Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 10

Ana berdiri di samping tempat tidur Alex, memperhatikan dokter Hari yang tengah memeriksa kondisi Alex. Pagi ini saat Ana memeriksa keadaannya, Alex mengeluhkan sakit pada perutnya sejak semalam. Tidak ada kelainan apapun pada bekas luka operasinya, sehingga Ana memutuskan untuk memanggil dokter Penyakit Dalam Alex untuk memeriksa lebih lanjut kondisinya.
"Bagaimana Dok?" tanya Ana setelah Dokter Hari selesai memeriksa keadaan Alex.
"Tanda khas Leukemia salah satunya adalah rasa tidak nyaman di perut menyerupai maag," ujar dokter Hari. Ana memejamkan matanya sekilas. Ia tidak ingin Alex melihat kecemasan dalam dirinya. Setelah demam, kini nyeri abdomen. Kondisi Alex lebih buruk dari yang ia perkirakan.
"Saya akan memastikan dulu dengan cek darah kembali. Setelah ada hasilnya nanti, akan kita analisa ulang kembali kondisi pasien."
Dokter Hari menulis sesuatu di Rekam Medis Alex, menyerahkannya kepada perawat dan tersenyum pada Ana.
"Terimakasih dokter Hari" ujar Ana sebelum sejawatnya itu meninggalkan ruangan.
"Buruk ya ...?" tanya Alex, melihat Ana yang duduk di sampingnya sambil menekan nekan keningnya. "Kamu pucat An .. apa kamu baik baik saja?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu" ujar Ana seraya bangkit, meraih piring makan Alex yang masih penuh terisi. "Waktunya makan siang. Dengan obat obatan yang harus kamu minum, kamu tidak boleh telat makan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pula pada lambungmu, Lex."
Ana menyendok sedikit demi sedikit nasi dan menyuapkannya pada Alex.
"Aku hanya kuatir padamu" ujar Alex sambil mengunyah nasi dari sendok yang disodorkan Ana. "Kalau sampai ada apa apa denganmu, siapa yang mau menggantikanmu merawatku, pasien yang susah diatur ini"
Ana tersenyum kecil. Alex sama sekali tidak membahas perkataanya kemarin. Ana juga tidak ingin membahasnya. Saat ini ia lebih mengkuatirkan hasil pemeriksaan lab Alex yang akan disampaikan oleh dokter Hari.

"Kenapa kamu baru datang sesiang ini An?" tanya Alex.
"Masih mencoba mengorek informasi tentang kondisiku?" tanya Ana dengan nada menyindir. Alex tertawa. Dengan isyarat tangannya ia menyudahi suapan makan siangnya dari Ana. "Pasienku tidak hanya kamu Lex .. aku punya pasien lain yang juga harus aku visit dan monitor keadaannya. Sama sepertimu."
Ana meletakkan piring makan Alex kembali keatas meja dan menyodorkan segelas air putih pada Alex. Alex meneguknya lewat sebuah sedotan yang ada di dalam gelas perlahan.
"Tapi tentunya aku yang paling istimewa" Alex melemparkan senyumnya pada Ana.
"Ya, tentu ..." jawab Ana. "Karena kamu keras kepala ... Tidak seperti pasien lainnya yang menuruti instruksiku dengan baik."
Alex tertawa tertahan, seraya memegangi perutnya yang masih terasa tidak nyaman. Ana berbalik akan meninggalkan Alex saat Alex memanggilnya kembali.
"An ..." seru Alex. Ana menoleh "Beri aku waktu ..."
Ana mengernyitkan keningnya dan kembali menghampiri Alex.
"Waktu untuk apa?" tanya Ana pelan. "Waktu untuk memikirkan apakah kamu akan menjalani perawatan atau tidak? Alex, kamu tidak punya banyak waktu. Kondisimu semakin hari akan semakin memburuk tanpa terapi yang tepat dan gaya hidup tidak disiplin seperti ini."
Alex memandang langit langit, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Melihatmu menahan sakit, melihat penderitaanmu, adalah hal yang paling menyiksaku" sambung Ana. "Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan ..."
Ana tidak melanjutkan kata katanya. Tenggorokannya terasa tercekat. Sebagai seorang dokter berpengalaman, ia sangat mengetahui apa yang akan dihadapi Alex selanjutnya. Ana menundukkan kepalanya menahan tangis.
"Kalau kamu tidak bisa bertahan ... bagaimana mungkin kamu akan mendampingi aku sebagai seorang isteri?" tanya Alex lirih. Ana mendongak, menatap Alex dengan mata berkaca kaca.
"Aku tahu .. Ayahku memintamu untuk mendampingiku .. An, duduklah ..." pinta Alex kepada Ana dengan suara beratnya. Ana menenangkan debar jantungnya, duduk di tepi tempat tidur Alex.
"Papa .. tadi pagi pagi sekali ia datang menjengukku, dan menceritakan semuanya padaku." ujar Alex "Aku mengerti kekuatirannya. Tapi ini tidak adil untukmu An .."
Alex menarik selimutnya, terlihat sedikit gelisah.
"Mungkin kamu sudah memiliki rencana untuk masa depanmu dengan seseorang yang lain .. aku tidak tahu" lanjut Alex. "Dan aku juga tidak mau kamu mengabulkan permintaan Ayah hanya karena iba padaku .. kamu tidak memiliki tanggung jawab apapun atas diriku An .."
"Aku mungkin tidak punya waktu banyak untuk hidup bersamamu dan aku tahu semua akan tidak mudah untuk dijalani" lanjut Alex. "Aku hanya ingin kamu bahagia .. aku tidak pernah bermimpi seorang wanita sepertimu mau melewati hidup yang sulit bersamaku .. "
"Aku memang tidak secantik dan sepopuler Eveline, calon isterimu .. aku tahu itu .." ujar Ana. Sebutir air mata mengalir di pipinya. "Dan tentu saja aku .. punya rencana dan harapan untuk masa depanku .. tapi terkadang, hati bisa merubah segalanya. Bukan hanya aku yang harus mempersiapkan diri untuk hidup bersamamu, Lex .. tapi kamu juga .. hidup, cita cita dan masa depanmu mungkin akan sangat berbeda setelah ini."
Alex mengangguk kecil.
"Aku melamarmu ..." ujar Ana, ditengah air matanya yang semakin deras. "Jawablah sesuai dengan kata hatimu ..."
"Aku perlu waktu .. bukan untuk memikirkan lamaranmu karena itu sudah kulakukan sepanjang malam ..." ujar Alex. "Tapi aku perlu waktu untuk .. menyampaikan pada Eveline bahwa aku .. memilih untuk hidup bersamamu."
Ana menatap Alex dengan hati yang berkecamuk. Tidak ada kata apapun yang mampu ia ucapkan selain derai air mata yang tak kunjung henti. Ia melihat Alex tersenyum padanya, dan meraih tangannya dengan lembut, suatu hal yang belum pernah Ana rasakan sebelumnya.
"Maukah kamu mendampingiku dalam suka dan duka, An ..." tanya Alex pelan. Ana hanya mengangguk dan tersenyum saat Alex mengecup lembut punggung tangannya.

Ana mendorong kursi roda Alex memasuki ruang Radiologi.
Dibelakangnya dua orang perawat membawa berkas Rekam Medis mengikuti mereka. Pagi ini dokter Hari menginginkan Alex melakukan pemeriksaan USG untuk melihat keadaan Heparnya yang menurut hasil lab sedikit mengalami pembengkakan.
Saat melewati selasar, mereka berpapasan dengan Dewo yang tengah berjalan cepat berlawanan Arah.
"Selamat pagi dokter Ana .." sapa Dewo seraya tersenyum. Ana menghentikan langkahnya dan menyambut uluran tangan Dewo. "Mengantar pasien? Kemana? Mengapa kamu sendiri yang mendorong kursi roda pasien?"
Dewo menatap Ana dan Alex bergantian, merasa heran karena seorang dokter tidak biasanya mengantar sendiri pasiennya untuk melakukan konsul ataupun pemeriksaan. Dokter hanya memberikan instruksi dan perawat yang akan melakukannya.
Ana tersenyum canggung. "Ya .. ke Radiologi .. Alex .. ehm .. maksudku pasienku harus dilakukan USG atas rujukan dokter Hari."
Ana melirik Alex yang menatap Dewo dengan pandangan tajam.
"Ooh .. ini .. bukankah pasien yang saat aku berada di rumahmu ... kita ..." ujar Dewo memastikan, yang segera di potong oleh perkataan Ana.
"Ya." ujar Ana cepat "Tuan Alex."
Diluar dugaan, Alex mengulurkan tangannya kepada Dewo mengajaknya bersalaman. Dewo meraih tangan Alex, dan Alex menyebutkan namanya.
"Alex .. calon suami dokter Ana."
Dewo terperanjat. Begitupun Ana, terlebih ia sangat tidak menduga atas reaksi yang diberikan Alex kepada Dewo. Ana tidak memperhatikan reaksi perawat yang ada dibelakangnya, namun ia dapat memastikan perawat tersebut menunjukkan reaksi yang sama dengan Dewo dan dirinya sendiri.
"Oh .." gumam Dewo setelah beberapa saat. "Jadi ini sebabnya penolakanmu .."
"Maaf dokter ..." Ana kembali memotong perkataa Dewo. "Kami sudah ditunggu dokter Hari di ruang Radiologi .. permisi .."
Tanpa menunggu lama, Ana kembali mendorong kursi roda Alex, meninggalkan Dewo yang masih berdiri memandang kepergian mereka.
"Siapa dia An?" tanya Alex penuh selidik. "Apa maksudnya dengan penolakan?"
"Dan kenapa kamu memperkenalkan dirimu seperti itu?" bisik Ana, berusaha agar perawat di belakang mereka tidak mendengar apapun. Ana berusaha untuk menjaga profesionalitas nya sebagai seorang dokter di Rumah Sakit tersebut.
"Kenapa ..?" tanya Alex tenang. "Aku kan memang calon suamimu. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa dia?"

Ana menarik nafas lega karena mereka telah tiba diruang USG sehingga ia tidak perlu menjelaskan tentang Dewo kepada Alex. Perawat membuka pintu lebar lebar dan Ana memasuki ruang USG dimana dokter Hari dan dokter Erwin seorang spesialis Radiologi telah menunggu mereka.
"Selamat pagi .." sapa Ana sambil tersenyum. "Pasien sudah siap Dok .."
"Silahkan langsung berbaring disana" ujar dokter Erwin ramah, menunjuk sebuah tempat tidur disamping layar monitor USG yang akan dipergunakan untuk memeriksa kondisi Alex.
Ana membimbing Alex menaiki tempat tidur.
"Maaf ..." bisik Ana sambil membuka baju dan menurunkan sedikit celana Alex ke bagian bawah.
"Tidak apa .. nanti kamu akan terbiasa membuka semua pakaianku kalau kita sudah menikah" Alex menjawab, berbisik di telinga Ana, membuat wajah Ana merona memerah. Alex menyeringai. Ia sangat suka menggoda Ana, melihat reaksinya yang begitu polos.
"Jangan macam macam .." Bisik Ana melirik dokter Hari dan dokter Erwin yang masih berbincang didepan pintu.
Saat menarik turun Celana Alex, Ana melihat lebam dan memar yang cukup luas di permukaan kulit bagian paha Alex. Ana terkesiap, lebam ini tidak ia lihat saat melakukan operasi beberapa hari yang lalu.
"Sakit?" tanya Ana sambil sedikit menekan daerah lebam tersebut. Alex menggeleng.
"Tidak .. kenapa?" tanyanya. Ana tidak menjawab. Ia segera membuka seluruh pakaian Alex, menurunkan lagi celana Alex semakin ke bawah untuk memeriksa apakah ada lebam lain di tubuh Alex.
"Hei .. An .." seru Alex saat Ana dengan lembut membolak balikkan tubuhnya. "Sabar .. kita bisa melakukannya di ruang rawat nanti saat tidak ada orang yang .."
"Alex!" bisik Ana tajam. Ia mendelikkan matanya menatap Alex. "Tenanglah .. aku sedang memeriksamu!"
Alex tertawa senang. Sekali lagi ia bisa menggoda Ana.
"Pikiranmu itu ..." gumam Ana melihat Alex menyeringai didepannya. "Kamu tau ada lebam seperti ini pada tubuhmu?"
Alex bangkit melihat memar yang ditunjukkan Ana pada pahanya.
"Aku menemukan satu lagi di lengan dalammu" ujar Ana cemas. Alex menggeleng.
"Kenapa ini?" tanya Alex menatap Ana. "Biasanya begini bila aku terbentur sesuatu .. tapi seingatku tidak ..."
Ana menggigit bibirnya. Alex sudah mengerti bahwa itu pertanda Ana menemukan satu lagi perburukan dalam kondisi kesehatan nya. Alex menghela nafas menatap Ana dalam dalam.
"Tidak apa ..." ujar Ana menenangkan. Ia meraih tangan Alex dan menggenggamnya kuat kuat "Kamu pasti sembuh .."
Ada sedikit rasa lega di hati alex saat melihat senyum di bibir Ana. Ia membalas memegang tangan Ana kuat kuat, dan tidak melepaskannya selama pemeriksaan berlangsung.

"Istirahatlah .." ujar Ana setelah merapikan selimut Alex di ruang rawat inap. Karena kondisi Alex yang mulai stabil, Ana memindahkannya keluar dari ruang ICU.
"Aku ingin mendengar hasil pemeriksaanku, An" ujar Alex. Ana mengangguk angguk, berpikir memilih kata yang dapat dimengerti dengan mudah oleh Alex.
"Hati mu .. maksudku organ hati dalam tubuhmu sedikit membengkak. Tapi dokter Erwin tadi berkata bahwa pembengkakannya bukan patologis .. artinya .. umum terjadi karena konsumsi obat berkaitan dengan penyakitmu" ujar Ana. "Jadi masih bisa kita abaikan .. tidak perlu tambahan obat lain karena akan hilang seiring dengan membaiknya kondisimu."
"Lalu lebam ini?" tanya Alex melirik bagian pahanya yang tertutup selimut. "Apa artinya?"
"Mmh .. jadi .. itu karena ada pendarahan spontan dibawah kulitmu .. artinya ya .. sesuatu bertambah buruk dalam darahmu .." Ana menjelaskan panjang lebar. Ia harus seterbuka mungkin menjelaskan kondisi kesehatan Alex, agar Alex bisa lebih memperhatikan dirinya sendiri.
Alex menunduk, hening sejenak, sejurus kemudian ia menatap Ana.
"Apa kamu yakin memutuskan untuk hidup bersamaku, An?" tanya Alex meyakinkan Ana. "Kamu tidak bisa menutupi kalau keadaanku semakin memburuk .."
Ana menarik nafas dalam dan tersenyum. "Aku tidak akan merubah keputusanku ..." ujarnya.
Alex meraih tangan Ana dan mereka saling berpandangan dalam diam.

"Apa ini????" sebuah suara keras dan tinggi terdengar dari arah belakang tubuh Ana. Ana berbalik, melepas genggaman tangannya dan melihat Eveline berdiri didepan pintu kamar dengan wajah merah padam. Eveline bergegas menghampiri Alex, memandang Ana tajam dari ujung rambut dan ujung kaki.
"Ooh .. jadi ini sebabnya .. aku tau motif yang sedang anda mainkan, dokter Ana!!" desis Eveline.
"Maksud anda? Motif apa?" tanya Ana berusaha tenang, memasukkan kedua tangannya ke saku jas putihnya dan berdiri santai.
"Anda memanipulasi data, membuat seolah olah kondisi tunanganku ini memburuk dan parah, hanya agar Anda bisa lebih dekat berdua dengannya dan mendapatkan uang dari perawatannya. Betul?" tuding Eveline keras. "Ingat Dok .. saya bisa mengumpulkan bukti untuk membawa anda ke pengadilan!"
"Silahkan saja ..." jawab Ana tenang. "Tuduhan anda sangat tidak beralasan"
"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri apa yang kamu lakukan pada Alex" desis Eveline. "Pantaskah seorang dokter memegang tangan dan menatap pasiennya begitu lama seperti yang kamu lakukan tadi? Aku berdiri cukup lama untuk melihat semuanya!"
"Sudah Ev ..." ujar Alex menenangkan. "Tenanglah .. ini tidak seperti apa yang kamu lihat .. biar aku jelaskan semuanya padamu sayang .."
Eveline melunak, menghampiri Alex dan melumat bibirnya dengan mesra. Ana memalingkan muka, tidak ingin melihat apa yang terjadi dihadapannya.
"Apa kabar sayang? Maafkan aku baru membesukmu sekarang .. pekerjaanku menumpuk hingga aku tidak bisa menunggumu disini" Eveline merajuk bermanja manja dengan nada suaranya yang memelas. Ana menahan nafasnya, menatap keluar jendela untuk membantu mengusir rasa resah dari dalam hatinya. Ia melirik Alex yang saat itu juga tengah menatapnya. Ana menunduk, saat melihat tangan Eveline mulai terarah ke bagian alat vital Alex. Wajah Ana memerah.
"Bisa kami minta waktu sebentar berdua saja Dok?" tanya Eveline tajam, menyindir Ana yang masih berdiri mematung. Ana hendak menjawab, saat ia melihat tatapan mata Alex yang seolah meyakinkannya bahwa semua akan baik baik saja. Tanpa berkata apa apa, Ana berbalik, meninggalkan Alex bersama eveline dengan perasaan berkecamuk.
Mantap banget ceritanya
 
Bagian 20

Dewo menghembuskan nafas panjang dan mengusap wajahnya perlahan. Pasien terakhir baru saja selesai, perawat yang malam ini mendampinginya sudah mulai membereskan tumpukan Rekam Medis yang berserakan. Ia bersiap melangkah keluar ruangan saat tiba tiba sesuatu mengingatkannya.
"Dokter .. ada seorang wanita yang ingin menemui dokter menunggu diluar" ujarnya menyampaikan pesan kepada Dewo. Dewo mengernyitkan dahinya.
"Pasien? Masih ada yang menunggu di luar?" tanyanya heran, kembali membuka layar komputer klinik untuk mengecek janji pasien malam itu. "Semua sudah terlayani. Tidak ada lagi janji pasien untuk malam ini"
"Saya kira bukan pasien Dok .." jawab sang perawat ragu. "Karena .. ia menunggu sampai seluruh pasien selesai untuk menemui dokter. Saya sudah menyediakan waktu untuknya di sela sela pasien hari ini tapi ia mau menunggu sampai dokter Dewo selesai praktik hari ini .."
Dewo semakin mengernyitkan dahinya, menebak nebak siapa tamunya malam ini. Ia melirik jam dinding. Pukul delapan malam, dan sebentar lagi Ratih akan datang juga untuk menemuinya. Mereka berencana untuk makan malam hari ini.
"Persilahkan dia masuk" ujar Dewo kepada perawat. Beberapa saat ia menunggu, pintu terbuka dan tampak Eveline di hadapannya. Dewo terkejut, tidak menyangka akan mendapatkan kunjungan Eveline yang begitu tiba tiba.
"Angin apa yang membawamu datang kemari?" tanya Dewo seraya berdiri, menyambut uluran tangan Eveline "Silahkan duduk" ujarnya menambahkan.
Eveline menghempaskan tubuhnya di kursi di hadapan Dewo. Ia menyilangkan kakinya dengan santai, membuat rok pendek ketat yang digunakannya tertarik keatas, memperlihatkan paha putih mulusnya dengan sempurna. Dewo terkesiap. Ia segera mengalihkan pandangannya pada tubuh Eveline, namun itupun tidak menolong. Eveline melepas blazer yang dikenakannya, menyangkutkannya pada sandaran kursi dan memperlihatkan blouse tipis tanpa lengan berpotongan dada rendah yang mencetak dengan sempurna kedua buah dada ranumnya. Dewo dapat melihat bayang bayang bra berenda yang dikenakan Eveline dibalik layar tipis itu, dengan tonjolan bukit mulus yang begitu menggoda. Susah payah Dewo mengendalikan nafasnya yang mulai memburu. Ia tidak ingin Eveline mengetahui apa yang dirasakannya, walaupun ia pasti memaklumi hasrat Dewo sebagai laki laki normal biasa.

"Aku hanya ingin menemuimu untuk membicarakan sesuatu" ujar Eveline santai, meraih remote AC dimeja Dewo, menekan tombol OFF dan menyalakan rokoknya. Ia menghisap rokoknya perlahan, menghembuskan asapnya pelan ke udara seolah tanpa beban. Dewo beranjak, menyalakan exhaust Fan untuk memperbaiki sirkulasi udara di ruang prakteknya.
"Apakah ini tentang kasus Pak Wiwaha dan keluarga Ratih?" tanya Dewo kembali duduk di kursinya. "Sebaiknya segera sampaikan apa yang kamu inginkan sebelum Ratih datang."
Eveline menarik sudut bibirnya dengan sinis.
"Kapan kalian akan menikah? Maksudku .. kamu dan Ratih" tanyanya pelan. Dewo mengangkat bahunya.
"Ratih ingin kami menikah setelah ia benar benar mendapatkan warisan dari Pak Wiwaha" ujar Dewo. Ada nada putus asa dalam suaranya. "Dan itu berarti aku harus menunggu kamu memenangkan kasus ini. Padahal aku diburu waktu. Riset yang sedang aku buat sudah sampai tahap akhir dan aku memerlukan biaya besar untuk itu .. Jika tidak selesai tepat waktu, aku tidak akan bisa memenangkan bursa direktur Rumah Sakit yang aku impikan selama ini .."
Eveline menggeleng. Menatap langit langit ruangan sambil bergumam. "Kasusku .. tidak berjalan seperti yang aku harapkan"
"Maksudmu?" tanya Dewo tajam.
"Aku kekurangan bukti .. bukti bukti yang aku ajukan tidak kuat untuk bisa menyeret Pak Wiwaha menerima dakwaan sebagai pembunuh. Sidang terakhir akan dibacakan minggu depan dan .. aku tidak yakin bisa memenangkan kasus ini."
Nafas Dewo memburu menahan emosi. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan dan berbicara dengan suara bergetar.
"Jangan sampai kamu merenggut semua impianku. Aku sudah berkorban banyak untuk membantumu memenangkan kasus ini." Dewo mengepalkan tangannya, "Aku mulai meragukan reputasimu sebagai seorang pengacara terkenal. Kalah hanya melawan Pengacara tak berkelas yang membela Pak Wiwaha."
Eveline mendelik, menatap wajah Dewo yang merah padam. Ia membuang sisa rokoknya ke lantai, menginjaknya, dan mencondongkan tubuhnya kedepan mendorong keras tubuh Dewo ke belakang dengan kedua tangannya.
"Jaga kata katamu!" desis Eveline sinis. Ia bangkit, berjalan kearah Dewo dan duduk diatas meja tepat di sisi Dewo. Kini Dewo bisa dengan jelas melihat Celana Dalam Eveline dari celah kedua pahanya yang terbuka lebar. Dewo mematung, menahan napasnya saat Eveline membungkuk mendekatkan wajahnya pada wajah Dewo yang menengadah. "Aku Eveline, pengacara terkenal yang akan melakukan apapun untuk memenangkan kasus yang aku tangani. Lihat saja" desis Eveline, menatap tajam kedua mata Dewo. "Yang harus kamu lakukan hanyalah segera menikahi Ratih .. apapun caranya. Kalaupun aku tidak bisa menyeret Pak Wiwaha sebagai pembunuh, aku pastikan warisan akan tetap jatuh ketangan Ratih."

Dewo susah payah menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mulai terasa kering. Wangi tubuh Eveline begitu menggoda, bibirnya begitu sensual, sangat dekat dengan wajah Dewo yang mulai memucat.
"Ingat .. jangan sampai buruanmu lepas." lanjut Eveline, seraya beringsut semakin mendekati Dewo. Kini Dewo dengan jelas melihat celah antara dua bukit putih mulus di dada Eveline. "Aku yakin kamu tidak mau Ratih tiba tiba membatalkan pernikahannya saat ia sudah bergelimang harta bukan? Jadi .. nikahi ia sekarang .. bagaimanapun caranya."
Dewo bangkit. Nafasnya terengah engah. Eveline tersenyum, mengetahui bahwa Dewo bukanlah tengah menahan emosi, namun menahan birahi yang mulai memuncak. Ia tertawa dalam hati. Saat ini ia memang membutuhkan pelampiasan hasrat sexualnya untuk menghilangkan stress karena himpitan pekerjaan. Ia memandang Dewo dengan buas. Cukup menarik. Penampilan Dewo yang kasual, tubuh tegapnya dan wajahnya yang tampan, tampaknya memenuhi kriteria Eveline. Eveline semakin tergoda untuk mengetahui sejauh mana ketahanan sex yang dimiliki Dewo. Hanya sedikit lagi rangsangan, Eveline yakin Dewo akan segera memburunya.
"Jadi bagaimana?" bisik Eveline, melompat turun dari meja, mendekati Dewo, meraih kerah bajunya dan menariknya kuat, membuat dada bidang Dewo menekan payudara kenyalnya. Eveline menggerakkan dadanya, menggesekkan kedua payudaranya ke permukaan dada Dewo, menatap wajah Dewo yang pucat pasi dengan nafas yang kian memburu. Eveline meraba bibir Dewo lembut dengan jemarinya yang lentik. "Masih mau membantuku? Setelah menikahi Ratih, menyelesaikan penelitianmu dan menjadi direktur Rumah Sakit ini .. kamu boleh ceraikan dia .. buat ia menderita .. seperti Ayah dan Kakaknya membuatku menderita .."
Eveline semakin mendekatkan bibirnya kearah bibir Dewo. Dewo semakin tak kuasa menahan birahinya yang kian meluap. Eveline meraih tangan Dewo, menyelipkannya kebalik pahanya dan menjepitnya kuat kuat, menggerakkan pinggulnya lembut menekan penis Dewo dibalik celananya yang mulai terasa mengeras. Eveline tersenyum, menatap mata Dewo dan berbisik lembut di telinganya.
"Balaskan dendamku .. dan .. mungkin kita bisa memikirkan untuk menjalin hubungan yang lebih .."
Eveline tidak menyelesaikan kata katanya, ia menggelitik telinga Dewo lembut dengan lidahnya. Dan ia segera menyadari bahwa tindakannya sangat tepat.

Dewo tiba tiba memeluknya erat, mencium bibirnya dengan buas. Tangan Dewo menggerayangi tubuh Eveline tak terkendali. Satu tangannya meremas buah dada Eveline kuat2, sementara tangan lainnya menyingkap rok Evelien dan bergerilya dibalik celana dalamnya meraba celah vagina Eveline yang sempit.
Eveline tertawa senang saat Nafas Dewo yang panas terasa pada lehernya. Dewo mulai menggigit leher mulus Eveline penuh nafsu. Eveline membuka lebar kedua pahanya, membimbing tangan Dewo masuk lebih dalam kedalam vaginanya.
"Uuh .." desahnya sensual pada telinga Dewo, membuat Dewo semakin agresif "OK Baby .. teruskan .. ahhh .. "
Eveline tidak pernah menduga Dewo ternyata laki laki yang sangat agresif. Dibalik sikap tenangnya, ia kini berhadapan dengan sisi lain Dewo. Seharusnya Dewo adalah seorang laki laki yang belum pernah melakukan hubungan sex sebelumnya. Namun pemikiran Eveline dipatahkan malam ini dengan lincahnya tangan Dewo bermain dalam vaginanya. Eveline merasakan Vaginanya mulai basah, saat Jari Dewo memilin2 lembut klitorisnya, sementara bibir Dewo buas menjelajah lehernya, merangsang titik titik birahi yang ada disana.
Ditengah kenikmatan yang ia rasakan, Dewo tiba tiba meraih pinggang Eveline, memgangkat tubuh mungilnya dan mendudukkannya diatas meja. Dengan Kasar ia merenggut Blouse tipis yang menutupi dada Eveline, menarik Bra, Rok dan Celana Dalam Eveline dengan cepat, mendorong tubuh Eveline yang telanjang hingga terlentang diatas meja. Dengan gerakan cepat Pula Dewo mulai menanggalkan pakaiannya. Eveline terpaku melihat tubuh atletis Dewo tanpa sehelai benangpun dihadapannya. Ia menyeringai.
"Wow .. Come Baby ..." desah eveline. "You're so Hottt!! Fuck me darling!!"
Tanpa menunda dan tanpa banyak berkata kata, Dewo membentangkan kedua paha Eveline, menelusupkan kepala diantaranya dan menyerang Vagina Eveline yang terbuka lebar dengan mulutnya. Eveline memekik senang, saat lidah Dewo mulai bermain menyapu seluruh permukaannya dengan lincah. Tangan Eveline membimbing Kedua tangan Dewo, menelungkup pada kedua permukaan payudaranya.
"Oooaaahhh Sayaaangng .. lebih cepat lagi .. uuhh" Eveline meracau. Senang membuncah dalam dadanya, dalam hati memuji kepiawaian Dewo yang ternyata di luar dugaannya. Lidah Dewo terasa kasar, gesekannya berulang ulang menyasar titik yang tepat pada klitoris eveline. Menggelitik, memberikan sensasi luar biasa yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Eveline berulang kali mendesah nikmat, saat Dewo ternyata sadar untuk menambah kenikmatan yang diberikannya dengan meremas payudara dan memilin milin putingnya lembut.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd