Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Aku, Ibuku, dan Lina

izy

Semprot Baru
Daftar
27 Nov 2014
Post
26
Like diterima
23
Bimabet
[size=+3]
Aku, Ibuku, dan Lina
[/size]





"Hmmmphh, aaaaaahhhh, terus say," aku mendesah pelan saat Andy menggerakan penisnya di dalam vaginaku. Malam ini, kami kembali melakukan aktivitas berdosa ini.

Hal ini harusnya tak perlu terjadi andai saja pacarku ini menikahiku. Tapi apa daya, ia masih tidak sanggup untuk mengambil keputusan tersebut. Dan hasrat kami untuk melakukan aktivitas seksual sudah tidak dapat terbendung lagi.

"Aaw! Jangan kencang-kencang sih remasnya, kan sakit," aku menegurnya saat ia meremas payudaraku kencang. Aku teringat pertama kali kami melakukan aktivitas seksual.

Saat itu dalam bioskop, ia merangkulku mesra. Aku masih ingat tangannya membelai lembut perutku sambil berbisik bahwa suatu saat anaknya akan berada dalam kandunganku. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Perlahan tangan Andy menyentuh bagian bawah payudaraku, entah sengaja atau tidak. Aku hanya mendiamkannya, karena aku merasa nyaman dengan belaian Andy.

Aku juga masih mengingat jelas saat ia berbisik di telingaku, meminta ijin untuk menyentuh payudaraku. Tidak ada ucapan persetujuan maupun penolakan yang keluar dari dalam mulutku. Mungkin Andy menganggap itu sebagai tanda kalau aku setuju.

"Saay, aku mau di atas," pintaku sambil menarik tangan Andy. Dia pun tersenyum dan berbaring, membiarkan diriku menduduki penisnya dan mengambil alih permainan. Aku sangat menyukai posisi ini, membuatku merasa memegang kendali. Aku memang tipe wanita yang suka memimpin.

Setelah kejadian di bioskop itu, kegiatan seksual kami pun semakin meningkat. Masih terpatri jelas dalam ingatanku, 2 bulan setelah kejadian itu, Andy berhasil membujukku untuk memegang penisnya saat kami pulang dari liburan. Dan bodohnya, aku melakukannya di dalam mobil saat berada di jalan tol. Bahkan ia berhasil membuat penisnya merasakan kehangatan mulutku. Kami beruntung, Andy tidak kehilangan konsentrasinya saat ia mencapai orgasme dalam mulutku.

"Terus yank, aku mau keluar, goyangan kamu enak banget, uuuh, aaaaaaah!"

Aku merasakan cairan panas mengisi rahimku. Entah sudah berapa kali Andy menyemprotkan spermanya di dalam sana, dan sudah berapa kali pula aku lolos dari suatu hal yang bernama kehamilan. Aku membaringkan diriku di atas dada lelaki yang berhasil mencuri hatiku. Lelaki yang kuyakini akan menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tanggaku nanti.

"Sayang," bisikku pelan, "sampai kapan kamu mau seperti ini terus?" aku mencoba memulai diskusi dengan dirinya.



***​



"Sayang, sampai kapan kamu mau seperti ini terus?" pacarku yang cantik kembali menanyakan hal sama untuk kesekian kalinya. Aku menarik napas panjang. Pembahasan ini tidak akan berakhir baik. Tidak akan pernah.

"Kau sudah berumur 25 tahun. Kau berhak mengejar kebahagiaanmu sendiri. Sampai kapan kau mau membahagiakan orang tuamu?" ia kembali menanyakan hal yang sama untuk kesekian kalinya.

"Lina, apakah salah aku membahagiakan orang tuaku? Kau juga ingin membahagiakan kedua orang tuamu kan?" aku juga menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain, pertanyaan yang selalu menjadi argumenku.

Pacarku, Lina, menarik napas panjang, tampak jelas ia berusaha menahan amarahnya dan tidak menamparku seperti yang ia lakukan tempo hari.

"Andy sayang," katanya dengan suara lembut. Aku tidak pernah habis pikir, bagaimana seorang wanita bisa dengan cepat mengubah intonasi suaranya.

"Kamu tidak salah ingin membahagiakan orang tuamu, tapi sampai kapan kamu akan mengorbankan kesenanganmu? Kamu berhak bahagia, kamu berhak mengejar impian kamu," Lina kembali mengeluarkan pernyataan yang sama dan apa yang aku katakan selanjutnya pasti membuatnya meledak, seperti yang selalu terjadi selama 3 bulan terkahir ini.

"Membuat mereka bahagia juga salah satu impianku, sayang," aku berkata lembut, bersiap menerima amarahnya.

Lina memandangku tajam, tatap matanya menunjukan kesedihan yang tidak pernah aku liat sebelumnya.

"Terus, aku bukan impian kamu?" ia bertanya lirih, air mata mulai menggenang di matanya. Aku merapatkan badanku ke arahnya, mengulurkan tangan kiriku untuk merangkul dirinya.

"Aku butuh jawaban kamu, bukan rangkulan," Lina berkata ketus sambil menepis tanganku.

"Hidup bersama kamu tuh impian aku. Kami tahu kan sebesar apa rasa sayang aku ke kamu?"

"Bullshit! Kamu bilang kaya gitu dari 2 tahun yang lalu! Mana janji kamu mau nikahin aku? Umur kita semakin bertambah, Andy! Aku sudah cukup bersabar menunggu janji kamu selama 2 tahun! Tapi aku butuh lelaki yang mandiri!" ia mulai berteriak marah kepadaku.

"Aku mandiri! Aku sudah punya pekerjaan! Aku juga sudah punya rumah sendiri! Mobil sendiri!" nadaku pun ikut naik, terpancing sedikit emosiku mendengar amarah Lina.

"Tapi siapa yang menempati rumahmu? Orang tuamu kan? Sudah berulang kali aku bilang, aku tak ingin ada orang lain saat kita menikah nanti," Lina terisak saat mengucapkan itu semua, "kamu serius ga sih sama aku?" tanyanya lirih.

Aku mengangguk mantap mendengar pertanyaan Lina. Sudah 7 tahun aku berpacaran dengannya dan 2 tahun terakhir ini merupakan tahun terberat untuk hubungan kami. Ia mulai mempertanyakan kapan aku akan menikahinya. Aku mencintainya dengan seluruh jiwaku, tapi aku terbentur dengan orang tuaku. Aku masih memiliki tanggung jawab untuk merawat mereka, namun Lina menganggap aku masih terlalu terikat kepada mereka.

"Kalau kamu serius, buktikan keseriusan kamu. Aku ga minta kamu melupakan orang tuamu. Aku juga ga minta kamu memilih antara aku atau orang tuamu, tapi aku cuma minta satu hal. Please, cari kebahagiaan kamu, bukan untuk aku atau orang tuamu, tapi untuk dirimu," Lina menggenggam tanganku erat sambil tersenyum.

Aku menatap wajah manisnya. Apa yang ia katakan terngiang dalam pikiranku. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Kebahagiaan seperti apakah yang aku inginkan? Aku sudah berumur 25 tahun, namun aku masih tinggal bersama kedua orangtuaku. Tapi apa salah aku mengajak mereka tinggal di rumah yang aku beli, aku rasa mereka berhak menikmati jerih payah anaknya. Tapi mau tinggal di mana aku saat menikah nanti, aku pun tidak ingin ada orang lain tinggal di rumahku saat aku telah menikah. Tidak mungkin aku membeli rumah baru lagi, terlebih tidak mungkin lagi aku meminta kedua orang tuaku untuk pindah kembali ke rumah lama mereka.

Aku tenggelam dalam pikiranku sampai tidak menyadari jika Lina telah mengenakan pakaiannya dan meninggalkanku sendiri di dalam kamar.



***​



Aku tidak percaya anakku bisa berkata seperti itu. Aku tidak menyangka ia menganggap aku dan suamiku memberatinya, menahannya untuk menikah. Padahal tidak pernah terucap sedikit pun dari mulutku sebuah larangan.

Aku memang belum setuju dengan wanita pilihannya. Aku merasa bahwa wanita bernama Lina itu terlalu mengatur kehidupan anakku. Semenjak berpacaran dengannya, Andy hampir tidak pernah menghabiskan waktunya bersama kami. Ia memang mengajak kami untuk pindah bersamanya ke rumah baru. Tapi cuma itu, tidak pernah sekalipun ia mengajak kami untuk sekedar makan malam bersama.

Sekarang sudah 5 hari sejak pertengkaranku dengan anakku. Sudah 5 hari pula kami tidak bertegur sapa. Masih aku ingat jelas bagaimana ia berkata dengan penuh amarah bahwa aku menghalangi kebahagiannya. Sakit hati ini mendengar anakku berkata demikian.

Ya Tuhan! Tidak pernah terlintas sedikit pun untuk menghalangi kebahagiaan anakku. Tiap malam aku berdoa agar dirinya bisa bahagia.

Tidak. Aku tidak membencinya karena telah berkata seperti itu, tapi jujur, aku kecewa. Mungkin aku yang salah dalam mendidik anakku, mungkin juga aku memang terlalu mengekangnya dan mengguruinya sampai sekarang. Karena di mataku, ia masih tetap anak bungsuku.

Semalam aku berdiskusi dengan suamiku, kami memutuskan untuk kembali ke rumah lama kami. Bagaimana pun, aku menginginkan anakku bahagia, dan bila ini membuatnya bahagia, aku akan melakukannya.

Nah, ini dia suara mobil anakku.

Dia melintas di depanku tanpa menyapa, tampaknya ia masih kesal denganku. Aku melihat matanya merah saat ia melewatiku tadi dan berjalan menuju kamarnya. Tampaknya ia habis bertengkar hebat dengan pacarnya. Ingin aku menyapanya dan bertanya ada apa. Tapi dia berkata agar aku tidak mengurusinya lagi dan berhenti mencampuri urusannya. Dan bodohnya, aku mengiyakan bila itu memang menjadi kemauannya. Tampaknya di umurku yang semakin tua ini, aku masih belum cukup bijak menjadi orang tua.

Aku pun memutuskan untuk mengingkari janjiku dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai 2.

"Andy," panggilku lembut sambil mengetuk pintu kamarnya, "boleh mama masuk?"

Pintu kamar pun terbuka, aku melihat Andy kembali berjalan ke ranjangnya dan berbaring di sana memunggungiku. Aku pun berjalan dan duduk si tepi ranjang serta membelai lembut punggungnya.

"Ada apa sayang?" tanyaku lembut. Andy tidak menjawab pertanyaanku. Aku dapat merasakan kegundahannya.

"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa bercerita, mungkin mama bisa bantu," kembali aku berkata lembut.

"Aku putus," jawabnya singkat. Aku terkejut mendengarnya. Aku pikir mereka akan sampai pada jenjang pernikahan. Sekalipun aku belum setuju dengan Lina untuk menjadi menantuku, aku dapat melihat kalau mereka saling menyayangi.

"Mengapa? Bukannya kalian saling menyayangi?"

"Kami pikir itu yang terbaik, ma. Dia memintaku untuk menikahinya, tapi aku masih ragu. Masih banyak yang ingin aku lakukan untuk mama dan papa."

"Loh, bukannya kemarin kamu bilang bahwa kami merepotkanmu?" aku bertanya heran dengan perubahan anakku tersebut.

"Iya, tapi setelah aku pikir. Aku akan menjadi durhaka bila aku tidak membahagiakan kalian dan aku tidak mau menjadi anak seperti itu. Lagipula usiaku baru 25 tahun, masih banyak waktu untuk mencari jodoh," ia berkata sambil tersenyum.

Hatiku mencelos mendengar jawaban anakku. Mungkin benar kata anakku tempo hari, bahwa aku menghalangi kebahagiannya. Senyuman yang ia berikan kepadaku bukan senyuman yang sama saat ia bercerita tentang pacarnya Lina. Senyumannya sekarang merupakan senyuman terpaksa, senyuman yang ia tunjukkan untuk menutupi kesedihannya.

"Ma, maafin Andy ya. Andy uda kurang ajar sama mama. Bilang nyesel jadi anak mama."

Aku memeluk anakku dan berkata lembut di telinganya, "sayang, kau bisa memutuskan hubungan dengan temanmu, dengan pacarmu, atau dengan istrimu nanti. Tapi kau tak akan pernah bisa memutuskan hubungan dengan ibumu."

"Iya, maafin aku ma. Aku sayang mama. Selamat hari ibu, ma."

"Undang Lina untuk makan malam besok, mama ingin bicara dengannya."

"Hah? Maksud mama?" Andy melepaskan pelukanku dan memandangku heran. Aku hanya tersenyum menjawab rasa penasarannya sambil mengangguk singkat.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Aduh, lanjutkan suhu

Seru bgt nich, Dari sudut pandang seluruh pihak yang terlibat, mengalir Indah bagaikan kita hadir dilokasi
Setidaknya, bagaikan menonton sinetron

Lancrootkan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
up keren nih suhu percis hidup ane anak yg sayang sama ibu dan ayahnya tetapi dihapakan degan pilihan pacar yg tidak mau tinggal dengan orangtua ane

tapi sebaik baiknya kasih sayang itu kasih adalah punya ayah dan ibu jodoh bisa di cari tapi otang tua itu kekal selama lamanya jadi curhat hehe up
 
Lahhh... ceritanya nanti ad adegan antara anak dengan mamanya suhu ?
deskripsi'in secara fisik ya suhu. biar makin enak baca sambil bayangin
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd