Part 16
Malam itu aku memamerkan keperkasaanku. Bahwa dalam semalam aku sanggup 5 kali menyetubuhi dan 5 kali ngecrot di dalam memek Tante Surti. Dan entah berfapa kali Tante Surti orgasme dan orgasme lagi semalaman tadi
Sehingga keesokan harinya kami sama sama bangun terlambat. Lalu kami mandi bareng. Dan bisa saling menyabuni, sampai akhirnya sempat juga kontolku menerobos liang memek Tante Surti yang licin oleh air sabun.
Kami bersetubuh lagi di kamar mandi, meski dalam posisi berdiri. Dan aku sengaja menahan diri agar jangan ngecrot dulu, untuk diawet awet, karena tadi malam aku sudah ejakulasi 5 kali.
Tapi Tante Surti masih bisa mengalami orgasme untuk yang kesekian kalinya, aku tidak bisa menghitung lagi.
Yang jelas, setelah mandi sebersih mungkin, badanku terasa segar kembali.
Kemudian kami makan di resto hotel, karena kami sudah sama sama lapar.
Seusai makan, aku usul pada Tante Surti agar check out saja. Ternyata Tante Surti setuju. Mungkin karena sudah puas kuewe terus terusan semalam suntuk, lalu diewe lagi di kamar mandi tadi.
Beberapa saat kemudian, sedan hitamku sudah kuluncurkan meninggalkan hotel dan bahkan meninggalkan kota Solo.
Tante Surti tampak begitu ceria. Mungkin karena nafsu birahinya sudah terpuasi, akan mempertemukan putrinya pula denganku.
Di jalan tol menuju Semarang Tante Surti mengingatkanku, agar jangan bersikap “aneh” di depan putrinya nanti. Tentu saja aku menyetujui hal itu. Dengan rasa penasaran, karena ingin segera tahu seperti apa putri Tante Surti yang bernama Vivi itu.
Lebih dari dua jam aku mengemudikan mobilku untuk mencapai rumah Tante Surti di Semarang itu. Namun akhirnya tiba juga mobilku di pekarangan rumah yang tidak besar namun tidak kecil pula, di dalam kompleks perumahan yang lumayan tenang suasananya.
Aku duluan turun dari mobil, untuk membukakan pintu di sebelah kiri Tante Surti. Lalu kubimbing tanteku untuk keluar dari mobilku.
Lalu kuikuti langkah Tante Surti di teras menuju pintu depan.
Tanpa diketuk pintu depan rumah Tante Surti dibuka dari dalam. Seorang cewek bergaun rumah putih bersih, sebersih kulitnya, berdiri di ambang pintu depan. Lalu memburu Tante Surti, “ Tadinya kusangka Mama bakal lama. Ternyata sudah pulang lagi, “ ucap cewek yang berwajah cantik sekali itu sambil mencium tangan Tante Surti.
Tante Surti memegang pergelangan tangan cewek yang luar biasa cantiknya itu sambil berkata, “ Vivi … ayo kenalan dulu sama anak Bude Lies ini … yang namanya Bona itu. “
Cewek bernama Vivi itu memandangku dengan tersipu sipu. Namun lalu menjabat tanganku sambil menyebut namanya, “ Vivi … “
Aku pun menyebutkan namaku sambil menjabat tangan Vivi.
Jujur, aku sangat kagum menyaksikan kecantikan Vivi itu. Menurut penilaianku, kecantikan Vivi tidak kalah oleh artis artis yang sering tampil di televisi mau pun di media sosial. Aku pun lalu berharap, semoga Vivi setuju untuk dijodohkan denganku. Karena menurutku, akan sulit mencari cewek yang secantik Vivi itu.
Lalu kami bertiga masuk ke dalam rumah yang sederhana tapi tertata dengan rapih dan cantik itu.
Vivi disuruh duduk sesofa denganku, sementara Tante Surti duduk di sofa yang berhadapan denganku.
Vivi terlihat masih canggung dan malu malu duduk berdampingan denganku. Tante Surti pun berkata, “ Ini putra Bude Lies bernama Bona yang sering mama katakan itu Vi. Dia saudara sepupumu. Jadi jangan canggung canggung bersama dengannya. Kata mama sih kamu sangat cocok dengan Bona ini. Tinggal Vivi sendiri bagaimana ? “
Vivi cuma tersipu sipu dan tidak mengucapkan kata kata sepatah pun.
Aku mencoba ikut buka suara, “ SMAnya sudah selesai ? “ tanyaku.
“ Sudah Mas, “ sahutnya sambil menunduk dan memainkan kuku jari tangannya.
“ Terus … mau dilanjutkan ke perguruan tinggi atau ke KUA aja ? “ tanyaku.
“ Maunya sih kuliah dulu. Tapi yah, terserah Mama aja. “
“ Kuliah kan sudah punya suami juga bisa aja. Bahkan sudah punya anak juga bisa kuliah. “ kata Tante Surti.
Seperti memberanikan diri, Vivi memandangku sambil bertanya, “ Kalau kata Mas Bona harus gimana ? “
“ Mending nikah dulu, “ kataku sambil memegang tangan Vivi yang terasa dingin.
“ Bagaimana Bon ? “ tanya Tante Surti, “ Apakah sudah merasa cocok dengan Vivi ? “
Aku menyahut spontan, “ Cocok Tante. Untuk menikahinya pun siap. Mau seminggu lagi juga nikahnya siap. “
“ Nah tuh … Bona sudah siap menikah denganmu Vi, “ kata Tante Surti kepada putrinya, “ Apakah Vivi juga merasa cocok dengan Bona ? “
Vivi memandang ke arah mamanya sekejap, lalu mengangguk perlahan.
Meski tak mengucapkan kata kata sepatah pun, anggukan kepala Vivi itu membuat batinku berbunga bunga. Indah sekali rasanya.
“Nah … Bona menyaksikan sendiri kan, “ kata Tante Surti padaku, “ Jadi mulai saat ini Vivi sudah menjadi calon istri Bona. “
“ Iya Tante. “
“ Terus bagaimana rencana Bona selanjutnya ? “
“ Kalau Tante izinkan, aku mau membawa Vivi ke rumah Mamie. Karena nanti yang memutuskan rencana selanjutnya, adalah Mamie. “
“ Tante izinkan, “ sahut Tante Surti. “ Biar Bona dan Vivi makin dekat. Tapi restu Mamie pun harus kalian dapatkan. Mmm … Bona mau minum kopi ? “
“ Mau Tante. Tapi jangan dikasih gula, “ sahutku.
“ Iya, “ Tante Surti mengangguk. Lalu berdiri dan melangkah ke bagian belakang rumahnya.
Tinggal aku dan Vivi berdua di ruang tamu.
“ Anak muda zaman milenial semuanya berjalan cepat ya, “ kataku sambil memegang tangan Vivi dengan tangan kiri dan mengusap usapnya dengan tangan kanan.
Vivi menatapku dengan bola mata bergoyang. Sambil tersenyum manis … manis sekali senyum itu.
“ Mungkin juga karena kita ada hubungan family, “ ucap Vivi sambil menunduk.
“ Iya. Kakek nenek Vivi dari pihak Mama, adalah kakek nenekku juga dari pihak mamieku, “ ucapku.
“ Iya, “ ucap Vivi perlahan.
“ Aku bahagia sekali dengan suasana sekarang ini Vi, “ ucapku.
Vivi menyahut perlahan, “ Aku juga Mas. “
Tak lama kemudian Tante Surti muncul sambil membawa baki berisi secangkir kopi dan sepiring pisang goreng.
“ Kalau mau pulang tentu harus istirahat dulu, biar di jalan gak ngantuk nanti, “ kata Tante Surti sambil duduk lagi di sofa yang berhadapan denganku.
“ Gak usah Tante. Aku masih kuat kok. Kalau ngantuk pasti istirahat dulu nanti di jalan. “
“ Kalau makan sih mau ya. Nanti tante masakin seadanya. “
“ Mmm … kalau makan sih boleh lah, “ sahutku.
Tante Surti berdiri lagi, lalu melangkah ke dalam lagi. Mungkin akan memasak sesuatu untukku.
Tinggal aku berdua lagi bersama Vivi di ruang tamu.
“ Nanti mau punya anak berapa ? “ tanyaku pada Vivi.
“ Haaa ?! Nikah aja belum. Masa mikirin jumlah anak segala. “
“ Tapi kalau punya cita cita sih boleh, “ ucapku sambil memegang tangan Vivi dan meremasnya perlahan.
“ Terserah Mas Bona aja. “
“ Aku sih maunya punya anak sebelas, “ ucapku bercanda.
“ Wow … mau diapain anak segitu banyaknya ? “ Vivi terbelalak tapi dengan senyum manis dik bibirnya.
“ Mau bikin kesebelasan sepak bola. “
“ Berarti anaknya harus cowok semua dong. “
“ Hahahahaa … aku bercanda Vi. Punya anak sih dua orang juga cukup. Cowok satu cewek satu. “
“ Iya, “ Vivi mengangguk, “ Kirain beneran pengen punya anak sebelas. “
Aku mencium tangan Vivi berkali kali. Lalu berkata setengah berbisik, “ Kamu cantik sekali di mataku Vi. “
Vivi tersipu sambil menyahut perlahan, “ Mas Bona juga ganteng sekali di mataku … “
“ Ohya, Vivi sama sekali belum pernah punya pengalaman sama cowok ? “ tanyaku.
“ Aku belum pernah pacaran Mas. “
“ Aneh kedengarannya cewek secantik Vivi gak pernah pacaran. “
“ Aku kan ingat pesan Mama. Agar jangan pacaran dulu, takut salah langkah di masa remaja. “
2 jam kemudian aku sudah meluncurkan lagi sedan hitamku menuju ke daerah perkampungan tempat rumah megah Mamie berdiri. Maaf aku tak berani menyebut nama kampung itu. Hanya bisa menyebut berada agak jauh di utara Solo saja.
Vivi yang sejak tadi berada di samping kiriku, hanya bicara sepatah dua patah kata saja. Sehingga aku mengambil kesimpulan bahwa Vivi itu pendiam. Tidak terlalu suka ngomong kalau tidak ditanya.
Vivi pun tidak bertaqnya ketika aku tiba di Solo dan langsung memasukkan mobilku ke areal parkir hotel yang pernah kupakai check in bersama mamanya Vivi.
Jujur, aku ingin membuktikan keperawanan seperti yang sudah dikatakannya pada waktu menunggu mamanya masak tadi.
Di depan meja resepsionis hotel itu kuatanyakan apakah kamar nomor 301 kosong ? Ternyata kosong. Kebetulan.
Setelah berada di kamar bernomor 301 itu Vivi manut saja. Sepderti cewek yang sudah terhipnotis. Sehingga aku bertanya, “ Vivi tau di mana kita berada sekarang ? “
“ Di hotel, “ sahutnya.
“ Gak takut ? “
“ Tidak, “ Vivi menggeleng.
“ Apa yang menyebabkan Vivi berani dibawa check in di hotel ini ? “
“ Karena hatiku sudah menjadi milik Mas Bona. Dan aku yakin bahwa Mas Bona akan melakukan yang terbaik semua untukku. “
“ Seandainya aku ingin membuktikan keperawananmu di sini sekarang, bagaimana ? “
“ Silakan, lakukanlah yang terbaik untukku dan untuk Mas Bona juga. “
“ Jujur aku sudah berjanji pada mamamu, bahwa kalau aku sudah membuktikan Vivi ternyata benar masih perawan, besok pun aku siap menikahimu. Siap menjadi suamimu yang akan mencintai dan melindungimu seumur hidupku. “
Vivi memegang kedua tanganku. Menatapku dengan senyum manis di bibirnya, “ Silakan lakukan Mas. Aku juga sudah ingin membuktikan kesucianku pada Mas Bona. “
“ Kalau begitu silakan buka seluruh pakaianmu sendiri. Supaya aku yakin bahwa Vivi rela melepaskannya, tanpa paksaan dariku, “ kataku.
Vivi menatapku, lalu mengangguk. Lalu Vivi lepaskan busananya sehelai demi sehelai, sampai benar benar telanjang di depan mataku. Wow, Vivi bukan hanya cantik, tapi juga bertubuh nyaris sempurna di mataku. Kulitnya putih mulus, tanpa noda setitik pun. Tubuhnya tinggi langsing, namun memiliki sepasang payudara yang lumayan gede. Pinggangnya kecil namun bokongnya semok. Dan ketika aku melirik ke arah kemaluannya yang bersih dari bulu, aku tak sabaran lagi, untuk mengusap usap kemaluan Vivi sambil bertanya, “ Bersih sekali vaginamu Vi. Apakah ini diwax atau dilasser sampai tidak tumbuh rambut satu helai pun ? “
“ Gak diapa apain Mas. Sejak kecil sampai sekarang, tak pernah tumbuh rambut di sini, “ sahut Vivi malu malu.
“ Ooo, baguslah. Berarti Vivi dilahirkan sesuai dengan zamannya. Karena di zaman sekarang kaum wanita muda pada umumnya selalu mencukur jembutnya. “
Vivi cuma tersenyum. Lalu duduk di pinggiran bed sambil menutupi kemaluan dengan kedua tangannya.
Aku pun segera melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sampai sama sama telanjang bulat seperti Vivi.
Lalu aku naik ke atas bed dan menarik tangan Vivi, agar dia pun berada di tengah tempat tidur hotel ini. Dengan canggung Vivi merebahkan diri di sampingku.
Aku sudah menyiapkan lampu senter mini yang kucabut dari gantelan remote control mobilku. Lampu senter mini ini hanya sebesar coin, tapi lumayan terang lampu sorotnya. Karena itu lampu senter mini ini selalu tergantung bersamaan remote control mobilku yang keyless.
Tapi aku tidak langsung menyerang Vivi dan langsung memeriksa vaginanya dengan bantuan lampu senter mini ini. Karena biar bagaimana pun harus ada foreplay dulu, sampai Vivi horny berat nanti.
Karena itu aku mengawalinya dengan merayap ke atas badan putih mulus itu, untuk mendaratkan ciuman mesraku di bibirnya yang tipis dan agak merekah itu.
Awalnya Vivi hanya membiarkan bibirku bertempelan dengan bibirnya, tanpa bereaksi. Mungkin berciuman bibir pun tak pernah dialaminya. Tapi setelah lidahnya kusedot ke dalam mulutku, lalu kuelus elus dengan lidahku, Vivi memejamkan mata indahnya sambil mendekap pinggangku. Dengan suhu badan meningkat.
Aku sudah bicara pada Vivi, bahwa aku bisa membuktikan keperawanannya cuma dengan melihatnya. Karena aku sudah diberitahu oleh seorang teman seangkatan yang sudah jadi dokter. Karena itu Vivi terdiam pasrah ketika aku sudah menggunakan lampu senter mini yang kusorotkan ke kemaluannya yang sudah kungangakan.
Memang masih perawan menurutku. Ciri ciri keperawanannya masih lengkap.
Tapi aku tidak berhenti sampai di situ. Karena aku sudah gemes … ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Lalu tanpa keraguan sedikit pun mulutku mulai menyergap memek Vivi. Untuk menjilatinya habis habisan.
Menyadari apa yang tengah kulakukan, kedua tangan Vivi memegang kepalaku dan mengusap usap rambutku. Terkadang nafasnya pun tertahan tahan, sementara tubuhnya terkejang kejang.
“ Bagaimana perasaanmu sekarang ? “ tanyaku sambil menghentikan jilatanku, karena memek Vivi sudah sangat basah oleh air liurku.
“ Indah sekali, “ sahutnya, “ Lalu bagaimana dengan keperawananku ? Sudah Mas buktikan ? “
“ Sudah, “ aku mengangguk, “ Vivi masih perawan. “
“ Lalu … apakah keperawananku akan Mas ambil ? “
Tadinya aku memang ingin mengambil keperawanan Vivi. Itu pula sebabnya aku menjilati memek Vivi habis habisan. Untuk mempermudah penetrasi ke lubang perawannya.
Tapi entah kenapa, aku tidak tega melakukannya. Meski aku tahu Vivi sedemikian pasrahnya.
Mungkin malaikat mencegahku agar jangan berbuat dosa terus menerus. Sesekali apa salahnya berbuat kebaikan. Toh nanti juga Vivi akan menjadi milikku.
Jauh … jauh sekali aku berpikir. Dan berusaha menindas nafsuku sendiri, sekuat mungkin.
Akhirnya aku berkata, “ Nanti saja keperawanan Vivi akan kuambil setelah kita sah menjadi suami istri. Pada malam pertama, aku akan melakukannya. Agar pernikahan kita lebih suci. “
“ Aku sih merasa bahwa diriku ini sudah menjadi milik Mas Bona. Jadi apa pun yang Mas inginkan, lakukanlah yang terbaik bagi kita berdua. “
“ Iya. Justru yang terbaik bagi kita berdua, adalah melakukannya di malam pertama setelah kita disahkan sebagai pasangan suami istri. “
Vivi mengangguk angguk. Lalu merebahkan kepalanya di dadaku seraya berkata, “ Apa pun yang harus terjadi, akan kuikuti. Karena aku dalam waktu begini cepat sudah sangat mencintaimu Mas. “
Kemudian kami berpelukan dan sama sama tidur dalam keadaan sama sama tidak berpakaian, tapi terlindungi oleh satu selimut.
Tentu saja menguasai nafsu itu bukan hal yang mudah. Tapi aku berhasil melakukannya.
Bahkan keesokan paginya, ketika kami mandi bareng, aku tetap berusaha untuk menguasai nafsuku sendiri. Dengan mengatur nafas sebaik baiknya, seperti biasa kulakukan seperti aku masih aktif jadi murid di sebuah perguruan bela diri.
Setelah mandi, Vivi mengenakan celana jeans dan baju kaus putih. Aku pun mengenakan celana jeans dengan baju kaus hitam. Lalu berjalan menuju resto hotel, untuk menikmati sarapan pagi jatah untuk para tamu hotel. Beberapa pasang mata lelaki terpusat ke arah Vivi, mungkin karena melihat kecantikannya yang amazing. Mungkin juga mikir negatif, open BO dari mana nih, kok cantik banget ? Tapi aku sudah terbiasa menghadapi suasana seperti itu, karena sering juga membawa perempuan cantik ke hotel. Sehingga aku tak peduli dengan suasana seperti itu. Aku hanya berpikir, seandainya Vivi kudandani dengan pakaian glamor, pasti lebih banyak lagi mengundang perhatian orang.
Aku dan Vivi kompak, untuk menyantap bubur ayam sebagai salah satu hidangan breakfast yang disediakan resto hotel.
“ Setelah selesai sarapan pagi ini kita langsung check out aja ya, “ kataku, “ Biar cepat bertemu dengan Mamie. Udah lama kan gak ketemu Mamie ? “
“ Iya, “ sahut Vivi, “ Terakhir ketemu Budhe waktu aku baru kelas dua SMP. “
“ Berarti udah empat tahunan gak ketemu mamieku ya. “
Vivi mengangguk. Lagi lagi senyum manis tersungging di bibir tipis merekahnya.
Sejam kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju kampung tempat tinggal Mamie.
Begitu tiba di rumah Mamie, kulihat ibu kandungku itu sedang berada di teras depan, sambil memperhatikan pot pot bunga yang berderet itu. Dan ketika melihat aku datang bersama Vivi, Mamie tampak terkejut. Memandang Vivi sambil bertanya, “ Ini Vivi ? “
“ Iya Budhe, “ sahut Vivi sambil mencium tangan Mamie.
“ Waduuuuh … kamu jadi semakin tinggi dan cantik gini Vivi, “ ucap Mamie diikuti dengan ciuman di sepasang pipi Vivi. Lalu menuntunnya ke dalam rumah.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan Mamie saat itu. Yang jelas aku menyaksikan perlakuan lembut Mamie kepada Vivi yang sudah dijodohkan sebagai calon istriku itu.
“ Jadi bagaimana ? “ tanya Mamie sambil memandang ke arahku ketika kami bertiga sudah duduk diruang keluarga.
“ Apanya yang bagaimana Mam ? “ aku balik bertanya.
“ Kalian sudah sepakat untuk didampingkan sebagai suami istri ? “ Mamie pun balik bertanya.
“ Udah, “ sahutku, “ Makanya Vivi diajak ke sini juga, karena sudah sama sama siap untuk menikah. “
“ Syukurlah, “ gumam Mamie, “ Jadi tali persaudaraan kita akan semakin erat kelak. “
“ Lalu di mana Mamie mau menikahkan kami ? “ tanyaku.
“ Tentu saja harus di Semarang. Tapi biayanya mamie yang akan menanggungnya. Kasian kalau tantemu harus ikut menanggungnya. “
“ Sekarang istirahatlah dulu, “ kata Mamie lagi, “ Tempatkan Vivi di kamar yang di sebelah kamarmu itu Bon. “
“ Iya Mam, “ aku berdiri, lalu menjinjing tas pakaian Vivi dan mengajaknya mengikutiku.
Lalu kubuka pintu kamar yang berdampingan dengan kamarku, kamar yang pernah dipakai oleh Tante Surti, kali ini untuk Vivi.
“ Di sini kamar untuk Vivi. Kamarku di samping kamar ini. Jadi kalau memerlukanku, tinggal ketuk saja pintu itu, “ kataku sambil menunjuk ke pintu yang menghubungkan kamar Vivi dengan kamarku.
Vivi mengangguk sambil tersenyum. Lalu kukecup bibirnya, kuusap usap rambutnya. Dan kutinggalkan Vivi di kamar itu untuk menghampiri Mamie yang masih duduk di sofa ruang keluarga.
Ternyata Mamie sedang menelepon Tante Surti : “ Iya Surti. Pokoknya semua biaya aku yang nanggung. Gak usah pesta besar besaran. Yang penting keluarga kita kumpul semua. “
Setelah hubungan dengan Tante Surti ditutup, Mamie menoleh padaku. Dan berkata, “ Kalau kamu mau pernikahanmu dengan Vivi dilaksanakan secara besar besaran, transfer aja dananya ke Tante Surti. Tapi kalau mau dilaksanakan secara sederhana, mamie yang akan menanggungnya semua. “
“ Aku juga tak ingin pesta besar besaran. Tapi aku harus menjumpai Tante Tari dulu Mam. Karena biar bagaimana Tante Tari itu bossku juga. Ketiga perusahaan yang didirikan di Jogja itu sepenuhnya dimodali oleh Tante Tari. “
“ Vivi mau dibawa ? “ tanya Mamie.
“ Nggak. Biar aja dia israhat dulu sepuasnya. “
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku lagi. Menuju Jogjakarta. Menuju rumah Tante Tari yang megah itu.
Tanteku yang hanya lebih tua setahun dariku itu dan tak kalah cantik dari Vivi itu, menyongsong kedatanganku di ambang pintu depan dengan senyum ceria. Dengan pelukan hangat dan menarikku ke dalam ruang keluarga yang sunyi sepi.
“ Kok sepi. Ke mana Tante Artini ? “ tanyaku sambil duduk di sofa ruang keluarga.
“ Lagi betulin rumah kosnya. Sudah banyak yang bocor katanya, “ Tante Tari duduk di atas kedua pahaku, sambil menatapku dengan sorot kangen.
“ Udah diperiksa ke dokter ? Beneran hamil ? “ tanyaku sambil mendekap pinggang rampingnya.
“ Udah. Tapi malah dikasih obat pelancar datang bulan, “ sahutnya.
“ Berarti Tante belum hamil ? “
“ Belum. Kata dokter harus sabar, karena aku dinyatakan subur. Mungkin sekarang harus dikenyangin dulu sama pangeranku yang ganteng abis ini, “ ucap Tante Tari sambil mencubit hidungku.
Nafsuku yang ditindas di hotel bersama Vivi, mungkin sekarang waktunya untuk dilampiaskan di dalam memek Tante Tari yang kelihatan sudah kangen berat padaku ini. Karena ketika masih duduk di pangkuanku, ketika kedua lenganku masih mendekap pinggangnya, bibirku dipagut ke dalam ciuman dan lumatan hangatnya.
Tangan kananku pun diam diam menyelinap ke balik daster sutra tipisnya. Memijat mijat bokongnya. Dan ternyata Tante Tari tidak mengenakan celana dalam.
Sehingga aku pun menyembulkan kontolku setelah celana jeans dan celana dalam kuturunkan.
Kontolku seperti sudah hapal jalan menuju celah surgawi Tante Tari. Sementara Tante Tari pun seperti mengerti apa yang akan kulakukan.
Dia memegang leher kontol ngacengku, lalu mengangkat bokongnya sedikit, sampai celah memeknya menempel di puncak kontolku. Dia berhasil melakukannya sendiri tanpa kubantu. Berhasil membuat kontolku melesak ke dalam memeknya yang mulai diturunkan.
Lalu mulailah Tante Tafri beraksi. Mengayun bokongnya naik turun, sehingga liang memek sempitnya menggesek gesek dan membesot besot kontolku dengan lincahnya.
Oooh … ini indah sekali. Bahwa nafsu birahiku yang kutindas, kali ini akan kulampiaskan bersama Tante Tari yang cantik dan usianya hanya setahun lebih tua dariku ini. Padahal dia masih mengenakan daster sutra tipisnya yang berwarna kuning muda itu, sementara aku pun hanya memelorotkan celana jeans dan celana dalamku sampai di lutut.
Meski Tante Tari masih mengenakan daster sutranya, aku masih bisa menyelinapkan kedua tanganku ke dalam daster itu, untuk meremas remas bokongnya, pinggangnya, punggung dan bahunya. Aku pun masih bisa menciumi bibirnya, menjilati lehernya yang mulai berkeringat, disertai gigitan gigitan kecil yang tak meninggalkan bekas.
Tante Tari pun makin gesit mengayun bokongnya, sehingga kontolku semakin tergesek gesek dan terbesot besot oleh liang memek sempitnya.
Tapi hanya belasasn menit Tante Tari bisa beraksi di atas pangkuanku. Lalu ia merintih, “ Booonaaa … aku mau lep …lepassssss …. “
Lalu ia terdiam lemas di atas pangkuanku. Kubiarkan dia menikmati orgasmenya selama beberapa detik. Kemudian terdengar suaranya, “ Pindah ke kamar aja yuk. “
“ Iya, “ sahutku sambil membiarkan Tante Tari mengangkat bokongnya sehingga kontolku terlepas dari liang tempiknya yang sudah basah itu.
Lalu kuikuti Tante Tari yang sudah duluan masuk ke dalam kamarnya. Di situlah ia melepaskan daster sutra kuning mudanya, sehingga tubuh indahnya tak tertutup sehelai benang pun lagi.
Aku pun menanggalkan celana jeans dan baju kausku, lalu juga celana dalamku. Sementara Tante Tari sudah duluan celentang di atas tempat tidur. Aku pun naik ke atas bed dan menerkam tanteku dengan nafsu yang masih menggebu gebu.
Lalu kami bergumul dengan hangatnya. Terkadang aku di bawah, Tante Tari di atas. Di saat lain aku yang di atas dan Tante Tari di bawah.
Sampai pada suatu saat kontolku sudah melesak masuk lagi ke dalam liang memek Tante Tari dalam posisi missionary. Aku di atas, Tante Tari di bawah, sesuai dengan keinginannya.
Aku pun menyukai posisi ini. Karena aku bisa mengentot tanteku sambil meremas sepasang toketnya yang terasa masih padat dan kencang. Maklum dia belum pernah hamil dan melahirkan.
Dalam posisi ini pula aku bisa menjilati lehernya. Dan ini yang paling disukai oleh Tante Tari. Bahkan terkadang dia suka minta lehernya dicupang, sambil dientot dengan gerakan yang slow.
Itulah yang kulakukan setelah agak lama aku tenggelam dalam kesibukan.
Bahkan kali ini aku mengentotnya sambil menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringat, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.
“ Kamu selalu bisa membuatku terlena dalam kenikmatan Sayang, “ ucap Tante Tari ketika aku sedang mengentotnya sambil mencium dan melumat bibirnya, sementara tangan kananku asyik meremas remas toket kirinya.
Sengaja awalnya aku mengayun kontolku dalam gerakan perlahan. Tapi setelah Tante Tari mulai mendesah dan merintih rintih histeris, aku pun mempercepat entotanku.
“ Bonaaa Sayaaaang … seandainya kamu bukan keponakanku, pasti aku akan minta dinikahi olehmu. Ooooh … Booonaaaa … ini luar biasa enaknya Booon … oooh ….Booonaaaaa … usahakan lepasin bareng Bon … biar nikmat … “
“ Iya Tante … “ sahutku sambil menggencarkan entotanku. Sementara tubuhku sudah bermandikan keringat.
Cukup lama aku mengentot tanteku dalam posisi missionary ini. Sampai akhirnya kudengar suara rintihannya, “ Aaaaaa … aaaaaa … aaaaaaah … aaa … aku udah mau lepas Bon … ooooohhhhh … ayo barengin Boooon … “
Kebetulan aku pun memang sudah memasuki detik detik krusial. Maka dengan sepenuh gairah kuayun kontolku secepat mungkin, sementara Tante Tari sudah mulai klepek klepek seperti ayam sekarat. Dan ketika Tante Tari menggeliat lalu mengejang sekejang kejangnya, aku pun membenamkan kontolku sedalam mungkin, sampai menabrak dan mendesak dasar liang memek tanteku.
Tante Tari terpejam, sementara liang memeknya terasa berkedut kedut indah. Kontolku pun mengejut ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crottt … croooooooootttt … crettttcroottt … crooottt … crettt … croooooooooottttttt …
Lalu aku terkapar di atas perut Tante Tari. Dengan tubuh sama sama bermandikan keringat.
Tante Tari pun terpejam beberapa saat. Kemudian ia mencium bibirku dan berkata perlahan, “ Terima kasih sayangku. Kehadiranmu selalu membangkitkan semangat hidupku. “
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu pada Tante Tari. Ingin melaporkan masalah frencana perkawinanku dengan Vivi. Tapi aku masih menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya.
Ketika aku sedang mandi bareng dengan Tante Tari, barulah aku mengatakannya di dalam kamar mandi, “ Tante Surti dan Mamie sudah sepakat untuk menikahkanku dengan anak Tante Surti yang bernama Vivi itu Tan … “
“ Iya … gak apa apa. Yang penting kamu harus menggauliku paling sedikitnya seminggu dua kali. Dan perusahaan kita itu harus terus dikembangkan, “ sahut Tante Tari.
“ Tentu saja Tante. Soal itu sih pasti kulaksanakan. Karena biar bagaimana Tante ini sudah menjadi bagian dari hidupku. Sementara perusahaan itu akan kukembangkan terus. Bahkan aku sedang punya rencana untuk membuka kantor di Jakarta, supaya perkembangannya lebih pesat. “
“ Iya, “ Tante Tari mengangguk, “ Aku sudah seratus persen percaya sama kamu Bon. “
Setelah itu Tante Tari berjongkok di depanku. Untuk menyepong kontolku. Ternyata dia masih menginginkannya lagi.
Dan setelah kontolku ngaceng lagi, aku pun mulai mengentotnya lagi. Sambil berdiri di dalam kamar mandi ini …