Part IV - Cobaan
POV Mufti
Puspa Amanda Putri a.k.a Dosen Pembimbing
Kusimak ceritanya penuh perhatian. Toh, manusia diberi dua kuping dan dua mata untuk memahami perasaan manusia lainnya. Mahasiswa lain mungkin hanya melihatnya sebagai perempuan yang lurus-lurus saja, namun aku bisa menyimpulkan kalau kisah hidupnya berliku-liku. Aku makin penasaran dengan kisahnya.
"
Terus kelanjutan kakak sama Irwan setelah itu gimana ?" tanyaku mengorek hal yang mungkin cukup personal untuk Bu Puspa.
"
Kita masih pacaran kok sampe aku lulus S1. Waktu itu dia udah kerja di Jakarta, meskipun LDR aku masih setia kok. Sampai akhirnya semua belangnya kebuka. Aku pergokin dia affair ama temen sekantornya. Emang ya cowok begitu, nggak ada puas-puasnya, udah punya satu bukannya dijaga malah nyosor yang lain. Kinda like animal" jawabnya dengan nada sinis, matanya pun berkaca-kaca mengingat memori hidupnya kala itu. Mendengar itu aku segera menggeser kursiku ke sampingnya, kurangkul pundaknya sembari mengelus-elus punggungnya.
"
Ditambah waktu itu papi mami cerai, gara-gara papiku ketahuan main belakang ama sesprinya di perusahaan. Ternyata kerja kerasku selama kuliah buat membanggakan mereka nggak ada guna, anak mana yang mau orangtuanya cerai ? Aku berangkat kuliah di Leiden (Belanda) karena ingin kabur dari keadaan hidupku" lanjutnya. Wah edan pinternya cewek ini, kuliah di universitas top dunia waktu lagi depresi, kataku dalam hati.
"
Jujur waktu itu aku sempet benci sama laki-laki, gara-gara kelakuan Irwan sama papiku. Waktu itu jangankan buat membuka hati, buat ngewe sama cowok aja ogah. FYI ya muf, kamu jangan kaget, aku pernah jadi lesbian. Sampe waktu kuliah di Leiden aku ketemu sama mahasiswa dari Nigeria who heal me from all pain and bring me back to be heterosexual" sambungnya, fakta bahwa dia pernah menjadi penyuka sesama jenis mengagetkanku. Maklum di lingkungan pergaulanku itu menjadi sesuatu yang tak wajar.
"
Wow, BBC dong kak" sahutku ketika ia pernah berpacaran dengan orang Nigeria.
"
BBC ? Apaan tuh ?" tanyanya merasa asing dengan istilah yang kuucapkan.
"
Big Black Cock" jawabku.
"
Hahahaha, don't be racist boy. Tapi iya sih" katanya sambil menampar pipiku pelan. Kali ini ia tertawa lepas, berbeda dengan tadi.
"
But, he was married person when studying there. Kita cuma berhubungan tanpa status aja atau bisa dibilang open relationship. Overmore his wife know that we have special relation. Ya... dia terbuka sama istrinya bahwa kita pernah beberapa kali hubungan seks, dan dia biasa aja dong. Mulai dari itu aku juga bisa menerima keadaan papi mamiku yang udah cerai, padahal sebelumnya aku nggak pernah mau ketemu mereka" jelasnya menggunakan bilingual, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Hingga hari ini Bu Puspa pernah berpacaran sebanyak empat kali dengan laki-laki dari negara lain, bahkan mereka punya ras yang berbeda. Pertama dengan mahasiswa bule dari Belanda, kemudian dengan pria Latina yang berasal dari Mexico. Ketika kuliah S3 di Australia ia pernah berpacaran dengan laki-laki beretnis Aborigin, terakhir sebelum menjalin hubungan dengan pacarnya saat ini Bu Puspa sempat menjadi kekasih dari mahasiswa Ph.D dari Iran. Kali ini ia nyerocos panjang lebar mengenai kisahnya kala berpacaran dengan empat pria tersebut. Diakui olehnya bahwa saat ini seks adalah kebutuhan baginya. Kalau seluruh cerita romansanya ditulis barangkali bisa jadi satu novel sendiri hehehe.
"
Kak, kupikir-pikir kamu itu nggak nasionalis lho. Masak nggak ada satupun laki-laki dari Indonesia yang kamu pacarin" kataku setengah meledeknya.
"
Hei, tahun lalu aku dikenalin papi sama pengusaha batu bara asal Kalimatan, namanya Haji Nazar. Coba tebak berapa umurnya ? 51 Tahun !" ujarnya.
"
Wah, crazy rich itu kak.... Gimana tuh akhirnya ?" tanyaku penasaran.
"
Ya aing tolak mentah-mentah lah. Gila aja dijadiin istri kedua ! Ogah dah ! Sampe sekarang dia masih ngejar-ngejar dong, akhirnya aing block deh WA sampe nomornya. Males banget kayak diteror gitu" jelas Bu Puspa.
"
Toh aing masih cukup mampu buat menuhi kebutuhan pribadi, ya walaupun sederhana begini sih" lanjutnya.
"
Bagus deh kak, jangan mau dipoligami. Seenaknya banget orang tajir-orang tajir itu, wong cowok-cowok jomblo masih banyak yang mau sama kakak. Main embat aja, asu emang !" jawabku kemudian disambut tawa olehnya. Obrolan kita berdua yang diawali kisah sedih nyatanya diakhiri dengan gelak tawa.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 8, aku pun meminta izin Bu Puspa untuk menonton TV yang terpasang di kamar. Bukan nonton sinetron, tentu saja nonton pertandingan Liga Inggris. Match yang kusaksikan adalah Leicester City vs Liverpool, yang menjadi klub favoritku. Di musim 2018/2019 optimisme ku begitu menggebu-gebu berkat kedatangan beberapa pemain baru termasuk Alisson Becker, kiper hebat pengganti Loris Karius yang melakukan blunder fatal di final Liga Champions Eropa. 'Next Year Will Be Our Year', sindiran teman-temanku karena Liverpool tidak pernah menjadi juara Liga Inggris sejak Tahun 1990. Bayangkan saja orang yang lahir Tahun 1990 ke bawah apabila tahun ini sudah punya anak, baik bapaknya maupun anaknya belum pernah melihat Liverpool juara Liga Inggris hahaha. Ada alasan tersendiri mengapa aku suka Liverpool, sejak final Liga Champions Eropa 2005 melawan AC Milan di Istanbul. Ketinggalan 0-3 di babak pertama lalu menyamakan kedudukan 3-3 di babak kedua, dan memenangi final lewat adu penalti.
Gaya permainan Liverpool di bawah asuhan Pelatih Jurgen Klopp yang sering disebut "gegenpressing" melakukan tekanan bertubi-tubi saat lini belakang Leicester City menguasai bola. Sontak permainan agresif ini membuatku bersemangat dan berteriak-teriak di depan layar kaca. Kadang aku seperti memberi instruksi pada pemain, seolah berperan sebagai pelatih, padahal main bola pun tak sehebat pemain Liga Indonesia hehehe. Berkali-kali Bu Puspa berteriak dari meja makan, bahkan masuk ke dalam kamarnya untuk mengingatkanku supaya tidak gaduh. Ya, tapi mau gimana lagi, mengingatkan orang gila bola untuk diam sama dengan mengingatkan pemabuk untuk tidak minum terlalu banyak. Wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, Liverpool menang 2-1 di kandang Leicester City. Hari esok tentu menjadi hari bahagiaku karena kemenangan Liverpool.
Aku pun keluar kamar Bu Puspa, kulihat ia menggunakan headset tanda bahwa aku telah membuat kegaduhan di rumahnya. Matanya memandangku dan melepas headsetnya.
"
Gandeng sia muf (Berisik kamu muf)" serunya dengan ekspresi sebal.
"
Hehe hampura teteh nu geulis (Hehe maaf teteh yang cantik)" balasku sambil menunjukkan gestur menyembah tanda meminta maaf.
"
Heran ya aku tuh sama laki-laki kalau nonton bola berisik banget, kayak K-Popers kalau lagi liat idolnya perform" ucapnya dengan nada sinis.
"
Kapan-kapan kalau aku ngajak temen-temenku buat nobar disini boleh ya kak ?" tanyaku jahil untuk menggodanya.
"
Nggak, gila ! Dah sana tidur" perintah Bu Puspa agar aku segera istirahat. Memang waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Segera aku masuk kamar mematuhi perintahnya, syukur aku nggak diusir dari rumahnya hehehe.
*****
Pagi Hari
POV Penulis
Seperti pagi kemarin, Mufti menyapu bagian dalam rumah hingga terasnya. Tak lupa piring kotor yang masih menumpuk segera dicuci.
Agar hari mereka berdua penuh semangat, Mufti membuatkan kopi dengan peralatan-peralatan yang dibawa pindah dari kosannya.
"
Good morning kak" sapa Mufti ramah dari dapur dengan membawa dua gelas kopi yang tersaji di atas nampan.
"
Wah harum banget nih" celetuk Bu Puspa ketika mencium aroma kopi yang baru saja dibikin.
"
Iya dong, bikinan barista Mufti nih. Monggo diunjuk riyen (Silahkan diminum dulu)" Mufti mempersilahkan Bu Puspa mencoba racikan biji kopi Pangalengan yang dibeli beberapa hari lalu.
Diminumnya kopi buatan Mufti, "
Wah enak banget kopi bikinanmu, gini dong muf kalo tiap pagi". Wah bertambah lagi tugasnya di rumah ini.
"
Hoho jelas, buatan Barista Mufti. Gini-gini aku punya sertifikat Barista dari BEKRAF lho. Itu namanya kopi rasa sayang, dibuat sepenuh hati" kata mahasiswa abadi ini berusaha menggombali.
"
Dih, pagi-pagi udah gombal !" serunya seolah menampik rayuan Mufti.
"
Mufti, nanti habis kamu nganter aku ke kampus tolong ambilin Vespaku yang diservis di deket Jalan Layang Pasupati ya" ucapnya meminta tolong.
"
Siap kak, mana struknya ?" dimintanya struknya agar bisa mengambil vespanya.
"
Bentar" kemudian Bu Puspa masuk ke kamarnya dan kemudian menyerahkan struk servis pada Mufti. Tak lupa ia juga memberikan uang sejumlah tagihan yang tertera dalam struk.
Singkat cerita setelah mereka mandi dan sarapan, keduanya menaiki mobil untuk menuju kampus. Bisa dibilang tugas Mufti ini mirip asisten pribadi Bu Puspa, mulai dari menyupiri mobil hingga melayani kebutuhannya, termasuk kebutuhan batiniah Bu Puspa. Hari Senin memang hari yang paling dibenci oleh kaum pekerja. Mobil mereka terjebak diantara banyaknya kendaraan yang lalu lalang di sepanjang Jalan Dago dan Jalan Siliwangi yang padat merayap. Hampir 30 menit waktu yang mereka habiskan untuk sampai kampus.
"
Dek, aku turun disini aja, kamu parkirkan di fakultas sebelah aja ya, jangan sampe ketahuan kalau kita barengan. Sama kalau di kampus biasa aja ya, disini hubungan kita dosen-mahasiswa" pesan Bu Puspa pada mahasiswa bimbingannya ini.
"
Oke... kalau di rumah hubungan kita apa kak ?" pancing Mufti.
"
Bye" ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Mufti, kemudian ia mencium pipi Mufti dan segera turun dari mobil.
Akhirnya ia mengarahkan mobil menuju parkiran fakultas sebelah. Setelah memarkirkan mobil dengan baik dan benar, Mufti menuju ke sebuah kantin yang terletak di luar kampus. Karena perpustakaan sendiri belum buka dan dealer vespa tempat motor Bu Puspa diservis pun demikian. Sehingga untuk menghabiskan waktu selama sejam ke depan, ia ingin menghabiskan waktu disana. Yah, siapa tahu ada orang yang bisa diajak ngobrol, pikirnya.
"
Bos, kan ngendi wae kowe ? Suwe banget kowe ngilang (Bos, dari mana aja kamu ? Lama banget kamu ngilang)" sapa penjual di kantin tersebut yang memiliki bahasa ibu yang sama dengan Mufti, sudah lama ia tak berjumpa Mufti.
"
Pak Pur, pripun kabaripun ? Tasih sugeng to pak ? (Pak Pur, bagaimana kabarnya ? Masih sehat to pak ?)" sapa balik Mufti pada penjaja yang disapa Pak Pur ini sambil menyalaminya.
"
Alhamdulillah, isih sehat aku. Kowe ning ngendi wae to le ? (Alhamdulillah, masih sehat aku. Kamu kemana aja to nak)" tanya Pak Pur penasaran.
Kemudian Mufti menceritakan alasannya tak terlihat batang hidungnya selama ini, pun ia juga bercerita kisahnya dalam dua tahun off dari kampus. Mereka pun bertukar cerita seperti kawan lama yang lama tak jumpa. Ya, memang bagi Mufti Pak Pur ini dianggap teman olehnya. Alasan pertama, karena sama-sama perantau dari eks-Karisidenan Surakarta. Alasan kedua, karena Pak Pur ini sering memberi kelonggaran pembayaran alias utangan. Toh, Mufti bukan tipikal orang yang membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya. Terlalu kolot jika jaman sekarang masih menggunakan sistem kasta seperti jaman dulu.
Jarum jam arloji di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 9.00. Mufti pun segera memesan ojek online untuk mengantarkannya menuju dealer Vespa. Setelah sampai dan membereskan urusan, Mufti mengendarai Vespa dengan tipe LX yang matic ini. Tentu tak mungkin Bu Puspa membeli dan menggunakan vespa klasik, pikirnya sambil mengedarai motor itu dengan riang. Motor yang harganya di atas dua puluh juta ini segera dibawanya menuju kampus.
Mufti pun memarkirkan vespa ini di parkiran Fakultas Hukum. Setelah itu vespa yang ada di depannya ia foto dan dikirimkan ke WA Bu Puspa, menunjukkan bahwa kendaraannya telah selesai diservis dan diambil. Dari kejauhan ia melihat sosok perempuan yang tak asing baginya.
Irma Anindya
"
Hai Irma" sapa Mufti sambil melambaikan tangan.
Irma pun menghentikan langkahnya, dan menoleh pada si penyapa, "
Hai juga Kak Mufti".
Mata Irma terlihat sembab seperti sehabis menangis semalaman. Segera ia menyusul Irma yang melangkahkan kaki menuju gedung fakultas.
"
Mau kemana dek ?" tanya Mufti pada perempuan cantik yang berjalan di sebelahnya.
"
Ke perpus kak" jawabnya singkat.
"
Aku ngikut ya" kata Mufti kali ini tak mendapat jawaban.
Keduanya menghadap laptop masing-masing. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka berdua, meskipun duduk bersebelahan. Mufti sebetulnya curiga ada sesuatu yang disembunyikan Irma, namun ia menunggu agar adik tingkatnya ini membuka obrolan untuk sekedar bercerita. Kalau solusi Mufti belum tentu bisa memberikan.
"
Aaahhhh.... Kesel !" teriak Irma meskipun tidak terlalu kencang namun menarik perhatian orang di sekitarnya.
"
Irma kenapa ?" tanya Mufti sambil menyentuh bahunya.
"
Aku mau cerita" balas Irma singkat.
"
Asem, ini pasti lagi marahan sama Rio. Kok jadi aku yang kena ya ?" kata Mufti dalam hati.
"
Ya udah deh, cerita di luar aja yuk. Sambil makan siang, kan bentar lagi mau jam istirahat perpusnya" ajak Mufti pada dara cantik ini.
Bagai seorang kakak yang
ngemong adik perempuannya kala badmood, Mufti membonceng Irma menggunakan vespa pinjaman. Meskipun tak berwajah rupawan seperti Nicholas Saputra, namun harus diakui disinilah letak pesona M. Ali Mufti. Bisa dibilang ia kalah rupo (paras), kalah bondo (kekayaan), kalah pangkat derajat (kedudukan/jabatan), tapi menang dungo (do'a) hehehe. Nggak juga sih. Kharismanya sebagai pria dewasa begitu terpancar, selain karena umurnya yang sudah menginjak 25 Tahun. Tercermin dari bagaimana ia mampu mendengarkan lawan bicara dengan baik dan bisa meredakan kekhawatiran siapa yang berkeluh kesah padanya. Mungkin Mufti ini laki-laki berumur 40 Tahun yang terjebak di raga lelaki berusia 25 Tahun, canda ding.
Motor dipacu Mufti menuju sebuah kafe baca yang terletak di Hegarmanah. Suasananya yang sejuk dan hening, jauh dari keramaian. Mereka memilih tempat yang ada di pojok halaman belakang agar bisa bercerita dengan leluasa.
Setelah minuman dan makanan telah diantar, Mufti membuka obrolan, "
Dek, kamu ini kenapa ? Coba cerita ke aku"
"
Lagi kesel sama Rio" jawab Irma tanpa menggunakan 'kak' atau 'aa' pada Rio.
"
Lho emang kenapa kok kesel ?" tanya Mufti mengenai masalah tersebut.
"
Rio bakal dimutasi ke Surabaya. Aku kan insecure gimana jalanin LDR, baru juga pacaran 6 bulan ada aja masalahnya. Terus waktu aku bilang ke dia soal itu, eh malah aku dikatain nggak dewasa. Kurang dewasa gimana coba aku teh ? Dia nggak hubungi aku selama beberapa hari aku nggak marah lho. WA cuma dibales seadanya juga aku bisa ngerti, kan dia agak sibuk. Malah yang lebih parah ya kak, pernah kita ngedate masak tiba-tiba dia kudu ke kantor ada urusan pekerjaan, padahal hari libur dan dia bilang lagi longgar" cerocos Irma padaku.
"
Aku takut diantara aku atau Rio ada yang nggak bisa commit jaga hubungan. Orang pacaran satu kota aja amburadul gini komunikasinya" sambungnya sinis.
"
Ada lagi yang mau disampaikan dek ?" tanya Mufti pada gadis cantik yang sedang meluapkan uneg-unegnya.
"
Itu dulu deh kak, aku mau denger pendapat kakak" ucap Irma.
"
Hmmm... gini dek, aku nggak memihak kamu atau Rio. Karena aku bukan pihak dalam masalah kalian. Terkait mutasi kita semua nggak bisa apa-apa termasuk Rio sendiri, itu kebijakan perusahaan ya. Kedua, terkait komunikasi kalian yang nggak terlalu baik, menurutku itu harus diobrolin. Pertanyaannya adalah apa udah ngobrolin ?" yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Irma.
"
Alasannya kenapa ?" lanjut Mufti bertanya bak seorang hakim yang menanyai terdakwa.
"
Lah biasanya dia kalau aku ngeluh jawabannya nggak enak. Semalem aku insecure malah dibilang nggak dewasa" jawab Irma dengan argumen yang cukup kuat.
"
Aku memang bukan ahli percintaan dek, wong aku ini jones hehe. Aku cuma menyampaikan pendapatku sebagai manusia biasa. Kalau bisa diterima silahkan kalau nggak bisa kamu terima ya udah abaikan aja. Menurutku cinta itu terbangun dari rasa saling percaya, rasa itu muncul diawali komunikasi yang baik. Tapi aku lihat ada faktor penghalang, yaitu kesibukan Rio. Selama ini komunikasi Rio kurang bagus mungkin karena lewat telepon, nggak ketemu langsung. Beda kalau ketemu langsung, keuntungannya bisa bangun suasana. Saranku kamu bisa hubungi dia buat minta ketemuan empat mata, kalau memang dia nolak ya kamu bisa ancam dia. Cuma inget, kamu harus pertimbangkan waktu yang layak, jangan waktu dia sibuk kamu minta ketemuan. Sama aja kamu maksa dia buat ngorbanin masa depan. Tapi cewek biasanya punya bargain lebih gede timbang cowok dalam urusan pacaran, makanya kamu bisa sedikit kasih ancaman. Toh yang ngejar-ngejar kamu si Rio kan ?" jelas Mufti panjang lebar.
Mendengar penjelasan Mufti yang bijak, ia hanya termenung mencerna kalimat per kalimat. Ekspresi wajahnya seolah berkata : "
Bener juga lu". Tangan Irma tiba-tiba menyentuh tangan kakak tingkatnya ini.
"
Iya kak, Irma ngerti. Kayaknya aku bakal lakuin saran Kak Mufti" tanggap Irma.
"
Kak kak, aku boleh ngomong sesuatu nggak ?" tanya Irma.
"
Apa tuh ?" tanya balik Mufti.
Kemudian ia mengambil nafas lalu mengeluarkannya, seolah yang akan diucapkan adalah hal yang serius dan memacu adrenalin, "
Sebenernya dulu aku pernah suka kakak"
WHATTTT ????? Batin Mufti bergolak bak Gunung Merapi pada saat erupsi. Mukanya memerah, tanda bahwa malu. Andai saja ia tahu dari dulu...
"
Duh sabar ini cobaan" batin Mufti.
Tapi ia mencoba tetap tenang agar tidak terlihat salah tingkah di depan gadis cantik yang ada di hadapannya ini, "
Kalau boleh tau sejak dan sampai kapan ?"
"
Sejak maba, kan kakak jadi Ketua Pelaksana ospek angkatanku. Kalau sampai kapan mungkin sejak kakak menghilang" jawabnya blak-blakan.
"
Ya sudah dek, aku cuma pengen tahu aja. Toh kamu sudah sama Rio, jalani aja apa yang sudah dimulai" ucap Mufti bersahaja.
"
Heeeii... aku pernah jadi timses kakak waktu nyalon jadi wakil ketua BEM. Suara paling signifikan dari angkatanku lho. Mantep nggak tuh ?" ujarnya sambil menaikkan alisnya sebelah.
"
Iya iya, makasih banyak Dek Irma. Kamu termantap pokoknya" sahut Mufti sambil mengangkat jempol.
Tiba-tiba ponsel Mufti berbunyi. Nama 'Bu Puspa' terlihat di screen handphonenya. Segera diangkat panggilan dari Bu Puspa.
"Iya bu, ada apa ?" ucap Mufti tak lupa dengan setting yang diperintahkan Bu Puspa saat di kampus.
"Kamu dimana ?"
"Lagi sama temen nih bu makan siang, ada apa ya ?"
"Nanti jam 1 ke ruang departemen ya. Kalau lagi sama Irma bilangin juga kalau dia harus dateng juga. Kan kalian saya masukin ke dalam tim penelitian"
"Baik bu, nanti saya segera kesana. Terima kasih bu"
"Okay"
Panggilan ditutup oleh Bu Puspa.
"
Makan dulu yuk, dari tadi ngobrol terus sampe lupa makan hehehe" ajak Mufti pada Irma.
Senyum pun mengembang di bibir Irma, "
Hehehe iya kak. Kuy" jawab Irma.
Setelah itu mereka berdua menuju kampus untuk mengikuti rapat tim penelitian. Keduanya pun berjalan ke ruang departemen, untung saja belum telat. Terlihat dua orang dosen muda yang masih baru, Yogi dan Fitria. Sebetulnya Mufti sudah kenal dengan Fitria karena satu angkatan dengannya, meskipun tidak akrab. Bayangkan woy, temen seangkatanmu udah dapet gelar S2 dan jadi dosen sementara dia S1 pun belum. Setelah anggota Tim Penelitian berkumpul, Bu Puspa memasuki ruang departemen. Ia memberi penjelasan tujuan dan point-point materi penelitian.
Fitriana Ambarini
Pun demikian dengan pembagian kerja dalam penulisan penelitian, baik Mufti maupun Irma mendapat porsi yang jauh lebih sedikit ketimbang anggota tim lainnya, mengingat mereka juga harus mengerjakan skripsi. Namun beda hal dengan penelitian lapangan, Mufti mendapatkan tugas paling banyak. Untuk pengambilan sampel di Bali ia akan berangkat dengan Yogi sementara di Jawa Tengah ia bersama Fitria. Bagi Mufti tak ada masalah manakala harus pergi di dua tempat, asalkan dibayari hehehe. Setelah itu pertemuan selesai, mereka berlima berpisah.
Sebetulnya tidak dengan Bu Puspa dan Mufti. Mereka hanya pura-pura saja, karena mereka berkendara beriringan. Mufti mengendarai vespa sedangkan Bu Puspa mengemudikan mobilnya. Keduanya pun sampai di rumah dan menanggalkan status dosen-mahasiswa. Aneh ? Memang.
Mufti pun masih sibuk mempelajari materi yang terkait penelitian. Sedangkan Bu Puspa telah usai mandi dan beristirahat di dalam kamar. Perasaan Irma yang baru terungkap sekarang membuat pemuda itu tak karuan. Berkali-kali ia gagal konsentrasi ketika tengah membaca referensi-referensi terkait penelitian.
"
Duh Gusti, kenapa cobaan-Mu seberat ini" teriak Mufti di dalam hati. Di satu sisi ia terkagum-kagum dengannya, tapi di sisi lain ia sadar bahwa gadis cantik itu merupakan pacar sahabatnya. Kombinasi kecantikan, kepolosan, dan kecerdasannya membuat junior Mufti 'berorasi nyaring'. Ingin memuntahkan hawa nafsu yang berbentuk cairan kental bernama sperma. Ini tak boleh dibungkam, harus disalurkan, tekad Mufti.
Diketuknya pintu kamar Bu Puspa dan tak dikunci. Terlihat di depan matanya bahwa Bu Puspa sudah larut dalam tidurnya. Daster minim yang dikenakan dosen pembimbingnya ini membuat juniornya 'berorasi makin lantang'. Ia melepaskan kaos dan celana beserta celana dalamnya. Dengan tubuh telanjang, ia dekati tubuh perempuan cantik ini dan digoyang-goyangkan tubuhnya, namun tidak bangun tanda bawa dia sudah masuk ke alam mimpi. Diturunkannya celana dalam yang dikenakan Bu Puspa, sehingga terpampang lah mahkota kewanitaannya. Dengan perlahan ia arahkan penisnya menuju lubang vagina dosennya. Tak semudah yang ia kira, saat akan mendorong penisnya penetrasi ke dalam liang surgawi berkali-kali penisnya meleset. Juniornya seperti hanya menggesek-gesek memek Bu Puspa.
Tiba-tiba kelopak mata Bu Puspa terbuka sedikit, "
Mufti kamu ngapain ?"
Mendengar itu sontak Mufti terkaget, "
Maaf kak, aku lagi pengen...." ucap Mufti memelas.
"
Udah sini...." dipegangnya penis mahasiswa bimbingannya dan dibimbing masuk menuju lubang surgawinya. Kepala penisnya sudah ada di dalam vagina Bu Puspa.
"
Jangan lama-lama ya... Aku capek" pinta Bu Puspa.
"
Iyaaa...." sahut Mufti sembari terus mendorong pinggulnya agar penisnya bisa penetrasi secara utuh di vagina dosennya yang masih kering.
Tak kehabisan akal, Mufti segera menyingkap tali daster Bu Puspa dan terpampanglah payudaranya yang terhitung besar untuk ukuran perempuan Indonesia. Dijilatinya puting berwarna merah kecoklatan ini sembari terus menyodokkan pinggulnya untuk maju. Memek Bu Puspa seperti memijat-mijat penis pemuda ini. Setelah mentok, Mufti baru memaju mundurkan pinggulnya untuk menggenjot vagina dosen cantik ini yang sudah mulai basah.
"
Mmmhhhh.....Uhhhhh...." desah Bu Puspa meski dalam keadaan setengah tertidur.
Terhitung sudah delapan kali sodokan dilancarkan Mufti. Kemudian ia menaikkan kaki kanan Bu Puspa di atas pundaknya. Memek Bu Puspa terasa makin menjepit kontolnya. Dengan tangannya yang aktif meremas-remas payudara kiri Bu Puspa, ia makin mempercepat tempo genjotannya.
"
Uuuhhhh....Uhhhh......Uhhhh......Mmmmmhhhhhh....." desah Bu Puspa menikmati permainan ini.
Merasa akan ejakulasi, Mufti segera mencabut penisnya dari liang surgawi dosennya ini. Segera ia kocok penisnya dengan cepat.
CROOTT CROOOTTT CROTTTT. Terhitung lima kali penisnya menyemburkan lahar di lantai kamar Bu Puspa. Dengan penuh tanggung jawab, ia membersihkan lantai yang dinodainya dengan tisu basah yang terletak di meja rias.
"
Mufti.... you shouldn't do that. You had rape me.... (Mufti, kamu seharusnya tidak melakukan itu. Kamu telah memperkosaku)" kata Bu Puspa kemudian tertidur lagi.
Waduh, batin Mufti panik. Mati lu muf ! Cobaan lagi buatmu ! Dalam hati ia memaki dirinya sendiri dengan segala macam
pisuhan.
Konak yo konak ning ojo konak-konak
BERSAMBUNG
________________________________________________________________________________
Semoga bisa menemani buka puasa bagi para suhu yang sedang berpuasa, sekian kultumnya hu
.
Mohon cendol dawet dan like agar ane lebih semangat nulis lanjutannya.
Matur sembah nuwun