TWO
Seiring waktu berjalan, aku dan Tian semakin dekat setelah kencan pertama kita di Plaza Senayan sebulan yang lalu. Tian selalu menjemput dan mengantarkanku pulang dan juga dia selalu mengajarkanku disaat aku membutuhkan bimbingan karena memang kami berada satu fakultas, fakultas kedokteran, namun aku di semester 2 dan dia sudah semester 4.
Kami selalu berbagi banyak hal. Bahkan kami mempunyai hobi yang sama, menonton film horror!
“Coba aja aku bisa menjadi kayak dr Hannibal” katanya selesai kami menonton tv series berjudul dr Hannibal.
“Dia itu keren banget, meskipun kanibal tapi dia berkharisma.” Balasku dengan senyuman dan Tian selalu membalas dengan tatapan dingin yang menusuk dan membius nuraniku.
Dalam hati aku masih bertanya-tanya, kenapa aku bisa sangat menyukain cowok ini? Hampir semua mahasiswa kedokteran, khususnya angkatannya dia, selalu menasehatiku agar aku tidak usah melanjutkan hubungan dan menjauhinya dengan berbagai alasan yang menurutku tidak masuk akal. Namun semua aku sangkal, semkain aku dekat dengannya, semakin aku jatuh cinta kepadanya.
Dia selalu memperlakukanku dengan baik meskipun aku suka bertindak konyol kepadanya. Pernah suatu saat sahabatku merayuku agar aku menjauhkannya “Ve, lo denger deh kata-kata gue untuk kali ini aja. Lo tuh harus jauhin dia Ve, lo putusin dia dan nggak usah deket-deket lagi deh sama si orang aneh itu!” Kata Delia.
Aku kenal Delia sudah sangat lama. Pertemanan kami berlangsung dari SMP hingga sampai saat ini. Dan aku tau kali ini Delia sangat serius, tidak ada tatapan becanda yang terlihat dari matanya. Namun tetap, aku teguh pada pendirianku, kalau aku mencintai Sebastian Wijaya.
”Kenapa sih Del? Orang-orang nggak tau Tian kayak gimana karena mereka cuma ngeliat Tian dari luarnya aja. Coba aja mereka mau coba ngobrol-ngobrol deh sedikit aja pasti dia tau Tian itu orang baik. Lo tenang aja, gue bisa jaga diri kok.”
Lamunanku buyar saat Tian menggoyang-goyangkan badanku.
“Kamu lagi lamunin apa sih sayang?” Tanyanya.
”Nggak kok, bukan apa-apa. Aku Cuma lagi bingung aja mau ngerjain tugas dari Ibu Michelle tentang mekanisme pertahanan tubuh.”
”Oh itu, ya ampun itu gampang kok sayang. Sini aku ajarin.”
Satu setengah jam berlalu dan aku juga suah paham dengan mata kuliah ini berkat bimbingan dari pacarku, Sebastian Wijaya.
”Makasih ya sayang, kamu selalu bisa aku andalkan untuk urusan kuliah.”
”Iya sama-sama.”
”Yaudah aku pulang dulu yah udah malem nih. Kamu nggak usah anterin aku ya kan tadi banyak tugas katanya.”
“Oh yaudah. Take care baby and I love you.” Katanya sambal mencium keningku.
Namun siapa sangka, kalau itu adalah ciuman terakhir dan senyum terakhir dariku.
Sebelumnya di rumah Sebastian…
“Sayang, rumah kamu gede banget! Kamu nggak iseng tinggal sendirian di rumah?” Aku tercengang saat melenggang masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang terletak di Kawasan selatan Jakarta ini bisa terbilang terletak di dalam perkampungan, namun ternyata semakin dalam, semakin besar.
Rumah yang didominasi warna putih ini memberikan kesan vintage dan neat. Semua furniture yang ada didalam rumah in bermaterial kayu jati. Bahkan di halaman belakang terdapat suatu saung yang sangat terlihat elegan namun tetap menampakan kesan mistis.
Siapa sangka, anak yang ternyata terlihat dingin tinggal ditempat yang bisa dibilang seperti istana ini.
“Kamu beruntung dilahirkan dari keluarga mampu.”
“Look honey, I am not that lucky. Aku nggak seberuntung kamu yang tinggal dikelilingi orang tersayang. Bapak, ibu, kakak dan adik kamu. Sedangkan aku apa? Aku nggak punya siapa-siapa disini.” Balasnya.
“Emang kemana semua keluarga kamu?” tanyaku penasaran.
Dia menunjuk sebuah foto yang terletak di pojok ruang keluarga. Sebuah foto keluarga 30R terpampang dengan jelas. Sang wanita yang diduga Ibu dari Sebastian sangat anggun menggunakan long dress berwarna peach dan sang pria yaitu ayahnya Sebastia sangat terlihat gagah memakai setelan tuxedo hitam, sedangkan yang ditengah seorang anak laki-laki yang terlihat sangat gemuk tersenyum manis.
“Maaf Yan, aku nggak bermaksud…” Kataku sambil menunduk ke bawah.
“Iya.” Lalu dia mengangkat daguku dan seketika aku syok atas tatapannya. Tatapan yang berbeda dari biasanya. Tatapan penuh dengan hawa membunuh.
Aku langsung ingat ketika Delia selalu menyuruhku agar aku menjauhkan Sebastian karena tingkahnya yang sangat misterius. Tatapanku nanar, semua terasa gelap namun aku masih dapat mengontrol diriku sendiri. ”Nggak, itu cuma delusi doang. Dia orang yang baik kok” kataku dalam hati berusaha menutupi ketakutanku dengan prasangka baik.
“Kamu kenapa tiba-tiba melamun sih. Hayo naik ke kamarku, katanya mau nonton Hannibal.” Ajaknya yang langsung membuyarkan lamunanku. “Oh iya, kamu naik duluan yah, kamar aku yang ada hiasan dreamcatchernya. Aku mau ambil cemilan sama minum dulu. Kamu mau minum apa?”
”Coca cola ya sama air putih aja.” Kataku sambil menggeloyor naik ke atas.
Sedikit tercengang saat aku melangkah masuk kedalam kamarnya. Semua tertata rapih. Mulai dari tempat tidur, lemari, karpet, lemari televisi, semuanya. Itu semua menandakan bahwa Sebastian memanglah seseorang yang sangat-sangat rapih. Namun satu yang masih membebani pikiranku, kenapa semua mahasiswa dikampus mengucilkan dia?
”Sini duduk, berdiri aja sih.”