Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Affair(s): Season 1

XXV:
Memento of a Trickster



memento
[ˈmenˌtō, məˈmen(t)ō]

noun
an object kept as a reminder or souvenir of a person or event.
"you can purchase a memento of your visit"



=Nendra=


Dari kecil, gue emang udah bisa ngeliat hal-hal yang ga bisa diliat orang lain secara umum. Ngeliat hantu dan semacamnya, misalnya. Meski ga bisa liat ‘mereka’ secara jelas, tapi gue bisa liat siluet-siluet yang membentuk sosok-sosok tertentu yang… ga merepresentasikan manusia. Visualisasi gue terhadap ‘mereka’ selalu berbayang dan bias, tapi bahkan mata bocah gue saat itu udah bisa mengidentifikasi bahwa siluet-siluet yang gue liat itu ga tampak di mata orang kebanyakan.

Karena cuma gue yang bisa liat, orang lain jadi menganggap gue sebagai pembual, tukang hayal, dan suka caper. Sebutan-sebutan itu mengakar di diri gue selama bertahun-tahun, sampe gue masuk SD. Karenanya, gue jadi berpikir kalo gue itu cuma halu atau bahkan… gila. Dan ga ada yang mau deket-deket dengan orang gila, kan?

Makanya, dari kecil gue ga punya teman main. Bahkan sepupu-sepupu gue aja ngejauhin gue karena gue dianggap aneh.

Tapi ada dua orang yang selalu percaya dengan ucapan gue tentang melihat hantu dan semacamnya. Mereka adalah kakek-nenek gue; Engkong dan Uwa. Engkong bilang, bahwa bokapnya, which is my great grandfather, juga punya kemampuan yang sama dengan gue, jadi bisa dibilang bahwa ‘bakat’ gue adalah keturunan. Sementara Uwa selalu bersikap sebagai pelindung dan penjaga gue tiap kali gue ketakutan habis liat hantu. Beliau selalu nyamperin ke spot yang gue tunjuk, lalu ngelakuin gestur seperti mengusir sesuatu, yang gue yakin, beliau engga bener-bener tau ada apa di sana. Lagian diusir pun percuma, karena ‘mereka’ engga pergi juga, sih. Tapi sikap melindungi Uwa, justru bikin gue tenang.

Engkong dan Uwa emang ga bisa ngeliat apa yang gue bisa liat, tapi mereka selalu percaya dengan apa yang gue bilang. Ga pernah ada sekalipun gue liat dari sikap mereka, yang menunjukkan rasa capek atas keluhan-keluhan gue tentang setan-setanan. Gue yang emang dasarnya penakut ini, justru merasa didengar, diperhatikan, dan dilindungi oleh mereka. Sesuatu yang gue ga pernah dapet, bahkan dari kedua orang tua gue sendiri.

Setelah kejadian penyiksaan yang gue alami oleh Nyokap, dimana gue disiksa terus diiket tangannya sambil dikunciin di kamar mandi, dan berakhir gue jadi ngeliat banyak setan dengan visual paling jelas… gue jadi bisa liat ‘mereka’ dengan resolusi 4k. Jelas banget, sejelas-jelasnya. Gue ga tau apa ini ada hubungannya dengan kepala gue yang dibentur-benturkan ke tembok sama Nyokap atau ada faktor lain, tapi setelah kejadian itu gue bisa liat ‘mereka’ sama jelasnya dengan gue liat orang, tumbuhan, binatang, langit, tanah, dan semua yang biasa gue liat. Bentuk ‘mereka’ yang emang abstrak, ganjil, dan menyeramkan, bikin gue tertekan. Dan ini makin berdampak ke psikis gue. Gue jadi tambah penakut, sering kaget dan teriak sendiri, juga jadi sering sakit-sakitan karena selalu merasa diteror oleh ‘mereka’.

Apakah dengan begitu gue akhirnya dapet perhatian dan penanganan yang diperlukan? Engga. Gua malah tambah dianggap sebagai anak yang nyusahin. Pada akhirnya, bener-bener ga ada yang mau deket sama gue, karena gue dianggap cengeng, penakut, dan manja. Untuk ke kamar mandi di siang bolong aja, gue minta dianterin—yang berakhir ga ada yang mau nganterin… dan gue jadi ngompol di celana. Setelahnya bisa ditebak, gue disiksa lagi gara-gara ngompol.

Tapi lama-lama, gue jadi belajar beradaptasi dengan kemampuan gue ini. Gue jadi tau, kalo para makhluk halus yang gue liat itu, ga tergabung dalam satu kelompok yang sama. Gue mengenali para makhluk semi transparan dengan pigmen kulit berwarna-warni dan bentuk abstrak sebagai jin, dan sosok-sosok menyerupai manusia tapi dengan tubuh transparan yang mondar-mandir secara berpola disebut sebagai qorin—atau secara umum, orang-orang lebih mengenal ‘mereka’ dengan sebutan arwah penasaran.

Masyarakat umum sering menganggap bahwa qorin dan arwah penasaran berada di kelompok yang sama; tapi ternyata engga. Di agama gue, qorin dijelaskan sebagai jin pendamping yang ikut lahir saat kita lahir ke dunia. Qorin juga bertumbuh dan mengikuti wujud kita seiring waktu, jadi kayak anak kembar beda dimensi aja, gitu. Tapi perkembangan qorin berhenti saat kita mati, dan qorin engga ikut mati. ‘Mereka’ tetap hidup, meniru kebiasaan-kebiasaan manusia yang mereka dampingi semasa hidupnya, tapi dilakukan secara berulang-ulang. Ibarat lagi main game, mereka kayak karakter game yang dikendalikan oleh AI, setelah sebelumnya sering dimainin sama player.

Sementara, menurut pengamatan gue, arwah penasaran adalah roh, spirit-whatever yang terus mengembara di dunia karena ada urusan-urusan yang masih belum selesai—dan itu membuat ‘mereka’ jadi ga tenang. Biasanya, faktor yang bikin mereka ga tenang karena meninggal secara ga wajar; kayak bunuh diri, kecelakaan, atau dibunuh. Tapi ada juga yang meninggal secara alami, tapi masih punya ganjalan di hati mereka. Jadi, saat jiwa mereka dicabut malaikat maut, roh mereka enggan untuk ikut dan tertinggal di dunia.

Berbeda dengan jin dan manusia, roh itu ga punya energi. Mereka harus menumpang ke qorin mereka kalo masih pengen ada di dunia. Biasanya berlangsung selama tujuh hari, empat puluh hari, atau bahkan ada juga yang berbulan-bulan; sampai qorin itu kehabisan energi. Ada juga para roh yang dimanfaatin sama jin, sih. Jadi para jin menawarkan roh-roh ini untuk menumpang di ‘mereka’, dan ‘mereka’ mengambil wujud si roh semasa hidupnya untuk menakut-nakuti manusia, bahkan memperdaya sampai membuat manusia menyembah ‘mereka’. Ketakutan manusia adalah sumber energi paling instan yang bisa didapat jin, you know. Sementara jin yang lebih waras, mengumpulkan energi dengan berpuasa dan menjauhi diri dari alam manusia.

Dan roh yang menumpang di jin ini, bisa tinggal selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun di dunia.

Itu yang terjadi pada Uwa. Setelah meninggal pun, Uwa masih terus ada di sekitar gue. Katanya, beliau khawatir gue ga bisa hidup dengan baik. Awalnya, beliau ada di deket gue selama tujuh hari, dan ga pergi-pergi juga setelah empat puluh hari, dan malah berakhir bertahun-tahun. Bukan berarti Uwa bisa nolongin gue saat gue disiksa Nyokap, atau dirundung temen-temen di sekolah, sih. Tapi kehadiran beliau, membantu gue melewati hari-hari gue yang berat dan menyebalkan itu.

Uwa baru bener-bener hilang, saat Engkong ikut menyusul selang empat tahun setelah kepergian Uwa. Saat Engkong muncul di hadapan gue, hal pertama yang dilakuin Engkong adalah marahin Uwa, dan ajak Uwa untuk pergi. You know… pergi yang ‘itu’. Hehe. Engkong bilang ke Uwa, bahwa beliau percaya kalo gue bisa menjalani hidup ini dengan baik, dan sekalipun pada akhirnya segala sesuatunya ga berjalan sesuai yang diharapkan, ya ga apa-apa. Karena hidup memang seperti itu. Orang jatuh, lalu bangkit lagi, jatuh lagi, tertinggal dari langkah orang lain, ga bisa berlari karena kakinya sakit, jalan pelan-pelan, dan takut jadi yang terakhir sampai ke tujuan. Mungkin saat jatuh, jadi punya banyak luka, tapi selama masih bisa bangun, kata Engkong, ga apa-apa untuk terluka. Beberapa luka emang menghadirkan pelajaran, dan beberapa lainnya… cuma bikin sakit aja.

Tapi hidup memang seperti itu, ya, kan?

Jadi, gue pun melepas Engkong dan Uwa untuk pergi ke alam mereka selanjutnya. The restless should find their resting place, and the living world can’t provide such a place. Gue berjanji ke mereka bahwa gue akan menjalani hidup dengan baik, supaya mereka bisa pergi tanpa ada ganjalan di hati lagi. Tapi nyatanya, gue ga bisa menepati janji gue itu. Gue ga selalu bisa menjalani hidup gue dengan baik dan menyusuri jalan yang lurus. Tapi kata Engkong… ga apa-apa. Tentu, sebagai cucu yang tau diri, gue selalu meminta maaf ke Engkong dan Uwa, tiap kali gue melakukan kesalahan dalam hidup. Gue meminta maaf karena ga bisa jadi cucu yang baik, meminta maaf karena ga bisa jadi anak yang penurut, dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan gue selanjutnya; tentang Julie, tentang gue yang jadi pecandu sabu, tentang kelakuan gue yang suka berantem, dan tentang diri gue sendiri… karena jadi orang yang ga pernah bisa lepas dari zina.

Karenanya, gue jadi benci banget sama diri gue sendiri.

Anywaaaaay… balik ke bahasan tentang ‘makhluk-makhluk’ menyebalkan yang sering bikin gue takut ini. Dibandingkan dengan qorin yang punya wujud ‘itu-itu aja’, para jin bisa mewujud menjadi sesuatu yang di kalangan kita, populer dengan sebutan pocong, genderuwo, kuntilanak, dan sebagainya—dan berakhir dikenal sebagai hantu atau setan. Dan mereka emang se-ngeselin itu dalam berupaya bikin takut manusia. Effort banget, pokoknya.

Dulu, gue selalu merasa kalo para hantu itu emang punya intensi khusus untuk nakut-nakutin gue. Tiap gue kemana, kek, ‘mereka’ selalu ada. Ke kamar mandi, ada hantunya. Lagi jalan sendirian di trotoar, bisa ketemu hantu yang wujudnya kayak orang abis kecelakaan parah. Saking ada dimana-mana, gue jadi develop rasa sebel, selain rasa takut yang bertambah, tentunya. Kayak… gue kesulitan untuk mencari tempat yang ga ada ‘mereka’nya.

Tapi semalam, gue baru sadar akan sesuatu. Selama ini, para hantu yang gue temui, emang ga selalu punya intensi untuk nakut-nakutin gue. ‘Mereka’ cuma ada di sana, dan gue yang dateng menghampiri ‘mereka’. Guenya ga ditakut-takutin juga. Padahal ‘mereka’ diem aja, dan gue yang merasa ketakutan sendiri.

Gue menyadari, para hantu itu engga pernah berinisiatif menakuti gue duluan, kecuali saat suasana hati gue lagi kacau. Tiap gue lagi sedih, ada aja hantu yang muncul dan nakut-nakutin gue. Ga selalu, sih, tapi mostly begitu kelakuannya. Tapi sehabis ditakut-takutin, fokus gue ke hal-hal yang bikin gue sedih jadi berkurang. Dan itu membantu gue untuk ga larut di kesedihan yang mendalam.

Lalu, gue berkaca lagi ke kejadian yang dulu. Waktu itu, ada banyak hantu yang muncul di hadapan gue saat gue dikunciin di kamar mandi. Saat itu gue masih kecil, jadi yang gue pahami adalah ‘mereka’ lagi nakutin gue. Kalo dipikir ulang dengan pola pikir yang sekarang… mungkin yang ‘mereka’ lakuin adalah sedang mencoba menghibur gue. Bentuk ‘mereka’ ga jelas, abstrak, kebanyakan menyeramkan, jadi mau bertingkah sekonyol apapun, akan kelihatan nyeremin di mata manusia.

Dan selama ini, ‘mereka’ ngelakuin itu tiap gue sedih. Saat di kuburan Julie, saat di jalan selepas pulang dari rumah Gloria, dan… saat gue habis berantem sama Nyokap, dua malam lalu. Gue ga tau apa yang ‘mereka’ dapet dari menghibur gue, tapi… gue berterima kasih akan hal itu. Lucu, ya, gue jarang dapet kepedulian dari manusia, tapi malah dapet banyak dari setan.

Karenanya, gue udah ga takut lagi sama setan-setanan. Masih, sih, kalo sama yang bentuknya nyeremin. Tapi gue udah ga mau lagi ngebiarin ketakutan mempengaruhi penilaian gue akan apapun. Jadi….

“Kapan-kapan, saya akan main lagi ke sini, ya.”

Gue berbisik ke ruang kosong, di sudut kamar hotel. Ga bener-bener ruang kosong, sih, karena sebenarnya ada hantu di sini. Hantu yang semalem ngerjain Pak Tarsani itu, tuh. Saat gue lagi ngomong sendiri ke pojok ruangan, Pak Tarsani cuma bisa istighfar. Karena beliau ga bisa liat apa yang gue liat, jadi beliau merespon gue dengan bergidik ngeri.

“Dra, ente jangan keseringan ngomong sama demit, deh! Entar ente diajak musyrik!” komentar Pak Tarsani, sebelum membuka pintu kamar. “Ane beneran duluan aja, nih? Ga apa-apa? Ane takut ente kesurupan kalo dibiarin sendirian, Dra.”

Gue pun nengok ke Pak Tarsani sambil senyum. “Pak Tarsani bisa ruqyah, kan?”

“Serius, ah, Dra!”

Ih, ngomel. Gue jadi ketawa, kan. “Bercanda, Paaak! Saya ga akan kesurupan, kok. Tenang aja. Pak Tarsani duluan aja, ga apa-apa.”

“Bener, ya?” Sambil menggendong tas di punggungnya, Pak Tarsani pun keluar kamar. “Wassalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab gue. Lalu gue nengok ke hantu yang masih melayang-layang di pojok ruangan. “Ga kepanasan denger salam?”

“Saya bahkan bisa baca dari juz 1 sampai 30, dan tidak kepanasan, Nendra,” jawab si hantu. “Tanpa niat dari yang mengucapkan, bahasa itu hanya kata-kata. Peruqyah handal sekalipun tidak berpengaruh apa-apa jika hatinya tidak bersih, sedangkan anak kecil polos bisa menyakiti kami hanya dengan satu kata “bismillah” keluar dari mulutnya.”

Damn. Gue diceramahin sama setan. “Ih, saya, kan, cuma bercanda, Mbak. Sensi banget.”

Oh, iya. Hantu yang lagi gue ajak ngomong ini mengambil wujud perempuan, cantik, pakai mukena. Gue yakin ini bukan wujud dia yang sebenarnya, tapi yaudahlah, beggar can’t choose, you know. Dia yang selama ini menghuni kamar hotel yang gue dan Pak Tarsani tempati selama beberapa hari. Hantu yang sama, yang suara nangis di kamar mandinya menghantui gue saat gue ditinggal yang lain jalan-jalan karena diare, Jumat lalu.

“Kamu tidak takut lagi sama saya?”

“Malah mau bilang makasih,” jawab gue. “Terima kasih karena… somehow, sudah menghibur saya. Tapi kalo boleh tanya… kenapa ngelakuin itu, Mbak?”

“Karena kami merasa itu hal yang perlu kami lakukan.”

“Kalian begitu juga ke setiap orang yang lagi sedih?”

‘Si Mbak’ menggeleng. “Melihat kamu sedih, membuat kami jadi sedih juga. Tidak tahu juga kenapanya. Ada sesuatu yang beda dari kamu, Nendra. Sesuatu yang membuat kami bersimpati dengan kamu.”

Bersimpati, ya…. Andai orang-orang yang ada di hidup gue ketika gue kecil juga bisa bersimpati ke gue. Mungkin, gue akan terselamatkan dari masa depan yang buruk dan ga jelas ini. Tapi semalam, gue udah memutuskan untuk mau coba belajar untuk menerima masa lalu gue. Kalo masa lalu gue buruk, yaudah, mungkin bisanya kayak gitu. Gue emang belom bisa berdamai dengan orang-orang yang memperlakukan gue dengan buruk di masa lalu, dan mungkin masih memperlakukan gue dengan buruk saat ini, tapi gue mau fokus ke masa sekarang aja. Baik-buruknya, gue yang nentuin. Cuma gue seorang.

“Terima kasih banyak,” ucap gue. “Saya pamit dulu, ya?”

“Hati-hati, Nendra.”

Gue mengangguk, lalu ambil tas ransel yang tergeletak di ranjang. Sebelum checkout dari ruangan, gue melirik ke arah laci yang berada di samping ranjang. Dan, gue kembali menatap ke si ‘Mbak’. “Oh, iya. ‘Dia’ sering berkeliaran di hotel ini, ya?” tanya gue.

“Kalau ‘dia’ yang kamu maksud itu roh yang sama dengan yang kami tahu, iya, ‘dia’ cukup sering berkeliaran di sekitar sini. Tapi kami tidak tahu kapan saja dia muncul,” jawab si ‘Mbak’. Muka pucat tanpa ekspresinya terus menghadap ke gue. Ditatap terus kayak gini sama setan lama-lama bikin takut juga, ya. “Yang dia lakukan hanya menjahili para pengunjung hotel, staff, dan orang-orang yang sering berada di area sekitar panggung.”

Area panggung? Mungkin maksudnya lounge dan Centerstage, kali, ya. “Tapi aneh. Kenapa dia malah sering muncul di sini? Soalnya, setau saya, biasanya roh itu terikatnya di tempat dia meninggal, Mbak.”

“Tidak selalu, Nendra,” jawab si ‘Mbak’. Ih, ini setan ngomong biasa aja nyeremin. Suaranya dalam dan… bikin merinding. “‘Dia’ terikat dengan sesuatu di sini. Saat manusia mati, rohnya bisa menolak pergi dan malah terikat dengan tempat-tempat yang penting bagi mereka semasa hidupnya. Temanmu pun begitu.”

“Hmmm, saya harus banyak belajar lagi, nih.” Gue pun beneran pamit, kali ini. Gue berjalan pelan menuju pintu. “Saya pergi, ya, Mbak.”

“Kamu yakin tidak ada barang yang tertinggal, Nendra?”

Langkah gue pun berhenti. Sambil nengok ke belakang, gue pun senyum ke si ‘Mbak’. “Ada, tapi emang sengaja ditinggal. Hehe.”

Gue kembali melanjutkan langkah gue, keluar dari kamar hotel.





=April=


“Eh, kalian tau, ga, kalo di hotel ini sebenarnya ada hantunya?”

Opening dari Sisil berhasil bikin gua memusatkan perhatian ke dia. Begitupun juga dengan Gabriellé. Kami langsung menggeser kursi untuk berada lebih dekat dengan Sisil. Gua jadi mikir, kalo Sisil diibaratkan sebagai role di Mobile Legends, dia itu punya spesialisasi di crowd control, deh.

“Bukannya semua tempat itu emang ada hantunya, ya? Kitanya aja yang ga bisa liat,” bales gua.

“I don’t really believe in ghost stories, but it’s still intriguing to listen to,” timpal Gabriellé. “Bring it on.”

“Ih, April, dengerin dulu. Hantunya sering jahil, kayak suka ngumpetin barang pengunjung dan staff hotel. Suka nampakin diri juga, meskipun siang bolong,” bales Sisil ke gua. Lalu, dia menatap gua dan Gabriellé secara bergantian. “Jadi, semua ini dimulai saat aku liat ada bayangan aneh di belakang Nendra waktu Nendra manggung, yang Kamis malem itu, tuh. Cuma sebentar, samar, dan berbayang, sih, tapi cukup jelas untuk aku kenali sebagai bayangan orang. Kayak siluet cewek, tapi transparan—”

“Kok kemarin-kemarin lo ga cerita ke kita, Sil?” tanya Gabriellé, memotong cerita Sisil.

“Kalo aku cerita saat itu, pasti aku cuma dianggap salah liat aja. Nanti kalian ga memvalidasi aku, lagi. Makanya, aku mau kumpulin info dulu,” jawab Sisil. “Nah, setelah mancing info sana-sini ke para staff hotel, aku kumpulin beberapa pengakuan mereka tentang hantu perempuan yang suka menghantui lounge ini. Katanya, memang ada hantu yang suka muncul di lounge, ga peduli itu waktu siang atau malam. Biasanya suka gangguin staff hotel yang bertugas cleaning tempat ini saat dini hari, atau pemain band yang lagi gladi resik saat siang.”

“Gangguinnya gimana?” tanya gua.

“Paling sering, sih, kayak yang aku bilang di awal cerita, kayak suka umpetin barang. Tapi ada juga cerita para staff yang suka liat ada cewek yang berdiri di panggung Centerstage. Tampilannya kayak remaja, gitu; pake kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek. Tapi… sekujur badannya berdarah-darah. Kadang wujudnya ganti jadi anak gadis sekitar 14 year old-ish, pake gaun hitam, legging putih, dan sneakers. Terlalu modis untuk ukuran hantu, kan? Tapi baik yang abege dan yang anak gadis, dari kesaksian orang-orang yang ga cuma sekali liat penampakannya, mereka bilang muka hantunya sama, sih.”

Gabriellé yang gua liat dari tadi kayak malas-malasan dalam menyimak cerita Sisil, seketika berubah ekspresinya. Sekarang… mukanya tampak serius. “Lo tau hantunya pake kaos warna apa? Celananya gimana? Rambutnya kayak gimana? Lo tau detail lainnya, ga?” tanya Gabriellé, memburu Sisil.

“Aku ga sempat tanya, sih, Ellé. Kamu tau sesuatu?” tanya balik Sisil. “Oh, iya. Katanya dulu kamu sering ke sini, ya? Pernah tau desas-desus tentang hantu ini, ga?”

“Karena gue ga punya interest ke arah sana, jadi kayaknya gue ga attract hal-hal berbau mistis, sih. Tapi… kayaknya gue familiar sama hantu yang lo sebut—”

Ucapan Gabriellé terhenti, saat perhatian kami teralihkan ke Nendra yang lagi ngomong ke Bu Ira. “Checkout-nya masih lama, kan, Bu? Saya mau balik ke kamar hotel dulu. HP saya ketinggalan,” katanya, ke Bu Ira.

“Ketinggalan gimana?” Gua liat, Bu Ira melirik ke HP yang… lagi Nendra genggam? Loh, iya, itu HP-nya dia pegang, kok. “Di tangan kamu itu apa, Dra?”

“Bukan HP ini, Bu. Ada HP satunya.”

“Yaudah, sana. Tapi cepet, ya?” Saat gua liat Bu Ira kasih izin, Nendra langsung berlari ke arah koridor.

Gua pun bertanya-tanya tentang sikap aneh Nendra pagi ini. Ekspresinya keliatan ga sabaran banget saat menunggu jawaban Bu Ira. Kayak lagi mengejar sesuatu. Emang, sih, semenjak dia berantem sama nyokapnya, Nendra emang jadi aneh banget. Tapi, ya… ga tiap hari juga, looooh!

“Nendra punya HP lain, Ellé? tanya Sisil ke Gabriellé.

“Punya. HP jadul,” jawab Gabriellé, singkat. Setelah diam cukup lama, tiba-tiba dia beranjak dari duduknya. “Gue mau susul Nendra dulu, ya. Infoin gue kalo kita udah mau berangkat.”

Lalu, Gabriellé pun berjalan cepat menuju ke koridor yang sama, yang baru aja dilewati Nendra beberapa menit lalu.





=Nendra=


Laaa, la, la, la
Ima de wa
Laaa, la, la, la, la
Hokori darake no mainichi
Itsu no hi ka


Dulu, gue ga cuma habisin waktu bareng Gloria di atas aspal aja. Ada masanya kami cuma ketemu tapi ogah untuk balapan dan berujung mengobrol tentang hal-hal remeh; tentang hobi, film favorit, atau impian di masa depan. Gue berbagi cerita gue ke dia, dan dia berbagi ceritanya.

Selain balapan, kami punya hobi yang jauh berbeda. Gue lebih suka main PS di dalem rumah, sedangkan Gloria suka banget sama kegiatan outdoor. Film favorit gue lebih ke genre-genre fantasi kayak Lord of the Rings, sedangkan film favorit Gloria lebih ke drama dan sci-fi. Pandangan kami tentang masa depan juga jauh berbeda. Gue lebih suka menjalani segala sesuatunya dengan apa adanya, berusaha sewajarnya, mendapat hasil secukupnya. Sementara Gloria lebih ambisius dengan masa depannya. Dia ingin memegang kendali penuh atas dirinya sendiri, dan jadi orang yang bisa menjalani hidup sepenuhnya, dengan cara terbaik yang dia usahakan.


Laaa, la, la, la
Subete no
Laaa, la, la, la, la
Toki ni mi o makaseru dake


Tapi, gue dan dia sepakat bahwa kami suka dengan One Piece. Gue suka plot ceritanya, sedangkan Gloria suka dengan ide kebebasan yang diusung Eiichiro Oda dalam penggambaran kru Straw Hat Pirates. Kalo lagi bahas One Piece, kami bisa cuekin Joshua (yang menganggap orang yang suka anime itu aneh) dan menebak-nebak alur cerita dan teori-teori konspirasi yang beredar luas. Kami juga sering berandai-andai tentang wujud sebenarnya dari One Piece.

Selain sebagai first love, Gloria adalah nakama pertama gue. Gue jarang punya temen yang sefrekuensi, yang bisa membahas One Piece dengan bebas. Di sekolah, gue berada di tengah-tengah antara anak bandel dan anak wibu kuper. Di kubu anak bandel, gue dipandang sebelah mata karena suka nonton anime dan baca manga. Sedangkan di kubu anak wibu, gue dianggap terlalu beringas bagi pribadi mereka yang kalem dan cinta damai. Makanya, saat ketemu Gloria dan kami nyambung saat bahas One Piece, gue merasa seneng banget.


Moshi mo sekai ga kawaru no nara
Nanimo shiranai koro no watashi ni
Tsurete itte omoide ga
Iro asenai you ni


Dan sekarang, lagu ending pertama dari One Piece terus terngiang-ngiang di kepala gue. Kayaknya ini udah ketiga kali lagunya terputar ulang. Lagu dari Maki Otsuki ini, sering banget gue dan Gloria nyanyiin sambil gitaran di mobilnya. Karena sering dimainin, gue jadi hafal liriknya, bahkan gue hafal chord gitarnya.

Ga tau kenapa juga lagu ini yang terputar otomatis di kepala gue, dalam rangka menemani perjalanan singkat gue ke kamar hotel. Setelah bertahun-tahun ga pernah gue nyanyiin lagi, tiba-tiba aja lagunya muncul di kepala. Yang jelas, ini bukan kerjaan ‘Gloria’, karena dia ga ada di kepala gue.

Berbanding terbalik dengan klaim ‘dia’ yang bilang kalo dia ada di kepala gue, gue menemukan fakta sebaliknya.

Setelah tempelin kartu ke handle pintu, gue pun memutar tuas pintu dan mendorong pintu kayu, perlahan-lahan. Dan pemandangan yang tampak di balik pintu, seketika membuat nafas gue tertahan. Seorang… cewek, memakai kaos hitam dan celana jeans panjang, sedang berdiri di tepi ranjang sambil memandangi laci. Tubuhnya keliatan tembus pandang, hampir menyatu dengan ruang kosong. Meski tampilannya yang berdarah-darah ini bikin ngeri, tapi gue ga takut sama sekali.

Sekarang, dia nengok ke gue. Sambil pasang ekspresi canggung, dia pun ketawa cengengesan.

“TUH, KAN, BENER!” teriak gue, sambil menunjuk ke arah si cewek, Gloria. Gue pun spontan melempar HP yang ada di genggaman gue. Tapi HP gue nembus melewati badan transparannya. “GA ADA ABISNYA LO NGERJAIN GUE, BRENGSEK!”

“Aw, fuck.” Merasa ketangkep basah, Gloria meraupkan tangan ke mukanya. “Lo sengaja ninggalin HP pemberian gue, ya, Dra?”

“IYA, EMANG!” Sumpah, gue sebel banget sama ini cewek. Udah jadi hantu pun masih tetap aja suka ngerjain orang, kayak yang sering dia lakuin semasa hidupnya. “Kalo ga gitu, gue ga akan bisa ketemu lo lagi, sialan!”

“You outsmart me in this one.” Gloria pun terkekeh geli. Dia pun senyum, lalu wujud berdarah-darahnya hilang begitu aja. Sekarang, dia cuma hantu cewek biasa yang pake kaos dan celana jeans panjang, dengan ekspresi tengil yang lebih hidup dari orang hidup sekalipun. “Enaknya ngobrol sama orang yang bisa liat hantu itu, gue jadi ga perlu buang-buang energi untuk menampakkan diri. So… it’s been a while, Nendra.”

“Been a while your ass….” Tiba-tiba, gue merasa lemah. Gue sampe berjongkok di ambang pintu, dengan kedua tangan terkepal. “Lo ga perlu pura-pura jadi coping mechanism tai anjing di otak gue, Glo. Saking percayanya sama trik murahan lo, gue sampe udah niat mau ke psikolog abis pulang liburan ini, gara-gara curiga kalo gue schizo, Anjing. Sumpah, cara lo ga lucu banget….”

“Soalnya… gue bingung mau ketemu lo dengan cara apa.”

Gue pun melongo. Jawaban Gloria malah menimbulkan tanda tanya baru di kepala gue. “Kenapa harus bingung?”

“Gue ga pede ketemu lo lagi, Nendra. Masa udah sedih-sedihan di mimpi, eh, ketemu lagi di hotel?” Gloria terus ketawa yang canggung, kayaknya demi menutupi salah tingkahnya. “Tapi lo tau dari mana kalo gue pura-pura jadi suara di kepala lo?”

“Pokoknya ada setan yang ngadu ke gue, soal lo dan keusilan lo nakut-nakutin orang-orang di hotel ini. Dia juga bilang, kalo beberapa hantu, emang punya keahlian telepati dengan manfaatin frekuensi gelombang elektromagnetik manusia.”

“See? We’re somehow more advanced in some aspects, you know. The perks of not having a body anymore.” Lagi-lagi, Gloria ketawa. Tapi karena gue ga ikutan ketawa, tawanya jadi memudar. Dia pun berdehem. “Well… I think I deserve a hug from a long-lost friend. Ya, kan?”

“Ga bisa pelukan juga. Jangan bikin gue lebih sedih dari ini, Gloria.” Gue emang berharap untuk bisa ketemu Gloria lagi, meski dengan perantara, lewat kejadian, dan dalam bentuk apapun. Tapi setelah ketemu beneran, dan ga bisa menyentuh dia karena kami udah beda alam, gue… jadi merasa nyesek. Tapi, tiba-tiba selintas pikiran bikin gue menyadari sesuatu. “Eh, kalo selama ini lo cuma ngerjain gue, berarti yang lo bilang “i love you” itu, gimana? Itu beneran atau bercanda juga?”

Gloria ga langsung menjawab. Dia diem dulu, lamaaa banget. “Fuuuuuuuuck! Forget it, Nendra! Forget I’ve ever said something embarrassing like that, Bitch!”

Sekarang, dia… jadi hantu yang… histeris banget.

“Oh, biar gue tebak.” Gue pun berdiri lagi, menatap Gloria dengan penuh kepercayaan diri. “Karena lo merasa aman dengan menyamar jadi apalah itu di otak gue, jadi lo merasa bisa ngomong apa aja dengan bebas, kan? Kayak… lo pasti mikir, “ah, Nendra, mah, ga akan tau gue lagi ngerjain dia, jadi sekalian aja gue ungkapin perasaan gue”, gitu isi pikiran lo, kan?”

“Gue bilang lupain aja, Nendraaa!”

“Jadi, kalo liat reaksi lo ini, berarti yang lo ungkapin itu beneran?”

“Gue bilang lupain aja—”

“Gue juga sayang lo, Glo. Dari dulu. Lo cewek pertama yang gue suka dan sayang,” potong gue. Gloria langsung diem. Tingkah saltingnya berubah jadi kalem yang sendu. “Gue ga mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Sekalipun kita udah ga bisa bareng, tapi seenggaknya lo tau perasaan gue ke elo.”

“Kan gue bilang lupain—oh, well…,” sambil terus menatap gue dengan sorot mata sedihnya, Gloria menghela nafas berat, “gue udah tau itu. Somehow, orang mati jadi bisa tau banyak hal, Nendra.”

“Gue juga udah bilang, kalo gue pengen kalimat itu keluar dari mulut gue sendiri,” bales gue, sambil membalas pandangannya dengan tatapan serius.

“Thanks.” Sekarang, gue liat sorot mata sedih Gloria jadi bertambah kelam dan sendu. “Gue jadi mau nangis, kan…. Kalo gini, gue jadi berat mau pisah sama lo, tau.”

“Kan gue bisa ke sini lagi, buat ketemu lo.” Gue yakin banget, kalo Gloria masih akan tinggal di dunia ini lebih lama lagi. Kayak Uwa dulu. Ga apa-apa, asalkan gue udah tau dia ada di sini, gue bisa nengokin dia terus. Atau mungkin, gue pindah aja dari Jakarta dan cari kerja di Bali, ya? Atau… gue apply kerjaan di hotel ini aja! Siapa tau ada lowongan yang buka! “Gue janji, habis ini, gue akan terus tengokin lo. Jadi lo ga akan kesepian lagi, Glo.”

“Ga bisa, Nendra. Ini hari terakhir gue ada di dunia ini,” responnya, lirih. Ada senyum yang tampak dipaksain darinya.

“Kok?” Gue diem dulu. Respon Gloria bikin gue terpaku, dan ga tau harus ngomong apa. Kayaknya, gue agak syok, deh. Kayaknya… ini ga sesuai dengan yang gue bayangin di kepala gue. Iya, harusnya ga gini, kan? Harusnya gue masih bisa terus-terusan ketemu Gloria lagi, meski dia sekarang udah jadi hantu, kan? “Bukannya selama bertahun-tahun, lo gentayangan di hotel ini?”

“Iya, memang. Tapi energi gue hampir habis, dan salah satu hal yang mengganjal di hati gue udah terlampiaskan. Sisanya… kalo ga tercapai, biar gue tanggung sendiri aja di alam sana, nanti.”

“Terus gue gimana, Glo?” tanya gue, lirih. Eh, nanti dulu. Ini anak, kan, emang dasarnya tukang ngerjain orang. Bisa aja dia bohong soal yang dia bilang tadi, supaya gue bisa tetap fokus menjalani hidup gue yang sekarang. Ah… meski udah mati, dia tetap aja baik. “Oke, oke. Gue percaya. Jadi ini hari terakhir, kan? Kalo gitu, gue ga akan ke sini lagi.”

“Kalo lo menganggap ini cuma salah satu prank gue, lo harus siap kecewa, Nendra. Kali ini, gue ngomong serius. Kalo di kemudian hari, yang entah kapan, lo ke hotel ini lagi, lo ga akan nemuin gue dimana pun.”

Ada ‘deg’ lainnya yang terasa sakit di hati gue, setelah mendengar balesan Gloria. “Bisa aja lo ngumpet, biar gue ga bisa ngeliat lo!”

“Nendra…. Lo bisa liat alam kami sejelas lo liat bokep di PornHub dengan resolusi paling tinggi! Ga ada gunanya juga kami ngumpet!” Tiba-tiba, Gloria melayang maju, menembus ranjang. Menghampiri gue. “Liat! Gue bahkan engga berusaha menampakan diri di depan lo, tapi lo tetap bisa liat wujud gue!”

“Tapi waktu lo ngomong sama gue langsung ke kepala gue, gue ga bisa liat wujud lo!” bales gue. Beneran, gue masih pengen ngotot.

Gloria menghela nafas, lalu menghilang di balik tembok. Tiba-tiba, ada suara yang menggema di kepala gue. Persis kayak yang terjadi di hari Jumat lalu.

Asal jaraknya ga terlalu jauh dan gue masih bisa menerima frekuensi gelombang elektromagnetik di kepala lo, gue bisa ngomong straight to your head dari balik tembok, Nendra. Sampe sini udah ngerti?

Dan… ada ‘deg’ lainnya. Makin lama, hati gue makin sakit, ih. “Tuh, lo aja ngumpet di balik tembok. Ga mustahil juga kalo gue nyari lo suatu saat nanti, lo ngelakuin hal yang sama, kan?”

“Nendra… ini beneran batas gue. There won't be next time.”

Gue pengen banget berhenti berdebat dan mulai menerima kenyataan, karena sekarang, balesan-balesan gue ke Glo semakin terdengar menyedihkan. Tapi ada sisi lain di diri gue yang beneran ga mau ikhlas gitu aja. Gue baru ketemu dia sebentar. Bahkan belom ada lima menit. Gue belom sempet ngobrol banyak sama dia. Belom minta maaf juga. Belom cerita kalo sekarang gue jadi partner mabar bokapnya, belom ngebangga-banggain adeknya dan cerita gimana baiknya Gebi memperlakukan gue, belom dengerin cerita-ceritanya, apalagi soal dia yang beliin gue HP tapi ga pernah sempet dikasih ke gue. Masih ada banyak, banyak banget kata yang mau gue ucap ke dia, dan gue yakin dia juga ngerasain hal yang sama.

Tapi gue tau, keegoisan gue malah akan menyakiti kedua belah pihak: gue dan dia.

“Selama ini… lo coba bertahan supaya eksistensi lo ga cepet hilang itu dengan nakut-nakutin para pengunjung dan staff hotel, ya?” Entah kenapa, gue bisa mikir gitu. Mikir kalo Gloria sengaja ngelakuin ini, dengan asumsi dia tau kalo gue akan ke hotel ini, entah kapan.

“Iya. Gue tadi bilang, kalo orang mati jadi bisa tau banyak hal, kan?” Sekilas, pandangan sendunya menghindari pandangan gue. “Gue… tau kalo suatu saat lo akan ke sini, entah gimana cara taunya. It’s just… popped up in my head. Tapi meski gue tau grand plan-nya, tapi gue ga tau setiap detailnya. Buktinya, gue ga tau kalo lo menjebak gue dengan ninggalin HP pemberian gue di kamar ini, Nendra.

“Saat seseorang mati dalam keadaan tidak tenang, roh orang tersebut bisa tinggal di tempat atau barang yang terikat sangat dekat dengan dirinya semasa hidup. Saat gue mati, ada beberapa pilihan kemana roh gue akan menuju untuk tinggal sementara di dunia ini; gue bisa ke rumah lama gue, ke tempat gue kecelakaan, atau ke hotel ini… dimana dulu gue, Gebi, dan Papa sering ke sini untuk liburan bareng. Gue juga bisa tinggal di barang-barang kesayangan gue; kayak di Mustang bobrok gue, di boneka teddy yang sempet lo pake buat jadi bantal pas lo tidur di jok belakang mobil gue, dan di HP yang gue kasih ke lo adalah salah tiga contohnya. Makin akrab hubungan gue dengan barang dan tempat tersebut, makin kuat energinya untuk menyokong eksistensi gue.

“Lalu, gue kayak dikasih tau akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tergantung dengan kemana roh gue akan tinggal. Tempat ini, adalah tempat dengan energi terendah untuk menyokong eksistensi gue… tapi gue tetap memilih tempat ini, karena punya kemungkinan tertinggi untuk ketemu lo dan menyelesaikan semua urusan kita yang masih mengganjal.

“Takdir itu kayak cabang-cabang dahan dan ranting di pohon besar, Nendra. Gue ga tau pasti kapan lo akan dateng—hell… gue cuma dikasih contekan tentang ada apa di ujung rantingnya aja. Yang gue tau, kalo gue pilih ini, maka gue akan dapet hasil yang begini. Yang perlu gue lakuin adalah bertahan sampe saatnya tiba. Dan untuk bertahan sampe waktunya, ya… gue harus nakut-nakutin orang biar terus dapet energi. Karena, gue butuh energi yang lumayan gede untuk bisa berkomunikasi dengan lo, dan butuh syarat lain juga, sih.”


“Apa syarat lainnya?”

“Lo making contact dengan barang tempat gue tinggal. Gue butuh gelombang elektromagnetik kita supaya beresonansi, biar kita bisa match. I know, I know… ini kedengeran kayak pseudo science-fiction shit, but that’s the truth.”

“Kalo gitu, HP lo itu,” gue menunjuk ke HP E63 yang masih belom gue ambil dari laci, “jadi salah satu trigger yang menyokong energi lo?”

“Engga. It never was.” Gloria pun tersenyum sendu. “Gue udah terikat ke barang lain, Nendra. Pemicunya bukan HP itu, tapi—”

“Nendra? Kamu lagi apa di sini?”

Seketika, gue nengok ke belakang, ke arah suara ini berasal. Di belakang gue, tanpa gue sadari, sekarang ada Gebi. Nafasnya terengah-engah, kayak orang abis lari-larian aja. Tapi selain nafasnya yang ga beraturan, tatapan matanya ke gue juga kayak… orang yang lagi khawatir.

“Oh, ini… aku baru mau ambil HP yang ketinggalan,” jawab gue, ke Gebi.

“Jangan bohong.” Gebi pun mendekati gue, perlahan. Matanya mengedar ke seisi ruangan, lalu beralih ke gue, berusaha mencari jawaban di sorot mata gue. “HP kamu aja sekarang ada di ranjang. Itu HP yang sama, dengan yang aku liat tadi, kan? Dan HP kamu yang ketinggalan bukan HP yang itu, kan? Lalu, gimana caranya kamu lagi berdiri di sini, dan HP kamu ada di ranjang? HP nya kamu lempar? Kenapa kamu lempar? Ada sesuatu yang bikin kamu melempar HP kamu? Lagipula, baru aja aku denger kamu lagi ngomong… kayak lagi ngobrol sama seseorang. Tapi di kamar ini ga ada siapa-siapa, kan? Atau… ada, tapi aku ga bisa liat aja?”

Buset. Pacar gue kalo lagi mencecar onpoint banget. Gue jadi kewalahan sendiri ngeresponnya. “E-emang ga a-ada siapa-siapa,” bales gue. “M-mungkin kamu salah denger, Y-Yang.”

“Nendra, aku bilang jangan bohong.” Tiba-tiba, Gebi mencengkram lengan gue. Kami pun berdiri berhadap-hadapan, dengan dia yang terus menatap tajam ke gue. Tatapan Gebi, bikin gue refleks memalingkan pandangan. “Kamu ngomong sama siapa? Sama hantu? Aku kenal sama hantunya?”

Tanpa menatap dia, gue pun balik tanya. “Bukannya kamu ga percaya sama yang kayak gitu?”

“Sekarang aku percaya.” Gebi merespon gue dengan nada selirih mungkin. “Sekarang… Glo lagi ada di sini, kan? Iya, kan? Kamu dari tadi lagi ngomong sama dia, kan?” Gebi mencecar gue lagi dengan pertanyaan.-pertanyaan lainnya, yang ga mampu gue jawab. Dan… gue bisa denger rasa frustasi dalam tiap getar suaranya. “Aku mau ketemu dia juga. Aku mau liat dia. Please, tell me how. Aku harus apa supaya bisa liat dia juga?”

Damn. Sekarang, Gebi terdengar sama pathetic-nya kayak gue.

Makin dicecar, gue makin memalingkan muka. Sekarang, gue menatap ke Gloria, yang cuma bisa memandangi kami dalam diamnya. Tapi yang Gebi liat, sekarang gue lagi menghindari cecarannya dengan membuang muka ke arah tembok. Maka, dia juga menatap ke tembok yang sama. Dan… dia berjalan melewati gue, masuk lebih dalam ke kamar.

“Glo… hantu yang orang-orang omongin, itu lo, kan?” tanya Gebi, pada ruang kosong. “Terakhir kita ke sini, lo itu sok-sokan bergaya pop punk kayak Avril. Pake dress ala-ala gothic-emo, pake stocking, terus bawahnya sneakers. Saat Sisil sebutin ciri-ciri hantunya, I know it was you. It was you, all along.”

Tapi Gloria cuma diam, sambil terus memandangi Gebi. Ga ada ekspresi selain kesedihan yang terpancar di mukanya.

“Glo… give me some sign. Please.”

Gue liat badan Gebi mulai gemetar, saat dia mengucap kalimat untuk ketiga kalinya, ke Gloria. Tetap ga ada respon. Sekarang, tangan Gebi mulai mengepal, dan dia berkali-kali mendongak. Sesekali juga, tangan kanan dan kirinya bergantian menyeka matanya. Yang Gebi perlihatkan ke gue cuma punggungnya, tapi ga butuh analisis tajam untuk tau kalo sekarang dia lagi berusaha menahan tangisnya.

“Glo… sekali aja.” Kuping gue menangkap getar yang makin jelas dalam tiap nada suaranya. Gue jadi ga tau harus gimana sekarang. “Glo… please, l-lo ga kasian sa-sama gue? Kenapa… kenapa lo bisa muncul ke Nendra, tapi ga mau muncul d-di depan gue? Salah gue apa?”

Bahkan dengan kondisi Gebi yang ga bisa liat kakaknya, Gloria masih memilih diam. Tatapan sedihnya sekarang kayak lagi nahan nangis, dan kesedihan tampak jelas di mukanya. Dalam diamnya, Gloria terus menatap Gebi, yang tangisnya sudah pecah dan membuat dia ambruk ke lantai. Kedua tangannya menutupi mukanya, tapi gue bisa denger dengan jelas, tangis terisaknya yang mengiris hati. Gue yakin, Gloria juga mendengar hal yang sama. Ngerasain hal yang sama.

Lalu, Gloria menatap gue. Tatapannya mengiba, dan terasa menusuk. Gue… ga pernah ditatap kayak gini sebelumnya. Tatapan Gloria, seketika bikin gue merasa tersinkronisasi dengan dia. Dengan perihnya, frustasinya, ketidakberdayaannya, rasa putus asanya, sakit hatinya, dan… harapannya.

Mendadak, gue jadi bisa ngerti alasan dia yang memilih tempat ini. Gue jadi bisa paham apa tujuannya. Gue jadi tau, bahwa keberadaan gue, ternyata hadir untuk maksud yang lebih besar dari sekedar meratapi rasa kehilangan yang ada di diri gue sendiri. Gloria… pengen gue bisa menyambungkan dia dengan keluarganya, untuk yang terakhir kali.

“I won’t last much longer, Nendra. Gue pengen banget hadir di depan Gebi dan Papa, tapi bahkan gue udah kesusahan mempertahankan diri di dunia ini. Cross dimensions and materialize in your world really needs a lot of energy, you know. Such feats are things that I can’t do… anymore,” jelasnya. Gue bisa liat sendiri, bahwa tubuhnya makin transparan, dan hampir menyatu dengan ruangan.

“Gue… mungkin gue bisa bantu. Tapi gue ga tau gimana caranya,” bales gue, lirih.

“Nendra? Kamu lagi ngomong sama Glo? Dia ada dimana?” tanya Gebi. Tangisnya langsung berhenti, tapi nafas terengah-engah hasil dari isakan tangisnya masih terus berlanjut, menyiksanya. Tapi untuk saat ini, gue memilih untuk cuekin Gebi, dan lebih berfokus untuk dengerin Gloria.

Seketika, Gloria kembali bicara langsung ke kepala gue. Di akhir penjelasannya, gue langsung menatap sebal ke dia. “Lo emang brengsek, Glo,” respon gue, sambil acungkan jari tengah ke dinding.


———


Setengah berlari, gue dan Gebi kembali ke lounge, dimana semua peserta liburan udah berada di sana. Semuanya udah selesai packing, dan kehadiran kami pasti ditunggu banget, supaya semuanya bisa proceed ke acara selanjutnya. Tapi gue berharap kalo gue bisa lebih lama lagi di sini. At least, lima menit lagi, deh! Soalnya, ada sesuatu yang harus gue cek.

“Nendra, kamu ngapain lama banget ambil—”

“Tadi keycard-nya error, Bu!” potong gue, lalu terus berlari melewati Bu Ira.

“Ini kamu mau kemana lagi?! Kita udah mau berangkat, Nendra!”

Gue pun memutar badan, lalu sambil berjalan mundur, gue teriak ke Bu Ira. “Ada yang mau saya cek dulu, Bu! Sebentar aja!”

Dan teriakan Bu Ira pun beralih ke Gebi. “Kamu juga ikutan, Geb?!”

Berbeda dengan gue yang masih bisa berusaha ceria, meski hatinya lagi campur aduk, Gebi beneran bersikap gloomy sepanjang perjalanan dari kamar hotel ke lounge. Karena lagi gloomy, jadinya dia enggan untuk merespon Bu Ira. Kami berdua pun berlari ke tengah-tengah lounge, memutari bar, lalu memanjat tangga di belakang bar, yang menghubungkan dengan arena Centerstage.

“Gitar item, gitar item….” Mata gue terus mencari-cari ke peralatan musik yang terpanjang di sekitar arena… nah, ketemu! Sebuah gitar akustik-elektrik berwarna hitam dengan banyak coretan tinta berisi tanda tangan dan notes pun kini berada dalam genggaman gue. “Waktu itu yang ini, bukan, sih?” tanya gue ke Gebi.

Gebi tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Iya,” katanya. “Coba liat bagian belakangnya.”

Gue dan Gebi buru-buru membalik gitar ini, hingga bagian belakangnya yang kini nampak. Ternyata, di bagian belakangnya juga banyak terdapat tanda tangan. Kemungkinan besar, ini adalah tanda tangan dari orang-orang yang pernah mainin gitar ini. Kami pun mencari-cari satu tanda tangan yang jadi tujuan kami mengecek gitar hitam ini, katanya tempatnya ada di pojok. Tapi pojok mana, sih?

“Nendra, yang ini, bukan?!” seru Gebi. Sejenak, dia terdiam. “Iya… yang ini. Aku masih hafal tanda tangan kakak sialan aku itu,” tambahnya, lirih. Lalu, dia ketawa sambil terus memandangi gitar hitam yang lagi gue pegang ini.

Gue langsung merhatiin ke arah yang ditunjuk Gebi. Di pojok kecil di bagian kanan bawah, tertulis tiga kata dan satu guratan tanda tangan.
“GLO WAS HERE” ditulis dalam huruf kapital, di atas tanda tangan dengan garis-garis rumit yang ngeselin untuk diliat. “Emang sialan, tuh, cewek. Pantes aku kayak denger suara dia, di malam saat kamu minta aku nyanyi itu,” bales gue.

Gebi langsung diem. Terus mandangin gue, lumayan lama. Kan gue jadi bingung mesti bertingkah kayak gimana. “Kok… kamu ga pernah cerita hal ini ke aku?” tanya dia, akhirnya.

Fuuuuuuck! Gue keceplosan, anjir! Padahal emang niat awal gue, tuh, ga mau bilang apa pun yang berhubungan dengan Gloria. Kayak… pengennya dan nyamannya di simpan sendiri aja, gitu. “Eh… anu… baru keinget sekarang,” jawab gue. Dan karena pertanyaan Gebi membuat gue merasa diserang, gue jadi tambah pernyataan lainnya, yang bertujuan menyerang balik Gebi. “Lagian, biasanya kamu juga ga akan percaya sekalipun aku cerita,” tambah gue.

“Tapi aku berhak untuk tau, Nendra.” Sekilas, Gebi menggoyangkan kepalanya. “Nevermind. Bisa kita bahas nanti. Jadi, habis ini gimana?”

Kok… gue tiba-tiba merasa bahwa perihal keceplosan ini bisa jadi bibit berantem, ya?

“Gloria bilang…, eh, sebentar. Kamu percaya sama apa yang akan aku bilang?” bales gue.

“Just fucking tell me, Nendra! Aku bahkan ga dapet kesempatan untuk dijelasin dari saat kita masih di kamar tadi!” teriak Gebi, tiba-tiba. Teriakannya ga cuma bikin gue, yang selama ini ga pernah dimarahin Gebi, kaget dan jadi terdiam. Kerumunan orang-orang di bawah, yang emang dari tadi merhatiin kami, jadi makin memusatkan perhatian mereka ke suara Gebi yang meninggi.

Gue akui, emosi gue sempat tersulut saat dibentak Gebi. Tapi… gue juga ngerti akan rasa frustasinya. Jadi gue coba redam emosi, dan berkompromi dengan keadaan dengan melakukan satu tarikan nafas panjang. “Kita turun dulu sambil laporan ke papa kamu aja, ya? Nanti aku jelasin sambil jalan,” bales gue.

Tadi, saat di kamar, Gloria… atau rohnya, whatever, kasih tau gue dimana selama ini dia ‘tinggal’. Rohnya bersemayam di gitar akustik-elektrik merk Ibanez, yang Kamis malam lalu gue pake saat gue manggung. Kenapa dia memilih berada di sana? Karena, menurut alasannya, dia berhasil lancar mainin lagu ending pertama One Piece pake gitar ini, saat dia lagi coba-coba main di suatu siang pas lagi liburan ke hotel ini. Meski pas Gloria lagi main gitar, Gebi malah lari-larian sama Joshua; tapi dari awal sampe akhir lagu, Pak Wawan nontonin dia tanpa beranjak dari kursinya. Gloria tau itu, dan menurutnya, jarang banget bokapnya mau untuk menyimak apa yang dia lakuin. Dan buat dia, pengalaman itu jadi berkesan banget. Makanya, dia sampe bubuhin nama dan tanda tangannya di gitar ini.

Lagipula, katanya lagi, barang yang memberi beragam emosi kepada pemakainya, juga bisa jadi sumber energi bagi dia. Emosinya tinggal dikonversi jadi energi, dan energinya jadi semacam life force (I know this sounds ridiculous since she’s dead) yang menyokong eksistensinya di dunia ini. Makanya, Gloria bisa bertahan sampe selama ini. Karena, kalo cuma ngandelin dari nakut-nakutin orang aja, gue engga yakin dia bisa bertahan lama. Supaya bisa menampakkan diri, setan itu butuh energi yang gede banget, tau.

Yeah, ghost thingy. Gue harus mati dulu untuk bener-bener paham sama konsepnya. Soon, perhaps.

Dan, kata Gloria, yang harus gue lakuin sekarang adalah… nyanyi. Fuck. Masa iya gue nyanyi lagi, sih? Ini cerita drama apaan, sih, anjir! Kenapa sekarang isinya jadi kebanyakan nyanyi, ahelaaah!

“Tapi kenapa harus nyanyi?” tanya Gebi, saat dia baru turun dari tangga.

“Mungkin fokusnya ke mengadakan sumber energi dari emosi si penyanyi dan orang-orang yang dengerin. Nanti, energinya dipake Gloria, tapi ga tau untuk apa—heck, aku juga ga begitu paham yang gini-ginian, Geb!”

“Yaudah! Ayo kita coba!” Gebi berhenti melangkah. Telunjuknya pun menempel di bibirnya. “Dia request lagu tertentu, ga?”

“Ada. Minta dinyanyiin… memories—”

“Memories-nya Maroon 5? Kan dia udah ga ada saat lagu itu keluar, Nendra,” potong Gebi.

“Bukan, laaah!” bales gue, berteriak. Pengen banget gue getok kepala Gebi pake gitar. “Memories… ending-nya One Piece.”

“Oh.” Tiba-tiba, sorot mata Gebi jadi sedih. “Aku tau lagunya. Cukup hafal juga. It’s my sister’s fav song, after all.”

“Kamu nonton One Piece?”

“Lebih ke… baca, sih. Aku males nonton anime-nya. Kepanjangan dan bertele-tele tiap scene-nya—eh, ini bukan saatnya kita ngobrol, Nendra!”

Oh, iya. Gloria is dying somewhere, dan gue malah seneng karena dapet nakama baru, pacar sendiri, pula. Jadi yaudah, gue dan Gebi kembali ke kerumunan peserta liburan kami, yang terus menatap kami dengan pandangan aneh. Bahkan Bu Ira jadi orang yang pertama protes, karena kami dianggap bikin malu rombongan dengan ngambil gitar dari tempatnya.

“Kalian ini, dari tadi sikapnya aneh-aneh, tau, ga!” protes Bu Ira.

Gue bingung mesti ngejelasin gimana, jadi cuma bisa bales dengan cengengesan aja. Sementara Gebi cuekin tantenya itu, dan langsung menuju ke bokapnya, yang lagi nyender di meja resepsionis. Karena posisi mereka lumayan jauh, jadi gue ga bisa denger apa yang mereka omongin. Tapi gue liat Gebi nunjuk-nunjuk ke arah gitar yang gue pegang. Pasti ada hubungannya, nih.

“Dia minta Papa untuk beli gitar yang lo pegang, Nendra.”

Perlahan, gue nengok ke samping, ke arah Gloria yang sedang melayang-layang. Wujudnya makin tipis aja. Tiap liat wujudnya yang makin transparan, hati gue makin perih. Tapi nunjukin kesedihan gue di depan Gloria, cuma akan membebaninya. Dan bikin yang lain juga jadi bertanya-tanya. Lagipula, gue udah lumayan ahli kalo untuk urusan faking expression, kok. Jadi seharusnya ga ada masalah dan ga make scene.

“Sekarang dia ngotot dan tantrum. Tuh, liat.” Gloria mengangkat tangannya, pelan. Menunjuk ke arah adeknya yang marah-marah sambil jejingkrakan. Gue… baru tau kalo pacar gue bisa begitu kelakuannya. “Deep inside, dia cuma anak kecil yang dipaksa cepet-cepet dewasa oleh keadaan. Kalo ngambek, aslinya ya kayak gitu.”

Pemandangan tantrum Gebi, tingkah kewalahan Pak Wawan, dan komentar Gloria, jadi kombinasi pas yang bikin gue ketawa. Ini kayak angin segar di tengah lautan nuansa sedih yang terus memenuhi hati gue, nih. “Hasilnya gimana?” tanya gue, ke Gloria. Tapi yang nengok malah Sisil. Dan dia bingung akan pertanyaan gue.

“Approved. Sekarang si resepsionis lagi memanggil manajernya. Now you have all the time you need.”

“Lo sakti juga, Glo.” Gue pun mengangguk-angguk, tanda bangga.

“We siblings are just that smart, Nendra. We know how to organize things.”

“Bukan maen.” Gile, mau nyebrang alam aja masih sempet-sempetnya sombong. Daripada gue terus ngeladenin Gloria, mending gue cari tempat duduk. Gue pun duduk di salah satu kursi, di lounge. Karena dengan adanya request mendadak Gebi yang diladenin sama bokapnya ini, pasti membuat jadwal keberangkatan kami jadi tertunda. Dan Bu Ira ga akan berani untuk protes kalo urusannya udah sama Pak Wawan. Ini bikin gue bisa duduk santai, sambil nyetem gitar.

Karena gitarnya kemungkinan besar bisa dibeli Pak Wawan, gue pun jadi ga merasa terbebani saat nyetem gitar. Kayak biasa dan sesuai tradisi, setelah gue puter-puter tuner sampe dirasa pas, gue pun mainin intro lagu nyetem nasional, Semua Tentang Kita dari Peter Pan. Oke, udah pas, nih. Maka, gue pun mulai memetik senar gitar, dengan hanya beberapa orang yang merhatiin gue, karena yang lain lagi sibuk merhatiin Gebi dan Pak Wawan.

“Kok mulai sekarang? Nanti malah ga ada yang merhatiin lo, Nendra!”

Ini setan takut amat ga dapet perhatian, sih! “Ada. Liat aja.”

Saat intro dari memories gue mainin, April langsung nengok ke gue. “Ih, gua tau lagunya, nih!” serunya.

“Aku juga, aku jugaaa!” timpal Sisil. “Kok kamu malah main gitar, sih, Nendra?”

“Daripada nunggu dramanya sambil bengong, mending gue main gitar aja,” bales gue. “Nyanyi bareng, ga? Gue mau ngelakuin exorcism, nih.” Tapi April dan Sisil saling berpandangan. Kayaknya mereka ga ngerti sama jokes gue, deh.

“Ikut.” Tiba-tiba, Gebi udah melompat lalu duduk di kursi sebelah gue. “Intro-nya panjangin dong, Dra.”

Dih. Baru dateng udah main nyuruh aja….

Chiisana koro ni wa takara no chizu ga
Atama no naka ni ukandeite

Sambil diiringi oleh akustikan dari gitar yang gue mainin, Gebi nyanyiin verse pertama dari Memories. Dari suara, nada, sampe intonasi dia perhatiin dengan baik. Suaranya… merdu.
Itsudemo sagashita kiseki no basho o
Shiranai dareka ni makenai you ni

Saat masuk ke bagian pre-chorus, gue pun ambil bagian untuk nyanyi. Gue selalu suka sama bagian yang ini. Kayak ada percampuran rasa ceria, sedih, dan berharap pas bagian ini dinyanyiin.
Laaa, la, la, la
Ima de wa
Laaa, la, la, la, la
Hokori darake no mainichi
Itsu no hi ka
Laaa, la, la, la
Subete no
Laaa, la, la, la, la
Toki ni mi o makaseru dake
Moshi mo sekai ga kawaru no nara
Nanimo shiranai koro no watashi ni
Tsurete itte omoide ga

Iro asenai you ni
Selesai chorus, gue mainin petikan ritme sebelum masuk ke verse dua. Gloria, yang dari tadi gue perhatiin cuma diem aja saat Gebi mulai nyanyi, tersenyum simpul saat dia, akhirnya, menyudahi bengongnya dan menatap ke gue. “Gue… beneran berharap gue punya banyak waktu di dunia ini, Nendra. Ada banyak, banyak, banyak banget mimpi yang ingin gue raih,” ucapnya, lirih. “Terus bareng sama lo, salah satunya.”

Akhir kalimatnya, bertepatan dengan selesainya ritme gue dan masuk ke awal verse.


Chisana koro kara uta o utatte
Yume miru kokoro atatamete ta


“Gue juga ingin memperbaiki hubungan gue dengan Papa. Gue ingin punya hubungan ayah-anak yang hangat. Kami cuma punya satu sama lain. Sama-sama penuh luka dan terpaksa jadi keras kepala karena keadaan. Andai gue bisa lebih mengerti papa gue sendiri, mengerti luka-lukanya, mungkin Papa juga bisa mengerti luka gue.”
Minna de maneshita himitsu no merodi
Kondo wa jouzu ni kikoeru you ni

“Ada banyak hal yang ingin gue sampaikan ke Gebi. Tapi waktunya engga ada.”

Saat gue lagi mau masuk ke pre-chorus, gue liat Pak Wawan lagi jalan ke sini. Mungkin maksudnya mau ke Gebi. Tapi langkah beliau berangsur-angsur semakin pelan, saat denger gue dan Gebi lagi nyanyi. Terus… beliau terpaku. Kayaknya, beliau kenal sama lagunya.

Laaa, la, la, la
Ima de wa
Laaa, la, la, la, la
Tame iki tsuite bakari de
Daremo mada
Laaa, la, la, la
Hontou no
Laaa, la, la, la, la
Yume sae tsukamenai mama

“Jadi… misalnya… gue bisa mengulang waktu… dan memperbaiki semuanya….”
Moshi mo jidai ga modoru no nara

“Gue mau jadi anak yang penurut buat Papa, yang bisa mengkomunikasikan diri dengan baik tanpa harus pake emosi. Kalo semua ga pake emosi, pasti hubungan kami akan berjalan dengan baik.”
Namida o shitta koro no watashi ni

“Gue juga akan jadi kakak yang baik bagi Gebi, yang ga akan ajak dia untuk kebut-kebutan, ajarin dia mabok, atau ngelakuin hal-hal bandel lainnya. Gue sayang banget sama dia, dan selalu mau dia mendapat kebahagiaan di hidupnya.”
Tsurete itte setsunasa ga

“Gue… juga mau jadi pacar lo, mungkin bisa sampe nikah dan menua bersama. Hidup lo berat, dan pendamping kayak gue pasti jadi major help buat lo. Sorry kalo kesannya gue kepedean, but I know my worth! Kita atasi sedihnya, karena kita ga pantes untuk dapet itu, dan kita bisa mengupayakan untuk keluar darinya. Ya, kan?”
Oitsukanai you ni

“Tapi…gue ga mungkin bisa mengulang waktu, kan? Makanya… gue… udah cukup puas dengan takdir yang sekarang. Mau berapa kali pun ditanya, gue bersyukur pernah jadi bagian dari hidup kalian. Gue bersyukur banget, Nendra.”

Gue… ga tau harus merespon gimana. Rasanya dada gue penuh banget, dan tenggorokan gue terasa tercekat. Untuk terusin nyanyi aja gue udah kesusahan, apalagi harus merespon perasaan Gloria. Tapi gue yakin, diamnya gue, bisa dia mengerti.

— Sekarang, Gloria. Emosi yang terkumpul udah cukup, kan?

Moshi mo sekai ga…

Nyanyian Gebi terhenti seketika, saat ngeliat Gloria menampakkan diri. Perlahan-lahan, wujudnya muncul dari udara kosong yang berada di tengah-tengah gue dan Gebi. Dia… pake wujudnya yang sesaat sebelum meninggal. Dan kemunculannya, bikin kaget seisi ruangan. Banyak yang langsung kabur, termasuk Sisil dan April. Tapi Gebi dan Pak Wawan, tetap setia di tempat mereka.
Nanimo shiranai koro no watashi ni

“Glo… Glo….” Gebi ga bisa berkata-kata. Gue yakin, ada banyak hal yang ada di kepalanya, tapi ga ada satu pun yang keluar.
Tsurete itte omoide ga
Iro asenai you ni


Sementara Pak Wawan, hanya diam terpaku di tempatnya berdiri. Sorot matanya sendu. Ga ada gerak bibir darinya. Hanya senyum tipis, dan wajah sedih yang ga pernah gue liat ada darinya, selama ini.

“Papa, Gebi… Glo duluan, ya? Maaf karena cuma bisa sebentar. Maaf banget. But I’ll be waiting for you guys! I PROMISE!” seru Gloria. Wujudnya perlahan kembali memudar. Baik dari ruangan ini, maupun dari penglihatan gue. Dia bener-bener mau menghilang. “Detailnya nanti sama Nendra, yaaa! I love you, guys! I… I—nope, a sad farewell will only lead to a sad ending. Good byeee! Hehe.”

Tsurete itte setsunasa ga
Oitsukanai you ni


Bertepatan dengan berakhirnya lagu yang gue selesaikan ini, Gloria menghilang, sepenuhnya. Menghilangnya dia dari dunia ini, meninggalkan kesan hampa di dada gue… selain rasa kesal, tentunya. Kayak… bisa-bisanya dia doang yang sendirian bersikap ceria di momen perpisahan ini. Kalo kayak gini, gue malah tambah sedih, jadinya.

Tapi Gloria tetap jadi dirinya sendiri, sampai akhir. Gue… bersyukur akan hal itu.

Setelah Gloria menghilang pun, Gebi masih terpaku dalam duduknya. Dia cuma menatap kosong ke ruang, yang, dimana beberapa detik yang lalu, ada hantu Gloria yang menampakkan diri di spot tersebut. Dia masih diam, dengan mulut membuka. Kayaknya masih butuh waktu lama bagi Gebi untuk mencerna semua ini.

Jadi, setelah menghela nafas panjang untuk melepas tegang, gue pun bangun lalu nyamperin Pak Wawan. “Deal-deal-an gitarnya gimana, Pak?” tanya gue.

“Lancar. Cuma agak mahal. Katanya ada perhitungan khusus di nilai historisnya,” jawab Pak Wawan, santai. Ekspresi sedihnya ga tampak lagi di mukanya.

“Kapitalis amat,” gerutu gue.

“Ndak apa-apa. Duit saya masih banyak, Nendra.” Sekilas, Pak Wawan merhatiin gitar yang gue pegang. Lalu, beliau menatap ke gue lagi. “Tadi itu apa? Kok bisa ada hologram anak saya?”

Hologram, katanya….

“Saya mau jelasin, tapi ga mood sekarang. Kepanjangan. Intinya, Gloria mau ketemu Pak Wawan sama Gebi untuk yang terakhir kali sebelum ascending. Untungnya, permintaan dia terwujud,” jawab gue. Lalu, gue pun serahin gitarnya ke Pak Wawan. “Gebi udah cerita kalo di gitar ini ada tanda tangan Gloria?”

“Sudah, sudah….” Pak Wawan pun memandangi gitar yang kini beliau pegang. Tatapannya dalam dan penuh arti. Sejenak, beliau larut dalam suasana khidmat yang sendu. “Dulu saya pernah nonton dia nyanyi pakai gitar ini, lho,” ucapnya, sambil terus memandangi gitar.

“Iya, Glo udah cerita. Katanya, Pak Wawan keberisikan karena Gebi lagi main kejar-kejaran sama Joshua, jadi ga begitu menikmati lagu yang dibawain Glo.”

Mendengar balesan gue, ekspresi kaget langsung tercetak di muka Pak Wawan. “Kamu tau ini dari Gebi?”

Dan gue menggeleng pelan, sebagai jawaban atas pertanyaannya.

“Berarti… yang tadi bukan hologram?”

“Saya ga pernah bilang kalo itu hologram, Pak.”

“Oh, begitu.” Sekarang, muka Pak Wawan keliatan bingung. Matanya bergerak-gerak, seperti mencari-cari sesuatu. Lalu, beliau menghela nafas, dan menghadap ke gue lagi. “Kamu sedih, dong, ketemu hantu anak saya?”

Bapak ini… bisa-bisanya nanya pertanyaan ngeselin ini ke gue. “Saya ga mau jawab pertanyaan itu, ah, Pak!”

“Ah, kamu.” Dan sekarang, beliau menyikut-nyikut lengan gue. “Tempo hari aja saat saya bawa ke rumah lama saya, kamu nangis, lho, saat baca surat dari anak saya. Masa sekarang engga sedih, sih?”

“Pak Wawan ngeledekin saya, tapi yang matanya berkaca-kaca itu Bapak, loh,” bales gue, sambil menatap sebel ke beliau.

“Oh, ini… kelilipan. Iya… gitarnya berdebu, Dra.” Beliau buru-buru pake kerah kemejanya untuk menyeka mata. “Coba, itu… minta obat tetes mata sama Pak Tarsani. Atau, kalo ndak, saya cuci mata dulu di kamar mandi, deh.”

Dan Pak Wawan pun berlalu begitu aja, menuju kamar mandi. Langkahnya dibuat cepat-cepat. Tapi… kenapa gitarnya harus dibawa-bawa segala?

Selesai berurusan dengan Pak Wawan, gue pun nyamperin Gebi. Gue kembali duduk di sebelahnya. Tapi kali ini, kursinya gue geser biar lebih deket lagi ke dia. Gue perhatiin, sampe sekarang, Gebi masih bengong. Dia ga menggubris pertanyaan-pertanyaan dari April, Sisil, bahkan Bu Lina, yang lagi heboh karena abis liat penampakan.

Sekarang, Sisil jadi orang yang paling heboh sendiri, karena berhasil membuktikan cerita hantunya. Kayaknya dia bangga banget, ya. Lalu, gue liat Bu Ira berjalan mendekati Sisil. Beliau pun berbisik ke dia, dan ajaibnya, mulut Sisil jadi berhenti berisik, seketika. Keahlian Bu Ira jadi pawangnya Sisil ini patut gue acungi jempol, emang.

Mungkin, tadi Bu Ira kasih tau Sisil, tentang siapa sosok yang tadi muncul di hadapan kami. Gue hampir lupa, kalo beliau itu ga cuma tantenya Gebi aja, tapi juga Gloria.

“Aku… punya banyak hal yang mau disampaikan ke dia,” ucap Gebi, setelah diam yang lama. Gue emang sengaja nemenin dia tanpa ajak ngomong duluan. Gue mau kasih dia ruang untuk mengenali perasaannya. “Tapi ga ada yang keluar. Sama sekali.”

“I feel you. Tapi, kata Glo, orang mati somehow jadi tau banyak hal. Mungkin Glo udah tau apa aja yang mau kamu omongin, tanpa harus kamu utarakan.”

“Tapi… rasanya kayak ada yang kurang, kalo ga keluar dari mulut sendiri, ya….”

Gue engga membalas omongannya Gebi lagi. Tangan kiri gue perlahan menggenggam tangan kanannya. Menggenggamnya erat. Saat gue perhatiin lagi, untaian air mata mulai mengalir di pipinya. Dan sekarang, tangannya membalas genggaman gue. Sama eratnya.

“Sumpah, gue malu banget kalo… kalo harus nangis di sini….”

“Ga apa-apa. Capek tau, kalo ditahan-tahan terus.” Ucapan gue ini, berlaku untuk Gebi, dan untuk diri gue sendiri. Tapi daripada malah fokus sama rasa sedih gue sendiri, gue lebih memilih untuk jadi pihak yang tegar untuk Gebi yang, gue yakin, perasaannya lagi kacau, sekarang. “Nangis aja, Gabriellé.”

Gebi pun menunduk, hingga mukanya tersembunyi di balik rambut panjangnya. Seiring genggamannya yang semakin erat pada tangan gue, tangisnya pun makin jelas terdengar. Dan Bu Ira jadi orang pertama yang memeluk Gebi. Tanpa kata, cuma memeluknya, erat. Disusul Sisil dan April.

Dan gue masih terus menggenggam tangannya, menemani dia melewati momen sedihnya.



Bersambung ke epilog.
 
Double update yang "mengenyangkan".
Thanks banget suhu...terbaik memang dari segi cerita, penulisan, karakter, dan semua2nya.. Ditunggu lanjutannya
Semoga sehat dan gembira selalu buat suhu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd