Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Blurry Eyes

Asyik asyik ada kelanjutan cerita teh tessa lagi, tongkrongin ah..., semoga happy ending meskipun banyak prahara nya.

Sehat selalu, dan RL nya selalu lancar mang
 
nah ini ni yang pasti bikin baper:((
Yah.. mungkin itulah ciri khas, Om.
Kalau nggak baper, ya nggak sesuai dengan karakter cerita Praharabuana :)
 
Asyik asyik ada kelanjutan cerita teh tessa lagi, tongkrongin ah..., semoga happy ending meskipun banyak prahara nya.

Sehat selalu, dan RL nya selalu lancar mang
Aamiin... terima kasih doanya.. :)

Ceritanya akan berakhir indah, kok.
 
DUA


Storm Advert, keesokan harinya,


Kantor yang bergerak di bidang advertising, sesuai dengan embel-embel pada nama belakangnya itu, masih sepi. Hanya ada seorang sekuriti dan tiga orang pegawai yang duduk-duduk di sebuah bangku kayu panjang di depan pos keamanan. Tiga orang karyawan tersebut, adalah Trias, Kang Recky dan Kang Yadi. Mereka bertiga adalah para bike to worker, sekaligus hanya mereka bertiga, yang rutin bersepeda ke tempat kerja.

Secara kebetulan pula, mereka tergabung di dalam komunitas sepeda yang sama. Sudah banyak bike touring event yang mereka lakoni bersama. Salah satu yang paling berkesan, adalah ketika mereka menempuh total jarak hingga lebih dari 1.200 kilometer, jarak pergi-pulang antara Bandung dan Kediri, demi menghadiri acara Jambore Sepeda di salah satu kota di Jawa Timur itu.

Yang paling diingat, adalah saat Trias terjatuh di perjalanan pulang, kurang dari 20 kilometer menjelang titik finish. Insiden yang mengakibatkan kepanikan bagi para rekan-rekan seperjalanannya, juga untuk Suzie, sang calon istri. Ya, bagaimana tidak? Posisi Trias sebagai sweeper di rombongan tersebut, membuatnya harus tetap mengayuh sepeda di posisi terbelakang. Alhasil, tak ada satu pun rekannya yang menyadari, bahwa Trias terjatuh.


"Boleh aku bertanya?" ujar Kang Yadi.

Trias menatap Kang Yadi. "Soal apa?"

"Perihal sekretaris baru kita," jawab Kang Yadi. "Ada hubungan apa, antara kamu dan dia?"

"Sesuatu di masa lalu si Néng," tutur Trias. "Aku hanya terbawa-bawa, karena si Néng adalah istriku."

"Sesuatu di masa lalu, antara Néng Suzie dan Tessa?" kali ini, Kang Recky yang bertanya. "Sesuatu seperti apa?"

"Aku nggak bisa menceritakannya," ucap Trias, sambil tersenyum. "Yang pasti, saat ini, masalah itu udah selesai."

"Aku mengerti," Kang Recky ikut tersenyum. "Buktinya, kemarin aku melihat interaksi di antara kamu dan Tessa berjalan wajar. Nggak terlihat kecanggungan atau apapun itu."

Trias mengangguk. "Begitulah, Kang."


Sepuluh menit berselang, wanita yang menjadi topik pembicaraan di antara ketiga pesepeda itu muncul. Di kejauhan, mereka telah dapat melihat sungging senyum di bibir Tessa, sang sekretaris barus. Senyum yang manis, sangat manis.

"Berani taruhan?" ucap Kang Yadi pelan, tanpa sedikit pun menatap ke arah Tessa. "Kang Tata pasti jatuh hati pada senyuman Tessa."

"Juga pada matanya yang indah," tambah Kang Recky.

Trias nyaris tersedak menahan tawa.


Tak lama, Tessa benar-benar melintas di hadapan mereka.

"Trias," sapanya, lengkap dengan senyumannya yang manis itu. Lalu menatap Kang Yadi dan Kang Recky, bergantian. "Bapak-bapak."

Trias, Kang Yadi dan Kang Recky menganggukkan kepala sambil balas tersenyum.

"Rajin benar Bapak-bapak ini," ucap Tessa. "Sepagi ini, udah nongkrong di sini."

"Téh Tessa juga rajin," balas Trias.

"Kepagian, Trias," Tessa tertawa kecil. "Aku belum bisa mengatur waktu yang pas. Maklum, baru hari kedua."

Ketiga pria di hadapannya juga tertawa.

"Kalau kami bertiga," tutur Kang Recky. "Memang harus datang lebih pagi. Maklum, kami harus udah selesai mandi sebelum para pegawai mulai berdatangan."

Kening Tessa berkerut. "Maksudnya?"

"Kami bertiga ini bike to work, Téh," jelas Trias, menyadari sirat bingung di wajah manis Tessa.

Tessa mengerjap takjub. Dan ia tampak makin takjub, saat secara sekilas Trias memberitahu bahwa mereka tergabung di dalam komunitas sepeda yang sama.


Selesai perbincangan tersebut, Tessa pamit untuk masuk bangunan kantor lebih dulu. Tinggallah Trias, Kang Yadi dan Kang Recky.

"Aku makin yakin kalau Kang Tata akan jatuh hati pada Tessa," ujar Kang Yadi.

"Setuju," timpal Kang Recky. "Ada sesuatu yang menarik pada diri Tessa, selain senyum manis dan mata indahnya."

Trias hanya tersenyum penuh makna.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Segera setelah jam kerja dimulai, pada pukul delapan itu, Trias dipanggil menghadap Kang Tata di ruangannya.

"Ada apa, Kang?" tanya Trias. "Pasti soal..."

"Tepat sekali," potong Kang Tata. "Ini tentang... hmm... bisa kamu tutup dulu pintunya, Lur?"

Trias terkikik, sambil bangkit untuk melaksanakan perintah atasannya.


Sepuluh detik kemudian, Trias telah kembali duduk di seberang meja, tepat di hadapan Kang Tata.

"Kenapa Akang meminta bantuan aku?" tanyanya. "Di antara tiga pegawai yang terdekat dengan Akang, aku adalah yang termuda."

"Iya, termuda," ulang Kang Tata. "Tapi, track record kamu yang paling mentereng."

"Mentereng?" Trias tergelak. "Dari sisi mana Kang Tata menilainya?"

"Kamu berhasil merebut hati wanita semolek Néng Suzie," alasan Kang Tata. "Mengalahkan pesaingmu yang bermodal lebih tinggi."

Trias tertawa lagi.

"Semua itu udah membuktikan kalau kamu punya sebuah modal kuat dalam bentuk abstrak," lanjut Kang Tata. "Dan Néng Suzie terpikat oleh sesuatu yang abstrak itu."

"Dengan kata lain, Akang mau belajar dari aku, tentang cara mendekati wanita?" tebak Trias. "Dalam hal ini, Téh Tessa?"

"Aku masih lajang, dia juga," ucap Kang Tata. "Bukan hal yang salah, 'kan?"

"Iya, sih..." gumam Trias. "Tapi, kenapa harus belajar dari aku?"

"Karena Néng Suzie adalah bukti sahih keberhasilanmu dalam urusan percintaan," tegas Kang Tata. "Itu adalah kemenangan yang gemilang, Lur!"

Lagi-lagi, Trias tertawa.


Kang Tata mungkin melupakan fakta bahwa sesungguhnya Suzie telah menaruh hati sejak kali pertama berjumpa dengan Trias. Usaha Trias berikutnya, hanyalah faktor kecil yang memuluskan langkah lelaki itu. Namun, jika ada yang harus dipelajari dari sosok Trias, adalah kejujurannya. Ya, berkali-kali Suzie berucap, kejujuran Trias itulah yang begitu memikat hatinya. Dan Kang Tata tahu tentang itu.


"Ajari aku tentang kejujuran," minta Kang Tata.

"Akang masih merasa belum bisa jujur?" tanya Trias.

Kang Tata hanya tersenyum.

"Kejujuran paling mendasar," ujar Trias. "Adalah tentang perasaan Akang. Hmm... Akang udah melupakan kisah dengan... siapa?"

"Seseorang yang kuajak menikah, tapi nggak kunjung memberikan jawaban," jawab Kang Tata.

"Masih nggak mau menyebutkan nama, ternyata," tanggap Trias, sambil kemudian tertawa.

"Namanya nggak penting," ucap Kang Tata. "Tokh, meskipun kusebutkan, aku yakin, kamu nggak mengenal dia."

"Oke," Trias mengangkat kedua tangannya sebatas dada. "Itu hak Akang. Tapi..."

"Aku masih sering mengingatnya," potong Kang Tata. "Wajarlah, karena perasaanku nggak sesederhana mengucapkan alfabet ke-13."

Trias sontak menghitung 'alfabet ke-13' dengan kesepuluh jari tangannya.

"Nggak usah dihitung, Lur," cetus Kang Tata. "Kalau kamu hitung, 'alfabet ke-13' jadi bukan sesuatu yang sederhana lagi."

"Iya," Trias nyengir. Lalu bergumam pelan, "Huruf 'M'."

Kang Tata melotot.


Trias merenung sejenak, sebelum lalu berkata,

"Aku akan mencoba membantu Akang."

"Caranya?" tanya Kang Tata.

"Nanti aku pikirkan lagi," jawab Trias.

"Bukankah kamu udah berpengalaman?" cetus Kang Tata. "Yaa... berdasarkan pengalamanmu mendapatkan balasan cinta Néng Suzie."

"Beda orang yang dihadapi, pastinya harus beda trik," tutur Trias. "Aku tahu sifat si Néng, jadi udah mengerti maunya dia. Tapi kalau..."

Bunyi pintu yang diketuk dari luar, menghentikan ucapan Trias.


"Masuk," ucap Kang Tata, mempersilakan.

Tak lama, pintu dibuka. Kang Tata dan Trias sama-sama melemparkan pandangan ke arah pintu ruangan. Tampaklah sosok Tessa.

"Aku minta waktu sebentar, Kang," ujar Tessa. "Boleh?"

Kang Tata menjawab dengan anggukan kepala, ditambah senyuman takzim.

"Berarti, obrolan kita dilanjutkan nanti, Kang," kata Trias.

"Oke," sanggup Kang Tata. "Yang penting, kamu udah menyanggupi dan mengerti."

Trias mengedipkan kelopak mata kirinya, lalu bangkit.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Jadi, semua ini mengenai kebingungan kamu soal job description sebagai sekretaris?" tebak Kang Tata.

Tessa mengangguk, sambil sedikit menundukkan kepala.

"Kamu sama sekali nggak mengerti tugas seorang sekretaris?" tanya Kang Tata.

Tessa mengangguk lagi. "Sedikit nggak mengerti. Bukan sama sekali nggak mengerti."

"Kalau tugas sekretaris di kelas semasa sekolah atau kuliah?" tanya Kang Tata lagi. "Kamu mengerti, 'kan?"

Tessa melayangkan pandangannya mengelilingi ruangan. "Aku nggak melihat papan tulis dan kapurnya sebagai media, Kang."

"Kamu..." Kang Tata tertawa geli. "Ternyata bisa bercanda juga."

Tessa hanya tersenyum.

"Dan kamu," sambung Kang Tata. "Ternyata manis juga."

Gestur wajah Tessa sontak berubah.

"Bolehkah kuajak kamu makan siang bareng?" lanjut Kang Tata.

Kening Tessa berkerut. "Hanya karena aku manis, Kang Tata tiba-tiba mengajak aku makan siang bareng?"

"Nggak, Tessa," Kang Tata menggeleng cepat. "Bukan itu alasannya. Dan rasanya, kamu juga pasti nggak mau kalau alasanku mengajak kencan hanya semata karena ketertarikan fisik."

"Kencan?" Tessa menatap Kang Tata heran. "Bukankah Kang Tata hanya mengajak aku makan siang bareng?"

Kang Tata terdiam.


Wanita yang tampak lembut seperti dia, batin Kang Tata. Mahir benar men-skakmat lelaki!

Namun, sebersit kesan di hatinya justru merasa tertantang.

Aku nggak mungkin kalah hanya oleh skakmat dalam bentuk kata-kata, lanjut hatinya. Hanya oleh kata-kata. Tokh, di masa lalu, aku pernah di-skakmat oleh sikap kejam seseorang. Ini mah nggak ada apa-apanya.


"Kenapa diam, Kang?" tanya Tessa, menatap Kang Tata takut-takut. "Ada ucapan aku yang salah?"

Kang Tata tersenyum dan menggeleng. "Nggak ada yang salah. Aku hanya..."

"Heran?" potong Tessa menebak. "Heran karena ternyata aku bisa bermain dengan kata-kata?"

Kang Tata nyengir.

"Nggak usah diambil hati, Kang," sambung Tessa. "Aku cuma bercanda. Dan ternyata garing."

Kang Tata tertawa renyah.


Lalu mereka saling diam lagi, agak lama. Hingga akhirnya Tessa tiba-tiba berdiri, seolah mengembalikan kesadaran Kang Tata bahwa situasi diam tersebut bukanlah hal yang nyaman.

"Udah selesai menyampaikan unek-uneknya?" tanyanya.

Tessa menjawab dengan anggukan kepala. "Jadi, aku minta izin kembali ke ruangan aku."

"Soal ajakan makan siang bareng, gimana?" tanya Kang Tata lagi. "Kamu belum memberikan jawaban, lho."

"Hanya makan siang, ya?" seloroh Tessa.

"Kamu mau lebih?" tantang Kang Tata.

Tessa menggeleng, meski dengan wajah sedikit tersipu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tessa menghempaskan bokong di atas kursi empuknya.

Maaf, aku harus menggeleng, Kang, batinnya. Aku harus menjaga harga diri. Aku bukan ABG 'jaman now' yang bisa dengan mudah menerima ajakan kencan dari seorang lelaki yang baru dua hari dikenalnya. Meskipun lelaki itu adalah atasannya.

Ia tahu, usianya sudah melewati tahun-tahun 'keemasan'. Ia tahu, usia 35 tahun dengan status 'belum menikah' adalah sesuatu yang mengkhawatirkan, baik baginya atau pun juga untuk orang-orang di sekelilingnya. Dan ia tahu, mungkin predikat 'perawan tua' mereka sematkan pada dirinya, meski tak pernah sekali pun terlontar secara langsung di hadapannya.

Namun, dengan segala kekhawatirannya tersebut, bukan berarti Tessa harus merendahkan dirinya dengan menerima ajakan kencan begitu saja. Terlebih, Kang Tata, lelaki itu, juga berasal dari generasi yang tak jauh berbeda dengannya. Generasi yang mengenal wanita sebagai makhluk dengan harga diri tinggi. Makhluk yang tetap malu-malu, meski sesungguhnya sangat mau. Makhluk yang menjadikan sikap gengsi sebagai 'pakaian'.


Belasan tahun lalu, sikap gengsi tersebut pernah membuat dirinya terpuruk. Dibalut dengan rasa khawatir, plus rasa tak percaya diri dalam 'bersaing' dengan seorang adik angkatannya yang secara fisik lebih unggul, Tessa harus rela menjauh dari seseorang yang dicintainya. Seseorang yang pernah menjadi lelaki yang sangat dicintainya. Belum pernah ada yang dicintainya, melebihi cinta Tessa terhadap lelaki tersebut. Termasuk juga Ivan, lelaki yang pernah menjadi calon suaminya itu.

Rasa gengsi, khawatir dan tak percaya diri itu, membuatnya memutuskan untuk pergi. Niat awalnya, hanya untuk sementara. Hasil akhirnya, hati Tessa dan lelaki itu benar-benar tak pernah 'berjumpa' kembali. Segala rasa bertendensi 'minor' tersebut, menjadi penyebab kesendirian Tessa hingga seusia kini, meskipun tidak secara langsung.

Lalu, kenapa saat ini ia memilih untuk kembali memunculkan rasa bertendensi 'minor' itu, saat berhadapan dengan Kang Tata? Jawabannya, kembali lagi, karena gengsi adalah 'pakaian' makhluk bernama wanita.


Lamunan Tessa buyar, ketika menyadari seseorang berdiri di ambang pintu ruangan kerjanya yang cukup mungil itu.

"Ada apa?" tegurnya, sambil tersenyum.

Trias, seseorang tersebut, malah menempelkan jari telunjuk kanan pada bibirnya. Lalu melangkah masuk, sambil sesekali melemparkan pandangan ke arah sekelilingnya.

"Khawatir ruangan ini disadap, ya?" kelakar Tessa.

Trias terkekeh, sembari mengangguk. "Bos kita di sebelah, terkadang terlalu kepo, Téh."

"Jangan sembarangan!" umpat Tessa dengan suara agak lirih. "Nanti kamu dipecat, lho."

"Nggak akan," ujar Trias tenang, sambil kemudian duduk di hadapan Tessa. "Kang Tata nggak akan pernah sembarangan memecat karyawan, kecuali kalau kita dipergoki berselingkuh dengan kakeknya."

Tessa menahan tawa. "Kakeknya?"

"Itu berlaku untuk karyawan lelaki," lanjut Trias. "Kalau bagi karyawan wanita, seperti Tétéh, jangan pernah dipergoki berselingkuh dengan istri kakeknya tersebut."

Tessa tertawa tertahan. "Kalau ternyata Kang Tata nggak berhasil memergoki?"

"Situasi aman," jawab Trias, dengan senyum lebar mengembang di wajahnya. "Silakan lanjutkan."

"Jadi, perselingkuhan adalah hal yang lumrah, selama nggak ketahuan," tanggap Tessa. "Hmm... andai perselingkuhan itu nggak kepergok, pasti aku udah menikah sejak beberapa tahun lalu. Menikahi lelaki peselingkuh."

Senyum lebar di wajah Trias sontak lenyap.


Tessa menyadari sikap Trias yang mendadak diam itu, juga menyadari penyebabnya. Dan ia pun menyadari, obrolan bertema perselingkuhan memang berpotensi besar memicu ingatan buruk yang melingkupi dirinya, Trias dan Suzie.

Kamu yang memulai duluan, Trias, batinnya. Salahnya aku, malah melayani.


"Aku siap membantu kalian," cetus Trias, tiba-tiba memecah keheningan. "Mmm... sebagai penebusan dosa masa lalu si Néng. Dan... sebagai loyalitas pegawai terhadap atasannya."

"Membantu kami?" Tessa mengerutkan kening. "Kami? Aku dan siapa?"

Trias malah tersenyum, sebelum kemudian bangkit. "Kita sambung lagi, lain kali, Téh."


Membantu kami? tanya Tessa di dalam hati. Maksudnya, membantu aku dan... Kang Tata?


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sepenggal obrolan barusan, sukses membuat Trias tahu, bahwa Tessa masih sangat terpukul akibat perselingkuhan Ivan, calon suaminya, dengan Suzie. Sekuat tenaga hal itu disimpannya, dalam setiap interaksi di antara mereka, tadi rasa kecewa tersebut membuncah. Alhasil, di tengah kekecewaan yang terungkap dari bibir Tessa, di sisi lain, terbit rasa berdosa di hati Trias.

Namun, semuanya sudah terjadi. Suzie terbukti telah benar-benar meninggalkan gaya hidupnya di masa lalu, sementara Tessa masih harus membawa imbas keterpurukan akibat perselingkuhan sang calon suami. Tak ada yang dapat dilakukan semua pihak yang terlibat, selain menerimanya.

Meski begitu, reaksi Tessa beberapa menit lalu itu menguatkan tekad Trias untuk membantu si sekretaris baru tersebut. Membantu Tessa agar dapat merasakan kebahagiaan, yah... anggaplah itu sebagai penebusan kesalahan Suzie di masa lalu.


"Ada urusan apa dengan Téh Tessa, Trias?" cetus Rengga, rekan Trias di kubikel sebelah.

"Iya?" Trias agak terperanjat, karena lamunannya sontak buyar begitu saja. "Bikin kaget."

Rengga tergelak. "Sorry…"

"Nggak apa-apa," ujar Trias, sembari menyunggingkan senyum.

"Ada urusan apa dengan Téh Tessa?" ulang Rengga.

Trias menggeleng. "Sesuatu. Tapi... maaf, urusan itu nggak bisa aku beberkan."

"Aku mengerti," Rengga mengangguk. "Yang pasti, berbeda dengan kasus Imel, 'kan?"

"Imel?" Trias menatap Rengga tajam. "Kamu juga menganggap bahwa terjadi affair antara aku dan Imel?"

Rengga hanya tersenyum.

"Tolonglah," lanjut Trias. "Jangan pernah menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang kamu lihat secara sekilas. Cek dan ricek dulu, Lur."

Rengga segera duduk, tanpa menanggapi lebih lanjut. Memaksa Trias untuk menggelengkan kepala, tanda heran.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd