Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
Tadinya ingin membalas komen-komen suhu semua. Ternyata sudah banyak sekali sampai-sampai 'mumet' sendiri mau balesnya. Ya, sudah. Sebagai gantinya saya update saja kelanjutan ceritanya. Padahal tidak ada niat untuk update malam ini. Sekali lagi, terima kasih dengan dukungan para suhu yang luar biasa ini.

:beer: JANGAN LUPA ... MEMBACA SAMBIL NGOPI ...
 
CHAPTER 3


Teknik sihir pedang petir atau yang Petteri namakan Chidorigatana adalah teknik pedang yang mengandung kilat sengatan listrik yang sangat kuat. Kekuatan maksimalnya mampu menghanguskan seseorang hingga jadi debu hanya dengan menyentuhnya sedikit saja. Teknik pedang petir (Chidorigatana) ini lebih pada fakta daripada namanya. Itu karena teknik pedang ini memiliki dua sifat yang luar biasa yaitu kecepatan dan kemampuan destruktif besar-besaran. Teknik pedang petir (Chidorigatana) sangat ditakuti oleh para ksatria sihir ras manapun, termasuk Ras Naga juga enggan berhadapan dengan ksatria sihir pengguna teknik pedang petir (Chidorigatana).

Setelah membaca teknik sihir pedang petir (Chidorigatana) dan menyimpan buku di kamar, aku segera ke halaman belakang sambil menenteng pedang. Aku pun mulai berlatih jurus-jurus pedang hingga beberapa jam lamanya. Tahap pertama aku akan menghapal dan melenturkan gerakan jurus pedang sebelum ke tahap selanjutnya yaitu mengkombinasikan jurus-jurus ini dengan aliran energi sihir. Jurus demi jurus dilakukan baik-baik, penuh semangat dan tekad berkobar-kobar agar segera menguasai secara sempurna.

Aku menghentikan latihanku saat matahari mulai tenggelam ke peraduannya. Saat aku hendak masuk ke dalam rumah, aku melihat Daru sedang bermeditasi. Aku tersenyum melihat anak itu dan kemudian menyuruhnya berhenti. Aku suruh dia mandi lalu membeli makanan di kedai Pak Pandi. Setelah Daru selesai mandi, aku segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku menunggu Daru sambil menyesap kopi, sayang di sini tidak ada yang menghisap rokok, tidak dikenal rokok, sehingga kurang nikmat rasanya minum kopi tak bersama rokok. Beberapa saat berselang, Daru pun datang dengan membawa dua bungkus makanan.

“Makanlah yang banyak. Biar tubuhmu kuat.” Kataku.

“Iya, pak.” Jawabnya sambil membuka bungkus makanannya tergesa-gesa.

“Setelah selesai makan, kamu belajar membaca dengan bapak ya.” Kataku lalu menyuap makanan ke dalam mulutku.

“Iya, pak.” Jawabnya sambil tersenyum dengan mulut penuh makanan.

Kami melanjutkan makan malam sambil ngobrol tentang sesuatu yang tak penting. Daru yang bernama asli Dewandaru adalah anak yang ceria sehingga membuatnya mudah bergaul dan bikin suasana menyenangkan saat berkumpul. Kadang ia berceloteh dan celotehannya membuatku tersenyum. Selepas makan, aku mengajari Daru membaca. Bagaimana pun keterampilan membaca dan berhitung sangat penting selain kemampuan sihir. Saat malam sudah larut, aku menyudahinya dan beristirahat di kamar lalu tertidur lelap.

.....
.....
.....

Ternyata mempelajari teknik sihir pedang petir (Chidorigatana) tidaklah mudah. Gerakan jurus dan aliran energi sihir seringkali tidak serasi sehingga tidak menimbulkan efek serang yang diinginkan. Hampir 14 jam sehari tanpa henti aku melatih teknik pedang petir ini. Tiga minggu sudah aku terus menyempurnakan teknik sihir pedang petir (Chidorigatana), dan akhirnya aku sampai juga di level satu dimana aku sudah dengan sempurna bisa mengaliri pedangku dengan energi sihir petir, artinya aku sudah bisa menghancurkan apa saja yang tersentuh oleh pedangku. Level dua adalah teknik serangan pedang petir jarak jauh, dan level terakhir membuat puluhan bahkan ratusan sabetan pedang petir.

Matahari tenggelam, meninggalkan hari ini. Aku berdiri di serambi muka rumah dengan hati agak gelisah. Daru belum juga terlihat batang hidungnya sejak siang. Tidak seperti biasanya anak itu belum pulang. Entah kenapa walau bukan siapa-siapaku tetapi hatiku merasa khawatir. Ya, mungkin ini adalah ikatan batin yang sudah terjalin antara aku dan Daru. Entah mengapa, kini rasanya aku bahkan sangat menyayangi anak itu seperti anakku sendiri. Sudah hampir berpuluh kali aku jalan mondar-mandir di serambi rumah, akhirnya yang aku tunggu datang juga dengan menunggangi Si Black. Mataku menelisik pada dua karung penuh yang tergantung di punggung Si Black bagian belakang.

“Dari mana saja kamu?” Tanyaku agak sewot.

“Dari Bukit Harsana, pak ...” Jawabnya agak gugup. Aku mengerutkan kening saat mendengar jawaban Daru. Bukankah Bukit Harsana adalah area peperangan bangsa manusia melawan bangsa Elf dan Demon?

“Anak kecil tidak boleh ke sana. Apakah tidak ada prajurit yang melarangmu?” Tanyaku jadi penasaran.

“Sudah tidak ada prajurit di Bukit Harsana, pak. Sudah kosong. Saya tadi ikut warga ke sana ngambil barang-barang bekas perang.” Jawabnya yang sukses membuatku terkejut.

“Kosong? Sudah tidak ada prajurit?” Pekikku tak percaya.

“Benar, pak ... Ini saya bawa pedang, tameng, baju dan banyak barang-barang bekas perang. Warga juga mungutin barang-barang bekas perang juga.” Kata Daru. Aku geleng-geleng kepala kesal.

“Ya sudah ... Cepat mandi sana!” Perintahku.

“Ya, pak ...” Jawabnya sambil membawa Si Black ke belakang rumah.

Aku duduk di kursi kayu sambil merenung. Bila mendengar informasi yang disampaikan Daru berarti peperangan telah berakhir. Kalau memang demikian berarti proses negosiasi telah terjadi dan berhasil. Paling tidak ada gencatan senjata dari kedua belah pihak. Berita yang cukup menggembirakan, artinya aku bisa lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kapasitas energi sihirku dan skill sihirku.

Saat sedang melamun keras, tiba-tiba aku melihat seorang anak kecil dengan pakaian lusuh, badan kotor, baju compang-camping, datang menghampiriku. Anak kecil berjenis kelamin perempuan itu kutaksir berukur sekitar 5 tahunan. Dia menunjukkan wajah yang sakit dan lelah, tampak juga air mata di wajahnya belum kering. Aku berdiri lalu berjalan cepat menjemputnya. Setelah berada dalam jarak jangkauan, aku langsung meraih dan menggendongnya.

“Kamu datang malam-malam ke sini. Apa kamu tersesat?” Tanyaku pada anak kecil di gendonganku.

“Ibu ... Ibuku sakit. Aku gak mau ditinggal ibu ... Hiks ...” Ucapnya dengan raut menahan tangis.

“Dimana rumahmu?” Tanyaku merasa kasihan.

“Saya tahu rumahnya, pak.” Tiba-tiba terdengar suara Daru di belakangku.

Aku menoleh ke arah Daru dan berkata, “Kunci semua pintu dan jendela. Kamu ikut dengan bapak ke rumahnya.”

Daru tidak menjawab, anak itu langsung masuk kembali ke dalam rumah. Hanya dua menit berselang, Daru mengunci pintu depan rumah kemudian berjalan di depanku sebagai petunjuk jalan. Daru membawaku melalui kebun karet yang jarang diambil hasilnya oleh penduduk dan terus menuju pinggir hutan. Akhirnya aku sampai di sebuah gubuk yang hampir roboh. Di dalam gubuk itu, terdapat seorang wanita terbujur lemas dengan napas satu-satu.

Segera aku turunkan anak perempuan dari gendonganku lalu memeriksa kondisi si wanita yang aku yakin dialah ibu dari si anak perempuan yang mendatangiku. Sihir pemeriksaan pun aku aktifkan. Aku bisa bernapas lega karena si wanita hanya demam biasa dan kelaparan. Aku langsung memanggul si wanita, tujuanku adalah membawanya ke rumah.

“Kamu berani pulang sendiri?” Tanyaku pada Daru.

“Saya berani pak ...” Jawab Daru mantap.

“Bagus. Kamu mampir ke kedai Pak Pandi. Ini uang untuk beli makanan di kedai Pak Pandi. Beli lah nasi empat bungkus.” Kataku sambil memberi Daru dua koin perak.

“Iya, pak ... Pak, ini kunci rumahnya!” Jawab Daru lagi lalu berteriak untuk menahanku. Padahal aku hanya ingin menggendong anak perempuan di sampingku.

Aku mengambil dulu kunci rumah kemudian menggendong lagi anak perempuan itu, kini aku menggendong dua wanita beda generasi. Setelahnya aku melesat membawa kedua wanita ini ke rumahku. Tidak lebih dari dua menit aku sampai di rumah. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Pertama aku turunkan perlahan anak perempuannya, lalu kurebahkan ibunya di atas tikar. Untuk penyakit yang diderita wanita ini, aku hanya menggunakan sihir penyembuhan umum untuk penyakit-penyakit ringan. Setelah itu aku memberinya air minum.

“Ibuku tidak mati kan pak?” Tanya si anak perempuan padaku.

“Tidak, sayang ...” Jawabku sambil mengusap kepalanya. “Siapa namamu, nak?” Tanyaku kemudian.

“Puspa ...” Jawab anak itu sambil menatap ibunya yang masih tergolek di atas tikar.

“Biarkan ibumu istirahat. Nanti juga akan bangun.” Kataku pada Puspa.

“Ibu gak mati kan pak?” Tanya Puspa lagi sarat dengan kekhawatiran.

“Tidak ... Ibumu akan sehat ...” Kataku lalu memangku Puspa.

“Ibu kenapa pak?” Tanya Puspa lagi yang masih matanya mengarah ke ibunya.

“Ibumu kecapean dan kelaparan.” Jawabku.

“Aku juga lapar pak ... Aku ingin makan ...” Kini wajah Puspa menghadap ke wajahku.

“Sebentar lagi kita makan ...” Ucapku sambil tersenyum.

Puspa ternyata anak yang tidak bisa diam bicara, ada saja yang dia bicarakan bahkan terkesan anak ini pintar, selalu penasaran dan kepo, segalanya dia tanyakan. Dalam waktu sekejab saja aku langsung menyukai anak ini. Tidak hanya karena dia cantik alami. Namun Puspa memiliki aura bernuansa putih, memandang wajahnya mampu membuatku merasa damai.

Setelah Daru datang dengan membawa makanan, aku dan kedua anak di dekatku langsung menyantap makanan. Rupa-rupanya Daru sering bertemu Puspa dan ibunya. Menurut cerita Daru, Puspa dan ibunya datang dari luar kota sudah minggu yang lalu. Keduanya datang karena tidak tahan oleh tindakan ayah Puspa yang sering menyakiti ibunya. Dengan suara lucunya, Puspa membenarkan cerita Daru. Aku pun mencium pipi Puspa karena gemas. Tiba-tiba wanita yang sedang berbaring bangkit. Puspa langsung memburu ibunya dan tenggelam dalam pelukan ibunya.

“Ibu jangan sakit lagi ya ... Puspa takut.” Ucap Puspa merajuk.

“Iya sayang ...” Jawab sang ibu sembari memeluk erat dan menciumi Puspa.

“Biarkan ibumu makan dulu. Ibumu perlu makan supaya lebih sehat dan kuat.” Kataku pada Puspa.

“Iya ... Ibu makan dulu ya ... Disuapin Puspa ya bu ...” Kata Puspa sembari turun dari tubuh ibunya lalu mengambil nasi bungkus yang tergeletak di atas tikar.

“Biar ibu makan sendiri.” Katanya lalu menatap wajahku. “Terima kasih mas ...” Lirihnya sambil menganggukan kepala padaku.

“Sama-sama mbak. Lebih baik mbak isi dulu perutnya.” Jawabku sambil tersenyum ramah.

“Terima kasih mas ...” Kata wanita itu sambil menggapai makanannya.

Aku memilih untuk keluar ke serambi rumah. Aku duduk bersila dalam posisi meditasi di kursi kayu sambil melatih energi sihirku agar lebih lentur dan mudah diatur. Menggunakan energi sihir sebenarnya terbagi menjadi tiga tahap dasar, yaitu menyalurkan, menyusun, dan mengeluarkan. Tiga tahap yang tampak sederhana, tetapi jika tanpa kendali dan kontrol yang tepat akan menjadi sebuah kegagalan yang membahayakan.

“Bapak ...” Suara Daru membuyarkan meditasiku.

“Ada apa?” Tanyaku sambil membuka mata.

“Puspa dan ibunya mau mandi. Tapi mereka tidak punya pakaian pengganti.” Kata Daru.

“Kasih mereka pakaian kita. Pakaian bapak buat ibunya, pakaianmu buat Puspa. Tidak apa-apa kedombrangan juga.” Setelah mereka mandi dan berpakaian, suruh mereka tidur di kamarmu. Kamu tidur di kamar bapak. Jangan lupa beri mereka selimut.” Kataku.

“Iya, pak ...” Jawab Daru lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Baru saja hendak melanjutkan meditasiku, tiba-tiba tiga orang berkuda memasuki halaman rumah. Salah satu dari mereka tampak tak berdaya. Tubuhnya tertelengkup di leher kudanya. Aku berdiri untuk menyambut mereka. Dilihat dari penampilannya, aku menyangka ketiga orang yang datang seperti penyamun atau begal. Dandanan mereka serba hitam dan di pinggangnya terselip senjata tajam berupa golok.

“Apakah kami sedang berhadapan dengan Tabib Azka?” Tanya salah seorang dari mereka yang mempunyai kumis paling besar.

“Benar.” Jawabku singkat.

“Saudaraku terluka parah. Sembuhkan dia.” Pintanya tapi lebih terdengar sebagai perintah.

“Bawa masuk.” Kataku sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku duduk di atas tikar dan tak lama ketiga tamu tak diundangku masuk. Orang yang terluka parah langsung dibaringkan di depanku. Tak berlama-lama aku mengaktifkan sihir pendeteksian. Ternyata pasienku ini terkena pukulan beracun dari teknik sihir hitam. Racun di dalam tubuhnya memakan jiwanya. Aku langsung merapal mantera sihir ‘Myrkytta atau sihir penangkal racun tingkat tinggi. Tak lama dari mulut, hidung, dan telinga pasienku ini keluar asap hitam kemudian berkumpul di udara membentuk bola sebesar bola volley. Aku bawa keluar asap hitam itu dan menyuruh si kumis besar menghancurkan bola hitam tersebut dengan sihirnya. Asap bola hitam pun hancur ketika tersambar oleh bola api yang dikeluarkan si kumis besar. Bunyi ledakannya begitu keras terdengar.

“Saudara kalian terkena sihir hitam?” Kataku sembari melangkah masuk kembali ke dalam rumah yang diikuti si kumis besar.

“Sihir hitam?” Respon si kumis besar diluar dugaan. Dia sampai menarik tanganku hingga aku berbalik menghadapnya.

“Ya, sihir hitam. Aku pikir saudaramu terkena pukulan beracun dan racun itu memakan jiwanya. Saudaramu bisa selamat tetapi sebagian jiwanya sudah hilang. Kemungkinan besar saudaramu kehilangan ingatan.” Jelasku.

“APA??? KEHILANGAN INGATAN???” Teriakan si kumis besar sangat menggelegar.

“Maaf ... Hanya itu yang bisa saya bantu.” Kataku sendu.

“Sihir hitam kan dilarang digunakan manusia. Berarti orang itu sudah bersekutu dengan bangsa Demon. Kalau saja dia ketahuan oleh raja-raja manusia, dia pasti akan dihukum mati.” Ungkap seorang yang lain.

“Ya ... Tapi ... Bagaimana cara kita melaporkan dia. La wong kita saja buruan prajurit kerajaan.” Kata si kumis besar.

“Apakah kalian kenal dengan orang itu?” Tanyaku sambil duduk kembali di tempatku.

“Kami tidak mengenalnya. Tapi kalau dilihat dari cara berpakaiannya, aku yakin kalau dia bekerja untuk kerajaan.” Jawab si kumis besar.

“Maksudmu kerajaan Tinberg ini?” Tanyaku lumayan terkejut.

“Ya, kerajaan Tinberg.” Tegas si kumis besar.

“Tapi apakah benar kalau bangsa manusia dilarang menggunakan sihir hitam?” Tanyaku semakin penasaran.

“Sebenarnya bukan manusia saja, Elf dan naga pun melarang menggunakan sihir hitam. Sihir hitam hanya untuk bangsa Demon. Semua sepakat bahwa sihir hitam adalah segala jenis sihir yang melanggar tabu dan moral. Sihir hitam adalah kekuatan sihir yang melanggar aturan-aturan pada dunia kita ini. Mantra sihir hitam merupakan bentuk penyerangan yang dapat merusak psikis dan fisik target.” Jelas si kumis besar.

“Kakang ... Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum orang-orang kerajaan menemukan kita.” Ajak orang bertubuh tinggi besar sembari mengangkat tubuh pasienku yang mulai siuman.

“Benar ...” Jawab si kumis besar. “Tabib ... Ini terimalah koin perak yang tidak seberapa ini. Terima kasih atas bantuannya.” Kata si kumis besar sambil memberikan sekantong kecil koin perak padaku.

“Terima kasih.” Aku menerima kantong kecil itu dari tangannya.

Aku mengantarkan mereka sampai serambi rumah. Tak lama ketiganya meninggalkan halaman. Aku pun masuk kembali ke dalam rumah. Aku mendengar suara dari halaman belakang. Rupa-rupanya Puspa dan ibunya sedang membersihkan diri tubuh mereka. Aku akhirnya memilih merebahkan badan di atas kasur lalu memejamkan mata. Ternyata hidup di Azumath terasa lebih berat dibanding di bumi. Azumath penuh dengan kekerasan dan peperangan, jadi wajar jika sihir adalah segala-galanya di dunia ini. Mau tidak mau aku harus menjadi penyihir yang hebat. Selain untuk menuntaskan misi, penjadi penyihir tangguh berguna untuk melindungi diri dan melindungi orang-orang terdekat yang aku kasihi. Tak terasa, kesadaranku mulai menipis dan tak lama kemudian aku tertidur pulas.

.....
.....
.....

Dalam mengerjakan sesuatu aku selalu memiliki target tentang apa yang akan diselesaikan dalam waktu tertentu. Aku terus berlatih mengasah sihir petirku tanpa mengenal lelah. Aku sadar untuk mendapatkan sesuatu yang berharga butuh usaha yang kuat, pengorbanan yang besar, perjuangan yang hebat. Memang setiap orang semua sama, memiliki 24 jam dalam satu hari. Namun bagiku, kesuksesan ditentukan oleh seberapa baiknya aku memanfaatkan waktuku. Aku juga sangat yakin kalau rahasia keberhasilan bukanlah genetika, tetapi praktik sehari-hari dengan ketekunan tanpa henti.

Selama dua bulan sudah aku berlatih teknik pedang petir (Cidorigatana). Dengan kegigihan dan ketekunanku, akhirnya aku berhasil menguasai teknik sihir petir itu. Selama dua bulan itu juga, aku menyerahkan segala urusan rumah tangga kepada ibunda Puspa yang bernama Hasana yang kesehariannya dipanggil Ana. Penghasilanku sebagai tabib, aku serahkan sepenuhnya kepada Ana. Wanita itu pun mengatur pengeluaran untuk keperluan sehari-hari kami, terutama sandang dan pangan. Ana juga membeli alat-alat rumah tangga yang diperlukan. Dan kini aku seperti merasa mempunyai keluarga kecil yang bahagia. Sudah menjadi kewajibanku, selain mengajari ilmu sihir aku juga mengajari Daru dan Puspa membaca, menulis dan berhitung. Aku yang merasa sudah menjadi kepala keluarga tentu berkewajiban membekali anak-anak itu ilmu yang mereka butuhkan kelak di kemudian hari.

Tahap terakhir dari teknik sihir petir yang harus aku pelajari adalah teknik pelindung sihir petir. Nama teknik itu ‘Suojelija’. Sesuai namanya, sihir pelindung adalah selubung sihir yang bisa menahan serangan lawan. Teknik ini dikategorikan sebagai sihir pertahanan. Dan sudah dua minggu aku melakukan latihan sihir pertahanan yang telah mencapai tahap sempurna. Sesuai amanat yang diberikan Petteri, buku sihir elemen petir sudah aku bakar sehingga dapat dipastikan tidak ada orang yang akan memilikinya.

“Bapak ...” Tiba-tiba Puspa datang berlari dari ruang belakang dan langsung duduk di pangkuanku.

“Hhhmm ... Sudah wangi nih anak bapak ...” Kataku sembari menciumi pipinya.

“Bapak ... Puspa sudah bisa membuat api pakai jari Puspa.” Ocehan lucunya membuatku tersenyum. Ternyata Pak Jurdam adalah pelatih sihir anak yang bisa kuandalkan. Memang aku sengaja menyewa Pak Jurdam untuk mengajarikan sihir kepada Daru dan Puspa. Kebetulan Pak Jurdam adalah ahli sihir elemen api.

“Coba mana bapak lihat.” Kataku. Puspa menyebut sebuah mantera lalu muncul api kecil di jari telunjuknya. “Wih! Pinter juga anak bapak.” Pujiku sembari mengusap-usap kepalanya.

“Pak ... Saya mau ajak Puspa ke pasar malam. Boleh gak pak.” Daru yang baru saja datang membawa secangkir kopi langsung meminta ijin padaku.

“Boleh ... Asal jangan malam-malam pulangnya.” Jawabku.

“Asik ... Puspa mau jajan gula-gula.” Sahut Puspa senang.

“Tapi jangan banyak-banyak, nanti giginya rusak.” Sambung Ana yang baru saja keluar dari pintu tengah dengan membawa sepiring gorengan pisang yang masih panas.

“Ayo dek! Kita berangkat!” Ajak Daru pada Puspa.

“Ayo ...” Puspa turun dari pangkuanku.

Daru menggandeng tangan Puspa keluar rumah. Sementara aku mulai menikmati gorengan pisang dengan kopi ditemani Ana. Kami ngobrol santai menyoal kehidupan anak-anak dan masalah-masalah lain tentang kehidupan kami. Selama obrolan itu, aku merasa Ana beringkah agak lain. Tidak seperti biasanya, Ana sedikit kemayu dan manja. Bahkan tak jarang ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhku. Saat sedang asik bercengrama, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dentuman hebat. Spontan aku dan Ana terlonjak kaget dan berlarian keluar rumah. Aku melihat cahaya kobaran api dan asap membumbung ke udara lumayan jauh dari tempatku berada.

“Itukan tempat pasar malam.” Lirih Ana yang membuatku tersadar.

“Cepat! Ambilkan pedangku!” Perintahku pada Ana. Dia langsung berlari kembali ke dalam rumah.

Aku segera mengubah warna elemen sihirku menjadi perak. Tak lama, Ana memberiku pedang. Secepat kilat aku melesat ke arah kobaran api. Aku bergerak sangat cepat laksana kilat menyambar, hanya terlihat bayangan berkelebat, memburu tempat kobaran api. Di dalam pikiranku hanya kedua anakku, berharap mereka selamat. Hanya beberapa helaan napas, aku sampai di tempat pasar malam. Kobaran api begitu jelas melahap semuanya di sana. Semua orang berlarian ke segela arah untuk menyelamatkan diri. Suara jeritan dan teriakan panik orang-orang di dalam sana terdengar sangat jelas ditambah dengan suara dentuman ledakan memenuhi telingaku.

“Daru ... Puspa ...” Gumamku sambil melesat masuk di tengah-tengah kobaran api yang menyala-nyala. Tentu saja aku memakai sihir pelindung untuk memasukinya.

Ternyata aku disambut oleh sebuah bola api yang besar. Sambil meloncat menghindar aku mencabut pedangku dari sangkarnya. Saat kedua kakiku menjejak tanah, tampak makhluk besar menyerupai ular yang memiliki sayap. Bersarnya Ular bersayap tersebut adalah sebesar badan gajah dengan panjang tidak kurang dari 20 meter. Makhluk itu sedang dikepung oleh beberapa orang yang sedang menjinakkannya. Sihir-sihir berterbangan menerjang makhluk yang sedang mengamuk itu, namun tak satu pun yang bisa melukainya. Aku tak peduli, yang aku pedulikan kedua anakku. Aku pun berkelebat ke sana ke mari mencari Daru dan Puspa.

“Bapak ...!!!” Aku mendengar teriakan Daru. Walau tidak dapat melihat pasti posisinya, namun insting pendengaranku sangat tajam. Aku melesat ke arah sumber suara.

“Daru ... Puspa ...” Teriakku melepaskan kelegaan. Kedua anakku selamat. Mereka berdiri di luar area kebakaran bersama orang-orang yang lain. Rupa-rupanya mereka sedang menyaksikan ‘atraksi’ orang-orang yang sedang menjinakkan makhluk ular besar yang sedang ngamuk itu.

“Bapak ... Ular itu tiba-tiba menjadi besar dan keluar dari kandangnya.” Jelas Daru bersemangat.

“Itu bukan tontonan anak kecil. Segera kembali pulang. Cepat!” Kataku sambil mengarahkan pedangku ke jalan pulang.

“Iya, pak.” Jawab Daru sambil menarik Puspa untuk mengikuti langkahnya.

“Bapak ... Puspa ingin liat!” Puspa menolak tarikan Daru dan merengek padaku.

“Pulanglah! Ibumu mengkhawatirkanmu.” Kataku kembali menunjukkan pedang ke arah yang sama.

Keduanya berjalan cepat meninggalkan lokasi kebakaran dan amukan makhluk yang ternyata tadinya merupakan tontonan warga. Menurut salah seorang yang menyaksikan kejadian. Tadinya makhluk itu adalah ular piton yang lucu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya membesar dan menyerang petugas yang menjaganya. Dari mulut makhluk tersebut keluar bola-bola api yang besar hingga menghanguskan tempat-tempat hiburan pasar malam.

“Kayaknya mereka tidak bisa menjinakkannya Pak Tabib.” Kata orang yang kuajak bicara.

“Bahaya kalau sampai ke pemukiman warga.” Kataku.

“Wah! Lihat! Bapak pimpinan kota sampai turun tangan.” Salah seorang penonton berteriak. Memang aku melihat pimpinan kota ikut menyerang makhluk yang aku rasa semakin beringas.

Pertarungan antara puluhan orang dengan sang ular besar berlangsung sengit, sampai-sampai ada beberapa orang terluka akibat terkena serangan sang ular bersayap. Aku melihat kulit sang ular kebal terhadap serangan-serangan sihir yang menghantamnya bertubi-tubi. Tak ada luka goresan sedikit pun. Aku membiarkan orang-orang itu untuk menjinakkannya. Aku lebih memilih untuk mengobati orang-orang yang terluka. Sudah hampir satu jam lebih sang ular tak bisa dijinakkan atau dibunuh. Bahkan beberapa ksatria sihir yang kebetulan datang dan menyaksikan ikut juga menyerang sang ular, namun tak ada tanda-tanda ular besar bersayap itu menyerah. Bola-bola api berterbangan dan suara ledakan semakin intens dan menggema.

Semakin lama semakin terlihat ular besar bersayap itu membalikan keadaan. Semua penyerang satu demi satu berhasil dijatuhkan dan terluka. Melihat keadaan yang sudah tidak terkendalikan, aku memutuskan untuk maju menerjang. Teknik sihir pedang petir (Chidorigana) pun keluar. Aku bermaksud menyudahi keganasan makhluk ini dengan mengeluarkan puluhan tebasan pedang petir. Aku berkelebat menebaskan pedangku ke tubuh si makhluk. Kejadian selanjutnya adalah aku benar-benar terkejut karena sabetan pedang petirku seperti membentur baja yang tebalnya bermeter-meter. Tak ada luka goresan sedikit pun di tubuh sang monster ular bersayap.

Gila ... Memang keras kulit si ular setan ini ... Pedang petirku tak bisa melukainya.” Batinku.

Aku melesat menyambut monster ular itu dengan membuat ratusan tebasan dengan kecepatan kilat oleh pedang petirku pada si ular setan. Apa yang aku lakukan tentu tidak akan terlihat oleh mata biasa dan yang pasti tidak bisa diikuti oleh si monster ular. Belum lagi puluhan bola api yang terlontar dari orang-orang yang masih sanggup bertarung. Namun sialnya, tubuh si monster ular tak tergores sedikit pun, benar-benar tubuh yang sangat keras, tak bisa ditembus senjata tajam apapun. Akhirnya aku menghentikan teknik pedang petir Chidorigatana, dan kembali berkelebat menghindar serangan si ular setan.

Keras ... Bener-bener keras ...!” Batinku lagi.

Tapi, tiba-tiba aku tersenyum ketika merasakan serangan si monster ular melambat, bahkan sangat melambat. Gerakan si monster ular tampak kaku seperti ada yang menghalangi gerakannya. Tanpa ragu lagi, aku kembali menyerang dengan teknik pedang petir Chidorigatana yang kini aku naikkan daya rusaknya. Aku bergerak bagaikan kilat sambil menebas-nebas seluruh tubuh sang monster ular. Entahlah, sudah berapa ratus tebasan pedang petir yang mengenai tubuh sang monster dan pada akhirnya si ular setan benar-benar berhenti bergerak, tubuhnya tegang kaku dengan mata membulat dan mulut menganga. Teknik pedang petir Chidorigatana membuat si monster ular benar-benar tak bisa bergerak.

“Hah!!! Akhirnya kau tak berdaya monter!!!” Ucap seseorang bangga sambil mengatur nafasnya.

“Tapi, bagaimana cara menghabisinya?” Teriak yang lain.

Tiba-tiba tercipta beberapa lingkaran sihir tepat di depan kedua mata si ular setan, di depan mulutnya, dan di kedua lubang telingannya. Aku tak tahu siapa yang membuat lingkaran sihir itu. Tak lama, meluncur bola-bola api menghantam bagian-bagian tubuh di mana lingkaran sihir itu berada. Sepertinya si ular setan kini mulai merasakan sakit, kedua bola matanya hancur dan mengeluarkan darah, monter ular tersebut pun tidak bisa mengeluarkan suara karena pita suaranya sudah sangat dipastikan hancur, begitu pun gendang telinganya yang juga hancur oleh bola-bola api. Bola-bola api itu tanpa henti menghantam bagian dalam tubuh sang monster, bahkan kini bertambah dengan lingkaran-lingkaran sihir yang lain, ikut membantu menghajar si ular setan. Sampai akhirnya mataku menangkap sebuah batu berwarna hitam legam keluar dari mulut si ular setan. Dengan kecepatan kilat, aku menyambar batu tersebut lalu menjauh dari si ular setan. Beberapa detik berselang ....

BLAAAARRR

Suara ledakan itu adalah tanda di mana tubuh si ular setan hancur berkeping-keping. Darah memuncrat hebat, bahkan sedikit memercik ke tubuhku yang berada cukup jauh dari sang monster yang meledak itu. Tak perlu ditanya orang-orang yang dekat dengan makhluk tersebut. Badan mereka seperti diguyur cairan berwarna merah yang muncrat bagaikan air hujan. Terdengar sorak-sorai kemenangan dari semua orang. Suara kebahagiaan dan kelegaan datang dari semua sisi.

Pada saat yang bersamaan, batu hitam di genggamanku berubah menjadi asap hitam dan asap hitam itu tanpa bisa aku cegah masuk ke dalam mulutku. Saat itu juga, aku merasakan sakit di sekujur tubuh. Bahkan aku harus jatuh ke atas tanah sambil merasakan sakit yang tiada perinya. Aku berguling-gulingan seakan nyawa ingin melepaskan diri pada raga. Aku berteriak sangat kencang sebelum akhirnya pingsan karena tak kuasa menahan rasa sakit yang aku rasakan.

...
...
...
...
...



- Change Scene -

Aku begitu terkejut saat diriku benar-benar ditutupi dan diselimuti api. Aku kini berada dalam kobaran api dari berbagai sisi, dari bawah telapak kaki, atas kepala, samping kiri dan kanannya semuanya api. Namun, tak sedikit pun aku merasa panas. Tubuhku malah merasa sangat segar, seakan berada di alam bebas. Pandanganku kini terarah pada sesosok yang mengenakan jubah hitam dengan kerudung dan membawa sabit yang besar.

“Si..siapa anda?” Tanyaku gugup.

“Aku adalah penguasa neraka. Ketahuilah anak manusia, kau menyimpan pusakaku yang hilang. Aku menginginkannya kembali.” Jawab sosok yang mengaku pengusa neraka.

“Pusaka apa? Aku tak merasa menyimpan pusaka apapun.” Ungkapku heran.

“Nama pusaka itu ‘Tesseract’ yang membuat tubuh pemegangnya sangat kuat dan kebal terhadap berbagai macam senjata, baik senjata lahir maupun senjata sihir. Kau dapatkan dari ular raksasa yang kau kalahkan.” Jawab si penguasa neraka dan aku pun langsung teringat akan batu yang berubah menjadi asap hitam yang kemudian tertelan olehku. Sekarang aku tahu, kenapa monster ular itu begitu kuat. Ya, karena si ular setan menyimpan pusaka penguasa neraka.

“Oh ... Aku ingat ... Kalau itu memang milik anda. Silahkan ambil saja. Tapi sejujurnya aku tidak tahu cara mengeluarkannya.” Kataku yang sudah bisa menguasai diri.

“Hhhmm ... Tidak kah kau berniat mempertahankan pusaka itu di tubuhmu? Tidak kau tahu, betapa berharganya pusaka itu buat dirimu?” Tiba-tiba sang penguasa neraka bertanya seperti itu.

“Jika belum bisa membahagiakan, setidaknya tidak menyengsarakan. Jika belum bisa menciptakan, setidaknya tidak membuat kerusakan. Jika belum bisa membuat orang lain tersenyum, setidaknya tidak membuat mereka menangis. Jika belum bisa berbagi, setidaknya tidak mengambil hak orang lain. Maka, kalau pusaka itu benar milik anda, ambillah!” Kataku tanpa keraguan.

“Ha ha ha ha ... Aku suka dengan gayamu anak manusia. Kau memang bijaksana. Oleh karena itu, aku titipkan pusakaku padamu. Nanti kalau ajalmu tiba, niscaya pusaka itu akan kembali padaku.” Ungkap sang penguasa neraka.

“Oh, benarkah?” Aku terkejut tidak percaya.

“Ya, aku percaya padamu anak manusia. Ucapanmu itu sangat menyentuh hatiku. Jika belum bisa menciptakan, setidaknya tidak membuat kerusakan.” Katanya.

“Kalau begitu aku ucapkan terima kasih.” Kataku sambil membungkuk hormat.

“Dan sekarang kembalilah. Kau belum saatnya mati.” Ucap sang penguasa neraka.

Tiba-tiba, mataku menjadi sangat silau. Pupil mataku hanya menangkap sinar berwarna putih. Namun itu tak berlangsung lama karena setelahnya aku merasakan kegelapan. Aku terjebak dalam ruang gelap yang tiada berujung. Kesadaranku pun sedikit demi sedikit semakin menghilang, sampai akhirnya tak sadarkan diri.

...
...
...
...
...


- Change Scene -

Malam akan berganti pagi, suara ayam jantan pun mulai memberikan eksistensinya, memamerkan suara merdunya kepada alam. Aku menggeliat pelan di atas tempat tidur, mataku mengerjap pelan hingga kedua netra ini terbuka sempurna. Pertama yang kulihat adalah seorang wanita yang sedang mengompres keningku. Aku tidak terlalu kaget karena aku masih ingat rentetan peristiwa yang aku alami semalaman ini.

“Syukurlah mas sadar.” Ucap wanita yang sedang mengompres keningku. Dia adalah Ana.

“Apakah aku di rumah?” Tanyaku yang belum sepenuhnya sadar.

“Ya, mas ... Mas sudah di rumah. Warga membawa mas ke sini karena mas pingsan.” Jawab Ana dengan nada khawatirnya.

Aku bangkit sambil memegangi kepala yang masih terasa pening, “Aku gak apa-apa.”

“Ini mas minum dulu.” Ucap Ana sembari menyodorkan cangkir besar berisi air putih.

Aku mengambilnya lalu meneguk air putih itu. Memang aku merasa sangat haus. Kuhabiskan semua air putih dalam cangkir, kemudian memberikan lagi pada Ana, “Terima kasih.” Kataku kemudian.

“Mas istirahat lah dulu.” Ujar Anna.

“Tidak ... Aku ingin melemaskan otot-ototku.” Sahutku sambil bangkit berdiri.

“Yakin mas gak apa-apa?” Tanya Ana masih dengan suara khawatirnya.

“Ya, aku gak apa-apa.” Jawabku sambil tersenyum.

Aku berjalan keluar kamar. Ternyata di rumahku lumayan ramai oleh warga. Mereka menyambutku dengan wajah sumringah. Mereka mengucapkan syukur hambir bersamaan karena aku selamat. Ya, aku tahu mereka senang karena aku sering menolong mereka.

“Kami senang Pak Tabib Azka bisa bangkit lagi.” Ujar salah satu warga.

“Kami khawatir Pak Tabib tidak bisa bangun. Kami sangat membutuhkan Pak Tabib di sini.” Kata salah seorang lainnya.

“Saya tidak apa-apa.” Jawabku sambil tersenyum ramah.

“Apakah Pak Tabib yang membunuh ular raksasa itu?” Seorang warga bertanya padaku.

“Bukan ... Aku bukan yang membunuhnya.” Jawabku sangat yakin.

“Sayang sekali ... Seandainya bapak yang membunuhnya, bapaklah yang mendapat tambahan energi sihir.” Katanya lagi sambil geleng-geleng kepala.

“Maksudnya?” Tanyaku tidak mengerti.

“Ular raksasa yang semalam itu ternyata magical beast. Siapa-siapa yang dapat membunuhnya akan mendapat tambahan energi sihir dari si ular raksasa semalam.” Jawabnya.

“Oh ... Begitu ...” Aku kini baru sadar dan langsung teringat pada amanat Petteri yang menyuruhku memburu magical beast untuk meningkatkan kapasitas energi sihirku.

“Saya yakin peningkatan energi sihir yang membunuh ular raksasa semalam sekitar 200 poinan.” Seorang warga lain bersuara.

“Ya ... Sekitar itu ... Tadi malam itu magical beast yang sangat kuat.” Sahut yang lain.

Kami pun melanjutkan obrolan tentang kejadian semalam. Sejalan dengan obrolan, akhirnya satu persatu warga berpamitan pulang padaku, sampai tidak bersisa seorang pun. Aku sadar kalau tubuh dan pakaianku kotor. Langsung saja aku mengambil pakaian bersih di kamar, kemudian cepat-cepat ke pancuran di belakang rumah. Terdengar suara air pancuran meluncur membentur permukaan air yang berada di bawahnya. Aku langsung saja membuka pintu tempat mandi ini ...

“Maaasss ...!!!” Aku terlonjak sesaat setelah mendengar teriakan Ana yang berada dalam tempat mandi.

Kulihat dia sedang jongkok di bawah pancuran dengan sebagian tubuh terlapisi buih sabun. Sial! Aku juga melihat bagian depan tubuhnya yang telanjang. Dia punya dua buah gunung kembar yang montok. Aku akui itu. Dia punya dada yang lumayan besar. Lalu dia punya bibir kecil sewarna merah cherry yang selalu menggoda untuk kukecup. Dia juga punya bokong yang seksi, dipadu oleh lekukan pinggul dan bokongnya yang aduhai. Dia punya kulit mulus dan eksotis. Benar-benar Ana terlihat seksi dan menggoda pada saat tidak mengenakan apapun sperti yang kulihat saat ini.

Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku, “Oh ... Maaf ...” Aku lantas menutup pintu pancuran dan hendak pergi menjauh.

“Mas ...!” Seru Ana yang membuat langkahku terhenti.

“Ya ...” Jawabku.

“Mas mau mandi kah?” Tanyanya yang sebenarnya tak perlu dia tanyakan.

“Ya ...” Jawabku lagi singkat sambil merasakan aliran darahku yang mulai bergerak semakin cepat.

“Masuklah ...” Dia memanggil dan sontak adrenalinku menderas.

Semua orang tahu kalau aku sangat buruk dalam mengontrol hormon seksualku saat melihat wanita telanjang yang menggoda. Dan Ana mempelihatkan pemandangan yang membuat mataku bereaksi berlebih, dan menyebabkan hormon seksualku berada diambang batas, kini malah ‘menggodaku’. Kalau sudah begini, nalarku hanyut dibawa gelombang hasrat yang begitu menggebu dan menuntut. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung masuk ke dalam ruang pancuran yang disambut Ana dengan senyuman.

“Lepas pakaian mas ...” Ucap Ana begitu menantang kelelakianku.

Aku pun segera melepas seluruh pakaianku dan menyimpannya di atas bilik penutup ruang pancuran. Dalam posisi masih berjongkok, tangan Ana menggapai kejantananku yang sudah bangkit dari tidurnya. Tangan halusnya membelai kejantananku dengan jari-jarinya, dan aku merasa terlempar ke surga kenikmatan dalam sekejap. Aku semakin terbakar nafsu dan kejantananku semakin mengeras dan berdenyut mencari tempat untuk menjepitnya.

Aku pun berjongkok lalu menarik pelan kedua kakinya hingga posisiku kini berada di kedua pahanya. Punggung Ana bersandar di sisi gentong besar yang penuh air. Aku membuka pahanya dan menaikkan kedua kakinya ke pundakku, dengan posisi demikian aku memiliki posisi yang paling ideal untuk memasukkan kejantananku sedalam-dalamnya ke goa kenikmatannya. Aku mulai meletakkan kepala penisku dan menggosoknya pelan-pelan. Setelah siap, aku mendorong kepala penisku memasuki gerbang kenikmatan tersebut.

“Aaaaahhh ...”

Pada saat kepala penisku yang cukup besar memasuki lubang tersebut, Ana hanya bisa merintih pelan. Aku menahan sebatas kepalanya tertelan oleh leher vaginanya dan berdiam beberapa saat. Aku mulai mendorong sampai setengah batangku menggesek pelan dan terasa nikmat sekali, sesudah itu menarik kembali sebatas leher helm kejantananku dan mendorongnya pelan kembali menembusnya sampai setengah panjang batangku.

“Aaaaaahhh ...” Ana kembali mendesah.

Aku melakukannya selama lebih kurang sepuluh kali dan aku agak menekan kedua kakinya mengangkang dan membukanya lebar sambil kutekan sekuat tenaga tetapi lembut dan pada saat aku mencapai batas terdalam dan menemukan daging kenikmatan yang menggesek kepala helm kejantananku, detik itu pula tangannya menyambar kepalaku dan menarik kepalaku untuk mencari bibirku dan menciumnya liar sekali.

Aku mendiamkan keadaan ini beberapa saat dan aku merasa suatu cairan hangat merembes dari dalam vaginanya. Sambil tetap berciuman aku menarik batangku sebatas helm yang terjepit erat oleh otot cincin vaginanya dan mendorong kembali sedalam-dalamnya sambil memberatkan seluruh tubuhku ke pinggangku dan kembali menemukan kenikmatan gesekan seluruh batangku, bergesekan dengan dinding vaginanya yang mencengkeram erat sampai kepala penisku menggesek kasar daging menonjol dalam vaginanya dan ia merintih panjang dan menyedot lidahku kuat-kuat.

Tiba-tiba pada saat posisi terdalam itu dia menarik leherku dan menaikkan pantatnya dan menggoyangnya pelan tetapi ditekan sedalam-dalamnya hingga aku terlontar ke surga. Putarannya begitu pelan tetapi menekan dalam sehingga kepala penisku terasa digosokkan total dengan daging dalam vaginanya sambil seluruh batangku diremas-remas oleh otot dinding vaginanya. Dan tiba-tiba Ana merintih keras sambil mencakar keras punggungku. Dia terlontar melepaskan pelukannya pada leherku sambil pahanya tetap tersangkut di pundakku. Lalu ia tergeletak tersengal-sengal dan aku merasa kembali cairan hangat merembes keluar dari vaginanya.

Aku sudah sampai di ujung nafsuku dan aku mencabut kejantananku sambil membalikkannya pada posisi telungkup. Aku menaikkan pinggul dan pantatnya dalam posisi doggie style. Setelah posisinya pas, aku mendorong kejantananku amblas dalam suatu sentakan keras dan ia merintih. Aku bisa melihat kejantananku keluar masuk dengan suatu sentakan keras tetapi dalam irama lambat. Kepalanya yang menunduk disertai rambut yang terurai lebat membuatku serasa berada di awan birahi dan tiba-tiba aku merasa dia menggerakkan pinggulnya mendorong balik setiap gerakanku ditambah gerakan memutar keras hingga kepala kejantananku seperti diremas-remas hangat dan ketat dan digesekan sekerasnya dengan daging di dalam vaginanya.

“Aaaahhh maaasss ....” Ana merintih keenakan.

Agak lama kami melakukan ini sampai kepala penisku terasa agak panas, denyut kenikamatan yang sangat luar biasa aku rasakan setiap aku menggesek keluar dan masuk lubang itu. Aku makin dalam mendorong ditingkahi rintihannya yang semakin keras dan aku merasa denyut batang kejantananku merambat ke arah kepala penisku dan otot vaginanya mengimbangi dengan denyutan lembut yang semakin cepat. Aku sangat menikmati kenikmatan ini, begitu lembut tetapi sangat terasa dalam setiap gesekan dan tekanan. Dan pada tekanan terakhir aku mencengkeram pinggulnya dan mendorong sekuat-kuatnya dibalas dengan dorongan balik oleh pinggulnya. “Srett... Srett... Srett...” Semburan demi semburan, aku menumpahkan semua birahi yang terkumpul sejak tadi dalam lubang kenikmatannya dan disusul denyutan keras dinding vaginanya dan tangannya mencari pahaku untuk dicakar sekeras-kerasnya.

“Aaaaaccchhh ... Maaasss ...” Pekik Ana menumpahkan rasa nikmatnya.

Dalam beberapa saat aku merasa tulangku dilolosi semua dan mataku terpejam menikmati detik-detik saat aku mengeluarkan seluruh cairan kenikmatan di dalam lubang surgawi yang sedang aku masuki ini. Kepalaku berdenyut keras seiring setiap semburan yang aku keluarkan. Setelah itu badai itu mulai mereda walau dalam posisi diam tidak bergerak tetapi setiap otot kami berdua bekerja diluar kehendak dan berdenyut keras sampai pelan-pelan melambat. Setelah aku membuka mata, perlahan-lahan aku mencabut batangku yang masih mengeras dan tubuhnya langsung tergeletak lemas seakan pingsan. Langsung saja tubuh wanita itu aku raih dan kuletakkan di pangkuanku.

“Kalau mau tidur, jangan di sini.” Bisikku mencandainya.

“Aku tiga kali mas ... Lemes sekali ...” Balas bisiknya.

“Padahal aku masih mau ...” Bisikku lagi.

“Ihk ...!” Tiba-tiba mata Ana mendelik.

Aku pun tertawa pelan dan mulai memandikan tubuh wanita ini. Ana memang tidak terlalu cantik, namun body-nya yang membuatku ingin terus merasakan kehangatannya. Kami pun lantas menyudahi acara mandi kami, tetapi acara bercinta kami dilanjut di kamarku. Kenikmatan demi kenikmatan kami raih dan entah sudah berapa kali kami berdua saling menyemburkan cairan kenikmatan. Rintihan dan desahan kepuasan berulang kali terdengar lembut dari mulut mungilnya yang indah. Kedua bibir tipisnya selalu digigitnya gemas setiap kali kuberhasil memberinya seteguk demi seteguk anggur kenikmatan. Seakan pengantin baru hampir sepanjang pagi sampai siang kami berdua menikmati indahnya surga dunia.

Bersambung
Chapter 4 di halaman 27 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd