Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT BIANGLALA DI BANDUNG UTARA

Lanjutan 8​


Bintang Sinteron itu datang persis ketika Lamsijan selesai mandi dan baru saja menceploskan kaos polos ke tubuhnya.​

"Hai Kakak... Bella bawain sarapan..." Katanya dengan wajah cerah. "Bella dapat tugas dari Bu Tere..."
"Kakak sudah tau, barusan beliau mampir sebentar dan memberi tau kamu akan datang."
"Oh, sungguh?"
"Ya, baru saja beliau pergi. Apa kalian tidak berpapasan..." Kata Lamsijan.
"Tidak, saya mungkin tidak melihatnya... tadi saya sedang mendengarkan penjelasan dari Bu Sherly mengenai Musda ini..."
"Kalau begitu, Bella tinggal bikin ditail rencananya aja kan?"
"Siap, Kak."
"Tim Bella ada sekitar 6 atau mungkin 7 orang. Saudara Denny Regar mengkoordinatori wartawan cetak dan web; sedangkan Anneke Herawati koordinator wartawan elktronik TV dan Radio... ruangannya di depan sana, dekat teras."
"Bella pengen di sini deket Kakak."
"Kamu enggak takut disuruh-suruh dan diomelin?"
"Enggak."
"Kakak kadang suka galak."
"Biarin."
"Kakak juga kadang enggak suka ngomong selama berjam-jam. Yakin kamu tahan?"
"Yakin." Kata Bella sambil tersenyum senang.


***​


Dokter Priscilia terjaga dari tidurnya. Dia tidak terkejut melihat jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Sudah siang. Dia bangun dan menemukan lelehan sperma brondong itu mengering pada pucuk vaginanya. Dia tersenyum dan menggeliat.
"Andai ketemu sepuluh tahun lalu aku pasti bisa hamil... sekarang aku enggak mau banyak berharap... aduuuhhh... pengen lagi Ijaannnnn." Katanya sambil turun dari ranjang dan masuk ke toilet. Selesai BAB, mandi dan gosok gigi, dia pergi ke pantry. Sutinah pembantunya langsung menghangatkan kuah kari, memotong-motong daging sapi dan lontong lalu memasukkannya ke dalam mangkuk keramik.
"Pake kerupuk nyonya?"
"Jangan, Nah. Dagingnya aja banyakin."

Sutinah memotong-motong lagi daging sapi yang sudah matang yang diambilnya dari presto dan memasukkannya ke dalam mangkuk. Setelah kuah kari dirasa panas, dia menyiramkannya ke dalam mangkuk.
"Nyonya mau nonton TV?"
"Males, Nah. Paling acaranya gosip siang dan berita yang membosankan."
"Tapi tadi ada berita Bu Theresa lo, Nya. Cuma bukan di berita, tapi di gossip."
"Wah, koq aneh. Nyalain, Nah, cepet."

TV dinyalakan persis di Chanel Gossip sebuah stasiun TV swasta.
"Itulah pemirsa dukungan Bu Theresia membantu Mirabella yang sedang menganggur karena sudah menyelesaikan 100 episode CINTA YANG TAK PERNAH PADAM... menurut informasi, shooting sinetron FTV yang sukses melambungkan nama Jeremmy Chungkar dan Mirabella Schultz ini akan dilanjutkan lagi tahun depan..." Kata Presenter pria yang mengenakan tuxedo hitam sambil pamer gigi-giginya yang putih.
"Tetapi pemirsa..." Presenter perempuan yang mengenakan gaun dengan belahan leher yang sangat lebar dan rendah itu berkata sambil memperlihatkan ekspresi yang aneh, "apakah sebenarnya pekerjaan baru yang sedang digeluti oleh aktris cantik keturunan Jawa-Jerman ini... yuk kita intip yuk... Hallo Oya Boya... apakah anda sudah siap melaporkan secara langsung kegiatan apa yang tengah dilakukan oleh Mirabella Schultz?"

Kamera televisi berubah dan menyorot seorang lelaki berkulit coklat yang tengah memegang mikropon.
"Apa? Oh, Oke, baiklah Renasari dan rekan Aldo di studio, para pemirsa di rumah... saat ini saya tengah berada di dalam suasana kesibukan... maaf.. Pak... itu enggak sengaja kesenggol... saya tengah berada di dalam suasana kesibukan Panitia Persiapan Musyawarah Daerah De Pe De Parkindo Jawa Barat di sekertariat DPD Parkindo.... Pemirsa, yuk ikuti saya... Hay Bella... lagi sibuk ngapain nih..."

Kamera menyorot Mirabella Schultz yang tengah membungkuk di belakang Lamsijan sambil menunjuk-nunjuk suatu berkas di meja.
"Hai Pemirsa..." Mirabella Schultz menengadah, tersenyum cerah dan melambaikan tangan. Sementara Lamsijan menunduk dengan kedua tangannya terbuka lebar dan rapat, berusaha menyembunyikan wajahnya dari kamera. "Ini saya lagi bertugas jadi Pi aR, sedang menyusun rencana peliputan Musda... Kakak... lihat Kamera..."
"Jangan." Bisik Lamsijan.
"Om lihat sini Om." Kata Juru Kamera kepada Lamsijan.
"Enggak enggak..."
"Ini adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Musda... Bapak Lamsi..."
"Bella, udah ah, aku gak mau."
"Hi hi hi dia sangat pemalu pemirsa... nih lihat muka gantengnya..." Kata Mirabella Schultz sambil memeluk Lamsijan dari belakang, lalu menebah kedua tangan lelaki itu dan mengangkat dagunya...."

Kamera menyorot dengan cepat dan meng-close up wajah Lamsijan.
"Udah." Kata lelaki itu. "Makasih ya teman-teman wartawan..."

Priscilia terpekik kaget. Bagaimana bisa cewek itu ada di sana dan menjadi PR Musda? Ya, ampun. Dia tidak bisa membiarkan artis cantik itu mendekati Lamsijan. Tidak. Tidak boleh dekat-dekat. Tiba-tiba saja hati Priscilia menjadi sangat gelisah. Perasaan cemburu dan rasa takut kehilangan menghinggapi lubuk hatinya.

Apalagi ketika tayangan gosip itu berkali-kali menyiarkan ulang --bahkan dengan gerak lambat-- bagaimana Bella memeluk Lamsijan dari belakang, seperinya sangat mesra sekali. Sepasang payudara artis itu yang besar membusung, menyentuh punggung Lamsijan, yang pada gerakan lambat terlihat jelas menekan-nekan lembut.

Sepasang mata Priscilia memerah. Tubuhnya gemetar. Lontong kari berisi daging sapi yang biasanya bisa dia habiskan dalam 7 menit, kehilangan rasa gurih dan sedapnya. Apalagi ketika kedua presenter itu mengomentari kemesraan tersebut sambil bercanda...
"Iyalah Do, kalau saya punya atasan seganteng itu sudah pastilah... "
"Pasti apa Ren?
"Ah, enggak. Pastilah semangat kerjanya.."

Mereka tertawa-tawa. Sementara Priscilia hampir saja membanting mangkuk lontong karinya.

Sementara itu di sisi lain, di kamar hotel super VIP, Theresia bertepuk tangan gembira.
"Aku kasih pinjem deh buat kamu barang sehari dua hari Bell... tapi dia tetap milik aku." Katanya dengan senyum cerdik tersungging di sudut bibirnya.


***​


Usai mengenakan hem dan blazer agar tampak tampil resmi, Priscilia masuk ke dalam mobil dan beberapa kali menelpon Lamsijan. Tapi nomornya selalu sibuk. Dia kemudian menelpon Deny.
"Den."
"Siap, Bu."
"Sejak kapan cewek ingusan itu jadi Pi aRnya Musda?"
"Sejak tadi pagi, Bu. Dapat perintah dari Bu Tere langsung."
"Menurutmu, aku tanya dan kamu jawab dengan sejujurnya, menurutmu apakah Bu Tere tahu tentang hubungan aku dengan Ijan?"
"Saya ragu, Bu. Tapi kan anak buah beliau banyak, Bu. Menurut saya sih fifty-fifty, dia antara tahu dan tidak."

Priscilia tercenung. Diam membeku.
"Bu, hallow?"
"Eh, ya sorry, udah dulu Den... kamu awasi Bella juga ya?"
"Siap, Bu."


***​


Tiba di sekertariat, Priscilia tak menemukan Lamsijan. Mejanya yang biasa acak-acakan sekarang tampak rapi dengan berbagai tumpukan berkas. Staff Lamsijan yang berasal dari DPC Kabupaten Bandung, Aceng Suganda, tampak sedang asyik memasukkan bandul cendera mata ke dalam kotak transparan.
"Ceng, lihat Pak Ijan?" Tanya Priscilia tiba-tiba.
"Eh, Ibu, kaget Aceng. Mm, Pak Ijan diajak makan siang sama crew FTV, temen-temennya Bella."
"Oh. Ke mana?"
"Maaf Bu, kurang tahu. Soalnya Pak Ijan digusur rame-rame sama cewek-cewek centil itu, Bu."

Priscilia menarik nafas. Dadanya semakin sesak.
"Makasih ya Ceng."
"Siap, Bu."

Masuk ruang kerjanya, Priscilia menekur di meja kerja.
"Aku tak mungkin mengurungnya." Bisik Priscilia dalam hatinya. "Aku juga tak berhak mencemburuinya... dia berhak menikmati masa mudanya... saat ini yang paling penting adalah fokus agar Musda berjalan dengan sukses... Lia, dengar, kamu sudah 50...kamu punya suami, punya anak, punya karir... Lamsijan cuma selingan kan? Oh, Tuhan tidak. Dia bukan selingan. Aku ingin hidup selamanya dengan dia... Lia, dengar, kamu tak bisa memiliki burung dengan sayap yang kuat... dia akan terbang begitu melihat langit yang luas dan kamu hanya bisa menatapnya saja... Cukuplah bagimu sekali-sekali dia hinggap di sangkarmu dan kamu bisa mengelus keindahannya... lalu biarkan dia terbang lagi... ikhlaskan... kamu tidak akan bisa memilikinya..."

Tiba-tiba Priscilia menangis.

Theresia menatap layar monitor dan memperhatikan sikap Priscilia dengan seksama. Kamera CCTV yang dia pasang di salah satu piala yang berjajar di lemari, dengan jelas menyorot seluruh gerak-gerik Priscilia.

Theresia tersenyum senang.


***​


Malam menjelang hari H, Lamsijan tampak kelelahan. Jambu batu terakhir yang tumbuh di lereng sungai hutan Gunung Manglayang, dikunyahnya dengan pelahan, sampai habis.
"Kak, udah malam. Bella mau pulang dulu."
"Oke, sampai jumpa besok pagi. Semangat ya."
"Anterin ke hotel."
"Sama Aceng aja ya."
"Sama kakak."
"Aku lagi sibuk bikin perhitungan anggaran... sebentar lagi mau meeting terakhir dengan bendahara. Enggak apa ya dianter sama Aceng?"

Bella cemberut. Tapi karena dia sangat cape, akhirnya dia mau dianter Aceng.

Dari kejauhan, sekali lagi Theresia tersenyum senang.


***​


Musda Parkindo Jawa Barat 2017 menangguk sukses besar. Priscilia mendapat sanjungan dan pujian, dia secara aklamasi terpilih kembali menjadi Ketua DPD. Berbagai tamu undangan mengacungkan dua jempol untuk Priscilia. Salah seorang kolumnis terkenal dan pengamat politik nasional, menulis artikel di sebuah media nasional yang berjudul: PARKINDO MENATAP MASA DEPAN, TARGETKAN 10 BESAR DALAM PEMILU LEGISLATIF 2018.

Namun bagi Priscilia, itu adalah kesedihan terbesarnya. Dia menangis diam ketika dalam penutupan Musda, Ketua Umum tiba-tiba saja mengumumkan bahwa Lamsijan ditarik menjadi Kader pusat sebagai Wakil Sekjen Fredy Ananta. Lamsijan diproyeksikan menjadi Ketua Pelaksana Munas Parkindo pada Januari 2018, Manajer Kampanye Nasional dan Kepala Bidang Pemenangan pemilu.


***​


Atas desakan Bella, akhirnya Lamsijan mau juga digiring ke sebuah salon pangkas rambut. Musda baru saja selesai pada pukul 20.30. Sementara Bu Priscilia sibuk menerima ucapan selamat, Bella langsung menarik tangan Lamsijan pergi ke salon yang letaknya tidak begitu jauh dari Parahyangan Hotel di mana Musda digelar. Bella dengan detil dan cerewet meminta agar Lamsijan dipotong dengan potongan Ivy League Style. Sebuah potongan rambut yang tidak terlalu pendek tetapi tetap tampak rapi.

Usai rambutnya dipangkas, penampilan Lamsijan 180 derajat berubah. Mereka kembali ke hotel dengan berjalan kaki dan Bella tak pernah melepaskan pelukannya pada lengan Lamsijan. Dia bergitu merasa bangga melangkah bersama cowok itu. Walau jauh di dalam hatinya, artis sinetron itu tahu kalau Lamsijan tidak mencintainya.

Saat mereka tiba di lobby, smartphone Lamsijan berdering. Dia mengangkatnya.
"Baik, Bu. Siap. Apakah saya harus ganti pakaian dulu? Baik, sekarang juga saya menghadap."
"Dari siapa, Ka?"
"Dari Bu Tere, dia minta saya menemuinya."
"Kakak pasti naik pangkat."
"Bella, entahlah. Kakak hanya ingin cepat beristirahat."

Sejenak gadis blasteran itu menatap Lamsijan.
"Semoga sukses ya kak." Katanya sambil berbelok ke arah koridor di mana kamarnya berada.
"Makasih, Bell."
"Sama-sama, Kak." Jawab Bella, dalam hatinya dia merasa sedikit menyesal tak mendapatkan sekedar kecupan di kening sebagai ucapan selamat malam.


***​


Theresia Danu Wijaya duduk dengan anggun menghadapi meja bundar yang dipenuhi menu makan malam. Dia mengenakan longdress satin berwarna gelap yang bertali, membiarkan pundaknya yang putih seperti pualam disinari cahaya penerangan resto VIP yang terang tapi teduh. Lehernya yang jenjang dihiasi kalung pendant emas putih, nampak indah. Pendant itu terkulai di bagian atas dadanya yang mancung membusung, seperti menantang lelaki mana saja untuk tidak berkedip memandangnya.

Ketika lelaki yang ditunggunya itu muncul di ujung resto, dua orang pengawal pribadinya langsung saja menghadang. Lelaki itu hanya mengenakan kemeja lengan pendek legging yang sederhana dengan pantalon potongan lurus.
"Rambutnya telah dipotong, ya tuhan, dia ganteng sekali. Hampir saja aku pangling." Bisik Theresia dalam hatinya. Dia kemudian melihat Sherly mendekati kedua pengawal dan menjelaskan bahwa lelaki itulah yang sedang ditunggu.

Lamsijan melangkah tenang mendekatinya.
"Selamat malam, Bu."
"Malam. Mulai saat ini panggil saya Kakak, jangan Ibu. Silahkan duduk."
"Terimakasih, Kak. Maaf saya berpakaian seadanya."
"Ga pa pa. Yuk, makan. Kakak udah lapar sekali." Kata Tere. Dia mengambil beberapa sendok kentang tumbuk, dua sendok nasi, dua potong beef dan melumurinya dengan saus.
"Saya juga, Kak. Sejak penutupan saya belum sempat makan apa pun." Kata Lamsijan sambil menyendok salad buah ke dalam mangkuk dan menyantapnya dengan lahap.
"Koq cuma salad?"
"Kalau sudah malam saya menghindari makan nasi sama daging, Kak."
"Tapi Jan, kamu kan engga akan kenyang."
"Saya bisa menghabiskan satu atau dua kilo apel, jambu, mangga atau buah-buahan apa saja. Itu bisa bikin kenyang, Kak."
"Kamu ambil dagingnya, dikiiit aja. Kakak sengaja udah pesen beef terbaik."
"Ya udah kalau kakak maksa." Kata Lamsijan sambil mengambil piring lain dan mengisinya dengan empat potong beef.
"Dikit aja jangan banyak-banyak." Kata Theresia sambil menyuap potongan daging.
"Ini juga dikit." Lamsijan tersenyum.
"Kakak senang Ijan mau nemenin makan malam walau kelihatannya udah cape..."
"Ah, Kakak. Justru Ijan yang tersanjung, ngerasa terhormat."

Theresia tertawa lembut.
"Sesuai dengan pengumuman Kakak tadi waktu penutupan, Ijan ke Jakarta yah siapin Munas."
"Kaak... Bukan Ijan enggak mau..."
"Kamu jangan jawab sekarang, Kakak tau kamu masih cape..." Theresia berkata dengan tatapan lembut, "maaf harusnya kakak enggak memulai ngomong kerjaan, besok atau lusa aja ya jawabnya. Kita ngomong yang lain aja, hm?"
"I ya, Kak."
"Udah ini, kamu punya rencana liburan enggak?"
"Kayaknya enggak, Kak. Ijan mau nyelesai-in proyek Ijan yang tertunda."
"Proyek apa tuh?"
"Mmm, sebetulnya proyek kecil tapi prospeknya besar, Kak. Ijan mau bangun pergudangan buat sayuran dan buah-buahan..."
"Di mana?"
"Lokasinya di dekat pasar Caringin."
"Oh, di situ. Bukannya di situ tanahnya bermasalah? Dulu kan pernah mau dibangun supermarket, tapi masyarakat setempat demo dan tanahnya juga masih sengketa."
"Wah, Kakak koq tau ya?"
"Ya, tau. Kan Kakak yang mau bangun supermarket di situ, Jan."

Lamsijan tertawa kecil.
"Kakak pendekatannya salah sih, jadi warga pada demo." Kata lelaki itu, "sebetulnya, tanah itu hampir kelar urusan perdatanya. Ijan dibantu Pemkab, Pemkot dan Pemprov serta Asosiasi Pedagang Buah dan Sayuran sudah mencapai kata sepakat dengan para pihak yang bertikai, tinggal masuk ke pengadilan dan ditetapkan dengan kekuatan hukum yang mengikat; setelah itu izin prinsip akan dikeluarkan Pemkot untuk bangunannya, sedangkan Pemkab akan mengurus akses jalan, Pemerintah Provinsi tinggal mengeluarkan surat izin usaha yang tembusannya ke Departemen Hukum dan Ham, Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan. Departemen yang terakhir ini akan mengeluarkan surat izin ekspor."
"Amazing." Kata Theresia, "bagaimana Pemkot, Pemkab dan Pemprov berduyun-duyun bantuin kamu, dibayar berapa mereka?"

Lamsijan tertawa.
"Tidak satu rupiah pun, Kak."
"Kamu bohong. Harga birokrasi tidak pernah gratis."
"Ya, tentu saja. Tapi lain cerita kalau Ijan berhasil meyakinkan mereka bahwa proyek Ijan ini akan menyerap minimal 10.000 tenaga kerja dari berbagai sektor, kemudahan distribusi barang dan jasa sehingga harga buah dan sayuran bisa ditekan, meningkatkan pendapatan petani dan mendorong Jawa Barat menjadi sentra buah dan sayuran..."

Theresia menatap Lamsijan dengan tatapan seakan tak percaya.
"Kamu bikin kakak sebel deh." Kata Theresia, "seharusnya direktur operasional Kakak yang punya gagasan itu."
"Terlambat." Kata Lamsijan sambil tersenyum.
"Kamu bantuin Kakak di Indoland mau enggak?"
"Kakaaak... Ijan enggak suka jadi orang suruhan."
"Kan kakak yang nyuruh-nyuruhnya, masa enggak mau?"
"Kaak, jangan suka maksa."
"Kakak enggak maksa... kan kamu juga suka."
"Suka apa?"
"Ngaku aja kamu suka sama Kakak."
"Ma... mana... Ijan berani?"
"Kemarin pagi, waktu kamu nyium Kakak... kamu suka kan?"
"Saya... saya... kan... udah minta maaf."
"Enggak apa-apa, koq. Kakak juga suka." Theresia berkata dengan nada serak.
"Bo... bohong."
"Coba lagi kalau kamu berani."

Lamsijan terdiam. Dia menatap sepasang mata itu yang juga tengah menatapnya. Selama hampir 5 menit mereka bertatapan tanpa kedip. Saling meraba dan menakar perasaan.
"Kamu pasti enggak berani." Kata Theresia sambil menunduk, menghindari tatapan Lamsijan yang semakin kuat dan dalam. "Soalnya Kakak juga tau kamu lebih suka Bu Priscilia, ya kan?"

Wajah Lamsijan tampak berubah, agak membiru.

"Kakak tau, Bu Priscilia orangnya sangat baik. Kakak enggak bisa nyalahin kamu jika merasa berhutang budi." Theresia berkata dan nadanya seperti cemburu. "Kakak bisa lebih baik dari siapa pun, Jan... jika kamu memberi kesempatan."

Lamsijan terdiam. Sekarang dia yang menunduk. Theresia menatap pemuda itu dengan tajam. Dia tidak menyesali apa-apa yang telah diucapkannya. Sebagai perempuan biasa, dia telah menekan harga dirinya untuk mengucapkan kalimat itu. Tetapi sebagai perempuan yang memiliki kekayaan dan kekuasaan, dia telah merubah dirinya menjadi perempuan yang sangat lemah yang mengemis untuk dicintai.

Theresia menunggu jawaban Lamsijan. Pemuda itu masih tetap menunduk.
"Baiklah, Kakak tau kamu akan memilih dia. Anggap pembicaraan ini tidak ada!" Theresia berkata dengan nada yang serak. Hatinya nelangsa. Seumur hidup, inilah yang pertama dia merasakan bagaimana penolakan itu demikian kejam dan sadis.

Dia mengambil serbet dan melap mulutnya. Lalu berdiri.
"Terimakasih. Selamat malam." Kata Theresia sambil melangkah dengan langkah yang tegap dan pasti meninggalkan meja. Beberapa saat setelah melangkah, dia mendengar suara "blug". Theresia menoleh dan melihat pemuda itu jatuh dari kursi ke lantai dalam posisi tubuh seperti meringkuk. Kedua hidungnya mengucurkan darah. Wajahnya membiru. Mulutnya berbuih.

Theresia terpekik. Dia menjerit dan minta dipanggilkan dokter.

Kebetulan pada saat itu, di ruang meeting yang lain, ada sekumpulan dokter tengah melakukan seminar, salah seorang di antaranya segera datang dan memeriksa Lamsijan dengan cermat. Dia kemudian mengambil sesuatu obat dalam tasnya, lalu mejejalkan dengan paksa ke dalam mulut Lamsijan. "Ini hanya sementara, paling bertahan hanya setengah jam." Dia lalu meminta kepada Theresia untuk segera membawa Lamsijan ke rumah sakit.
"Ibu istrinya ?" Tanya sang dokter. Theresia mengangguk. "Dia keracunan sianida. Jika terlambat ditangani dia akan mati."
"Kalau begitu tangani dia secepatnya, dok. Berapa pun biayanya tidak masalah bagi saya."
"Berapapun?"
"Berapa pun."
"Kalau begitu bawa dia ke Rumah Sakit Setiabudi, saya akan telpon teman-teman agar mempersiapkan operasi kecil untuk mengeluarkan isi perutnya. Oh ya saya Angga Buana, dokter spesialis penyakit dalam."
"Terimakasih, dok. Saya Theresia."

Dokter Angga Buana menelpon beberapa kali ke nomor yang berbeda. 10 menit kemudian terdengar suara sirine ambulan menjerit-jerit di Lobby. Sejumlah petugas medis datang membawa kereta dorong dan membawa Lamsijan ke dalam ambulan.
"Ibu sebaiknya ikut." Kata sang dokter ambil mendahului melangkah mendahului.

Theresia gemetar, wajahnya pucat.
"Ibu tadi makan malam bersama pasien?" Tanya Dokter Angga.
"I ya, Dok."
"Baik, ibu dalam keadaan sehat wal afiat, tapi pasien tidak. Apa yang dia sudah makan tapi yang ibu tidak makan?"
"Saya makan daging, dia makan salad, Dok."
"Hm, pasti itu sumbernya. Sebaiknya ibu telpon seseorang untuk mengambil sampel salad."
"Baik, Dok." Kata Theresia, dia kemudian menelpon Sherly dan memintanya mengambil sampel salad. Tapi Sherly menjawab bahwa meja sudah dibersihkan.
"Coba kamu lihat ke dapur hotel."
"Saya sudah ke dapur, Bu. Tapi tak ada seorang pun petugas yang mengaku telah membersihkan meja namun pelayan resto mengatakan bahwa yang membersihkan meja adalah petugas lain yang dia tidak kenal."

Theresia terdiam.
"Ya, sudah." Katanya dengan suara tercekat. Saat itu pikiran Theresia hanya fokus pada Lamsijan. Sepasang mata lelaki itu menatap kosong ke langit-langit ambulans yang berlari cepat.
"Kak Tere..." Bisik Lamsijan dengan lemah, "kaaakk..."
"Iya sayang." Theresia tak sanggup menahan titik airmatanya.
"Ijan juga sa..." Belum sempat kalimatnya selesai, kepala lelaki itu terkulai dan mulutnya mengeluarkan buih.

Theresia menahan pekik dan tak bisa lagi menanggung isak tangisnya.
"Tenang, Bu. Jangan khawatir, dia hanya pingsan karena menahan rasa sakit." Kata Dokter Angga dengan suara yang tenang dan penuh kepastian.


***​


Rumah Sakit Setiabudhi sudah terkenal sejak lama sebagai rumah sakit khusus penyakit dalam. Letaknya sangat strategis, hanya sepuluh menit dari pusat kota. Begitu tiba di RS, Lamsijan langsung dibawa ke ruang operasi dan 3 orang dokter lain sudah menunggunya dengan peralatan lengkap.

Theresia menunggu di ruang tunggu khusus operasi dengan gelisah. Sherly bersama dua orang pengawalnya datang dan Theresia menyuruh mereka menunggu di luar. Dia tak mau mereka melihatnya menangis.

Hampir 2 jam dokter-dokter itu berkutat di ruang operasi. Ketika akhirnya dokter Angga ke luar sambil melepas sarung tangan karet, masker dan penutup kepalanya; Theresia dengan penuh harap menunggu dokter itu mengatakan sesuatu.
"Untung daya tahan tubuhnya sangat luarbiasa..." Kata sang dokter, "dari sekian puluh kasus keracunan sianida, cuma kasus ini saja yang selamat. Sisanya meninggal dunia. Bersyukurlah, Bu, suami Ibu masih bertahan. Dan dengan perawatan paska operasi yang tepat, seminggu juga cukup untuk memulihkan kondisinya." Kata dokter Angga dengan wajah berseri, "Kalau boleh saya usulkan, besok pagi kalau kondisinya memungkinkan, pasien sebaiknya dibawa ke Rumah Sakit khusus Perawatan Gizi Ibnu Sina di Bogor, tempatnya agak terpencil di dekat Gunung Salak."
"Kalau sekarang bisa enggak dok?"

Dokter itu tertawa.
"Bukan tidak bisa, Bu. Tapi jarak yang jauh dan guncangan mobil bisa merusak jahitan pada perut dan lambungnya. Kami telah mengeluarkan seluruh racun melalui ususnya langsung."
"Kalau naik helikopter, gimana dok?"
"Helikopter?" Dokter Angga terperangah, "Ya... mungkin saja..."
"Dari sini ke Bogor mungkin perlu waktu sekitar 35 sampai dengan 45 menit. Tergantung cuaca."
"Guncangan?"
"Tak ada guncangan, hanya suara berisik mesin dan baling-baling... telinga bisa ditutup dengan earset."
"Baiklah... tapi dengan catatan..."
"Apa dok?"
"Saya harus ikut."
"Tentu saja, Dokter ikut. Siapa nanti yang akan ngurusin di sana kalau dokter tidak ikut?" Jawab Theresia sambil tersenyum.

Dokter Angga ikut tersenyum. Dia kemudian melakukan meeting singkat dan menelpon Kepala RS Ibnu Sina. Theresia sendiri sendiri menelpon sebuah perusahaan Penerbangan Charteran dan memesan sebuah helikopter. Sambil menunggu heli charteran datang, Theresia memberi sejumlah petunjuk kepada Sherly dan dua pengawalnya.
"Kalian enggak perlu menyusul ke rumah sakit, paling lama saya seminggu di sana. Kalian bekerja saja seperti biasanya."
"Baik, Bu." Jawab mereka serempak.
"Jangan lupa, bawakan juga pakaian ganti buat Ibu sama Pak Ijan ya."
"Siap, Bu."


(Bersambung)​

Jangan modar dulu koen Jan, ntar arwah bah Dadeng jadi sedih...😲
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd