Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Nitip jejak..kli aja update

Nunggu updetan, gila parah

Update tetep sama, seminggu sekali, antara kamis atau jumat, bergantung 2 chapter selanjutnya selesai kapan, kalau di sebelah udah ampe Chapter 7


Untuk plot belum komen dl ya, liat saja nanti, tapi more than welcome kalau pada mau diskusi soal plot lho

Happy weekend suhu2 sekalian
 
ajg keren bgd nih cerita.
sialan slama ini gw terjebak di cerita cerita mainstream lainnya.
padahal ada cerita yg lebih layak di tunggu seperti ini.. keren bgd bgst nih cerita asli
 
ajg keren bgd nih cerita.
sialan slama ini gw terjebak di cerita cerita mainstream lainnya.
padahal ada cerita yg lebih layak di tunggu seperti ini.. keren bgd bgst nih cerita asli

Banyak cerita mainstream dan cerita lain yang bagus koq hu


Oh ya, nanya aja para suhu semua, yg paling disuka dan tidak disuka dr cerita ane apa ya? Silakan diungkapkan.
 
Chapter 6:

A Little Thing Called Return

29 Juli 2009???


Hapeku tiba-tiba menyala dan secara refleks aku melemparkannya ke kasur dengan penuh ketakutan. Ada yang meneleponku, dan dari bunyi ringtone-nya, aku bisa tahu siapa yang menelepon, karena hanya dia yang kuberikan ringtone khusus: Metta! Aku membiarkan saja satu cycle panggilan berlalu sambil mencubit pipiku, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Metta kemudian menelepon kembali, dan aku, dengan gemetaran, mengangkat teleponnya.


"H-Halo..."

"Ya ampun, Erik, kamu baru bangun? Kamu inget kan ini hari apa?"



Suara itu, itu benar suara Metta pada tahun 2009, suara yang indah yang dulu selalu menemaniku, dan kini kudengar lagi, seolah baru kemarin, bukan 12 tahun berlalu. Tapi kalau dipikir-pikir, memang baru kemarin aku bertemu Metta, walau versi yang lebih dewasa, tahun 2021.


"Ha-Hari apa?"

"Astaga, mabok ya kamu? Ini kan hari pengumuman hasil tes kamu, Rik. Kamu nggak siap-siap apa gimana?"

"Oh iya, pengumuman tes ya..."

"Iya, terus kamu mau berangkat jam berapa??"

"Eh, bentar, ini beneran tahun 2009?"

"Ya Tuhan, kamu semalem abis makan apa sih, Rik? Masa lupa ama tahun? Jangan-jangan kamu juga nggak inget ya, hari ini hari apa, selain hari pengumuman tes!"

"Hari ini?"

"Iya, hari apa?"



Aku terdiam sejenak. Mungkinkah...


"Ini hari kamu wisuda, bukan, Met?"

"Nah, bagus deh kamu inget. Ya udah, cepetan kamu mandi, siap-siap, lalu cek pengumuman, abis itu ke sini, ya?"

"I-Iya..."

"Oke, aku juga mau siap-siap nih, udah dulu."

"Eh, Met, bentar..."

"Apaan?"

"Aku kangen akhirnya bisa denger suara kamu lagi."

"Astaga, ya ampun, kita kan baru aja ngobrol belum lama. Jangan aneh-aneh deh, kamu nggak apa-apa, kan? Nggak sakit, kan?"

"Enggak, nggak apa-apa, koq. Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Okay, see you. Muach-muach."

"Muach-muach!"



Aku lalu jatuh bersimpuh di kasur. Ya, benar, tak salah lagi, ini benar-benar tahun 2009. Ini kamar yang kutempati pada tahun 2009 saat aku ada di Jakarta selama sebulan untuk mengikuti tes di RBTV. Setelah gagal dan pulang, nanti aku akan kembali lagi ke Jakarta, dan tinggal kembali di kosan ini, dan berada di kamar ini lagi.

Tiba-tiba saja aku teringat pada pembicaraanku dengan Nenek Penjual Kopi semalam. Oh, atau lebih tepatnya, malam itu pada tahun 2021. Mustahil sekali, apa ini karena apa yang kubicarakan pada si Nenek? Tapi perjalanan waktu itu mustahil, bukan?? Ah, sial, tapi kalau memang benar ini tanggal 29 Juli 2009, hari saat pengumuman hasil tes sekaligus hari wisuda Metta, berarti aku harus lakukan sesuatu.

Dengan cepat aku segera mandi dan bersiap-siap. Kuperiksa barang-barangku, dan ternyata hanya ada barang yang memang kumiliki tahun 2009. Hanya ingatan dan soft-skill yang telah kupelajari saja yang memang kubawa dari 2021, dan kurasa itu cukup. Kubuka peralatan mandi dan berbenahku, dan hanya ada sabun muka serta parfum botol kecil di sana. Aku menghela napas.

"Gila ya lo, Erik, gimana bisa sih lo survive cuman bawa ginian dulu di 2009??"

Lalu kubongkar bajuku di ransel serta lemari, dan kecewa, karena ternyata baju yang pada 2009 kuanggap sudah keren dan rapi, ternyata untuk standar diriku sendiri tahun 2021 terlihat kumal dan cupu. Barulah saat ini aku bisa memahami betapa cupunya aku saat itu. Amat terlihat seperti orang udik yang baru datang ke Jakarta. Namun akhirnya aku bisa mendapatkan padanan baju serta celana yang bisa terlihat "agak mbois" sedikit, gaya yang jelas tak akan kupakai pada 2009 karena diriku saat itu, yang masih merem mode, akan menganggapnya aneh. Aku bahkan sampai meminjam mouthwash, sunscreen, lotion muka, dan toner pada Ci Lily, ibu kosku, yang jelas bingung karena selama hampir sebulan, baru aku terlihat mau berdandan.


"Mau kencan ya, Ko?" tanya Ci Lily.

"Enggak, Ci, cuman liat pengumuman aja."

"Tapi koq maksimal banget, dandannya, kayak mau ketemu cewek aja. Padahal yang kemaren aja ndak semaksimal ini."

"Oh iya, ya baru nyadar kalau aku keliatan dekil, Ci."

"Ya baguslah, tapi kalo kamu rapi gini kamu keliatan ganteng lho, Ko, sama kayak almarhum suaminya Cici dulu."

"Masa iya? Wah, makasih ya, Ci."

"Ya udah, cepetan gih berangkat, salam buat ceweknya ya, Ko."

"Cewek?"

"Udahlah, ndak usah ngeles. Cowok kalau dandan cakep gini udah pasti mau ketemu ama cewek, ya ndak?"

"Ah, Cici ini tau aja. Hehehe. Berangkat dulu ya, Ci."

"Ya, Ko, ati-ati."



Aku mencium tangan Ci Lily, lalu segera mengambil tas selempang dan berangkat. Agak kagok sebenarnya, karena aku agak lupa-lupa ingat bagaimana caranya pergi ke RBTV menggunakan jaringan angkot, metromini, dan busway dari sini, namun seperti kita naik sepeda, begitu sudah jalan, aku seperti ingat sendiri dan refleks melakukannya.




Di RBTV, keadaan berlangsung sebagaimana 2009 lalu. Aku berdiri di depan papan pengumuman. Tentu saja aku tahu apa yang tertulis di sana, karena aku masih ingat apa isinya. Namun bukan itu alasanku ke RBTV, melainkan untuk...


"Hei, Erik, lo udah ngeliat hasilnya?"


Jantungku tiba-tiba berdebar amat kencang mendengar suara itu. Ya, suara Rini tahun 2009, dengan nada yang tak kudapatkan pada Rini 2021. Sebuah nada yang tak mungkin kulupakan, perasaan yang tak bisa dihapuskan dari pikiran. Aku pun menoleh ke samping, dan itulah dia, wajah yang hampir-hampir kulupakan, putih berseri dengan membulat telur, senyum selalu tersungging pada bibir yang merah, dengan mata lebar berbinar, dan rambut yang diikat dua. Aku sudah menikahi wanita ini selama 10 tahun, namun saat melihat versi Rini yang ini, mau tak mau jantungku terus berdebar semakin kencang. Tiba-tiba dia menjentikkan jarinya tepat di depan mukaku.


"Hei, koq bengong? Udah ngeliat belum, hasilnya?"

"Oh udah, ini barusan liat."



Tak seperti pada tahun 2009 itu, pada saat ini aku tersenyum padanya, meski berusaha untuk tetap terlihat getir.


"Oh, terus? Lo lolos, kan? Pasti lolos dong?"

"Sayangnya sih enggak, Rin. Tadi aku nyariin nama kamu juga, kayaknya kita sama-sama nggak lolos."



Rini membelalak lalu mengecek daftar nama itu. Sebagaimana aku masih ingat jelas, alih-alih kesal atau sedih, dia hanya memonyongkan bibirnya hingga terlihat lucu, lalu kembali tersenyum sambil melihat kembali ke daftar.


"Wah iya, nggak masuk juga ternyata. Hh, ya sudahlah..."

"Iya, mau gimana lagi, c'est la vie. Kita coba lain hari ya."

"Oh iya dong, pasti. Tapi kasihan elo-nya, udah jauh-jauh ke Jakarta tapi gagal."

"Mungkin nanti aku bisa dapet yang lebih baik lagi. Who knows."

"Aamiin, AAMIIN!"



Kami tertawa kecil. Ya, memang bukan reaksi yang akan diberikan oleh aku versi 2009. Pada versi aku ini, aku sudah lebih sabar, lebih bijaksana, lebih ngemong, dan yang paling penting lagi, aku tahu bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya.


"Eh, lo kan udah jauh-jauh datang ke Jakarta, ya? Sekarang biar gak kecewa-kecewa amat, gue traktirin ya?"

"Traktir? Ke mana?

"Udah, ikut aja."

"Ke S*vel, bukan?"

"Iya, eh koq lo tahu? Koq lo tahu S*vel?"



Ah sial, kelepasan aku ngomongnya. Erik 2009 tak mungkin tahu apa itu S*vel, karena Rini 2009-lah yang memperkenalkanku pada minimarket/kafe itu.


"Oh iya, tahulah, kan aku tadi ngelihat ada S*vel pas jalan ke sini tadi."


Rini memicingkan mata, melihatku penuh kecurigaan, namun dengan bibir dimonyongkan dan pipi digembungkan, sehingga terlihat lucu.


"Lo ini, jangan-jangan lo peramal ya? Kayak Trelawney."

"Ih, ogah, masa aku kudu pake kacamata setebel nako gitu."

"Hihihi, nggak lah, ntar cakepnya ilang. Yaudah, ayo, belum pernah coba masuk, kan?"



Dengan antusiasme yang sama sebagaimana kuingat pada 2009, Rini menggamit lenganku ke S*vel, walau bedanya kali ini langkah kakiku jauh lebih santai, tidak gontai seperti dulu. Satu hal yang tidak bisa kupalsukan saat itu adalah aku tak lagi seantusias dulu saat melihat apa yang ada di sana. Ya, karena setelah tahun itu, aku jadi lebih sering lagi pergi ke S*vel saat ke Jakarta untuk kali kedua. Namun demi Rini, aku sengaja tak menunjukkannya. Kami pun mengobrol banyak hal sambil makan hotdog, snack, dan kopi serta Sl*rpee. Topik yang kami bicarakan? Persis sama seperti yang kami bicarakan pada 2009 lalu. Aku bahkan sengaja membuat mulutku belepotan, karena ingin Rini menyeka mulutku. Pendeknya, aku ingin merasakan rasa yang pertama kali muncul saat pertama "berkencan" dengan Rini. Bedanya kali ini adalah, aku lebih awas soal waktu.

Berkali-kali, aku mengamati jam pada hapeku. Tepat saat jam menunjukkan pukul 10, aku mengucapkannya dengan agak keras.


"Wah, nggak kerasa udah jam 10 aja nih!"

"Hah? Jam 10? Enggak ah, ini baru jam... Oh shit! Jam gue mati!"



Rini kemudian mengobrak-abrik tasnya. Aku tahu bahwa dia mencari hapenya untuk melihat sendiri jam berapa ini. Pada saat itulah hapenya berbunyi, dan Rini segera mengangkatnya. Sekali lagi, aku tahu siapa yang menelepon.


"Halo, Pak? // Oh, udah sampai, ya? // Bapak di gerbang RBTV? Rini lagi di S*vel nih, ama temen. // Oke, oke."


Aku tersenyum. Tidak seperti kejadian lalu di mana bapaknya Rini berada di seberang dan harus melakukan putaran yang berbahaya untuk menyeberang jalan, kali ini, pada jam 10, posisi bapaknya Rini ada di gerbang RBTV, yang notabene berada di sisi jalan yang sama dengan S*vel, sehingga untuk ke sini, bapaknya Rini tak perlu menantang bahaya.


"Eh, Erik, bokap gue udah ngejemput nih, gue pulang dulu, ya?"

"Iya, Rin, okay. Kebetulan aku ada janji lagi ama orang nih abis ini."

"Hayo, mau ketemu pacarnya ya? Dari tadi gue lihat lo rapi mbanget."



Sekali lagi Rini memonyongkan bibir sambil menggembungkan pipinya. Aku yang sudah gemas lalu mengusap kepalanya. Entah kenapa dia tak keberatan, mungkin memang, sebagaimana diriku, Rini pun sudah menyukaiku pada saat itu. Setelah itu, aku dan Rini segera berjalan keluar, tepat saat bapaknya sampai di depan kami. Aku pun menyalami bapaknya sambil memperkenalkan diriku, dan setelah mengobrol sebentar, Rini lalu memakai helm lalu naik ke motor.


"Keep in touch ya, Erik! Dadah!"


Aku hanya melambaikan tangan sambil tersenyum, menyaksikan mereka berdua menghilang pada belokan di ujung jalan. Yeah, keep in touch. Sayangnya aku tak berencana untuk itu. Hari ini aku berhasil mengubah sejarah, dan menghindarkan bapaknya Rini dari nasib yang malang. Setidaknya dengan bapaknya masih ada dan hidup, kehidupan Rini tak akan semerana sebagaimana yang kutahu. Aku terpaku sejenak, mengucapkan selamat tinggal kepadanya dengan tanpa suara. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca dan air mata pun tumpah. Erik 2009 memang belum lama mengenal Rini, tapi aku sudah mengenalnya selama 12 tahun, sehingga berat untukku melepaskannya. Namun ini adalah sesuatu yang harus kulakukan. Aku tak ingin Rini berubah sebagaimana Rini yang kukenal tahun 2021, bagaimana aku melihat perubahannya sedikit demi sedikit dengan perasaan yang amat tersiksa. Aku kemudian berdoa bahwa semoga Rini yang ini akan diberikan jalan yang lebih mudah dan lancar serta lebih bahagia daripada saat dia bersamaku.


"Selamat tinggal, Rini..."




Siang itu, aku terengah-engah setengah berlari mendatangi sebuah gedung yang berada lumayan jauh dari RBTV. Untungnya Metta sudah memberikan rute angkutan umum yang harus kulalui dengan amat jelas, namun tetap saja bagian terakhir harus dilalui dengan jalan kaki. Dalam hati aku merutuk, kenapa ojek online belum ada pada tahun ini? Namun tidak apa-apa, semua kulakukan demi Metta. Demi bagian terakhir teka-teki yang selama ini menggelayuti pikiranku. Akhirnya, setelah 12 tahun berlalu, aku menepati janji yang kubuat pada Metta, dalam cara yang amat aneh. Gedung itu masih tertutup namun penuh keramaian di depannya. Saat kulihat jam, baru jam 12, artinya acaranya belum selesai, dan Metta serta orang tuanya masih ada di dalam gedung. Aku pun duduk di sebuah tempat di sekitar halaman gedung itu sambil menarik napas. Haus sekali, andai saja di S*vel tadi aku menyempatkan membeli air minum, tapi bila begitu, maka aku tak akan bisa membeli bunga yang saat ini aku pegang...

Tepat jam 1 siang, pintu gedung pun dibuka, dan para wisudawan serta wisudawati pun berhamburan keluar dengan senyum ceria pada wajah mereka. Aku sendiri lebih pada tersenyum sinis, karena rata-rata para wisudawan di sini baru merasakan euforia lulus, dan sebagian besar di antara mereka mungkin akan kesulitan saat nanti terjun mencari lapangan pekerjaan. Aku sekali lagi memeriksa penampilanku, menyemprotkan parfum pada badan dan bajuku. Agak susah, karena botolnya kecil dan hampir habis (aku di zaman dulu tak begitu memperhatikan perkara parfum ini cuma asal semprot saja). Sudahlah, dalam hati aku berniat untuk lebih berinvestasi pada perawatan diri setelah ini. Saat itulah, walau tertutup oleh makeup glamor dan pakaian toga, aku masih bisa mengenalinya: Metta.

Aku berjalan mendekatinya perlahan-lahan, dengan bunga kusembunyikan di balik punggungku. Senyumku tersungging semakin lebar saat aku berjalan mendekatinya. Metta tampak amat cantik, apalagi dengan makeup yang minimalis namun tepat sasaran. Berkali-kali aku melihat wanita yang makeup dengan asal-asalan hingga terkesan terlalu menor, namun tidak bagi Metta. Makeup yang dipakainya seolah hanya sebagai pendukung untuk menonjolkan kecantikan alaminya. Dia tampak celingak-celinguk menengok ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang. Ada beberapa orang, mungkin temannya atau adik kelasnya, yang memberikan buket padanya, namun jelas bahwa bukan mereka yang saat ini Metta cari.

Saat aku semakin mendekat, Metta pun akhirnya menyadari kedatanganku, dan reaksi pertamanya adalah bahwa dia bingung agak pangling. Ya, karena Erik yang dia temui di mall beberapa hari yang lalu tidaklah sama dengan Erik yang ada di hadapannya sekarang. Aku sekarang terlihat lebih modis, dengan muka yang lebih bersih serta tak terlihat dekil. Teman-temannya pun tampaknya menyadari bahwa pandangan mata Metta kini mengarah padaku, sehingga mereka perlahan-lahan bergeser untuk memberiku jalan. Saat ada di hadapannya, aku sekali lagi mengagumi kecantikan Metta, yang saat itu juga membuatku lupa akan Rini. Ya, mau dilihat dari sisi mana pun, Metta memang lebih cantik daripada Rini. Bunga pun kusodorkan padanya sambil aku agak membungkuk sedikit.


"Madamoiselle..." kataku.

"E-Erik?"


Alih-alih mengambil bungaku, Metta justru maju dan langsung memelukku. Jelas reaksi ini tak kuharapkan, ya, ini sesuatu yang baru bagiku. Metta memelukku erat sekali, tak mempedulikan teman-temannya yang bertepuk tangan melihatnya. Aku pun balas memeluknya. Sesuatu yang berbeda kini kurasakan dalam diriku. Mungkinkah karena tubuh tahun 2009 ini pada saat ini masih merasakan cinta yang membara pada Metta, ataukah sebenarnya aku tak pernah berhenti mencintainya selama 12 tahun? Bahkan selagi aku menikah dengan Rini? Metta pun mengatakan sesuatu padaku, dengan lirih sehingga hanya kami berdua saja yang bisa mendengarnya.


"Kamu datang juga akhirnya, Erik. I thought I lost you..."

"Tidak, Met, kamu nggak kehilangan aku. I'm here now."

"Maafin aku ya, omongan tempo hari, kamu pasti kesel ya, ama aku?"

"Sedikit, tapi itu udah berlalu. Sayangnya aku gagal lolos tesnya, Met."

"Oh ya? Gak apa-apa, Erik, gak apa-apa. It doesn't matter to me now after thinking about it."

"So, does this means that you'll be my girlfriend?"

"Yes, yes, Erik, it's something I wanted most!"




Aku memeluk Metta dengan lebih erat lagi. Dunia pun serasa diam, dengan suara keramaian teredam bagai sebuah dengung. Hanya ada aku dan Metta, tiada yang lain pada saat itu. Aku memegang pipi Metta, mengelusnya. Ini berbeda dari Metta tahun 2021, karena masih terasa lembut alami khas gadis muda. Metta pun melihatku dengan mata nanar, seperti melihat sesuatu yang amat diinginkan namun takut untuk menggapainya. Dia menggigit bibir bawahnya yang ranum itu sejenak, saat aku semakin mendekatinya. Suara napasnya, hangat udara yang keluar dari mulutnya, bercampur dengan wangi lipstiknya bisa kurasakan saat itu, membuatku mabuk dan bergairah. Bibir kami pun bersentuhan, terasa hangat dan lembut, berpadu dengan napas lembab...


"EHHMMMM!!!"


Metta tiba-tiba langsung mendorongku begitu saja, dan langsung memasang sikap berdiri dengan manis. Aku yang masih agak terkejut bisa melihat apa sebabnya. Dua orang tampak mendekati Metta, seorang pria dan wanita paruh baya, yang kuduga adalah papa dan mama Metta. Jelas, mereka datang pada saat yang tidak tepat, dan aku tiba-tiba merinding ketakutan, seperti orang yang baru saja tertangkap basah mencuri.


"Met, temenmu yang ini nggak mau kamu kenalin ama Papa dan Mama?" tanya Papa Metta.

"Oh iya, Pa, i-ini temen Metta..." kata Metta.

"Temen apa pacar? Yang jelas dong." kata Papa Metta.

"T-tem..." kata Metta.

"Perkenalkan, Om, saya pacarnya Metta. Nama saya Erik. Erik Setiyadi."


Aku mengulurkan tanganku, yang langsung disambut oleh jabat tangan erat dari Papa Metta.


"Akhirnya Om ketemu juga ama kamu. Metta dari dulu nggak pernah bawa temen cowoknya, sampai kami ngiranya Metta kalau udah gede niat jadi Zuster. Panggil aja saya Om Darwin." kata Papa Metta, "lalu ini Tante Melly, mamanya Metta."

"Iya, Om Darwin, Tante Melly, seneng akhirnya Erik bisa ketemu."

"Atau kalau emang mau ya, panggil Papa ama Mama juga boleh."

"Ih, Papa, apaan sih, kami kan baru jadian, Pa."
protes Metta.

"Lho, ya berharap boleh dong." kata Papa Metta.

"Aamiin, Om. Doain aja semoga bisa langgeng ampe pelaminan." tukasku.

"Nah, ini yang Papa suka, langsung target tinggi ngajakin kamu ke pelaminan, bagus ini, daripada yang cuman ngajakin maen-maen doang."

"Papa!"

"Masih agak lama tapi, Pa, eh Om..."

"Heh, santai aja, panggil Papa juga gak apa-apa."

"Hehe, iya. Sayangnya mungkin masih agak lama, soalnya saya kan belum kerja juga..."

"Lho, katanya kamu ikut tes di RBTV kan? Emangnya ndak lolos?"
kata Mama Metta.

"Sayangnya belum berhasil, Ma, eh, Tante..."


Metta mencubitku yang beberapa kali salah, namun dia tampak tersipu malu.


"Santai aja, Nak Erik, panggil Mama juga nggak apa-apa." kata Mama Metta.

"Kalau soal kerjaan itu gampang, nanti Papa kasih kerjaan di kantor." jawab Papa Metta.

"Makasih banyak, Om, tapi saya mau berusaha sendiri aja, soalnya kan saya nanti bakal jadi kepala keluarga, jadi saya nggak mau ngebebanin Om ama Tante." jawabku, "Tapi makasih banget atas tawarannya, Om."

"Nah, lihat nih, Ma. Metta dari dulu nggak pernah pacaran tapi sekali pacaran mbawanya laki hebat macem gini, ini yang Papa suka. Usia masih muda aja rasa tanggung jawabnya udah tinggi."

"Ah, Om ini bisa saja, jadi malu saya."



Kulihat bahkan Metta pun tersipu malu hingga mukanya memerah.


"Erik, kamu habis ini mau ke mana?" tanya Papa Metta.

"Paling ya pulang, Om, nggak ada acara sih."

"Ikut kita ya, mampir ke rumah."

"Ah, saya takut nggangguin, Om. Ini kan hari besarnya Metta, pasti mau dirayain sama keluarga."

"Udah, kamu itu udah Om anggep keluarga sekarang, ayo ikut. I don't take no for an answer."

"B-baik, Om."



Jantungku serasa hampir copot. Penerimaan dari Papa dan Mama Metta ternyata lebih baik dari yang diharapkan, baik olehku maupun oleh Metta sendiri, yang tampaknya terkejut melihat papanya bisa langsung mengajakku ke rumahnya. Diam-diam Metta tersipu akan kemampuanku dalam menjawab pertanyaan dari papa dan mamanya itu, namun itu sebenarnya bukan masalah. Diriku yang tahun 2009 pasti akan langsung minder dan mundur bila ditanyai seperti itu, namun aku yang dari tahun 2021 sudah cukup berpengalaman soal ini, yang penting adalah kepercayaan diri dan adanya target yang jelas serta realistis, disertai pemaparan jujur mengenai risiko dan kemungkinan hambatan, lalu kontak mata serta memperhatikan gestur orang yang diajak bicara. Aku juga sudah terlatih dalam ketahanan mental sehingga tak mudah drop saat diajak bicara, untunglah kemampuan mental ini kubawa serta dari 2021, karena aku yakin ini akan berguna dalam dunia baru ini. Aku sudah bertekad bahwa selama aku di sini, aku akan membuat seorang Erik Setiyadi ini sebagai orang yang sama sekali baru. Ya, karena dalam tujuan muliaku ini, aku perlu menjadi orang yang lebih kuat.


==========

Malamnya...


"Skakmat!"


Aku bertepuk tangan setelah Papa Metta menggerakkan kudanya untuk menskak rajaku yang terhimpit di antara dua bidak dan tak bisa keluar.


"Luar biasa, Om Darwin bener-bener pemain catur yang hebat! Saya jujur kalah kelas ini."

"Apaan, tadi game pertama kamu menang."

"Beginner's luck, Om."

"Nggak ada luck di sini, teknikmu beneran bagus. Susah Om buat cari lawan yang sehebat kamu."

"Ah, Om Darwin terlalu memuji. Saya lho, nggak ada apa-apanya ini, cuman bisa ngasih perlawanan doang."

"Kalau perlawananmu aja kayak gitu, Om bisa yakin tinggal masalah waktu aja kamu buat menang. Cuman kalau boleh kasih saran, kamu kalau maen kudu ati-ati, soalnya kamu walau di awal-awal maenmu rapi, tapi kalau situasi tiba-tiba berubah di tengah, kamu cenderung jadi kacau."

"Oh iya, Om. Makasih atas sarannya."

"Inget itu, bukan cuman di catur aja, tapi juga dalam kehidupan, karena walau kita mengawali dengan baik, tapi di tengah-tengah bisa aja muncul hal yang tidak terduka, jadi kita harus fleksibel menghadapinya, persiapkan segala sesuatunya dengan baik dan cermat, kalau nggak bisa-bisa kita sendiri yang hancur."

"Siap, Om Darwin. Makasih atas petuahnya."



Papa Metta mengangguk-angguk sambil meneguk minumannya, kemudian melihat ke arah jam.


"Yah, udah jam 11 lebih, Rik. Asyik juga kita maen catur ini ampe lupa waktu."

"Iya, Om, kalau gitu saya pulang dulu, biar Om Darwin bisa istirahat."

"Heh, mau ke mana kamu malem-malem begini? Bahaya ah kamu jalan sendirian malem-malem, sudah kamu nginep aja di sini, ya."

"Wah, tapi saya nggak enak nih kalau kudu nginep di sini."

"Nggak enak gimana? Om yang was-was kalau kamu maksain pulang, banyak kejahatan, apalagi kamu nggak gitu kenal ama Jakarta. Udah, sekarang nginep aja di sini, besok pagi habis sarapan baru kamu pulang, oke?"

"Ya, baik, Om."

"Metta mana tadi, Met! Metta!"



Tak berapa lama, Metta pun masuk ke ruangan tempat kami bermain catur.


"Ya, Pa? Erik udah mau balik ya?"

"Mau balik apanya, malem-malem gini? Tolong siapin kamar di atas, Erik nginep di sini malem ini."

"Nginep, Pa?"

"Iya, bahaya kalau dia pulang malem-malem. Udah, siapin kamarnya sekarang, biar Erik bisa istirahat. Nak Erik, kamu ikut Metta ya ke kamarmu."



Aku mengangguk, kemudian mohon diri pada Papa Metta sebelum mengikuti Metta melewati koridor rumahnya. In case if you wonder, jadi setelah Papa Metta mengajakku untuk ikut, pertama kami makan bersama di sebuah restoran Tionghoa yang sepertinya eksklusif dan mahal. Kemudian kami mampir ke studio foto untuk mengambil foto wisuda Metta, di mana Papa Metta bersikeras supaya aku ikut berfoto, ada beberapa fotoku berdua berpose dengan Metta, hampir seperti foto pre-wedding. Lalu kami pulang ke rumah Metta, karena Papa Metta mengajakku makan malam dan bermain catur hingga malam. Sepanjang hari itu aku bermain tarik ulur dengan Papa Metta, melihat bagaimana reaksinya terhadapku, namun dari pengamatanku, kurasa Papa Metta cukup menyukaiku. Kami berbicara banyak hal yang rupanya lumayan menyambung, bahkan aku memberikan dia beberapa saran investasi atas beberapa perusahaan tertentu yang aku tahu akan melesat beberapa tahun ke depan. Yah, ini curang sebenarnya, karena memang aku dari masa depan, jadi aku tahu akan seperti apa nantinya.

Rumah Metta sendiri, seperti kuduga, cukup besar, namun tentu saja bukan seperti puri. Lebih mirip rumah besar bergaya klasik mediterania, dengan dua tingkat, dipenuhi oleh barang-barang antik dan mahal, namun tak terkesan kepenuhan. Dari ruangan baca di lantai satu tempat kami bermain hingga ke kamarku di lantai dua, setidaknya ada jarak yang cukup lumayan, bila dibandingkan dengan rumah ukuran standar. Tak ada banyak orang di sini, hanya Metta dengan papa dan mamanya, seorang sopir, dan dua pembantu yang tinggal di bangunan annexe, serta jarang ke rumah utama setelah makan malam, juga tak ada kolam renang sebagaimana sering kulihat di rumah-rumah sinetron, hanya pendopo pada kebun yang tertata rapi.


"Maaf ya, Erik, jadinya kamu kemalaman deh."

"Nggak apa-apa, paling enggak aku diizinin nginep di sini, jadi gak perlu pulang malem-malem gini."



Metta kemudian membuka kunci dari sebuah kamar yang cukup besar, apabila dibandingkan dengan kamarku sendiri di rumah, bahkan dilengkapi dengan kamar mandi dalam, membuatku teringat seperti kamar hotel. Bila dibandingkan dengan kosan Ci Lily, ini bisa dibagi jadi empat kamar lagi kalau boleh jujur.


"Kalau perlu apa-apa, kamu bilang aja, ya, Erik."

"Hmm, kalau aku perlunya kamu gimana?"

"Ih, apaan sih, nggombal deh, kamu."

"Kenapa? Bukannya kamu suka?"



Aku mendekati Metta yang berdiri di ambang pintu. Metta tampak agak gelisah, sambil celingak-celinguk, mungkin takut akan ada orang. Tanpa berbicara, aku kembali memegang pipi Metta, lalu mendekatkannya ke wajahku. Mata Metta menutup, kali ini tak ada siapa-siapa yang akan menghentikan kami. Tak ada orang di sini, dan kalau pun ada orang mendekat, kami pasti akan mendengar suara langkahnya di koridor yang sepi. Kembali kurasakan hangat napasnya, pipinya yang merah merona, lalu bibir kami pun saling bersentuhan. Aku melumat bibir Metta dengan lembut, dari bahunya yang gemetaran, aku bisa menduga bahwa mungkin ini ciuman pertama yang dia dapat dari seorang pria. Secara teknis ini juga merupakan ciuman pertama bagi aku versi 2009, namun datang dari masa depan, itu membuatku cukup berpengalaman untuk bisa mengatur tempo. Suara kecipak mulut kami yang beradu pun terdengar bergaung kecil di dinding koridor, namun kami tak berhenti. Metta mulai merangkulkan tangannya pada bahuku, dan menahannya. Tidak, aku tidak menggunakan lidahku, kami hanya berciuman dan saling melumat bibir saja, ciuman yang hangat dan romantis, yang akan dia kenang selamanya sebagai sebuah ciuman pertama.


"SMACK!!"


Kedua bibir kami terlepas, dan kulihat Metta terengah-engah. Ini pastilah pengalaman yang baru baginya, sesuatu yang mungkin selama ini hanya dia saksikan atau dengar ceritanya saja. Mukanya merona merah bagaikan buah persik yang matang, dan suara detak jantungnya yang halus terasa kencang memburu pada koridor sepi ini. Aku melangkah mundur sambil tak memutus kontak mata.


"Good night, Love." kataku.


Saat aku membalikkan badan, tiba-tiba badanku serasa ditubruk dari belakang. Metta langsung merangsek masuk ke dalam kamarku dan memelukku dari belakang, bisa kurasakan dadanya menekan pada punggungku, dan detak jantungnya yang semakin berdegup kencang bersama embusan napas birahi. Aku tidak langsung bergerak, hanya berusaha merasakan ritme tubuh Metta. Jantungnya semakin kencang berdetak, dan napasnya pun semakin berat, pertanda birahinya semakin memuncak, namun dia belum memberi isyarat untuk melanjutkan hingga...


"Erik, have me for tonight... Hhh... Please..."


Mendengarnya berkata begitu, aku langsung berbalik, dan Metta langsung mengambil inisiatif memagut bibirku. Suara tarikan napasnya terdengar bersamaan dengan desahannya pada nada yang polos, dan aku kini tak lagi menahan diri. Kubuka mulutku lebar-lebar untuk mencaplok mulutnya, sambil aku mengelus punggungnya. Metta hanya mencengkeram erat pundakku, sambil berusaha mengimbangi tempo ciumanku. Lidahku kujulurkan dan langsung mengait lidah Metta, aku yakin dia merasa aneh, namun meski napsu sudah di ubun-ubun, aku tetap bermain sesabar dan setenang mungkin.

Bibir kami terlepas kembali, dan kulihat wajah Metta semakin memerah. Bulir-bulir keringat tampak mengalir dari lehernya, membuat leher jenjangnya tampak mengkilap di bawah lampu kamar. Lidah Metta agak sedikit terjulur, hingga ujungnya mengintip dari celah bibirnya. Aku menurunkan tanganku dari punggung ke belakang pinggangnya, mirip seperti orang yang ingin menari Tango. Pelan-pelan kutuntun dia mundur hingga...


"KLIK!"


Pintu kamar pun tertutup, dan kini hanya ada aku dan Metta di kamar ini. Aku segera mendorong Metta hingga punggungnya menyandar pada pintu. Lalu segera kupagut lagi bibirnya sambil lidahku menjelajahi relung mulutnya, menggoda lidahnya yang mungil untuk beradu.


"Hmmphh... Isshhh... Hhgghh... Aahhh..."


Kecipak di mulut kami semakin terdengar liar disertai desahan tertahan dari Metta, yang sesekali kubantu dengan desahanku sendiri. Tanpa melepas mulut Metta, aku segera melepas kemeja yang tak kukancingkan. Tindakan ini lalu memicu Metta untuk membantu melepas kausku, memisahkan bibir untuk sejenak saat kaus itu meluncur melewati kepalaku dan terbang entah ke mana. Kini aku bisa merasakan sentuhan langsung Metta pada kulit telanjangku, kukunya yang panjang dan lentik terasa saat dijalankan menjelajahi punggung dan juga dadaku. Halus, telapak tangannya jauh lebih halus daripada Metta tahun 2021.

Tanpa lama-lama, aku pun mengangkat dan melolosi kaus yang dipakai oleh Metta, hingga memperlihatkan beha warna turquoise yang dipakainya di atas bongkahan putih mulus berukuran 36B, dihiasi beberapa tahi lalat mungkin yang memang ada di berbagai tempat pada tubuh putihnya. Aku tidak menghentikan seranganku, dari mulut, lalu bergerak ke arah lehernya yang kuciumi dengan liar sambil tetap berhati-hati untuk tidak meninggalkan bekas. Hotpants yang dia kenakan pun dengan cepat bisa kulolosi, sambil kaki jenjang Metta digerakkan untuk membantu melepasnya. Saat kuremas teteknya yang ranum itu, barulah dia sadar bahwa dia kini sudah setengah telanjang dihadapanku. Segera tubuhnya dikatupkan, berusaha untuk menutupi keindahan yang kini terpampang.


"Erik, aku malu..."

"Jangan panggil Erik dong, Sayang, kan kita udah resmi pacaran."

"Lalu manggilnya apa?"

"Mas Erik."

"Idih, kan aku bukan orang Jawa, gimana kalau aku panggil Bebeb aja?"

"Ya, boleh."



Aku kemudian mengecup bibir dan keningnya, sambil dia masih mengatupkan diri. Aku tak ingin berusaha untuk memaksa membukanya, karena lebih baik dia sendiri yang melakukannya untukku. Aku hanya menuntunnya untuk duduk di ranjang, dan Metta pun entah bagaimana menurut saja saat kududukkan di sana.

Kemudian, aku membuka celanaku, memperlihatkan celana dalamku yang kini sudah menggembung. Metta langsung saja terpaku melihat pemandangan itu.


"Gede nggak?"


Metta tidak menjawab, hanya mengangguk. Aku bergerak mendekatinya dan pandangannya hanya terpaku pada benjolan di celana dalamku. Setelah dekat, aku pun meraih lengannya dan kuletakkan telapaknya pada benjolan itu. Dia agak berjengkit saat pertama memegangnya, namun kutahan agar tidak menarik tangannya.


"Jangan dikakuin gitu tangannya, Sayang."

"Terus gimana, Beb?"

"Relaks, ikutin aja, oke?"



Aku menggerak-gerakkan tangannya yang masih kaku sepanjang benjolan itu, dan itu membuatnya tambah keras, hingga menarik ujung celana dalamnya untuk membuka dan menyembulkan ujung kontolku dari sana.


"Nggak mau ah, serem!"

"Nggak apa-apa, nggak bakal nggigit koq, tenang aja, kenalan dulu, oke, ntar bakal kebiasa."

"Kenalan gimana? Dielus nih?"

"Iya, dielus aja dulu. Pelan-pelan."



Kali ini giliran Metta yang mengelus sendiri benjolan itu. Awalnya dia hanya mengelus yang tertutup oleh kain celana dalam, namun lama-lama bagian yang menonjol keluar pun dia sentuh juga.


"Lucu, ada yang keras, ada yang lembut..."

"Iyaah... Issh... Aahh... ADAOW!!"

"Ups, sorry..."



Metta mencoba menahan tawa gelinya. Dia baru saja mencubit bagian kepala kontolku saking gemasnya, yang membuatku berteriak, karena kukunya tertancap saat mencubit.


"Hmm, mulai nakal kamu ya. Gantian nih, aku cubit susumu!!"


Aku langsung saja menubruk Metta dan meremas serta mencubit susunya yang dari tadi sudah tampak menggoda. Metta berteriak-teriak kegelian, dan akhirnya jatuh terbaring di ranjang. Aku langsung memegangi lengannya agar terbuka, dan dia pun diam, sambil menatapku. Dadanya turun naik dengan napas yang berat, dan pandangan matanya mulai nanar. Dia menunggu apa yang akan aku lakukan selanjutnya, dan saatnya mengambil inisiatif.


"Aaaahhhh..."


Metta mendesah saat tanganku menyelusup ke dalam beha turquoise-nya kemudian meremas susu sebelah kirinya pelan. Jariku memainkan benjolan yang kukenali sebagai pentilnya. Berbeda dengan tahun 2021 di mana pentilnya terasa menonjol, di sini pentil Metta terasa bagai sebuah garis mungil. Namun itu bukan masalah, karena Metta terus mendesah saat kumainkan pentil itu.

Tanpa buang waktu, aku menurunkan behanya, sehingga terlihat bentuk pentilnya yang sebenarnya. Warna magenta cerah dengan pentil yang menyusup membentuk garis kecil, pada areola yang mungil mulus tanpa ada gerinjal sama sekali, di antara padang putih mulus yang sedikit memperlihatkan urat hijau kebiruan dan beberapa tahi lalat kecil. Sumpah, ini adalah susu paling indah yang pernah kulihat. Bahkan Rini di saat malam pertamanya, atau Metta tahun 2021 pun tak seindah ini. Kulihat Metta menutup mata sambil memalingkan wajah dan menggigit bibir bawahnya, entah karena malu atau birahi, atau gabungan dari keduanya, karena kini untuk pertama kalinya tubuhnya terpapar di hadapan seorang pria dewasa, yaitu aku.

Sekali lagi kucium dia, kali ini pada area tulang belikatnya, menjelajahi bagian atas dadanya, atau pada kaki bukit payudara. Dia menggelinjang sambil mendesah. Tangannya berusaha untuk memberontak atau menjauhkanku, namun antara tidak kuat atau setengah hati. Kakinya bergerak-gerak, mungkin karena rasa geli akibat ciuman-ciumanku, dan terasa mulus saat bergesekan dengan pangkal pahaku.


"Aaahh... Erikh... Geli... Aaaahhh... Sudah, Bebeb... Aaahhh... KYAAAA!!"


Dan, hupla! Tiba-tiba saja dia terkejut saat behanya kutarik lepas dan kulemparkan entah ke mana. Waktu 10 tahun adalah saat yang cukup bagiku, untuk mempertajam skill melepas beha, yang kupraktekkan pada hari ini. Metta berusaha untuk menutupi susunya yang kini telanjang itu namun aku dengan sigap menahan tangannya agar tetap terbuka.


"Beeeb... Aku maluuuu..."


Namun di mataku, Metta terlihat amat seksi, menggeliat, memejamkan mata, dengan hanya CD sebagai satu-satunya kain penutup pada tubuhnya. Nafasnya semakin berat, dan pergelangan tangannya kurasakan berdenyut, pertanda darahnya mengalir semakin cepat.


"Punya susu bagus gini koq malu sih, Met?"

"Iih, maluu Beb... Ini jelek, kempes gini... Udaah aah, Beeeb!"



Nada penolakannya yang manja malah semakin membuatku bersemangat. Kurasakan kontolku semakin mengeras hingga hampir dengan sendirinya membuka CD-ku, dan aku yakin Metta melihatnya. Namun itu nanti dulu, aku ingin berfokus dulu pada pentil imut yang masih malu-malu bersembunyi ini. Pelan-pelan kudekati dan kusembur dengan udara yang kudenguskan dari hidungku. Metta bergidik sejenak, dia berusaha memberontak, namun tangan dan kakinya sudah aku kunci sehingga dia tak bisa apa-apa. Perlahan kukeluarkan lidahku, hanya beberapa mili saja, lalu kusentuhkan ke bagian areolanya yang nyungsep, mengusapkannya berputar hingga basah. Metta menggelinjang mungkin karena kegelian menerima serangan lidahku, namun tidak bisa apa-apa. Setelah itu, dengan bibirku, kucucup areolanya, dengan dibantu tekanan serta usapan dari lidahku, dan... Plop! Pentil mungil yang malu-malu itu pun muncul mengeras, yang bahkan membuat Metta takjub.


"Ih gila, Beb, koq bisa keluar gitu?"

"Baru ketemu pawangnya, makanya baru keluar."

"Beb, jangan ngomong aneh-aneh, ah, aku malu..."

"Emang belum pernah liat keluar?"



Metta menggeleng.


"Pernah aku coba cubit-cubit nggak keluar juga, makanya ini baru... AAWWW!!"


Aku tersenyum. Kali ini giliran puting nyungsep Metta yang satunya yang kumainkan dengan jariku. Kuputar-putar seperti orang yang tengah mencari sinyal di radio, lalu kucubit-cubit, dari lingkar luar areola menuju ke dalam, sambil lidahku satunya memainkan pentilnya yang sudah mengeras supaya tidak masuk lagi. Dan akhirnya pentil yang satunya pun malu-malu keluar, meski hanya ujungnya saja. Baru ketika aku mengisap kuat susu itu, pentilnya bisa berdiri tegak mengeras, diiringi erangan Metta. Kurasakan Metta terengah-engah, karena dia beberapa kali menahan napasnya, dan peluh pun mulai keluar pada beberapa bagian tubuhnya. Sejenak tergoda aku untuk merasakan bagian ketiaknya, namun sebaiknya kutahan dulu. Ini pengalaman pertama Metta, jangan lakukan yang terlalu aneh.

Kedua susunya kemudian kuremas hingga bagian areolanya menyembul di sela-sela ibu jariku, lalu kuhisap bergantian sambil bibir dan lidahku bermain-main dengan putingnya. Tanganku meremas-remas kedua susunya sesuai dengan tempo dari mulut dan lidahku, lalu berubah dengan saat mulutku bermain di satu susu, tanganku memainkan susu satunya dengan tempo dan gerakan yang serupa. Badan Metta kutahan dengan menindihkan badanku, sehingga kedua kulit kami saling bersentuhan, dan karena kepala kontolku sudah lebih dulu menyembul, maka aku bisa merasakannya bergesekan dengan celana dalam satin Metta.

Dalam kondisi trance itu, aku beralih menciumi seluruh bagian susunya, termasuk pangkal bagian bawahnya, lalu turun hingga ke pusar, bermain-main sebentar di pusarnya yang bersih itu, baru kemudian turun ke bagian atas CD-nya.


"Eh, Beb, jangan ke situ, itu..."


Terlambat, dengan cepat CD Metta sudah berhasil kulolosi hingga Metta kini benar-benar telanjang bulat di depanku bagai bayi baru lahir. Secara refleks Metta mengerutkan posisi pada sikap fetal untuk menutupi bagian-bagian vital tubuhnya, walau ini hal yang sia-sia, karena sebagian besar keindahan tubuhnya masih cukup untuk kunikmati. Kubiarkan dulu dia bernafas, namun dalam jarak yang amat dekat darinya. Perlahan-lahan, kupaksa dia melihat saat kulepaskan CD-ku, dan membebaskan kontolku untuk berdiri tegak. Pemandangan kontolku yang memantul keluar dari sarangnya membuat Metta tampak takjub.


"Pegang, Met."


Metta menggeleng.


"Pegang."


Aku sedikit memaksa meletakkan tangannya pada kontolku, dan dia masih melakukannya dengan takut-takut. Jari-jarinya dilingkarkan pada kontolku seperti ingin menggenggam, namun masih ragu-ragu untuk bersentuhan. Kubiarkan saja sambil kugerak-gerakkan otot kegelku sehingga kontolku bergerak naik turun, dan mau tak mau bersentuhan dengan tangannya. Barulah kemudian tangannya mulai merapat dan mencengkeram kontolku. Berbeda dengan pada 2021, kali ini tangan Metta terasa dingin, mungkin karena dia gugup.


"Ih, keras, Beb."

"Belum ini."

"Hah?? Masa?? Bisa lebih keras lagi?"

"Bisa lah, coba pegangnya yang bener."

"Gini?"



Metta menggenggam kontolku dengan mantap, dan kali ini terasa jauh lebih baik. Karena belum keras sepenuhnya, jadi tangan Metta masih bisa menggenggam sedikit lebih dalam.


"Eh? Iya, Beb. Gerak-gerak, kedut-kedut gitu, terus tambah keras. Eh? Koq bisa tambah keras??"

"Ya, normal lah, namanya juga dipegang ama cewek cantik, apalagi kamu yang cantiknya kayak bidadari."

"Ah, Bebeb nggombal mulu nih. Ih, tambah keras, tambah keras, uwaaaa..."



Entah saking gemasnya, Metta pun mulai memijat-mijat pelan kontolku sehingga dia bisa merasakan mulai dari agak lembek, keras, hingga menjadi amat keras. Pelan-pelan kuarahkan dia dengan cara terbaik untuk memegang dan memainkan kontolku, bagaimana caranya mengocok, dari pangkal ke ujung, kapan harus memberi tekanan, berapa tekanan yang seharusnya. Agak lama aku mengajarinya, dan selama itu dia melihatku dengan antusias sambil tangannya tak lepas dari kontolku, kadang digenggam halus, kadang ditekan-tekan, kadang dielus-elus, sehingga membuat kontolku tetap pada kekerasan maksimal. Ini jelas berbeda dengan saat pertamaku bersama Rini, di mana kami sama-sama awam sehingga main tubruk begitu saja, dan akhirnya berakhir terlalu cepat. Dengan cara ini, aku merasa kontolku bisa menjadi lebih keras daripada saat bersama Rini.


"Ih, Beb, koq lengket, apaan nih?"

"Itu cairan precum namanya, buat pelumas biar gampang masuk."

"Ih, yuuuucks... Lengket gini... Hmm, bau gak ya?"



Aku terkejut karena tiba-tiba saja Metta mendekatkan wajahnya ke kontolku dan mengendus kepalanya yang dipenuhi precum.


"Bau?"

"Enggak, kayak air."

"Air?"

"Iya, air ledeng di kolam renang gitu."

"Kaporit maksudmu?"

"Enggak tahu, nih cobain..."



Aku langsung mundur karena tiba-tiba Metta menempelkan jarinya yang belepotan precum pada hidungku. Dia tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku.


"Jorok ih!"

"Jorok kenapa? Kan keluar dari penis kamu sendiri?"

"Nyebutnya jangan penis dong."

"Terus apa?"

"Kontol."

"Ih, Bebeb jorok!"
katanya sambil memukulku pelan.

"Ayo coba bilang."

"Mmm, gak mau ah..."

"Ayo, kon..."

"Kon..."

"Tol..."

"Tol."

"Bagus, ini apa, Metta?"

"Kontol... Ihhh maluuu..."



Metta menutup mukanya sambil tertawa, namun kemudian dia kembali memfokuskan pandangan pada kontolku.


"Ih, kontolnya Bebeb mengkerut... Jadi lucu..."

"Ini karena pegangannya kamu lepas. Coba dipegang lagi."

"Hihihi..."



Metta lalu kembali memegang kontolku sambil dielus dari bawah ke atas bolak-balik. Sembari melakukan apa yang tadi kukerjakan, dia terus tak melepaskan pandangan dari kontolku, seolah kini telah menemukan mainan yang baru, yang bisa dia mainkan sesukanya. Gantian aku yang terpejam, karena kuakui, tanpa mengajarinya lagi, aku bisa lebih menikmati kocokan Metta.


"Koq nggak ngedesah?" tanya Metta.

"Heh?"

"Desah dong, kan dulu pas telepon kamu ngedesah."

"Oke... Ssshhh... Aaaahh... Aaahhh... Yes, enak banget ini, Met."

"Hihihi, deep voice-nya mana?"

"Aaaahh... Yessshhh... Terussshhhh... Harder..."



Kocokan Metta pun terasa semakin dipercepat, lalu dari yang tadinya kocokan kering, tiba-tiba berubah menjadi lengket, licin, dan basah, pertanda cairan precum-ku kembali keluar. Dia melambatkan kocokannya, namun meremas lebih keras, seolah ingin memeras precum sebanyak-banyaknya. Aku merasa seperti melayang...


"HEEGH..."


Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang familiar. Kepala kontolku terasa basah dan hangat, lalu secara mendadak seperti sengatan listrik di sepanjang bagian dalam batang kontolku, menjalar di pangkal pinggul, disertai suara kecipak.

Kubuka mataku, dan Metta melirik ke arahku, mulutnya monyong dengan kepala kontolku menempel di sana, seolah tengah mengenyot sebuah sedotan daging raksasa. Dia kemudian melepasnya dan tersenyum lebar.


"Aku pernah diceritain ama temenku... Hihihi. Makanya penasaran pengen nyoba gimana rasanya nyepong. Enak gak?"

"E-enaaaak..."

"Iyakah? Pantes aja katanya cowonya dia suka banget disepongin."

"Te-terus temenmu bilang apa lagi?"

"Katanya, cowoknya juga suka kalau diginiin..."



Aku menahan nafas, karena Metta langsung menciumi, memagut, sambil menjilati seluruh batang kontolku. Awalnya dari atas, tapi lama-lama semakin bergerak ke bawah, dan aku berkelojotan keenakan, apalagi saat melakukannya, dia menyentuhkan batang kontolku pada pipinya yang lembut. Hingga akhirnya pagutannya sampai pada kulit di antara kedua bijiku.


"Eh, udah, kotor lho..."

"Mm, nggak koq, nggak kotor. Ih, padahal Bebeb belum mandi sore kan ya?"

"Iyaa, atasnya aja deh, takutnya yang bawah bau."



Namun bukannya menurut, Metta malah mengendusi bagian kantung zakarku, amat dekat hingga bibirnya menempel pada kantungnya, dan bagian batang kontolku yang lain menjelajahi wajah manisnya. Sensasinya, boleh dibilang tak bisa dilukiskan. Rini memang sering menyepongku, namun hanya terbatas pada batang kontolku saja, baru Metta yang melakukannya hingga ke kantung zakarku. Tiba-tiba aku merasakan deja vu karena ini hampir persis seperti yang dilakukan oleh Metta tahun 2021.


"Enggak koq, nggak bau, menurut aku enak malahan."

"Enak?"

"Iya, strong strong gitu, bingung ngomongnya, kayak, hmm, cowok banget..."

"Eh udah, jangan ke bawah-bawah... AAAH!!"

"Ih, apaan nih asem banget, hueeeekkk..."

"Lagian ngapain juga kamu njilatin bool aku, Sayang??"

"Ooh, itu bool ya?"

"You think??"



Memang tadi entah disengaja entah tidak, Metta terus saja menjilati kantung zakarku hingga turun ke perineum dan akhirnya menyapu bagian boolku yang membuatku langsung tersentak.


"Ke atas lagi aja ya, Sayang, ntar kapan-kapan, kalau emang mau ke situ lagi, biar aku cuci dulu biar bersih... AAAAAHHH, METTAAAA!!"

"Ih, diem dong, Beb, berisik amat sih..."



Bagaimana aku tidak berisik karena bukannya mundur, Metta malah tiba-tiba kembali menjilat bagian itu, bahkan sampai ujung lidahnya ditusukkan pada lubang boolku. Ini pertama kalinya aku diberikan rimming, karena bahkan Rini saja terlalu jijik untuk melakukannya. Rasanya sungguh luar biasa, apalagi Metta masih mengocok kontolku dengan mantap. Shit! Kalau tidak segera bertindak, bisa-bisa kalah aku, padahal Metta sendiri belum keluar.

Segera saja aku menubruk Metta, dan hupla! Sekali lagi Metta terkejut karena tahu-tahu posisinya sudah berubah, dia ada di bagian bawah, dan aku di atas dalam posisi saling terbalik, atau 69. Paha Metta kupegang dan kurenggangkan hingga terbuka maksimum dan menyibak daging yang menutupi lubang mekinya. Aku agak tertegun karena meki Metta 2009 berbeda sekali dengan Metta 2021. Tidak ada gelambir dan masih berwarna terang, tidak gelap, murni, belum tersentuh sama sekali, bahkan rambutnya saja tumbuh dengan rapi dan tidak berantakan. Saat terbuka lebar itu, terlihat seperti abalone merah muda menyala, mengirimkan bau wangi kewanitaan yang segar ke dalam hidungku.


"Bebeb! Bebeb! Kamu ngapain, sih?? Jangan ditiup gitu, geli... Bebeb!! Jangan dilihatin 'itu'-nya, aku malu!"

"Bukan 'itu', namanya meki, Metta sayang."

"Ih, Bebeb nih, jorok mulu..."

"Bilang dulu, Sayang, ini meki kamu."

"Nggak ah, maluu... Lepasin ah, Beb..."

"Bilang, nggak?"

"I-Iya, ini me-meki aku..."

"Meki kamu bagus deh, Met, lucu gini bentuknya."

"Iya, iya, udahan dong, malu akuuu..."



Aku tak menggubris penolakan manjanya yang terdengar bagai musik di telingaku. Tanganku kualihkan untuk memegangnya, menyelinap pada dagingnya dan menyentuh lembut meki Metta itu. Kurasakan dan kulihat sendiri otot pada selangkangannya berkontraksi sehingga meki dan lubang bool-nya terlihat mengembang dan mengempis. Kuusap pelan namun mantap, dengan kedua jari telunjuk dan tengah, dari atas ke bawah, tanpa mempedulikan Metta yang menggelinjang tertahan, terkunci oleh tubuhku, hingga pelan-pelan kurasakan ada sesuatu seperti kacang yang mengeras pada bagian atas bibir mekinya. Inilah yang sudah kutunggu-tunggu, lalu kufokuskan seranganku pada itilnya yang mengeras.


"Aaaahhhh... Aaaaaahhhhh... Aaaaaahhhh... Ssssshhhh... Beb... Bebeb... Beb-eeeeeeeeeeebbbbbb... Kyaaaaaaaa..."


Getaran yang kutunggu pun datang dengan cepat, tubuh Metta bergetar bagai kejang di bawah tubuhku, dan kurasakan setiap kontraksi dari ototnya sambil menghentikan usapanku. Kubiarkan dulu dia menikmati orgasmenya ini, hingga getarannya benar-benar berhenti, berganti dengan nafas yang tersengal-sengal.


"Fuck... Am I cumming?"

"Yes, Met."

"Shit... Sumpah, rasanya beda banget ama kalau colmek sendiri... Hggh!"



Tubuh Metta berkedut beberapa kali saat kuhembuskan napasku pada itilnya yang tegak memerah.


"Stop it, please... Aku... Aku nggak bisa nafas... Hggh..."

"Okay, relaks... Relaks..."



Kubiarkan dia diam dulu, hingga badai orgasmenya lepas, dan tubuhnya stabil.


"Enak, kan, tapi?"

"Iya, beda... Gila... Koq bisa sih, kamu kayak udah ahli banget?"

"Modal nonton bokep aja aku mah."



Tentu saja itu jawaban yang tidak benar.


"Kamu mau yang lebih enak lagi?"

"Heh? Gimana?"



Tanpa menunggu dia memberikan persetujuan, aku segera menjilat itilnya yang kembali nyungsep masuk pada kulupnya. Kali ini giliran lidahku yang bekerja, dan reaksi gelinjang Metta jauh lebih brutal daripada tadi. Mungkin karena tekstur lidah yang lembut, basah, dan hangat membuat skala rangsangannya berbeda. Dia berusaha menjauhkanku, tapi sia-sia, tubuhku sudah menguncinya hingga dia tak bisa apa-apa. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya berusaha meraih kontolku yang menggantung, namun dengan kakiku menahan tangannya, dia jadi hanya bisa mengangkat kepalanya hanya cukup untuk mengulum kepalanya. Sementara di bawah, suara berkecipak terdengar semakin keras, dan entah cairan dari mekinya atau ludahku, mulai mengalir ke kasur bagaikan banjir. Lama-lama kurasakan tubuhnya menegang beberapa kali, dan kulumannya pada kepala kontolku menjadi kacau, beberapa kali aku merasakan giginya agak menggigit, mungkin berusaha mencari pegangan pada kontol, dan itu sakit.

Kutarik pinggulnya hingga mendekat ke kepalaku, dan dengan begitu kepalanya otomatis tertarik ke bawah, dan segera kupercepat olah mulutku pada mekinya yang sudah amat basah, mencipratkan cairan ke mana-mana.


"Aaahh... Bebeb... A-Aku nggak kuaaat... Aaaahhh... Aku pengen pipiiiiiiiisssssss...."


Mendengar itu malah semakin kutekankan mulutku dan lidahku semakin kencang bermain pada mulut meki serta itilnya. Interval erangan Metta makin lama makin pendek dengan nada yang semakin tinggi dan tubuhnya makin menegang, hingga...


"CROOOOOTTT!!! SRRRR!!!!"


Bagaikan air mancur, cairan meki Metta pun meledak pada mukaku, memancar ke mana-mana disertai kejang yang jauh lebih kuat daripada yang pertama. Saking kuatnya hingga tubuh Metta hampir terbanting-banting, hanya dengan kekuatan kejangnya saja. Aku menepi sejenak, supaya dia punya ruang untuk melepaskan kekuatan orgasme keduanya ini, sambil kupegangi tangannya. Dia mencengkeram tanganku amat erat hingga kurasakan kukunya tertanam pada tanganku.

Metta akhirnya ambruk. Dia mengerang, persis seperti aktris JAV setelah mendapatkan orgasme besarnya. Tubuhnya mengkilap, entah karena keringat, atau cairan orgasmenya yang memang banyak sekali. Genggamannya masih kuat, tanda dia masih menahan orgasmenya, bahkan tubuhnya kembali mengejang saat kupegang pentilnya yang kini tegak sempurna. Nafasnya memburu seperti orang yang baru saja lari jarak jauh. Kuelus dan kucium dahinya untuk menenangkannya. Lalu matanya terbuka, dan dia menatapku dengan puppy-eyes-nya yang selalu membuatku berdebar-debar.


"Hey? Are you okay?"

"Fuck..."



Aku lalu berpindah di atasnya, melihat wajahnya yang masih dipenuhi oleh birahi, tampak merah merona ranum bagai persik. Segala sesuatu pada Metta kini tampak begitu indah dan menggoda. Tubuh murninya yang putih, mengkilat oleh cairan, naik turun saat dia mengambil napas, dihiasi oleh tahi lalat mungil di beberapa sudut yang bagai sentuhan kesempurnaan. Susunya yang tampak halus, lembut dan nyaman, dengan pucuk yang memerah keras menantang langit, lehernya yang jenjang berkedut saat dia mengambil nafas dan menelan ludah. Lalu wajahnya, matanya yang sendu, bibirnya memerah sedikit membuka dan mengeluarkan lenguhan nafas yang seksi dan indah. Namun pandanganku tertuju pada mekinya yang indah, merekah di antara kaki jenjangnya yang terbuka.

Metta lalu mengulurkan tangannya dan mengelus pipi serta wajahku, seolah berusaha untuk merasakan semuanya, sambil menatapnya dalam-dalam. Tadinya kukira dia akan menciumku, namun ternyata tidak, dia hanya ingin menjelajahi wajahku dengan tangannya yang lembut. Kucium telapaknya saat lewat di depan mulutku, lalu kubuka dan kukulum ibu jarinya, seperti anak kecil yang mengisap jempol. Metta tampak tertawa saat aku melakukannya. Dia kemudian mengeluarkan tangannya dari mulutku, lalu mengambil tanganku, lalu ibu jariku dimasukkannya ke dalam mulutnya. Astaga, rasa pijatan lidahnya pada ujung ibu jariku jelas berbeda dan tak bisa kugambarkan, yang pasti kontolku kini mengangguk-angguk, semakin menegang. Ini pertama kalinya kontolku bisa mencapai kondisi ini tanpa ada stimulasi sentuhan dari luar secara langsung.

Aku langsung turun dan mencium bibir Metta, dengan ciuman dalam yang romantis namun amat bernafsu. Lidah kami bermain-main di gua raksasa pertemuan dari mulut kami, sambil bibir kami saling memagut. Kali ini Metta sudah bisa membalas olah lidahku meski belum mencapai tingkat yang dia tunjukkan pada 2021. Entah berapa lama kami bermain lidah, sementara tanganku pun aktif memainkan kedua susu Metta, dan tangan Metta menjelajah dada dan punggungku. Kami saling menjelajahi tubuh kami masing-masing dengan tangan kami, saling menyentuh, menempelkan kulit pada kulit, dengan desahan-desahan dan lenguhan-lenguhan yang menggairahkan, dalam tempo yang benar-benar kami atur. Dalam eksplorasi seksual ini, kontolku beberapa kali mengetuk dan bergesekan dengan mulut mekinya Metta yang basah. Makin lama, kepala kontolku semakin menyelusup ke dalam lipatan daging itu dan mengenai lubang Metta, yang membuatnya menarik nafas panjang dan menatapku.


"Maaf, kayaknya keselip masuk, aku..."

"Nggak apa-apa, masukin aja."

"Met, tapi kamu masih..."



Metta hanya mengangguk sambil menggigit bibirnya. Sejenak kulihat ada binar ketakutan pada matanya, karena ini merupakan keputusan yang luar biasa besar bagi wanita mana pun, setidaknya begitulah yang kurasakan. Tangannya yang berada pada bahuku agak gemetaran dan beringsut, namun kemudian mencengkeram bahuku, menunjukkan sebuah kebulatan tekad.


"Aku persembahin ini buat kamu, Erik... Please, have me tonight, let me be a woman..."


Aku mengangguk, lalu kupegang kontolku, yang kepalanya berada di ambang pintu lubang meki Metta, menggesek-gesekkannya sebentar hingga terasa becek dan mengeras sempurna, lalu kuposisikan tepat pada lubangnya. Kudorong masuk sedikit, dan Metta langsung menarik nafas lalu menahannya, tangannya mencengkeram bahuku lebih keras. Kepala kontol ini kini membentur semacam penghalang yang terasa bagaikan pintu. Aku menarik nafas pelan-pelan, secara tak langsung meminta Metta mengikuti pola nafasku. Kutarik sedikit kontolku, lalu dengan kekuatan lebih besar kusodokkan lebih jauh...


"Iiiiieeeeeeeeee!!! Erik, sakiiiit..."


Kurasakan pintu itu mulai terbuka mengizinkan sedikit ujung kepala kontolku untuk masuk. Metta menarik nafas dengan tersengal-sengal, mengeluarkannya lewat mulut, sementara kukunya semakin tertanam pada bahuku. Aku mencoba merangsang pentilnya supaya dia bisa lebih relaks, bahkan menciumi kening, pipi, dan lehernya. Kurasakan gerak otot mekinya seolah ingin memaksa kontolku untuk keluar, namun kutahan. Metta pun sepertinya berusaha menahan reaksi alami untuk menjauhi sumber rasa sakit itu.

Kudorong kembali kontolku, dan sekali lagi teriakan Metta melengking, lalu dia meniup-niup mengeluarkan nafas dengan tersengal. Rasanya kini seperti kontolku tengah menembus cincin pertama, dan kini tengah diremas dengan kuat oleh otot mekinya. Rasanya seperti diremas dengan tangan, namun lebih kuat, hampir seperti dijepit. Aku mengambil dua tiga kali nafas, dan sekali lagi mendorong kontolku hingga kini setengahnya sudah masuk.


"Sakiiiiiiiiiiitttttttt..."

"Tenang, nanti tidak akan sakit lagi koq, tahan ya, Sayang."



Mata Metta terpejam dengan wajahnya terkontorsi menahan rasa sakit yang hanya bisa kubayangkan saja, karena fokusku kini adalah menuntaskan kontolku untuk masuk sepenuhnya. Kugoyang-goyangkan sejenak, supaya dia bisa agak terbiasa, sambil kuperhatikan benar ritme nafasnya. Pada saat yang tepat, kutarik pinggulku lalu kudorong dengan sekuat tenaga...


"AAAAAAAAAKKKKHHHHHH!!!!"


Teriakan Metta melengking tinggi, tangan satu semakin menancap ke bahuku hingga terasa perih, sementara tangan satunya memukul-mukul bahuku dengan keras sebagai bentuk pelampiasan rasa sakitnya. Pinggulku kini menempel pada pinggul Metta dan kontolku tertanam sempurna di dalam mekinya.


"Sakit, Erik, keluarin... Keluariiiiiinnn... Huft... Huft... Huft... Aaaaarggghh... Sakiiit..."


Kutahan semua rasa sakit itu sambil tetap kutahan kontolku tetap di dalam agar Metta terbiasa dengan rasanya. Kontolku sendiri terasa mengeras dan dipijat-pijat dengan amat kencang, bagaikan disedot-sedot untuk terus ke dalam. Huft, bahkan saat memecah perawan Rini saja rasanya tidak sesempit ini. Aku terus menenangkannya dengan ciuman dan pelukan, hingga akhirnya tekanan pada kontolku semakin melunak. Pelan-pelan kugerakkan kontolku dengan tempo lambat, supaya meki Metta bisa menyesuaikan diri dengan gerakannya.


"Aaah... Aaahh... Aaaahhh... Erik... Ughh... Bebeb... Bebeb..."


Kulihat ke bawah, dan batang kontolku dihiasi oleh warna merah darah. Ya, aku sudah mengambil keperawanan Metta pada 2009. Terus kugerakkan pinggulku, dan gerakan kontolku semakin lancar karena pelumasnya semakin banyak muncul. Cairan warna merah muda pun mulai mengalir keluar dari lubang meki Metta yang terus kugenjot dengan kontol. Aku lalu menghentikan genjotanku sebentar. Kulihat mata Metta memerah, dan air mata mengalir keluar membasahi pipinya. Aku diam, dan hanya mengusap air matanya, tanpa berkata apa-apa.


"Maafin aku, Met..."


Metta menggeleng keras.


"Kamu nggak salah. Aku yang emang ingin begini, Beb..."


Aku kemudian memeluk Metta, dan untuk beberapa saat itu, kami tak melakukan apa-apa, hanya berpelukan sementara kedua alat kelamin kami masih menyatu. Tak ada yang kuinginkan lagi malam itu selain menemani Metta untuk melalui yang mungkin merupakan malam paling penting dalam kehidupannya, malam yang tak akan dia lupakan, mungkin untuk selamanya. Metta memeluk dan menangis di bahuku, sambil aku menepuk dan mengelus punggungnya untuk menenangkannya. Aku pernah membaca bahwa meskipun atas keinginan sendiri, tetap akan ada saat seorang wanita menangis saat pertama kehilangan keperawanannya, dan inilah yang saat ini sedang dialami oleh Metta. Kuciumi kening, pipi, dan bibirnya, hingga akhirnya dia mulai tenang dan memelukku dengan lembut.


"Kamu cinta aku kan, Beb?"

"Iya, Met, aku cinta kamu..."

"Don't leave me, please?"

"I won't leave you."

"Forever and ever?"

"Forever and ever."



Kami lalu kembali berciuman dengan ganas dan bernafsu, lalu pinggulku kembali kugerakkan dan menyetubuhi Metta. Aku hilang hitungan waktu, dan sudah tak tahu lagi berapa kali Metta mengalami orgasme lagi, namun tak ada yang sebesar orgasme kedua itu. Mungkin Metta sendiri sudah lelah. Bisa dimaklumi, dalam perspektifnya, ini adalah kali pertama baginya, sementara aku sudah "berpengalaman 10 tahun" sehingga lebih bisa memimpin temponya. Tidak, kami juga tidak melakukan terlalu banyak pergantian posisi, karena ini baru yang pertama kali. Aku tak ingin menghabiskan seluruh kemampuanku hanya pada malam ini.


"Aah... Aah... Kamu masih belum keluar ya, Beb?"

"Bentar lagi, Met, kamu udah nggak kuat ya?"

"Iyaahh... Hggh... Kayaknya... hhh... bentar lagi... hhh... aku juga mau keluar..."

"Tahan, kita keluarin bareng, ya..."

"Dalem aja ya, Beb."

"Heh?? Jangan ah, ntar kamu hamil lho, di luar aja."

"Aku pengen ngerasain, Beb."

"Jangan, Met... Met!"



Aku tak bisa membantah karena kaki Metta tiba-tiba mengunci pada pinggulku. Dia bahkan menggerakkan pinggulnya lebih kencang, sehingga mulai terasa kontolku menegang dan berkedut, tanda bahwa dia siap memuntahkan lahar putihnya. Aku tentu saja panik, karena aku tahu bahwa keluar di dalam berarti adalah risiko hamil, namun Metta tetap tidak bergeming, malahan mengeratkan kuncian kakinya dan mempercepat gerakan pinggulnya. Aku yakin dia juga bisa merasakan kontraksi otot pada kontolku ini. Sial! Saat ini yang mengambil kendali sudah bukan lagi kesadaran kami, karena tubuh kami bergerak otomatis, baik dariku maupun Metta, sama-sama ingin menuntaskan hasrat birahi ini dalam sebuah ledakan orgasme besar. Suara kecipak kedua kelamin kami semakin keras, otot-otot pantatku dan Metta semakin menegang, begitu pula tubuh kami, dan akhirnya...


"AAAAAHHHHHH!!!!!"


Aku dan Metta berteriak hampir bersamaan, Metta mendekap erat badanku saat gelombang orgasme menyerbunya, membuat kontolku serasa digiling sambil diguyur cairan hangat, menimbulkan suara prot-prot-prot yang khas saat cairan itu keluar dari sela-sela kontolku yang masih menumbuk. Itu seakan memicu mekanisme pada kontolku untuk segera melepaskan muatannya, dan dengan tenaga terakhir dari otot pinggulku, aku membenamkan kontolku jauh ke dalam rahim dan menyiramnya dengan bibitku. Aku mengerang, saking hebatnya orgasmeku, tubuhku mengalami kejang seperti Metta tadi, dan Metta menahannya supaya tidak lepas, otot-otot mekinya bergerak dengan hebat seolah ingin memeras seluruh air maniku hingga habis tak bersisa.


"PLOP!!"


Kontolku akhirnya terlepas keluar dengan masih menyemburkan air mani hingga berceceran ke pinggul dan paha Metta, dan ke seprai. Kami berdua ambruk bersamaan. Itu orgasme terhebat yang pernah kualami selama ini, karena Rini tak pernah bisa membuatku bisa keluar dengan sehebat itu. Kami pun berbaring terengah-engah, lalu saat saling menatap wajah masing-masing, kami pun tertawa, meski kami tak tahu apa yang kami tertawakan. Ya, seolah kami tertawa karena telah lulus dari sesuatu yang luar biasa, mendapatkan kepuasan yang luar biasa, dan kami tertawa merayakannya, dengan lepas seolah tanpa ikatan.






Malam itu kami akhiri dengan saling berpelukan, saling menghangatkan diri dengan sentuhan tubuh masing-masing. Waktu pada jam dinding hampir menunjukkan pukul 3 pagi, tanda kami melakukannya sudah 3 jam lebih. Itu cukup luar biasa, bahkan bagiku. Saat saling berpelukan itu, tak ada sentuhan-sentuhan nakal atau pembangkitan birahi. Kami hanya mengobrol, obrolan biasa, tidak ada yang istimewa. Tidak ada janji atau rencana akan masa depan, hanya mengobrol biasa saja. Inilah yang sebenarnya aku rindukan dalam pernikahanku dengan Rini, karena sudah lama kami tak melakukan small-talk di ranjang seperti yang kulakukan dengan Metta saat ini. Walau begitu, ada satu hal yang menggelitik bagiku.


"Omong-omong, jadi temenmu itu yang ngajari kamu soal nyepong ama rimming?"

"Iya, jadi dia itu terkenal di antara cewek-cewek, sering cerita gimana rasanya pas gituan ama cowoknya. Kami yang ngedengerin rame-rame ya ketawa-ketawa aja."

"Wah, keren tuh."

"Dia juga ngasih tahu, bagian kontol mana aja kudu diapain biar enak, sambil ditunjukin."

"Wait, ditunjukin gimana? Dia nunjukin kontolnya cowoknya dia gitu ama kalian?"

"Enggak lah, kontolnya dia sendiri lah."

"Heh!?? Jadi temen kamu itu gay!!???"

"Iya, kenapa? Bebeb mau kenalan ama dia?"

"Ih, ogah! Terus ngeliatin gitu dia ngaceng gak?"

"Gak lah, temenku, Clarissa, pernah coba pegang punya dia, tapi gak mau ngaceng. Katanya dia gak bisa ngaceng kalau ama cewek, bisanya cuman kalau ama cowok. Kamu penasaran ya beb, ama dia?"

"GAK!!"

"Gak apa-apa, Beb, gak nggigit dia, paling diemut dikit."

"OGAAAHH!!!"


Next >>> New Dawn
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd