Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
Ok gas..ok gasss...bocil krbitan ikut gass...🔥🔥🔥
Absen siang suhu qu...🔥🔥🔥🔥🍻🍺🍺🍺🍺🍺🍺🍺🍺
 
BAG VIII

POV MIRNA


Malam Hari Pukul 22.00

Firda: Mirna, kabar lo bagaimana? Masih marah sama gue ya?

Aku mengeringkan rambut yang basah sehabis mandi dan keramas. Handuk lembut menggulung di kepala. Aku mengulur lengan dan bagian bawah celana piyamaku yang berwarna hijau tosca. Kedua kaki kemudian menyeka pada sebuah keset berwarna biru pirus, lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum, serta memanaskan air. Haus sekali rasanya dahaga ini setelah bercinta dengan Pak Yanto. Aku mengira mulanya itu adalah Mas Riko. Ia sengaja mengerjai. Pantas aku disuruh menutup mata, tak sadar aku dijebak. Aku tidak marah. Itu rupanya kejutan untuk diriku dari Mas Riko. Lagipula Pak Yanto sedang ingin berhubungan badan denganku. Aku juga sedang mau. Apa salahnya bukan? Kalau mau sama mau. Mas Riko juga yang menghendakki. Fantasinya tiada akhir. Pak Yanto tak kunjung puas. Demikian pula aku. Mereka berdua kini tengah sedang berbicara di kamar. Aku segera menyusul setelah kopi susu dan teh panas ini jadi.

Sebelum mandi. Firda sempat mengirimkan chat WA ke ponselku, namun aku bingung harus menjawab apa. Aku hampir mengetik beberapa kalimat, lalu aku hapus kembali. Frida, dialah yang awal mendengarkan semua isi curahan hatiku mengenai kelakuan suami dan Pak Yanto. Aku bungkam lama. Bagaimana respon dia seandai kuberi tahu bahwa fantasi suamiku telah terwujud, Pak Yanto telah meniduriku, dan aku merasa puas dengan keduanya? Itu mengapa aku tidak tahu harus membalas apa, kendati menjawab bahwa kabarku baik saja cukup, termasuk menanyakan kabarnya juga. Terpaksa aku abaikan pesan dari sahabatku tersebut.

Mas Riko: Besok Minggu ingetin aku ya, ada kerja bakti.

Aku: Iyaa....ini kopi dan tehnya mau ditaruh di mana, Mas?

Mas Riko: Di depan aja yuk. [Mas Riko beranjak keluar kamar. Aku membuntutinya. Aku perhatikan Pak Yanto sedang memakai kemeja dan celananya. Tempat tidurku berantakan akibat perbuatanku dan Pak Yanto. Sprei berkerumuk. Bantal terserak. Pakaian kotorku tersingkir di pinggir tembok]

Aku: Surat himbauan kerja baktinya kok belum ada mas? Kamu tahu dari siapa?

Mas Riko: Pak Yanto yang memberitahu, suratnya enggak lama lagi kok, Pak RT yang akan mengantarkan.

Aku: Hhhmm...

Pak Yanto: Pak RT kemarin ngomong dengan saya pas ketemu, katanya hari Minggu besok bakal ada kerja bakti. Memang sudah biasanya begitu kan sebulan sekali ada kerja bakti di lingkungan kita? [Pak Yanto keluar dari kamar mengancingkan satu demi satu kemeja, membetulkan pinggang celana yang kendur]

Mas Riko: Iyaa bener Pak [Mas Riko mempersilakan Pak Yanto duduk di sofa depan. Aku mengambil duduk di samping Mas Riko]

Aku: Ayo diminum Pak, tehnya.

Pak Yanto: Wah terima kasih, ibu Mirna. Habis minum susu, dikasih minum teh, maknyyuss betul inih hehehe" [Pak Yanto duduk tersenyum girang setelah klimaks berdua bersamanya tadi, ditambah Pak Yanto sempat mengecup puting payudaraku ketika kami bertindihan]

Mas Riko: Beruntung banget malam ini Pak Yanto. Hahahaha [Mas Riko tertawa menatap Pak Yanto, melirik ke arahku]

Aku: Kamu ketawa-ketawa aja, obat sudah diminum belum, Mas?

Mas Riko: Udah, udah kuminum kok.

Aku: Aku tuh jujur jarang lihat kamu minum obat sekarang, tapi beneran kamu minum kan?

Mas Riko: Iyaaa beneran sudah aku minum. [Mas Riko mengangguk-ngangguk, menjawab enteng dengan begitu meyakinkan karena aku selalu khawatir dirinya apabila tidak minum obat dari dokter terkait pemulihan psikis fantasinya yang bergejolak itu. Kalau tidak teratur minum obatnya, tak akan sembuh fantasi Mas Riko, bukan tidak mungkin malah semakin menggila. Sejauh ini baik-baik saja sejak aku mengabulkan keinginannya]

Aku: Bener loh ya?

Mas Riko: Bener sayang.... [Mas Riko menyibak rambutku yang tergerai, punggungku dibelai-belai]

Pak Yanto: Sepertinya besok saya harus pulang. [Pak Yanto resah mengamati ponselnya]

Aku: Pulang kampung?

Pak Yanto: Iyaa, istri saya sakit. Barusan anak saya mengabarkan.

Mas Riko: Ya ampun, sakit apa pak?[Mas Riko bertanya sambil meminum kopi susu yang kubuatkan untuknya]

Pak Yanto: demam dan batuk-batuk, dari kemarin sampai hari ini dia tidak berjualan. Anak saya pengen saya pulang, ini dia baru kirim pesan inih. [Pak Yanto menengok ponselnya kembali]

Mas Riko: baru juga datang kemari, Semoga gak kenapa-kenapa ya Pak Yanto...

Pak Yanto: Iyaaa, apa boleh buat, saya juga berharapnya hanya demam dan batuk biasa. [Pak Yanto melihat jam di dinding tempat kami sedang mengobrol. Ia juga memandang ke arah luar melalui pintu depan yang terbuka supaya angin masuk]

Mas Riko: Masalah pekerjaan bapak, masih saya usahakan, jangan terlalu dipikirkan sebaiknya sekarang bapak fokus ke kesehatan istri, kesehatan bapak juga jangan dilupakan yaa.

Pak Yanto: Tentu, terima kasih Pak Riko, saya juga menunggu jawaban dari Wawan, kapan-kapan ajak dia kemari pak, kita ngobrol bareng-bareng. Lebih ramai, lebih banyak yang bisa dibahas.

Mas Riko: Aha iya betul sekali. Saya setuju. Kemarin dia minta saya datang ke rumahnya. Kan enggak sopan, masa yang tua sampari yang muda. [Mas Riko berbicara menengok ke arahku dan Pak Yanto. Aku hanyut mendengarkan]

Pak Yanto: betul sekali, etikanya yang muda datangi yang tua, bukan justru sebaliknya.

Aku: Wawan sekarang kerja di kantor kamu kan? Bagaimana dia?

Mas Riko: dia tergolong rajin dan disiplin di sana. Cuman ya itu...

Aku: itu apa?

Mas Riko: yang aku sudah ceritain ke kamu. Terseret masalah rumah tangga Jajang.

Aku: kamu jangan ikut-ikutan ya Mas...

Mas Riko: terus mengapa kamu suruh aku bantuin Rani?

Aku: ya cukup bantuin Rani supaya dia tetap bekerja di tempatmu, bukan tersangkut paut ke rumah tangga Jajang karena aku enggak merasa adil aja mendengar cerita kamu, seolah-olah Rani yang paling disalahkan. Kan seharusnya enggak seperti itu.

Mas Riko: iyaa benar.

Pak Yanto: Wawan juga tolong sering diingatkan Pak, takut khilaf lagi dia.

Mas Riko: pastinya Pak Yanto.

Pak Yanto: Ya sudah karena sudah malam, saya mohon izin pamit [Pak Yanto menyesap secangkir teh sebelum bangkit berdiri]

Mas Riko: Wah bakal ada yang gak ketemu lama dong nih ceritanya. Hehehe [Mas Riko ikut berdiri lekas menyalami Pak Yanto]

Aku: Ahh apaan sih kamu Mas, biasa aja kali. [Aku menerima jabat tangan dari Pak Yanto]

Pak Yanto: bener salaman aja nih Bu? Gak akan kangen nih? [Pak Yanto tersenyum menatapku seraya jari telunjuknya menggelitik cengkeraman tangan yang belum mau dilepas]

Aku: Hhhmm apaan sih Pak... [Aku menggerutu, memalingkan muka. Namun, tiba-tiba Pak Yanto menarik tanganku dan mendekap badanku. Ia menyosor bibir]

Pak Yanto: Hmmmmmffffhhhhhh....

Aku: iiissh udah ahhh, asal peluk-peluk aja [Bibir kami nyaris beradu, aku menghindar agar Pak Yanto tidak terlalu semena-mena kepadaku apabila sedang bernafsu]

Pak Yanto: Hehehe maaf ya, maklum bakal gak ketemu lama

Mas Riko: Hahaha iya gak apa-apa, berarti yang bakal kangen banget ketahuan siapa nih.

Aku: Siapa?

Mas Riko: jelas Pak Yantolah.... hhahahaha..

Pak Yanto: kita lihat saja nanti, hehehe... Ya sudah saya pamit dulu Pak Riko [Pak Yanto bergerak keluar dari rumahku. Ia membuka pintu lebar-lebar]

Mas Riko: Baaikk... kalau besok pulangnya, berangkat jam berapa?

Pak Yanto: itu saya kurang tahu karena anak saya yang akan mengurus tiketnya.

Mas Riko: Hati-hati ya Pak Yanto semoga selamat sampai tujuan. Salam untuk anak dan istri bapak. Saya doakan semua lekas membaik...

Pak Yanto: Aaaamiiin Terima kasih banyak sebelumnya...

Mas Riko: Sama-sama...

Pak Yanto: Bu, saya pulang dulu, terima kasih malam ini... [Pak Yanto melepas senyum. Aku membalas senyumnya dengan kegalauan seandai muncul 'kehilangan' yang timbul akibat persetubuhan yang kami biasa lakukan atas restu suamiku. Bagaimana jika aku menginginkannya lagi, merindukannya. Aduh. Jangan sampai deh. Aku kan punya suami]

Aku: Iya Pak Yanto. Hati-hati di jalan besok. Jangan lama-lama ya di kampungnya.

Pak Yanto: cepat atau lambat saya pasti kembali. Hehehe

Aku: konsenterasi ke istri Pak.....

Pak Yanto: pasti.....

Kami berdua baru saja mengantar Pak Yanto hingga keluar pintu pagar. Kami tengok jalanan sepi dan lengang, tak ada yang berlalu-lalang kecuali sekumpulan tikus got yang mengacak-ngacak bak sampah depan rumah, serta kelelawar yang beterbangan menggantung di pohon. Pak Yanto lantas mengucap salam perpisahan, berjalan menembus keheningan malam. Aku dan Mas Riko masuk ke dalam rumah. Kepulangan Pak Yanto mengubah situasi di rumah seperti awal lagi, seolah-olah tidak ada siapa-siapa yang berkunjung. Padahal kemaluanku jelas-jelas ada yang menyambangi, masih terbayang dinding vaginaku bergesekan dengan urat penis Pak Yanto. Entah mengapa aku jadi penasaran berhubungan seks dengan pria lain. Bahkan aku timbul perasaan membayangi pria lain mana lagi yang kiranya menyetubuhiku. Adakah yang bisa melebihi Pak Yanto. Namun aku berusaha buang jauh-jauh pikiran tersebut. Sebaiknya Aku istirahat. Selubung handuk yang berada di kepala, aku lepaskan. Aku tenteng dan menggantungnya di belakang pintu kamar. Selanjutnya aku hendak buang air kecil sebelum berangkat tidur.

Ketika selesai dari kamar mandi, Aku berjumpa dengan Rengga, putraku. Ia ternyata masih melek dengan mata merah dan kuyu. Katanya habis bermain video game di ponsel menjelang tidur, menunggu ngantuk. Sayangnya bermainnya malah keterusan, niat tidurnya malah tak muncul lagi. Kami bertemu di ruang tengah. Ia bertanya kepadaku bahwa kiranya ada orang lain atau tamu yang datang ke rumah. Dia mencuri dengar dari dalam kamar. Aku yang cukup terkejut kemudian menjelaskan kalau tidak ada siapa-siapa, itu hanya prasangkanya saja. Aku terpaksa bohong kepada anakku. Aku gugup. Aku takut salah ucap, aku salah tingkah. Aku takut jika menjawab pertanyaan Rengga semakin berkembang, semakin gelagapan aku menjawab, mengingat Pak Yanto datang ke sini atas bujukan Papanya.

Aku: Bener, memangnya ada siapa? Gak ada siapa-siapa kok, kamu lihat kan? [Aku meminta Rengga melihat sekitar kami]

Rengga: Tamunya sudah pulang paling.. Hhhmm aku dengernya di depan tadi papa dan mama lagi ngobrol-ngobrol sama orang lain deh, aku cuekkin aja. Ya aku tebak pasti lagi ada tamu.

Aku: Enggak ada tamu siapa-siapa, udah malam juga kan? [Aku bersikukuh, berharap Rengga harus yakin bahwa tidak ada tamu]

Rengga: begitu yaa... Iyaa kali yaah, perasaanku aja kalii Maah [Rengga menggaruk dagu pindah ke kepala, membuat jantungku berdebar-debar. Apakah dia tahu ada Pak Yanto mampir. Kalau iya, sejak kapan? Kalau tidak, itu yang sangat melegakan]

Aku: Kamu lapar lagi mungkin.. hehehe...

Rengga: Bener juga sih Maaa, aku mau cek kulkas, ada makanan apa? [Rengga bertanya sambil berjalan ke arah dapur]

Aku: Kamu goreng ayam yang udah mama ungkep aja, atau nugget sama kornet, ada di kulkas semuanya"

Rengga: Siaaappp Mamaku, eh iya papa sudah tidur?

Aku: Belum, ada di kamar, temuin aja.

Rengga: Besok aja, aku mau nanya tempat kos untuk temenku yang mau magang di tempatnya papa.

Aku: Hhhmm.. nanti mama coba sampein yaa.

Rengga: Terimaa kasih Maa...

Aku masuk ke kamar, hendak tergesa-gesa mengadu ke Mas Riko perihal yang mendebarkan hati. Aku merasa bersalah telah membohongi Rengga karena aku tergaguk-gaguk mencari jawaban yang pas terbayang yang datang adalah Pak Yanto atas bujukan Mas Riko untuk meniduriku. Aku khawatir salah ucap. Bagaimana cerita apabila Rengga mengetahui mamanya habis ditiduri pria lain atas keinginan Papanya. Aku menutup pintu rapat-rapat. Mas Riko sedang berbaring memejamkan mata di atas tempat tidur yang telah dibenahi sprei dan posisi bantalnya. Aku dekati memastikan ia belum benar-benar pulas sehingga aku bisa melepas uneg-uneg.

Mas Riko: mengapa harus bohong, bilang aja ada. Apa salahnya orang berkunjung? Kan kamu berdua sama aku yang menerima Pak Yanto. [Mas Riko setengah berbaring menghadapku]

Aku: Aku bingung harus jawab apa, karena Panik juga. Aku kira Rengga udah tidur di kamarnya. Tapi waktu kamu di luar tadi pas aku di kamar sama Pak Yanto, bener-bener enggak lihat Rengga kan?

Mas Riko: Enggak. Lagipula pas aku sudah di kamar. Pintu kututup rapat-rapat kok. Jangan khawatir sayang [Mas Riko menatap kedua mataku. Ia berusaha menenangkan]

Aku: bagaimana kalau Rengga tahu ya Mas?

Mas Riko: Enggak tahu. Kamu jangan mikir sejauh itu.

Aku: kalo tahu bagaimana? Kita bagaimana menjelaskannya? [Aku bertanya dengan kegelisahan yang mengendap]

Mas Riko: [Mas Riko diam sejenak, merenung mencari jawaban] Aku yang akan menjelaskan. Kamu enggak perlu menjelaskan apa-apa ke Rengga.

Aku: kamu mau ngomong bagaimana? Kasih tahu aku supaya aku tenang.

Mas Riko: Aku akan berterus terang sebagai seorang Ayah sekaligus Suami, juga Kepala Rumah tangga. Aku harus jujur karena tidak akan ada pilihan lain. Enggak mungkin kan aku bilang kamu berselingkuh? Enggak masuk akal juga kan aku bilang kamu berselingkuh atas izinku? Kalau dia mau menyalahkan, cukup salahkan aku. Jangan sampai kamu ikut disalahkan karena semua yang telah terjadi. Ini karena aku, karena fantasiku.

Aku: beneran kamu akan bilang seperti itu? [Aku pun merasa tidak menemukan alasan pembenaran yang masuk akal diterima, bohong sekalipun]

Mas Riko: iyaa, sudahlah sayang, sekarang kita tidur, kamu jangan cemas lagi yaa. Rengga kan juga sudah dewasa bukan anak kecil yang mesti rumit banget kita ngejelasiinnya. [Mas Riko memegang daguku, saling memandang wajah]

Aku: iyaaa Masss [Aku mengangguk pasrah]

Kami akhirnya menghempaskan badan sepenuhnya, bergolek memerhatikan langit-langit kamar seolah-olah keraguan meliputi jawaban yang telah diutarakan secara yakin oleh Mas Riko. Aku sejujurnya tidak mau pikiranku melayang-layang, memikirkan sesuatu yang belum terjadi, berspekulasi hal yang buruk. Namun jika kedapatan Rengga bahwa aku berhubungan badan dengan Pak Yanto karena keinginan fantasi Papanya adalah cukup memalukan. Aku kehilangan harga diri sebagai seorang ibu sekaligus perempuan. Akan tetapi, aku tidak bisa membohongiku diri sendiri. Aku menikmati bersenggama dengan Pak Yanto, terlepas itu ialah fantasi Mas Riko. Mau tidak mau, aku dengarkan yang Mas Riko katakan. Aku perlu cuek saja karena Mas Riko akan berdiri paling depan, menjelaskan kepada sang buah hati dari kami berdua.

Benakku bergeser agar aku tidak larut memikirkan Rengga. Aku mempertimbangkan mengenakan kerudung kembali. Sebetulnya aku lebih terombang-ambing mengenai memakai kerudung. Semenjak rutin ke pengajian belakang serta dorongan sebagian ibu-ibu, terutama Ibu Aminah, aku bermaksud mengenakan kerudung lagi. Sayangnya, karena sudah tidak terbiasa mengenakan kerudung, aku merasa aneh ketika memakai kerudung. Pengap rasanya kepala. Dulu gampang saja, mengapa sekarang berat ya. Sepertinya benar kata Mas Riko aku perlu meluruskan niat dan memantapkan tujuan supaya komitmen dan konsisten. Jadi kapan aku mulai pakai lagi?

Aku: Enggak usah Mas! enggak usah! kamu dengerin aku ya, enggak usah sampai begitu! Jangan kamu sekali-kali berkunjung ke kosannya Rani. Kan aku udah bilang. Kamu cukup yang diurusin itu supaya Rani enggak dipecat, bukan ngurus hubungan Jajang dan Rani lagi. Itu sudah cukup, biar istrinya Jajang yang beresin. Kamu jangan ikut campur, dengerin aku ngomong... [Aku sangat kesal ketika Mas Riko bercerita dia akan ke tempat kosnya Rani karena perempuan itu ingin menunjukkan bahwa Jajang masih berusaha tetap berhubungan dengannya]

Mas Riko: enggak apa-apa supaya aku ada bukti lebih jelas loh.

Aku: bukti apalagi? Semuanya kan sudah jelas. Kalau kamunya begini, lebih baik enggak usah sekalian kamu itu ngurusin Rani deh. Biarin aja mereka berdua dipecat. Aku enggak mau kamu jadi repot banget.

Mas Riko: Hhhmmm...

Aku: inget ya Mas, dengerin omonganku ya, kalau sampai sejauh itu, mendingan gak usah, dipecat aja keduanya biarin, enggak apa-apa. Enggak ada untungnya buat kamu juga. Nyusahin diri sendiri yang ada.

Mas Riko: baiklah, yuk kita tidur yuk.

Aku: yang punya masalah siapa, yang direpotin siapa... [Aku masih terbawa jengkel]

Mas Riko: sudah sayang, kita tidur yuk, sudah malam.

Setetes Air mata menetes, kelopak mata memberat. Aku berkaca-kaca, mengantuk dan menguap. Mas Riko sudah menguap berulang kali. Aku tidak tega memperpanjang bahasan kami. Apalagi ia besok berangkat kerja. Pada akhirnya aku berusaha mematikan lampu kamar, lalu meruyupkan kedua mata agar kantuk lebih mudah menjangkau. Sesekali hidungku membaui aroma tempat tidur yang berbau keringatku dan Pak Yanto sehingga kantukku terawang-awang persetubuhan dengannya belakangan ini. Ke depan, hal itu tidak akan terjadi karena Pak Yanto akan pulang ke kampung halamannya. Aku bisa istirahat, lepas dari fantasi suamiku.


Keesokan pagi....

Setelah Mas Riko dan Rengga berangkat menjalani aktivitas masing-masing, aku berberes rumah seperti biasa: mencuci piring sehabis sarapan, menyapu rumah, dan mengganti sprei tempat tidur yang semalam berbau keringatku dan Pak Yanto. Aku sebetulnya ingin berbelanja ke warung Bu Aminah, namun rasanya malas sekali. Bukan berarti ketidakhadiran Pak Yanto penyebabnya, melainkan lelah setelah rutinitas. Aku rebahan di atas tempat tidur memakai daster payung berwarna biru tua tak berlengan, bermotif lingkaran berkombinasi dengan garis simetris kuning menyilang. Aku merabai buah dadaku, gemas karena inilah salah satu penyebab utama Pak Yanto tergiur denganku. Seandai aku tidak dianugerahi buah dada besar, apakah ia masih menaksirku? Begitu pula Mas Riko. Rasanya ingin kucopot payudara ini. Kebetulan aku sedang tidak mengenakan BH saat rehat.

Aku menggunakan waktu senggang istirahat dengan ponsel, seperti membuka youtube, membaca informasi terbaru dari media daring, serta tak disangkal melihat-lihat galeri ponselku. Aku menyaksikan untuk kesekian kali video porno Jajang dengan Rani yang hubungan keduanya mengusik pikiran suamiku. Aku menonton bukan bermaksud ingin ikut memikirkan, tetapi memerhatikan bagaimana rupanya melihat pasangan lain bersenggama. Barangkali aku bisa merasakan apa yang Mas Riko rasakan agar bisa membantunya keluar dari situasi sulit.

Aku: Gede juga ya punyanya Jajang, pasti perempuannya baper ini. Enggak heran rela mereka melakukan berkali-kali. Benci enggak, ketagihan yang ada jangan-jangan. Ditambah sama-sama jauh dari pasangan [Aku merenung sambil menyaksikan video porno Jajang dan Rani yang berdurasi 5 menit. Betapa Rani mengaduh-ngaduh ketika Jajang menembusi vaginanya dalam gaya doggystyle]

Tidak mau terhanyut, aku membuka aplikasi WA. Tidak ada pesan yang masuk, kecuali dari Frida yang sengaja kuabaikan, dan aku belum berniat membalas karena jawaban belum juga didapat. Alhasil karena kosong tak tahu mesti apa. Aku buka wikipedia-ku membuka percakapan lama antara aku dan Pak Yanto yang tinggal kenangan ketika kami menjalaninya sembunyi-sembunyi. Dari sekian percakapan yang masuk antah berantah terselip pesan berkenalan dari orang yang mengaku kenal denganku. Pesan itu sudah usang beberapa bulan yang lalu. Karena penasaran, aku tanggapi iseng selagi tidak melakukan apa-apa.

Pagi Hari Pukul 09.30

PERCAKAPAN wikipedia

Rundjan: ini kontak tele Mba Mirna?
Aku: mohon maaf, jarang buka wikipedia. Betul ini saya Mirna. Dengan siapa ya?
- Pesan baru dibaca dan dibalas 15 menit kemudian.
Rundjan: Sebentar ya, saya mau bersihkan sarang laba-labanya dahulu. Hehehe.
Aku: silakan, perlu dibantu?
Rundjan: wah jangan Mba, kotor dong nanti. Saya saja.
Aku: terserah kalo gitu. Maaf ini dengan siapa?
Rundjan: betul Mba tidak mengenal?
Aku: bener enggak kenal, apa lupa ya hehe, maaf.
Rundjan: wah kok bisa lupa sih. Kayaknya belum kenal bukan lupa.
Aku: Emmm berarti belum kenal yaa.
Rundjan: berarti boleh kenalan?
Aku: belum kenal tapi kok tahu kontakku, tahu namaku juga, dari siapa?
Rundjan: Separuh kenal itu tandanya. Hehehe. Perkenalkan saya Rundjan. Saya masih satu perumahan dengan Mba, hanya saja beda klaster. Saya tahu nama Mba dari nama akunnya hehehe.
Aku: Emmm... kok bisa muncul akun saya?
Rundjan: Mungkin karena istri saya pernah menyimpan nomor Mba dengan hape saya.
Aku: kalau boleh tahu siapa nama istrinya? Satu pengajian kali ya?
Rundjan: Melani. Iya satu pengajian. Salam kenal Mba Mirna.
Aku: Salam kenal juga Mas. Salam ya buat istrinya. [Aku pura-pura mengenali, sedangkan tidak hafal wajah istrinya sebagaimana dimaksud karena aku tergolong yang jarang datang ke pengajian]
Rundjan: Salam juga untuk suami Mbaknya.
Aku: iya nanti disampaikan.
Rundjan: mbaknya sedang apa?
Aku: lagi di rumah Mas. Masnya enggak kerja?
Rundjan: ini lagi kerja, kebetulan lagi enggak sibuk banget.
Aku: Ooo... kerja apa?
Rundjan: Saya bekerja sebagai seorang staf di museum X Mba.
Aku: wah keren, berarti Masnya pinter ya.
Rundjan: pinter mungkin enggak terlalu, jadul ya. Hahaha
Aku: boleh kapan-kapan mampir, gratis kan?
Rundjan: iya deh untuk Mba Mirnanya gratis.
Aku: boleh bawa keluarga?
Rundjan: silakan dengan senang hati.

Tiba-tiba aku mendengar sayup-sayup suara seseorang memanggil-manggil depan pagar rumah. Aku tergesa-gesa bangkit dan turun dari tempat tidur untuk keluar kamar. Aku intip dari jendela ruang depan, ternyata Pak RT. Ia memegang sebuah surat di antara tumpukan surat yang digenggamnya di tangan yang lain bersama dengan sebuah buku yang menjepit mereka, tampaknya surat himbauan kerja bakti yang dimaksudkan Mas Riko. Karena hanya sekedar mengantarkan surat, aku berencana keluar dengan daster yang sedang kukenakan untuk menerima surat tersebut. Lekaslah aku membuka pintu dan keluar.

Aku: kerja bakti ya Pak, hari Minggu? [Aku bertanya menatap Pak RT yang sebelumnya akrab disapa Pak Komar, dengan kopiah hitam di kepalanya serta jenggot yang lebat di dagu, terdapat kumis hitam tipis di atas bibirnya]

Pak RT: Iya Bu Mirna, ada kerja bakti hari Minggu besok. Tolong kabari Bapaknya yaa.

Aku: Oh terima kasih ya Pak [Setelah menerima, aku buru-buru berbalik badan, namun langkahku mendadak terhenti]

Pak RT: Ada satu hal lagi Bu.

Aku: apa ya Pak?

Pak RT: masalah iuran kebersihan dan keamanan. Boleh saya masuk untuk menyampaikan datanya? karena bapak belum bayar bulan kemarin.

Aku: Heh? Iya tentu boleh Pak, silakan masuk... Maaf ya pak, kelupaan nih [Aku lantas membuka pagar, mempersilakan Pak RT masuk karena sungkan usai mengetahui ada iuran yang belum dibayarkan, karena yang biasa membayarkan adalah Mas Riko. Mungkin dia lupa]

Pak RT: iya enggak apa Bu, lebih baik lupa daripada tidak berkenan membayar. [Pak RT berjalan di belakangku]

Aku: memangnya ada yang seperti itu?

Pak RT: ada. Kan enggak perlu sampai saya sebutkan nama orangnya. Hehehe

Aku: bener juga hehe [Aku turut tersenyum merasa keliru melemparkan pertanyaan]

Pak RT: rumahnya bagus ya Bu..

Aku: ah biasa aja karena dirawat aja ini, ayo silakan duduk dulu Pak [Aku mempersilakan duduk Pak RT di bangku depan kamarku yang jendelanya terbuka]

Pak RT: terima kasih...

Aku: mau minum apa? [Aku hendak masuk ke dalam mau berganti pakaian sekaligus membikinkan Pak RT minum. Pandangan matanya agak mencurigakan. Mungkin perasaanku saja]

Pak RT: oh enggak perlu repot-repot, saya masih harus jalan lagi ini, karena suratnya belum disebar semua. Hehehe.

Aku: oh gitu, terus apa yang bisa saya bantu?

Aku duduk di bangku sebelahnya sambil berusaha menutup kedua pahaku dengan kedua telapak tangan, yang tentu sangat terlihat karena bagian bawah daster terlalu rendah. Bahkan karena risih aku bergeser-geser posisi mencari kenyamanan. Tentunya pasti, sebagai lelaki normal kedua mata Pak RT berpetualang menyorot tubuhku, namun rupanya pria yang mengenakan kaos berkerah merah marun ini pura-pura tidak melihat.

Pak RT: ini data iuran bulan ini yang belum dibayarkan oleh bapak. [Pak RT menatap mataku, tetapi aku merasa ia juga melirik ke badanku]

Pak RT hendak membuka buku catatannya, meletakkan di meja kayu jati berpapan persegi, berada di antara bangku kami berdua. Ia buka buku tersebut, pinggirkan tumpukan surat yang menutupi daftar tabel, terlihat samar-samar jumlah angka dan kolom nama. Aku mencondongkan badan dan kepalaku agar dapat melihat jelas. Tertera uang senilai Rp25.000 di deret bulan yang tertera kolom nama suamiku. ASTAGA! AKU LEKAS MENUTUP BAGIAN LEHER DASTER. Kemudian buru-buru menegapkan badan kembali. Aku tidak sadar dengan posisi mencondongkan badan, Pak RT telah mengintip belahan dadaku, atau jangan-jangan dia juga sudah melihat jelas isinya karena aku tidak sempat mengenakan BH. ADUH! Aku semakin grogi dan kalang kabut.

Aku: 25 ribu ya Pak? sebentar ya... saya ambilkan dulu. [Aku berencana mengambil duit sambil memakai jaket untuk menutupi tubuhku dari jelalatan tatapan Pak RT ya g genit ini. Rasanya dia tidak seperti yang kukenal. Mengapa Pak RT berubah sikap ya]

Pak RT: silakan saya tunggu hehehe... oh ya kamar mandinya di mana?

Aku: Ke dalam saja pak, lurus, nanti ada dapur, kamar mandinya di sebelah kiri.

Pak RT: Saya pinjam kamar mandinya dulu ya Bu.

Aku: iya enggak apa-apa... [Aku membiarkan Pak RT masuk duluan. Setelah yakin dia masuk ke kamar mandi barulah aku berjalan masu ke kamar]

Di dalam kamar, aku segera mencari dompet dan mengambil uang, seakan tidak berkenan menahan Pak RT lama-lama di area rumahku. Setelah menjumput sehelai lembar hijau dan uang 5000 aku segera memakai jaket dan keluar untuk memberikannya kepada Pak RT. Akan tetapi,Pak RT belum keluar dari kamar mandi. Terpaksa aku menunggunya di bangku luar.

Aku: ini Pak, 25.000 [Aku memberikannya sambil berdiri]

Pak RT: sebelah sini kamar ibu ya?[Pak RT menunjuk ke jendela]

Aku: Iya betul, ada apa?

Pak RT: enggak ada apa-apa, saya kalau malam ke sini, yang nemuin kan bapak. Suka penasaran dengan kamar sebelah sini.

Aku: hmmm begitu hehehe

Aku secara tidak sengaja melihat resleting celana panjang bahan Pak RT yang lupa ditarik menutup secara rapat. Konsentarasiku pun pecah memandang melulu ke arah sana, hingga gerakan demi gerakan kaki yang tak sadar dilakukan oleh Pak RT membuat resleting itu menganga. Pak RT tidak mengenakan celana dalam. Tampak terkulai tidur, setengah bangun batang kemaluannya. Aku memalingkan muka, tetapi selalu balik ke situ-situ lagi. Aduh aku ingin memberitahu terang-terangan, entah mengapa takut menjadi serba salah.

Pak RT: kedinginan ya Bu?

Aku: iya nih Pak... hehehe.

Pak RT: Makanya BH-nya jangan lupa dipakai. Hehehe, semalam gak sempat diangetin bapaknya kali yah? [Pak RT terkekeh meletakkan uang kuberi, diselipkan dalam salah satu halaman buku bersama lembaran uang warga lainnya. Apakah dia menyadari aku tidak memakai BH. Aduh aku semakin grogi dan jengkel]

Aku: ah enggak juga pak... [aku sangat jengkel dalam hati mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Pak RT]

Pak RT: ya sudah, saya mau pamit keliling lagi mengedarkan. Salam buat bapaknya yaaa, Bu. Jangan kelupaan kerja bakti.

Aku: iya Pak RT, terima kasih [Aku mengantarkan Pak RT sampai depan pagar dan lekas mengunci pagar setelah Pak RT menjauh]

Peristiwa ini hendak kusampaikan kepada Mas Riko, namun aku memilih mengurungkan niat, khawatir fantasi Mas Riko meledak-ledak lagi. Alangkah lebih baik aku pendam dulu seolah-olah hal ini tidak pernah terjadi daripada menceritakan ke Mas Riko, khawatir tanggapan dan dampaknya tidak seperti yang kuharapkan. Aku balik ke kamar, menaruh jaket di belakang pintu dan benar-benar rehat ingin melupakan pertemuan mengesalkan dengan Pak RT. Aku ingin sekali meninju wajahnya.

BERSAMBUNG...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd