Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
***
Jaket ojol itu masih terasa bau ketika Imelda turun dari motor. Dia melepaskan helm dan memberikannya kepada Arman.
"Berapa, Pak?" Tanya Imel dengan senyum dikulum.
"Untuk makan pagi dengan rendang dan tidur di teras yang dingin , semuanya menjadi gratis dan impas... buuu..." Jawab Arman.
"Makasih ya, Man."
"Sama-sama, Mel. Permisi ya aku cabut dulu, mencari rizki yang halal biar bisa kaya raya." Kata Arman sambil menarik gas dan melajukan motor dengan cepat.
"Hati-hati ya... Tuhan melindungimu." Kata Imelda. Dia sejenak berdiri menatap kepergian Arman sampai menghilang di ujung jalan.

Toko sudah dibuka dan semua pegawainya tengah melakukan bersih-bersih. Imel memasuki ruang kerjanya. Duduk dengan manis, sejenak mengenang kembali saat-saat yang indah itu. Dia senyum-senyum sendirian dan merasa bahagia... tapi tiba-tiba Imel melotot. Mata sipitnya membesar dan dia tiba-tiba menangis.
"Tolol... aku tolol... aku bodoh... ******... aku ****** tolol dan bodoh... Ya Tuhan, mengapa aku tidak meminta nomor HPnya? Dia juga tidak meminta nomor HPku... Ya Tuhan... apakah dia akan kembali? Apakah aku akan bertemu lagi dengannya?"

Asep, Hendra dan Tina saling berpandangan ketika melihat majikan mereka tiba-tiba menangis sesenggukan di ruang kerjanya.
"Mungkin gara-gara pacarnya... Pak Ben... konon katanya dia selingkuh..." Bisik Tina.

Tapi Asep dan Hendra hanya terdiam saja. Mereka ikut bersedih akan nasib malang majikannya.

***

"Hai, Billa. Ke kantin yuk biar aku traktir." Kata Jeremi sambil menongolkan kepalanya di ambang pintu kelas. Nabilla tidak mengangkat kepalanya yang tengah bertekun dengan novel favoritnya ketika menjawab ajakan Jeremi, "pergilah, Rem. Aku tak tertarik."
"Cie cie cie... yang lagi asik baca... sebentar aja yuk."
"Aku bilang tidak tertarik!" Kata Billa. Nadanya keras.
"Loh, koq marah?"
"Pergi sana, pergi! Jangan ganggu aku."

Wajah Jeremi tampak memerah.
"Kamu kenapa bersikap jahat sama aku Billa... kamu tau... aku suka sama kamu sejak kita pertama kali bertemu... jangan gitu dong... kemarin-kemarin kamu mau aku ajak jalan sekarang koq berubah?"
"Aku bilang pergi! Pergi! Pergiiiiiii!!!!" Suara Nabilla keras dan melengking tinggi. Beberapa anak-anak yang nongkrong di koridor kelas jadi tergerak ingin tahu.
"Ada apa koq ribut-ribut?" Kata Doni, sang Ketua Kelas yang juga menjabat sebagai Ketua Seksi Keamanan OSIS.
"Ga ada apa apa, Don. Ga ada apa-apa." Jawab Jeremi. Dia pergi meninggalkan kelas Nabilla dengan langkah menunduk karena malu sekaligus heran. Kenapa dengan Nabilla? Kemarin-kemarin sikapnya baik-baik aja koq.
"Remi!" Seorang cewek berteriak gembira memanggil Jeremi.
"Eh, elo Lin."
"Gua nyari-nyari elo ke kelas elo ga ada... kangen ih." Kata cewek itu. "Elo dari mana?"
"Dari sono..."
"Rem." Tiba-tiba Doni datang mendekat ke arah Jeremi. "Gua heran deh... si Billa itu kan anaknya kalem dan baik... tapi kenapa doi bilang jijik sama elo? Yakin elo ga ngapa-ngapain doi."
"Kagak... gua cuma ngajak doi ke kantin... tapi tiba-tiba doi ngusir gua... udah saraf kali tuh anak." Jawab Jeremi.

Marlina memperhatikan pembicaraan kedua cowok itu dengan cermat.

"Gua sih ngingetin aja, sebagai Ketua Seksi Keamanan wajiblah bagi gua untuk ngingetin elo... jangan godain cewek secara berlebihan... akibatnya bisa fatal." Kata Doni sambil meneruskan langkahnya.

Jeremi terdiam.
"Udah ga usah dipikirin..." Kata Marlina. "Ke kafe yuk... biar gua traktir deh, tapi entar pulang elo anterin gua ya sampai rumah."

Jeremi tidak menjawab tapi dia mengikuti langkah Marlina menuju Kafe yang terletak di luar sekolah.

***

Selama beberapa hari ini Nabilla selalu pulang dengan berjalan kaki. Meski pun Ibu Ketua Yayasan, kemarin memberinya uang untuk ongkos naik angkot pulang pergi dengan jumlah yang cukup, namun Billa tidak mempergunakannya. Billa juga tidak bermaksud menghemat atau menabung dengan berjalan kaki itu. Tidak. Dia berjalan kaki pulang atau pergi --selalu-- sambil berdoa agar Tuhan mempertemukannya kembali dengan Kak Arman. Pengemudi ojol itu. Satu kali lagi saja.
"Sebab aku akan memeluknya, Tuhan, dengan erat. Sangat erat. Agar aku bisa membandingkannya dengan pelukan pertama di pinggir jalan itu... apakah rasanya sama? Ataukah beda? Aku harap berbeda Tuhan... aku harap pelukan kedua itu tidak berdampak apa pun pada tubuhku... aku harap pelukan kedua hanya sekedar pelukan biasa yang tidak menyengat dengan stroom ribuan volt... yang membuat ujung kemaluanku meneteskan airmata kerinduan... aku harap..."

Dan Billa tidak pernah berhenti berharap, sebab Tuhan pasti mendengar doanya.

***

Akhir Maret 2018.

Hari-hari berlalu seperti debu jalanan yang berterbangan. Arman menempuh menit demi menit di jalanan memburu penumpang; panas terik dan hujan tak dipedulikannya... dia tanpa lelah mengejar rupiah. Tring demi tring notifikasi diraihnya dengan semangat dan kegembiraan yang tak pernah surut... penumpang demi penumpang dibawanya meluncur laju menuju tujuan masing-masing. Tak ada beban, tak ada keluh kesah. Yang ada adalah petualangan seorang anak muda mengais rejeki, menyusuri sudut-sudut kota Bandung yang aneh, lucu, tak terduga dan kadang penuh misteri.

Arman menjalani hidup sebagaimana layaknya miliaran manusia lain yang melata di muka bumi menjalaninya. Menempuh kesendiriannya yang bisu sebagaimana orang lain juga menempuhnya. Hanya saja, selalu ada YANG TAK TERLUPAKAN ketika berada di ujung senja... ketika satu hari telah ditempuh dan dia duduk menelonjorkan kaki. Letih. Enin membawakannya secangkir kopi.
"Cape ya cu?"
"I ya Nin... seluruh badan terasa pegal-pegal."
"Kamu harusnya berlatih lagi setiap malam... menggerakkan lagi seluruh anggota tubuhmu dengan gerakan-gerakan yang diajarkan kakek ketika kau kecil... kau tidak melupakannya kan?"
"Tentu saja tidak, Nin."
"Menimba air dan mengangkat barbel kaleng tidak akan pernah cukup melatih otot-ototmu yang sedang tumbuh cucuku... 12 jam pantatmu berada di atas motor akan membuat perutmu menjadi buncit seperti balon... kamu harus bergerak... ayolah Enin ingin melihatnya."

Arman menatap Neneknya dengan sedikit heran, dia lalu menjawab.
"Boleh... musiknya mau pake gamelan Jawa atau kecapi Cianjuran?"
"Kamu adalah menak Cikalong terakhir, ingat itu! Kecapi Cianjuran tentu saja, Cucuku. Lagunya Tangis Rahwana... "

Mereka pergi ke halaman belakang yang luas, Arman lalu berdiri dengan sikap sempurna di tengah-tengah halaman. Ketika lagu Tangis Rahwana MP3 dinyalakan di HPnya... kedua tangan Arman membentang. Tubuhnya terlihat berbentuk silhuet ketiga bergerak pelahan, salah satu kakinya mengangkat setengah dan kedua tangannya menekuk seperti burung bangau...

Banondari anu lucu...
bojo akang anu geulis... geuning...

.....
.....
Suara kecapi berdentang pilu seiring gerakan tarian tubuh Arman yang menyemburkan area mistis yang penuh pesona. Tangan, kaki, leher dan pundak bergerak menyusuri irama dentang denting kecapi... gerakan tari itu mengisahkan tentang burung bangau yang terbang menembus awan, menempuh siklus kehidupan... menjadi pengelana kesepian yang menyaksikan gemerlap peradaban manusia... dari masa ke masa...

Tetapi juga itu bukan sekedar tarian, itu adalah jurus-jurus beladiri dalam menempuh berbagai rintangan dalam kehidupan.

Enin tersenyum melihat pertunjukan itu.
"Bila kamu lakukan itu setiap hari, Enin jamin tubuhmu enggak akan pegel-pegel..."

***
(Bersambung)
 
Bagian Empat
SEBASTIAN CHANG

Sebastian Chang dilahirkan di Semarang namun dibesarkan di Jakarta, dia adalah sulung dari 3 bersaudara. Ayahnya adalah seorang kepala teknisi di perusahaan elektronik Samsung Corp. yang sangat sibuk. Pada tahun 1980, ketika sebastian berumur 13 tahun, ayahnya naik jabatan dan di mutasi ke Singapura sebagai Kepala Divisi Produksi dan tidak pernah kembali lagi ke Jakarta. Dia menetap di sana dan menjadi warga negara Singapura diikuti ke dua orang adiknya, Greg dan Selena Chang yang menyusul beberapa tahun kemudian. Ibunya yang asli Semarang tidak mau pindah ke negeri itu dan bertahan di Jakarta dengan bisnis lumpianya yang semakin besar.

Sebastian sebenarnya ingin menyusul ke dua adiknya ke Singapura, tapi ibunya tiba-tiba sakit. Setelah dibawa ke dokter, ternyata ibunya menderita kanker payudara. Pada tahun 1990 ibunya meninggal, beberapa bulan setelah Sebastian lulus sarjana. Sepeninggal ibunya, Sebastian menjual seluruh properti ibunya beserta bisnis lumpianya, dia kemudian pergi ke singapura. Namun di Singapura dia tidak menemukan ayahnya karena ternyata sudah meninggal. Sementara Greg ikut adiknya, Selena, yang menikah dengan seorang expatriat asal Toronto, Canada.

Bastian kemudian pulang ke Indonesia dan pindah ke Bogor. Membeli tanah dan membangun rumah kontrakan di sekitar Tanah Sareal sambil berbisnis jual beli motor bekas. Sebelum bertemu dengan Anastasia Danuwijaya, Sebastian sempat hidup bersama dengan Connie Alexandra selama hampir setahun. Namun entah apa penyebabnya, hubungan mereka tiba-tiba terputus dan mereka pun berpisah. Connie Alexandra di kemudian hari akan dikenal sebagai salah satu pengusaha wanita Indonesia terkaya di bawah Ny. Menneer, Marry Sudibyo dan Hj. Wardah Rosidah Rashid.

Tidak sebagaimana umumnya sifat-sifat warga keturunan yang sangat fokus terhadap bisnis dan mementingkan "cuan" di atas segala-galanya; alih-alih Bastian bersifat agak eksentrik dan menyukai seni. Dia pernah ikut bermain dalam sejumlah sinetron, namun dia melakukannya sebagai hobi. Selain kolektor batu akik dia juga sangat gemar naik gunung, sampai suatu saat ketika mendaki gunung salak, dia tergelincir dan sendi kaki kirinya --nyaris-- putus. Di komunitas pecinta alam itulah dia bertemu Anastasia, gadis asal Bandung anak pemilik toko sepatu di Cibaduyut; mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah.

Sebastian pun akhirnya pindah ke Bandung dan merintis dealer motor di Jl. Pajajaran. Sedangkan Anastasia membuka "Kedai Catering" yang letaknya bersebelahan. Beberapa hari setelah Imelda lahir pada tahun 1993, dealer yang dikelola Sebastian mendapat "sertifikasi" sebagai dealer resmi 3 merk pabrikan motor Jepang. Namun pada saat yang sama, malamnya, showroomnya disatroni perampok, para perampok itu berhasil menggondol 4 unit sepeda motor pesanan pelanggan. Bastian dan pegawai setianya, Bagas, yang saat itu tidur di lantai 2 showroom, melakukan perlawanan namun mereka kalah jumlah. Perampok itu ada 4 orang, Bastian terluka oleh sabetan samurai di bagian dadanya sedangkan Bagas robek perutnya oleh tusukan belati dan kemudian meninggal di rumah sakit.

Sejak kejadian itu, Sebastian kemudian memindahkan showroomnya ke sekitar Jl. Nias yang lokasinya tidak jauh dengan Markas Kepolisian Sektor Bandung Wetan.

Anastasia kemudian mengubah bekas showroom dealer menjadi kafe yang berkonsep nyeleneh, yakni "Kafe Para Petualang Alam". Dan ternyata konsep kafe yang nyeleneh itu sangat digemari oleh anak muda Bandung zaman itu. "Kafe Para Petualang Alam" itu kemudian tumbuh menjadi ikon tempat nongkrong anak muda yang sangat terkenal dan menjadi semacam contoh kafe-kafe nyeleneh lain yang bermunculan di berbagai kota besar di Jawa.

Kafe tumbuh dengan pesat, selain karena konsepnya juga karena makanan yang lezat dan minumannya yang segar dengan harga terjangkau, memberi keuntungan yang besar namun juga menuntut waktu dan pengabdian pengelolaan yang total. Itulah sebabnya Anastasia lebih banyak tinggal di kafe daripada di rumah. Bastian sendiri sebenarnya keberatan dengan kesibukan istrinya yang keterlaluan itu, dia khawatir Anastasia jatuh sakit karena cape namun Anastasia malah mentertawakannya.

Seminggu kemudian Anastasia terkapar di dapur Kafe karena pingsan kekurangan oksigen, namun setelah dianalisa lebih dalam dia menderita kanker otak. Satu bulan kemudian dia meninggal. Saat itu Imelda sudah berumur 9 tahun.

Sejak istrinya meninggal, sifat Bastian yang semula periang berubah drastis menjadi pendiam dan mudah murung. Dia menjadi pecandu alkohol dan hampir setiap malam mabuk-mabukkan. Suatu hari seorang sahabat karibnya, Donny, mendatangi rumahnya. Saat itu dia sedang menenggak miras dan mengajak sahabatnya itu untuk sama-sama minum. Tapi Donny malah menampar wajahnya dan menggusurnya ke kamar mandi. Dan menyiramkan shower ke tubuhnya.
"Kamu pilih, berhenti minum atau kubunuh anak perempuanmu di depan matamu sekarang?" Kata sahabatnya dengan nada keras dan penuh ancaman. Bastian belum cukup mabuk untuk memahami kalimat ancaman sahabatnya itu dan tertawa. Namun melihat kesungguhan Donny dan sikapnya yang tidak main-main membua Bastian terpana.
"Don, kamu kan sahabatku... kamu tak mungkin melakukan hal itu..."

Donny tertawa keras. Ekspresinya jahat.

Dia lalu memasuki kamar Imelda dan menyeret gadis itu ke kamar mandi dengan cara menarik rambutnya sambil menempelkan pisau di leher gadis kecil yang menjerit-jerit ketakutan itu.
"Kamu pilih sekarang, berhenti mabuk atau kubunuh gadis kecil ini saat ini juga!"

Sebastian terdiam.
"Aku tidak main-main, cepat jawab!"
"Jangan bunuh dia." Jawab Bastian lemah.
"Kalau aku lihat kamu mabuk dan menyia-nyiakan hidupmu lagi... aku janji aku akan memisahkan kepala dan tubuh gadis ini di depan matamu. Camkan itu!" Kata Donny sambil pergi meninggalkan rumah itu.

Bastian terbengong-bengong melihat sikap sahabatnya itu. Padahal Donny adalah sahabat terbaiknya sejak di SMA dan masih tetap bersahabat sampai saat itu.

Sejak peristiwa itu, Bastian berhenti minum secara total namun sejak saat itu pula Bastian tidak pernah bertemu lagi dengan Donny. Dia seperti menghilang ditelan bumi.

Jika teringat akan sahabatnya itu, Bastian selalu menangis karena tak pernah bisa mengucapkan terimakasih pada ancamannya yang keras dan bersungguh-sungguh itu!

***
(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd