Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA AMPIBI [LKTCP 2020]

Bimabet
Pak Bram dikabarin apa kagak ya?
bisa makin dikejar sama Pak Bram Si Nay kalau tahu dy hamil hasil dg Pak Bram.
secara Pak Bram pengen punya anak,sama Bu Ayu g berhasil2 punya anak.
pasti makin sayang sama cewek yg bisa ksih keturunan.

semoga sukses di acara LKTCP 2020 nya Dab @killertomato.
g biasanya baca genre yg cewek selingkuh,karena kurang suka aja
tapi kalau karya Master Killertomato yg ini seakan memaksa untuk membaca nya
keren2...
 
Ya ya ya.. as always, mastah..
:jempol:

Nganu, agak gusar saya, kok ada nisa penjual roti dan nanto si bengal ya? Apa nanti di cerita nanto atau di cerita nisa si nanto bakal ketemu pak bejo ya? Hekekek
:huh::papi:
 
Pak Bram dikabarin apa kagak ya?
bisa makin dikejar sama Pak Bram Si Nay kalau tahu dy hamil hasil dg Pak Bram.
secara Pak Bram pengen punya anak,sama Bu Ayu g berhasil2 punya anak.
pasti makin sayang sama cewek yg bisa ksih keturunan.

semoga sukses di acara LKTCP 2020 nya Dab @killertomato.
g biasanya baca genre yg cewek selingkuh,karena kurang suka aja
tapi kalau karya Master Killertomato yg ini seakan memaksa untuk membaca nya
keren2...

Dikabarin ga ya? Hmm.
Mungkin ya, tapi mungkin juga tidak.
Atau mungkin sudah tersirat dari yang tersurat?
Hehehe.

Terima kasih dukungannya, Hu.

Ya ya ya.. as always, mastah..
:jempol:

Nganu, agak gusar saya, kok ada nisa penjual roti dan nanto si bengal ya? Apa nanti di cerita nanto atau di cerita nisa si nanto bakal ketemu pak bejo ya? Hekekek
:huh::papi:

Hehehe, Makasih ya Hu.

Tidak perlu gusar. Cameo cuma sekedarnya saja kok.
Pak Bejo tidak akan pernah nongol di Jalak, dan Nanto tidak akan pernah nongol di RYT atau XYZ.
Sudah bisa saya pastikan dan janjikan kalau itu.
 
BAB 4
PEMBAHASAN






Sore yang sendu. Matahari masih bersinar namun mulai pendar, rentetan manusia beranjak bagai pawai akbar meninggalkan gedung usai bekerja atau belajar, jalan raya mulai padat oleh mobil dan motor yang berjajar, suara akustik tak nyaman terdengar ketika tepukan tangan dan tutup botol yang mekar berkolaborasi dengan dentingan tiga senar di sudut perempatan oleh para pelantun jalanan yang berbinar. Sementara di angkasa gulungan awan bak kapas dihembuskan sang bayu, bermain berlarian saling mengejar. Warna jingga menyeruak di setiap sudut angkasa ibarat suar, bagai pulasan pastel raksasa tergambar yang berbaur dengan warna biru yang memudar.

Bram menikmati senja, dari sudut selayang pandang.

Hari ini ia bahagia. Ia terus saja bahagia sejak sebulan terakhir. Hubungan Bram dan Nay berjalan dengan lancar meski sembunyi-sembunyi. Entah sudah berapa duit ia habiskan untuk memesan kamar hotel karena dua hingga tiga hari sekali ia mengajak Nayla bersenggama.

Sejak keduanya bercinta di hotel untuk pertama kalinya, hari berlalu dengan cepat menjadi minggu, dan minggu berubah menjadi bulan. Ya, sudah sebulan tepat sejak Bram kembali berjumpa dengan Nayla.

Siapa yang menyangka kalau kini mereka adalah sepasang kekasih?

Bahkan Bram sendiri pun tak pernah mengira kalau suatu hari kelak ia akan menyetubuhi mahasiswi bimbingannya yang paling jelita.

Bram bahagia.

Ia bahagia setelah seharian kemarin merengguk keindahan hari penuh cinta bersama wanita tercantik yang bernama Nayla. Bram bisa melewatkan hari dengan kekasihnya setelah meminta Nayla berbohong kepada sang suami. Arul menyangka Nayla mengikuti reuni dua hari penuh dan harus menginap padahal sebenarnya sang istri malah bergumul dan bercinta seharian dengan laki-laki yang jauh lebih tua.

Jalanan memang macet, tapi tak semacet ruas hati Bram yang sedang riang. Apalagi dengan keberadaan sang kekasih yang duduk di sampingnya. Di tengah kemacetan, Nay sibuk memperhatikan feed instagram dan DM-DM yang masuk. Sekali lagi ada beberapa perusahaan yang menghubunginya untuk endorse produk mereka. Ia kirimkan nama-nama perusahaan yang menurut pengamatannya pantas dibantu pada Bella, sang asisten yang saat ini entah berada di mana.

Tangan Bram nakal mengelus pipi halus mulus Nay yang tanpa cela. Bagaimana mungkin surga kehilangan seorang bidadari tercantiknya? Bagaimana bisa nirwana rela melepaskan makhluk seindah ini untuk berjalan-jalan di dunia?

“Aku sayang banget sama kamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Nay.”

“Aku kan tidak kemana-mana, Mas.” Nayla mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya yang sensual, menambah keinginan Bram untuk mengecup bibir mungil itu. “Kita mau kemana sekarang? Baju ini bagus banget, Mas. Makasih udah dibeliin.”

“Sama-sama, sayang. Kamu pakai apa aja cantik. Tapi pakai baju itu kamu tambah kelihatan mempesona.”

“Gombal.” Nay mencibir. “Ketahuan banget kamu milihin baju yang belahan dadaku jadi kelihatan begini, Mas. Seharusnya kemarin aku milih baju yang lain. Duh.”

Bram tertawa. “Habis nenen kamu nafsuin banget, sayang. Aku pengen lihat kamu pakai baju seksi tapi juga anggun.”

“Huh. Alesan. Eh, kita mau kemana ini? Kok belum dijawab sih.”

“Kita mau ke nikahannya temen aku di kota sebelah.”

“Hahahhhh!? Kan banyak orang, Mas! Nggak ah! Aku nggak mau!”

“Nggak ada yang kenal kamu, Nay. Lingkungan kerjaku dan suamimu kan berbeda. Aku sekarang juga sudah pindah ke kampus lain – jadi tidak akan ada yang mengenali kamu, percaya deh sama aku.”

“Ya tapi ini kota kecil, Mas. Siapa tahu ada yang kenal...”

Bram menarik tangan Nay dan meletakkannya di dada.

“Kamu percaya sama aku, sayang?”

Nay sebenarnya keberatan sekali. Tapi... “Iya, aku percaya.”

“Oke.”

Bram tersenyum dan mengarahkan mobilnya ke arah pesta pernikahan yang dimaksud dengan yakin. Ingin sekali ia memamerkan Nay pada teman-teman sejawatnya. Ingin ia memamerkan makhluk indahnya pada siapapun.





.::..::..::..::.





Saat pasangan Bram dan Nayla memasuki ruangan pesta, semua mata melotot hendak copot melihat keindahan tubuh pasangan Bram. Memang dress yang dikenakan Nayla lumayan memamerkan tubuh, ketat memperjelas lekukan dan belahan dada. Tapi ada juga bagian-bagian yang tidak pas, misalnya longgar di sini dan di sana. Wajar saja karena pakaian ini beli jadi, bukan pakaian yang dijahitkan terlebih dulu. Dasar tubuh Nay memang apik, jadi pas-pas saja pakai bajunya. Dia juga jadi terlihat sangat cantik, meski tak menggunakan makeup berlebih.

Bram dan Nayla mengikuti jalur dengan saling bergandengan tangan, lalu salaman dengan mempelai berdua, mengucapkan selamat, dan menikmati hidangan. Mereka berdiri di pojok ruangan, mencoba menghindari tatapan para pengunjung pesta. Keduanya diam seribu bahasa untuk beberapa saat lamanya – antara kikuk dan takut berjumpa seseorang.

Musik yang berdentum dimainkan oleh band lokal memainkan musik rancak. Mengagetkan kedua insan yang tengah dimabuk asmara karena berdiri di samping salon raksasa. Mereka berpindah ke sudut lain.

Nay memunggungi Bram. “Aku suka lagu ini.”

Bram melilitkan tangan di pinggang sang ibu muda yang jelita, memeluknya dari belakang. “Aku suka apapun yang kamu suka.”

“Ish, apaan sih.”

Bram tertawa.

“Mas, ini di tempat umum lho. Ini pesta nikah orang lho, kok meluk aku begini? ” Nay mencoba mengingatkan. “Kalau ada yang lihat gimana?”

“Biarin saja, aku ingin melakukan ini sejak lama. Aku ingin seluruh dunia tahu aku mencintaimu.”

Nay tersenyum kecut, ada perasaan nyaman, bahagia, tapi juga tegang yang susul menyusul membuat degup jantungnya ibarat dipacu dalam sirkuit F1. Ingin Nay membalikkan badan dan mencium habis-habisan Bram, lalu mendorongnya ke dipan dan melucuti pakaiannya.

“Ih, Mas. Kamu ternyata nakal banget ya.” Desis Nayla pura-pura merajuk. “Dulu aja aku ditolak-tolak skripsinya.”

Bram hanya tertawa ringan, mereka begitu dekat saat ini. Saling menggesek, saling mendamba. Sama-sama ingin membuka baju masing-masing dan menikmati gelora cinta, menyeberangi samudra asmara dalam sampan birahi yang melenakan. Batang kejantanan Bram menempel di selipan pantat Nayla. membuat napas keduanya makin berat.

“Kamu harum banget. Aku suka harum kamu, sayang.”

Nay tenggelam dalam pelukan Bram. “Boong.”

“Aku sayang kamu, Nay.”

Nay terdiam.

“Aku sayang kamu, Nay.” Bram mengulang.

Nay masih terdiam.

“Kok tidak dijawab?”

“Aku harus jawab apa?”

“Kamu sayang sama aku tidak?”

“Aku sayang suamiku.”

“Kalau aku? Aku apamu dong? Padahal kita kemarin sudah bercinta semalam suntuk, tapi sampai sekarang ternyata aku bukan siapa-siapa kamu.” Tangan nakal Bram menyelinap ke bagian belakang tubuh Nayla, lalu meremas-remas pantatnya. Pria itu pun berbisik di telinga Nay, “aku ingin menyelipkan penisku di sini lagi.”

Nay tersentak dan mengeluarkan decitan kecil, beberapa mata sempat menengok, tapi lantas berpaling kembali.

“Mas ih! Nakal banget sih tangannya.”

“Habisnya kamu ga jawab.”

“Jawab apa sih?”

“Kamu sayang sama aku nggak?”

“Aku nggak tau, Mas.”

Bram menarik tangan Nay dan menggesekkannya di selangkangan. “Kamu lupa rasanya dipuaskan sama yang ini, Nay?”

Gila! Nekat banget sih orang ini?!

Tapi ada rasa hangat birahi yang menyeruak dalam sanubari. Napas Nay memburu, ia meneguk ludah saat merasakan batang kejantanan Bram menegang dan kencang. Jika ada orang yang melihat ulah kedua orang ini, pasti mereka geleng-geleng kepala karena Bram dan Nay melakukannya di depan banyak orang, meski di sebuah sudut yang kerucut.

Nayla menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan nafsunya, tapi selalu saja gagal. Ia benar-benar dikuasai oleh birahi yang makin lama makin tak terkendali. “Mas... a-aku...”

“Kamu mau?”

“He’em...”

“Mau apa?”

“A-aku mau inimu...”

“Ini apaan?”

“Ini...” Nay merajuk, tapi Bram hanya tersenyum.

“Sebutkan dengan jelas supaya aku paham.”

“Ihh... Mas ih! Nakal!” Nay cemberut. Tapi lambat laun ia pun tunduk pada kemauan Bram yang absurd. “Aku mau... penis Mas Bram...”

“Diapain penisku?”

“Dimasukin...”

“Kemana...?”

“Ke... mmhh... ke vagina aku...”

Bram terkekeh. “Ya sudah, setelah ini selesai, kita masuk ke hotel lagi ya. Pilih saja hotel yang kamu mau. Aku juga sudah ga sabar pengen masukin punyaku lagi ke memek kamu, sayang.”

“Mas, ih.”

Ada perasaan tegang yang tiba-tiba melanda Nayla. Kenapa ya?

“Nay, aku ngobrol sama temen-temenku bentar, ga lama. Terus pamitan, setelah itu kita pulang. Oke, sayang?”

“Iya, Mas.”

Nay berdiri di pojok ruangan sambil minum segelas soda sementara Pak Bram menemui beberapa orang kawannya. Nayla mengamati satu demi satu orang yang hadir ke pesta pernikahan tersebut, dia merasa asing karena benar-benar tidak tahu wajah demi wajah yang lalu lalang. Bagaikan sedang berada di tempat yang salah karena ia tidak mengenal siapapun. Tapi bukankah itu yang dia inginkan? Tidak diketahui oleh siapapun ia berada di...

Mata Nayla terbelalak.

Eh, bukankah itu Pak Yanuar? Yang di sana itu... Pak Hardi? Lalu itu Mas Agus.

Nay meneguk ludah, keringat dinginnya mengalir, jantungnya makin berdebar. Kenapa... orang-orang dari kantor lama Mas Arul ada di sini?

Gawat.

Dengan langkah perlahan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Nayla mundur ke sudut yang lebih tak nampak, pandangannya berputar mengitari sudut demi sudut ruangan. Manakah tempat yang bisa ia gunakan untuk bersembunyi sementara waktu? Duh, kenapa juga dia menuruti permintaan Mas Bram untuk datang ke pesta ini sih? Apalagi tadi dia bermesraan begitu sama Mas Bram.

Gawat.

Dengan menekan detak jantung yang makin menggila, Nayla mencoba mencari lokasi sembunyi baru. Ia beringsut dari satu tempat ke tempat lain. Mencoba menghindari wajah-wajah yang ia kenali. Kekhawatirannya mulai memuncak saat ia juga tak bisa menemukan Mas Bram. Duh gimana ini.

Sampai suatu ketika ia mendekati toilet.

“Nayla.” suara seorang wanita terdengar memanggil namanya.

Tersentak kaget ada yang mengenali, Nay buru-buru masuk ke toilet.

Wanita itu justru mengikutinya.





.::..::..::..::.





Bram tertawa renyah. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, akhirnya ia bisa menikmati bersenda gurau dengan teman-teman sejawatnya.

Elok, Bram. Elok.”

Elok gimana, Pak Jim?”

Elok tenan. Sampeyan ini bener-bener duren super. Duda keren suka perawan.”

Bram hanya tersenyum sipu sementara Pak Ramidi, Pak Lee, dan Pak Maulana tertawa mendengar kelakar dari Pak Jimmy. Mereka bahkan tidak tahu kalau Nayla bukanlah perawan, tapi istri orang dengan satu anak.

“Memang paten Pak Bram ini. Bertahun-tahun ga kencan, sekalinya dapet cewek, kelasnya bangkok.” Ucap Pak Ramidi menyambung dengan kelakar bapak-bapak.

“Dulu kita sering bully gara-gara dia tidak mau kencan, eh sekarang sepertinya justru kita-kita ini yang harus belajar banyak dari Pak Bram.” Sambung Pak Maul. “Ceweknya bener-bener mantap jiwa. Cantiknya selangit, body gitar spanyol, wajahnya teduh dan alim. Wes pokoknya wife material banget. Tak restui sampeyan langgeng, Pak Bram.”

Bram hanya tertawa kembali.





.::..::..::..::.





“Apa yang kamu lakukan, Nay?”

Bulat mata indah Nayla mengembang sempurna. “Ka-Kak Nisa!?”

What in the world are you thinking? Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?” suara Nisa biasanya lembut dan baik, tapi kali ini ia terdengar tegas dan marah. “Apa kamu sudah gila?”

“Ka-Kak Nisa...” gemetar Nayla menghadapi sang sahabat, seluruh tubuhnya merinding. Saat itulah ia baru menyadari tingkat keseriusan kesalahan yang telah ia perbuat. Ya Tuhan, apa yang selama ini sudah ia lakukan? Nayla bagaikan disadarkan dari hipnotis hebat gelora nafsu yang menjebaknya dalam dua kehidupan. “Kok Kak Nisa ada di sini?”

“Mas Haris teman pengantin wanita. Dengar ya Nay... aku tidak tahu drama macam apa yang sedang kamu jalani dengan Pak Bram, tapi kamu hanya akan menghancurkan semuanya dengan berduaan dengannya begini! Aku sudah mengamati kalian sejak kamu berdua masuk! Kamu pikir di sini tidak ada orang yang mengenalmu? Tidak mengenal Mas Arul? Ya ampuuuun, Nay.” Nisa mencoba menjejalkan kenyataan pahit pada Nayla. “Banyak orang di sini yang kenal sama kamu, sama suamimu, Nay! Bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka sampai melaporkan kemesraanmu dengan Pak Bram yang vulgar seperti tadi pada Mas Arul!! Tinggal tunggu waktu saja bom atomnya meledak!!”

“Ka-Kak Nisa... a-aku...”

“Duh Nay... Nay... kok nekat banget sih kamu.”

Air mata Nayla berlinang.

“Selingkuh itu satu hal. Mengumbar perselingkuhan itu hal yang lain. Gegabah banget kamu, Nay. Aku tahu kamu teledor – tapi tidak mengira akan separah ini.” Nisa menggandeng Nayla ke sudut yang gelap. “Sekarang dengarkan kata-kataku kalau kamu mau selamat. Pergi dari tempat ini denganku sekarang – sebelum ada orang yang benar-benar mengenalimu, jangan dekati lagi Pak Bram di pesta ini. Lupakan dia.”

“Ta-tapi aku tadi berangkat... dengan dia... maksudku...”

“Nay...”

“Kak...”

“Kamu ingat sama Adek tidak? Sama anakmu? Menurutmu apa yang akan dia pikirkan kalau melihat Mama-nya berada di sebuah tempat terbuka, berduaan dan bermesraan dengan laki-laki yang bukan Papa-nya?”

Nay sesunggukan. “Ya Tuhan...”

“Sekarang kamu ikut sama aku.”

Nay mengangguk.

Nisa mengajak Nayla pergi ke tempat parkir, keduanya menghubungi pasangan masing-masing. Nisa meminta Haris mengantarkan kunci mobil, dan Nay berpamitan untuk pulang terlebih dahulu pada Bram.

Bram tentu saja kebingungan saat menerima WhatsApp mendadak dari Nay, tapi saat ia sampai di tempat parkir, Nay sudah tak lagi ada di sana.





.::..::..::..::.





Kini ku mengungkap tanya, siapakah dirinya.
Yang mengaku kekasihmu itu.
Aku tak bisa memahami.
Ketika malam tiba, kurela kau berada.
Dengan siapa kau melewatinya.
Aku tak bisa memahami.




Alunan lagu jadul diputar di mobil yang dikendarai Nisa. Haris suami Nisa memang hobi banget dengerin lagu-lagu jadul, jadi pantas saja koleksi lagunya kebanyakan lagu-lagu lama. Lagu yang bahkan sudah muncul ketika mereka semua belum lahir – atau bahkan sebelum orang tua mereka pun belum lahir.

“Kenapa?”

Suara Nisa yang serak-serak basah menjadi pembuka percakapan setelah beberapa saat Nisa dan Nayla terdiam dalam perjalanan pulang. Macet panjang masih terbayang di depan. Perjalanan ini pasti akan memakan waktu.

Nay terdiam seribu bahasa, wajahnya pucat pasi.

“Aku tidak akan menceritakan tentang hal ini pada siapapun, Nay. Aku tidak akan menyebarkan info atau apalah. Jika kemudian ada berita-berita tentangmu, itu bukan dari aku.”

Nay menarik napas lega.

“Tapi aku juga tidak akan berbohong jika ada yang menanyakan – termasuk jika yang bertanya itu Mas Arul.”

Nay meneguk ludah.

“Aku tidak akan menyembunyikan apapun, karena aku tidak nyaman berbohong kepada siapapun. Untuk saat ini rahasiamu masih aman, karena aku bukan ember bocor. Tapi aku tidak menjamin hal yang sama akan terjadi jika ada orang yang mengenalimu tadi.”

Nay menunduk. “Iya, Kak.”

“Apa sih yang kamu pikirin, Nay?”

Nayla terdiam. Bukan karena memilah rasa bersalah, tapi ia sungguh tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Sampai akhirnya ia menjawab dengan apa yang ia rasakan.

“Semua terjadi begitu saja, Kak. Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja aku penasaran, tertarik, lalu terpesona.”

“Terjadi begitu... Ya Tuhan, Nay. Itu Pak Bram, Nay! Pak Bram!”

“Aku tahu, Kak.” Nayla menyodorkan kepalanya ke dashboard mobil. Mengetukkan dahinya berulang. “Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu.”

“Sekarang kita pulang. Kamu pulang, mandi air dingin, dan keramas sampai sebersih mungkin. Guyur kepalamu dengan air sampai benar-benar bersih. Sampai kamu benar-benar bisa menggunakan akal sehatmu kembali.”

“Iya, Kak.”

Nay menunduk, ia mengulang kembali kata-katanya, “Iya, Kak...”

Tetesan air mata Nay mulai tak bisa dibendung.

“Apa yang sudah aku lakukan, Kak?”

Ia menangis sejadi-jadinya.





.::..::..::..::.





“Mas?” Lirih suara Nay saat masuk ke kamar.

Ia sudah selesai mandi, keramas, dan banyak-banyak mengguyur kepala. Ia juga sudah menengok ke kamar Adek, Bibi ternyata ada di sana. Nayla berjingkat supaya tidak membangunkan keduanya, ia masuk ke kamar hanya untuk mengecup pipi sang buah hati. Setelahnya, barulah Nay kembali ke kamar tidur utama.

Arul ternyata sudah terlelap di atas pembaringan, jadi malam ini dia tidak lembur. Apakah proyeknya sudah selesai?

Nay menyelinap ke balik selimut di samping sang suami.

“Hmm... sudah pulang dari reuni? Pulang sama siapa?” ternyata Arul masih bangun.

Arul tidak membuka mata, ia hanya tahu dan hapal kemana tangannya harus diletakkan saat tubuh indah Nayla ada disebelahnya. Ia tahu bagaimana ia nyaman memeluk bidadari pengisi jiwanya. Nay juga sudah begitu hapal dengan hangatnya pelukan sang suami.

Tapi malam ini berbeda.

Malam ini pelukan Arul serasa lebih berarti, lebih hangat.

Nay berbisik pelan sembari manja masuk ke dalam pelukan suaminya. “Pulang sama Kak Nisa.”

“Hmm... Kak Nisa memang baik.”

“Iya.”

Bayang air mata muncul di pelupuk mata Nay. Seandainya tadi tidak ada Kak Nisa, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ia akan bisa mempertahankan pernikahannya atau tidak, tidak ada yang tahu. Entah siapa yang sudah melihatnya tadi – entah apa yang akan terjadi jika ada yang melihat dan menemui Mas Arul.

Kenapa dia bisa sebodoh ini?

Bayang galau dalam benak Nay terpotong oleh ucapan Arul kemudian.

“Aku sudah beliin tiket untuk liburan kita bulan depan di Korea, sudah plus hotel untuk seminggu. Di sana tidak akan ada lagi yang ganggu kita. Aku mau matiin ponsel sesampai di sana.” Bisik Arul di telinga Nayla. “Aku juga sudah kirim double uang bulanan untuk Bapak dan Ibu, mumpung ada rejeki. Ibu tadi nanya kok kamu sekarang jarang telepon beliau. Besok telepon yah, Ibu kangen banget sama putri kesayangannya.”

Air mata Nay menetes di pipi.

“Iya, Mas. Besok aku telpon Ibu.” Nay memeluk suaminya semakin erat. “Maafkan aku ya, Mas.”

“Hmm. Maaf kenapa?”

Nay terdiam, tapi kemudian dia menjawab lirih. “Tidak apa-apa, peluk aku saja.”

Keduanya lelap dalam peluk hangat malam itu.





.::..::..::..::.





BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN






“Keputusan ada di tanganmu, Nay.” Ucap Nisa sambil mengelus punggung tangan Nayla. Akhirnya kedua sahabat ini bertemu kembali setelah beberapa hari yang lalu keduanya pulang bersama dari pesta pernikahan yang membuat Nayla tersadar.

Mereka berdua duduk saling berhadapan di teras kedai roti milik Nisa – Rumah Kue. Selain menyediakan roti dan snack, kedai roti Nisa ini juga memiliki patio atau teras dengan tempat duduk dan meja seandainya pengunjung ingin beristirahat dan menikmati kopi atau teh. Di meja tempat keduanya berada sudah disajikan beberapa potong mini donuts dan teh jasmine hangat.

Nayla menggeleng kepalanya dengan bingung. Pusing sekali rasanya. “Aku bingung, Kak.”

“Pertimbangkan masak-masak apa yang ingin kamu lakukan. Apakah akan bertahan dengan Mas Arul, ataukah membuang semuanya yang selama ini sudah kamu jalankan demi menjalani hidup yang baru dengan Pak Bram. Pikirkan bagaimana kamu ingin menjalani bahagiamu, tapi jangan lupakan bahagia Adek – karena kamu itu seorang ibu. Kamu punya tanggung jawab, jadikan itu pertimbanganmu.”

Nayla menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Kalimat demi kalimat lembut yang disampaikan Nisa membuat si jelita ibarat ditumpahi semangkok bakso panas. Enak tapi menyengat.

“Maafkan aku, Kak. Aku memang bersalah. Ini semua salahku. Aku yang menyebabkan ini semua terjadi, aku yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku yang mengijinkan dia menyentuhku... memang akulah yang seharusnya dihukum.” Si cantik itu terisak. “Aku ibu yang buruk, aku istri yang payah. Aku... maafkan aku, Kak.”

“Lho, kok maafnya sama aku?” Nisa tersenyum, dia menggeser kursinya supaya bisa duduk di samping sang sahabat dan merangkul Nayla. Dengan sabar Nisa membiarkan wanita yang sedang kebingungan itu sesunggukan dalam pelukannya.

“Kakak yang telah mengingatkan aku... maksudku Kakak yang telah... maksudku aku ingin Kakak yang... duh, aku bingung, Kak. Aku harus bagaimana, Kak? Apa yang harus aku lakukan?”

Haeh.” Nisa merapikan baju Nayla yang berantakan, “Aku memergokimu melakukan hal yang kamu sembunyikan dari orang lain. Aku kaget, Nay. Tak menyangka kamu akan seperti itu. Jujur, apa yang kamu lakukan itu menurut aku salah, tidak akan ada pembenaran apapun di sana. Tapi itu menurut aku – aku tidak tahu bagaimana kamu akan mendapatkan bahagiamu. Aku tidak akan melakukan apapun di luar kemauanmu, Nay. Kamu sahabatku, aku sayang kamu, jadi aku kembalikan keputusannya padamu. Yang jelas aku tidak ingin kamu menyia-nyiakan hidup. Kamu sendirilah yang harus memutuskan.”

“Kak...” Nay menatap Nisa. Bulat mata indahnya berkaca-kaca. “Aku tidak bisa hidup begini terus. Aku tidak bisa menjalani hidup dalam kebohongan dan ketidakjujuran. Tapi aku bingung... aku takut...”

“Kamu sudah gede, Nay. Kamu sudah jadi ibu, anakmu butuh kamu. Jika selama ini kamu berpikir menggunakan egomu, maka coba pertimbangkan masa depan Adek.”

“Iya, Kak...”

“Kamu tentunya sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”

“Iya, Kak...” Nayla memandang tembok dalam diam, seakan-akan tembok tak bersalah itu yang menyediakan semua jawaban akan keluh kesah dan beban yang ia sandang. Seakan-akan setelah ia pelototin tembok, akan keluar semua solusi. Ia kemudian menunduk sembari memainkan ujung lengan panjang pakaiannya. “Kok bisa ya, Kak.”

“Bisa gimana?”

“Kok bisa kita menyukai dua orang yang berbeda pada saat yang bersamaan.”

“Menyukai, mengagumi, atau mencintai?” Nisa tersenyum lembut.

“Eh... ehmm....” wajah Nay memerah. Ada keraguan dalam memberikan jawaban. Tapi kali ini dia berhadapan dengan Nisa, yang selalu memberikannya masukan berharga. Kenapa harus ditutupi jika ingin mendapatkan jawaban yang pasti? “Ehmm... mencintai.”

“Serius? Kamu cinta sama Pak Bram?”

Nay memiringkan kepalanya seperti menyesal, ia juga memejamkan mata, tapi kemudian membukanya dengan tegas. “Iya, Kak.”

“Hmm...” Nisa menyilangkan tangan di depan dadanya. Ibu muda mungil itu menatap tajam mata Nay, lalu tersenyum. “Tidak bisa dipungkiri sih, mencintai dua hati pada saat yang bersamaan itu bisa saja terjadi. Perasaan itu tidak bisa dihindari juga karena memang seperti itulah kerja hati – jangan salahkan hatimu. Yang bisa disalahkan adalah bagaimana kamu kemudian menyikapi hatimu itu.”

“Bingung, Kak.”

“Kamu tidak perlu khawatir dengan kinerja hati. Kalaupun ada dua pilihan, itu wajar terjadi. Itu alami, tak bisa kita mengatur bagaimana, apa, kapan, dan bila nanti. Tapi jangan lari dan jangan pergi, hadapi. Meski berat menyikapi tapi kita hanya bisa memilih satu hati. Memang selalu ada yang tersakiti, tapi pasti kamu akan lebih mudah menempatkan diri, untuk dia yang benar-benar kamu cintai.”

“Kak...”

Nay memeluk kepalanya sendiri. Ditenggelamkan dalam hangatnya tautan dua lengan yang membentuk benteng pelindung dari perasaan yang overwhelming.

Nisa memeluk sang sahabat dengan erat.

Nay memejamkan mata.

Kepalanya pusing sekali.

Badannya terasa tidak nyaman.





.::..::..::..::.





Nay memejamkan mata dan mengatur napas. Dia harus bisa. Dia harus kuat. Dia harus bisa menghadapi Mas Bram dengan benar-benar waras, dengan logika berjalan – bukan dengan emosi, bukan dengan ego, dan jelas bukan dengan nafsu. Nay tahu Mas Bram sudah pasti akan protes habis-habisan. Sudah pasti. Sudah bisa ditebak. Sudah bisa dibayangkan. Sudah bisa diperkirakan. Sudah bisa diprediksi.

Tapi harus bisa. Harus.

Meski rasa-rasanya Nay tidak akan pernah bisa benar-benar siap.

Suasana cafe The Donut Pub sepi hari itu. selain Nay dan Bram, hanya ada sepasang pengunjung lain yang juga sedang bercakap-cakap tapi posisinya jauh dari mereka. Seorang pemuda berkemeja putih yang mengenakan celemek hitam berjalan dengan sangat hati-hati untuk mengantarkan pesanan Nay dan Bram. Gerakannya masih kaku, jalannya masih awkward, dan senyumnya agak dipaksakan. Mungkin karyawan baru, sebagai pelanggan baru kali ini Nay melihat pemuda ini di sini. Ada tag name bertuliskan nama Jalak Harnanto pada pin yang dikenakan di dada sang waiter.

“Ini pesanannya, Kak.” Ucap sang karyawan baru. Ia meletakkan satu demi satu makanan dan minuman yang dipesan oleh Bram dan Nay. “Satu cappucino, satu hot choco, satu kreme puffs, dan satu croissant donuts.”

“Makasih, Mas.” Ucap Nay lembut.

“Sudah lengkap semua ya?”

“Sudah. Terima kasih.”

“Terima kasih kembali, Kak. Selamat menikmati.”

Nay dan Bram tersenyum, sementara sang waiter anyaran dengan kikuk kembali ke belakang bar untuk mengelap gelas-gelas. Nay sempat melirik dan melihat waiter anyaran itu mendapatkan masukan dan review dari rekan seniornya mengenai cara mengantarkan makanan barusan.

Bagi Nay dan Bram sendiri tidak ada percakapan tercipta untuk beberapa saat lamanya, dua insan yang saling berhadapan itu terdiam seribu bahasa. Bibir mereka terkatup rapat, masing-masing menyimpan perasaan yang dipendam teramat dalam, ingin dilepaskan, tapi takut diutarakan. Ada yang ditahan karena menghargai perasaan.

“Mulai hari ini, kita sudahi semuanya.” ucap Nay lirih. Membuka percakapan. “Kita akan kembali sebagai sepasang orang yang tak saling kenal dan tak akan saling sapa. Cerita kita berakhir sampai di sini, tidak bisa dilanjutkan.”

Bram paham – dia sudah menduga kalau kisah mereka pada akhirnya akan sampai pada titik di mana Nay akan memutuskan memilih siapa di antara dirinya dan Arul. Tapi dia tetap tak ingin begitu saja rampung.

“Kenapa tidak bisa, Nay? Kenapa tidak dicoba dulu? Aku tidak akan pernah bisa berpaling ke yang lain. Kamu benar-benar yang paling cocok untukku, kamu detak jantungku, denyut nadiku, wajah yang kucari di pagiku, nama yang selalu aku ucap di doaku, wanita yang paling pas buat aku, mungkin kamulah tulang rusukku. Kenapa tidak bisa? Kenapa kamu bilang ini semua percuma?”

Nay menyentuh jemari Bram dengan lembut, tapi kemudian melepaskannya buru-buru. Seakan menyadari ia baru saja melakukan sesuatu secara reflek. Si cantik itu menatap dengan berlinang sang pria bertubuh kekar yang sebulan ini mengisi hari-harinya.

“Mas Bram akan mendapatkan pengganti Mbak Ayu. Mas Bram akan mendapatkan orang yang akan meneruskan amanat untuk menjaga dan menyayangi Mas karena Mas memang pantas. Mas Bram kan masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk berkenalan dengan wanita lain. Wanita yang akan merawat Mas Bram sebaik Mbak Ayu, setulus Mbak Ayu, dan setelaten Mbak Ayu... yang jelas...”

“Aku hanya ingin kamu, Nay.” Potong Bram.

“...yang jelas wanita itu bukan aku.” Lanjut Nay tanpa menghiraukan selingan dari Bram.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Karena aku sudah jadi milik orang lain, Mas. Aku milik suamiku, aku milik anakku. Aku milik mereka, untuk selamanya. Aku tidak bisa menjadi milik siapa-siapa lagi sekarang. Bodohnya aku baru menyadari itu sekarang.”

“Tapi kita kan sudah... maksudku kita bahkan akan...” Bram menghela napas panjang, ia menyadari seberapa jauh Nayla ingin mengakhiri hubungan mereka. “jadi dengan mudahnya kamu akan menafikan hubungan yang telah kita jalani selama ini?”

“Apa yang kita lakukan adalah kesalahan yang harus kita edit, kita lalui, kita lewati, dan pada akhirnya berusaha kita lupakan. Bahkan berjalan bersama pun kita adalah kesalahan yang tak termaafkan. Kesalahan ya diperbaiki, tidak dilanjutkan. Kita akan kembali menjadi kita sebelum ada kita.”

“Kita sebelum ada kita.” Bram menatap wajah wanita yang begitu ia sayangi, kepala Nay menunduk, tak perlu jadi seorang ahli untuk tahu si jelita itu sedang berusaha untuk tidak menangis. Bram ingin memeluk dan menenangkannya, tapi ia tahu kalau itu pasti akan ditolak oleh Nayla.

“Semua sudah usai, semua cerita kita kalaupun ada sudah selesai. Kita memulai hubungan dengan kesalahan. Keberadaan kita di sini sekarang, duduk berdua, bercakap-cakap seperti ini? Ini kesalahan. Kita seharusnya tidak mencoba melakukan apapun yang keluar dari jalur – kita sudah telanjur ngawur. Padahal apa yang kita lakukan hanyalah hal yang percuma hanya gara-gara tergoda. Aku tidak akan pernah meninggalkan suami dan anakku – dan kamu, Mas... Kamu berhak mendapatkan bintang yang lebih bersinar.” Nay tak mampu menahan derai air mata turun dan mengisi bait demi bait kata-kata yang terucap dari mulut mungilnya. “Aku menyayangimu. Sungguh aku menyayangimu, tapi kita hanya akan menyakiti dan menimpakan kesalahan saat semua terungkap di ujung perjalanan. Aku tidak ingin berbohong lagi pada suamiku, tidak ingin lagi...”

Bram tertegun saat menyadari kalimat terakhir Nayla, “Ka-kamu mau menceritakan semua kisah kita pada suamimu?”

“Aku belum tahu. Kalaupun ya, itu sudah bukan urusanmu.”

“Belum tahu gimana, sih?! Mikir Nay! Kenapa harus kamu ceritain? Kamu bisa dihajar! Bisa dicerai! Bisa dibunuh! Gila kamu! Aku tidak akan bisa melindungimu kalau...”

“Aku tidak memerlukan perlindunganmu. Apapun yang akan dilakukan suamiku, itu konsekuensi yang harus aku tanggung karena telah mengkhianati kesetiaan yang sudah aku janjikan. Itu konsekuensi karena aku mengingkari ikrar sehidup semati. Itu hak dia untuk melakukannya.” Nada suara Nayla seperti tercekat, “tolong pahami aku. Bantu aku untuk melakukan hal yang benar sekali ini saja dengan tidak mencoba menghalangiku. Kalau memang dia kalap, biar aku terima. Kalau aku mati, mungkin sudah garisnya.”

“Ngawur omonganmu! Jangan gila...! Kamu bunuh diri namanya! Kalaupun kamu suruh aku pergi, ya sudah lupakan semua! Tapi kamu kan bisa memendam rahasia ini tanpa ketahuan siapapun! Bahkan sampai akhir hayat! Kenapa kamu tidak mengubur saja semua cerita kita diam-diam? Tidak perlu mengakui kesalahan kita berdua. Tidak perlu mengatakan apapun jika tidak ditanyakan tentang apapun! Apalagi kamu sudah... maksudku... bagaimana dengan...”

“Mas.” Nay menggelengkan kepala. “Mas Bram dengerin aku ga sih?”

Bram terhenyak sesaat, tapi ia lantas terdiam sembari mengatur emosinya.

Ketika Bram mulai tenang, Nay baru melanjutkan. “Mas, aku bukan orang bodoh. Ya, aku sedang mencoba berjalan masuk ke kandang singa – tapi aku sendiri yang mengubah suami yang amat penyayang menjadi seekor singa itu. Ya, aku memang akan mengambil resiko terburuk dalam hidup – tapi itu juga karena aku sendiri yang membuat hidup nyamanku menjadi tidak aman. Tapi aku telah melakukan hal yang nista dan tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang menyimpan rahasia. Aku tidak akan menumpuk satu kesalahan yang telah aku lakukan dengan melakukan kesalahan yang lain. Aku harus melakukan apa yang menjadi takdir dan jalanku dengan segala resiko yang ada. Biar saja. Yang terjadi padaku terjadilah, yang akan terjadi biarlah. Aku harus siap menghadapi semuanya. Berani menjalankan, berani menghadapi hukuman.”

Bram menunduk, helaan napasnya berat sekali.

Gila kamu, Nay.

Bram menghela napas panjang, tidak ada gunanya membujuk Nay karena ia tahu si cantik itu sudah memutuskan. “Jadi... kita udah?”

“Ya. Tak ada lagi kita.”

“Lalu bagaimana dengan...” telunjuk Bram mengayun pada dirinya dan Nayla.

“Aku akan selalu memberikan kabar, mohon beri aku dukungan.”

Bram duduk dengan lemas, tangannya menangkup wajah sendiri. Berulangkali ia membasuhnya tanpa air, menggosoknya dengan harapan ia bisa mencuci semua perasaannya pada Nayla dan membaca yang tersurat melalui yang tersirat.

Nay teguh pada pendiriannya. Itu sudah pasti.

Mereka memang sudah sampai pada titik di penghujung jalan, sebuah keputusan yang tak bisa dihindari. Berputar balik atau lurus ke depan, hanya itu saja pilihannya.

“Terima kasih sudah mengangkat aku tinggi-tinggi dengan harapan semu. Terima kasih sudah menghancurkan aku.” Serak suara Bram. Lemas. Lirih. Lunglai. Pria yang usianya hampir dua kali lipat dari Nay itu hampir-hampir tak percaya ia akan diatur oleh wanita yang lebih muda darinya.

“Kamu pikir aku tidak hancur? Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku akan melanjutkan hidup dengan keadaanku yang sekarang. Tapi aku harus mencoba, karena inilah aku.” Nay mencoba menahan tangisnya. “Cari yang lain, Mas. Kamu bisa.”

Nay menyentuh tangan Bram, mengusapnya tiga kali lalu berdiri dari kursinya dan meninggalkan pria itu, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tempo hari ia pernah melakukan hal yang sama namun lantas berbalik untuk kembali jatuh ke pelukan Bram. Tapi tidak untuk kali ini. inilah perpisahan mereka yang sesungguhnya.

Apakah nantinya mereka akan berjumpa lagi? Mungkin. Karena jika diijinkan mungkin akan ada ikatan takdir yang akan menyatukan mereka - mungkin juga tidak. Akankah mereka akan dipertemukan lagi? Benarkah ini akhirnya? Bisa apa Bram untuk menjawabnya? Semuanya bisa ya dan bisa tidak.

Bram mendengus, semudah ini semuanya berakhir. Haruskah ia benci Nayla? Mana mungkin. Bagaimana mungkin ia mengutuk wanita seindah Nay – wanita yang telah memberinya emas di ujung pelangi? Mana mungkin ia rela melepas kepergian seorang bidadari yang pernah singgah dan mengikat selendang cintanya di hati.

Melepas bayangan Nayla? Misi yang mustahil.

Tapi harus.

Bram tersenyum dalam kepedihan. Pertentangan hebat memburu jantung dan batinnya, mengacak-acak relung jiwanya. Si jelita itu belum terlalu jauh. Haruskah ia kejar dan hentikan Nayla, lalu memeluknya tanpa pernah ia lepas? Haruskah ia pertahankan sampai titik darah penghabisan? Ataukah sebaiknya memang ia cukupkan laju hatinya hingga sampai di sini saja?

Mana yang harus dipilih? Tahan kepergian Nay atau tahan diri sendiri?

Bram gamang.

Ketika gamang, ia teringat pada seseorang yang pernah memberikannya masukan paling terpatri di hati.

Jika kamu bingung, bicarakan denganku. Aku mungkin tidak akan bisa memberikan jawabannya, tapi paling tidak kamu sudah menceritakan masalahmu apa. Jangan semuanya kamu bebankan pada dirimu sendiri. Bagikan padaku walaupun hanya sekedar bercerita. Kamu pasti bisa menentukan jawabannya dengan mendengarkan hati nurani dan membagikan bebanmu padaku.

Saatnya bertanya dan bercerita. Bram lantas membuka dompetnya, melihat foto almarhum istrinya di sana.

“Bagaimana menurutmu, sayang? Apa yang harus aku lakukan?” bisik pria itu lirih. “Sudah lama aku tidak mengunjungi makam kamu.”

Foto istrinya tentu terdiam tanpa kata, berucap tanpa bahasa, hanya meneguhkan senyum abadi yang tertuang dalam deret cetak warna tanpa suara. Ada sejuk terasa di hati Bram melihat gambarnya, galau yang tadinya merajam, bagai hancur dilebur debur ombak bertaut karang, bagai lintas berkelebat di bawah debat hebat di mana otak dan hati terlibat.

Jadi... haruskah ia mengejar Nay ataukah berhenti dan duduk saja di sini?

Nurani. Apa kata nuranimu, Bram? Kamu juga tahu kalau Nay itu seorang istri, dia juga seorang ibu. Wajar kalau dia pilih pergi dan bertahan pada cinta suci, karena dia tidak akan bertahan pada kasih yang semu.

Bram sadar, ada jalur yang tak akan pernah bisa jumpa – seperti jalur rel kereta yang akan berjalan beriringan namun akan selamanya dipisahkan meski menuju arah yang sama demi kebaikan bagi semua. Almarhum istrinya benar, dengarkan nuraninya.

Ini yang terbaik kan, Nay? Perasaan ini nyata dan ada, hadir dan menyapa, lepas pun tak kan cepat rela. Tapi semua hanya akan menjadi pelajaran hidup yang berharga. Bahwa untuk memulai sesuatu yang baru, tidak cukup dengan melakukan pembersihan diri seadanya, tapi lumerkan hingga titik terkecil. Hancurkan dirimu sampai jadi debu, lalu bersihkan tuntas untuk memulai lagi dari mula.

Sudah begitu saja, mulai lagi dari mula.

Bram mengecup foto almarhum istrinya, lalu memasukkan kembali dompet ke tempatnya.

Ia lantas mengambil ponsel.

Kemudian menghapus satu demi satu foto Nayla.

Pada akhirnya, semua pasti ada usainya.





.::..::..::..::.





Nay keluar dari kamar mandi dengan mata sembab. Tangisnya berulang kali pecah, ia sudah mencoba menghapusnya dengan gemuruh air shower yang mengalir meluruhkan semua luka dan prasangka. Si cantik yang hanya mengenakan piyama itu berjalan pelan menuju kamar depan. Tangannya berulang kali masuk ke kantong, dengan seketika itu juga gugupnya merajalela.

Dia harus melakukannya.

Dia harus melakukannya, dengan semua resikonya.

Dia harus jujur.

Dia harus meletakkan dirinya kembali di samping suaminya dan menempatkan diri di posisi semula sebelum kehadiran Bram. Hanya bersama Arul-lah bahagia itu ada dan seharusnya terajut, bukan dengan sosok lain yang datang untuk memberikannya kekosongan dalam jiwa.

Sekali lagi tangan Nay masuk kantong piyama, ia semakin gugup. Tangannya keluar masuk kantong.

Semuanya mungkin akan berubah. Suaminya mungkin tidak akan memaafkannya. Dia paham betul hal itu yang bisa saja terjadi. Atau bagaikan misteri yang indah, suaminya yang menakjubkan akan memaafkannya dengan kebesaran hati yang luar biasa seperti yang selama ini selalu ia tunjukkan.

Nay tahu Ia akan menyakiti Arul, tapi ia juga akan berusaha menghabiskan sisa hidupnya untuk meminta maaf dan membuktikan keseriusannya.

“Sudah ngantuk, Dek?” suara tercekat Nay memecah kesunyian malam.

Putranya terkasih terduduk di kursi, lelap menggeliat, berkecap.

Ada pandangan bersalah dari sang bunda, ada permohonan maaf yang tak terucap, ada penyesalan yang ingin segera dilepaskan, ingin segera dihanyutkan dalam sungai kelam – untuk selamanya dilupakan, atau menjadi luka yang membekas seumur hayat di badan. Ada runyam di batin yang membuncah dan menjadi biang kekacauan pemahaman di kepalanya – selain pada Arul, rasa bersalah itu juga terwujud bagi sang buah hati.

Nay memeluk putranya dengan erat dan mengecup dahinya penuh perasaaan, apapun yang telah terjadi, apapun yang akan terjadi nanti – tidak akan ada yang menghalangi kasihnya pada sang putra tercinta.

Rasa bersalah yang saat ini ia pikul memang terlampau besar, terlalu menyayat dirinya sendiri. Dia ingin bangun tidur sekali saja tanpa merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri karena telah menjadi pengkhianat, tapi itu tidak bisa dilakukannya tanpa melepaskan kejujuran ke ruang terbuka dengan segala resikonya. Orang lain mungkin bisa memendam dan melupakan semua hingga akhir hayat, tapi tidak Nayla.

Nay menggendong putranya dengan penuh sayang.

Nay tahu dengan pasti di mana ada awal, pasti ada akhir. Mungkin dia akan terkena kutukan, mungkin akan terkena karma. Dia mungkin akan dipisahkan, mungkin akan ditinggalkan, tapi mungkin juga... mungkin... akan dimaafkan. Mungkin masih ada ruang harapan yang tersisa di sudut hati pria yang sungguh ia cinta. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pasti, tapi itu semua harus dijalani, sebagai bentuk konsekuensi.

Manusia tempatnya salah dan saat hatinya dulu terbelah, Nay seharusnya tahu dia akan berada dalam masalah. Kini saatnya menyelesaikan semuanya. Keputusan yang akan menjadi penyeimbang jiwanya – apakah dia akan dimaafkan, ataukah hidupnya akan berubah, akan dimulai dari sekarang.

Seluruh jiwa raganya ia berikan pada keputusan sang suami.

Nay yakin dengan jalan yang akan dia tempuh – ia sudah pernah berbuat salah, tapi bukan berarti ia akan menyembunyikan dan berkilah. Ia sudah memulai dengan kebohongan, saatnya mengakhiri kemunafikan dengan kejujuran. Saatnya ia memohon ampun, memohon maaf, memohon belas kasih dari pria pemilik hatinya. Nafsu memang membutakan, birahi sungguh melenakan, hingga pada akhirnya cinta yang akan menyadarkan – cinta pula yang mungkin akan menyakitkan, tapi mudah-mudahan cinta bisa menyembuhkan.

Nay melangkah lembut keluar dari kamar Adek dengan jejak-jejak kaki yang bagai melangkah di awan. Sebisa mungkin tidak membangunkan sang putra tercinta.

“Dia belum tidur?”

Suara sang suami yang lembut menyejukkan hati Nay.

Mungkin untuk terakhir kalinya?

Nay tersenyum dan mengangguk, lalu menunjuk ke arah Adek yang terlelap dan membuat tanda senyap dengan jari telunjuk di pertengahan bibir. Arul ikut mengangguk dan tersenyum, ia lantas mengambil sebuah buku dan duduk dengan santai di sofa ruang tengah sambil membaca buku yang ia nikmati dengan nyamannya.

Nay membawa sang buah hati dengan perlahan dan berjalan pelan ke pembaringan di sudut kamar. Ia meletakkan putra semata wayangnya di sana. lalu berjingkat supaya tidak membangunkan. Setelah memastikan semuanya tenang, Nay menutup pintu kamar sang putra dan kembali ke ruang tengah.

“Mas...”

“Hmm?”

“Ada yang ingin aku katakan.”

“Apa tuh?”

“Mas...”

“Hmm...?” Arul melirik ke arah istrinya yang berdiri di samping sofa.

Wajah Nayla tertunduk, tubuhnya lesu, garis bahunya naik turun. Tangannya gemetar dengan jari-jemari yang saling terkait. Nay... menangis?

“Sayang? Kamu kenapa?”

Arul duduk di sisi sofa dengan mengerutkan kening. Wajahnya bertanya-tanya akan sikap aneh sang istri. Saat itulah Nay mendekat dengan sangat perlahan-lahan sekali seakan ia bahkan takut untuk menyakiti karpet rumah dengan gerakannya. Ketika sudah berhadapan, wanita cantik itu akhirnya luruh ke bawah, bersimpuh di kaki sang suami. Tangisnya pecah, berurai, tumpah.

Jantung Arul berpacu dengan cepatnya, tentu ia terkejut. Ia segera mencoba mengangkat Nay ke atas kembali. Apa yang terjadi? Kenapa Nay begini?

“Sayang?” Arul mencoba menyentuh pundak istrinya yang bergetar hebat. Nay sesunggukan tanpa suara, dan sang suami pun kebingungan bukan kepalang. “Kenapa kamu?”

“Maafkan aku, Mas... aku telah melakukannya... Ya Tuhan, aku telah melakukannya... maafkan aku, Mas... aku bersalah, aku sungguh bersalah... aku memang bodoh, sangat bodoh! Maafkan aku... Ya Tuhan... apa yang sudah aku lakukan!?”

“Nay...?”

“...aku tidak tahu apakah aku masih pantas...” lelehan air mata Nay menetes di punggung kaki Arul. “Aku tidak tahu... apakah aku... masih pantas... menjadi istrimu...”

“Nay...!?”

“Apa yang seharusnya aku jaga, tidak aku jaga dengan baik. Apa yang seharusnya aku simpan, tidak aku simpan dengan baik... aku... aku saat ini hanya bisa meminta maaf dari hatiku yang terdalam. Aku sayang sama kamu, Mas. Cinta sama kamu... dan akan selamanya begitu. Kamu sangat baik, kamu sangat sayang sama aku, sayang sama adek... dan aku... aku justru hampir menghancurkan semuanya. Ini semua salahku, Mas... aku yang bersalah.”

Arul menarik napas panjang, pikirannya mengelana – apa yang ia takutkan seumur hidupnya mungkin sudah mewujud menjadi momok mengerikan yang hadir tanpa ia harapkan di waktu yang tidak ia duga-duga. Tapi ia tak ingin gegabah menuduh. Apakah Nay melakukan hal terkutuk seperti yang tergambar dalam benaknya yang kejam?

Arul melepas pegangannya pada pundak Nayla, mengatur napasnya sendiri dan bersiap mendengar semua kabar buruk.

Ia sempat memejamkan mata, tapi kemudian membukanya kembali ketika ia merasakan kencangnya pelukan pada kakinya – pelukan yang seakan tak ingin lepas sampai akhir masa. Ia menatap mata istrinya. Ada kepedihan di sana. Kecamuk bagi Arul terasa di dada. Ada rasa ingin memeluk dan melindungi sang istri tercinta, tapi ada juga rasa ingin menunda sampai usai semua wicara. Ada apa sebenarnya?

Tatapan mereka berjumpa, ingin tersampaikan berjuta kata. Bisikan lirih Nay menjadi pemula, derai air matanya menjadi pertanda.

“Maafkan aku, Mas. Aku tak setia.”

Nay mengeluarkan testpack dari kantong piyamanya dengan tangan bergetar dan wajah pucat pasi, tetes airmatanya mengalir deras.

Mulut Arul terbuka.





AMPIBI.
SELESAI.
Juara nih...mantap banget ceritanya....di forum ini jarang cerita sep ini
 
Iyaaa nih nunggu kelanjutan si nanto dkk moga moga cepet tamat ya om

Masih jauh perjalanan si bengal, Hu. Heheh.

Pusing pusing deh si asul 🤯
Mantap ceritanya 🙏
Juara nih...mantap banget ceritanya....di forum ini jarang cerita sep ini
Parkir...great story :adek:
Endingny mantab....salut sama ceritany. Detail penggambaran juga manteb banget... Joss!!!
Terima kasih, Hu. :ampun:
 
ge
Ini bagus banget... dan ini cerita yang paling OK setelah saya baca KESEMPATAN KEDUA. sayang tidak dilanjutkan dengan keadaan setelah jujurnya sang istri.
Selingkuh yang paling sakit ya selingkuh karena hati ya, sementara tidak ada masalah apa apa dengan pasangan. Ini yang paling sakit ketika dihadapkan dengan pilihan. Apalagi POV-nya dari pihak istri. Kalao POV dari pihak suami ya mungkin bisa dimaklumi ya, mungkin karena lelaki itu bajingan hahaha... tapi kalo dari pihak istrinya yang main hati, duhh gemes bangettt dah.. apalagi sama suaminya ga ada masalah apa apa..

Lah malah curhat..

Thanks suhuu, ceritanya bagus banget :mantap:
gemes gemess bikin gimanaaa gitu ya, hahahah ;)
 
Makasih banget cerita begitu menawan yang berakhir happy and atau set ending

Tetaplah happy and sebab kalau asul mempermasalan bram masih menjadi pilihan ke dua.

Hahaha.

Ditunggu cerita yang lain.
 
Hasil tespecknya belum ketauan hu positif apa negatif 😂

Nah nah, kira-kira positif atau negatif ya, Hu? Hehehe.

Mungkin nanti selesai lomba bisa dibikin poll,
pilih sad ending, happy ending, tetep open ending, atau odading yang bikin kita jadi iron men
Meski belum tentu juga dilanjutin, hahaha.

Makasih banget cerita begitu menawan yang berakhir happy and atau set ending
Tetaplah happy and sebab kalau asul mempermasalan bram masih menjadi pilihan ke dua.
Hahaha.
Ditunggu cerita yang lain.

Makasih banyak dukungannya, Hu.
Yak skor sementara.
Happy ending 1 sad ending 0
Hahahaha.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd