Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG AZUMATH: WORLD OF MAGIC

Status
Please reply by conversation.
Di awal cerita ada 4 elemen sihir yg diambil dari elemen sihir kehidupan. Baru 2 elemen yg dibahas/disinggung disini air dan api. Sedangkan elemen yg tanah dan udara belum.. kerajaan2 yg di kenalin juga belum semua dilihat kondisinya.. tapi ini udah silaturahmi ke bangsa2 lain.. jadi penasaran sama kelanjutannya. Ok suhu Aswada.. semangat ya.
 
Bantu up.....up...... Barangkali ada up date terbaru dari brother @Aswasada, cerita dan alur nya top markotop buat kita² penasaran. Alur cerita yg mantaf tidak membuat pembaca jenuh, cerita yg wajib dinanti oleh pemirsa setia ga sayang bolak balik baca seharian jg sambil ngopi dan ngudud.
Semangat brother kami selalu menantimu 😘🤭😘
 
CHAPTER 14 A


Tepat saat matahari tenggelam di ujung dunia, aku sampai di sebuah pulau kecil. Dunia Azumath memang semuanya indah, sampai pulau kecil yang aku singgahi ini terlihat sangat indah. Aku dan Quirima berada di puncak bukit satu-satunya di pulau ini. Segera saja aku membangun tenda yang selama ini selalu kubawa ke mana-mana. Setelah makan dan mandi, aku duduk bersebelahan dengan Quirima, memandang lautan luas dari atas bukit. Lenganku melingkar di pinggangnya, sementara Quirima meletakkan kepalanya di bahuku.

“Suamiku ... Kenapa suamiku mau sama diriku yang buruk rupa seperti ini?” Tanya Quirima sembari memainkan jemariku yang berada di perutnya. Tentu aku ingin tertawa dengan pertanyaan itu. Rupa-rupanya Quirima belum menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya.

“Aku hanya menilai seseorang dari hati. Bagiku, kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya. Jika orang lebih peduli tentang bagaimana mereka tampak di dalam daripada di luar, dunia akan menjadi tempat yang lebih menyenangkan untuk hidup.” Kataku lalu mencium keningnya.

“Oh suamiku ... Apakah ucapan itu murni dari hatimu?” Quirima seperti tak percaya dengan ucapanku.

“Seperti kataku, mungkin awalnya aku iba dan kasihan padamu yang terkurung selama 3 juta tahun. Aku yakin selama itu kamu menyadari bahwa sesuatu itu ada konsekuensinya dan kamu sadar akan kesalahanmu. Dari situlah aku mempunyai keyakinan kalau kamu adalah wanita yang cocok menjadi istriku. Aku selalu ingin mencari istri yang baik budi pekertinya, sifat dan sikapnya, agar anak-anakku kelak menjadi orang yang baik dan berguna untuk masyarakat di sekitarnya.” Jelasku kini sangat bersungguh-sungguh.

“Aku bersumpah akan menjadi istri terbaikmu.” Quirima memeluk pinggangku erat.

“Aku juga bersumpah akan menjadi suami terbaikmu.” Kataku.

Malam yang syahdu itu berjalan tenang, dengan sedikit deru hembusan angin yang menerpa tenda. Di dalam tenda, kami memadu kasih hingga bulan sudah bergeser sampai mencapai atas puncak kepala. Aku dan Quirima sama sekali tidak menyia-nyiakan waktu untuk terus saling memberikan kenikmatan. Desahan dan erangan yang terus meluncur dari bibir kami, kini berubah menjadi lenguhan tak jelas yang hanya berfungsi menunjukkan betapa larutnya kami dalam kenikmatan bercinta. Aku sampai lupa berapa kali aku telah menyemburkan benih-benihku di dalam rahim Quirima. Kami berdua pun akhirnya kelelahan dan tergeletak tidur begitu saja. Dengan tetap bugil, kami berdua berselimut bersama.

Saat pagi sudah mulai menyingsing, aku dan Quirima sarapan. Setelahnya, aku melesat lagi sambil menggendong Quirima. Kali ini aku dan Quirima fokus memburu daratan benua, kami melakukan perjalanan 24 jam yang hanya beristirahat sesekali saja dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hingga sampai pagi berikutnya, aku dan Quirima sampai di Danrubin. Aku langsung mencari penginapan dan melepaskan lelah di penginapan yang menurutku sangat indah dan nyaman walau harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Quirima sengaja ingin menginap di penginapan mahal ini, dan aku hanya bisa mengikuti keinginannya.

Saat aku berbaring di tempat tidur dengan jiwa yang setengah melayang hendak masuk ke alam mimpi, tiba-tiba Quirima keluar dari kamar mandi dengan tubuh bugilnya. Dia langsung memburuku dan langsung menindihku di atas kasur. Wajahnya hanya beberapa senti saja di atas wajahku. Matanya lebar menatapku seolah dia baru saja melihat hantu. Quirima masih tak mengatakan apa pun. Ada keterkejutan jauh di dalam matanya yang menolak untuk percaya.

“Ada apa?” Tanyaku penasaran.

“Wa..wajahku ... Wajahku ...” Katanya tergagap.

Aku pun tersenyum sambil menangkup kedua pipinya, “Kenapa dengan wajahmu?”

“Jangan bercanda suamiku ... Kamu tahu sudah lama kalau wajahku berubah kan?” Tanyanya agak sengit.

“Aku baru tahu saat kita pertama kali berhubungan badan. Tapi bukan berarti aku tidak mencintaimu kalau wajahmu seperti pertama kali kita bertemu. Sudah aku katakan kalau aku menyukai hatimu daripada wajahmu.” Jawabku sambil tersenyum.

“Sebel ihk! Kok gak ngasih tahu aku?!” Katanya sambil cemberut.

“Buat apa? Toh, aku tidak peduli dengan wajahmu. Sayang, kecantikan tidak ada di wajah, kecantikan adalah cahaya di hati. Cukup jadi diri kamu sendiri dan kamu akan cantik dengan sendirinya.” Kataku lagi.

“Oh suamiku ...” Katanya sambil membenamkan wajahnya di ceruk leherku.

“Istriku ... Dengar baik-baik ...! Kau ditakdirkan mempunyai dua wajah. Wajahmu yang cantik sekali, dan wajahmu yang buruk sekali. Wajahmu akan cantik bila hatimu baik, damai, bahagia, dan sifat-sifat baik lainnya. Wajahmu akan menjadi buruk bila hatimu diliputi oleh amarah, dendam, kekejian, dan sifat-sifat buruk lainnya. Maka, jadilah wanita yang baik agar kamu tetap cantik.” Jelasku dan wajah Quirima terangkat lalu menatapku.

“Apakah begitu?” Tanyanya kurang yakin.

“Ya ... Aku tahu tentangmu dari guruku. Aku sangat tertarik denganmu karena guruku mengatakan kalau kamu adalah wanita tercantik sekaligus terburuk se-Azumath. Aku mempunyai keyakinan kalau kamu tidak akan mau lagi menjadi wanita terburuk. Oleh karena itulah, aku mencarimu.” Kataku agak berbohong kali ini.

“Kalau boleh tahu, siapa gurumu, suamiku?” Tanya Quirima.

“Petteri ... Makhluk cahaya Petteri.” Jawabku.

“Apa? Petteri?” Quirima memekik tertahan. Tampak sekali dia terkejut.

“Ya ... Apakah kamu mengenalnya?” Kini aku yang bertanya.

“Aku hanya pernah mendengarnya. Makhluk cahaya berilmu tinggi. Mengetahui semua ilmu sejagat raya. Kata orangtuaku, Petteri mengetahui semua jenis sihir. Dia sangat sakti sampai-sampai Naga Suci Khor kalah olehnya. Apakah benar sumaiku?” Jawab Quirima yang membuatku tersenyum.

“Ya ...” Jawabku singkat lalu memeluk tubuhnya. “Aku sangat ngantuk. Lebih baik kita tidur.” Kataku kemudian.

Quirima hanya mengangguk dan kami pun tertidur pulas. Namun saat tengah hari, aku merasa kejantananku merasakan sesuatu yang basah dan hangat. Setelah membuka mata ternyata Quirima sedang menciumi dan mengulum batang ereksiku. Tak ayal, siang ini aku menyetubuhinya berkali-kali hingga Quirima kepayahan. Dan kami pun melanjutkan tidur hingga sore menjelang malam.

Kami bersantai menikmati sejuknya cuaca di malam ini. Bulan dan bintang seakan-akan berlomba untuk menampakkan cahayanya. Aku dan Quirima duduk di serambi penginapan sambil menikmati kopi panas dan cemilan. Aku melihat kebahagiaan yang teramat besar di matanya. Dia tidak berhenti tersenyum sambil menatapku. Aku sangat senang melihat ekspresinya itu.

“Istriku, Quirima ... Aku ingin kamu mengetahui sesuatu.” Kataku di sela cengkrama kami.

“Apa itu?” Tanya Quirima mulai serius.

“Aku mempunyai dua anak angkat, namanya Daru dan Puspa. Aku sangat menyayangi mereka. Aku harap kamu juga menyayangi mereka.” Kataku hati-hati.

“Aih ... Aku pasti akan menyayangi mereka, suamiku ... Sekarang dimana mereka?” Tanya Quirima sangat ramah.

“Mereka sekarang berada di Kerajaan Alvar. Tetangga kerajaan ini. Aku bisa membawa mereka ke sini dalam 20 menit.” Kataku.

“Kalau begitu ... Bawa keduanya ke sini. Mereka harus mengenal ibu baru mereka.” Kata Quirima bersemangat.

“Tidak sekarang istriku. Malam ini aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu.” Kataku sambil tersenyum penuh arti.

“Ihk! Gak ada bosennya!” Ucap Quirima sembari memanyunkan bibirnya.

“He he he ... Aku ingin bercocok tanamku langsung berbuah.” Godaku dengan senyum semakin lebar.

“Hi hi hi ... Iya suamiku ... Tapi mempunyai istri seorang Demon harus sabar, karena wanita Demon susah hamil.” Ungkapnya membuat aku melongo.

“Masa iya wanita Demon susah hamil?” Tanyaku jadi ingin tahu.

“Iya suamiku ... Wanita Demon itu sulit hamil. Makanya tidak aneh kalau penduduk bangsa Demon lebih sedikit dari penduduk bangsa manusia dan bangsa Elf.” Jelas Quirima.

“Bukannya kebanyakan wanita bangsa Demon tidak ingin hamil? Seperti bangsa Elf juga yang wanita-wanitanya tidak ingin hamil?” Tanyaku.

“Itu juga salah satu alasan kenapa bangsa Demon sedikit jumlah penduduknya.” Jawab Quirima sambil berdiri lalu berjalan ke kursiku. Quirima lantas duduk di pangkuanku dengan lengan melingkar di leherku.

Senyum bahagia terukir dalam raut wajah Quirima. Aku mengusap wajahnya yang sangat mulus seraya menatap wajahnya yang cantik. Dilihat berkali-kali pun dia memang sangat cantik. Dan aku hanya manusia biasa yang lahir untuk memuja kecantikannya. Wajah kami saling mendekat, semakin dekat, dan akhirnya bibir kami menyatu. Kusalurkan rasa cintaku padanya dengan ciuman lembut yang membuatku tak ingin mengakhirinya. Malam ini kami memadu kasih. Kami bercinta seakan-akan kami memiliki semua waktu di dunia.

.....
.....
.....


Pagi ini cuaca cerah langit biru yang terang dengan awan putih yang menghiasi indahnya langit. Aku baru saja menjejakan kaki di istana Kerajaan Alvar. Sudah barang tentu semua prajurit yang kulalui berlutut hormat karena bagaimana pun aku pernah menjadi raja di sini. Ternyata kedatanganku diketahui Ratu Retania, dan sang ratu pun memintaku untuk menemuinya di ruang pertemuan. Aku yang tadinya hendak langsung membawa Daru dan Puspa, terpaksa harus singgah dulu ke ruang pertemuan. Di ruangan ini sudah penuh oleh para pejabat istana. Semuanya langsung berdiri menyambut kedatanganku.

“Tidak perlu menyambutku seperti ini tuan-tuan. Aku bukan lagi raja kalian.” Kataku sambil tersenyum lalu menyuruh semua yang hadir duduk kembali. Lalu aku menjura hormat kepada Ratu Retania, “Salam hormat saya ratu ... Ada apa ratu memanggil saya?” Tanyaku pada Ratu Retania.

“Duduklah kakang ...!” Ratu Retania malah menyuruhku duduk di kursi terdekat dengan kursi kebesarannya. Aku pun tersenyum karena Ratu Retania memanggilku ‘kakang’. Tetapi aku maklum karena usia Ratu Retania masih di bawahku.

“Terima kasih.” Sahutku sambil duduk di tempat yang telah disediakan khusus untukku.

“Kakang Azka ... Saya ingin mengubah kebijakan kakang sebelumnya yang memprioritaskan pembangunan ekonomi. Saya mohon izin kakang untuk merombaknya karena saya pikir kerajaan ini butuh pertahanan untuk menghalau gangguan dari luar.” Ujar Ratu Retania padaku.

“Aku serahkan pada yang mulia ratu. Saya sudah lagi tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan kebijakan kerajaan. Sekarang ada di tangan ratu. Tapi saya minta, kebijakan apapun yang akan ratu lakukan jangan sampai memberatkan rakyat. Kasihan rakyat kalau harus menanggung biaya untuk pelaksanaan kebijakan yang ratu sendiri inginkan.” Jawabku tandas dan jelas.

“Saya sudah merancangnya dengan tidak membebankan keuangan rakyat. Tetapi ada sektor perekonomian yang telah kakang rancang yang harus dikorbankan.” Jelas Ratu Retania.

“Aku sekali lagi menyerahkan semuanya pada penguasa yang sedang berkuasa. Silahkan lakukan yang ratu anggap lebih baik.” Kataku lagi mempertegas ucapanku sebelumnya.

“Terima kasih kakang ...” Ratu Retania tersenyum puas.

Dalam pertemuan ini aku banyak bicara tentang konsep kesejahteraan rakyat. Bagiku istana mempunyai kewajiban untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, dan juga yang utama adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Rakyat dapat dikatakan sejahtera apabila setiap warga dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan sandang, pangan dan papan tidak lagi menjadi persoalan yang utama. Kemudian dari aspek sosial, rakyat tidak lagi saling bertentangan satu sama lain, mereka saling bantu membantu dan terciptanya hubungan harmonis antar masyarakat. Ratu Retania dan para pejabat istana menyambut ideku dan bertekad untuk mensejahterakan masyarakat.

Akhirnya aku meninggalkan pertemuan yang masih akan berlangsung hingga siang hari. Sekalian aku berpamitan kepada Ratu Retania dan para pejabatnya untuk kembali ke Danrubin bersama Daru dan Puspa. Aku berjalan di koridor istana menuju tempat kediamanku waktu menjadi raja di istana ini. Tak lama, aku sampai dan mendapati Daru sedang melatih Puspa di taman belakang.

“Bapak ...!” Seru Puspa yang tiba-tiba berlari ketika melihatku datang.

“Anakku ...” Lirihku sambil menyambut Puspa dan menggendongnya. “Kamu sehat kan nak?” Tanyaku pada Puspa lalu mencium kedua pipinya.

“Puspa sehat, bapak ...” Jawabnya sambil memainkan kerah bajuku.

“Bapak ...” Daru menyapaku.

“Kamu sehat nak?” Tanyaku pada Daru sembari mengusap-usap kepalanya.

“Aku sehat pak ...” Jawab Daru sambil tersenyum.

“Kita masuk ke dalam. Ada yang ingin bapak bicarakan.” Kataku pada anak-anak.

Kami pun masuk dan duduk di ruang depan. Kemudian aku menjelaskan pada Daru dan Puspa bahwasannya aku sudah mempunyai istri yang berarti mereka mempunyai ibu baru. Daru dan Puspa menyambut hangat keputusanku dan mereka ingin sekali bertemu dengan ibu baru mereka. Namun sebelumnya aku memberi nasehat pada Daru dan Puspa agar bersikap baik pada Rima, begitu aku memperkenalkan Quirima pada Daru dan Puspa. Kedua anak angkatku berjanji akan bersikap baik pada Rima.

Setelah selesai memberikan wejangan pada anak-anak. Aku kemudian menggendong Daru dan Puspa. Kuberi selubung sinar pada mereka sebelum akhirnya aku melesat membawa keduanya ke Danrubin. Tidak lebih sepuluh menit aku sampai di penginapan. Aku turunkan anak-anak dari gendongan lalu membawa mereka menemui Quirima. Sebuah pertemuan yang merupakan sebuah berkah bagi kami semua. Aku bersyukur karena Quirima di satu pihak dan kedua anak angkatku di lain pihak saling menerima dengan kebeningan nurani. Tanpa memakan waktu lama, mereka langsung akrab dan langsung merasa menjadi satu keluarga.

“Ibu ... Puspa sudah bisa sihir. Puspa diajarin Kakak Daru.” Ucap Puspa yang lucu sambil mempraktekan sihirnya. Aku tersenyum saat melihat dari jari-jarinya keluar api kecil.

“Aduh ... Hebat anak ibu. Nanti ibu mau mengajari kamu sihir terbang. Puspa mau ibu ajari terbang?” Kata Quirima lemah lembut sembari menoel hidung Puspa.

“Mau ...! Ibu ...!” Teriak Puspa kegirangan.

“Aku juga ibu ... Aku ingin bisa terbang seperti bapak ...” Sambung Daru sangat antusias.

“Bapakmu bukan tandingan kita anak-anak. Kalau bapakmu bisa terbang dengan jarak yang sangat jauh. Ibu hanya bisa terbang beberapa meter saja.” Ungkap Quirima sambil melirikku.

“Aku ingin meningkatkan dulu energi sihir Daru dan Puspa. Rencananya aku akan membawa mereka berburu magical beast.” Kataku pada Quirima.

“Emang suamiku tahu di mana tempat berburu magical beast?” Tanya Quirima dengan mimik heran.

“Ada dua tempat dekat sini. Aku diberi tahu Petteri.” Jawabku.

“Pulau Kobba Klintar dan Pulau Diomede.” Ujar Quirima yang membuatku bengong.

“Kok kamu tahu?” Tanyaku heran.

“Aku juga dulu berburu magical beast di pulau itu.” Jawab Quirima sambil tersenyum.

“Wow! Jadi ibu pernah ke sana?” Tanya Daru.

“Tempat yang tidak akan pernah habis magical beast.” Jawab Quirima dengan mengarahkan pandangan ke Daru.

“Tapi bapak sudah membunuh induknya, bu ...” Kata Daru.

“Benarkah?” Tanya Quirima padaku dengan nada terkejut.

“Hanya di Pulau Kobba Klintar ... Induk kalajengkingnya yang dibunuh. Kalau di Pulau Diomede, aku biarkan hidup.” Jawabku.

“Untung saja tidak dibunuh. Berarti kita masih bisa berburu di sana.” Kata Quirima lega.

“Bapak ... Ayo kita berburu monster!” Tiba-tiba Puspa berlari ke arahku lalu menggoyang-goyangkan tanganku dan menarik-nariknya.

“Jangan sekarang, sayang ... Kan Puspa lagi kangen-kangenan sama ibu baru.” Bujukku.

“Tidak apa-apa suamiku ... Sekalian kita wisata keluarga ke Pulau Diomede. Aku juga ingin melihatnya lagi. Sudah sangat lama aku tidak ke sana.” Ucap Quirima seolah malah dia yang meminta.

“Ya, sudah ... Kita berangkat sekarang ...” Ajakku yang disambut teriakan gembira anak-anak. Aku berdiri dan berkata pada Quirima, “Aku mengantarkan anak-anak dulu ke sana. Setelah itu baru kamu.”

“Tidak perlu bolak balik, suamiku ... Aku bisa pergi sendiri.” Jawab Quirima yang lagi-lagi membuatku bengong. “Hei! Aku bisa terbang juga!” Ujar Quirima sambil memijit hidungku.

“Oh ya?” Kataku lumayan terkejut.

“Aku ini penguasa sihir angin, suamiku ... Masalah terbang sangat mudah bagiku walau tidak secepat dirimu.” Ungkap Quirima dan baru aku mengerti.

“Kalau begitu kita berangkat.” Ajakku lagi pada anak-anak. Daru dan Puspa langsung berada di gendonganku dan kuberikan selubung cahaya.

“Suamiku mungkin hanya membutuhkan beberapa menit untuk sampai di sana. Aku akan memakan waktu sekitar setengah hari. Jadi duluan saja dan tunggu aku di sana.” Kata Quirima.

“Baiklah ... Hati-hati di jalan.” Kataku sembari mencium kening Quirima.

“Ya, suamiku ...” Jawab Quirima.

Jangan ditanya lagi bagaimana kecepatan lajuku, hingga hanya sepuluh menitan aku sudah sampai di Pulau Diomede. Waktu aku tinggalkan pulau ini, memang masih tersisa ribuan ular kecil, dan kini terlihat sudah semakin banyak lagi magical beast berbentu ular kobra itu. Aku tidak habis pikir, bagaimana caranya induk magical beast berkembang biak. Kok rasanya seakan tidak pernah berhenti melahirkan anak-anak mereka seperti tidak terprogram saja.

Sambil menunggu Quirima, aku dan Daru memburu ular-ular kobra yang hanya dilemaskan saja. Tentu tugas Daru yang melemaskan ular-ular kobra tersebut karena aku tidak mempunyai pukulan yang hanya melamaskan lawan. Ular-ular kobra yang telah dilemaskan baru kemudian dibunuh Puspa dengan menggunakan golok sehingga energi sihirnya terserap oleh Puspa. Aku mengukur, satu ular kobra memiliki kenaikan energi sihir sebanyak 10 – 15 poin. Hingga empat jam berlalu Puspa sudah mempunyai kapasitas energi sihir sebanyak 2168.

“Sekarang Puspa belajar menyerang dengan sihir dulu sama bapak ... Biar Kak Daru berburu untuk dirinya sendiri. Nanti kalau sudah bisa menyerang dengan sihir, Puspa bisa berburu sendiri.” Kataku.

“Iya bapak ...!” Seru Puspa sangat bersemangat.

Aku pun mengajari Puspa menggunakan energi sihirnya untuk menyerang. Tema dan konsepnya sama saja untuk semua elemen sihir. Pertama menghapal mantra lalu menyatukannya dengan energi sihir. Tahap selanjutnya mengeluarkan energi sihir tersebut menjadi sebuah serangan. Memang untuk seorang pemula, tahap mempersatukan mantra dan energi sihir adalah tahap paling sulit, butuh fokus dan konsentrasi tinggi. Tentu saja hal seperti itu merupakan sesuatu yang lumayan sulit bagi anak seusia Puspa. Dua jam lebih Puspa bermeditasi, namun fokus dan konsentrasinya sering lepas bila mendengar sesuatu yang menurutnya menarik.

“Bapak kok susah ya?” Puspa mengeluh.

“Tidak ada yang susah, sayang ... Puspa harus sungguh-sungguh berlatihnya.” Jawabku memberinya semangat.

Tiba-tiba Puspa menunjuk ke udara dan berseru, “Itu ibu!”

Quirima terbang dengan gaunnya yang berkibar-kibar dan tak lama mendarat cantik di depanku dan Puspa. Puspa segera berlari menyambut Quirima dan memeluknya. Quirima meraih Puspa lalu menggendong anak itu. Puspa pun langsung mengoceh, betapa susahnya belajar sihir. Quirima tersenyum sambil mendekatiku.

“Biar Puspa mengumpulkan dulu energi sihirnya. Kita bisa mengajarinya di penginapan.” Kata Quirima sangat masuk akal.

“Baiklah ... Daru harus dipanggil lagi buat membantu mengumpulkan ular-ular buat Puspa.” Kataku.

“Sebaiknya biarkan Daru berburu.” Ucap Quirima sembari mengedarkan pandangan. “Kita harus menemui dulu Jhana dan Jhani.” Lanjut Quirima.

“Siapa Jhana dan Jhani?” Tanyaku heran.

“Loh ... Suamiku tidak tahu? Jhana dan Jhani itu penghuni pulau ini. Induk dari ular-ular yang kita buru.” Jawab Quirima yang membuatku bengong.

“Oh begitu ya? Jadi makhluk itu mempunyai nama?” Kataku yang baru sadar.

“Benar ... Mereka itu Jhana dan Jhani. Ayo suamiku! Temui mereka.” Ajak Quirima.

Aku dan Quirima yang menggendong Puspa melayang ke udara menuju puncak bukit di mana sepasang magical beast ular berkepala tiga bersemayam. Sekitar sepuluh menitan kami pun tiba di depan gua tempat tinggal sepasang magical beast yang bernama Jhana dan Jhani. Aku tidak perlu memanggil sepasang magical beast tersebut karena kedatangan kami langsung diketahui mereka. Jhana dan Jhani pun keluar dari dalam gua.

“Selamat datang manusia yang memiliki cahaya.” Sambut makhluk ular berkepala tiga yang kuyakini bernama Jhani karena memiliki suara laki-laki.

“Panggil saja aku Azka ... Tuan Jhani ...” Kataku.

“Oh ... Tuan Azka tahu nama saya?” Dari nada suaranya Jhani terkejut.

“Ya ... Aku tahu dari istriku.” Aku lantas memeluk pinggang Quirima.

“Cantik sekali istri tuan ...” Kata Jhani dengan suara perempuannya.

“Apakah kalian tidak mengenalku?” Tanya Quirima dengan nada bercanda.

“Maaf nyonya ... Saya tidak akan pernah lupa dengan siapa saya pernah bertemu. Saya sangat yakin kalau saya belum pernah bertemu dengan nyonya.” Jawab Jhani sopan.

“Aku adalah Quirima.” Katanya yang sontak membuat kedua makhluk di depanku mundur dan sebagian badannya masuk ke dalam gua. Aku merasakan aura ketakutan yang membuncah dari kedua monster di depanku.

“Kalian tidak perlu takut ... Aku sudah berubah karena suamiku ini.” Kata Quirima. Jhana dan Jhani serentak memandang ke arahku.

“Benar ... Kalian tidak perlu takut. Lupakan masa lalu. Sekarang Quirima sudah menjadi bidadariku yang baik hati.” Aku semakin mempererat pelukanku pada Quirima.

Jhana dan Jhani pun keluar lagi dari dalam gua. Mereka tidak berkata-kata, hanya ada kegugupan dan ketakutan yang mereka pertunjukkan padaku. Kemudian aku menceritakan pengalamanku sampai bertemu dengan Quirima pada kedua magical beast tersebut. Baru setelah itu, Jhana dan Jhani tampak lebih tenang.

“Kalau boleh tahu, kenapa kalian begitu takut pada Quirima?” Tanyaku sebagai akhir penjelasanku pada magical beast ular berkepala tiga itu.

“Sebaiknya tuan tanyakan sendiri pada tuan putri Quirima.” Jawab Jhani.

“Wow! Tuan putri?” Aku menoleh pada Quirima yang sedang tersenyum.

“Dulu aku hampir membunuh mereka karena tidak mau memakan yang aku berikan pada mereka.” Ungkap Quirima.

“Apa itu? Kamu menyuruh makan apa pada mereka?” Tanyaku penasaran.

“Buah yang bernama Karmahedelma. Buah magis yang membuat makhluk yang memakannya tidak berhenti berkembang biak. Aku memberikan pada mereka agar mereka terus beranak pinak karena aku memerlukan energi sihir mereka.” Jawab Quirima sendu.

“Kami dipaksa terus bertelur, sampai-sampai kami kewalahan. Setelah mendengar tuan putri Quirima dipenjara oleh Naga Suci Khor, sebagian telur kami pecahkan agar tidak menjadi makhluk. Dan yang ada di pulau ini adalah sisa-sisa yang tidak sempat kami pecahkan. Sebenarnya kami tidak tega membunuh anak kami sendiri, tetapi kalau dibiarkan, dunia ini akan penuh dengan ular-ular dari pulau ini.” Jelas Jhana.

“Kamu jadikan mereka sumber peningkatan kapasitas energi sihir?” Kataku pada Quirima.

“Ya ...” Jawab Quirima singkat.

“Apakah ada cara untuk menghentikan semua ini?” Tanyaku lagi pada Quirima.

“Tidak ada, kecuali mereka mati.” Jawab Quirima sembari melepas pelukanku dan memberikan Puspa padaku. “Jhana ... Jhani ... Dengan ketulusan hati, aku mohon maaf atas kelakuanku dulu. Aku mohon, maafkan aku.” Ucap Quirima sembari berlutut hormat di hadapan kedua magical beast ular berkepala tiga.

“Kami sudah memaafkan tuan putri Quirima sejak dulu. Bangunlah tuan putri kami tidak pantas menerimanya.” Ujar Jhani bersahaja. Quirima pun bangkit. Terlihat wajahnya begitu muram, mungkin dia benar-benar menyesal telah memperlakukan magical beast ular berkepala tiga itu secara keji dan sewenang-wenang.

“Karena aku anggap ini adalah kesalahan istriku. Sekarang, apa yang kalian inginkan? Aku ingin sekali membantu kalian.” Kataku. Quirima mengambil Puspa dariku dan berdiri di sampingku kembali.

“Hanya satu impian kami. Kami ingin hidup bebas. Di sini kami seperti di penjara. Kami tidak bisa pergi kemana-mana karena kami takut menjadi incaran makhluk-makhluk yang membutuhkan peningkatan energi sihir. Kami tahu kalau Tuan Azka adalah murid dari Petteri. Kami minta Petteri untuk memindahkan kami di mana kami bisa hidup damai dan aman.” Ungkap Jhani.

“Pet ... Apakah kau dengar?” Tiba-tiba aku bersuara lantang dengan maksud mengundang Petteri ke sini.

Ya ... Aku dengar ...” Langsung saja komunikasiku tersambung dengan Petteri. Seperti smartphone yang loadspeaker-nya diaktifkan, suara Petteri terdengar oleh semua yang ada di sini.

“Apakah kau bisa memindahkan mereka?” Tanyaku.

Ya ... Bisa ...” Jawab Petteri.

“Kalau begitu lakukanlah!” Kataku.

Tiba-tiba meluncur dari atas sebuah sinar kuning keemasan dan membungkus tubuh Jhana dan Jhani. Hanya satu kedipan mata, kedua magical beast itu lenyap dari pandangan. Aku dan Quirima langsung terperanjat karena ribuan ular kobra muncul dari dalam gua. Mereka keluar bagaikan air bah yang bergelombang besar. Sial! Bukan ribuan, mungkin jutaan. Ular-ular itu terus keluar dengan kecepatan tinggi. Akhirnya aku dan Quirima membunuh mereka, karena kalau tidak, dikhawatirkan ular-ular ini akan menuju daratan benua manusia. Kami berkelebatan sambil menyerang ular-ular yang belum mau berhenti keluar dari dalam gua. Saking banyaknya ular yang keluar dari gua, ada sebagian ular yang berhasil turun dari bukit walaupun aku dan Quirima terus menghancurkan mereka. Benar-benar aku tidak menyangka, begitu banyaknya ular-ular itu.

Tiba-tiba aku mempunyai ide. Aku langsung mengeluarkan pedang, pedang itu aku simpan di tangan Puspa, sementara aku menggenggam tangan Puspa. Aku berkelebat membabat ular-ular yang jumlahnya tak terkira. Ya, usahaku ternyata membuahkan hasil, pedang yang kugunakan menyalurkan energi sihir pada pemegang pertamanya. Selain membabat memakai pedang, aku harus mengeluarkan petirku untuk menghancurkan makhluk-makhluk ini. Sekitar setengah jam berselang, ular-ular pun mulai surut dan akhirnya berhenti keluar dari dalam gua.

“Kita harus membersihkan pulau ini.” Kataku.

“Biarkan Daru dan Puspa yang membersihkannya, suamiku.” Jawab Quirima.

“Ya ... Tapi Puspa belum bisa menyerang dengan menggunakan sihirnya.” Kataku.

“Dia sudah bisa.” Kata Quirima.

“Bapak aku bisa menyerang dengan sihir. Ini coba lihat.” Ucap Puspa sembari mengarahkan telapak tangannya pada sebuah pohon. Aku melongo saat dari tangan mungilnya keluar sinar api, kemudian menghancurkan pohon yang lumayan besar.

“Gimana caranya? Tadi waktu dicoba belum bisa?” Tanyaku pada Puspa. Puspa pun hanya mengangkat bahunya.

“Ngobrolnya nanti lagi. Masih banyak ular yang harus diberantas.” Quirima memperingatiku.

Aku pun tersenyum lalu melesat membawa Puspa berkeliling memutari pulau sambil membiarkan Puspa membunuh para ular. Aku mulai dari ring paling atas, kadang bertemu dengan ular yang agak besar dan itu bagianku. Terus mengelilingi pulau ‘menyapu’ ular-ular kobra. Aku juga bertemu Daru yang sangat bersemangat berburu. Hingga matahari hampir tenggelam, rasa-rasanya tidak ada lagi ular yang tersisa di pulau ini. Kini aku menggendong tiga orang yang sudah kuberi selubung cahaya melesat kembali ke penginapan. Quirima nemplok di punggung, sedangkan Daru dan Puspa kupeluk dengan tangan di kanan dan kiriku. Sesampainya di penginapan, kami lantas membersihkan diri. Setelah itu, kami berempat makan di rumah makan yang letaknya tidak jauh dari penginapan.

“Sekarang Puspa sudah tinggi energi sihirnya. Tinggal belajar teknik sihir.” Ujar Quirima sembari membelai kepala Puspa.

“Puspa mau belajar sama bapak. Biar bisa terbang cepat.” Kata Puspa dengan celotehan khas anak-anaknya.

“Aku juga mau belajar sama bapak. Aku juga ingin bisa terbang seperti bapak.” Sahut Daru tak mau kalah.

“Eh ... Gak ada yang mau belajar sihir sama ibu?” Canda Quirima sambil tersenyum.

“Sama bapak saja.” Lirih Puspa.

“Iya nanti kita belajar terbang dengan bapak. Sekarang habiskan dulu makanannya.” Kataku.

Kami melanjutan acara makan malam yang diselingi obrolan santai. Di tengah pembicaraan kami, sempat terpotong dengan kedatangan orang-orang yang sekedar menyapa atau bahkan ikut berbincang sebentar. Ya, maklum karena aku sudah cukup terkenal di kerajaan kecil ini. Rata-rata orang-orang memanggilku ksatria petir. Akhirnya, kami pun selesai dan kembali ke penginapan. Aku menyuruh Daru dan Puspa segera beristirahat. Keduanya tampak kelelahan karena tak lama kulihat mereka sudah tertidur pulas di kamar sebelah kamurku.

“Anak-anak itu sangat lucu ya suamiku.” Ucap Quirima yang sudah berbaring di atas ranjang.

“Ya, begitulah ... Tapi akan lebih lucu lagi kalau kita mempunyai sendiri.” Kataku sembari melepaskan seluruh pakaianku.

“Hi hi hi ... Aku jadi gak sabar suamiku ...” Balas Quirima yang juga kemudian melepaskan pakaiannya.

“Aku akan setiap hari menanamkan benihku di rahimmu.” Aku segera menaiki ranjang dan tanpa menunggu izinnya aku pun sudah bertengger di atas tubuh molek Quirima.

“Lakukanlah suamiku.” Quirima mendesah.

“Hhhmm ... Andai saja buah Karmahedelma dimakan oleh kita. Pasti kita akan punya anak banyak.” Tiba-tiba aku teringat ‘kerjaan’ Quirima pada kedua magical beast yang telah dipindahkan Petteri entah kemana.

“Ihk! Gak mau! Aku harus beranak seperti mereka!” Pekik Quirima lantas cemberut.

“He he he ... Aku malah ingin punya anak yang banyak.” Kataku kemudian mencium bibirnya. Beberapa saat kami berciuman mesra sebelum akhirnya aku melepaskan ciuman dan berkata, “Kamu melakukan pada Jhana dan Jhani agar kamu mempunyai energi sihir yang tinggi. Sebenarnya, apa tujuanmu melakukan hal itu?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Aku ingin menjadi penguasa Azumath saat itu. Aku ingin mengalahkan Naga Suci Khor.” Jawab Quirima sambil mengulum senyum malu.

“Hah?!” Jelas aku terkejut dan melongo. Istriku ini benar-benar gila. Mana mungkin bisa mengalahkan Naga Suci Khor yang memiliki energi sihir tak terbatas. “Aku ingin tahu ... Berapa kapasitas energi sihirmu?” Tanyaku yang entah kenapa menjadi sangat penasaran dengan kekuatan wanita Demon yang kini telah menjadi istriku ini.

“Aku tidak tahu pasti ... Tapi diperkirakan sebesar delapan jutaan.” Jawabnya semakin membuatku melongo. Memang gila tetapi pantas. Bagaimana pun Quirima pernah menyandang gelar ratu simbol kejahatan.

“Kekuatan sihir sebesar itu, seharusnya bisa memecahkan batu crystal yang mengurungmu.” Kataku berteori.

“Tidak suamiku ... Crystal itu tak mampu aku pecahkan. Crystal yang sangat kuat dan menyerap sihir. Aku tak berdaya selama terkurung dalam crystal itu. Sebagai kenang-kenangan, aku membawa pecahan crystalnya.” Jawabnya.

Aku menatap matanya. Quirima pun membalas tatapanku. Aku pikir wanita di bawahku ini sangat berbahaya bila kembali ke jalannya semula. Dia akan menjadi makhluk mengerikan yang bisa mengacaukan kehidupan di Azumath. Aku yakin kejahatannya akan sulit dihentikan, kecuali oleh bangsa Naga.

“Kenapa menatapku seperti itu?” Tanya Quirima dengan tatapan heran.

“Oh ... Ti..tidak istriku ... A..aku hanya ingin mengagumi kecantikanmu.” Kataku tergagap.

Bibirku langsung melumat bibir merah Quirima yang setengah terbuka dengan ciuman panas yang menggelora. Lidahku bergerak menyusuri rongga hangat rasa Lemon. Seperti dansa angsa, lidah Quirima kuajak ke sana ke mari. "Ughnn..." Quirima kehabisan napas, serangan mendadakku selalu membuat kaki dan tubuhnya selemas jelly. Mengerti kondisi Quirima, aku dengan enggan melepas bibir Quirima meski saliva kami masih saling bertaut. Hanya beberapa detik saja, kami pun berciuman kembali.

"Nnghhh..." Desahan Quirima pelan namun seduktif. Aku menggeram karena kejantananku semakin keras. Tanganku mulai bergerak dengan leluasa mengeksplore jariku ke mana-mana. Cinta dan nasfu saling bercampur menggetarkan setiap raga untuk minta saling dipuaskan.

Tanpa membuang waktu mulutku mengecup dadanya lalu menyesap sebuah puncak yang memerah. Seolah tak puas dengan itu saja, puncak merah yang satunya mendapat perhatian khusus dari jari-jariku yang lihai untuk bermain di sana. Quirima melengkuh nikmat, merasakan adanya kejut listrik di sarafnya yang membuat bagian bawahnya basah.

"Nyyaaahhh..." Quirima melengking terkejut, pinggulnya mendadak melengkung indah ketika jariku menerobos kerapatan otot kewanitaannya.

Satu jari ditambahkan, mengobrak-abrik setiap saraf sensorik wanita di bawahku sampai bergelinjang ke sana-sini. Gerakan menggunting dan merenggangkan membuat Quirima mengerang, ia terus mendesah, menyebut namaku yang tengah mempersiapkan dirinya untuk bersenggama. Spot kenikmatan Quirima tersentuh oleh salah satu jariku, ia kembali melengkuh, kali ini dibarengi dengan semburan cairan kental beraroma mengundang yang manis. Setelah itu, aku langsung memposisikan diri senyaman mungkin di atas tubuh Quirima. Kejantananku dengan urat-urat yang menonjol itu akan mulai memasuki lubang sempitnya.

"Ssshhhh..." Quirima mendesah tertahan ketika ujung kepala kejantananku masuk sampai pintu gerbang. "Pelan-pelan, sayang." Pinta Quirima.

"I...ini sangat sempit sayang..." Desahku. Sungguh, ini hanya masih ujung kepalanya saja tetapi lubang kewanitaan Quirima sudah menjepitnya keras seolah mendorong milikku keluar. Namun jangan sebut aku, jika tidak bisa menerobos segala bentuk halangan dan rintangan. Aku menarik napas panjang, aku tak ingin berbasa-basi, aku yakin dengan sekali hentak saja bisa langsung masuk semua.

JLEB

"Aahhhh ... nnggghhh ..." Tubuh Quirima melengkung seperti busur panah yang dilepas. Tangannya dengan reflek memeluk erat punggungku untuk menjadi pelampiasan akan rasa nikmat yang menjalar dari lubangnya. Aku tak bisa diam merasakan rematan-rematan berkedut dari dinding kewanitaan istriku ini. Aku mulai bergerak memompa, naik turun secara berkala agar Quirima juga bisa mereguk nikmatnya penyatuan kami.

"Rasakan aku di dalamu, sayang." Bisikku parau di cuping istriku yang sontak bewarna merah. "Kamu bisa merasakan bukan? Kontolku yang bersarang pada lubang hangatmu." Quirima tak menjawab, mungkin tidak ada kata-kata yang berada di otaknya kecuali rasa hujaman kejantananku yang besar, yang terus bergerak semakin dalam. Mencumbui setiap inci bagian terdalam dirinya.

"Ah, ah, ah, suamiku teruskan. Ayo sayang semakin dalam." Bibir merah itu merancau nakal, bahkan pinggulnya ikut menari menyambut setiap hentakan yang membuat diriku kecanduan. Payudara yang ikut naik-turun itu terlihat menggoda di mataku. Aku meraup puting merah itu dengan mulutku, menyesap seperti anak bayi yang menyusu.

Gerakan menggenjotku semakin menggila, ranjang berdenyit menahan gerakan kami berdua yang sedang saling menyatukan diri. Posisi Quirima yang terlentang diubah secara reflek, aku mengangkat Quirima untuk mendudukiku. "Bergerak sayang!" Kataku dan Quirima mengangguk mengerti. Pinggul Quirima timbul tenggelam menelan kejantananku yang mengacung seperti pasak bumi. Bokong berisi Quirima aku remas gemas. Gerakan yang liar dan berputar, aku tak lagi bisa menjadi kuda jinak untuk penunggangnya. Cepat-cepat aku kembali mendorong Quirima terlentang, sudah waktunya untuk menumpahkan semua benihku ke dalam rahimnya.

"Kau nikmat, lubangmu begitu sempit dan menjepit." Aku terus melakukan gerakan menyundul, menubruk titik-titik kenikmatan yang selalu aku ingat dimana letaknya. Kaki Quirima semakin aku renggangkan, pinggulnya kutarik sedikit ke atas sampai aku bisa melihat lubang merah gelap yang kini sedang mengulum bulat-bulat kejantananku.

"Suamiku ... Aku hampir sampai." Bisik Quirima.

"Aku juga sayang." Balasku yang sama sekali tak memelankan laju sodokanku.

Aku telah di ujung batas, aku menggeram di ceruk leher Quirima. Sebuah ledakan terjadi di bawah sana, baik aku maupun Quirima sama-sama meraup klimaks. Quirima mendesah ketika rasa hangat mengalir masuk ke dalam rahimnya. Begitu banyak sampai ada yang menetes lewat sela persatuan kami. Ya, Quirima telah sampai di ujung kenikmatan bersetubuh. Sepertinya dia kelelahan, matanya meredup ingin beristirahat.

"Jangan tidur sayang, aku masih ingin beberapa ronde lagi."

"Eh?!"

.....
.....
.....


Hari demi hari terus berlalu dengan cepat, hingga tanpa terasa seminggu telah berlalu. Aku dan Quirima beserta kedua anak angkatku pun meninggalkan penginapan. Setelah bertemu dengan Ratu Padmasari, aku ditawari meninggali kastilnya yang terletak di perbatasan antara kerajaannya dengan kerajaan Ratu Treysca. Kastil yang pernah tempat ‘pembuangan’ Ratu Padmasari dulu. Setelah berdiskusi dengan Quirima, akhirnya aku menerima tawaran Ratu Padmasari untuk tinggal di kastilnya.

Ratu Padmasari sering menyebut kastil yang sekarang aku tempati dengan sebutan Kastil Dalvick, sesuai dengan nama tempat kastil ini berdiri. Dikelilingi dengan pegunungan, Kastil Dalvick memiliki pemandangan yang indah. Kastil ini menghadap hutan dan pegunungan sehingga membuat suasananya seperti negeri dongeng. Tidak tanggung-tanggung, Ratu Padmasari juga menyediakan pelayan dan prajurit penjaga yang khusus disediakan untuk diriku.

“Tempat ini indah sekali.” Ucap Quirima yang sedang berdiri di sampingku. Kami sekarang berada di sebuah balkon tingkat dua kastil. Memang kami sedang menatap pemandangan yang indah di hadapan kami, sebuah ngarai yang cukup dalam, yang di bawahnya mengalir sungai yang lumayan besar.

“Ya ... Indah sekali ...” Kataku sembari meraih bahu Quirima dan memeluknya erat. Quirima pun melingkarkan tangannya ke pinggangku.

“Dari cara dia menatapmu ... Aku yakin Ratu Padmasari menyukaimu ...” Tiba-tiba Quirima berkata seolah-olah ingin mengorek isi hatiku.

“Dia pernah aku selamatkan nyawanya. Dan memang, kami pernah mempunyai hubungan khusus. Tetapi setelah aku mempunyaimu, dia tahu apa yang harus dia lakukan. Kemarin, aku dan dia sepakat untuk mengakhiri hubungan kami.” Kataku berterus terang.

“Kenapa? Kenapa tidak dilanjutkan saja?” Pertanyaan Quirima jelas membuatku terkejut.

“Hei! Aku tidak ingin kau marah!” Kataku sambil mengurai pelukan kami. Aku tatap wajahnya yang sedang tersenyum manis.

“Marah? Apa dasarnya aku harus marah? Bukankah wajar seorang ksatria sepertimu memiliki banyak wanita?” Jawabnya sangat ringan yang sukses membuatku bengong. “Suamiku ... Aku bukan tipe wanita pencemburu. Aku malah senang jika suamiku mempunyai seribu wanita. Asalkan aku tetap harus menjadi nomor satu di hatimu.” Ujarnya kembali.

“Kamu tidak sedang bercanda kan?” Tanyaku.

“Hi hi hi ... Apa aku terlihat sedang bercanda?” Quirima malah balik bertanya.

“Tidak ... Tidak ... Aku ganti pertanyaanku ... Apakah kamu ingin diperlakukan sama olehku? Maksudku, apa kamu juga menginginkan laki-laki lain selain diriku?” Tanyaku benar-benar ingin tahu.

“Suamiku ... Kamu harus ingat kalau aku adalah bangsa Demon ... Di dunia bangsa Demon, suatu kehormatan bila seorang laki-laki mempunyai banyak wanita. Begitu sebaliknya, akan menjadi wanita terhormat bila seorang wanita memiliki banyak laki-laki. Apakah suamiku keberatan dengan keadaan seperti itu?” Jelas Quirima yang diakhiri dengan pertanyaan.

Aku tertegun setelah mendengar informasi asing yang diucapkan oleh Quirima. Istriku ini telah membuatku menjadi senyawa yang tidak beraturan sekarang. Jujur, aku bingung menyikapinya. Sepertinya aku dipaksa harus siap dengan ‘budaya asing’ yang baru saja kudengar dari mulut Quirima. Quirima berbicara tentang kehormatan yang sudah menjadi budaya bangsanya. Kalau sudah bersangkut paut dengan budaya, artinya aku tidak bisa menyalahkan pola atau cara hidup yang telah tertanam pada diri seseorang, yang telah berkembang selama berjuta-juta tahun di masyarakatnya.

“Suamiku ... Aku mengatakan itu bukan berarti aku berniat memiliki banyak laki-laki. Untuk saat ini hanya kamu lah satu-satunya laki-laki yang aku sayangi. Tetapi, aku tidak bisa menjamin kalau suatu saat nanti aku tidak tergoda oleh laki-laki lain. Aku mengatakan ini biar kamu siap apabila nanti aku memiliki laki-laki lain selain dirimu.” Jelas Quirima lagi.

“Ya ... Aku mengerti ...” Jawabku sambil tersenyum.

Ya, sekarang aku mengerti pola pikir Quirima. Tidak salah apa yang dikatakan Quirima. Apa yang diucapkan Quirima pada dasarnya merupakan pelajaran hidup yang intinya adalah hidup yang sebenarnya saat ini. Kemarin sudah berlalu, besok tidak ada yang tahu. Aku harus melepaskan bayang-bayang masa lalu yang tak mau pisah. Pada saat yang bersamaan aku harus siap menjalani masa depan walau terasa kelam hitam tak bernoktah.

Selain itu, aku tidak akan hidup selamanya di Azumath. Aku punya batas waktu tinggal di dunia ini. Kalau aku tidak mati di sini, aku akan pulang ke bumi. Dengan konsep yang ‘ditawarkan’ Quirima tentang sebuah hubungan pernikahan, rasanya aku tidak akan meninggalkan beban bila saatnya nanti aku harus kembali ke bumi. Tanpa sengaja aku sudah menemukan jalan terbaik bila suatu saat nanti aku harus kembali.

“Kalau begitu ... Bolehkah aku berhubungan kembali dengan Ratu Padmasari?” Tanyaku setengah bercanda.

“Tentu suamiku ... Kejar dia! Kalau kamu bahagia, aku sangat mendukungnya.” Jawab Quirima yang membuatku terkekeh lalu memeluknya.

“Aku belum berpikir sampai situ ... Aku masih ingin menghabiskan waktuku bersamamu.” Kataku lalu mengecup bibirnya sekilas.

“Hi hi hi ... Terima kasih ...” Ujar Quirima sembari membelai wajahku.

Pagi itu, kami pun bercengkrama bersama, berceritera dengan hangat, ditemani oleh segelas kopi panas, dan makanan ringat yang disiapkan pelayanan. Setengah jam berselang, tiba-tiba seorang prajurit penjaga tergopoh-gopoh mendatangiku. Dia mengatakan kalau Daru terluka parah dan berada di kamarnya. Dengan perasaan terkejut bercampur khawatir, aku melesat memburu kamar Daru. Benar saja, anak angkatku tergeletak dengan tubuh penuh luka dan darah. Anak itu masih sadarkan diri dan langsung saja aku mengobati luka-lukanya yang cukup parah. Tak lama, Quirima datang. Aku melihat Quirima mengambil sehelai kertas di tangan Daru yang sejak tadi aku biarkan dulu. Aku menjerit murka karena selain luka karena serangan fisik murni, Daru juga terluka karena serangan sihir hitam.

“Keparat! Akan kuhancurkan kalian!” Gerutuku sambil terus mengobati luka-luka di tubuh Daru.

“Bapak ...” Akhirnya Daru bisa bicara walau masih dalam keadaan lemah.

“Tenang dulu, nak ... Bapak belum selesai ...” Kataku sembari terus menyembuhkan luka fisiknya setelah selesai mengusir serangan kutukan bangsa Demon dari badan Daru.

“Puspa ... Puspa ...” Lirih Daru sambil menahan isak.

Aku pun terhenti dan menatap Daru, “Puspa mana? Dimana dia?” Aku tiba-tiba panik.

“Dia dibawa bangsa Demon. Maaf ... Daru tidak bisa melindungi Puspa. Mereka sangat kuat dan bertiga.” Lirih Daru lagi.

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Hanya ada dua pelayan dan seorang penjaga di kamar ini, “Mana nyonya kalian ... Dimana nyonya kalian?” Tanyaku pada mereka.

“Nyonya tadi keluar, tuan ...” Jawab salah seorang pelayanku.

“Ah ... Sial ...!” Aku menggerutu lagi dan entah kenapa aku merasa takut jika Quirima melakukan hal yang tidak aku inginkan. Jujur, aku takut Quirima berubah wujud menjadai iblis wanita yang ganas lagi.

Segera saja aku menyelesaikan pengobatan pada Daru. Setelah aku menyuruh para pelayan mengurus anak angkatku, secepat kilat aku melesat keluar kastil dan bergerak k etempat kejadian yang ditunjuk Daru sebelum aku keluar kamarnya. Ya, aku ingat kalau Quirima mengambil kertas dari tangan Daru. Aku yakin Quirima sedang memburu para penculik Puspa. Aku sejenak mengamati jejak-jejak yang ada di tanah lapang bekas pertempuran. Petunjuk mengarah ke arah barat laut. Aku langsung melesat menggunakan teknik sihir elemen cahaya. Namun setelah beberapa menit aku nihil menemukan buruanku.

Kemana mereka?” Tanyaku dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. “Pet ... Petteri ... Kemana mereka?” Kini aku berteriak berharap makhluk cahaya itu memberitahuku kemana Puspa dan Quirima pergi.

Tak ada jawaban walau sudah menunggu sekitar dua menitan. Aku langsung melesat lagi kesana-kemari. Aku berkelebat tanpa tujuan yang pasti, hanya menebak dan menggunakan instingku belaka. Sekitar setengah jam berlalu, aku melihat sebuah pertempuran dari jarak sekitar 50 meter di depanku. Segera saja aku memburu pertempuran itu. Tentu, mataku membulat sempurna ketika mataku melihat seorang raksasa wanita telanjang berbadan hitam legam yang tingginya sekitar tiga meteran sedang dikerubuti empat makhluk besar yang sekilas terlihat seperti kecoa terbang, sampai-sampai aku tidak tahu mana lawan mana kawan. Namun akhirnya aku mempunyai petunjuk saat salah satu ‘kecoa besar’ berteriak lantang.

“MAMPUS KAU QUIRIMA...!” Sang kecoa yang besarnya sebadan manusia dewasa itu melepaskan sinar laser berukuran besar berwarna merah pekat dari arah belakang makhluk wanita raksasa yang sedang sibuk menyerang kawanan kecoa di depannya.

Tak perlu berpikir dua kali, tangan kananku mengeluarkan pedang cahaya, di tangan kiriku keluar Great Sword pemberian Ran Sillanpa. Aku melesat menghadang datangnya sinar laser yang sedikit lagi mengenai kepala makhluk wanita raksasa yang dia sebut Quirima.

BOOOMM...!

Suara ledakan karena tabrakan dadakan antara pedangku dan sinar laser berwarna merah begitu kuat. Tenaganya pun sangat kuat hingga aku terpental ke atas cukup jauh. Aku pun segera melesat memburu kawanan kecoa setelah salto di udara. Pedangku menyuruk ke salah satu kecoa raksasa. Aku tidak menduga kalau pedang cahayaku bisa ditahan oleh kedua sayapnya yang menyelimuti tubuh sang kecoa. Baru kali ini aku tahu kalau pedang cahayaku tidak bisa menembus sesuatu. Padahal menurut buku yang Petteri tulis tentang sihir elemen cahaya, pedang cahaya bisa menembus perisai apa saja termasuk perisai sihir yang terkuat sekali pun.

“DIA MANUSIA CAHAYA!” Teriak salah satu kecoa seperti sedang memberitahukan teman-temannya.

“DIMANA ANAKKU KEPARAT!!!” Aku berteriak murka setengah menebak-nebak, mengira merekalah yang membawa Puspa.

“ANAKMU ADA DI TEMPAT YANG AMAN MANUSIA CAHAYA! APAKAH KAU TIDAK MEMBACA SURAT KAMI?” Jawab kecoa itu lagi. Aku terus menyebut mereka kecoa karena memang mereka berpenampilan persis kecoa. Pakaian besi mereka dibuat seperti kecoa lengkap dengan helm full face yang menyerupai wajah seekor kecoa.

“AKU TIDAK PERLU MEMBACANYA! KEMBALIKAN ANAKKU ATAU KALIAN AKAN AKU HABISI!” Ancamku tidak main-main.

AAAAAAKKKHHHH ....

Tiba-tiba aku mendengar teriakan kesakitan, untungnya bernada bariton yang berarti seekor kecoa berhasil dilumpuhkan Quirima. Aku melihat si kecoa terbakar hebat dan tak lama terdengar ledakan ledakan yang diikuti hancurnya tubuh sang kecoa. Quirima terus menyerang dua kecoa lainnya. Kembali suara pertempuran menggema. Mereka tampak seperti bayang-bayang karena kecepatan mereka yang mungkin hanya bisa dilihat oleh para penyihir kelas atas dan yang memiliki kecepatan yang hampir menyamai.

Pakai Pedang Emas Liu Gan.” Tiba-tiba terdengar suara Petteri. Walau kesal dan kecewa pada Petteri, aku pun menghilangkan pedang cahaya dan Great Sword, lalu mengambil Pedang Emas Liu Gan dari lemari sihir.

“OH...!!!” Aku mendengar pekikan kaget dari kecoa di depanku. Kalau saja aku bisa melihat wajahnya, aku bisa mempredikasikan wajahnya pasti pucat pasi.

“MANA ANAKKU? AKU AKAN MENGAMPUNI KALIAN KALAU KAU BERITAHU DI MANA ANAKKU!” Ancamku lagi seribu kali serius dari sebelumnya.

Entah kenapa, aku tidak tahu apa yang dirasakan si kecoa. Tiba-tiba dia menunjuk sebuah tempat dan tak lama terlihat selubung sinar. Di dalam selubung sinar itu terlihat Puspa sedang duduk menangis sambil menatapku. Secepat kilat aku memburu selubung sinar itu. Tentu aku hancurkan selubung sinar yang menahan Puspa dengan pedangku. Sebelum akibat ledakan yang bisa saja melukai Puspa, aku dengan kecepatan cahaya maksimal memberikan selubung cahayaku pada Puspa.

BLAAARRR...

Suara ledakan cukup besar bergema di seluruh area. Asap hitam membumbung tinggi menghalangi pandangan mata. Setelah kepulan asap menghilang, aku melihat Puspa meringkuk ketakutan di dalam selubung cahayaku. Aku kembali ke si kecoa namun hanya tempat kosong yang kudapati. Sementara itu, Quirima masih bertarung dengan dua kecoa raksasa. Jelas sekali kalau dua kecoa raksasa tersebut terdesak hebat oleh serangan-serangan Quirima. Melihat kondisi seperti itu, aku memutuskan untuk menghampiri Puspa dan menggendongnya.

“Jangan takut sayang ... Bapak di sini ...” Aku coba menenangkan Puspa yang masih terus menangis.

Baru saja aku mengalihkan pandangan, kedua kocoa itu melesat sangat cepat terbang ke udara. Quirima melancarkan serangan sihirnya dengan menembakan bola api ke arah mereka. Namun serangan bola api Quirima luput, tidak kena sasaran. Kedua kecoa kabur terbirit-birit, terbang tinggi ke angkasa. Kulihat Quirima tidak mengejar mereka. Dalam keadaan membelakangiku, tubuh raksasa Quirina perlahan menyusut kemudian menjadi normal kembali. Setelah itu, Quirina membuka lemari sihirnya dan mengambil pakaian lalu memakainya.

“Kita lihat ibu ...” Kataku pada Puspa.

Aku melesat menghampiri Quirima yang masih saja memunggungiku. Tiba-tiba Quirima berkata, “Jangan dulu melihat mukaku.” Ujarnya sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Kenapa? Tidak apa-apa. Ayo! Kita pulang!” Ajakku.

Quirima sedikit menahan tanganku. Kedua tangan Quirima masih saja menutupi wajahnya. Puspa memegang tangan Quirima dan akhirnya Quirima melepas tangan dari wajahnya. Memang, wajah Demonnya yang tampak sekarang. Wajah seorang wanita iblis yang buruk rupa. Aku terkejut saat Puspa ingin digendong Quirima. Anak itu memaksa ingin digendong Quirima. Quirima pun dengan ragu-ragu mengambil Puspa dariku. Aku benar-benar terharu saat tangan kecl Puspa menangkup wajah Quirima. Anak itu kemudian mencium kening Quirima yang keriput. Ajaib! Bersamaan dengan keluar air mata dari pelupuk matanya, wajah Quirima tiba-tiba berubah menjadi cantik kembali.

“Ayo! Kita pulang!” Ajakku.

Kami pun melesat kembali ke kastil. Sesampainya di kastil aku memerintahkan kepada semua penghuni untuk waspada. Apabila ada sesuatu yang mencurigakan segera lapor padaku, tidak boleh bertindak sendiri. Setelah selesai melakukan briefing dan memberi pengarahan pada semua penghuni kastil, aku langsung menemui Danu di kamarnya. Di sana ada juga Quirima dan Puspa.

“Mereka sangat kuat, Pak ...” Ujar Danu yang tampak sudah sehat dan bugar.

“Iya ... Mereka menggunakan baju besi yang sangat kuat.” Kataku.

“Ibu juga heran. Mereka pakai baju apa. Serangan sihir ibu juga seperti tidak terasa oleh mereka.” Ucap Quirima seperti sedang membesarkan hati Daru.

“Kenapa orang jahat itu ingin membawaku?” Tiba-tiba Puspa ikut bicara.

Quirima langsung tersenyum dan berkata, “Supaya bapak kalian tidak ikut membantu perang Kerajaan Duvador.”

“Benarkah?” Tanyaku tertuju pada Quirina.

Quirima mengambil kertas dari lemari sihirnya kemudian memberikan padaku. Aku pun lantas membaca isi surat yang memang ditujukan kepadaku. Di sana dinyatakan bila anakku ingin selamat, aku dilarang turut serta dalam peperangan. Setelah peperangan usai, Puspa akan dikembalikan. Tertera dalam surat itu sebuah nama ‘Eschalus’.

“Siapa Eschalus ini?” Tanyaku pada Quirima.

“Dia adalah raja dari Kerajaan Bhodur.” Jawab Quirima. Aku langsung teringat kalau Kerajaan Bhodur adalah kerajaan yang akan berperang dengan Kerajaan Duvador.

“Aku tidak yakin Eschalus yang melakukan ini. Aku yakin bangsa Demon lah yang melakukannya. Luka-luka Daru adalah akibat serangan sihir kutukannya bangsa Demon.” Prediksiku.

“Lagi pula, bangsa Elf tidak akan melakukan perbuatan curang seperti ini. Aku sangat tahu kalau bangsa Elf adalah bangsa yang ksatria, tidak pernah bermain belakang.” Jelas Quirima.

“Hhhmm ... Sekarang mereka sudah berani bermain-main denganku. Aku juga akan bermain-main dengan mereka.” Kataku.

“Hi hi hi ... Boleh aku ikut bermain-main bersamamu, suamiku?” Tanya Quirima sambil terkekeh.

“Ya ... Saatnya kita mengguncang bangsa Demon.” Aku setuju melibatkan Quirima.

“Aku juga ikut bapak ...!” Seru daru.

“Aku juga ...!” Timpal Puspa.

“Kalian harus jadi penyihir dulu yang tangguh. Ini sangat berbahaya untuk kalian.” Kataku.

“Kalau begitu ... Ajari aku sihir petir.” Pinta Daru sungguh-sungguh.

“Aku juga bapak.” Disambung oleh Puspa.

Aku dan Quirima saling menatap kemudian saling tersenyum. Memang aku harus membuat kedua anak angkatku ini sebagai penyihir hebat. Bukan apa-apa, mereka harus bisa melindungi diri dari ancaman bahaya yang menurutku sudah tidak main-main lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk melatih Daru dan Puspa terlebih dahulu sebelum pergi ke kerajaan Demon. Aku akan memberi Daru sihir elemen petir, sedangkan Puspa akan aku ajari sihir elemen cahaya.
===@@@===​

Change Scene

Prajurit berpakaian kecoa terbirit-birit setelah melihat pedang yang dipegang Azka. Hatinya menciut seperti leliput. Ketakutannya seakan sudah di titik nadir. Sang prajurit melesat sekencang-kencangnya seakan nyawanya sudah di ujung tanduk. Sebagai ras yang mempunyai sedikit rasa takut, prajurit itu merasa dirinya bukan sebagai ras pemberani. Bayangan akan pedang yang dipegang Azka membuatnya terpaksa mengambil langkah seribu.

Setelah seharian melesat terbang dan matahari sudah berada di ujung dunia, sang prajurit sampai juga di sebuah kastil yang letaknya di atas bukit dengan hutan lebat di sekelilingnya. Sang prajurit segera masuk ke dalam kastil dan menemui pimpinannya. Sang prajurit memasuki sebuah ruangan langsung bersimpuh di hadapan seorang pria tinggi besar dengan pakaian yang sama berupa armor model kecoa, namun armor pria tinggi besar itu bukan seperti yang dikenakan prajuritnya. Armor itu terbuat dari emas yang dapat melipatkan kekuatan sihirnya berkali-kali. Armor bangsa Demon ini mampu meningkatkan serangan dan pertahanan bagi si pemakainya.

“Lapor Panglima Ghuseint ... Kami gagal mendapatkan anak manusia cahaya.” Ucap sang prajurit pilihan itu sambil menundukan wajahnya dalam posisi tetap bersimpuh.

“Aku melihatnya. Kenapa?” Ucap sang panglima yang dipanggil oleh prajurit itu dengan nama Ghuseint.

“Si manusia cahaya memiliki Pedang Emas Liu Gan.” Jawab sang prajurit.

“APA?!! PEDANG EMAS LIU GAN?!!” Panglima Ghuseint sangat terkejut. Mendadak tubuhnya gemetar, dia sangat terkejut hingga membuat kaki dan tangannya seakan kesemutan.

“Benar Panglima Ghuseint ... Dan ... Dia bersama Quirima ...” Lanjut sang prajurit.

“QUIRIMA??!! DIA BERSAMA QUIRIMA??!!” Informasi yang diterima sang panglima membuat dirinya panas dingin. Bangsa Demon yang sangat jarang berkeringat, kini dahi sang panglima mengeluarkan keringat saking terkejut dan panik.

“CEPAT KIRIM PRAJURIT KE RAJA BAELL!!!” Teriak Panglima Ghuseint dengan kepanikan tingkat tinggi.

“Baik panglima ...” Jawab sang prajurit.

Panglima Ghuseint membiarkan prajurit pilihannya keluar ruangan. Panglima itu kemudian berjalan hilir mudik di tempat. Kabar yang baru ia terima sungguh membuatnya panik sekaligus takut. Dua hal yang paling ditakuti bangsa Demon muncul dengan waktu yang bersamaan. Hal tersebut membuat dirinya menjadi sangat resah dan khawatir atas kelangsungan ras demon.

Pedang Emas Liu Gan adalah pedang legenda yang pernah nyaris menghabiskan bangsa Demon. Liu Gan adalah pemburu Demon yang memiliki kekuatan luar biasa dan regenerasi anggota tubuh yang sangat cepat. Kekuatannya ada pada pedang emas ciptaannya. Pedang emas itu bisa menciptakan badai sangat besar. Pedang itu juga sangat kuat dan keras. Benda apa saja aku tertembus olehnya. Kekuatan lain yang paling menakutkan adalah Pedang Emas Liu Gan mampu menembus dimensi waktu karena sangat cepat.

Quirima, dengan mengingatnya saja, Panglima Ghuseint langsung merinding ngeri. Wanita iblis simbol kejahatan itu memiliki kekuatan setara dengan naga yang hanya bisa dikalahkan oleh ratusan penyihir kuat. Quirima juga mempunyai dendam yang berakar sejak empat juta tahun yang lalu. Dendam itu tertuju pada lima raja Demon, termasuk rajanya yaitu Raja Baell. Hal ini akan menjadi bencana bagi ras Demon khususnya lima kerajaan yang memiliki sejarah pahit dengan Quirima apabila tidak segera diantisipasi.

Bersambung
Chapter 14 B di halaman 127 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
mantap bang ceritanya
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd