Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 19:

A Little Thing Called Closure



30 Juli 2012

ASV Agency
Ruang Rapat Direksi
10.30 WIB



Aku masuk ke dalam ruang rapat direksi di ASV dengan berpakaian serapi yang aku bisa, lengkap dengan jas dan dasi, namun dengan suasana hati yang gugup. Datang bersamaku adalah Pak Rommy, kepala GA, dan atasanku, Pak Adrian, lengkapnya Adrian Hadinata. Kami bertiga dipanggil sehubungan dengan "operasi rahasia" untuk menjebak Surya, ya, operasi yang kugagalkan sendiri akibat bersikap terburu-buru untuk menyelamatkan Rini. Gara-gara itu kami gagal mendapatkan bukti kuat untuk menghubungkan Surya dengan tindak pelecehan yang terjadi atas Rini atau beberapa anak magang. Lebih parah lagi, rekaman CCTV hanya menunjukkan ketika aku menghajar Surya, sehingga tanpa adanya suara, yang terlihat hanyalah aku menganiaya Surya tanpa alasan. Itulah yang lalu menjadi dasar diadakannya sidang kali ini. Ya, karena posisiku lumayan tinggi sehingga yang menyidangku adalah dewan direksi langsung.


"Nindy tidak datang, Pak?" tanyaku pada Pak Rommy.

"Nanti dia menyusul, katanya ada sesuatu yang kudu diurus," jawab Pak Rommy.

"Kira-kira bagaimana hasilnya, ya?"

"Hei, Erik, percayakan saja pada proses,"
kata Pak Adrian sambil menepuk pundakku, "apabila kau memang tidak bersalah, maka yakinlah bahwa kau akan dinyatakan tak bersalah pula."


Aku hanya mengangguk. Dibandingkan dengan atasanku waktu di timeline, yaitu Pak Ridwan, Pak Adrian jelas adalah seorang yang cakap dan mampu, serta relatif tak terpengaruh oleh Surya. Namun walau Pak Adrian optimis, dari raut muka Pak Rommy, aku bisa menduga bahwa situasinya mungkin cukup serius.

Setelah kami duduk, tak lama para direksi pun masuk. Masing-masing memasang muka yang serius dan kejam, dan mereka baru tersenyum ketika Surya, dengan muka masih babak belur, masuk ke ruangan dalam kapasitasnya sebagai korban. Salah satu alasan aku mengambil shift malam dua tahun lalu sebenarnya adalah untuk mencegah Surya punya posisi terlalu tinggi sehingga bisa mempengaruhi direksi. Namun tampaknya, meski situasi berbalik, Surya masih punya kharisma untuk bisa punya pengaruh ke direksi, meski lebih kecil dibandingkan pada timeline originalku. Padahal ini adalah kesempatan bagus untuk menyingkirkannya, namun apa daya, keberangasanku merusak semuanya.


Rapat dimulai dengan pemaparan segala kesalahanku, yang semuanya bisa kusangkal karena memang seolah dibuat-buat, hingga akhirnya memuncak pada peristiwa beberapa hari lalu. Bahkan rekaman CCTV dan pernyataan Pak Rommy pun tidak banyak membantu. Malahan seolah ada upaya untuk turut pula menyeret Pak Adrian dan juga Pak Rommy supaya jatuh bersamaku.

Pada saat situasi semakin kelam dan dewan direksi sudah hampir mencapai keputusan yang menguntungkan Surya, yaitu untuk memecatku dan menurunkan Pak Rommy serta Pak Adrian dari posisinya, tiba-tiba pintu menjeblak terbuka. Nindy masuk ke dalam ruangan, di belakangnya Rini mengikutinya.


"Anda terlambat, Saudari Nindy," kata Pak Ridwan yang memimpin rapat, "sidang ini sudah hampir mencapai keputusan."

"Maaf, tadi ada yang harus saya urus. Tapi rupanya Board punya kebiasaan ya, memulai dan memutuskan rapat sidang tanpa menghadirkan saksi kunci, yaitu Rini, yang jadi korban sebenarnya dalam kasus ini."

"Sepertinya itu tidak perlu, Saudari Nindy, dari rekaman CCTV saja sudah cukup membuktikan bahwa Saudara Erik telah menganiaya Saudara Surya tanpa alasan."

"Nah, betul, tapi ada tiga orang di ruangan itu pada waktu itu, kenapa tidak hadirkan semua saksi?"

"Kami sudah melihat semua bukti dan pernyataan, dan menganggap bahwa kesaksian dari Saudari Rini tidak perlu. Rini adalah anak buah dari Saudara Erik, dan setahu kami mereka amat dekat, jadi ada kecenderungan Saudari Rini akan membela Saudara Erik sehingga keterangannya akan bias."

"Oh ya? Lalu apa yang terjadi dengan azas praduga tak bersalah kalau semua keputusan sudah dibuat sebelum sidang dimulai?"



Semua orang di Board diam. Pada kali ini bahkan aku pun kagum dengan keberanian dan kefasihan Nindy berbicara di hadapan Board. Ditampar dengan fakta tak terelakkan itu bahkan semua orang pun tak berani membantah.


"Baik, karena keputusan belum dijatuhkan, aku akan memanggil satu saksi lagi dalam kejadian ini."

"Sudah kami bilang, kesaksian Saudari Rini tidak perlu untuk..."

"Bukan Rini, tapi Surya."



Semua orang, bahkan Surya sendiri terkejut saat ditunjuk oleh Nindy untuk bersaksi.


"Saya memberi kesempatan terakhir kepada Saudara Surya untuk mengatakan yang sebenarnya di hadapan kami semua hari ini."

"Mengatakan apa??"
kata Surya sambil menyengir penuh kemenangan, "fakta di CCTV sudah jelas, bahwa Erik memukuli saya tanpa alasan. Mungkin karena dia cemburu saya berada di ruangan yang sama dengan Rini. Yah, tahu sendiri kan, gimana mereka digosipkan pacaran di kantor ini."


Nindy mendengus, sepertinya ini adalah sesuatu yang sudah diduga akan terjadi meski Nindy lebih suka bila itu tak terjadi.


"Baiklah kalau begitu, karena Saudara Surya tak memberikan saya pilihan lain..."


Sebuah benda berbungkus plastik diletakkan oleh Nindy di atas meja. Semua orang tampak penasaran dengan benda apakah itu. Aku sendiri tidak, karena bila melihat warna dan bentuk serta gantungannya, itu jelas adalah hape milik Rini. Tapi apa hubungannya dengan kasus ini?


"Rini, apa ini hape kamu?"


Rini mengangguk pelan.


"Tolong dijawab dengan tegas. Apa ini hape kamu?"

"Iya, benar, ini hape saya."

"Kamu hanya punya hape satu ini saja, bukan?"

"Benar, ini satu-satunya hape saya."

"Jadi hape ini selalu kamu bawa ke mana saja, bukan?"

"Benar."

"Termasuk ke Library pada saat itu?"

"Benar."

"Library dan ruang server dilengkapi dengan jammer, jadi kenapa kamu tetap bawa hape itu, padahal tahu itu tidak berfungsi?"

"Buat merekam, Bu."



Semua langsung gempar dan berkasak-kusuk. Ya, jelas saja, karena mendokumentasikan data penting dalam bentuk foto dan video di Library adalah pelanggaran atas aturan perusahaan. Namun dengan sekali mengangkat tangan, Nindy membuat mereka semua diam.


"Kamu tahu kan kalau mendokumentasikan dengan mengambil foto atau video tanpa izin adalah pelanggaran atas aturan perusahaan?"

"Iya, Bu, tahu."

"Kalau tahu kenapa kamu tetap melakukan itu?"

"Karena aturannya secara jelas mengatakan bahwa 'dokumentasi tanpa izin dalam bentuk foto dan video adalah dilarang', tapi tidak ada kalimat yang melarang pendokumentasian berbentuk rekaman suara."

"Suara?"

"Ya, rata-rata data di Library tidak boleh dibawa keluar dan izin dokumentasi harus melalui rantai birokrasi Library yang cukup panjang. Karena itu saya membawa hape sebagai perekam suara sementara saya membaca apa yang ada di dokumen itu untuk didengarkan kembali saat lengang di rumah."

"Kenapa kamu perlu melakukan perekaman itu?"

"Ada tugas dari Pak Erik untuk memeriksa beberapa dokumen, dan lengkapnya ada di Library. Hampir tidak mungkin memeriksanya di Library, maka saya merekam ketika membaca dokumen itu. Setelah selesai dianalisa rekaman biasanya dihapus, tapi..."

"Tapi?"

"Rekaman yang ini mungkin bisa jadi bukti kejadian yang terjadi pada hari itu. Karena seperti biasa, saya menyalakan rekaman begitu masuk ke ruang Library."

"Maka dengan izin dari Board, saya akan memutar rekaman ini."



Surya tampak gelisah mendengar itu, kemudian melirik ke arah Pak Ridwan, yang langsung berdiri.


"Saya menolak rekaman itu diperdengarkan! Siapa yang bisa menjamin bahwa itu bukan sebuah rekayasa untuk menjatuhkan Saudara Surya??"

"Rekaman CCTV langsung diambil oleh Compliance begitu kasus ini muncul termasuk salinan-salinannya, sehingga kami tak bisa menyentuhnya. Bila yang dibilang oleh Saudari Rini benar, maka saat rekaman suara ini diputar, timeline-nya harusnya akan sama dengan pada rekaman CCTV. Saya meminta keduanya diputar secara bersamaan!"

"Mustahil!! Ini konspirasi!!"


"Biarkan dia memutarnya!"


Pandangan semua orang tertuju pada CEO kami, Pak Zulham, yang dari tadi tampak diam saja.


"Seperti dikatakan oleh Saudari Nindy, mari kita dengarkan semua buktinya."

"Tapi, Pak..."
protes Pak Ridwan.

"Kalau memang tidak salah kenapa takut? Lagi pula saya juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."


Semua pun diam dan kembali duduk. Kali ini Surya benar-benar gelisah dan tampak seperti dia ingin kabur dari sini, namun tidak bisa. Layar proyektor turun dari atas atap dan rekaman CCTV kembali diputar, namun kali ini Nindy turut pula memutar rekaman suara pada hape Rini dengan speaker, sehingga kini semua orang bisa mendengar apa yang sebenarnya terjadi dalam rekaman CCTV yang tadinya tanpa suara ini.


Adegan pertama menunjukkan Rini yang masuk ke dalam ruangan, lalu Surya turut terlihat di belakangnya.


"Terima kasih banyak lho, Pak, sudah dibukakan pintunya," kata Rini.

"Sama-sama, lagian kalau nggak pake aksesku kamu mau pake aksesnya siapa?" tanya Surya, "kan security clearance kamu masih rendah."

"Hehehe, ada lah, Pak."

"Punya Erik?"

"Iya, Pak."



Surya tampak manggut-manggut. Dari gerak-geriknya, dia seperti menjaga jarak dengan Rini yang sedang mempersiapkan hapenya, setelah itu Rini masuk ke dalam koridor yang tak terjangkau CCTV dan Surya berada di satu-satunya jalan masuk. Tanpa suara sepertinya Surya memang bersikap sopan pada Rini, namun setelah ada suara, konteks adegannya mendadak jadi lain.


"Gimana di timnya si Erik? Lancar?"

"Lancar, Pak. Semua berjalan dengan baik."

"Tapi kamu koq betah sih jadi anak buahnya si Erik?"

"Ya, memangnya kenapa, Pak?"

"Pindahlah ke timku, cewek secantik kamu sia-sia di timnya si Erik."

"Sia-sia maksudnya gimana, Pak?"

"Isinya kan orang-orang jelek semua, apalagi Erik, gantengan aku daripada dia."

"Umm, maaf, Pak, saya nggak berani komen soal itu."

"Apalagi katanya ada isu kamu pacaran ama Erik, apa bener itu?"

"Bener apa salah sepertinya bukan urusan Bapak, deh."

"Ya urusanku lah, kenapa kau mau sama si Erik itu. Kan katanya si Erik udah ada cewek."

"Tapi kan belum menikah, Pak."

"Aku juga belum menikah, kenapa kau tak mau pacaran sama aku saja?"

"Maaf, maksudnya gimana ya?"

"Ya aku mau kamu pacaran sama aku, nggak usah sama Erik. Pindahlah besok ke bagianku, biar kamu nggak cuman kenal ama Erik doang."




Keadaan hening sejenak, sepertinya Surya tengah menatap Rini.


"Maaf, Pak, saya mau kerja dulu di sini, permisi."

"Hei, mau ke mana kau? Obrolan kita belum selesai."

"Maaf, tapi ini sudah jam kerja, Pak. Saya memang ditugaskan Pak Erik ke sini, kalau Pak Surya ada pekerjaan juga di sini, bisa tolong minggir sebentar, Pak? Saya mau ambil alat-alat saya."



Posisi Rini memang tak terlihat, namun di sini Surya semakin maju hingga menutup jalan keluar Rini dari koridor yang tertutup lemari. Pembelaan Surya adalah bahwa pada saat itu, Rini memanggilnya karena perlu bantuan, sehingga, sebagai atasan yang baik, dia pun membantu.


"Ah, kau mulai lancang sama aku ya? Aku mau berdiri di mana dan mau ngapain itu urusan aku."

"Tapi Bapak menghalangi jalan saya kalau berdiri begitu. Apa Pak Surya nggak ada pekerjaan lain?"

"Gampang itu masalah kerjaan, itu urusan kecil, dan buat aku, nemenin cewek cantik macam kamu itu lebih penting."

"Maaf, Pak, tapi bukannya itu tidak profesional?"

"Kau sama Erik juga sering keluar, jangan ngomong soal profesional sama aku."

"Maaf, tapi saya sama Pak Erik dan seluruh tim kalau rapat memang di luar, Pak. Dan kami pun nggak akan meninggalkan kantor kecuali untuk urusan pekerjaan atau ada masalah yang penting. Tolong, Pak, ini kantor, bersikaplah profesional."

"Berani kau ya, ngajarin aku soal profesionalisme?? Heh, seluruh ASV ini nanti akan jadi kekuasaanku, ngerti kau?"

"Maaf, Pak, saya tidak paham."


"Coba, Board mana yang tak kenal ama aku? Pak Salim? Pak Jimmy? Pak Hartanto? Cs semua sama aku itu! Apalagi yang namanya Pak Ridwan, direktur HRD? Kenal kan kau? Sekali aku ngomong sama Pak Ridwan, bakal lancar karier kau di sini. Asal kau mau baik-baik sama aku. Gimana?"


Nada suara Surya di sini sudah berubah menjadi lebih flirty.


"Maaf, Pak, saya di sini buat kerja yang benar. Saya tidak mau naik jabatan hanya karena dikatrol atasan, apalagi kalau sampai ada imbalan macam begitu. Pak Erik saja nggak pernah segitunya ama saya, Pak."

"Ah, sok jual mahal kau. Erik, Erik, Erik lagi kau sebut-sebut. Bisa apa Erik sekarang? Apa Erik bisa ngatrol karier kau cuman dalam sebulan? Tidak bisa, tapi aku bisa. Aku, Surya Lesmana, dengan sekali gosok saja mulia hidup kau nanti di sini. Sudah tunduk itu para pejabat sama aku. Tapi sebaliknya, kalau kau macam-macam sama aku dan enggak nurut sama aku, bisa kubuat besok kau dipecat, simpel."



Surya lalu mulai maju.


"Maaf, jadi Bapak sekarang mau apa?"

"Kau tahu lah aku mau apa. Kau ini cantik, dari sini saja sudah kelihatan, tetek kau pasti bagus, apalagi kau punya puki, pasti aduhai. Aku mau coba lah secelup dua celup, jangan Erik terus yang kau kasih."

"Maaf, Pak. Tapi Pak Erik selalu sopan sama saya, dan saya nggak mau melayani nafsu bejat Bapak. Lebih baik saya pergi dari sini, permisi, Pak."

"Hei, mau ke mana kau? Berani ngelawan, ya??"



Surya kemudian mendorong Rini hingga keduanya tak lagi terlihat dari CCTV. Sepertinya di titik inilah aku memutuskan untuk berhenti menonton dan bertindak pada hari itu.


"Jangan, Pak! Saya nggak mau, Pak! Tolong!! Tolong!!"

"Teriak saja, teriak lah kau, tak bakal suara kau keluar dari ruangan ini, teriak yang kenceng, hayo!!"



Kemudian terdengar suara pergumulan, suara kain yang robek, lalu suara seperti pukulan atau tamparan. teriakan ketakutan dan kengerian Rini, lalu disertai isak tangis. Suara isak tangis Rini terdengar seperti nyata, hingga aku sadar bahwa pada saat ini, Rini tengah menangis di kursinya saat adegan ini diperlihatkan. Mungkin dia tak kuat dengan kenangan hari itu yang kembali. Aku hendak bangkit ketika Nindy memberi isyarat dengan tangannya agar aku tetap duduk dan diam.


"Ini baru tetek sempurna, enak, wangi, empuk lagi, apalagi pentil kau yang mengacung itu, hmm, istimewa. Sayang kali kalau Erik tak mau sama yang kayak gini. Apalagi puki kau ini, pink, mungil..."

"Matikan semuanya!"



Pak Zulham menggebrak meja dengan amat geram. Nindy buru-buru segera mematikan rekaman suara dan juga video pada CCTV. Sepertinya Pak Zulham cukup murka dengan apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pula ekspresi wajah para anggota Board yang lain pun tampak hitam merah padam, karena nama mereka baru saja disebutkan oleh Surya. Nindy langsung berjalan ke arah Rini dan memeluknya untuk menenangkannya. Kulihat Pak Zulham masih memasang wajah garang, seolah kecewa, marah, dan jijik menjadi satu.


"Saudari Nindy, sepengetahuan saya, ini bukan kasus pertama, bukan?"

"Betul, Pak Zulham, ada beberapa anak magang yang melaporkan kejadian serupa, walau tidak ada bukti yang kuat. Saya sudah menghubungi semuanya, dan mereka siap memberikan kesaksian, karena itu tadi saya terlambat."

"Berkas kesaksian itu bisa langsung diberikan di meja saya besok pagi?"

"Nanti sore pun bisa, Pak."

"Bagus, tolong berikan secepatnya, karena mau saya ajukan sebagai bahan laporan untuk ke polisi. Rekamannya ada di situ juga?"

"Iya, Pak, ada di sini."

"Bagus, saya yakin tak akan ada yang keberatan dengan keputusan ini, walau Saudara Erik melakukan tindakan kekerasan yang melanggar peraturan, namun karena dia melakukan itu untuk menyelamatkan orang lain, saya akan memberikan dispensasi untuk kali ini."

"Puji Tuhan! Terima kasih, Pak!"
katanya sambil mengusap mukaku.

"Tolong jangan dijadikan kebiasaan untuk memukuli orang ya, Saudara Erik. Berterimakasihlah pada Saudara Rini, karena rekamannya menyelamatkanmu. Soal pelanggaran aturan larangan dokumentasi, akan kita bicarakan lagi dengan Saudari Rini dan tim audit."

"Siap, saya siap bertanggung jawab,"
kata Rini.

"Saya juga bertanggung jawab, karena Rini melakukannya atas perintah dari saya," kataku.

"Tolong, Saudara Erik dan Saudari Rini, penyelidikan soal ini akan dilakukan lain hari, jadi jangan berspekulasi terlebih dahulu, karena untuk hari ini, Board punya agenda lain yang harus dilakukan, dan jujur saja untuk saat ini saya merasa malu dengan apa yang terjadi di sini."


Pak Zulham lalu menatap tajam pada semua orang di ruangan itu.


"Saudara Erik, Saudara Surya, Saudari Rini dan Saudari Nindy, tolong tinggalkan ruangan ini, karena ini adalah rapat internal darurat Board untuk membahas yang akan terjadi. Silakan keluar dari ruangan."


Aku tentu saja agak heran, namun kami bertiga (minus Surya) segera keluar dari ruangan itu. Surya sendiri tampak panik seperti orang yang kehilangan pegangan, dia melirik ke arah Pak Ridwan, yang langsung memberi isyarat agar dia segera keluar. Sepertinya semua orang yang disebut oleh Surya dalam rekaman tampak gelisah. Dalam kepanikannya, Surya yang melihat hape Rini masih tergeletak di meja, segera melompat dan mengambilnya.


"BRAAKKKK!!!"


Dengan sekali banting di lantai, hape Rini langsung hancur berantakan. Sepertinya karena situasi yang desperate sehingga tiba-tiba saja Surya melakukan itu. Bahkan dia pun tertawa-tawa.


"Sekarang tidak ada bukti!!"


Namun dengan santai, Nindy menunjukkan sebuah flashdisk USB yang dia ambil dari sakunya.


"Lo pikir gue gak bikin backup dulu, hah?? Lagian kelakuan lo kayak gini malah bikin lo tambah salah, tau gak??"

"Setan!! Kesiniin flashdisknya!!"



Surya merangsek ke arah Nindy. Aku sendiri posisinya agak jauh dan sedang memegang Rini, sehingga tak mungkin bisa mencegat Surya tepat waktu. Pada saat itulah...


"BLETAAAKKK!!!"


Dengan suara benturan keras, Surya langsung tersungkur. Rupanya Pak Adrian dengan cepat langsung melompat dan memukul Surya yang hendak menyerang Nindy. Terlihat Pak Adrian mengibas-ngibaskan tangannya yang tampak membara setelah menghantam Surya.


"Panggil security! Bawa dia keluar, cepaaat!!" perintah Pak Zulham.


Tak lama, dua orang satpam masuk ke dalam ruangan dan memapah Surya yang masih sempoyongan untuk keluar. Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Adrian, kemudian kami pun keluar, aku bersama dengan Rini dan Nindy.


"Lo harus bersyukur, anak buah lo ini pinter, sampai kepikiran rekam suara segala."


Begitu kata Nindy setelah keluar dari ruangan.


"Coba kalau enggak, gimana jadinya lo semua pada?"

"Iya, terima kasih ya, Rin, ama aku minta maaf karena malah kamu yang jadi korban."



Rini tersenyum, sepertinya dia sudah pulih dari kejadian di dalam ruangan tadi.


"Nggak apa-apa koq, Pak Erik, at least sekarang Pak Surya bakal kena balasannya."

"Coba kalau gue jadi direktur HRD, bakal gue pastiin si Surya gak akan bisa diterima kerja lagi di mana-mana,"
kata Nindy.

"Ntar bakal ada saatnya, Nin," kataku, "Oh ya, so, it's over, right?"

"Masalah Surya? Ya, kayaknya sih boleh dibilang selesai. Jelas dia bakal dipecat dari sini."

"Syukurlah, semoga ini terakhir kalinya kita bakal berurusan sama dia lagi."



Aku tersenyum dan merangkul Nindy dan Rini. Yah, akhirnya dua musuhku pun tumbang. Aku sudah hampir mencapai apa yang ingin kucapai dalam timeline ini. Tinggal satu misi lagi, juga satu lawan lagi yang harus dikalahkan. Semoga saja yang ini juga sama seperti Adam dan Surya. Hanya saja, entah kenapa perasaanku tidak enak mengenai ini.






2013

Setelah Adam dan Surya tak lagi mengganggu kami, akhirnya kami bisa menikmati kedamaian. Ya, 2013 adalah tahun yang teduh bagi kami, tak ada prahara apa pun yang terjadi sebagaimana tahun 2012 lalu. Aku masih tinggal di rumah Metta, karena Om Darwin dan Tante Melly bersikeras begitu, daripada aku harus cari kosan lagi. Aku sendiri juga senang, karena dengan begitu setiap hari aku bisa bertemu Metta, walau kalau untuk ngentot, kami selalu melakukannya di hotel, bukan ketika di rumah, meski Om Darwin dengan Tante Melly sendiri tak pernah mempermasalahkan. Karena intensitas pertemuan dan hubungan intimku dengan Metta semakin sering, maka Metta pun bisa berfokus 100 persen padaku. Tidak ada lagi cerita dengan Adam maupun dengan Adam-Adam yang lain. Ya, karena Metta bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan dariku, maka dia tak merasa perlu untuk memerlukan orang lain, apalagi pria lain.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada saat persidangan di ASV itu, setelah aku, Nindy, dan Rini meninggalkan ruangan? Yah, katakan saja bahwa Pak Zulham marah besar dengan bukti rekaman video serta audio itu. Akibat kemarahannya itu, maka Surya pun dipecat, dan dilaporkan ke polisi. Bukan hanya Surya saja, anggota Board yang dianggap mengetahui soal ini pun turut pula dipecat atau digeser posisinya dari Board. Salah satu yang dipecat adalah Pak Ridwan, yang merupakan Direktur HRD, dan posisinya untuk sementara dipegang oleh 3 orang caretaker, salah satunya adalah Nindy. Akibat kesibukan Nindy dalam membenahi HRD, aku jadi agak jarang mengobrol dengannya.

Bagaimana denganku dan Rini? Pada akhirnya kami pun diputus bersalah. Aku karena menghajar Surya, dan Rini karena melakukan perekaman di ruang library, namun hukumanku dan Rini tergolong tidak parah. Aku hanya dihukum denda ditambah pemotongan gaji hingga setahun sebesar 30 persen, sementara untuk Rini, tidak ada denda atau pemotongan gaji, namun proses promosi tahunannya akan ditangguhkan hingga setahun ke depan, ditambah Rini dilarang mendekati Library lagi. Sepertinya memang berat, namun buatku, pemotongan gaji itu bukan apa-apa, karena kini pemasukanku lebih banyak berasal dari luar ASV. Namun pastinya ini akan sedikit menghambat upayaku untuk mengumpulkan kembali uang yang habis akibat kupakai "menimpuk" Adam. Namun di luar semua akibat ini, masalahku benar-benar telah sedikit terselesaikan hingga aku bisa memasuki dan menjalani 2013 dengan lebih tenang dan segar, atau begitulah menurutku...


Juni 2013
Sebuah Rumah Makan Kawasan Jakarta Barat



"Ini buat kamu..."


Aku menggeser kotak itu pada Rini, yang masih menikmati makanannya. Kami sedang ada urusan di luar, yang seperti biasa, kami hanya berdua saja. Terkadang memang aku mengajak anggota staf lain juga, namun Rini selalu ikut, karena dia adalah asistenku yang mengatur segalanya.


"Itu apa, Rik?"

"Buka aja."



Rini menatapku dengan curiga, namun sambil tersenyum manis. Pelan-pelan dia pun membuka kertas kado yang membungkus kotak itu. Tak seperti kebanyakan orang, Rini selalu mencoba membuka kado dengan rapi sehingga kertasnya tak terlalu rusak, alih-alih disobek begitu saja. Kadang lucu saat melihatnya kesusahan mencoba mencari tepian-tepian agar kado bisa dibuka dengan tanpa kerusakan.


"Sobek aja sih."

"Tenang, Rik, selow, I got this. Cuman tinggal cari ini dan ini..."



Beberapa detik kemudian, kado itu akhirnya berhasil dibuka, dan dengan kerusakan yang minimum juga. Aku bertepuk tangan saat Rini membanggakan hal itu.


"Ini apa? Hape ya?"

"Iya, buat gantiin hape kamu yang dirusak ama si Surya."

"Waduh, nggak usah ini sebenernya, Rik, aku masih bisa pake hape yang lama, ini juga aku lagi nabung..."

"Hey, please accept this, okay? Ini rasa terima kasih aku soalnya udah ngebantuin, gak cuman pas ama Surya, tapi juga selama ini di pekerjaan."

"Ya sudah baguslah, jadi bisa buat beli yang lain. Hehehe. Makasih ya, Erik."

"I thank you, not you thank me."



Rini lalu segera membuka hape barunya itu, sebuah S*msung Galaxy Note 3. Kemudian dia memindahkan kartu SIM dan SD card dari hape sementaranya ke situ.


"How do you know I need this? Udah lama sih pengen punya Note."

"Gak tahu sih sebenernya, cuman kayaknya bagus aja. Lagian itu hape Metta yang milihin."

"Metta? Pacar kamu?"

"Iya, begitu aku bilang mau ngasih kamu hape baru buat gantiin hape lamamu yang dihancurin ama Surya, malah dia yang semangat langsung nyariin. Katanya mending sekalian yang bagus, soalnya kan kamu juga udah banyak ngebantuin aku."



Rini mengangguk-angguk saja.


"Give her my best regards ya. Pilihannya bagus, aku suka."

"Okey dokey."



Lalu sambil melakukan setting awal dan memeriksa fitur-fitur pada hape barunya, Rini berdendang dengan suara merdu yang sudah tak lagi kudengar semenjak lamaaaaaa sekali. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk mengikuti dendangannya, dan tampaknya Rini pun sadar.


"Ngapain kamu?"

"Goyang-goyang kepala aja."

"Hihihi, dasar nggak jelas."

"Kapan lagi dengerin kamu nyanyi gitu."

"Ih, apaan sih, jelek tahu."

"Enggak, merdu koq."



Rini hanya tersenyum saja dan kulihat pipinya memerah. Ya, dari dulu sampai sekarang, Rini tak pernah berkata bila dia suka sesuatu, melainkan hanya menunjukkannya dengan ekspresi muka.


"So, kapan nih kamu ama Metta bakal, you know lah, married?"

"Masih jauh, nunggu Metta selesaiin kontraknya dulu, soalnya ada klausul dilarang menikah pada masa kontrak pertama."

"Masa kontrak pertama, bukannya dia masuk KSI mulai dari 2012 ya? Artinya harusnya udah setahun, dong?"

"Diperpanjang, soalnya tahun ini Metta bakal dikirim ke Korea buat pelatihan selama setahun."

"Hah? Ke Korea? Seoul?"

"Bukan, ke Ulsan, markas utamanya KSI Group. So ya, baru bisa paling cepet tahun depan."

"Terus kapan jadinya? Tahun depan berarti?"

"Iya, sekalian pas bapaknya Metta pensiun."



Rini mengangguk-angguk.


"Kalau kamu nanya aku, I would say that you're missing a lot of windows, Rik."

"Maksudnya?"

"Kebanyakan nunggunya kamu, kalau aku jadi kamu, punya pacar kayak Metta, udah aku jadiin dari dulu-dulu. Then you don't have to worry about anything else, apalagi si Ular itu."

"Ular, maksudmu si Adam?"



Rini mengangguk. Ada tatapan geram pada matanya.


"Terlepas dari apa yang sebenernya terjadi, aku masih belum bisa maafkan si Adam, juga si Metta, karena udah selingkuh dari kamu."

"Metta hanya korban keadaan, Rin."

"Tetep saja, dia yang main api ama si Ular itu dari awal."

"Koq kamu bilangnya dia itu si Ular?"

"Adam? Aku stalking sosmed-nya, dan dia punya tato ular, kan?"



Aku mengangguk saja.


"Tapi ya, pada akhirnya, itu pilihan kamu buat maafin dia, walau aku nggak setuju."

"It's complicated."

"Yes, I know, and you haven't tell me why."

"Yeah, I owe that one."

"At least tell me something."



Aku terdiam dan meletakkan alat makanku, kemudian mengambil air minum. Rini menatapku dengan tajam seolah tak ingin aku menghindar kembali dari pertanyaannya. Aku berpikir sejenak, bila aku bisa menceritakan semuanya pada Nindy dan dr. Sara, kasusnya akan beda dengan Rini. Tak mungkin aku bilang padanya mengenai hubungan kami di timeline awal, karena itu akan membuat semuanya menjadi amat rumit.


"Let's put it this way, ada seseorang yang kamu sayangi, dan kamu tahu bahwa dia akan mengalami sebuah bencana yang amat berat. Bila kamu punya kesempatan untuk mencegahnya mendapatkan hal itu, kira-kira kamu mau lakuin nggak?"

"Maksudnya Metta?"

"Mm-hmm."

"Tapi dari mana kamu... Oh, ya ya ya. Paham aku sekarang."



Aku tentu saja terkejut mendengar reaksi dari Rini itu. Memang Rini ini pintar, namun apakah dia bisa melakukan deduksi hanya dari itu?


"Maksudnya paham?"

"Iyalah, paham. Persis kayak yang dulu pernah aku bilang. Kamu ini kayak Trelawney, kamu emang bisa ngeramal masa depan."



Segera saja aku tertawa mendengar perkataan Rini. Syukur deh, sejenak kukira dia akan menjawab bahwa aku memang berasal dari masa depan. Berhubung Rini sudah menjawab seperti itu, sebaiknya aku ikuti saja.


"Emang begitu, kadang-kadang muncul seperti itu."

"Oh ya? Aku penasaran, gimana sih? Macem mimpi gitu ya?"

"Begitulah."

"So, kamu dapet visi masa depan bahwa Metta bakal dapat masalah, jadi kamu berusaha mencegah dia kena masalah itu?"

"I can't say it better myself."

"Okay, aku tahu kamu ini istimewa, cuman aku nggak tahu ternyata kamu punya kemampuan macem gitu."

"Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya?"

"My lips are sealed."



Rini memperagakan seolah menutup bibirnya dengan retsleting.


"So, apa kamu juga bisa tahu masa depanku gimana? Aku bakal nikah ama siapa sih?"

"Hey, it doesn't work that way."

"Okay, okay, just curious."

"Lagian, nanya kamu bakal nikah ama siapa, bukannya kamu lagi pacaran ama Reyhan ya?"

"Ih, kata siapa?"

"Maksudnya?"



Saat itulah kulihat Rini seperti agak bingung seolah-olah baru mengatakan sesuatu yang tak seharusnya dikatakan.


"Maksud aku, I'd rather to keep that as a private."

"Oh, sure. It's okay."



Kami agak terdiam sejenak.


"That problem, yang bakal Metta hadapi, pasti bakal berat banget ya..."

"Why do you say so?"

"Ya, sampai kamu mau overlook perkara dia sama Adam demi itu. Can't imagine how big that would be."

"That's why I need your help."



Rini mendengus.


"If I want to help you, it's because you asked me, not because of her, inget aja itu."

"I know, and I'm grateful."



Jawabanku tampak membuat Rini agak kecewa, namun dia tetap mengangguk. Sebenarnya kalau boleh jujur, bagaimana Rini bisa membantuku sedemikian rupa, itu amat luar biasa, bahkan lebih dari luar biasa karena Rini selalu setia dalam membantuku dalam hal apa pun, di mana sebenarnya itu tak perlu dia lakukan. Namun aku tak pernah sama sekali menanyakan apa alasan Rini selalu mengikuti apa yang selalu kuperintahkan. Bukan karena aku tak peduli, hanya saja aku takut dengan jawabannya, aku takut jawaban itu akan membuatku goyah dari misiku.


"I'm curious about something."

"Apa?"

"Kamu bilang udah mbayar si Adam, tapi kamu sama sekali nggak ngambil videonya si Metta, or nggak cari tahu lagi apakah dia punya backup-nya. Kenapa nggak kamu pastiin dulu sih? Gimana coba kalau dia balik lagi?"

"Kalaupun balik lagi, aku nggak bakal khawatir, dia nggak bakal punya leverage lagi buat maksa Metta dengan cara apa pun."

"Why? Koq kamu bisa seyakin itu?"



Aku berhenti lalu melihat ke sekitar, memastikan bahwa tak ada yang tertarik dengan pembicaraan kami. Lalu aku meminta supaya Rini lebih mendekat agar aku bisa berbicara dengan lebih lirih.


"Tahu kan soal proyek Perseus?"

"Hah? Gila, itu kan proyek rahasia dari departemen kita. Program firewall raksasa buat pengamanan data secara menyeluruh."

"Plus, dalam proyek itu ada pengembangan worm yang namanya Medusa, kan?"

"Iya, si Abang cerita, dia yang bikin source code ama genetika virusnya, sebagai pertahanan kontraofensif kalau ada kasus peretasan dan pembobolan, kan? Apa namanya, MAD?"

"Iyak, Mutual Assured Destruction. Kalau ada hacker berusaha ngebobol firewall kita, Medusa yang ada pada sistem bakal langsung mengaitkan diri ke penyerang lalu menginfeksi seluruh sistem yang tersambung ke komputer si hacker. Dari sini, Medusa bisa kita program untuk mencari data-data yang dicuri, mengambil data-data terenkripsi atau tidak terenkripsi di komputer si hacker untuk kemudian kita kuasai, juga dengan perintah dari kita, Medusa bisa membekukan semua data, mengenkripsi komputer, hingga menghancurkan seluruh data pada komputer penyerang. Setelah itu bisa kita aktifkan self-destruct supaya Medusa menghancurkan diri dan tidak terlacak atau terdeteksi antivirus."

"Iya, intinya siapa pun yang menyerang kita akan berakhir hancur. Sementara kita masih aman di dalam firewall dan program recovery khusus kita."

"Tepat sekali, dan siapa pun klien ASV akan mendapat perlindungan dengan Sistem Perseus, lengkap dengan Medusa."



Saat itulah Rini tiba-tiba terhenyak.


"Rik, kamu nggak lagi mau coba bilang kalau udah naruh virus Medusa ke sistemnya si Ular itu, kan? Please, tell me you didn't do it."

"Err, gimana ya..."

"Fuck, Rik! What the hell!!??"

"Calm down, tenang..."

"Gimana aku bisa tenang!?? Kamu tahu kan apa yang terjadi kalau progenitornya sampai ketahuan ama orang lain??"

"Calm down, tenang, semua sudah terkendali... Adam itu bukan tech savvy yang bisa paham perkara ginian."

"Dari mana kamu tahu?"

"Aku sudah mastiin."

"Gimana?"

"Medusa juga berfungsi sebagai alat mata-mata, tahu? Jadi aku tahu kalau Adam panik setengah mati pas semua datanya ilang. Semua Medusa udah aku self-destruct, jadi nggak bakal kelacak, pas banget sebelum dia bawa ke tukang servis."



Rini menatapku dengan kesal.


"This is an abuse of power, you know? Mentang-mentang kamu punya kendali atas Medusa."

"Kalau ada cara lain ya aku nggak pake ini, Rin."



Sekali lagi Rini melihatku dengan pandangan mata tajam namun muka merengut yang lucu. Aku benar-benar merindukan muka merengut lucunya semasa di timeline originalku, karena pada hari-hari terakhir, mukanya saat marah menjadi amat mengerikan.


"Don't worry, aku janji gak bakal lakuin itu lagi."

"Huft..."



Terlihat Rini menghela nafas sekali lagi.


"We need to stop doing this, entah kenapa aku nggak bisa berhenti aja ingetin kamu, pergi sama kamu, makan sama kamu, padahal kita ini cuman staf ama atasan. Walau aku selalu bilang ini cuman dalam kapasitas kerjaan, tapi lama-lama orang pasti juga nggak bakal percaya."

"Ya, kita keluar ini dalam rangka kerjaan juga kan?"

"Keluarnya iya, makan siangnya enggak. I mean, gimana coba kalau tiba-tiba ada orang kantor yang ngelihat kita?"

"Hei, tenang, ini jauh banget dari kantor, kalaupun ada orang kantor di sini perlu dipertanyakan juga dia ngapain."

"Okay, okay... Gosh... Akhir-akhir ini aku senewen mbanget."

"What's wrong?"

"Kamu tahulah. Board pengen lanjutin lagi proposal kerja sama dengan KSI, you know."

"Wajar lah, big money itu. Kalau aku jadi Bos pun juga pasti aku lanjutin lagi."

"But I haven't done with the assignment. Satu-satunya yang bisa aku deduksi ya perkara terms dari KSI soal ganti rugi kalau sistem ASV gagal."

"Tapi sistem kita selama ini nggak pernah gagal."

"I know, tapi kalau gagal, KSI dengan kekuatannya bisa mencaplok ASV. We don't have enough resources to compensate for their kind of losses."



Aku pun saat itu juga teringat bahwa hal inilah yang dulu meresahkan Bella, klausul bahwa KSI bisa meminta ganti rugi dari ASV dalam bentuk apa pun andai pengamanan dari ASV gagal. Bella pernah bilang bahwa dengan segala transaksi yang dilakukan oleh KSI, kegagalan pengamanan data sekecil apa pun bisa berakibat buruk bagi ASV yang skala modalnya memang tak sebesar KSI. Artinya, bila terjadi wanprestasi, KSI bisa mengambil seluruh asset dari ASV, yang secara efektif artinya KSI mencaplok ASV. Namun waktu itu memang aku menampik kekhawatiran Bella, mengingat sumber daya ASV bisa dipercaya untuk memitigasi segala macam kegagalan, sehingga meskipun akibatnya terdengar mengerikan, kemungkinannya sendiri relatif kecil. Walau begitu, saat Bella dan Rini mencapai kesimpulan yang sama, mau tak mau aku pun kembali mempertimbangkan ulang keputusanku yang lalu.


"Iya, tapi itu calculated risk, dan sistem kita selama ini bagus dan selalu di-update. Tambah lagi kalau Sistem Perseus selesai, data kita baru akan amat aman."

"You're right... You're right, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Sistem Perseus... Hmm..."



Tiba-tiba pada saat itu raut muka Rini berubah dengan keningnya berkerut menandakan dia memikirkan sesuatu yang amat serius.


"Sistem Perseus!!" teriaknya tiba-tiba.

"Iya, ada apa?"

"Surya tau nggak sih kalau Sistem Perseus termasuk Medusa sedang dikembangin?"

"Ya tahu lah, pas rapatnya kita barengan koq. Malahan Tim Marketing yang wanti-wanti ke Departemen Teknis buat jangan sampai bocor. Emangnya kenapa?"



Rini segera pindah tempat duduk ke posisi yang lebih dekat denganku. Dia mengambil sebuah notes dan pulpen lalu menuliskan sesuatu yang hanya ditunjukkannya padaku.


"Gimana kalau virus Medusa dipakai buat menyerang sistem lain?"


Aku hanya tertawa saja melihat tulisan Rini, dengan raut mukanya yang serius dan cemas.


"Nggak mungkin," bisikku pada Rini, "ASV masih memegang kendali tertinggi atas Sistem Perseus. Nggak mungkin Medusa bisa dipakai buat nyerang sistem lain tanpa autorisasi dari ASV. Setahuku Board semua paham akan pentingnya hal ini."


Rini yang tampak kesal lalu berbisik padaku.


"Itu kan kalau manajemen Sistem Perseus masih di bawah ASV. Gimana kalau manajemen Sistem Perseus udah nggak lagi di bawah ASV??"

"Hahaha, nggak mungkin juga, mana bisa Perseus dikeluarkan dari ASV kecuali... Oh, sh*t!!!"

"Nah, kan! Paham, kan? Paham, kan??"

"F*ck!! How can I be so blind??"



Aku hendak berdiri, namun Rini segera menahanku. Dia menatapku dengan pandangan mata yang benar-benar serius, antara kesal dengan ngeri.


"We have an atomic bomb in our hand, Rik... And our hands are too small to handle it. Nggak bakal lama sebelum ada pihak yang lebih besar tergoda buat nggunain bom itu, apalagi jika mereka udah punya pengamannya. So, if you want me to help you on this, you have to tell me your next moves, ALL OF THEM!"


29 Juli 2013
Sebuah Hotel di Kawasan Jakarta Utara



"Ahh yess, terus, Erik... Terus... Aaahh...."


Aku terus menggenjot Metta dalam posisi doggy sehingga pantatnya menonjol membentuk siluet buah persik. Lubang anusnya tampak agak menganga karena belum lama tadi aku juga melakukan anal pada Metta. Seiring aku menumbuk pinggulnya, buah dada Metta terlihat bergoyang berputar menggantung. Meski aku sering menyetubuhinya, apalagi dalam posisi ini, kedua buah dada itu masih tetap terlihat kencang. Ini karena Metta memang amat rajin dalam merawat dirinya.


"Baby, kamu belum mau cum??"


Begitu tanya Metta di tengah desahannya akibat goyanganku.


"Mau cum bareng?"

"I-Iyah... Cepetin aja... I'm almost there..."

"Haha, kasihan capek ya kamu, udah berapa? 3 kali?"

"Lima kali! Udah, Babe, cepetin... Aaakkkhh..."



Perkataan Metta itu bagaikan perintah supaya aku berganti ke gigi tinggi dan mempercepat gerakan. Kepala Metta semakin menunduk hingga terbenam di bantal, sementara pantatnya justru semakin tegak mengacung, membuatku bisa menusuk dalam hingga ke rahimnya.


"I'm cumming..."


Metta berteriak lemas, mungkin karena dia sudah kelelahan akibat kami bermain non-stop dari sebelum tengah hari, hanya break untuk minum dan buang air kecil saja. Saat itulah pantatnya bergetar, bergoyang, dan kejang. Seolah seperti dikomando, kontolku pun langsung menegang dan menembakkan amunisinya ke dalam rahim Metta.

Ya, aku sekali lagi tak memakai kondom. Entah kenapa aku yang dulu khawatir bahwa Metta bisa hamil akibat bibitku, kini malah jadi lebih sering tak memakai kondom dan tembak dalam. Metta sih suka-suka saja, karena menurutnya memang creampie itu paling enak, dan spermaku selalu yang terbaik baginya. Mungkin, semenjak Metta bilang ingin mendapat anak dariku, sejak itu pula aku semakin rajin mengisi rahimnya dengan bibitku.


Kontolku kulepas, dan cairan warna putih kental pun meleleh keluar dari mekinya. Masih dalam posisi menungging, aku mengambil lelehan spermaku kemudian memasukkannya kembali ke dalam meki Metta. Dia tampak berjengkit setiap kali jariku masuk dan menyenggol klitorisnya, lalu dia malah semakin menunggingkan pantatnya hingga kini mekinya berada di puncak tertinggi.


"Biar jadi, hehehe."


Aku hanya tersenyum sambil terus memasukkan lelehan spermaku ke dalam mekinya yang penuh cairan putih. Kutepuk-tepuk dan kuelus-elus pantat dan bibir mekinya yang tembem dengan vulva mungil itu supaya cairan spermaku masuk semakin ke dalam. Setelah aku yakin bahwa semua cairannya tak keluar lagi, baru Metta kuperbolehkan berganti posisi. Kami pun tiduran saling bersisian, dan seperti biasa, kami pun berpelukan.


"Nggak kerasa ya?"

"Hmm?"

"Udah setahun sejak kamu nebus aku, Beb."

"Yah, time flies..."

"Tapi ampe sekarang aku masih ngerasa bersalah."

"Hey, don't be, you're worth every penny."

"Ooh, jadi nilai aku segitu ya? Berapa, 150 atau 175 juta?"



Aku tersenyum lalu memegang pipi Metta.


"Beb, you are priceless. I'll put all my fortune just to get you back, again and again. Kemaren itu karena cuman jumlah segitu yang bisa aku cairin."

"Ya, tetep aja aku merasa bersalah, soalnya itu kan bisa dipakai buat yang lain, rumah apa mobil, atau apa gitu..."

"It gets you back to me, jadi nggak masalah."



Aku mencium kening dan pipi Metta, dan muka Metta pun kembali tenang. Kami berciuman sejenak, ciuman dan pelukan yang romantis sebagai sarana untuk bertukar perasaan, bukan nafsu. Pada saat inilah aku selalu merasa bahwa hanya ada aku dan Metta di dunia ini. Metta kemudian mengelus pipiku dan menatapku.


"Bebeb, aku laper nih, keluar cari makan yuk."

"Hmm, kalau ngajakin keluar pasti sebenernya mau shopping nih?"

"Enggak sih, emang laper aja, tapi kalau kamu mau ngajakin shopping ya boleh juga, kebetulan aku pengen beli parfum lagi."

"Iya, ya udah, mandi dulu sono, ntar abis ini kita langsung turun."

"Iyaa, mandi dulu yaaa."



Metta pun kemudian langsung ke kamar mandi untuk mandi dan berdandan. Tak biasanya, kali ini dia mandi dengan cukup cepat, tak terlalu lama. Metta sendiri sih bilang bahwa sejak kenal dengan aku, kini dia jarang berlama-lama untuk mandi, tak seperti dulu. Setelah Metta mandi, gantian aku yang mandi. Saat inilah aku mendengar ada telepon berdering dan Metta berbicara sebentar di sana. Tak lama, seperti ada suara pintu diketuk, dan Metta pun membukanya, mengobrol sebentar, lalu pintu kembali ditutup. Namun aku tak tahu siapa yang ada di sana, atau siapa yang meneleponnya, karena tak terdengar dengan jelas saat aku mandi.


"Tadi ada siapa, Beb?" tanyaku begitu keluar dari kamar mandi.


Metta tampak tersenyum, sudah rapi dengan baju, aksesoris, dan juga memakai wewangian yang selalu aku sukai.


"Ada kiriman tadi dari resepsionis."

"Kiriman apa?"

"Brosur paket night chill di bar. Tadi aku emang nanyain sih, soalnya liat ada selebarannya nempel di jalan ke lift. Ntar ke sini yak, midnight."

"Iyaa, oke. Kirain ada apaan."

"Ya udah, sekarang kamu ganti baju, pake parfum, abis ini kita turun, oke?"



Aku mengangguk saja. Setelah berganti pakaian, aku dan Metta pun turun ke bawah dengan bergandengan tangan. Rasanya memang seperti kami baru berpacaran saja, apalagi Metta berjalan dengan agak melompat-lompat bak anak kecil yang kegirangan. Kenapa ya, aku jadi penasaran.

Sesampainya di parkiran, aku agak bingung, karena spot yang tadi aku pakai untuk memarkirkan H*nda Jazz milik Metta, yang selama beberapa lama ini sudah seperti milikku sendiri, sudah tidak ada mobil apa-apa di sana, hanya spot parkir kosong saja.


"Kenapa, Beb?"

"Koq mobilnya nggak ada ya?"

"Ya nggak ada lah, kan emang parkirnya bukan di sini."

"Enggak, Beb, kan aku jelas-jelas parkirnya di sini. Kamu inget juga, kan?"

"Bukan, udah dibilangin bukan, koq. Ayo ikut ke parkiran mobil kita."



Metta lalu memegang tanganku dan setengah menyeretku. Aku tentu saja panik, karena mobil tidak ada, dan pikiran-pikiran buruk pun bermunculan di kepalaku, namun Metta tampak tak begitu peduli dengan ini dan terus menarikku.


"Kamu mau ke mana sih?? Aku kudu laporin dulu ini ke satpam kalau mobilnya ilang, jangan-jangan dicuri orang nih."

"Orang nggak ada apa-apa, Beb. Parkirannya emang bukan di situ, ntar kamu keburu lapor malah kamu lho yang malu."

"Ngomong apa sih kamu, Beb? Orang bener koq aku tadi parkirnya di situ. Emangnya kalau bukan di situ lalu di mana?"

"Di sini."



Metta berhenti pada sebuah spot, dan saat aku melihatnya, sebuah mobil mewah, M*zda 6 warna soul red ada di sana, tampak baru dan kinclong seolah baru keluar dari dealer. Aku awalnya tak paham kenapa Metta bersikeras bahwa ini adalah parkiran mobilku, hingga aku melihat plat nomornya yang bertuliskan "B 2907 MLE"

Ya, 2907 adalah angka yang menunjukkan hari ini, tanggal 29 Juli. Anniversary kami, juga hari saat kami memulai langkah baru.


"Ini..."

"Iya, ini mobil kamu."

"Koq bisa?"

"Ya bisa lah, ini kuncinya."



Dari tas clutch-nya, Metta mengeluarkan sebuah smartkey, dilengkapi dengan gantungan kunci berbentuk pesawat Mirage 2000. Dia memberikannya ke tanganku, yang masih plonga-plongo, kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.


"This is your car, Baby. Aku ama Papa patungan buat ngebeliin ini buat kamu, sebagai ganti duit yang kamu pakai buat nebus aku."

"Ini... Ahh... Shit... You don't have to, really..."

"Hey, it's a gift, you know? Jadi ntar duitmu bisa kamu fokusin untuk bayar cicilan rumah kita."

"Cicilan rumah apaan?"



Metta tiba-tiba tertawa seperti orang yang ketahuan berbohong.


"Kamu beli rumah juga??"

"Teknisnya kamu yang beli, aku ama Papa cuman mbayar DP-nya, jadi kamu bisa lanjutin cicilannya. Deket dari sini koq, di daerah ******* kan? Yang type ******? rumahnya bagus juga, kayaknya kita pernah kan beberapa kali lewat sana."



Ya, aku tahu rumah apa yang dimaksudkan itu, karena memang aku sudah mengincarnya dari tahun lalu. Namun sayangnya semua terhambat karena uang yang kukumpulkan untuk DP membeli mobil dan rumah harus terpakai untuk membayar tebusan bagi Metta.


"Dari mana kamu tahu kalau aku pengen beli rumah di sono?"

"Beb, kita ini tinggal di rumah yang sama, jelas lah aku tahu kamu suka browsing cari rumah apaan, dan hanya satu yang kayaknya terus-terusan kamu seriusin, cuman berhenti abis kejadian tahun lalu. I'm not blind, you know?"



Tak mampu membendung rasa senang dan haru, aku langsung saja memeluk Metta dengan erat. Apabila ada saat-saat di mana seorang pria menumpahkan air matanya, mungkin inilah saatnya. Air mata haru, air mata kebahagiaan di pundak wanita yang dia kasihi dan sayangi. Aku tak menghitung berapa kali aku mengucapkan terima kasih saat memeluknya itu, namun akhirnya Metta pun terpaksa melepas, karena dia agak kesesakan karena pelukanku.


"I'm so lucky to have you, Metta Prameswari..."

"Enggak, aku yang so lucky to have you, Erik Setiyadi. Nggak cuman aku sih, Papa ama Mama juga sama. You are the best gift that come to our family."

"Eh, so, jadi mobil kita di mana??"

"Jazz-nya? Diambil ama Pak Yono tadi, sekalian Pak Yono ngasih kunci ama STNK-nya ama aku."

"Oh, jadi yang datang tadi itu Pak Yono?"



Pak Yono adalah supir Om Darwin. Tadinya dia tinggal di paviliun di rumah Metta dan baru pulang tiap weekend, namun setelah ada aku, dia jadi tidak perlu harus selalu di rumah dan bisa pulang ke keluarganya sendiri, karena kini aku bisa mengantar Om Darwin atau Tante Melly kalau ada apa-apa.


"Iya... Sengaja aku nggak bilang, soalnya kan mau aku kasih surprise. Mustinya rumah itu surprise juga sih, pas ntar jalan-jalan kita mampir ke sono, eh, akunya keceplosan."

"Udah, nggak apa-apa. Tumben Pak Yono datang nggak mampir."

"Yah, Beb, kalau Pak Yono mampir ya rusak kejutannya, gimana sih??"

"Iya juga ya, hahaha."



Aku kembali memeluk Metta, dan kukecup bibir, pipi, serta keningnya berkali-kali.


"I love you, Metta Prameswari, to the moon and back."

"I love you too, Erik Setiyadi, to infinity and beyond."



Kami kembali berciuman bibir. Entah berapa lama kami melakukannya, namun suara deheman keras langsung menghentikan ciuman kami. Aku menoleh dan seorang bapak-bapak separuh baya yang memakai jas tampak tersenyum menyengir pada kami. Aku awalnya mengira orang ini adalah seorang satpam, hingga...


"Sonsaengnim!"


Orang itu hanya melambaikan tangan dan Metta langsung membungkukkan badan kepadanya, dan dengan canggung aku mengikutinya.


"Annyeonghasimika, Sonsaengnim!"

"Hahaha, Metta-ssi, tidak usah terlalu formal, aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Hahaha."

"Bebeb... Eh, Chagiya, ini atasan aku, Direktur Kim Young-chul."



Buru-buru aku segera mendatangi dan menyalaminya. Direktur Kim ini tampak seperti bapak-bapak paruh baya dengan muka yang ramah, dengan kumis dan jenggot yang dipotong tipis, dan memiliki air muka yang membuat semua orang yang bicara padanya merasa aman dan tenteram. Dia berpostur kurus, dan hampir setinggi aku, dan walau kulitnya banyak yang keriput, genggaman tangannya saat bersalaman masih cukup kuat.


"So, this is your husband, Metta-ssi?"

"Aniyo, calon... Umm, I mean, fiance."

"Ah, fiance. Aku kira kalian sudah menikah, you look like happy married couple there."



Kami bertiga pun tertawa.


"Oh ya, Kim-sonsaeng, kenapa ke sini sendirian? Apa ada urusan?"

"Sendirian? Aku tidak sendirian."

"Hah? Sama siapa?"



Jawabannya muncul beberapa detik kemudian. Seorang pria muda dengan gaya rambut perlente pun muncul. Ditaksir dari usianya, sepertinya dia seumuran dengan Metta.


"Ko Steven??"

"Lho, Met? Koq kamu di sini?"

"Maaf, ini..." kataku.

"Bebeb, kenalin, ini manajer juga di KSI, tapi sekaligus juga dia temen aku pas SMA, namanya Koh Steven."



Dia mengulurkan tangannya terlebih dahulu.


"Steven Theo, nice to meet you."

"Erik, Erik Setiyadi."



Akhirnya, inilah orang yang telah lama kunantikan untuk kutemui. Steven Santijoso, atau dia sering dipanggil sebagai Steven Theo. Orang yang membuat Metta menderita di timeline originalku. Tadinya aku mengharapkan orang ini akan memiliki perawakan, sikap, atau pembawaan seperti Adam, namun ternyata aku salah. Steven ini berperawakan kecil, tidak punya body yang kekar atau kulit yang cokelat seperti Adam, juga air mukanya tampak tak seperti seorang womanizer, lebih terlihat seperti orang polos dengan rambut yang ditata kekinian. Pakaiannya lebih sederhana dan tidak mencolok, namun rapi dan berkelas. Sikapnya pun tidak condong ke friendly, flamboyan, atau mencari perhatian. Dia justru mirip seperti orang pendiam, pemikir, dan penyendiri. Namun nada dan intonasinya saat berbicara tak bisa menyembunyikan kesan wibawa atau otoritas, dipadu dengan sinar matanya yang cenderung tajam dan menusuk. Bila ada kesempatan di mana tokoh semacam Park Bo-gum atau Nicholas Saputra bermain menjadi penjahat, seperti itu pulalah kesanku pada Steven. Aku jadi agak kasihan melihat Direktur Kim bersama dengan Steven, karena entah sadar atau tidak, Direktur Kim kelak akan disingkirkan oleh Steven.


"Koq Ko Steven ada juga di sini? Dalam rangka apa?"

"Oh, kami lagi jemput CEO baru yang datang dari Korea."

"Hah? CEO barunya datang hari ini?"

"Iya, ini hari Senin lho."

"Astaga, iya ya, aku lupa, kirain ini hari Minggu. Eh, Park-sajang nginep di sini??"

"Iya, kalian juga nginep di sini?"

"Iyaa, koq nggak ketemu ya?"

"Susah lah, emang kayak sinetron. Lagian kamu juga nggak tahu kan wajahnya Park-sajang kayak gimana?"

"Hehehe, iya juga ya."



Metta tertawa sementara Steven memandangnya dengan tajam, seperti seorang kakak yang memandangi adiknya. Namun di mataku, tatapan itu berarti lain. Berhadapan dengan Steven bisa membuat kita lengah, mengira bahwa dia tidak berbahaya atau tak punya niatan jahat, hingga pada akhirnya dia mengungkap pisau yang dia siapkan sejak lama untuk menusuk kita, dan Metta tak sadar akan itu. Tawanya saat menyambut Steven adalah tawa polos, tawa yang tulus untuk diperlihatkan kepada teman yang baik. Dari pengalamanku, orang seperti Steven inilah yang amat berbahaya, karena kita tak bisa memprediksikan apa yang akan dia lakukan, tak seperti Adam yang bisa dengan mudah kubaca bahkan kuintimidasi balik. Ini bukan jenis orang yang bisa kuhantam dengan duit bergepok-gepok lalu mundur. Tidak, kalaupun dia mundur, dia pasti akan kembali maju saat aku tak menduganya.


"I thought I heard my name being called."


Kami semua menoleh ketika suara seorang wanita yang penuh wibawa terdengar. Di hadapan kami sekarang ini muncul seorang wanita dengan memakai blazer dan rok hitam, berjalan dengan penuh kepercayaan diri. Rambutnya tergerai di-highlight, dengan raut muka keras tapi cantik, dan kulit yang putih terawat, bahkan menyaingi kulit Metta, yang sudah kuanggap punya kulit terbaik. Steven dan Direktur Kim langsung membungkuk pada wanita ini, dan dengan terkejut, Metta pun mengikutinya pula, maka aku pun ikut membungkuk.


"Annyeonghasimika, Sajangnim!"


Direktur Kim memberi salam dengan penuh takzim dan membungkuk hingga cukup rendah. Bila seorang direktur senior saja bisa membungkuk serendah itu, maka kesimpulanku hanya satu, wanita ini pastilah CEO baru dari KSI Company cabang Asia Tenggara, Park Myung-hee. Dari apa yang kudengar oleh Metta di timeline original, Park Myung-hee, atau CEO Park jelas bukan wanita yang bisa diremehkan. Dia satu-satunya yang belum bisa dijungkalkan oleh Steven meski hampir semua orang sudah kalah. Namun aku masih belum tahu apakah dia ini teman atau musuh, ataukah musuh dari musuh. Akankah musuh dari musuhku adalah temanku, atau justru juga musuhku?


"Yeogi eomcheong bumbyeoyo? I've told you not to bring larger crowd to fetch me, haven't I? Eotte, Kim Young-chul-ssi?"

"Joesonghaeyo, Park-sajang, joneun..."



Direktur Kim berhenti sepertinya dia bingung bagaimana menjelaskannya. Tiba-tiba pada saat itu juga Steven maju dan memberi hormat kepada CEO Park.


"Joesonghamnida, Park-sajang. Only two of us, me and Kim-sajang that was here to fetch you."

"Oh, so who are these two, Steven-nim?"

"This is Metta, she's a staff in KSI with her fiance, Erik. We just happened to meet here by coincidence. Forgive us for the misunderstanding, joesonghamnida."



CEO Park lalu mengangguk-angguk sambil menatap Metta yang tampak agak gemetaran.


"So, Metta, does your name happened to be Metta Peuramesseuwali? I don't know how to pronounce it correctly. The one who will go to headquarter in Ulsan next week, geuraeseo?"

"Ne, majayo. But how do you know, Park-sajang?"

"All the decision has to go through me. So I know everything. Well, good luck on your training, Metta-ssi, I guess we'll see each other again next year, geuraeseo?"

"Ne, majayo."



Kemudian CEO Park memberikan senyum simpulnya yang misterius. Dia mengambil kacamata hitam dari tasnya lalu memakainya, sebelum berjalan ke arah Steven dan Direktur Kim.


"Well then, off we go now. Mr. Erik, nice to meet you. Annyeong."


Aku membungkuk, dan CEO Park lewat begitu saja di depan kami dengan badan dan kepala tegak. Baik Steven maupun Direktur Kim baru akhirnya berdiri begitu CEO Park sudah lewat. Steven bahkan sempat memberi kami lambaian perpisahan, yang disambut Metta dengan antusias, namun aku hanya melambai penuh kehati-hatian. Tepat ketika aku mulai bahagia dengan Metta, pertemuan ini pun langsung mengingatkanku bahwa langkahku masih cukup panjang, dan aku tak boleh mengendurkan kewaspadaanku mulai sekarang.


Next >>> Transendence
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd