30. Coda
"Hmmmphh......"
"Kenapa..... kenapa ini bisa terjadi?" ucapku lemah setelah melihat luka gigitan yang berada di pinggangku. Rasa sakit dan nyeri terus menyerang seluruh tubuh bahkan sekarang aku juga merasakan demam, air mataku mulai keluar dibarengi dengan isak tangisku.
"Hiks... hiks.... huhuhu......"
Aku sadar bahwa aku sekarang tergigit oleh mayat hidup, dan hidupku sudah pasti tak akan lama lagi. Pikiranku kacau, menyesal dan takut kalau ini mungkin adalah hari terakhirku untuk hidup.....
Tidak! aku tidak menyesal menolong Citra tadi yang hampir saja tergigit oleh mahkluk itu! Ini semua salahku sendiri karena kurang hati-hati saat menolongnya.
Kuusap air mataku yang masih keluar ini dan menatap cermin didepan, menampakkan raut wajahku yang masam dan sembab. Aku berusaha untuk mengumpulkan semua energi positif yang masih tersisa sehingga raut senyum bibirku sedikit tampak. Dengan perlahan kubuka keran wastafel ini dan membasuh mukaku hingga basah. Ah, rasanya sedikit lebih segar.
Kembali aku menatap wajahku sendiri di cermin, aku kembali tersenyum melihatnya. Mungkin waktuku tak akan lama lagi dan teman-temanku akan tahu kalau aku berada dalam kondisi ini. Terutama Dino dan Gaby yang masih berada disana, aku hanya berharap mereka cepat pulang supaya mereka bisa melihatku untuk yang terakhir kalinya.
"Nadila.... kamu wanita yang kuat. Mereka akan bangga sama kamu...." ucapku sendiri pada cermin seolah-olah diriku adalah temanku.
Tiba-tiba rasa nyeri yang cukup kuat melanda bagian pinggangku, luka gigitan itu sedikit mengeluarkan darah. Aku langsung mencari-cari benda yang bisa menutupi bekas luka itu, akhirnya aku menemukan kapas tebal yang tersimpan pada lemari wastafel itu. Kututupi bekas luka itu dengan kapas dan membalutnya dengan kain jarik yang sudah kurobek sebelumnya.
"Ughhhh, semoga saja luka ini tidak menimbulkan kesulitan berarti nanti. Huffttt...."
Kuhembuskan napas panjang setelah beres menutupi luka gigitan itu. Aku harus kuat dan seolah-olah tak terjadi apa-apa sekarang.
Walau aku tahu, teman-temanku akan mengetahui kondisiku sebenarnya......
*****
Perasaanku hancur sehancur-hancurnya saat Dila memperlihatkan luka gigitan mayat hidup di pinggangnya. Raut mukanya menahan sakit namun dia masih bisa berusaha untuk tersenyum kepadaku.
"Aku kena gigitan Din..." suara Dila terdengar lemah. Tangis Gaby langsung pecah saat mendengar kata-katanya. Air mataku menetes keluar tak bisa kubendung lagi. Aku ingin berteriak keras melampiaskan semua emosi dalam diriku, namun tak bisa.
"Kenapa Py..... kenapa...." aku bertanya dengan terbata-bata sambil mengelus pipinya, ia mengaduh namun masih berusaha untuk tersenyum dihadapanku. Sontak aku menoleh kearah Citra yang berada disampingnya, entah kenapa emosiku mulai naik saat melihatnya, namun belum sempat aku ingin memarahinya Dila menggenggam tanganku erat-erat.
"Ini bukan.... salah Citra..... ini salahku sendiri Dino.... jangan salahkan dia...." ucapnya lemah yang tanpa sadar meredakan emosiku. Aku kembali menatap wajahnya yang berkeringat, ekspresinya datar dan memilukan, menahan semua rasa sakit yang mulai dideritanya.
"Apa.... apa yang terjadi sebelumnya.... hiks.... hiks...." kataku terisak, air mataku terus keluar mengekspresikan kesedihanku. Dila kembali menggerakan bibirnya walau aku tahu dia sangat kesulitan.
"Aku..... aku berusaha untuk nyelamatkan Citra dari mayat hidup..... tapi..... aku ceroboh karena.... aku tergigit setelahnya....." jelas Dila dengan suara lemah sekali, berbeda dengan biasanya.
"Dila.... hiks.... hiks....." kuangkat sedikit tubuh lemahnya dengan hati-hati dan memeluknya, bisa kurasakan tubuhnya yang panas karena efek demam yang ditimbulkan akibat virus mayat hidup yang menyerang dirinya. Lalu Gaby menghampiri Dila dan juga memeluknya dengan hati-hati. Isak tangis Gaby pecah terdengar.
"Nad..... huhuhu....."
"Gaby..... aku sudah anggap kamu seperti saudara sendiri... hiks.... hiks..... aku beruntung banget bisa ketemu kamu sampai sejauh ini......"
"Hiks.... aku juga Nadila..... aku sayang banget sama kamu... hiks.. hiks...."
Suasana seketika menjadi pilu dengan tangisan mereka, mendengarnya saja hatiku semakin terasa sakit dan kesedihan terus melanda diriku, tak percaya dan tak terima dengan situasi seperti ini.
Mereka melepaskan pelukannya dan Gaby membantu Dila untuk membaringkannya ke kasur. Aku mengelus tangannya yang terasa panas akibat demam yang dideritanya. Ia kembali tersenyum menatapku yang berlinangan air mata.
"Aku.... aku sudah bawakan gitar untukmu.... sesuai janjimu...." ucapku sambil membukakan bungkus pelindung gitar dan memberikan padanya. Wajah Dila tampak bahagia walau aku tahu dia menahan dengan keras rasa sakit itu.
"Bagus.... bagus banget Dino.... uhukk... uhukkk.... aku..... seneng banget....." ucapnya lemah dengan terbatuk-batuk. Suaranya lemah dan parau sehingga air mataku kembali jatuh. Ia memegang gitar itu dengan lemah namun tangannya terjatuh ke bawah tak kuasa memegangnya terlalu lama.
Tiba-tiba tubuh Dila mengejang hebat, kedua bola matanya terbuka lebar. Seketika aku dan teman-temanku panik melihatnya dan berusaha untuk menenangkannya, Aya mengambil kain yang sudah dibasahi dengan air dan menaruhnya ke kening Dila. Suhu tubuhnya semakin naik dan keringat terus keluar dengan deras membasahi tubuhnya, bahkan sekarang ia batuk-batuk hebat dan memuntahkan banyak darah dari mulutnya.
"Uhukkk.... uhukkkk... Hghhhhhh...."
"Dilaa... sayang..... aku disini... hiks... hiks.... kamu tenang yaa....." aku menahan dadanya yang terus mengejang hebat.
"AKU MOHON, TOLONG DIAA....." teriakku dengan suara pilu.
"Dino.... kita tak bisa berbuat apa-apa....." ucap Galang memegang pundakku.
"ENGGAK, AKU YAKIN DILA AKAN BAIK-BAIK SAJA.... AKU YAKIN....." teriakku. Tapi aku menyadari bahwa tak ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Dila, aku kembali menangis sambil terus menenangkan Dila.
"Hiks... hiks.... kamu pasti bisa melewati ini.... aku yakin sayang..... hiks....."
Perlahan-lahan "serangan" itu mulai mereda, tubuh Dila kembali tenang namun wajahnya sudah sangat pucat, kedua matanya masih terbuka lebar menatap keatas. Aku menggenggam telapak tangannya dengan erat meskipun Dila tidak membalasnya. Beberapa saat kemudian ia memejamkan matanya sesaat lalu menoleh kearahku, ekspresinya sungguh memilukan dengan darah yang melumuri bibirnya namun ia masih berusaha tersenyum kearahku, memberikan sedikit angin segar pada diriku.
"Din... Dino....." ucapnya lemah, aku segera mengambil kain handuk dan mengusap darah yang menempel pada bibirnya.
"Aku disini sayang..... aku yakin kamu bisa melewati ini..... kamu pasti kuat Dila...." kataku padanya, dia hanya membalasnya dengan senyuman lemah. "Aya, Citra. Tolong ambilkan minuman"
Malam hari yang semakin larut dibarengi dengan hujan deras disertai dengan angin kencang. Dila kembali mengalami kejang-kejang hebat dan aku berusaha untuk menenangkannya karena sadar aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada obat ataupun penyembuh untuk bisa memulihkan luka gigitan itu. Gejala yang dialami Dila hampir sama dengan Gracia dan aku masih ingat betul, namun anehnya Dila sepertinya bisa bertahan cukup lama dibandingkan Gracia, sepertinya kondisi tubuh seseorang atau imun cukup berpengaruh dalam melawan virus mayat hidup itu meskipun tetap saja virus itu akan menang dan menguasai tubuh.
Aku terus memeluk Dila yang kondisinya semakin memilukan. Wajah dan bibirnya semakin pucat, suhu tubuhnya terus memanas bahkan saat aku periksa tangannya kurasakan denyut nadinya semakin melemah, Dila terus mengeluarkan suara dan rintihan pilu menahan sakit yang semakin menusuk hatiku.
"Din... Dinoo....." ucap Dila lemah, aku langsung menatapnya.
"Iya Dila.... kenapa? kamu mau minum?" balasku.
"Enggak..... aku.... aku.... ingin ngobrol sama kamu...." ucapnya sambil berusaha untuk tersenyum, kuusap rambutnya dengan lembut.
"Sayang.... kamu jangan banyak bicara dulu..."
"Dino.... kamu masih inget...... waktu kita masih kuliah....." ucapnya dengan kedua mata berbinar.
"Iya...."
"Saat acara ulang tahun universitas..... kamu terus menyemangati aku untuk mengikuti pentas seni..... padahal aku gugup banget saat itu.... hhghhhh....."
"Iya Dila... aku masih ingat....." balasku sambil mengelus rambutnya. Dila tersenyum lebar.
"Dino.... impianku selama ini adalah menjadi musisi yang dikenal banyak orang.... uhukkk.... dan aku.... hampir berhasil mewujudkannya.... Dinoo..... aku ingin buktikan kepadamu.... karena.... aku cinta sama..... kamu......" ucapan Dila berbarengan dengan keluarnya air mata, hatiku semakin terasa perih mendengar semua ucapan lirihnya.
"Aku.... aku sudah janji sama kamu..... untuk melawan dunia ini..... bersama-sama..... dan aku..... gagal.... Dinoo....."
Air mataku keluar dengan deras mendengar ucapannya tadi. Tidak Dila, kamu tidak gagal. Akulah yang gagal menjaga kamu.....
"Dila...."
"Dino..... mungkin waktuku udah gak lama lagi..... setelah aku tiada nanti..... kamu jangan terus bersedih ya.... kamu itu pemimpin kelompok sayang...... tanggung jawabmu besar sekali.... untuk mempertahankan kelompok ini......" ucap Dila kembali namun suaranya tidak lirih seperti tadi. Kemudian ia menggenggam tangan kananku dengan sekuat tenaga..
"Aku yakin...... suatu saat nanti.... kamu bisa mendapati tempat yang.... jauh lebih aman dari bencana.... ini Dino..... kamu pasti bisa.... sayang....."
Kata-kata Dila aku tangkap dan masuk ke dalam benakku. Kuusap kedua mataku yang basah oleh air mata, Dila kembali tersenyum melihatku.
"Aku.... aku....."
"Sayang.... tatap mataku.... uhukkk... uhukk..... ini tidak hanya untuk aku..... untuk mereka juga..... berjanjilah padaku...."
Dila menggenggam tanganku dengan kuat seolah-olah semua energi yang tersisa dalam dirinya disalurkan ke tangan. Ia benar-benar sungguh-sungguh.
"Aku.... aku janji..... aku akan memimpin kelompok ini....."
Dila tersenyum bahagia dibarengi dengan keluarnya air mata. Kucium keningnya lembut dan penuh perasaan.
"Citra..... aku.... aku titip Dino ya....." ucapnya kepada Citra yang duduk disebelahku. Isak tangisnya pecah dan langsung memeluk tubuh Dila, suasana haru kembali terasa pada ruangan ini.
"Hiks.... hiks...... maafkan aku Nad, aku gagal jagain kamu......"
"Kamu gak salah Citra.... jangan salahkan dirimu sendiri..... makasih banget selama ini sudah menjadi temanmu walau kita..... dulunya musuhan Cit......"
Lalu satu-persatu teman-temanku menghampiri Dila untuk mengucapkan salam perpisahan. Mereka sama sepertiku, merasakan kehilangan seorang anggota keluarga. Tangis haru menyelimuti isi ruangan ini.
Tak lama kemudian mereka keluar dari ruangan ini dan tinggal aku, Gaby dan Citra yang berada disini, aku tahu Dila tak akan mampu bertahan lagi. Tubuhnya sudah benar-benar kaku bahkan menggerakan tangan saja sudah tidak bisa. Aku kembali menangis melihat kondisinya, tak kuasa menerima ini semua.
"Dino.... hghhhhh...... aku..... kalungku....." ucapnya lirih kearahku.
"Hiks.... hiks.... kenapa dengan kalungnya....." tanyaku terisak..
"Itu.... aku..... mau pakai kalung..... yang.... satunya.... hghhhhh....." aku langsung tahu yang dimaksud dia adalah kalung bertanda "N" yang selalu ia bawa. Lalu kuambil kalung itu dan memperlihatkan padanya. Kubantu dia melepaskan kalung bertanda "D" itu dan memasangnya dengan yang baru.
"Dino..... kalung itu..... kamu pakai ya..... sebagai kenang-kenangan dariku..... dan juga.... uhukk.... uhukkk.... sebagai tanda kalau aku akan tetap terus ada dalam dirimu.... hghhhhh....."
"Iya.... aku akan pakai kalung ini....."
Kuusap kembali mataku dari air mata yang membasahi kedua mataku lalu memasang kalung ini pada leherku. Sekali lagi, Dila tersenyum melihatku.
"Ganteng......"
Entah sudah jam berapa sekarang dan diluar masih hujan cukup deras. Aku masih menemani Dila bersama Citra dan Gaby. Pikiranku kacau sekali bercampur dengan pilu hatiku, aku tak siap menghadapi ini.
"Aku.... Aku sangat mencintai kamu Dila.... hiks... hiks..." aku memeluk tubuhnya yang sudah semakin lemah, panas tubuhnya kubisa rasakan, Dila membalas pelukanku meskipun terasa lemah
"D...Dinoo..... hiks.... hiks....." ucap Dila lemah namun isak tangisnya terdengar jelas.
"Kamu..... kamu jangan merasa bersalah ya..... setelah aku pergi nanti......"
"Dan satu lagi...... permintaan..... terakhirku.... Dino......"
"Tolong beritahu aku......" kutaruh kembali tubuh Dila terlentang, kondisi dia semakin kritis bahkan raut wajahnya mulai tak menunjukkan ekspresi sama sekali.
"Panggil....... aku........."
"....."
"....."
"Nadila......"
"......"
"......"
"......"
"Nadila......"
"Nadila......"
"......"
Tangannya tiba-tiba saja melemah dari genggamanku lalu terjatuh ke lantai, aku terdiam kaku melihat kondisi terakhirnya, matanya tertutup damai, mulutnya juga sudah tidak mengeluarkan kata-kata. Ia sudah tiada.
"Huhuhu..... Nadila....." seketika wajahku jatuh didekat tubuhnya, isak tangisku kembali pecah dan semakin menjadi-jadi. Aku tidak rela, aku tidak rela Nadila meninggalkanku dengan kondisi seperti ini......
Memoriku berputar kembali, saat aku berjumpa dengannya pertama kali. Begitu weird dan absurd namun sangat mengenang, persahabatan kami berubah menjadi cinta walaupun ia sempat menolakku namun aku tetap mencintainya.
Ia sekarang meninggalkanku, untuk selamanya.
Gaby dan Citra yang berada disebelahku berusaha untuk menenangkanku walau aku tahu mereka juga menangis. Aku berusaha untuk bangun dari keterpurukanku walau sangat susah, aku sadar apa yang harus kulakukan sekarang.
Kuambil pistol revolver dari saku celanaku dan mengokangnya. Ia belum mati, dan aku harus mencabut nyawanya sekarang.
"Dino... hiks.... hiks....." Gaby memegang tanganku, aku menatapnya dengan berlinangan air mata. Aku langsung memeluknya dengan erat. Tangisan Gaby mulai kembali keras, ia juga sama sepertiku, tak rela dengan kepergian Nadila yang secepat ini. Begitu juga dengan Citra yang kembali harus kehilangan seorang sahabat.
"Tak ada pilihan lain Gab..... hiks...." kataku kepada Gaby. Ia menggangguk lemah.
Kuambil secarik kain yang letaknya tak jauh dari tempatku, sebelum menutup wajahnya aku mencium kening Nadila dengan lembut dan penuh perasaan, air mataku kembali menetes mengenai keningnya, kuelus rambutnya perlahan. Lalu dengan berat hati kututup wajahnya dengan kain.
"Maafkan aku..... Nadila..... sayang......"
Kuarahkan moncong pistol ini tepat di samping kepala Nadila. Tanganku bergetar hebat merasakan perasaan yang benar-benar kacau dalam diriku. Tidak..... aku tidak bisa menekan pelatuk ini.....
"Nadila.... hiks... hiks....."
"Maafkan aku....."
DOR
"....."
"....."
*****
(Direkomendasikan untuk dengerin lagu ini sampai selesai)
Esok paginya kubawa tubuh Nadila yang sudah kaku dan tak bernyawa keluar. Teman-temanku sudah menunggu disana, kulihat Sandi dan Satria sedang menggali lubang yang cukup dalam, mereka langsung membantuku untuk meletakkan tubuh Nadila kedalam liang yang sudah mereka gali. Aku berterima kasih kepada mereka yang sudah membuat tempat itu.
Kemudian aku meletakkan tanah galian itu kedalam lubang tempat peristirahatan terakhir Nadila. Aku berusaha untuk tidak menangis saat ini meskipun memang itu susah sekali. Setelah lubang itu tertutup tanah aku mengambil gitar yang sudah susah payah aku cari di kota untuk dia. Kugenggam dengan erat gitar itu sambil membayangkan Nadila memainkan alat ini dengan gembira, dan itu tak akan pernah terjadi. Kutancapkan gitar itu dengan posisi terbalik sebagai "nisan" dari tempat peristirahatannya.
Aku tertunduk dan mengais tanah ini, hatiku hancur berkeping-keping. Kupegang kalung yang kukenakan dan menatapnya. Inisial "D", sebagai kenang-kenangan dari Nadila. Aku teringat saat Nadila dan aku ribut hanya karena soal kalung yang kuberikannya sebagai hadiah.
"Kak......" aku mendengar suara yang lembut sekali dan kurasakan juga pundakku dipegang olehnya.
"Mereka sudah menunggu kamu, kak. Kita harus pergi dari sini....."
"Citra.... tolong tinggalkan aku sendiri......" aku membalasnya lirih dan pilu. Dalam hatiku sedikit bergemuruh
"Kakak harus kuat hadapi ini semua. Kamu harus ingat pesan terakhir Nadila, dia pasti sedih kalau kakak begini terus....."
"Tolong..... jangan sekali-kali kamu sebut Nadila di hadapanku, Citra......" ucapku dengan sedikit emosi, entah kenapa aku merasakan hal yang aneh saat melihat Citra. Tidak. Aku tidak marah padanya, tapi kenapa.....
"Maafkan aku kak....."
"Ini bukan salahmu, sekarang tolong tinggalkan aku sendiri......." kataku kepada Citra yang dibalas dengan anggukannya. Kembali aku menatap kosong kuburan ini dan masih mengais-ngais tanah yang basah karena hujan. Air mataku tak bisa kutahan lagi.
"Hiks... hiks.... aku.... aku tak bisa meninggalkanmu, Nadila....."
"Maafkan aku....."
*****
Empat tahun yang lalu, di sebuah pantai.....
"Hei Din, kok gak ngomong sih...."
"Eh, emmmm.... kenapa Py?"
"Itu lihat, bentar lagi sunset hehe"
"Oh iya haha" aku tertawa melihat ekspresi Dila yang sedang lucu-lucunya entah mengapa. Sepertinya ia sangat menyukai matahari yang sedang dalam proses terbenam, pertanda sore hari akan berganti dengan malam. Namun aku dan Dila masih duduk santai di tepi pantai, kebetulan juga pantai tersebut cukup sepi.
Entah tanpa sadar atau tidak Dila menaruh kepalanya di bahuku, aku tak bereaksi apa-apa selain fokus melihat sunset yang sedang berlangsung. Sesekali angin berhembus kencang menerpa tubuh kami menimbulkan rasa dingin.
"Hmmm Din, indah banget ya" kata Dila dengan posisi kepala masih menempel di bahuku.
"Iya Dila, mungkin ini sunset terindah yang pernah kulihat selama hidupku...." balasku.
"Iya, mungkin aku juga...." Dila mengangkat kepalanya menjauhi bahuku, lalu ia mengambil segenggam pasir pantai dan menaruhnya kembali.
"Dino...."
"Iya Py"
"Aku mau pulang ke Bogor besok"
"Kok tiba-tiba?" tanyaku heran menatap wajahnya.
"Yah... begitulah. Lagian dua minggu kuliah libur mau ngapain lagi coba. Lebih baik pulang kampung kan haha"
"Emm... iya sih" balasku sambil menggaruk kepalaku. "Aku anterin aja besok...."
"Gak usah Din, aku numpang sama temenku aja kebetulan rumah dia juga di Bogor" balas Dila, entah kenapa dalam hatiku terbit rasa sedikit kecewa namun aku memakluminya, lagian aku sendiri juga kepikiran untuk pulang ke rumah. Bertemu dengan orang tuaku dan adik tiriku disana.
Ah, ibu tiri. Rasa sayang pada dirinya tidak sekuat ibu kandungku dulu.
"Aku lihat kamu kayak kecewa gitu" perkataan Dila membuatku terkejut.
"Enggak kok....."
"Jangan bohong"
Gertakan Dila membuatku menyerah. Ya, memang aku kecewa karena libur kuliah ini adalah kesempatan untuk bisa terus mendekati Dila. Penolakan yang dia berikan satu minggu sebelumnya memang terasa menyakitkan namun kejadian di kontrakanku beberapa hari yang lalu membuat hatiku kembali terbuka. Masih ada kesempatan untuk meluluhkan hatinya dan aku sangat yakin dia sebenarnya juga menyukaiku tapi entah karena suatu hal dia seperti menahannya.
"Iya aku kecewa karena gak bisa deket sama kamu...."
Dila tertawa lepas, aku tak paham kenapa.
Proses matahari terbenam itu akhirnya selesai, gelap malam perlahan mulai menyelimuti langit yang cerah, bintang juga mulai memamerkan sinarnya yang berkelap kelip menghiasi langit malam. Suasana di pantai juga sudah sepi dan mungkin hanya kita saja yang masih berada disini. Tidak, sebenarnya aku tak mau beranjak pergi dari pantai ini. Pantai ini terlalu indah ditambah dengan perempuan yang juga tak kalah indahnya, teman dekatku sekaligus cinta pertamaku.
"Dila...."
"Iya Din...."
"Apa mungkin kita bisa melihat sunset lagi suatu hari nanti?"
END