PART V: The War Still Rages
(FINAL PART)
Ekspresi wajah Icha membuatku tergiur tak tahan. Kubalikkan badannya dan lagi-lagi kusantap bibir Icha seolah dirinya adalah hidangan yang lezat.
Sambil tetap membiarkan bibir kami berpagutan, tiba-tiba Icha melangkah dan mendorong tubuhku pelan hingga ke tepi tempat tidur. Aku pun merubuhkan diri dan terbaring di sana. Lalu Icha naik dan duduk di atasku dengan posisi WOT. Sialnya, si junior tidak langsung ditancapkan ke dalam, tapi 'disiksa' terlebih dahulu dengan gesekan maju mundur yang lembut (
damn, she knows how tease me). Untuk kali ini aku hanya pasrah saja membiarkannya memegang kendali.
Tidak berapa lama kemudian, setelah puas mengusapku dengan celah bibir bagian bawahnya, barulah akhirnya penisku diarahkan ke dalam lubang farjinya itu.
JLEB! Penisku melesap ke dalam vaginanya seolah ada gravitasi yang besar di sana. Lalu Icha mengerakkan pinggulnya perlahan dengan gerakan memutar.
"Agghh...Cha...meki lo enak banget."
Icha menyambut pujianku dengan sedikit mempercepat ayunan badannnya. Aku pun berpegangan di pinggul cap gitar spanyolnya itu, sambil sesekali menepuknya seperti rebana.
Jadi ini gitar Spanyol atau rebana, bro? Entahlah. Jangan banyak tanya. Mana bisa aku berpikir jernih di saat-saat seperti ini. Kan aku juga harus berkonsentrasi menyeimbangi gerakan Icha.
"Mmmh...Jepit kontol gue, Cha. Jepit sampe remuk!"
Ada satu hal yang paling aku sukai dari posisi WOT, dari bawah sini aku bisa menikmati pemandangan sensual yang sangat memanjakan mata dan pikiran cabulku. Dari bawah sini, siluet lekukan tubuh montok Icha tergambar dengan begitu menggairahkan. Ku perhatikan baik-baik, Icha yang sekarang ternyata jauh lebih seksi dibandingkan yang dulu. Lemak yang pernah ada tubuhnya mungkin sudah terkikis habis di kelas Yoga dan Muay Thai yang rajin diikutinya. Aku benar-benar terpana.
Selagi Icha sibuk menari di atas tubuhku, ku coba raih dan memilin kedua putingnya.
"Ah...aaah....Zal....ah!" Icha mendongakkan wajahnya ke langit-langit, seolah-olah bidadari yang sedang bersiap untuk terbang.
Frekuensi rangsangan yang ku berikan ke dadanya membuat amplitudo goyangan Icha sedikit menurun. Langsung ku peluk badannya yang tiba-tiba ambruk ke atasku. Tapi tetap saja, dengan kondisi seperti itu bokongnya masih aktif bervibrasi. Bahkan Icha malah mengecupku dengan buas. Aduh...aduh...Kamu baru minum obat apa sih, Cha?
Kulit Icha yang mulus menyatu dengan kulitku. Nafasku dan nafasnya saling beradu. Desahku dan desahnya saling menyahut seperti orang Melayu sedang berbalas pantun.
"Uhhh...Chaaa...agghh...!"
"Mmmh...Zalll...ahhh...aah...ah!"
Icha menghentikan goyangannya sejenak, mungkin dia lelah. Tanpa permisi aku langsung menggulingkan badannya dan berganti ke posisi
Missionarist.
Ku bidik torpedoku ke terowongan yang bersembunyi di antara selangkangannya itu. Terowongan gelap dan lembap tempat sebagian besar nafsunya bermarkas. Ya, lagi-lagi vaginanya menjadi target operasi birahiku. Laksanakan!
Siap, ndan!
JLEB!
"Mmmph..." Icha hanya pasrah tergeletak. Tak mengelak.
JLEB. JLEB. JLEB.
"Oh...Zal...oouh..."
Terus kuserang vaginanya yang sudah berlumuran lendir itu secara kontinyu. Tiba-tiba Icha memberontak dan membalas dengan cakaran ke punggung, dililitkan pahanya ke pinggangku. Dipeluknya erat badanku lalu digigitnya bahuku . Oh, Jenderal! Perang semakin tegang!
"Aaaaah....ah...arrrgh"
Memang tidak ada banyak pilhan yang tersedia dalam perang biologis yang satu ini. Menggoyang atau digoyang. Mengecup atau dikecup. Menggerayangi atau digerayangi. Dengan berusaha untuk tidak panik, segera ku incar bibirnya. Salah satu bagian dari fisik Icha yang menjadi tempat persinggahan favoritku.
"Mmmph...mmmph..."
Suhu di luar yang dingin karena hujan secara paradoks malah membuat persenggamaan kami justru lebih memanas. Seolah kamar Icha memiliki iklimnya sendiri yang membuat nafsu kami semakin membara. Bunyi kecipak vagina Icha dan desahan kami berdua membahana ke segala sudut ruangan.
"aaaah...aaahhh"
"Aaaah...Zal, gue mau keluar! Gue mau keluar!"
Ku pompa sumur kecil di selangkangan Icha itu dengan semakin lincah sambil ku tatap matanya.
"Zaaaal...!"
Badan Icha mengejang, cairan orgasme Icha yang hangat itupun mengalir dari kanal vaginanya. Pertahanan terakhir Icha kembali runtuh menghadapi gempuran dariku.
Tak ingin ketinggalan, aku pun mempercepat laju gerakan menuju garis
finish. Tiba-tiba akal sehatku untuk sepersekian detik bangkit kembali dan membuatku sadar tentang satu hal yang nyaris terlupakan. Aku tak pakai pengaman! Terpaan nafsu dan dinding vaginanya yang super licin itu sebentar lagi pasti akan membuatku tergelincir, jatuh ke dalam jurang mimpi buruk yang disegani para pejuang lendir :
Married by Accident!
Oh! No! Spontan ku tarik penisku dari vaginanya sebelum terlambat. Icha langsung berinisiatif mengocok penisku dengan antusias. Aaaah! Beberapa saat setelah itu, dengan jumlah banyak sperma ku menyembur dan bersimbah di perutnya.
"Kok dikit keluarnya?"
Gubrak dah.
Seperti biasa, ledekan Icha selalu bisa merusak suasana. Padahal aku sedang asik merenungi ketegangan yang baru saja reda dari tubuhku.
"Mmm...gimana ya. Seminggu ini gue coli bayangin lo terus sih. Ga nyangka aja kita bakal ginian" jawabku santai sambil berbaring di sebelahnya.
"
Eeuh, Izal! Cabul lo emang."
Lalu aku meminta Icha menghisap dan menghabiskan sperma yang masih menyelubungi di permukaan batang 'cerutu'ku, aku benar-benar berharap bisa punya adegan penutup yang keren.
"Ogah. Jijik. Lo kira gue artis bokep." tolak Icha mentah-mentah. Dia malah melempar satu
pack tissue ke mukaku dan berlalu ke kamar mandi.
Sial.
***
6 September 2015
16.28 WIB.
"Zal. Janji ya,
no baper-baperan."
Kata-kata Icha membuyarkan aku yang sedang melamunkan kisah kecil hari ini. Aku langsung menyentil hidungnya.
"Dih! Kita tuh harus ke dukun dulu baru bisa baper-baperan." ujarku tersenyum menyeringai.
Jujur, aku juga tidak ingin ada kebaperan seberat biji zakarpun tumbuh di antara kami. Karena itu akan menjadi perjalanan metamorfosa yang kacau sekali. Dari sahabat menjadi
partner seksual, lalu berubah lagi menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Duh.
Tapi aku tetap bisa memaklumi kegelisahan Icha. Tidaklah mustahil Tuhan menghukum kami dengan keklisean
a la film "
Friends with Benefit" macam itu. Sebab, jika nafsu adalah adalah penyakit yang bisa disembuhkan, maka cinta itu adalah kutukan yang tak bisa kita kendalikan. Siapa yang tahu kejutan apa lagi yang terjadi di depan, kan?
"Jawab dulu! Janji ya? Ya?" tanya Icha sekali lagi untuk memastikan.
"Iya, iya...! Janji.
No baper-baperan." jawabku menenangkannya. Icha langsung tersenyum sambil memasang muka sok imut.
...dan, sial, melihat ekpresinya itu tiba-tiba nafsuku pun jadi bangkit kembali.
"Cha..."
"Ya, Izal?"
"Lagi yuk."
---( T H E E N D ? )---
***