lalu gimana Din?" tanyanya panik. Aku kembali berpikir keras sambil menembak mayat-mayat itu. Suara senjata api yang berisik itu sebenarnya cukup mengganggu pikiranku.

"Kita lompat lewat jendela, gimana?"

"Dino, kamu udah gila. Kita ada di lantai tiga...."

"Tak ada jalan lain Gab. Kalau gini terus kita akan kehabisan peluru......" teriakku tegas yang dibalas dengan anggukannya.

Dengan cepat setelah kuletuskan tembakan terakhir kearah mahkluk itu, aku mengambil tas ransel dan menggendongnya lalu kami berlari cepat kearah jendela yang telah terbuka. Kuperhatikan sekeliling luar yang ternyata sepi tanpa tanda-tanda mahkluk itu. Tetapi Gaby benar, bangunan rumah ini lumayan tinggi, kembali aku harus memutar otakku untuk mencari jalan keluar dari sini.

BLAM

BLAM

"DINOO.... gimana" ucap Gaby setelah meletuskan dua tembakan shotgunnya. Aku hanya melihatnya sekilas dan kembali mengamati keadaan diluar. Ah, itu dia, kenapa gak kepikiran dari tadi.

"Gaby, kamu duluan turun keluar. Aku ngelihat ada tangga darurat disamping jendela" kataku kepadanya.

"Dino......"

"Ayo Gaby, kita tak boleh buang-buang waktu"

GGRRAAHHHHH

RRRRGGGGHHH

Gaby bergegas menuju jendela dan kubantu dia keluar, kupastikan Gaby meraih tangga darurat itu.

"Hati-hati Gab, nanti aku akan nyusul...." kataku.

"Iya Din"

GGRRRAHAHHHH

"Agghhhhhhh......."

Tiba-tiba salah satu mayat hidup itu meraih pakaianku dan menariknya dengan kencang, aku terhempas jatuh ke lantai sehingga punggungku terasa sakit sekali.

"DINOOO......."

"AKU TAK APA GABY, KAMU CEPAT TURUN....."

GGRRAHHHHHH.

Untungnya senjata api laras panjang ini masih terpegang pada kedua tanganku. Kuarahkan moncong senjata ini kearah beberapa mayat hidup yang bersiap untuk menyantapku.

DOR DOR DOR

DOR DOR DOR

"Aaaghhhhhhh......" tanpa sadar aku berteriak kencang sembari menekan pelatuk senjata lebih kencang. Tembakan tersebut kulakukan sembarangan tak peduli peluru tersebut mengenai beberapa bagian tubuh mayat hidup, yang terpenting aku harus bisa melepaskan diri.

DOR DOR DOR

DOR DOR DOR

Dengan cepat aku bergerak menuju ke jendela dan meraih tangga darurat, dengan tergesa-gesa aku turun dari rumah bertingkat itu sembari melihat kearah jendela yang terbuka. Mayat-mayat itu sekilas kebingungan melihat isi jendela, aku sedikit tersenyum melihat mahkluk bodoh itu.

RRRAGGGHHHH

BRUK

Sialan! satu bahkan dua mayat hidup keluar dari jendela dan jatuh ke bawah, aku mulai khawatir dengan Gaby yang sudah berada di bawah, kupercepat gerakan menuruni tangga darurat ini. Tak lama kemudian aku sampai di bawah bangunan rumah itu tanpa kesulitan berarti, Gaby langsung menghampiriku dan memelukku erat sekali.

"Aku khawatir banget sama kamu Din...." ucapnya.

"Iya aku juga Gab, maafkan aku karena sudah bikin kamu merasa bahaya" jawabku.

"Jadi gimana....."

RAAAGHHHHHHH

BRUKKK

Kami terkejut saat melihat mayat-mayat jatuh dari jendela lantai atas itu. Mahkluk itu langsung mati dengan darah memancar pada kepalanya, aku dan Gaby melihatnya ngeri bahkan ia sampai berteriak.

"Aghhhhh....."

"Ayo Gaby, kita harus pergi dari sini...." ajakku kepadanya.

"Mobil kita dimana?" tanya Gaby.

"Gak jauh kok"

Kami berlari cepat menuju posisi mobil yang terparkir cukup jauh dari lokasi tempat bermalam kami karena terhalang oleh puing-puing bangunan yang memenuhi jalanan sekitar. Kembali kami harus berjibaku melawan mayat-mayat hidup yang menyerang dengan cepat, kuletuskan senjata api sepanjang perjalanan begitu juga dengan Gaby. Namun sayangnya mayat-mayat itu terlalu banyak untuk dilawan sehingga terpaksa kami harus kembali memasuki bangunan untuk mencari jalan pintas.

"Sialan, kota ini benar-benar sudah tidak aman......" ucapku saat mendobrakkan pintu untuk masuk kedalam bangunan bekas pertokoan. Dengan cepat aku dan Gaby berbarengan mendorong sebuah lemari besar untuk menghalangi pintu yang sudah didobrak tadi berharap mayat-mayat itu tidak masuk kedalam.

"Lalu?" tanya Gaby terengah-engah kelelahan.

"Entahlah, kita harus cari tempat lain yang lebih aman Gab...." balasku.

"Baiklah, aku nurut kamu aja"

Aku dan Gaby berjalan di dalam sekaligus memeriksa isi bangunan pertokoan, terkadang Gaby mengambil sesuatu di rak yang ternyata adalah makanan kalengan dan botol air minum yang tentu saja berguna untuk kelompok kita. Sedangkan aku memeriksa jendela dan melihat mayat-mayat itu mengerubungi luar bangunan pertokoan ini, otakku terus bekerja keras mencari ide untuk keluar dari sini.

"Dino"

"Iya Gab, kenapa?"

"Gimana, kamu udah dapet rencana lagi?"

"Entahlah....." ucapku mengeluh. "Kamu sendiri gimana? ada ide?"

"Hmmmm, kita coba lewat pintu belakang Din. Siapa tahu disana aman"

"Iya juga ya, kenapa gak kepikiran...." jawabku. Gaby tersenyum melihatku.

"Senjatamu masih ada peluru?" tanyaku. Ia sekilas mengecek tas kecil yang berisikan amunisi senjata shotgunnya.

"Tinggal delapan Din"

"Kalau gitu kita terpaksa harus melawan mereka dengan senjata tajam kecuali kalau benar-benar terdesak baru kita pakai senjata api" jelasku sambil mengecek magasin senjata apiku yang tampaknya tinggal sedikit.

"Ayo Gab, kita harus cepat"

Singkatnya aku dan Gaby berjalan cepat menuju pintu belakang bangunan ini. Tak lupa kami membawa parang untuk melawan mayat-mayat hidup, meskipun dalam hati aku berharap hal itu tak terjadi. Kucoba untuk membuka tuas pintu yang ternyata terkunci sehingga aku harus mendobraknya keras-keras.

BRAK

BRAK

BRAK

GGRRAAAHHHHH

GGRRRHHHHHHH

Kami terkejut setengah mati setelah berhasil mendobrakkan pintu keluar. Mayat-mayat hidup bergerombol tepat di depan kami, sepertinya kami berada di sebuah gang kecil. Aku menyuruh Gaby untuk tetap didekatku sambil berjalan mundur.

"Gaby, kamu harus siap dan jangan lengah...." ucapku padanya. Ia tampak menggangguk walau raut wajahnya terlihat sedikit ketakutan.

"Kamu jangan takut Gaby, aku ada disini...."

"I...Iya Din, ayo kita lakukan....."

GGRRAAHHHHH

RRRRGHHHHHH

Mayat-mayat itu mulai berjalan pelan bermaksud untuk menyerang posisi kami, sejujurnya aku mulai panik dalam menghadapi kondisi ini mengingat hanya kita berdua saja disini melawan puluhan mayat-mayat hidup, namun aku juga menyadari bahwa dalam kondisi ini aku jangan sampai panik. Aku masih punya keyakinan kalau kita bisa melewati semua ini dan pulang dengan keadaan selamat.

SRAKKK

SRAKKK

Aku menebas beberapa mayat hidup yang menyerangku tepat kearah leher sehingga kepala mayat itu putus disertai dengan derasnya darah yang keluar dari sana. Aku melihatnya dengan biasa saja karena sudah terbiasa dengan semua ini, kulihat juga Gaby dengan lincah menebas mayat-mayat hidup yang berusaha menyerang, dalam hati aku bangga dengannya yang mampu melawan rasa takut.

SRAKKK

SRAKKK

"Jangan menyerah Gaby, kita bisa lewati ini" ucapku memberi semangat padanya, ia membalasnya dengan anggukan.

Kami berhasil menghabisi sebagian dari mayat-mayat itu sambil terus berjalan mundur, aku melihat sebuah pintu teralis yang sepertinya bisa dibuka, aku menuju kesana setelah menebas salah satu mayat hidup yang hampir saja menerkan Gaby, kemudian kubuka pintu teralis itu dengan tenagaku yang masih tersisa. Berhasil, pintu tersebut dapat terbuka dengan mudah.

"Gaby, kamu masuk kedalam dulu" perintahku padanya.

"Iya Din, hati-hati kamu....."

Kemudian Gaby berjalan cepat memasuki pintu teralis itu, aku melihat sekilas mayat-mayat hidup yang tersisa berjalan kearahku, dengan lekas aku masuk kedalam dan menutup pintu teralis.

"Hufffttt hahhh hahhhh....." aku berusaha mengambil napas kelelahan setelah melawan banyak mayat hidup, keringat bercucuran di seluruh tubuhku termasuk wajah dan aku menyekanya dengan punggung tangan.

"Hampir saja Gab..... Gaby??"

"Gaby?? kamu dimana??....."

"AGHHHHHHHHH"

"GABY!!"

Aku berlari kearah sumber suara yang aku yakin itu adalah Gaby, dan betapa kagetnya aku melihat dia yang terjatuh di lantai dengan tiga mayat hidup yang berusaha menarik kakinya!

"Aghhhh tolonggg......" Gaby berteriak kencang berusaha untuk melepaskan diri.

"Kamu tahan Gab, aku akan lawan mereka"

Lekas aku mencabut kembali parang dari saku pinggang dan mulai menebas mayat yang menerkam Gaby, syukurlah aku tak mengalami kesulitan sehingga tiga mayat hidup itu tewas. Gaby menarik tubuhnya sendiri dengan napas terengah-engah dan aku membantunya untuk berdiri.

"Hiks... hiks.... terimakasih Dino...." Gaby memelukku erat sekali sambil menangis. Aku tahu dia sangat ketakutan tadi.

"Udah gak apa-apa, aku disini Gab....." ucapku sambil mengelus rambutnya pelan untuk menenangkannya. "Tadi gimana ceritanya kamu bisa diserang mahkluk itu..."

"Aku sedang ngecek satu ruangan, pas aku buka pintu ada mayat-mayat itu. Aku lengah dan terjatuh tadi....." balasnya menatapku penuh air mata.

"Lain kali hati-hati. Aku gak mau kehilangan kamu....."

Aku dan Gaby saling bertatapan dengan posisi berpelukan, perlahan kepalanya bergerak mendekati wajahku, entah bagaimana asal mulanya namun bibir Gaby bergerak pelan kearah bibirku dan bersatu. Awalnya aku terkejut dengan perlakuan bibirnya tapi lambat laun aku mulai mengimbangi gerakannya, lidahnya seperti berusaha untuk menggaet lidahku.

"Hmmmm mmmpphhh....."

Suara desahan kecil sedikit keluar dari sela bibir Gaby yang bersatu pada bibirku yang menandakan ia menikmati ini semua.

Beberapa saat kemudian Gaby melepaskan bibirnya, kepalanya tertunduk seperti tak berani melihatku.

"Mmpphhhh..... ah Dino, maafkan aku...." kata Gaby lirih, aku tersenyum mendengarnya.

"Gak apa-apa, aku ngerti kok...."

"Itu..... aku reflek tadi. Maafkan aku...." ucapnya lagi.

"Iya Gaby, santai aja....." balasku sambil mengelus pipinya, ia mengangkat sedikit kepalanya sehingga kami kembali saling menatap. Gaby mulai mengembangkan senyum bibirnya yang manis dan lucu itu.

"Yaudah yuk, kita harus keluar dari sini"

"Iya Dino"

Singkatnya kami keluar dari bangunan tadi dan berlari cepat menuju kendaraan kami yang terparkir di pinggir jalan, untungnya tak ada mayat-mayat hidup yang mengganggu kami. Aku dan Gaby dengan cepat masuk kedalam mobil, kumasukkan kunci starter dan menginjak gas dalam-dalam. Sepanjang perjalanan, kembali kami harus putar balik saat melihat banyak sekali kerumunan mayat-mayat hidup yang menutupi jalan raya dan tak mungkin aku nekat menabrakkannya karena akan menimbulkan masalah baru, terkadang aku tanpa sengaja menabrak satu dua mayat hidup hingga kaca mobil depan berlumuran darahnya. Akhirnya kami berhasil keluar dari kota mati itu tanpa kesulitan yang berarti.

Sepanjang perjalanan pulang kami lebih banyak diam, sepertinya dia masih trauma dengan kejadian yang dialaminya tadi. Sebaiknya aku tidak membicarakan hal itu kepadanya dan tetap fokus menyetir.

******

Mobil ini akhirnya tiba juga di tempat kami bermukim sementara. Persediaan yang kami bawa bisa dibilang lebih dari cukup untuk beberapa minggu kedepan. Gaby membawa kardus berisi makanan dan menaruhnya di depan pintu. Namun aku heran kenapa kawan-kawanku tidak ada di luar.

"Yang lain pada kemana ya?" tanyaku kepada Gaby.

"Mungkin mereka ada di dalam Din, makan malem kayaknya" jawabnya santai.

"Iya sih, kita masuk kedalam yuk"

Singkatnya kami berjalan kedalam bangunan tempat kami tinggal. Di dalam aku bertemu dengan Sandi yang langsung memeluk Gaby, kekasihnya. Ia sedikit menangis di dalam pelukan Sandi dan dia menenangkan kekasihnya itu.

"Syukurlah kalian selamat, makasih Dino udah jagain Gaby...." ucap Sandi.

"Itu sudah jadi tugasku hehe" balasku sambil garuk-garuk kepalaku. "Oh iya, yang lain kemana?"

Raut muka Sandi berubah murung, aku tak mengerti kenapa.

"Sandi, ada apa?" tanyaku heran. Ia tak membalasnya.

"Sandi....."

"Dino, Gaby..... sebaiknya kalian kesana. Teman-teman sudah menunggu kalian....." ucapnya masam, aku semakin tak mengerti maksudnya namun kuiyakan saja.

Aku melihat-lihat dengan perasaan heran, mereka tampak murung dan sedih. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

Mataku membelalak ketika melihat Dila yang tergeletak lemah di atas tikar, Citra melihatku, ia juga terlihat sedih. Aku langsung menghampirinya.

"Apa....apa yang terjadi?" tanyaku kepadanya. Citra hanya terdiam sambil mengusap matanya dan aku semakin tak mengerti. Langsung kuhampiri Dila yang sedikit tersenyum menatapku.

"Dila, kamu kenapa? kamu sakit? kecapekan?" tanyaku kepadanya namun ia tak menjawab dan hanya memberikan senyuman padaku.

"Aku udah bawakan gitar untuk kamu Py, sekarang kamu bisa bikin lagu....." ucapku, tapi lagi-lagi Dila tidak menjawab.

"Yaudah kamu harus banyak istirahat ya biar cepet sembuh...." ucapku namun terhenti karena Dila memegang tanganku, lalu ia perlahan membuka sedikit bajunya yang memperlihatkan bagian pinggangnya yang tertempel sebuah kain kapas, Dila membukakan kapas itu perlahan. Kedua mataku menatap tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.

"Dino....."

"....."

"....."

"Aku tergigit....."

.....

.....

.....

CREDITS ROLL
 
30. Coda


"Hmmmphh......"

"Kenapa..... kenapa ini bisa terjadi?" ucapku lemah setelah melihat luka gigitan yang berada di pinggangku. Rasa sakit dan nyeri terus menyerang seluruh tubuh bahkan sekarang aku juga merasakan demam, air mataku mulai keluar dibarengi dengan isak tangisku.

"Hiks... hiks.... huhuhu......"

Aku sadar bahwa aku sekarang tergigit oleh mayat hidup, dan hidupku sudah pasti tak akan lama lagi. Pikiranku kacau, menyesal dan takut kalau ini mungkin adalah hari terakhirku untuk hidup.....

Tidak! aku tidak menyesal menolong Citra tadi yang hampir saja tergigit oleh mahkluk itu! Ini semua salahku sendiri karena kurang hati-hati saat menolongnya.

Kuusap air mataku yang masih keluar ini dan menatap cermin didepan, menampakkan raut wajahku yang masam dan sembab. Aku berusaha untuk mengumpulkan semua energi positif yang masih tersisa sehingga raut senyum bibirku sedikit tampak. Dengan perlahan kubuka keran wastafel ini dan membasuh mukaku hingga basah. Ah, rasanya sedikit lebih segar.

Kembali aku menatap wajahku sendiri di cermin, aku kembali tersenyum melihatnya. Mungkin waktuku tak akan lama lagi dan teman-temanku akan tahu kalau aku berada dalam kondisi ini. Terutama Dino dan Gaby yang masih berada disana, aku hanya berharap mereka cepat pulang supaya mereka bisa melihatku untuk yang terakhir kalinya.

"Nadila.... kamu wanita yang kuat. Mereka akan bangga sama kamu...." ucapku sendiri pada cermin seolah-olah diriku adalah temanku.

Tiba-tiba rasa nyeri yang cukup kuat melanda bagian pinggangku, luka gigitan itu sedikit mengeluarkan darah. Aku langsung mencari-cari benda yang bisa menutupi bekas luka itu, akhirnya aku menemukan kapas tebal yang tersimpan pada lemari wastafel itu. Kututupi bekas luka itu dengan kapas dan membalutnya dengan kain jarik yang sudah kurobek sebelumnya.

"Ughhhh, semoga saja luka ini tidak menimbulkan kesulitan berarti nanti. Huffttt...."

Kuhembuskan napas panjang setelah beres menutupi luka gigitan itu. Aku harus kuat dan seolah-olah tak terjadi apa-apa sekarang.

Walau aku tahu, teman-temanku akan mengetahui kondisiku sebenarnya......

*****

Perasaanku hancur sehancur-hancurnya saat Dila memperlihatkan luka gigitan mayat hidup di pinggangnya. Raut mukanya menahan sakit namun dia masih bisa berusaha untuk tersenyum kepadaku.

"Aku kena gigitan Din..." suara Dila terdengar lemah. Tangis Gaby langsung pecah saat mendengar kata-katanya. Air mataku menetes keluar tak bisa kubendung lagi. Aku ingin berteriak keras melampiaskan semua emosi dalam diriku, namun tak bisa.

"Kenapa Py..... kenapa...." aku bertanya dengan terbata-bata sambil mengelus pipinya, ia mengaduh namun masih berusaha untuk tersenyum dihadapanku. Sontak aku menoleh kearah Citra yang berada disampingnya, entah kenapa emosiku mulai naik saat melihatnya, namun belum sempat aku ingin memarahinya Dila menggenggam tanganku erat-erat.

"Ini bukan.... salah Citra..... ini salahku sendiri Dino.... jangan salahkan dia...." ucapnya lemah yang tanpa sadar meredakan emosiku. Aku kembali menatap wajahnya yang berkeringat, ekspresinya datar dan memilukan, menahan semua rasa sakit yang mulai dideritanya.

"Apa.... apa yang terjadi sebelumnya.... hiks.... hiks...." kataku terisak, air mataku terus keluar mengekspresikan kesedihanku. Dila kembali menggerakan bibirnya walau aku tahu dia sangat kesulitan.

"Aku..... aku berusaha untuk nyelamatkan Citra dari mayat hidup..... tapi..... aku ceroboh karena.... aku tergigit setelahnya....." jelas Dila dengan suara lemah sekali, berbeda dengan biasanya.

"Dila.... hiks.... hiks....." kuangkat sedikit tubuh lemahnya dengan hati-hati dan memeluknya, bisa kurasakan tubuhnya yang panas karena efek demam yang ditimbulkan akibat virus mayat hidup yang menyerang dirinya. Lalu Gaby menghampiri Dila dan juga memeluknya dengan hati-hati. Isak tangis Gaby pecah terdengar.

"Nad..... huhuhu....."

"Gaby..... aku sudah anggap kamu seperti saudara sendiri... hiks.... hiks..... aku beruntung banget bisa ketemu kamu sampai sejauh ini......"

"Hiks.... aku juga Nadila..... aku sayang banget sama kamu... hiks.. hiks...."

Suasana seketika menjadi pilu dengan tangisan mereka, mendengarnya saja hatiku semakin terasa sakit dan kesedihan terus melanda diriku, tak percaya dan tak terima dengan situasi seperti ini.

Mereka melepaskan pelukannya dan Gaby membantu Dila untuk membaringkannya ke kasur. Aku mengelus tangannya yang terasa panas akibat demam yang dideritanya. Ia kembali tersenyum menatapku yang berlinangan air mata.

"Aku.... aku sudah bawakan gitar untukmu.... sesuai janjimu...." ucapku sambil membukakan bungkus pelindung gitar dan memberikan padanya. Wajah Dila tampak bahagia walau aku tahu dia menahan dengan keras rasa sakit itu.

"Bagus.... bagus banget Dino.... uhukk... uhukkk.... aku..... seneng banget....." ucapnya lemah dengan terbatuk-batuk. Suaranya lemah dan parau sehingga air mataku kembali jatuh. Ia memegang gitar itu dengan lemah namun tangannya terjatuh ke bawah tak kuasa memegangnya terlalu lama.

Tiba-tiba tubuh Dila mengejang hebat, kedua bola matanya terbuka lebar. Seketika aku dan teman-temanku panik melihatnya dan berusaha untuk menenangkannya, Aya mengambil kain yang sudah dibasahi dengan air dan menaruhnya ke kening Dila. Suhu tubuhnya semakin naik dan keringat terus keluar dengan deras membasahi tubuhnya, bahkan sekarang ia batuk-batuk hebat dan memuntahkan banyak darah dari mulutnya.

"Uhukkk.... uhukkkk... Hghhhhhh...."

"Dilaa... sayang..... aku disini... hiks... hiks.... kamu tenang yaa....." aku menahan dadanya yang terus mengejang hebat.

"AKU MOHON, TOLONG DIAA....." teriakku dengan suara pilu.

"Dino.... kita tak bisa berbuat apa-apa....." ucap Galang memegang pundakku.

"ENGGAK, AKU YAKIN DILA AKAN BAIK-BAIK SAJA.... AKU YAKIN....." teriakku. Tapi aku menyadari bahwa tak ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Dila, aku kembali menangis sambil terus menenangkan Dila.

"Hiks... hiks.... kamu pasti bisa melewati ini.... aku yakin sayang..... hiks....."

Perlahan-lahan "serangan" itu mulai mereda, tubuh Dila kembali tenang namun wajahnya sudah sangat pucat, kedua matanya masih terbuka lebar menatap keatas. Aku menggenggam telapak tangannya dengan erat meskipun Dila tidak membalasnya. Beberapa saat kemudian ia memejamkan matanya sesaat lalu menoleh kearahku, ekspresinya sungguh memilukan dengan darah yang melumuri bibirnya namun ia masih berusaha tersenyum kearahku, memberikan sedikit angin segar pada diriku.

"Din... Dino....." ucapnya lemah, aku segera mengambil kain handuk dan mengusap darah yang menempel pada bibirnya.

"Aku disini sayang..... aku yakin kamu bisa melewati ini..... kamu pasti kuat Dila...." kataku padanya, dia hanya membalasnya dengan senyuman lemah. "Aya, Citra. Tolong ambilkan minuman"

Malam hari yang semakin larut dibarengi dengan hujan deras disertai dengan angin kencang. Dila kembali mengalami kejang-kejang hebat dan aku berusaha untuk menenangkannya karena sadar aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada obat ataupun penyembuh untuk bisa memulihkan luka gigitan itu. Gejala yang dialami Dila hampir sama dengan Gracia dan aku masih ingat betul, namun anehnya Dila sepertinya bisa bertahan cukup lama dibandingkan Gracia, sepertinya kondisi tubuh seseorang atau imun cukup berpengaruh dalam melawan virus mayat hidup itu meskipun tetap saja virus itu akan menang dan menguasai tubuh.

Aku terus memeluk Dila yang kondisinya semakin memilukan. Wajah dan bibirnya semakin pucat, suhu tubuhnya terus memanas bahkan saat aku periksa tangannya kurasakan denyut nadinya semakin melemah, Dila terus mengeluarkan suara dan rintihan pilu menahan sakit yang semakin menusuk hatiku.

"Din... Dinoo....." ucap Dila lemah, aku langsung menatapnya.

"Iya Dila.... kenapa? kamu mau minum?" balasku.

"Enggak..... aku.... aku.... ingin ngobrol sama kamu...." ucapnya sambil berusaha untuk tersenyum, kuusap rambutnya dengan lembut.

"Sayang.... kamu jangan banyak bicara dulu..."

"Dino.... kamu masih inget...... waktu kita masih kuliah....." ucapnya dengan kedua mata berbinar.

"Iya...."

"Saat acara ulang tahun universitas..... kamu terus menyemangati aku untuk mengikuti pentas seni..... padahal aku gugup banget saat itu.... hhghhhh....."

"Iya Dila... aku masih ingat....." balasku sambil mengelus rambutnya. Dila tersenyum lebar.

"Dino.... impianku selama ini adalah menjadi musisi yang dikenal banyak orang.... uhukkk.... dan aku.... hampir berhasil mewujudkannya.... Dinoo..... aku ingin buktikan kepadamu.... karena.... aku cinta sama..... kamu......" ucapan Dila berbarengan dengan keluarnya air mata, hatiku semakin terasa perih mendengar semua ucapan lirihnya.

"Aku.... aku sudah janji sama kamu..... untuk melawan dunia ini..... bersama-sama..... dan aku..... gagal.... Dinoo....."

Air mataku keluar dengan deras mendengar ucapannya tadi. Tidak Dila, kamu tidak gagal. Akulah yang gagal menjaga kamu.....

"Dila...."

"Dino..... mungkin waktuku udah gak lama lagi..... setelah aku tiada nanti..... kamu jangan terus bersedih ya.... kamu itu pemimpin kelompok sayang...... tanggung jawabmu besar sekali.... untuk mempertahankan kelompok ini......" ucap Dila kembali namun suaranya tidak lirih seperti tadi. Kemudian ia menggenggam tangan kananku dengan sekuat tenaga..

"Aku yakin...... suatu saat nanti.... kamu bisa mendapati tempat yang.... jauh lebih aman dari bencana.... ini Dino..... kamu pasti bisa.... sayang....."

Kata-kata Dila aku tangkap dan masuk ke dalam benakku. Kuusap kedua mataku yang basah oleh air mata, Dila kembali tersenyum melihatku.

"Aku.... aku....."

"Sayang.... tatap mataku.... uhukkk... uhukk..... ini tidak hanya untuk aku..... untuk mereka juga..... berjanjilah padaku...."

Dila menggenggam tanganku dengan kuat seolah-olah semua energi yang tersisa dalam dirinya disalurkan ke tangan. Ia benar-benar sungguh-sungguh.

"Aku.... aku janji..... aku akan memimpin kelompok ini....."

Dila tersenyum bahagia dibarengi dengan keluarnya air mata. Kucium keningnya lembut dan penuh perasaan.

"Citra..... aku.... aku titip Dino ya....." ucapnya kepada Citra yang duduk disebelahku. Isak tangisnya pecah dan langsung memeluk tubuh Dila, suasana haru kembali terasa pada ruangan ini.

"Hiks.... hiks...... maafkan aku Nad, aku gagal jagain kamu......"

"Kamu gak salah Citra.... jangan salahkan dirimu sendiri..... makasih banget selama ini sudah menjadi temanmu walau kita..... dulunya musuhan Cit......"

Lalu satu-persatu teman-temanku menghampiri Dila untuk mengucapkan salam perpisahan. Mereka sama sepertiku, merasakan kehilangan seorang anggota keluarga. Tangis haru menyelimuti isi ruangan ini.

Tak lama kemudian mereka keluar dari ruangan ini dan tinggal aku, Gaby dan Citra yang berada disini, aku tahu Dila tak akan mampu bertahan lagi. Tubuhnya sudah benar-benar kaku bahkan menggerakan tangan saja sudah tidak bisa. Aku kembali menangis melihat kondisinya, tak kuasa menerima ini semua.

"Dino.... hghhhhh...... aku..... kalungku....." ucapnya lirih kearahku.

"Hiks.... hiks.... kenapa dengan kalungnya....." tanyaku terisak..

"Itu.... aku..... mau pakai kalung..... yang.... satunya.... hghhhhh....." aku langsung tahu yang dimaksud dia adalah kalung bertanda "N" yang selalu ia bawa. Lalu kuambil kalung itu dan memperlihatkan padanya. Kubantu dia melepaskan kalung bertanda "D" itu dan memasangnya dengan yang baru.

"Dino..... kalung itu..... kamu pakai ya..... sebagai kenang-kenangan dariku..... dan juga.... uhukk.... uhukkk.... sebagai tanda kalau aku akan tetap terus ada dalam dirimu.... hghhhhh....."

"Iya.... aku akan pakai kalung ini....."

Kuusap kembali mataku dari air mata yang membasahi kedua mataku lalu memasang kalung ini pada leherku. Sekali lagi, Dila tersenyum melihatku.

"Ganteng......"

Entah sudah jam berapa sekarang dan diluar masih hujan cukup deras. Aku masih menemani Dila bersama Citra dan Gaby. Pikiranku kacau sekali bercampur dengan pilu hatiku, aku tak siap menghadapi ini.

"Aku.... Aku sangat mencintai kamu Dila.... hiks... hiks..." aku memeluk tubuhnya yang sudah semakin lemah, panas tubuhnya kubisa rasakan, Dila membalas pelukanku meskipun terasa lemah

"D...Dinoo..... hiks.... hiks....." ucap Dila lemah namun isak tangisnya terdengar jelas.

"Kamu..... kamu jangan merasa bersalah ya..... setelah aku pergi nanti......"

"Dan satu lagi...... permintaan..... terakhirku.... Dino......"

"Tolong beritahu aku......" kutaruh kembali tubuh Dila terlentang, kondisi dia semakin kritis bahkan raut wajahnya mulai tak menunjukkan ekspresi sama sekali.

"Panggil....... aku........."

"....."

"....."

"Nadila......"

"......"

"......"

"......"

"Nadila......"

"Nadila......"

"......"

Tangannya tiba-tiba saja melemah dari genggamanku lalu terjatuh ke lantai, aku terdiam kaku melihat kondisi terakhirnya, matanya tertutup damai, mulutnya juga sudah tidak mengeluarkan kata-kata. Ia sudah tiada.

"Huhuhu..... Nadila....." seketika wajahku jatuh didekat tubuhnya, isak tangisku kembali pecah dan semakin menjadi-jadi. Aku tidak rela, aku tidak rela Nadila meninggalkanku dengan kondisi seperti ini......

Memoriku berputar kembali, saat aku berjumpa dengannya pertama kali. Begitu weird dan absurd namun sangat mengenang, persahabatan kami berubah menjadi cinta walaupun ia sempat menolakku namun aku tetap mencintainya.

Ia sekarang meninggalkanku, untuk selamanya.

Gaby dan Citra yang berada disebelahku berusaha untuk menenangkanku walau aku tahu mereka juga menangis. Aku berusaha untuk bangun dari keterpurukanku walau sangat susah, aku sadar apa yang harus kulakukan sekarang.

Kuambil pistol revolver dari saku celanaku dan mengokangnya. Ia belum mati, dan aku harus mencabut nyawanya sekarang.

"Dino... hiks.... hiks....." Gaby memegang tanganku, aku menatapnya dengan berlinangan air mata. Aku langsung memeluknya dengan erat. Tangisan Gaby mulai kembali keras, ia juga sama sepertiku, tak rela dengan kepergian Nadila yang secepat ini. Begitu juga dengan Citra yang kembali harus kehilangan seorang sahabat.

"Tak ada pilihan lain Gab..... hiks...." kataku kepada Gaby. Ia menggangguk lemah.

Kuambil secarik kain yang letaknya tak jauh dari tempatku, sebelum menutup wajahnya aku mencium kening Nadila dengan lembut dan penuh perasaan, air mataku kembali menetes mengenai keningnya, kuelus rambutnya perlahan. Lalu dengan berat hati kututup wajahnya dengan kain.

"Maafkan aku..... Nadila..... sayang......"

Kuarahkan moncong pistol ini tepat di samping kepala Nadila. Tanganku bergetar hebat merasakan perasaan yang benar-benar kacau dalam diriku. Tidak..... aku tidak bisa menekan pelatuk ini.....

"Nadila.... hiks... hiks....."

"Maafkan aku....."

DOR

"....."

"....."

*****


(Direkomendasikan untuk dengerin lagu ini sampai selesai)

Esok paginya kubawa tubuh Nadila yang sudah kaku dan tak bernyawa keluar. Teman-temanku sudah menunggu disana, kulihat Sandi dan Satria sedang menggali lubang yang cukup dalam, mereka langsung membantuku untuk meletakkan tubuh Nadila kedalam liang yang sudah mereka gali. Aku berterima kasih kepada mereka yang sudah membuat tempat itu.

Kemudian aku meletakkan tanah galian itu kedalam lubang tempat peristirahatan terakhir Nadila. Aku berusaha untuk tidak menangis saat ini meskipun memang itu susah sekali. Setelah lubang itu tertutup tanah aku mengambil gitar yang sudah susah payah aku cari di kota untuk dia. Kugenggam dengan erat gitar itu sambil membayangkan Nadila memainkan alat ini dengan gembira, dan itu tak akan pernah terjadi. Kutancapkan gitar itu dengan posisi terbalik sebagai "nisan" dari tempat peristirahatannya.

Aku tertunduk dan mengais tanah ini, hatiku hancur berkeping-keping. Kupegang kalung yang kukenakan dan menatapnya. Inisial "D", sebagai kenang-kenangan dari Nadila. Aku teringat saat Nadila dan aku ribut hanya karena soal kalung yang kuberikannya sebagai hadiah.

"Kak......" aku mendengar suara yang lembut sekali dan kurasakan juga pundakku dipegang olehnya.

"Mereka sudah menunggu kamu, kak. Kita harus pergi dari sini....."

"Citra.... tolong tinggalkan aku sendiri......" aku membalasnya lirih dan pilu. Dalam hatiku sedikit bergemuruh

"Kakak harus kuat hadapi ini semua. Kamu harus ingat pesan terakhir Nadila, dia pasti sedih kalau kakak begini terus....."

"Tolong..... jangan sekali-kali kamu sebut Nadila di hadapanku, Citra......" ucapku dengan sedikit emosi, entah kenapa aku merasakan hal yang aneh saat melihat Citra. Tidak. Aku tidak marah padanya, tapi kenapa.....

"Maafkan aku kak....."

"Ini bukan salahmu, sekarang tolong tinggalkan aku sendiri......." kataku kepada Citra yang dibalas dengan anggukannya. Kembali aku menatap kosong kuburan ini dan masih mengais-ngais tanah yang basah karena hujan. Air mataku tak bisa kutahan lagi.

"Hiks... hiks.... aku.... aku tak bisa meninggalkanmu, Nadila....."

"Maafkan aku....."


*****

Empat tahun yang lalu, di sebuah pantai.....

"Hei Din, kok gak ngomong sih...."

"Eh, emmmm.... kenapa Py?"

"Itu lihat, bentar lagi sunset hehe"

"Oh iya haha" aku tertawa melihat ekspresi Dila yang sedang lucu-lucunya entah mengapa. Sepertinya ia sangat menyukai matahari yang sedang dalam proses terbenam, pertanda sore hari akan berganti dengan malam. Namun aku dan Dila masih duduk santai di tepi pantai, kebetulan juga pantai tersebut cukup sepi.

Entah tanpa sadar atau tidak Dila menaruh kepalanya di bahuku, aku tak bereaksi apa-apa selain fokus melihat sunset yang sedang berlangsung. Sesekali angin berhembus kencang menerpa tubuh kami menimbulkan rasa dingin.

"Hmmm Din, indah banget ya" kata Dila dengan posisi kepala masih menempel di bahuku.

"Iya Dila, mungkin ini sunset terindah yang pernah kulihat selama hidupku...." balasku.

"Iya, mungkin aku juga...." Dila mengangkat kepalanya menjauhi bahuku, lalu ia mengambil segenggam pasir pantai dan menaruhnya kembali.

"Dino...."

"Iya Py"

"Aku mau pulang ke Bogor besok"

"Kok tiba-tiba?" tanyaku heran menatap wajahnya.

"Yah... begitulah. Lagian dua minggu kuliah libur mau ngapain lagi coba. Lebih baik pulang kampung kan haha"

"Emm... iya sih" balasku sambil menggaruk kepalaku. "Aku anterin aja besok...."

"Gak usah Din, aku numpang sama temenku aja kebetulan rumah dia juga di Bogor" balas Dila, entah kenapa dalam hatiku terbit rasa sedikit kecewa namun aku memakluminya, lagian aku sendiri juga kepikiran untuk pulang ke rumah. Bertemu dengan orang tuaku dan adik tiriku disana.

Ah, ibu tiri. Rasa sayang pada dirinya tidak sekuat ibu kandungku dulu.

"Aku lihat kamu kayak kecewa gitu" perkataan Dila membuatku terkejut.

"Enggak kok....."

"Jangan bohong"

Gertakan Dila membuatku menyerah. Ya, memang aku kecewa karena libur kuliah ini adalah kesempatan untuk bisa terus mendekati Dila. Penolakan yang dia berikan satu minggu sebelumnya memang terasa menyakitkan namun kejadian di kontrakanku beberapa hari yang lalu membuat hatiku kembali terbuka. Masih ada kesempatan untuk meluluhkan hatinya dan aku sangat yakin dia sebenarnya juga menyukaiku tapi entah karena suatu hal dia seperti menahannya.

"Iya aku kecewa karena gak bisa deket sama kamu...."

Dila tertawa lepas, aku tak paham kenapa.

Proses matahari terbenam itu akhirnya selesai, gelap malam perlahan mulai menyelimuti langit yang cerah, bintang juga mulai memamerkan sinarnya yang berkelap kelip menghiasi langit malam. Suasana di pantai juga sudah sepi dan mungkin hanya kita saja yang masih berada disini. Tidak, sebenarnya aku tak mau beranjak pergi dari pantai ini. Pantai ini terlalu indah ditambah dengan perempuan yang juga tak kalah indahnya, teman dekatku sekaligus cinta pertamaku.

"Dila...."

"Iya Din...."

"Apa mungkin kita bisa melihat sunset lagi suatu hari nanti?"

END
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd