Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

CHAPTER 10



Sehari sebelumnya….



POV Alana



“Jadi gitu ceritanya kak Ris, Ndi” dalam kamar yang entah masih pantas di sebut kamar rawat inap, ataukah kamar presidential suite hotel berbintang lima ini, kami semua mulai berkumpul di dalam kamar. Duduk bertiga di sofa, sedangkan Rafa putraku sudah tertidur di ranjang kingsize dalam sana, dengan kondisi tangannya di pakaikan infus. Setidaknya operasinya telah selesai dan berjalan dengan semestinya.

Sengaja aku menunggu kepergian suster dan dokter Tedi yang juga bagian dari tim dokter yang melakukan operasi tadi, memeriksa, menyiapkan apa saja pada putraku tadi, barulah ku ceritakan pada Andi dan kak Risna apa yang sebenarnya terjadi.

Kenapa begini, dan mengapa begitu….

Aku baru saja menceritakan ke mereka informasi yang ku dapatkan dari dokter Alex beberapa menit yang lalu. Sembari menunjukkan map kontrak pendanaan biaya rumah sakit keseluruhan yang telah di tanggung oleh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang inivestasi gitulah.

“Hmm… sebesar itu biayanya, mereka tanggung al?” tanya Andi sembari lebih dulu membaca isi dari map itu.

“Iya Ndi. Awalnya aku gak yakin, tapi, masa iya aku harus menolaknya? Kamu juga tahu kan, apa yang terjadi jika tak ada bantuan ini untuk aku dan Rafa? Padahal setelah pasca operasi tadi, aku sempat kepikiran bagaimana biaya rumah sakit, darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu, namun nyatanya, Allah SWT berkehendak lain.” tak terasa, sepasang mata ini kembali berkaca-kaca.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Dan dalam hati ini, tak hentinya mengucap syukur pada yang maha kuasa atas pemberiannya pada kami, di permudahkan jalan kami semua hingga bisa bernafas lega saat ini juga.

“Kan sudah aku katakan, masih ada aku, al…”

“Ndi… bukannya mau menolak, tapi kan kita udah bahas hal ini sebelumnya” Andi ku lihat hanya tersenyum masam. Itu artinya, uluran tangannya yang ingin membantuku membiayai rumah sakit ini dengan menjaminkan bpkb mobil dan sertifikat tanahnya akhirnya tak kejadian.

“Udah… udah, kenapa kalian masih bahas hal yang gak penting sih” kak Risna akhirnya menengahi. Aku senyum. Meski dalam hati masih merasakan ada yang mengganjal dalam sana.

“Coba sini Ndi, aku liat” pinta kak Risna pada Andi, berkas yang di berikan dokter Alex padaku tadi.

“Ini kak”

Kak Risna pun melihat, membacanya sedetail mungkin.

“Ndi… ada baiknya kamu pulang aja, biar kami berdua yang jagain Rafa di sini. Toh ini juga udah jam 12 malam. Takutnya besok kamu telat ke kantornya”

“Aku juga mau jagain Rafa di sini, al”

“Gak perlu sampai segitunya Ndi. Kan masih ada hari esok” aku mengobrol dengan Andi sembari menunggu kak Risna membaca satu persatu berkas yang berjumlah 2 lembar itu.

“Tapi al”

“Please Ndi. Jangan buat aku merasa bersalah lagi… boleh kan?”

“Tapi kamu besok ngantor gak?”

“Gak… aku udah izin ama atasan tadi”

“Ohhh….”

“Please” aku menatapnya penuh harap. Karena biar bagaimanapun, dia juga butuh istirahat. Dan apabila dia memaksa diri untuk tetap disini, aku khawatir banyak hal yang akan di korbankan oleh pria itu, dan hal itu membuatku semakin merasa terbebani. Meski aku yakin, pria itu tak pernah mempermasalahkannya.

Andi akhrinya menghela nafas.

“Tapi kamu masih punya hutang ke aku loh, al”

“Hutang?”

“Iya… hutang penjelasan mengenai siapa pria tadi, padahal kita semua di sini tidak mengenalnya.”

Aku menahan nafas saat mendengar pertanyaan itu darinya. Tidak, aku tak boleh terlihat bersedih lagi, aku juga tak boleh menunjukkan sikap yang seolah-olah aku memiliki masa lalu yang begitu sulit terlupakan dengan sosok yang di tanyakannya itu. Masa lalu biarlah berlalu, sekarang aku harus menatap ke depan bersama putraku. Ada atau tidak adanya sosok itu, toh! Aku dan Rafa sampai sekarang masih hidup baik-baik saja.

“Oh dia…. hmm, apa ya. Kalo aku bilang mantan pacar waktu masih abege, terdengar lucu gak sih?”

Begitu aku menjawab, perhatian kak Risna langsung tertuju padaku.

“Pacar?”

“Hehehe iya kak”

“Bukankah apapun yang telah terjadi di hidupmu sudah kamu ceritakan ke kakak, dek?”

“Ye… kan ada juga yang Lana sembunyiin atuh kak. Masa iya semuanya Lana harus buka”

“Eh tunggu”

Aku dan Andi langsung menoleh ke kak Risna.

“Ada apa kak?” tanyaku. Karena ekspresi kak Risna tiba-tiba berubah jadi aneh.

“Lana….” ia bergumam.

“Eh tumben kakak manggil aku Lana, biasanya gak mau. Hehe, biasanya cukup dengan al aja”

“Nah itu dia masalahnya, coba kalian lihat ini” balas kak Risna sembari mengembalikan berkas dari tangannya, padaku. Aku lantas menerimanya dan membuka penutup map. Aku juga tadi sudah sempat membacanya waktu di ruangan dokter Alex.

“Kenapa kak?” Andi bertanya.

“Coba kalian baca nama perusahaan yang bantuin kamu, al”

Hmm….

Aku pun lantas membaca nama perusahaan yang sebetulnya tadi sempat juga ku baca, tapi sepertinya aku tidak terlalu fokus. Makanya aku malah kelupaan. Dan setelah membacanya, sepertinya memang aku sama sepemikirannya dengan kak Risna.

“Lana Finance” aku bergumam.

“Dan nama kamu, Alana. Dan kamu juga selalu menyebut namamu Lana”

Aku mengangguk membenarkan. “Trus?”

“Apa ini hanya faktor kebetulan saja, kah?” kak Risna kembali bergumam, tapi tampak jelas ekspresinya sedang menerawang.

“Dan tidak mungkin juga, itu perusahaan aku kak. Kakak tahu sendiri, makan aja aku dulunya kesulitan, sampai-sampai rumah peninggalan ayah dan ibu aku kontrakin.”

“Iya gak mungkin lah, aku juga sangat mengenalmu al” tapi tidak semua kakak ketahui tentangku. Aku membatin.

“Trus?”

“Wait… aku akan coba searching di google….” Andi akhirnya berinisiatif. Di jaman canggih saat ini, tentu saja informasi apapun dapat dengan mudah kita dapatkan melalui internet. Salah satunya informasi tentang perusahaan tersebut.

Dan benar saja. Tak butuh waktu lama, Andi pun berhasil menunjukkan informasi mengenai perusahaan yang sedang kami bahas.

“Kantornya di Sudirman, LF tower…. di sini tertera jelas nama-nama pemilik perusahaan”

Aku spontan menahan nafas. Tidak mungkin dia kan? Tidak mungkin dia memiliki segalanya? Karena yang aku kenal, dia dulunya pria yang biasa-biasa saja. Tak pernah sama sekali menceritakan mengenai harta-hartaan. Pun, tak pernah sama sekali ia menunjukkan kekayaan di hadapanku. Jadi aku menganggap, dia pria yang masih dalam taraf menengah. Bukan berasal juga dari orang susah sepertiku. Setidaknya dia orang berada, tapi tidak mungkin berada yang ku maksud bisa sekaya ini sampai-sampai harus memiliki sebuah perusahaan besar, mana sudah memliki kantor sendiri bernama LF tower.

“Erga Dirgantara… sepertinya dia nama Presdirnya, al” mendengar ucapan Andi itu, serta merta aku menghela nafas selega-leganya. Alhamdulillah, akhirnya terjawab juga kekhawatiranku tadi.

“Nama si bapak yang mendonor tadi siapa al?” tiba-tiba kak Risna bertanya. Aku malah belum siap dengan pertanyaan tersebut.

Tapi, jenak berikutnya aku berusaha untuk menguasai diri. Dan lantas tersenyum sebelum menjawabnya, “Namanya Arka, kak”

“Ohhh kirain Erga Dirgantara….”

“Huu… ngarep” cibirku padanya. Padahal tadi, masalah ini sedikit membuatku khawatir. Khawatir jika memang benar, dia adalah pemilik perusahaan LF tersebut. Aku khawatir, aku akan di hadapkan dalam kondisi dimana aku tak mampu untuk mengambil sikap.

Apa yang terjadi jika benar dia yang punya, dan dia juga lah yang membiayai ini semua? Apakah aku akan menolaknya? Dan berusaha untuk membayar biaya rumah sakit sendiri, tanpa meminta bantuan ke Andi? Ataukah, aku tetap menerimanya, dan itu sama saja aku tak akan pernah berurusan dengan Andi lagi untuk masalah ini.

Tapi syukurlah, semua itu hanya kekhawatiranku saja. Toh! Nyatanya, bukan dia yang punya, melainkan orang lain.

“Trus apa rencanamu setelah ini al?”

Aku menarik nafas, “Aku akan menemui pimpinan di sana, untuk mengucapkan rasa terima kasihku padanya, pada mereka yang telah begitu baik membantu kita semua”

“Ya aku rasa memang hal itu patut di lakukan,” balas Andi. Aku mengangguk.

“Ya sudah, jika memang seperti itu…. Ndi, kamu kapan pulangnya?” aku kembali mengingatkan pada pria itu, bukankah sejak tadi aku sudah menyuruhnya pulang.

“Iya Ndi. Ada Al dan aku di sini, jadi kamu gak perlu khawatir”

Andi pada akhirnya menghela nafas, dan dia pun tak punya alasan untuk tetap tinggal berlama-lama di sini.

Setelah berbasa-basi sedikit, akhirnya aku mengantarkan Andi pulang sampai di pintu lift. Karena dia menolak untuk ku antarkan sampai ke lantai bawah.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd