Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 26:

A Little Thing Called Betrayal



Sebuah Hotel Mewah Kawasan Jakarta Pusat
2019



Aku dan Rini berdiri di depan pintu kamar sebuah hotel mewah di kawasan Jakarta Pusat, bimbang akan haruskah aku mengetuk pintunya. Sejenak aku terasa agak gelisah, karena memang ini pertama kalinya bagiku melakukan ini.


"Rik, sebenernya siapa yang mau kita temuin di sini?"

"You'll see."



Akhirnya aku pun memencet bel pada kamar itu, dan tak berapa lama, pintu pun dibuka. Rini tampak terkejut saat dia tahu siapa yang membukanya, karena dia memang amat mengenalnya. Ya, itu adalah Jessica.


"Pak Erik datang juga, kami udah nungguin lho, Pak. Mari masuk."


Ya, "kami", karena bukan hanya Jessica yang ada di dalam ruangan itu. Dari pintu pun aku bisa melihat CEO Park ada di sana, duduk di ranjang queen size, melihat kami yang masuk ke dalam.


"Eh, daeri are not allowed, this is my business with Erik-nim!" begitu kata CEO Park.

"Oh, ne, Sajangnim. Berarti Rini nggak boleh masuk."


Rini tampak galau harus dipisahkan dariku, tapi aku memberi isyarat bahwa semua baik-baik saja, hingga dia pun mundur dan keluar kembali. Namun begitu Jessica ingin menutup pintu...


"Why are you still here? I've told you right?"

"But, Sajangnim, I am..."

"I said, ALL daeri."



Jessica pun merengut, tapi kemudian dia membungkuk dan akhirnya keluar sambil menutup pintu dari luar, meninggalkanku sendiri bersama CEO Park di kamar ini.

Dia kemudian memintaku diam sebentar sebelum akhirnya menyuruhku mendekat.


"Ssshhh..."


CEO Park memberiku isyarat agar tidak berbicara. Kemudian dia mengeluarkan sebuah alat dan menyalakannya, meletakkannya di dekat tasnya.


"You know what this is, right?" tanya CEO Park.

"Yes, it's a jammer, I know it from my previous job in ASV."

"Geurae, so, kamu pasti bisa menebak kira-kira bagaimana situasinya."



Aku amat terkejut karena CEO Park berbicara dalam bahasa Indonesia. Selama aku mengenalnya, dia nyaris tak pernah menunjukkan bila dia bisa bahasa Indonesia, selalu hanya menggunakan bahasa Korea dan Inggris.


"Sajangnim, you..."

"Surprised? Aku bekerja di Singapore selama 5 tahun, Erik-nim, aku bisa bahasa Korea, Inggris, Melayu, Indonesia, dan Hokkien."

"Tapi, kenapa Sajangnim tidak pernah menunjukkannya?"

"Let's say, that's because I don't know who to trust. So, aku lebih suka dikenal sebagai direktur bebal manja yang tidak bisa berbahasa Indonesia. The perk is, everyone seems enjoyed talking me in Indonesian without knowing that I know what they said."

"Jadi begitu."

"Dari awal sebenarnya aku ingin mendekati kamu, Erik-nim, tapi karena kamu selalu ada di dekat Direktur Kim, jadi aku tidak tahu apa kamu bisa dipercaya."

"Jadi memang benar ada masalah antara Sajangnim dengan Direktur Kim?"

"Begitulah, mungkin kamu sudah tahu bahwa Direktur Kim itu lebih memilih Kim Jae-seok sebagai pemimpin KSI Group, so, Oppa-ku menugaskanku ke sini untuk menjaga kenetralan KSI Company Asia Tenggara. Kamu tahu kan, bagaimana KSI Asia Tenggara punya sumber daya besar yang bahkan di Korea sendiri amat diperhitungkan?"

"Iya, Direktur Kim pernah cerita begitu."

"Nggak semua yang dikatakan oleh Direktur Kim itu salah, tapi dia cenderung memanipulasi fakta buat kepentingannya pribadi, termasuk fakta bahwa almarhum Kim Sang-deok sebenarnya sudah memilih Kim Mi-seok sebagai pewarisnya, karena menganggap bahwa putra pertamanya, Kim Jae-seok, terlalu emosional."

"Jadi sudah ada pewarisnya?? Tapi kenapa bisa terjadi konflik??"

"Karena surat wasiat yang menyatakan itu hilang. Pengacara keluarga Kim dibunuh tak lama setelah Kim Sang-deok tewas, dan kantornya diubrak-abrik, tapi pengusutan kasus ini berjalan tertutup. Kim Sang-deok sendiri mengatakan hal ini secara lisan saat dia mengumpulkan semua anak-anaknya, dan Oppa-ku merekam semuanya. Tapi rekaman suara ini tak bisa dijadikan bukti definitif, karena itu Oppa berusaha naik sebagai presiden KSI Group supaya Kim Jae-seok tidak bisa bertindak seenaknya dan menggunakan KSI Asia Tenggara untuk kepentingannya."

"Tapi Direktur Kim bilang..."

"Coba pikirkan saja, Erik-nim. Ada 30 orang yang duduk sebagai komisaris dan pemegang saham utama KSI Group, dan 28 orang menyetujui naiknya Oppa-ku sebagai presiden KSI Group. Saat Kim Jae-seok gagal meyakinkan Board bahwa dia harus memimpin, dia melakukan cara kotor dengan melenyapkan surat wasiat Kim Sang-deok. Itu karena Kim Sang-deok memiliki tulisan tangan yang susah ditiru, sehingga satu-satunya cara adalah menghilangkan surat wasiat itu. Dengan tak adanya bukti tertulis, Kim Mi-seok harus menerima Kim Jae-seok sebagai co-owner dari KSI Group, hence Oppa-ku bertindak begitu supaya dia tak bisa menguasai KSI Group seluruhnya."

"Jadi Kim-jungmoo bukan dibuang tapi pindah sendiri ke Korea?"

"Ya, karena setelah Steven naik sebagai salah satu anggota Board, situasinya akan cukup mudah untuk ditangani sendiri oleh Steven, sehingga Kim-jungmoo bisa fokus membantu Kim Jae-seok di Korea."

"Tapi kukira Direktur Kim dan Steven itu bermusuhan?"



CEO Park hanya tertawa, lalu dia menuju ke minibar dan meminum softdrink di sana.


"Bila kamu mengenal Steven Santijoso sebagaimana aku mengenalnya, Erik-nim, kamu tidak akan heran dengan ini."


Dia kemudian duduk di hadapanku dan memberikanku sebotol softdrink sebelum menjelaskannya. Sebagai orang yang pernah menduduki posisi operasional di Sentosa International Holdings, CEO Park lumayan mengenal keluarga Santijoso, pemiliknya. Salah satu yang dia perhatikan dari Steven adalah bahwa meskipun Steven itu genius dan pemikir, dia juga merupakan manipulator yang amat handal. Itu sebabnya, sebagai pewaris Sentosa International Holdings, Steven dilarang oleh ayahnya memegang kendali di sana sebelum mempelajari mengenai cara menjalankan perusahaan di tempat lain.


"Karena itu Steven bekerja di KSI?"

"Ya, dengan status sebagai pewaris Sentosa International Holdings, kuasa Steven di sana dianggap terlalu besar dan susah dibantah. Ayah Steven, Daniel Santijoso, ingin supaya di lingkungan KSI, Steven bisa belajar mengenai operasional manajemen yang benar, serta akan ada sistem yang bisa melakukan check and balance atas dia selama belajar di sana. Namun bukannya belajar mengenai sistematisasi dan kendali..."

"Dia malah berusaha meraih posisi puncak di KSI Company Asia Tenggara dan membentuk aturannya sendiri."

"Geurae. Steven bukan orang yang betah berada di bawah orang lain, dia selalu berupaya menjadi yang teratas supaya tak perlu ada di posisi itu. Pada saat yang sama, Direktur Kim perlu sokongan dari KSI Asia Tenggara, dan mereka berdua lumayan cocok karena kepentingan yang sama."

"Tapi kenapa Sajangnim malah di awal-awal terkesan mendekati Steven?"



CEO Park tertawa mendengar pertanyaanku.


"Kamu nggak pernah dengar people's saying, Erik-nim? Keep your friend close but your enemy closer. Itulah yang coba aku lakukan pada Steven, apalagi aku sudah kenal dengan Steven sejak sebelum di KSI, so I try to leverage him into out of Kim-jungmoo's reach. Sayangnya aku terlambat tahu bahwa dialah salah satu yang bikin Sentosa International Holdings bermasalah. You see, aku masuk Sentosa International Holdings saat Teo Kwik Gian, kakeknya Steven, masih menjadi presiden komisaris. Teo Kwik Gian dan Daniel Santijoso, ayah Steven, adalah pemimpin yang baik, sayangnya setelah Teo Kwik Gian meninggal, paman Steven, James Santijoso, mulai berulah. Daniel Santijoso adalah direktur yang baik, tapi dia bukan ayah yang baik, jadi sebagian besar waktunya, Steven diasuh oleh James Santijoso yang punya koneksi dengan Sah Lak Kau."

"Mafia Singapura?"

"Ne. Koneksi mereka terhubung dengan Hai San di Malaysia, Shui Fong di Hongkong, dan Chao Po di Thailand. Selama James Santijoso ada di Sentosa International Holdings, mereka menggunakan jaringan luas SIH untuk menggerakkan contrabands di seluruh Asia Tenggara dan Cina Selatan. Aparat Singapura melakukan razia besar-besaran untuk memutus jaringan ini, sehingga menyebabkan kekacauan di SIH. Ada indikasi bahwa CEO sebelum ini sudah tahu mengenai hubungan SIH dengan mafia tapi memilih menutup mata untuk tetap bisa ambil bagian dari jaringan SIH, so, when they crack down the SIH..."

"KSI Asia Tenggara juga ikut goyang."



CEO Park mengangguk.


"Oppa-ku ingin membersihkan KSI dari unsur SIH dan mafia, karena itu aku ditugaskan ke sini, untuk bekerjasama dengan aparat dan memutus jaringan kejahatan terorganisir. Tapi aku tidak bisa lakukan sendiri, dan kukira dengan memisahkan Steven dari Kim-jungmoo, akan setidaknya mengurangi kekuatan mereka, tapi tidak. Steven justru memanfaatkan ini untuk mendapatkan posisi, dan menaruh Jessica untuk mengawasiku. Setelah Steven gagal dibendung untuk naik ke board, aku nggak tahu lagi harus bagaimana."


Aku mengangguk sejenak. Ada sesuatu yang sebenarnya kupikirkan, namun aku agak ragu mengatakannya. Walau begitu, CEO Park tampaknya bisa membacanya.


"You have something in mind?"

"Mungkin... Tapi ini terlalu berbahaya."

"Please, I'm running out of options. Berbahaya sekalipun tak masalah, asal mereka bisa dihentikan."

"Sebelumnya aku mau tanya, Sajangnim. Sebesar apa kekuatan KSI Group Korea kalau dibandingkan dengan SIH?"

"Besar sekali. Kita punya hubungan baik dengan aparat kejaksaan dan pengadilan di Indonesia dan Singapura. Kita juga bisa minta bantuan pada Department of Justice kalau mau. But each KSI works as independent units."

"Unless if their CEO is under investigation, then KSI Group will deploy all means to investigate it further."

"Maksud kamu, aku harus ditangkap?"

"Sayangnya begitu. Hence I said that it's dangerous."

"No, itu masuk akal. Kalau aku ditangkap, maka Oppa akan kerahkan semua aset KSI Group untuk menginvestigasi antara KSI Asia Tenggara dengan Sentosa International Holdings, dan dengan begitu akan mengungkap semua keterkaitan SIH dengan kelompok-kelompok mafia di Asia Tenggara dan Timur. Aku punya beberapa dokumen yang bisa digunakan untuk memberi pukulan telak, tapi hanya bisa diungkap ketika kejahatan mereka mulai terbuka. Needs not just days, perhaps weeks, or months."



CEO Park lalu mengambil liontin berbentuk burung yang selalu dia pakai. Dia membukanya dan di dalamnya ada sebuah mikrochip, yang kemudian dia berikan kepadaku.


"Keluarkan bukti ini di saat yang tepat, jangan sebelum atau sesudahnya. Arasseo?"

"Ne, arasseumnida."



Aku kemudian mengantongi mikrochip itu di tempat yang aman.


"I wish we've worked together since the beginning, Erik-nim."

"Ya, maka kita nggak perlu ambil pilihan pahit ini."

"Don't worry, it's me who suffers. Pastikan saja buktinya diberikan tepat pada waktunya."



CEO Park mengulurkan tangannya, lalu kami pun bersalaman.


Rumahku
Timeline 2020



Aku terbatuk-batuk sambil ototku berkedut kejang tak terkendali. Serangan taser yang amat mendadak dari Surya benar-benar membuatku tak berdaya. Aku bahkan sampai menjatuhkan pisauku di tempat yang tak bisa kujangkau, tidak dengan seluruh otot tubuhku tiba-tiba kram semacam ini. Surya lalu berjongkok di hadapanku. Dia tertawa memamerkan senyum iblisnya itu padaku.


"Kenapa, Erik? Nggak nyangka kau lihat aku lagi?"

"Konsultan... Seharusnya sudah kuduga."



Surya pun tertawa terbahak-bahak.


"Benar, setelah aku keluar dari ASV, Steven mengajakku sebagai konsultannya, namun di luar KSI, karena dia tahu kamu masuk ke KSI, dan dia juga tahu bila kamu melihatku, maka kamu akan waspada."

"Jadi kamu yang merekayasa serangan hacker di KSI??"



Aku berusaha bangkit, namun Surya tiba-tiba saja sudah mengacungkan sebuah revolver Smith & Wesson ke arah wajahku.


"Jangan bergerak, aku punya pistol sungguhan ini, paham? Begitu kamu mengancam Steven bahwa kamu akan bergerak, aku langsung maju buat bunuh kamu secara pribadi, makanya dia kasih aku pistol ini, untraceable, pemberian dari teman di Sah Lak Kau. Aku tekan pelatuk, dor, lalu kamu tewas."

"Buktikan! Tarik pelatuknya!"

"Tidak secepat itu, Erik. Aku mau kau merasakan yang aku rasakan, kehilangan semua yang kau cintai. Kalau aku tidak salah, ada dua cewek yang kau sukai, bukan? Mereka semobil pula, kebetulan sekali. Sayang kalau terjadi apa-apa sama mobil itu."

"Maksudmu apa!? Hei! Bunuh saja aku! Lepaskan mereka!"



Surya hanya tertawa saja.


"Erik, Erik... Masih sok jago juga kau rupanya ya? Kau tak dalam posisi berkuasa buat menuntut sesuatu, paham? Lagi pula seharusnya kau sadar, tak mungkin lah kami biarkan orang yang sudah tahu banyak seperti Metta lolos begitu saja. Dia harus dibunuh sama seperti kau, Erik!"

"Metta? Apa maksudmu?"



Surya kembali tertawa terbahak-bahak. Dia mendekatiku lalu menunjukkan hapenya padaku. Dalam layarnya terlihat gambar yang menunjukkan seperti tampilan layar CCTV, tapi ini ruangan dalam rumahku!


"Karena ini aku bisa tahu kau sedang bawa pisau buat menyambut aku, makanya aku setrum kau dulu. Hahahaha!"

"Bagaimana bisa?"

"Kau pikir siapa yang bisa memasang semua ini di rumah kau? Ya kau sendiri lah! Ini tampilan dari CCTV kamu, Erik. Tapi, kami punya bug yang bisa menyadap CCTV kamu langsung ke hape aku. Kami pintar, bukan?"



Surya mengetuk pelipisnya sendiri dengan jari telunjuk, tanda dia merasa telah berhasil mempecundangiku.


"Medusa..."

"Nah, pintar kau. Setelah dipecat dari ASV, untung aku masih punya orang dalam, dan dari dia aku mendapatkan akses ke sistem Medusa dalam Perseus. Jujur saja susah kali mau menyadap kau, soalnya kau selalu menjauhkan semua sistem gadget kamu dari jaringan KSI. Untungnya, aku, si Surya Lesmana, punya senjata rahasia yang aku sendiri tak menyangka."

"Mustahil... Metta??"

"Ya, betul sekali. Metta, istri kau itu. Siapa sangka kalau dia gampang kali jatuh ke tangan aku."

"Metta bukan orang seperti itu, Surya! Tidak mungkin dia melakukan itu."

"Ohoho, mungkin saja... Hanya perlu insentif yang tepat."



Kemudian Surya menggeser layarnya menjadi mode pemutar video dan menunjukkan sebuah video padaku. Di situ terlihat Metta tengah terbaring di sebuah ranjang yang mirip seperti ranjang medis. Dia tampak tak sadarkan diri, tak bereaksi pada apa pun. Metta memakai gaun yang kutahu kulihat pada video yang diambil oleh Rini dan Anin di sebuah restoran. Badannya terikat dan masing-masing lengannya terikat dengan borgol ke ranjang. Gaun yang dipakai Metta sudah robek di bagian bawah, dan dia tak mengenakan celana dalam.

Yang membuatku mendidih adalah ada orang dengan rambut punk memakai masker tengah duduk pada samping bagian pinggang Metta, sehingga dia jelas bisa melihat bagian meki Metta yang telanjang. Dia mengenakan kacamata pelindung dan sarung tangan karet, dan aku teramat murka karena orang ini ternyata tengah menggambar tato ular yang aku lihat di pahanya. Posisi tato ini cukup strategis, karena cukup bisa tertutupi bahkan oleh celana pendek, tapi tentu saja susah untuk menyembunyikannya secara sempurna. Metta sendiri tak bereaksi saat jarum tato menusuk kulit pahanya yang mulus, padahal aku pernah dengar bahwa tato pada paha adalah salah satu titik paling sakit, sehingga kesimpulanku hanya satu, dia sedang dibius saat tato itu dibuat.

Si pembuat tato itu berhenti sejenak dan mengusap keringat pada kepalanya, padahal aku yakin studio tato itu punya AC.


"Capek kau, Togar?" kata suara Surya, sepertinya dia yang memegang kamera.

"Kudu detail lah, Bang, apalagi ini cewek barang bagus. Sayang aja kalau tatonya dibikin asal-asalan."

"Halah, buat lonte kayak dia aja macem kau bikin bagus-bagus, Gar?"

"Hei, ini kan harga diri aku sebagai seniman, Bang. Mau itu buat lonte atau selebritis, yang penting karya tato buatan Togar Simanjuntak tidak boleh sampai jelek."

"Lagak kau, Gar. Ya sudah, terserah kau saja lah. Masih lama?"

"Tinggal finishing, ya kira-kira satu jam lagi lah. Tapi kau dapat lonte high-quality gini dari mana, Bang?"

"Ada lah, bini orang itu, tapi aku jadikan lonte."

"Wah, masa sih, Bang? Mantap kali."

"Gimana? Mantap, kan? Suaminya lemah, tak bisa dia puasin bininya, jadi akulah yang puasin."

"Wah, hebat, mantap betul ini, Bang. Pasti orang kaya ya, Bang?"

"Betul sekali. Tapi kau tahulah aku, seorang Surya Lesmana datang, kelepek-kelepek wanita tumbang, hahahaha. Mantap kan, dia?"

"Mantap bener, Bang. Coba kalau semua lonte kayak gini, mau juga aku pasti..."

"Ya sudah, kau mau cicipi?"

"Ah, yang bener nih, Bang?"

"Bener lah. Biusnya masih tahan 3 jam lagi, kan?"

"Iya, Bang. Boleh nih aku cicipin dia?"

"Asal tato kau selesai, kau boleh cicipin dia sepuasnya."



Si tukang tato bernama Togar itu lalu menyeringai mesum.


"Ya sudah, Bang. Sekalian refreshing, aku pake dulu lontenya ya? Barang langka ini, rugi kalau aku tak ikut nyicip."

"Ambil, mau berapa kali crot juga boleh, tapi satu syaratnya, jangan kau kasari atau rusak itu kulitnya si lonte, ya. Kalau sampai ada lecet atau lebam, aku tak menjamin keselamatan kau."

"Ah, elah, Bang, segitunya. Tenang, Togar Simanjuntak tak pernah menyakiti wanita, cuman buat mereka menggelinjang, hahaha!"



Togar lalu membuka celananya, dan kontolnya langsung mencuat tegak mengacung. Sebagaimana seorang tukang tato, bahkan kontolnya pun tertutup tato yang membuatnya tampak seperti naga. Dia menutupi dulu tato Metta yang sudah hampir jadi itu dengan semacam plastik sebelum akhirnya naik ke ranjang.

Alih-alih memulai foreplay, dia hanya maju lalu menggesek-gesekkan kontol naganya di lubang meki Metta. Tak ada tanggapan dari Metta, ya jelas saja, karena dia sedang dibius.


"Hei, jangan lama-lama kau ya, selesaikan sebelum dia bangun."

"Iya, Bang, tenang lah, Bang. Aku cuman pengen buang pejuh aku aja, mumpung ada pembuangan pejuh sepremium ini."

"Nah, benar-benar. Buang pejuh saja, gak usahlah lama-lama ama lonte ini."

"Mantap ya, Bang? Apalagi pukinya, nge-grip banget..."

"Puki aku udah sering cobain dia, Gar. Makanya kau rasain lah, mumpung kesempatannya cuman hari ini."

"Yah, Bang, jangan pelit-pelit lah, kapan-kapan bagilah aku lonte ini. Pengin aku entotin kalau dia sadar, pasti teriakannya luar biasa."

"Jangan macam-macam kau, Gar. Ini lonte jatahnya Bos Besar. Berani kau cari masalah ama Bos Besar, tato di badan kau nanti bisa dipotong, lalu dipigura lalu dipasang jadi hiasan dinding, Gar. Mau kau kayak begitu?"



Togar tampak bergidik. Bos Besar ini, apakah itu Steven? Jika ya, ini sedikit banyak akan menjelaskan beberapa hal. Bila sekelas Surya saja bisa setakut itu pada Steven, maka sekali masuk dalam cengkeramannya, bahkan Metta pun aku tak yakin akan punya banyak pilihan.


"Hei, lama kali kau main-main di puki, cepatlah, Bos Besar sebentar lagi bakal datang ini, Gar. Tato masih belum kau selesaikan."

"Sebentar, Bang..."


Togar pun orgasme, menghujamkan kontolnya dalam-dalam sehingga spermanya masuk ke dalam rahim Metta. Dia langsung lemas begitu turun, dan kontolnya yang tadi seperti naga kini mengempis bagaikan ulat tomat karena tatonya itu.

Setelah selesai, kembali menjadi pembuat tato profesional, Togar pun melanjutkan membuat tato ular pada paha Metta yang memang hanya tinggal finishing saja. Aku tak sampai melihat bagaimana tato itu selesai, karena video sudah habis, dan secara otomatis memainkan video kedua dari tiga file video yang ada di sana. Gambar menunjukkan ruangan yang sama, tapi sudah tak ada Togar di sana, hanya ada Surya. Tak berapa lama, seseorang pun masuk. Ya, itu adalah Steven. Seperti biasa, pandangannya sinis dan dingin. Dia hanya menatap dingin pada Metta yang nyaris telanjang dengan tato-nya kini sudah selesai.


"Sudah semuanya?" tanya Steven.

"Siap, Bos," jawab Surya, "tato yang Bos usulkan benar-benar ide brilian. Eh, tapi, Bos, kenapa koq Bos suruh Metta ditato? Kenapa tidak disikat saja langsung?"


Steven hanya tertawa dan melirik pada Surya dengan pandangan sinis seolah Surya tak selevel dengannya.


"Kamu hanya tahu soal otot saja, tapi nggak pernah pake otak."

"Yah, dari dulu kan memang Bos yang selalu jago strategi, aku jadi centeng saja. ASV sampai bisa dicaplok sama KSI juga karena strategi Bos. Coba kalau gak ada si Erik itu, udah dari dulu ASV kita ambil."

"Sudah, jangan sebut-sebut soal dia. Malas aku, dia selalu aja ganggu rencanaku. Apalagi nanti aku yakin dia bakal gagalkan rencanaku naik jadi anggota Board. We can't let that happened."



Steven lalu berjalan mengitari Metta, seolah ingin memeriksa Metta yang tengah tak sadarkan diri dan sudah ditato itu. Dengan dingin, dia mengelus lalu mengorek meki Metta. Cairan putih kental pun mengalir keluar dari dalam mekinya.


"Berengsek, sperma siapa ini?? Kamu??"

"Bukan, Bos. Itu punya si Togar, aku kasihan sama dia kecapekan, jadi aku kasih izin dia ngentotin ini lonte."

"Minimal pake kondom, ******! Kalau si Metta sampai hamil bisa curiga si Erik kalau kita lagi coba undermine dia!"

"Ma-Maaf, Bos."

"Dari dulu kamu selalu ****** kalau udah soal nafsu! Kontol melulu diturutin, sekali-kali pakai itu otak!"



Steven memukul kepala Surya, dan Surya sama sekali tak membalas, menunjukkan betapa posisi Steven benar-benar lebih tinggi daripada Surya.


"Berdoa aja biar dia gak hamil gara-gara otak kontolmu itu! Kalau sampai dia hamil dan Erik tahu soal kita, kontolmu yang aku potong duluan!"

"B-Baik, Bos."

"Bersihin."

"Hah? Apa, Bos?"

"Kamu yang kasih izin, ya kamu yang tanggung jawab! Bersihin mekinya dari sperma si Togar itu sekarang, sebelum ada yang jadi."



Dengan ketakutan, Surya mengeluarkan sapu tangannya, namun sebelum mendekat, Steven langsung menempeleng kepalanya lalu memelototinya.


"Punya otak itu dipakai! Emangnya kalau pakai sapu tangan bisa sampai dalam?"

"J-Jadi gimana, Bos?"

"Isap lah ampe abis."

"I-Isap, Bang??"

"PAKE NANYA!"



Surya tiba-tiba mematikan videonya. Mukanya tiba-tiba pucat pasi karena saking asyiknya dia berusah untuk menyiksaku dengan menunjukkan video soal Metta itu, dia pun lupa bahwa pada rekamannya ada pula salah satu aibnya, dan aku pun secara refleks tertawa. Sebuah tendangan langsung mendarat di tulang rusukku, rasanya sakit sekali.


"APA KAU TERTAWA, HAH!?? KAU PIKIR ITU LUCU??"

"Sorry, sorry... Tapi itu emang lucu, jadi lo nyedot sperma si tukang tato dari meki bini gue?? Hahahahahaha!! Sama aja lo nyepongin si tukang tato secara nggak langsung, dong? Enak ya spermanya tukang tato!??"

"DIAM!!!"



Aku langsung diam karena Surya dengan brutal langsung menendang-nendangku. Rasanya sakit dan nafasku tersengal-sengal. Beberapa kali aku sampai bergeser posisi dan terbatuk-batuk. Darah segar keluar dari mulutku.


"BERENGSEK KAU!! AKU BISA TEMBAK KAU SEKARANG JUGA!!"

"BUKTIKAN!! Ayo, tembak!! Tembak!!"



Surya mengacungkan pistolnya tepat ke wajahku, namun bukannya memejamkan mata, aku malah membelalak memelototinya. Muka Surya tampak merah padam. Dari dulu memang Surya ini selalu tidak bisa menjaga emosinya, sehingga satu-satunya cara bagiku adalah memancingnya mengamuk dan melihat dia akan melakukan kecerobohan apa. Namun ini berisiko, karena dia juga bisa kalap dan menembakku.


"Hohoho, tidak, tidak... Kau tak boleh mati sebelum melihat istri sama gundik kau itu mati duluan... Tidak, Erik, enak sekali kalau kau mati sekarang. Ah, omong-omong soal itu... Mana data yang kau curi dari Jessica?"

"Data apa?"

"Jangan bohong, Erik. Aku tahu kau mengakses data yang ada di email Jessica. Sekarang di mana data-data itu?"



Secara refleks aku melirik ke arah hapeku yang terjatuh tak jauh dariku. Sialnya, Surya tahu itu dan dengan cepat, sambil tetap menodongkan pistol padaku, dia mengambil hape itu. Dengan sekilas, dia membuka-bukanya. Itu adalah hape dengan tombol sehingga mudah baginya mengoperasikan dengan satu tangan. Namun dia yang tampaknya tak terbiasa dengan OS model lama tampak agak kesulitan saat harus mencari-cari file dan mengawasiku dalam waktu yang bersamaan. Surya memang salah satu orang terbaik dalam pemasaran ASV, tapi dia bukan technological savvy. Soal ini bahkan aku saja jauh lebih baik daripada Surya.

Mungkin karena kesal bila harus mencari satu persatu, Surya menggunakan hapeku itu untuk menelepon seseorang.


"Halo? Simon, ya? Eh, tolong sekarang juga kau lacak dan sambungkan nomor ini ke mainframe. Ya, ini perintah dari Bos Steven. Sambungkan saja ke mainframe supaya kita bisa remote ini hape, lalu cari tahu lalu lintas data yang masuk dan keluar, paham. Sekarang. Iya, SEKARANG!"


Surya tak langsung menutup teleponnya, tapi dia menunggu proses remoting yang dilakukan oleh tim, entah di ASV atau di KSI.


"Teknologi itu luar biasa ya, Erik? Sekarang kita bisa akses hape dari mana saja. Contohnya tadi, aku baru sambungin hape kau sama mainframe di KSI. Berkat teknologi dari ASV, kami bakal bisa ngelacak lalu lintas data dari hape itu, dan Sistem Perseus bakal hancurin semua pengamanan yang kau pakai buat mengamankan data yang kami cari. Kayaknya nggak bakal lama semua data bakal kami dapatkan dan termasuk kepada siapa-siapa aja kau kirim data itu. Malam ini kami akan bereskan semuanya, termasuk Jessica, yang sayangnya harus mati juga bersama istri dan gundik kau, dan kami akan buat kematian mereka seperti kecelakaan supaya tak ada yang tahu. Lalu besok pagi bahkan insiden kecil di sini akan seolah tak pernah terjadi. Setelah istri sama gundik kau kami bereskan, say goodbye to the world, Erik."


Aku yang tidak bisa menahan geli akhirnya tertawa terbahak-bahak dengan cara tertawa sebagaimana orang gila. Surya pun ikut-ikutan tertawa terbahak-bahak.


"Lucu ya, Erik? Ya, benar, tertawalah kau sebelum tak bisa lagi tertawa. Hahahahahahaha!! Tertawa, Erik, tertawakan kematian kau sendiri, hahahahaa!!"


Aku terbatuk saat mencoba menghentikan tawaku, lalu menelan ludah sebentar, yang terasa anyir akibat tercampur darah.


"Aku nggak menertawakan kematianku, Sur. Tapi aku menertawakan kamu."

"Bah! Apa pula menertawakan aku, buat apa??"



"TUIIIT!! TUIIIT!! TUIIIT!!"


Hape Surya tiba-tiba berbunyi tepat pada saat itu. Surya sendiri agak terkejut karena dia tak mengharapkan ada telepon pada saat-saat ini.


"You'd better pick that up, Sur. Siapa tahu penting. Oh, bukan, bukan. Itu memang telepon yang penting."


Walau tak mengerti dengan apa yang aku katakan, Surya pun tetap mengangkat teleponnya.


"Halo? Ya, ada apa, Mon? Sudah bisa kau ekstrak semuanya? Hah? Apa?? Virus?? Mustahil, sistem kita kan... APA!!?? VIRUSNYA BISA BYPASS SISTEM KEAMANAN KITA!!??"


Surya pun terdengar semakin gusar, sementara senyum dan seringaiku semakin bertambah lebar dan bertambah psikotik.


"MASA KAU TAK BISA CONTAIN ITU VIRUS!!??? HEH TUNGGU!! Apa maksudnya data-datanya hilang??? YA CEPAT DIHENTIKAN, ******!!"

"Sia-sia, Sur! Nggak bakal kalian bisa hentikan serangan Medusa! HAHAHAHAHA!!"

"Medusa?? Apa maksud kau Medusa??"

"Sebelum Sistem Pengamanan Perseus dibuat, ASV mengembangkan progenitor virus komputer terbaru dengan daya rusak yang luar biasa besar. Dari situ kita mengurangi daya rusaknya supaya bisa diintegrasikan ke Perseus. Yang kamu pakai untuk simulasikan serangan hacker ke KSI adalah virus Medusa versi alpha, yang daya rusaknya lebih kecil dan bisa dikendalikan, tapi tak bisa dideteksi Sistem Perseus karena menggunakan kode yang sama. Tapi, yang ada dalam hape aku itu adalah progenitornya, Medusa yang asli. Saat kamu konekkan hapeku ke Sistem Perseus di KSI, kamu sudah secara otomatis mengaktifkan dan melepaskan Medusa. Sekarang virus itu akan mulai berkembang biak lalu menghancurkan semua bangunan digital yang ada di KSI, juga pada mainframe lain yang terhubung dengan mainframe KSI. Dalam satu jam, semua data, transaksi, juga uang yang ada di KSI akan hancur tanpa tersisa. Hahahaha!"

"DIAAM!!"



Surya semakin panik dan notifikasi dalam grup obrolannya mulai masuk dengan semakin tak terkendali. Dengan tatapan mata penuh kemarahan, Surya pun menghardik.


"Hei, Erik, hentikan serangan virus itu sekarang juga! CEPAAAT!!"

"Kamu nggak denger aku tadi ngomong apa? Sekali dilepas, Medusa tidak bisa dihentikan, dan karena kodenya sama dengan Perseus, dia bakal pakai bangunan Perseus buat mereplikasi dirinya. You're doomed! Bahkan aku aja masih ragu ngelepas virus itu, tapi kamu bisa dengan cerobohnya nyambungin virus itu pake Perseus. Enjoy the fall."



Pandangan Surya makin tidak fokus antara aku dan layar pada hapenya yang berisi kepanikan tim KSI di sana. Momen sesaat itu kupakai untuk mengambil sesuatu yang ada di belakang punggungku. Ya, saat tadi aku ditendangi oleh Surya, secara tak sengaja dia malah membuatku berguling hingga menuju ke pisau yang kujatuhkan. Begitu aku mengacungkan pisau itu, dia tampak panik dan berusaha mengancam.


"Hei!! Kau jangan macam-macam ya!! Lihat aku punya apa!?? Aku punya pistol, Erik, PISTOL!! Inget kan apa kata orang, don't bring a knife..."


"CTAAAKKKK!!!"


"...to a gunfight... gggghhhh..."



Surya tumbang bersimbah darah. Darah mengucur dengan deras dari tenggorokannya yang kini berlubang akibat ditembus bilah pisauku, sementara aku melihatnya sambil memegang gagang pisau yang kini kehilangan bilahnya. Ya, ini memang bukan pisau biasa, melainkan ballistic knife, pisau tembak yang cukup tersohor karena dipakai oleh pasukan khusus Rusia, Spetsnaz. Walau kelihatan seperti pisau biasa, bila menekan pelatuk khusus, akan melontarkan bilah pisau dengan kecepatan tinggi, efektif untuk membunuh sasaran pada jarak dekat sebagai alternatif pistol. Andai saja Surya tahu mengenai ballistic knife ini, tentu dia akan langsung menembakku, bukannya pakai mengancam-ancam segala.

Kutunggu Surya mengeluarkan nafas-nafas penghabisannya, tersedak dalam darahnya sendiri yang semakin meluas bagai genangan. Aku sebenarnya tak ingin membunuhnya, namun situasi saat ini adalah membunuh atau dibunuh. Lagi pula, seperti kata Surya tadi, Metta dan Rini, beserta Anin, juga sedang terancam. Sebelumnya, aku mengambil terlebih dahulu hape Surya, yang kini belepotan darahnya. Sambil tertatih-tatih mengambil kunci untuk menuju ke mobil, aku pun menonton bagian kedua dari video yang tadi Surya perlihatkan padaku. Adegannya pun bergeser beberapa lama ke depan, Metta sepertinya sudah mulai siuman.


"HAH!?? Ini apa!?? Ko Steven, ini apa!!??"


Metta ketakutan dan terkejut saat melihat tato bergambar ular itu di pahanya. Dia berusaha untuk menggosok gambar itu untuk menghilangkannya, namun namanya juga tato, jelas itu tak bakal hilang.


"Ko, please, Ko, ini apaan?? Kenapa aku dikasih ginian?? Tolong ilangin, Ko, kalau ntar suamiku ngelihat gimana??"

"Ya itu pinter-pinternya kamu lah buat sembunyiin itu dari suami kamu."

"Ko, tolong, Ko..."



Metta pun mulai menangis sejadi-jadinya. Ini bukanlah hal yang dia inginkan.


"Aku rela Ko, ML ama Ko Steven atau Tuan Surya, atau siapa aja, tapi please... Tolong hapus tato ini, Ko... Aku nggak mau ada kayak gini... Ntar kalau suami aku tahu gimana? Suami aku nggak suka tato, Ko..."

"Ya, berarti kalau suami kamu liat itu tato, dia pasti bakal ngira kamu selingkuh. Toh, selama ini kamu juga udah selingkuh dari dia, kan?"

"Aku nggak selingkuh dengan sukarela, Ko... Ini karena Tuan Surya punya foto sama video aku..."

"Ya, sama saja kan berarti? Kamu gak mau foto ama video kamu ketahuan suami kamu, sama aja kamu juga nggak mau tato itu ketahuan."

"Nggak gini juga, Ko... Ko Steven koq jahat banget sih ama aku? Pertemanan kita dari dulu nggak Ko Steven anggap ya ternyata selama ini?"



Steven tertawa terbahak-bahak. Kalau ada yang tawanya lebih iblis daripada Surya, mungkin Steven-lah orangnya. Di balik penampilannya yang terkesan pintar dan lugu, ternyata ada hawa jahat yang bersemayam.


"Kamu nggak tahu ya, Met? Siapa yang nganggep kamu itu teman, hah? Dari dulu aku cuman nganggep kamu itu sebagai alat. Alat yang aku pakai buat memenuhi keperluanku. Bukan aku yang ndeketin kamu waktu sekolah, inget itu, tapi kamu yang ndeketin aku, jadi ya sekalian aja aku jadikan kamu sebagai pacar waktu sekolah biar semua orang segan ama aku. Hahahaha. Sama aja sekarang, aku pakai kamu buat nyingkirin orang-orang yang jadi sainganku. Termasuk Erik."

"Tunggu! Jangan! Tolong jangan apa-apakan Erik, please! I'll do anything! I'll do anything! Tapi tolong jangan sakitin Erik."

"Beneran?"

"Iyaa.. Anything! Please, Ko Steven, Erik jangan diapa-apain. I can't live without him."

"Oke, sekarang ini yang harus kamu lakukan. Erik sama sekali nggak boleh tahu soal tato itu, aku nggak mau peduli gimana caramu nyembunyiinnya. Tapi kalau tato itu ampe ketahuan, apalagi sampai ketahuan juga kami yang bikin itu tato, jangan harap Erik bakal ngelihat matahari terbit besoknya, ngerti!?"

"I-Iya, Ko..."

"Oke, kedua, apa pun yang terjadi, mau kamu dalam posisi apa pun, kalau aku panggil kamu ke sini, kamu kudu saat itu juga ke sini. Mulai sekarang aku bakal jadiin kamu lonte buat lobby dengan tamu atau pejabat KSI. Orang-orang udah mulai bosen ama Jessica, jadi kamu bakal jadi tambahan tenaga. Selama menjalankan tugas itu, datang atau pulangnya terserah aku. Mau suami kamu telepon, mau keluarga kamu telepon atau ada yang sakit, kalau aku nggak kasih izin kamu pulang, maka kamu gak boleh pulang, paham!?"

"Pa-Paham, Ko."

"Lalu ketiga..."



Steven lalu meletakkan sebuah USB ke meja di dekat Metta.


"Pasang USB itu di salah satu komputernya Erik, ada juga colokan buat dimasukin ke hapenya. Lakukan tanpa dia tahu, soalnya konsekuensinya bakalan serius."

"Kenapa? Di USB itu ada apanya?"

"Ada sesuatu, tapi selama Erik nggak tahu dan Erik nggak macam-macam, maka dia nggak bakal kenapa-kenapa."

"J-Janji, Ko?"



"PLAAKK!!"


Steven langsung menampar pipi Metta hingga dia hampir jatuh dari ranjang.


"Kamu nggak dalam posisi buat nuntut, Lonte! Selama kamu jalanin tugas-tugas itu dengan baik, Erik nggak bakal kenapa-kenapa. Paham kamu?"

"I-Iya, paham..."

"Aku udah cariin posisi buat kamu di Yayasan CSR KSI, jadi kamu bisa pake itu buat alasan kalau kudu keluar dalam waktu lama. Kalau tugas kamu berhasil, nanti aku akan kasih kenaikan jabatan sama Erik, dan setelah aku berhasil menguasai KSI seluruhnya, aku bakal bayarin buat hapus tato kamu. Saat itu, kamu sama Erik silakan pergi ke tempat yang jauh biar hidup bahagia berdua."



Metta hanya menatap Steven, tampaknya dia masih agak ragu dengan perkataannya.


"I'm a man of my word, kamu tahu itu kan, Metta? Kamu tahu juga kan apa yang akan terjadi kalau kamu nggak jalanin apa yang aku perintahin? Membunuh Erik itu mudah, Met, amat mudah bagi aku. Tapi aku nggak bakal ambil cara barbar itu selama kamu bisa ngasih apa yang aku perluin."


Metta mengangguk sambil menangis sesenggukan, kemudian Steven mencium bibir Metta dengan amat kasar dan juga dingin, nyaris tak ada rasa sama sekali. Setelah itu dia pergi tanpa berkata-kata, dan saat itulah video berakhir.

Aku mendengus, merasa bersalah atas apa yang kukatakan pada Metta tadi. Itu bukan kesalahan Metta bahwa dia terjebak kemudian tato itu pun tak dia buat atas kemauannya sendiri. Dia juga tampak tertekan karena dia tahu bila aku sampai tahu, maka risikonya adalah nyawaku, dan Metta tak ingin aku kenapa-kenapa. Andai aku tak semarah itu. Andai aku mendengarkan peringatan "aku" lebih cepat, mungkin kami semua bisa melalui ini dengan selamat. Pedal gas pun kutekan sementara aku menghubungi seseorang.


"Ya, Erik?"

"Rin, kalian sampai mana?"

"Mau masuk ke tol sih. Kamu gimana?"

"Ada yang ngikutin kalian nggak?"

"Sejauh ini aman sih, nggak ada apa-apa..."


"DAAAKKKK!!"



Perkataan Rini terputus oleh benturan keras antara logam dengan logam. Terdengar suara sumpah serapah dari wanita lain di mobil itu, sepertinya itu Anin. Lalu kudengar bunyi putaran mesinnya melambat.


"Kalian kenapa?"

"Ada yang nyenggol mobilnya ini, Rik..."

"JANGAN BERHENTI!! CEPAT LARI!!"

"Hah!?? Nin! Nggak usah berhenti! Tancap gas aja!!"



Suara ban berdecit lalu mesin dipacu dengan putaran penuh pun terdengar disertai juga tangisan dari Metta. Anin tampak bisa menguasai kendali dengan baik, tapi aku harus bergegas ke sana.


"Kalian posisi di mana? Siapa yang kejar kalian???"

"Posisi masih di Utara sih, kamu di mana? Kami diikutin ama Innova item."



Lalu kudengar Anin meneriakkan posisi sebuah tempat. Ya, aku tahu tempat itu. Bila menggunakan jalan putar, maka aku bisa mencapai ke sana dengan cepat. Segera aku mengkomando Anin supaya bergerak ke sebuah tempat dan kami akan bertemu di sana. Masalahnya, Rini juga menambahkan bahwa Innova hitam ini mulai agresif menyerang dan menabrak mereka. Sial, aku harus bergegas!

Untunglah jalan tak sedang ngaco sehingga aku dengan cepat semakin mendekati posisi mereka. Peta kupasang supaya bisa tahu pergerakan mereka secara real time. Kedua titik kami pun akhirnya saling mendekat, masalahnya arah kami saling berlawanan. Aku di satu lajur dan mereka di lajur yang lain. Gas kutekan hingga full, aku sudah tak peduli walau ini melanggar batas kecepatan. Perlahan aku pun melihat mobil M*rcy yang kukenali sebagai mobil Anin. Kemudian di belakang mereka, Innova hitam yang bergerak dengan agresif. Aku justru melaju semakin kencang. Lagu "Time To Say Goodbye" yang dinyanyikan oleh Sarah Brightman dan Andrea Bocelli pun mengalun dari sound system mobil.


"Rik, yang di depan itu mobil kamu??"

"..."

"Rik, slow down! Kamu terlalu cepat!!"

"..."

"RIK!!"



Maaf, aku tak bisa menurunkan kecepatan. Dengan kecepatan tinggi, aku segera banting setir dan masuk ke lajur berlawanan, ke arah mereka. Anin terdengar berteriak panik, berusaha banting setir untuk mengindari mobilku yang melesat amat kencang. Suara spion mobil Anin yang terserempet mobilku hanya terdenger sepersekian detik disertai suara mereka bertiga yang memanggil-manggilku dari telepon. Aku menutup mata, mobil Innova hitam itu tepat berada di depanku, dan saat ini semua bergerak seperti gerakan lambat.


"BRAAAAAAAKKKKKKKKK!!!!!!!"


Benturan keras, kulit yang tersayat, pecahan kaca tajam beterbangan ke mana-mana, dan aku hanya bagai boneka kertas yang tercabik-cabik dalam badai debris ini. Aku tak ingat berapa kali aku berputar, berapa kali aku terhempas... Yang aku tahu waktu terasa berjalan lambat dan seluruh hidupku pun terlintas di depan mataku. Saat timeline originalku, pertama kali aku bertemu Metta, pertama kali aku bertemu Rini, pertama kali aku dan Rini berpacaran, lalu menikah, punya anak, lalu semua kemarahan dan kekerasan itu, lalu kembali ke timeline 2009 di mana aku berpacaran dengan Metta, bertemu Rini untuk kedua kalinya, jatuh cinta kembali pada Rini, momen-momen pengkhianatan Metta, teman-temanku di kos, Metta yang menangis di pelukanku, Rini yang menangis di pelukanku, pertama kalinya aku memecahkan keperawanan Metta dan Rini, saat-saat sensualku bersama Vinny dan Nindy, juga saat aku menangis di pelukan Nindy ketika di pulau, lalu wajah Vinny yang ingin aku menjadi CEO bisnisnya, Reyhan yang selalu membantuku tanpa perlu diminta atau bertanya, saat aku dan Metta di tengah salju di Korea, Om Darwin dan Tante Melly, lalu pernikahanku dan Metta, juga air mata Rini yang melepasku untuk menikah...

Saat mengingat semua itu aku bahkan tak merasakan rasa sakit apa pun, meski aku tahu tubuhku tengah terkoyak-koyak oleh puing-puing mobil, lalu sebuah benturan keras pun menghempaskanku, masih tanpa rasa sakit, lalu semuanya terang. Matahari bersinar di atasku membuatku silau, lalu panasnya aspal yang tajam ini terasa membakar dan memanggang kulitku, dan aku bisa mencium serta merasakan aroma amis dari darahku sendiri. Aku tak bisa bergerak, namun aku tetap tak merasakan sakit. Semua ingatan melesat semakin cepat seolah tak sabar ingin agar kuingat kembali sebelum nyawaku ini meninggalkan ragaku untuk selamanya. Dan dalam pusaran semua ingatan itu, ada satu orang yang kurindukan...

Ya, Bella... Aku tak pernah bertemu dengannya di timeline ini atau setelahnya. Bagaimana keadaannya? Apakah kini dia berbahagia dengan kehidupannya sendiri? Apakah takdir kami sudah tak lagi bersatu? Semoga saja segala hal berjalan dengan lancar baginya.

Sayup-sayup aku mendengar suara wanita memanggilku. Mereka menangis, padahal aku sendiri tengah tersenyum. Dalam saat ini, semuanya tak terasa nyata, lebih seperti mimpi. Lalu matahari pun tertutup, dan wajah-wajah familiar pun muncul. Pertama adalah Rini, dia menangis tersedu-sedu, dan aku pun sedih karena tak bisa menepati janjiku padanya. Kemudian muncul Metta, dengan wajah yang lebih sedih dan penuh rasa bersalah. Andai aku bisa mengucapkan permohonan maaf padanya, namun suara yang keluar dari mulutku hanya seperti orang gagu.

Tiba-tiba aku pun tersenyum. Ya, karena wajah terakhir yang muncul adalah wajah yang kukenal, wajah yang telah lama kurindukan dan kunantikan, dan akhirnya baru datang saat usiaku mencapai penghujung. Wajah yang bulat telur sempurna, dengan bibir merah merona, dan mata yang lentik lebar, membingkai kecantikan yang bagaikan bidadari, yang selalu menemaniku dulu saat situasi di rumah tak tertahankan.


"Bella, akhirnya kamu datang..."


Tanganku pun terangkat, dan Bella memegangnya. Tangan Bella masih seperti tangan yang aku ingat dahulu, mungil dan lembut dengan jarinya yang lentik. Namun sensasi itu makin lama makin memudar. Apakah ini hanya mimpi, apakah Bella datang padaku dalam bentuk mimpi dan ingatan? Namun aku memegang tangannya dan merasakannya secara fisik. Apa pun itu, pada akhirnya, dengan mereka semua di sini, akhirnya aku bisa pergi dengan tenang, memastikan bahwa Rini, Metta, dan Bella, di mana pun dia, kini sudah aman...

Mau bagaimana pun itu, saat pandanganku makin lama makin gelap, ini tetaplah akhir yang indah...


Atau, benarkah begitu?

THE END

of Andaikan Waktu Itu...
 
Pertamax.
Terimakasih suhu TS untuk Thread yg menarik ini.
Jadi endingnya tidak balik ke time aslinya bersama Rini dan anak semata wayangnya yah suhu? Dalam imajinasi reader Rini di timeline asli belum mati. Tapi Eric berkeyakinan sudah membunuh istrinya.
Maaf,saya kira ending akan berakhir di time line asli. Bersama keluarga kecilnya.
Dgn kata lain happy ending
 
Terakhir diubah:
Mantap suhuku...
Akhirnya tamat juga...
Walaupun dengan akhir cerita yang agak membingungkan...
Kenapa ya di pandangan terakhir si eric... Yang nongol malah si bella...
Jujur nubi masih belum ngerti ceritanya knp sampe begitu...
Tolong di jelaskan dong suhu...
Terimakasih...
 
Chapter Omega:

Red Thread of Destiny


Sebuah Rumah Sakit Kawasan Jakarta Utara
18.00 WIB



Aku terduduk di sini sendirian, menunggu mereka melakukan tindakan kepada Erik. Sudah lama sekali semenjak Erik masuk ke ruang operasi, dan lampunya pun masih menyala, tanda tindakan operasi masih berjalan. Padahal sudah berjam-jam dia berada di dalam. Aku merasa agak gamang, menunggu di sini sendirian, karena ini seperti sesuatu yang pernah kulakukan sebelumnya. Duduk di sini, di sebuah rumah sakit, menunggu kejelasan nasib dari seseorang yang nyawanya tengah melayang di antara hidup dan mati. Ini sebuah perasaan yang tidak menyenangkan, namun juga terasa tak asing, dan jelas bukan sesuatu yang ingin kualami. Kalau dipikir-pikir, pasti tak akan ada orang yang mau mengalami berada pada posisi ini.

Setiap kali pintu itu terbuka dan ada orang yang keluar, aku pun langsung berdiri. Namun mereka selalu tak mengatakan apa-apa, bahkan terkesan tak ingin berbicara denganku. Ini tentu saja membuat hatiku merasa semakin was-was. Jangan-jangan terjadi hal terburuk pada Erik...

Tidak, aku tidak mau. Erik tak boleh kenapa-kenapa. Banyak sekali hal yang ingin aku lakukan bersama Erik, dan yang lebih penting lagi adalah dia sudah berjanji bila semua ini berakhir, maka dia akan kembali bersamaku, lalu kami akan hidup bahagia bersama.


Televisi di ruangan tunggu ini menyiarkan breaking news semenjak tadi yang memberitakan mengenai kejatuhan KSI.


"Serangan virus cyber yang terjadi di KSI tadi siang tak berhasil ditangani dengan baik oleh tim IT KSI, dan berpotensi menyebar pada setiap jaringan yang tersambung dengan KSI. Diketahui bahwa Bursa Efek Indonesia dan Singapura berhenti beroperasi lebih awal dan offline jaringan untuk mencegah virus yang menyerang KSI ini menyebar ke mainframe kedua bursa efek. Tindakan ini diikuti dengan offline-nya beberapa server internet untuk mengantisipasi hal serupa. Akibatnya semua transaksi non-tunai di Jakarta dan seluruh Indonesia menjadi terganggu. Transaksi jual beli menjadi lambat karena semua proses dilakukan secara manual, dan lebih parahnya lagi adalah semua ATM dari semua bank di Jakarta tidak bisa berfungsi karena jaringannya diputus dari pusat. Kerugian yang dialami oleh KSI Asia Tenggara diperkirakan mencapai triliunan dolar, dan jutaan dolar lagi hilang tiap menit kerusakan ini tak berhasil dipulihkan."


Ya, semuanya chaos. Bahkan kartu kredit pun tak bisa dipakai untuk membayar biaya administrasi rumah sakit. Untungnya aku bisa mengambil uang dari ATM sebelum seluruh ATM menjadi offline. Polisi dan TNI sudah dikerahkan di jalan untuk mencegah terjadinya kerusuhan akibat lumpuhnya sistem ekonomi ini. Menurut perhitungan Kemenkominfo, situasi akan bisa diperbaiki besok, dan sistem akan bisa dijalankan kembali perlahan-lahan, namun entah besok sudah sebesar apa kerugiannya. Di beberapa tempat tertentu bahkan orang sampai menyerang bank dan minimarket karena putus asa tak bisa membeli bahan-bahan.


"GREDEEEKK!!"


Suara pintu pun kembali berbunyi dan seseorang keluar dari ruangan itu. Kali ini seorang dokter yang tampaknya dokter senior. Aku kembali berdiri, dan dia langsung melihat ke arahku, menatapku dari atas ke bawah.


"Keluarganya Pasien Erik, ya?"

"Iya, saya keluarganya Pak Erik."

"Oh, maaf, Ibu ini siapanya Pasien Erik, ya?"

"Saya istrinya, Dok."

"Oh, maafkan saya, Bu. Tapi Ibu menunggu di sini sendirian, tak ada anggota keluarga lain?"

"Kami cuman berdua saja, Dok."



Dokter itu hanya mengangguk-angguk saja.


"Bagaimana Pak Erik, Dok? Apa operasinya berhasil?"

"Ya, Ibu boleh tenang. Operasi suami Ibu berhasil. Kami berhasil menstabilkan kondisinya, tapi lukanya cukup parah, Bu. Dia juga belum lewat dari masa kritis, jadi kita tunggu saja, ya. Semoga saja besok pagi Pak Erik masih bisa bertahan. Walau..."

"Walau apa, Dok?"

"Mungkin dia kalaupun selamat pun bakal cacat, Bu. Kecelakaan itu lebih parah dari dugaan kami, banyak tulangnya yang remuk dan organnya yang terluka."



Vonis dokter itu bagaikan petir yang menyambar. Erik... Erik yang kukenal tegap, pintar, kuat, dan pemberani, kini terancam cacat, mungkin akan selamanya berada di kursi roda, atau kruk, atau mungkin buta, atau tuli, atau paraplegia. Membayangkan itu saja aku hampir saja menangis. Namun tidak, aku harus kuat... Ya, bila aku akan menjalani kehidupan itu, maka aku tak boleh cengeng. Aku harus kuat, demi Erik...


"Tapi dia bakal selamat kan, Dok?"


Dokter itu mendesah dan menggelengkan kepala.


"Untuk urusan itu, kita serahkan pada Yang Maha Kuasa. Kami sudah berusaha dengan sekuat tenaga."


Setelah dokter itu berlalu, aku langsung jatuh bersimpuh dan menangis.


"Erik... Kenapa kamu tega begini, Erik... Jangan tinggalkan aku!!"


Aku menangis dengan amat keras hingga tak peduli apakah ada orang yang mendengarnya. Bagaimana pun, Erik mengalami kecelakaan seperti ini karena berusaha menyelamatkan kami. Kalaupun Erik selamat malam ini, ada kemungkinan dia akan cacat, dan kudengar polisi akan segera menangkapnya karena virus itu berhasil dilacak hingga ke hape Erik, belum lagi ada tuduhan pembunuhan karena ditemukan mayat Surya pada rumahnya. Sementara, Steven tidak diketahui rimbanya karena berhasil kabur dari negara ini sebelum situasinya menjadi amat kacau balau.

Entah berapa lama aku menangis hingga akhirnya aku pun capek sendiri. Aku masih terisak namun air mataku sudah mengering. Mata dan pipiku membengkak, karena semua ini terasa amat berat bagiku. Aku duduk sambil memeluk lututku.

Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk membantu...

Andai saja aku bisa melakukan hal yang berbeda...

Andai saja aku bisa menukar nyawaku untuk Erik...

Bila aku bisa melakukan hal itu, maka aku akan rela melakukannya, walau itu berarti aku harus mati.

Oh Tuhan, Dewa, Iblis, atau siapa pun yang ada di sana! Tolong aku! Tolong bantu aku untuk menyelamatkan Erik! Dia adalah orang baik yang seluruh hidupnya didedikasikan hanya untuk menolong orang lain, bahkan walau itu membahayakan keselamatannya sendiri. Dia selalu membantu tanpa pamrih, dan bagiku Erik adalah berkat bagi dunia. Tolong selamatkanlah dia! Tolong biarkan dia bisa hidup dan berbuat kebaikan di dunia ini walau aku harus bertukar tempat di sana.

Namun hanya ada keheningan dan dinginnya dinding rumah sakit. Tak ada suara atau cahaya yang menjawab doaku. Yah, mau bagaimana pun juga, ini merupakan permintaan yang mustahil. Tak mungkin bisa terjadi...


"Erik... Aku nggak mau kehilangan dirimu... Biar aku aja yang mati, tapi jangan kamu, Erik!"


Kembali aku membenamkan mukaku ke dalam kedua lututku dan menangis tersedu-sedu. Namun saat itulah kurasakan sesuatu yang hangat berada di dekatku. Saat kulirik, ada semacam cahaya aneh berwarna merah. Rupanya cahaya itu berasal dari benda aneh semacam benang dari cahaya yang terikat pada jari manisku. Saat ingin memegangnya, benang cahaya itu hanya menembus tanganku begitu saja bagaikan hantu. Lalu muncul pula sebuah aroma harum yang khas. Kopi instant! Ya, jelas bahwa ini kopi instant G**d Day Vanilla Latte! Eh, apa ini mimpi?

Aku mendongak dan tampaklah olehku seorang nenek-nenek dengan muka ramah tersenyum. Dia membawa semacam rombong berisi sachet kopi instant dan termos air panas, dan mengulurkan segelas kopi hangat yang harum kepadaku. Aku tertegun melihatnya, kenapa bisa ada penjual kopi di dalam rumah sakit ini? Lalu kenapa orang ini berasa tidak asing, tapi siapa sebenarnya dia?


"Nenek..."

"De'remmah khabare, Ning Rini? Lama ya kita ndak ketemu, ta'ye? Sampeyan mau kopi?"



Aku melihat kopi harum itu dengan mata seperti terhipnotis, secara otomatis mengambil gelasnya. Sementara senyum si Nenek itu seolah berubah menjadi semacam seringai sadis.

"BENANG MERAH TAKDIR"

 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd