Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Blurry Eyes

Bimabet
Masih montog kah Tessa..
Atau udah lebih langsing...?

Baru tau ada lanjutan dari sekian banyak kisah yang 'muter2' di lingkaran yang saling berantai di masa lalu
Di akhir kisah Dinan dan Tessa disebutkan bahwa saat itu postur tubuh Tessa udah jauh lebih langsing, mungkin efek dari beban pikiran selepas kegagalan pernikahan dengan Ivan, Om.

Di kisah ini, mungkin postur tubuh Tessa masih seperti itu, Om. Nggak gemuk lagi. :)
 
selalu di buat nyaman dengan cara penulisan yang amat rapih dari kang Praha. Dan sedikit banyak terobati rasa rindu saya sama keluarga kecil Trias :)
Cerita manis tentang Trias dan Suzie memang menarik untuk disimak ya, Kang.

Padahal dulu banyak reader yang nggak setuju kalau mereka bersatu.. kemudian gerak waktu mengubah pendapat tersebut :)
 
Woww... Tessa berwajah manis, berkulit eksotis?? Rambut sama body nya bgmn om??
Tessa berwajah manis, berkulit agak coklat, rambut sepunggung dan tubuh agak langsing.. sebelumnya gemuk, namun belasan tahun kemudian berat badannya banyak menyusut akibat beban pikiran, mungkin.. :)
 
Tes visual Tessa
yBNBApb.jpg

Sungguh kamu merusak imaji yang saya bangun akan Tessa sedari awal dia muncul hingga kini. tega nian, aduh hahaha anjir sedari awal kang praha ngga pernah ngasih mulustrasi pict, membebaskan daya imaji pembaca untuk lebih liar. Tapi seketika rusak liat iniiih. Ngga ada gurat sundanya euy yang inimah wajahnya
 
Cerita manis tentang Trias dan Suzie memang menarik untuk disimak ya, Kang.

Padahal dulu banyak reader yang nggak setuju kalau mereka bersatu.. kemudian gerak waktu mengubah pendapat tersebut :)

Kamana wae atuh kang Praha ?, Kumaha damang ?.
Sono abdi eh! Hahaha, ahhh iya selamat merayakan idul fitri kang! :)
Mohon maap lahir batin, bilih saya aya lepat. Komo deui pami nuju nagih akang supados enggal Up haha hampunteun
 
Kamana wae atuh kang Praha ?, Kumaha damang ?.
Sono abdi eh! Hahaha, ahhh iya selamat merayakan idul fitri kang! :)
Mohon maap lahir batin, bilih saya aya lepat. Komo deui pami nuju nagih akang supados enggal Up haha hampunteun
Damang, Kang.. sawalerna?

Update sesudah libur lebaran, ya.. karena pastinya banyak juga reader yang fokus dengan silaturahim Idul Fitri, dan nggak sempat buka FS :)

Mudik ka mana, Kang?
 
Segenap kru penulis cerita Blurry Eyes --yang cuma @praharabuana seorang itu-- mengucapkan selamat menikmati liburan dan tunjangan hari raya.

Para pemeran utama di kisah Blurry Eyes --Tessa, Kang Tata, Trias, Suzie dan Kirei-- juga mengucapkan terima kasih untuk atensi, pengertian dan kesabaran Suhu reader semuanya atas update yang terlalu lama.

Kami akan segera kembali selepas liburan nanti.

Salam. :)
 
Segenap kru penulis cerita Blurry Eyes --yang cuma @praharabuana seorang itu-- mengucapkan selamat menikmati liburan dan tunjangan hari raya.

Para pemeran utama di kisah Blurry Eyes --Tessa, Kang Tata, Trias, Suzie dan Kirei-- juga mengucapkan terima kasih untuk atensi, pengertian dan kesabaran Suhu reader semuanya atas update yang terlalu lama.

Kami akan segera kembali selepas liburan nanti.

Salam. :)
Readers kayaknya sudah belajar banyak dari kesabaran Trias dan Dinan. 😁
 
Damang, Kang.. sawalerna?

Update sesudah libur lebaran, ya.. karena pastinya banyak juga reader yang fokus dengan silaturahim Idul Fitri, dan nggak sempat buka FS :)

Mudik ka mana, Kang?

Syukurlah kalo sehat, saya lagi kurang fit kang .... Bandung tiris pisan euy! Muriang ieu ge :)

Abdi mudik kejauhan, flores kang... bisa indit teu bisa balik deui beakeun ongkos wkwk

Ahhh masalah update mah gampang yang penting akang lancar lancar aja di Rl.
 
Segenap kru penulis cerita Blurry Eyes --yang cuma @praharabuana seorang itu-- mengucapkan selamat menikmati liburan dan tunjangan hari raya.

Para pemeran utama di kisah Blurry Eyes --Tessa, Kang Tata, Trias, Suzie dan Kirei-- juga mengucapkan terima kasih untuk atensi, pengertian dan kesabaran Suhu reader semuanya atas update yang terlalu lama.

Kami akan segera kembali selepas liburan nanti.

Salam. :)
Sama2 jg om. Ditunggu habis lebaran dan sehat selalu :Peace::Peace::Peace:
 
TIGA


50 hari kemudian,


Nyatanya, Kang Tata dan Tessa tidak membutuhkan usaha dan bantuan Trias untuk dapat dekat satu sama lain. Atasan dan sekretaris itu makin akrab, sementara Trias malah menjalani kehidupannya di tempat kerja tanpa banyak terlibat dengan mereka, kecuali sebatas urusan pekerjaan.

Syukurlah, usaha aku nggak diperlukan lagi, gumam Trias di dalam hati. Lagipula, rasanya nggak pantas aja, lelaki seusia Kang Tata masih butuh comblang untuk dekat dengan wanita.

Trias pantas bersyukur. Daripada sibuk memikirkan cara untuk mendekatkan Kang Tata dengan Tessa, ia lebih memilih untuk pusing memikirkan biaya persalinan Suzie.


Ya, saat ini sudah memasuki 'bulannya', alias saat-saat menjelang kelahiran putra pertama Trias dan Suzie. Saat-saat yang mendebarkan namun tetap layak dinantikan bagi pasangan suami-istri itu. Dinantikan dengan segala perasaan excited. Hmm... pasangan suami-istri mana yang takkan menantikan kelahiran jabang bayinya? Terlebih, ini adalah putra pertama. Ya, putra. Setidaknya, itulah hasil USG dokter tentang jenis kelamin anak di kandungan Suzie.

Namun, di sisi lain, Trias dan Suzie juga berdebar-debar, menantikan jalannya persalinan. Lancar atau penuh masalah? Lahir dengan cara normal atau harus melalui meja operasi? Beragam pertanyaan hadir di benak mereka, termasuk perihal kesehatan sang bayi, kelak.

Ujung pangkal dari beragam pertanyaan tersebut, adalah soal biaya. Andai sang putra lahir secara normal dan dalam keadaan sehat, berarti nominal yang harus dikeluarkan adalah dengan jumlah serendah mungkin. Jika harus melewati tahap operasi, atau diiringi kondisi si bayi yang tidak sepenuhnya bugar, biayanya tentu membengkak, bahkan bisa mencapai belasan kali lipat.


"Kamu nggak punya tabungan, gitu?" tanya Kang Yadi.

"Punya," jawab Trias. "Tapi, pastinya nggak akan cukup untuk biaya operasi caesar, Kang."

Kang Yadi tersenyum paham.

"Dua hal yang bikin aku tenang," lanjut Trias. "Pertama, adalah keberadaan Kang Jan, yang pasti nggak akan menutup mata terhadap masalah yang mungkin aku hadapi. Dan kedua, adalah kenyataan bahwa kami nggak punya angsuran yang harus dibayar setiap bulan."

Kang Yadi tertawa kecil. "Hidup tanpa utang memang nikmat, Trias."

"Iya, Kang," ujar Trias, sambil ikut tertawa.


Perhatian Trias teralihkan pada arah gerakan kepala Kang Yadi, yang menatap keluar kantin.

"Bos dan sekretaris kita," gumamnya pelan. "Makin dekat aja."

Kang Yadi mengangguk sembari tersenyum.

"Semoga usahanya kali ini berhasil," sambung Trias. "Nggak gagal lagi, dan bikin kita jadi korban dari imbas kemurungan hatinya.

"Iya," Kang Yadi terkekeh. "Nggak profesional, ya. Masalah di kehidupan pribadi, menular pada lingkungan kerja."

"Bukan nggak profesional, Kang," bantah Trias. "Rasanya hampir semua orang seperti itu. Termasuk aku. Yaa... pasti Kang Yadi ingat, gimana sikap aku ketika rumah tangga sedang bermasalah."

"Hati manusia cuma satu," tanggap Kang Yadi. "Ketika sedang terganggu akibat masalah pribadi, pasti ada efeknya pada kehidupan di bidang lain, termasuk pekerjaan."

"Yang bisa memilah antara masalah pribadi dan urusan pekerjaan, berarti dewasa," tambah Trias. "Dan aku belum bisa dewasa."

"Jelas," tandas Kang Yadi, sambil lalu tertawa. "Kamu mah memang hampir selalu membawa masalah di rumah ke tempat kerja."

Trias nyengir. Sama sekali tak berniat menyangkal.

"Aku pribadi, berharap Kang Tata dan Tessa bisa benar-benar bersatu," tutur Kang Yadi. "Bukan hanya semata agar kita selamat dari imbas kemurungan hatinya. Tapi, yah... karena keduanya udah sama-sama terlambat menikah."

"Iya," Trias mengangguk. "Meskipun keduanya bersikap seolah hal tersebut nggak mengganggunya, tapi aku yakin, sebenarnya mereka selalu kepikiran dengan situasi 'terlambat menikah' itu."


"Ngomong-ngomong," cetus Trias. "Mana Kang Recky?"

Kang Yadi sontak melemparkan pandangannya ke arah sekeliling, mencari sosok yang namanya baru saja disebutkan Trias.

"Masih di kantor, ya?" tebak Trias. "Aku dengar, dia diberi amanat untuk memegang proyek iklan dari kedai bakso yang lumayan tenar di Kota Bandung."

"Iya," Kang Yadi membenarkan. "Dan aku yakin, pasti kamu pernah makan bakso bareng Néng Suzie di kedai itu. Iya, 'kan?"

Trias tergelak.

"Kamu nggak tertarik memegang proyek sejenis?" selidik Kang Yadi. "Seingatku, setelah mundur dari proyek yang kamu garap demi bisa membelikan prosthetic leg untuk Néng Suzie, kamu nggak pernah bersedia menerima proyek lagi."

"Aku nggak akan menerima proyek apapun, selama si Néng nggak mengizinkan," ujar Trias. "Percuma aku bawa banyak uang ke rumah, kalau dia nggak rela. Tapi, meskipun uangnya hanya sedikit, kalau dia rela, nilainya jadi jauh lebih besar daripada nominal sebenarnya."

Kang Yadi hanya mengangguk, sambil menatap Trias dengan sorot mata yang sulit diartikan.


Ya, semuanya kembali kepada masalah penerimaan. Faktanya, Trias bahagia karena Suzie bahagia, meski hanya menerima gaji yang nilainya setara dengan upah minimum kota. Bukan gaji yang jumlahnya dapat digunakan untuk mencicil mobil dan belanja barang-barang mewah. Trias hanya mampu mencukupi kebutuhan hidupnya bersama Suzie dan Kirei, tanpa ada kata 'kurang' atau 'lebih'. Namun mereka bahagia.

Bandingkan dengan gaji para petinggi negara yang kalap di luar sana, yang nominalnya mungkin mencapai lima belas kali lipat dari penghasilan bulanan Trias. Apakah mereka merasa tercukupi dan bahagia? Belum tentu. Karena jika bahagia, tak mungkin mereka punya pemikiran untuk menambah pendapatan dengan cara yang menyimpang.

Hidup sederhana,
nggak punya apa-apa, tapi banyak cinta.

Hidup bermewah-mewahan,
punya segalanya, tapi sengsara.

Seperti para koruptor.


Sangat relevan dengan pola pikir sederhana ala keluarga kecil Trias dan Suzie, bukan?


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Perlahan tapi pasti, Tessa menemukan banyak kecocokan dalam interaksinya dengan Kang Tata. Ajakan sang atasan untuk berkencan, yang diucapkan dengan nada ringan seolah sebatas canda, namun diiringi sorot mata penuh kesungguhan itu, diterimanya. Dan kemudian, 'kencan' pertama tersebut menjadi momentum awal menuju kencan berikutnya, sekaligus momentum meningkatnya intensitas hubungan di antara keduanya.

Apa yang membuat Tessa merasa cocok dengan Kang Tata? Ia tidak tahu. Mungkin faktor 'jodoh' yang berbicara, setidaknya hingga tahap ini. Bagaimana selanjutnya? Lagi-lagi, ia tidak tahu. Butuh banyak proses untuk menjadikan Tessa dan Kang Tata sepenuhnya berjodoh. Meski untuk saat ini, hingga detik ini, Tessa menganggap bahwa Kang Tata adalah sosok yang tepat.

Kegagalan di masa lalu, membuatnya harus ekstra hati-hati dalam memilih pasangan.


Begitulah hidup, yang selalu berisi pilihan. Juga begitulah hidup, yang selalu punya dua kemungkinan: pilihan benar dan pilihan salah. Dan ketika dihadapkan pada suatu pilihan, manusia tidak akan pernah tahu mana yang benar atau salah, hingga waktu memberikan jawabannya. Hanya Sang Pencipta-lah yang Maha Tahu.

Tessa mengalaminya, kala hatinya memilih untuk menjauh dari Dinan. Lelaki terhebat yang pernah hadir dalam kehidupannya itu, pernah dianggapnya sebagai sosok lelaki yang 'salah'. Bertahun kemudian, Tessa menyadari bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Sayangnya, ia terlambat. Ia terpaksa rela menyaksikan Dinan mencurahkan kesempurnaan hatinya kepada wanita lain.

Lelaki berikutnya adalah Ivan. Bukan lelaki terhebat di hatinya, namun pernah menjanjikan sebuah masa depan bagi Tessa. Lelaki yang terlihat paling sungguh-sungguh dengan masa depannya. Lelaki yang pernah membuatnya menjadi seorang 'calon istri'. Apa lacur, angan-angannya terhempas begitu saja, menyaksikan lelaki yang 'terlihat paling sungguh-sungguh' tersebut justru mempermainkannya.

Tessa telah salah menentukan pilihan? Belum tentu. Bisa jadi, pilihan-pilihan yang secara sekilas terlihat salah itu justru merupakan pilihan terbaik baginya. Karena, sekali lagi, hanya Sang Pencipta-lah yang Maha Tahu.


"Udah tahu, mau pesan apa?" tegur Kang Tata.

Tessa agak gelagapan, mendapati ucapan Kang Tata membuyarkan lamunannya soal pilihan benar dan salah tersebut. Namun, ia cepat mengendalikan diri. "Nasi goreng seafood aja, Kang."

"Minumnya?" tanya Kang Tata lagi.

"Mmm... teh manis hangat," jawab Tessa.

"Nggak takut rasa gula berpengaruh ke wajah?" lanjut Kang Tata.

Kening Tessa berkerut.

"Nanti wajahmu makin manis, lho!" Kang Tata memperjelas.

Tessa tersipu. "Kalau sedang menggombal, Akang seperti anak kuliahan, ya."

"Maksudmu?" gumam Kang Tata. "Hmm... pernah ada seorang lelaki di masa lalumu, di masa kuliahmu, yang sering menggombalimu seperti itu, ya?"

Tessa hanya tersenyum.

"Wajahmu memang manis, kok!" tegas Kang Tata. "Ketika aku mengatakan sesuatu berdasarkan fakta, apakah pantas jika hal tersebut disebut sebagai sebuah gombalan?"

Tessa menggeleng.

"Gelengan kepalamu menandakan bahwa kamu juga mengakui bahwa wajahmu manis," sambung Kang Tata.

Tessa tersipu lagi.


Sekarang kamu udah makin mahir bermain dengan kata-kata, Kang! ujarnya di dalam hati. Mengingatkan aku pada...

Oops...!

Fokuslah dengan siapa yang saat ini kamu hadapi, Tessa! ingat hatinya.


Ya, sudah saatnya bagi Tessa untuk bangkit dan melupakan kisah di masa lalu, entah itu buruk atau indah dikenang. Saatnya untuk membuka hati bagi Kang Tata, yang kini telah secara jelas menunjukkan ketertarikannya. Lupakan Dinan, lupakan Ivan. Biarkan mereka hanya menjadi sosok yang 'pernah hadir' di kehidupan Tessa, bukan 'akan kembali hadir'.


"Tolong ingatkan, jika aku ke-geer-an, Kang," ucap Tessa. "Semenjak dekat dengan aku, Akang nggak pernah makan siang bareng Trias lagi, ya?"

"Iya," Kang Tata tersenyum.

"Kenapa?" tanya Tessa lagi.

"Karena kamu belum tentu bersedia makan siang di kantin itu," jawab Kang Tata.

Tessa tertawa.

"Kok malah tertawa?" cetus Kang Tata. "Ada yang lucu?"

Tessa menggeleng. "Ada yang salah, ya, kalau aku makan di kantin itu?"

"Kamu bersedia?" tanya Kang Tata.

"Kenapa harus nggak bersedia?" tanya balik Tessa.

Kang Tata mengangkat bahu.

"Selama masakan di kantin itu layak santap, nggak ada masalah," sambung Tessa. "Dan aku yakin, memang seperti itu. Karena bertahun-tahun kalian makan siang di sana, nggak pernah terjadi masalah, 'kan?"

Kang Tata membenarkan dengan sunggingan senyum.


Obrolan terhenti, ketika pelayan kafe sederhana itu mengantarkan pesanan mereka. Namun sejurus kemudian, Kang Tata kembali melanjutkan perbincangan, dengan tatapan agak menerawang.

"Dulu, kami berlima selalu makan siang bareng di kantin itu," ucap Kang Tata. "Selalu, Tessa."

"Berlima?" tanya Tessa. "Akang, Trias, Kang Yadi, Kang Recky, dan... satu orang lagi, siapa?"

"Imel," jawab Kang Tata. "Sekretaris lama kami."

"Kalian berlima memang dekat?" selidik Tessa.

Kang Tata mengangguk. "Saking dekatnya, sampai sempat muncul rumor di kalangan karyawan lain, bahwa terjadi affair di antara Trias dan Imel."

"Oya?" seru Tessa dengan nada tak percaya. "Itu terjadi sebelum Trias menikah, ya?"

"Setelah menikah," ralat Kang Tata. "Dan sempat bikin rumah tangga Trias dan Néng Suzie goyah. Trias memutuskan mundur dari proyek yang memaksanya untuk banyak berinteraksi dengan Imel. Dan nggak lama kemudian, Imel yang nggak tahan jadi bahan gunjingan, memutuskan resign."

"Separah itu..." gumam Tessa. "Hmm... kok, aku jadi merasa khawatir akan mengalami hal yang sama, ya?"

"Nggak usah khawatir," tanggap Kang Tata, sambil tersenyum. "Sekarang Néng Suzie udah menjadi lebih dewasa, kok."

Tessa menganggukkan kepala.

"Pasangan itu," sambung Kang Tata pelan. "Memang pasangan yang hebat. Banyak cobaan dalam rumah tangga mereka, tapi mereka bisa bertahan."

Kembali, Tessa menganggukkan kepala.

"Kita mesti belajar banyak dari mereka," tambah Kang Tata. "Meskipun usia mereka lebih muda daripada kita."

"Kita?" tanya Tessa, menatap Kang Tata lekat-lekat.

"Iya, kita," Kang Tata mengangguk. "Andai kita memang berjodoh dan akhirnya menikah."

Tessa menundukkan kepala, sambil tersipu.


Setelah perbincangan yang mengarah pada tema yang cenderung 'sensitif', keduanya serempak saling diam. Selain untuk fokus menyantap makan siang masing-masing, tampaknya keduanya butuh sedikit waktu untuk meredakan gejolak perasaan sebagai imbas dari obrolan soal hati tadi.

Situasi sejenis adalah hal yang sudah lama tak dialami Tessa. Terakhir, ia mengalaminya kala mulai dekat dengan Dinan, hampir dua puluh tahun lalu. Saat bersama Ivan, degup jantung serupa nyaris tak pernah dirasakannya, karena 'mantan calon suaminya' tersebut jarang mengungkapkan perasaannya. Kelugasan Ivan saat menjanjikan sebentuk pernikahanlah yang membuat Tessa yakin.

Bagi Tessa, tak ada kriteria spesifik mengenai sosok lelaki yang dirasakan tepat sebagai jodohnya. Selama lelaki tersebut dapat membuatnya nyaman, it's OK. Apapun cara dan penyebabnya. Baik Dinan maupun Ivan, sama-sama mampu menyamankan hatinya, dengan metode yang berbeda. Sayangnya, hasil akhir di antara keduanya ternyata serupa.


Suatu hari, Tessa pernah berbincang cukup lama dengan Alifa, adik sepupunya yang kini telah menjadi wanita istimewa bagi Dinan. Kala itu, Alifa menyarankan satu hal krusial, berkaitan dengan relasi dengan lawan jenis,

"Sebisa mungkin, Téh Tessa harus bisa bersikap terbuka dengan pasangan, baik untuk hal positif maupun negatif. Lelaki menyukai keterbukaan pasangannya."

Ketika itu, Tessa mengangguk. Diam-diam ia membenarkan ucapan Alifa. Ya, Tessa menyadari, salah satu kehancuran dalam hidupnya, diakibatkan oleh dirinya yang tidak pernah bersedia mengungkapkan beberapa hal penting kepada Dinan.


Dan akhirnya, kini ia dapat berinteraksi cukup dekat dengan Kang Tata, sebagai buah kelugasannya dalam menanggapi ajakan kencan dalam bahasa tersirat dari sang atasan.

Ucapan Alifa terbukti benar, setidaknya hingga detik ini.


"Nasi goreng seafood-nya enak?" tanya Kang Tata.

Tessa kembali ke 'dunia terkini', meninggalkan lamunan dari masa lalunya.

"Aku belum pernah memesan nasi goreng seafood di sini," sambung Kang Tata.

"Kok bisa?" tanya Tessa.

"Karena aku memang masih jarang makan siang di sini," jawab Kang Tata. "Kalau nggak dekat denganmu, mungkin aku nggak akan pernah makan siang di sini."

Tessa tertawa renyah.


"Kalau hubungan kita udah lebih dekat," Kang Tata melanjutkan perbincangan. "Aku nggak akan bertanya soal rasa nasi goreng seafood itu."

Tessa menatap Kang Tata lekat-lekat. "Lalu?"

"Aku akan langsung mencicipinya sendiri," jawab Kang Tata. "Minta satu atau dua suap."

"Lalu Akang akan memintaku mencicipi kwetiau sapi itu, ya?" tebak Tessa, sambil menahan senyum. "Kalau istilah orang Medan, kongsi."

Kang Tata mengangguk sembari nyengir.


"Boleh aku bertanya sesuatu?" ucap Tessa. "Ke mana Akang akan membawa hubungan kita?"

"Aku punya jawabannya," jawab Kang Tata. "Tapi, boleh aku tahu, kamu ingin ke arah mana kubawa hubungan kita?"

Kening Tessa berkerut.

"Maaf, Tessa," gumam Kang Tata, sembari membuat gestur menyembah dengan kedua telapak tangannya, sebatas dada. "Aku nggak mau kegeeran, dengan berusaha memfokuskan hubungan ini ke arah tertentu, sementara kamu justru nggak berniat sama."

Tessa menanggapinya dengan senyuman.

"Mungkin aku trauma," sambung Kang Tata. "Di masa lalu, aku pernah berharap terlalu tinggi terhadap seseorang, yang justru menganggap rendah segala interaksi yang pernah terjadi di antara kami."

"Trauma serupa banyak dialami orang lain, Kang," ujar Tessa.

"Termasuk kamu?" duga Kang Tata.

Tessa hanya tersenyum.


Tidak. Tessa tidak mengalami trauma dengan hal serupa seperti dibilang Kang Tata, meski esensinya mungkin sama. Ivan selingkuh darinya, dan hal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai bentuk sikap memandang rendah segala interaksi yang pernah terjadi dengan pasangan yang sesungguhnya.

Dan apakah Tessa mengalami trauma akibat diselingkuhi Ivan? Sekali lagi, jawabannya adalah: tidak.

Tessa justru lebih banyak mengambil hikmah dari kegagalan hubungan asmaranya dengan Dinan, bukan Ivan. Banyak belajar dan mengekstraksi kegagalan tersebut sebagai 'pedoman' saat berhubungan kembali dengan lelaki, kelak. Salah satunya adalah tentang kelugasan dan keterbukaan menyampaikan isi hati. Makan siang bersama Kang Tata kali ini, juga beberapa kencan di hari-hari sebelumnya, adalah salah satu hasil dari 'ekstraksi kegagalan' tersebut.


"Kembali ke topik awal," tutur Kang Tata. "Kamu ingin ke arah mana kubawa hubungan kita?"

Tessa menghela napas pendek. Lalu tersenyum.

"Kamu nggak perlu menjawab sekarang juga, kalau merasa belum waktunya untuk menjawab," sambung Kang Tata.

"Usiaku 35 tahun, dan belum menikah," ucap Tessa. "Apakah ada niat lain dari suatu hubungan dekat, selain membawanya menuju pernikahan?"

"Iya, sih..." Kang Tata tersenyum. "Niat kita sama, Tessa."

"Dan Akang mantap menjatuhkan pilihan kepada aku, sebagai jodoh Akang?" tanya Tessa.

"Ada yang salah dengan hal itu?" tanya balik Kang Tata.

Tessa mengangkat bahu.


"Izinkan aku menceritakan sebuah rahasia," ujar Kang Tata. "Aku udah menjatuhkan pilihan kepadamu, sebagai calon jodohku, semenjak melihat lembaran curriculum vitae yang kamu lampirkan bersama surat lamaran kerja."

Tessa tertawa renyah.

"Aku melihat usia dan status pernikahanmu," lanjut Kang Tata. "Lalu mengamati fotomu. Bernama Tessa, berusia 35 tahun dan masih single. Dan berwajah manis. Oke, inilah sekretarisku yang baru."

Tessa tertawa lagi. "Jadi, bukan staf HRD yang memutuskan?"

"Storm Advert cabang Bandung nggak punya HRD," jawab Kang Tata. "Nah, selain aku, siapa lagi yang punya kompetensi dalam menentukan layak atau tidaknya seorang pelamar untuk diterima sebagai karyawan?"

Tessa menatap Kang Tata, seolah menanti kelanjutan cerita atasannya tersebut.

"Trias?" sambung Kang Tata. "Ah... orang itu hanya bisa menentukan kandidat 24 hours private secretary untuk dirinya sendiri."

Lagi-lagi Tessa tertawa.


"Kedekatan bisa tumbuh di antara dua orang yang secara intens berhubungan, termasuk interaksi pekerjaan," ucap Kang Tata. "Karenanya, jujur, aku memilih kandidat sekretaris yang dirasa juga cocok sebagai jodohku."

"Terdengar menyalahgunakan jabatan, Kang," cetus Tessa.

Kang Tata menggeleng cepat. "Penyalahgunaan jabatan adalah ketika aku memaksamu untuk berkencan. Disertai ancaman pemotongan gaji atau sikap diskriminasi, bahkan pemecatan, misalnya, andai kamu menolak. Sekarang kutanya, apakah kamu merasa terpaksa saat menerima ajakan berkencan dariku?"

"Iya, Kang," jawab Tessa. "Aku terpaksa menerima ajakan berkencan dari Akang."

"Serius?" seru Kang Tata, terdengar tidak percaya.

Tessa mengangguk. "Aku dipaksa oleh keadaan, mengingat usia aku yang udah mencapai 35 tahun, dan belum menikah."


Tessa menahan geli, menyaksikan drastisnya perubahan ekspresi wajah Kang Tata. Dari raut terkejut dan khawatir, menjadi sumringah disertai sungging senyum di bibirnya.


"Mungkin kita masih butuh banyak waktu untuk saling mengenal lebih dalam," kata Kang Tata. "Masih butuh proses untuk bisa dengan yakin mengatakan pada semua orang, terutama orang tua masing-masing, bahwa kita adalah calon suami-istri."

Tessa mengangguk sambil tersenyum.

"Tapi, saat ini, bolehkah aku merasa yakin, bahwa tujuan kita terhadap kedekatan ini adalah sama?" tanya Kang Tata. "Bolehkah aku merasa bahagia, karena perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan?"

Tessa diam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dengan disertai sipu malu di wajah manisnya.

"Kamu terbiasa dengan perayaan ulang tahun jadian?" tanya Kang Tata.

Sipu malu di wajah manis Tessa pun sontak sirna.

"Pertanyaanku sukses merusak suasana, ya?" ujar Kang Tata dengan polos.

Tessa melotot galak.

"Hmm... ternyata sekarang sekretarisku udah berani memelototi atasannya," kelakar Kang Tata. "Sekretaris jaman now."

Tessa tertawa pendek.


Suasana mendadak senyap, ketika secara bersamaan Tessa dan Kang Tata memilih untuk fokus dengan santapan di hadapan masing-masing. Namun, tak lama berselang,

"Kita bukan remaja lagi," gumam Tessa. "Yang harus disibukkan dengan memikirkan kalimat seperti apa yang pantas diucapkan saat merayakan ulang tahun jadian."

Kang Tata menatap Tessa lekat-lekat.

"Biarkan kedekatan ini berjalan apa adanya," sambung Tessa. "Dan biarkan jodoh yang bicara, sementara kita tetap berusaha memelihara hubungan ini."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kembali ke kantin sederhana,


"Kang Tata dan Tessa udah selesai makan siang," ujar Kang Recky, sambil menunjuk ke arah luar dengan gerakan kepalanya.

Trias dan Kang Yadi melemparkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Kang Recky.

"Kang Tata terlihat ceria," komentar Kang Yadi. "Setidaknya, lebih ceria daripada saat berangkat tadi."

"Mungkin Tessa menerima pernyataan cintanya?" duga Kang Recky.

"Atau mungkin... Kang Tata sumringah karena mengetahui bahwa Tessa belum ada yang punya?" timpal Kang Yadi. "Oke, dia belum menikah. Tapi, nggak ada yang tahu bahwa Tessa punya kekasih, 'kan?"


"Kepada tiga orang pesepeda," seru sebuah suara dari arah pintu masuk kantin, yang tanpa harus menoleh pun, telah diketahui siapa pemiliknya. "Bubar, oi!"

Trias, Kang Yadi dan Kang Recky menoleh dan menatap ke arah sumber suara, lalu nyengir serempak.

"Jam istirahat udah habis, Akang-akang," lanjut Kang Tata, yang berdiri di ambang pintu kantin, dengan Tessa berada sekitar satu setengah meter di belakangnya.

"Tegur aja, Pak!" timpal wanita pemilik kantin, sambil terkekeh. "Sejak tadi, mereka menggunjingkan bosnya, tuh!"

Trias, Kang Recky dan Kang Yadi pun serempak memelototi wanita pemilik kantin.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Pasir Impun, setelah matahari tergelincir,


Tessa agak mengernyit saat mendengar ada suara yang sedikit asing, menjawab kalimat salamnya ketika memasuki rumah. Dan setelah melangkah hingga tiba di ruang tengah, dilihatnya Alifa duduk di tengah-tengah antara Bapak, Ibu dan Rida.

"Kamu ada di sini, Néng," sapa Tessa.

"Iya," jawab Alifa, sembari bangkit dan menghampiri Tessa. Lalu diraih dan dikecupnya punggung tangan sang kakak sepupu. "Capek ya, Téh?"

"Begitulah," Tessa tertawa kecil. "Namanya juga kuli."

"Sekretaris bukan kuli," bantah Alifa.

"Selama masih bekerja di bawah perintah atasan, tetap dikategorikan kuli, Néng," argumen Tessa. "Mmm... aku ke kamar dulu, ya. Lalu mandi."

Alifa mengangguk sambil tersenyum.


Ada angin apa, ya, Alifa tiba-tiba datang ke sini? batin Tessa bertanya-tanya. Jangan-jangan... dia sedang bermasalah dengan... oops! Jangan su'udzan begitu, Tessa!


Dan tanda tanya di hati Tessa terjawab seperempat jam kemudian, setelah ia selesai mandi dan berpakaian kasual seperti biasanya dikenakan saat berada di rumah. Alifa menghampiri dan menemaninya yang tengah makan malam sendiri di ruang makan.

"Tadi pagi aku diantar Kang Dinan ke Jatihandap," cerita Alifa, meski Tessa belum bertanya. "Malam ini, kami memang berencana untuk bermalam di sana."

Tessa mengangguk, tanpa menghentikan santap makan malamnya.

"Lalu, setelah zuhur, Bapak dan Ibu pergi," lanjut Alifa.

"Cuci darah, 'kan?" tebak Tessa.

"Iya," Alifa mengangguk. "Dan aku pun jadi seperti tokoh Kevin, home alone. Nggak tahan sendirian, aku memesan ojek online, untuk minta diantar ke sini."

"Boleh aku menebak?" sela Tessa. "Nggak ada yang menerima order kamu. Pada akhirnya, kamu batal menumpangi ojek online, dan terpaksa naik ojek pangkalan, 'kan?"

Kening Alifa berkerut. "Kok Tétéh tahu?"

"Oh, Say..." gumam Tessa, disambung dengan tawa kecil. "Memangnya kamu lupa, ya, kalau daerah Pasir Impun adalah 'red zone'?"

"Aku lupa," lirih Alifa sambil meringis. "Seperti juga aku lupa kalau hari ini adalah jadwal cuci darah Bapak."

"Gusti..." keluh Tessa. "Terlalu sibuk mengurus suami, ya, sampai akhirnya jadi pelupa?"

Alifa merengut lucu.


Ternyata, nggak ada masalah dalam pernikahan mereka, ucap Tessa di dalam hati. Makanya, kamu nggak boleh su'udzan dulu, Tessa!


"Kamu udah makan?" tanya Tessa.

"Belum," jawab Alifa.

"Makan sama-sama, atuh," tawar Tessa.

"Aku makan di rumah aja," tolak Alifa. "Bareng Kang Dinan."

Tessa mengangguk.

"Téh Rida bercerita, sekarang Tétéh sedang dekat dengan atasan Tétéh di tempat kerja," ujar Alifa. "Benar, Téh?"

Tessa menghentikan santap malamnya, lalu menatap Alifa. "Kok obrolannya tiba-tiba mengarah ke sana, sih?"

"Jangan bilang kalau semua itu adalah gosip, ya," ingat Alifa. "Aamiin-kan, begitu!"

Tessa tertawa kecil.

"Semoga inilah jalan terbaik untuk Tétéh," sambung Alifa.

"Aamiin..." gumam Tessa, sembari mengangguk pelan.


Tessa melanjutkan santap malamnya yang sedikit tertunda. Alifa terlihat asyik dengan ponselnya. Sesekali ia tersenyum. Tessa menebak, adik sepupunya itu sedang chatting dengan suaminya, dan candaan sang suami lewat kata-kata di pesan singkat itulah yang membuatnya tersenyum.

Ah... Dinan... batin Tessa. Aku yakin, saat ini, istrimu telah menjadi wanita paling berbahagia di dunia.

Suatu hari nanti, Tessa pun akan menjadi wanita paling berbahagia di dunia, berkat segala perlakuan sang suami, kelak. Ia meyakini hal tersebut. Yang masih mengawang-awang adalah sosok suaminya. Siapakah gerangan?

Apapun bisa terjadi.


"Atasan Tétéh... orangnya seperti apa?" tanya Alifa.

Tessa kembali menghentikan santap malamnya, dan menatap Alifa. "Yaa... seperti layaknya manusia, Néng. Bertangan dan berkaki dua, berbadan dan berkepala satu."

"Ih... Tétéh mah..." Alifa merengut. "Kalau itu, balita berusia empat tahun juga tahu!"

Tessa tertawa.

"Atasan Tétéh ganteng?" tanya Alifa lagi.

"Relatif, Néng," jawab Tessa. "Menurut para wanita yang menyukainya, dia pasti ganteng."

"Tétéh menyukainya?" desak Alifa lagi. Lalu bola matanya tiba-tiba berbinar. "Hmm... kalau nggak menyukainya, nggak mungkin Tétéh dekat dengannya, ya."

Tessa tertawa lagi. "Poin paling penting, adalah kenyamanan. Dan jujur, aku merasa nyaman dengannya."

"I see..." Alifa tersenyum. "Semoga semua urusan Tétéh dengannya dilancarkan."

"Aamiin..." imbuh Tessa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Alifa telah berada di kediaman kedua orang tuanya, di Jatihandap. Tentu saja, ia pulang bersama Dinan, suaminya, yang tadi menjemputnya menjelang pukul delapan. Kini mereka sedang berbincang ringan di ruang tengah, di depan televisi. Namun, baik Alifa maupun Dinan sama-sama memilih untuk tidak menyalakan 'kotak ajaib' tersebut. Keduanya tak ingin suara dan gambar di televisi mengganggu quality time di antara mereka.

Ya, akibat Dinan harus sering bepergian meninggalkan Indonesia, berimbas pada berkurangnya intensitas berduaan. Padahal, layaknya sepasang suami-istri yang terbilang baru, 'berduaan' adalah sensasi tersendiri. Alhasil, ketika kesempatan tersebut hadir, Alifa dan Dinan berusaha memaksimalkannya. Menciptakan quality time untuk menggantikan kebersamaan yang tergadai oleh kesibukan pekerjaan.

Ketika kesempatan tiba, Alifa dan Dinan kerap bercengkrama hingga waktu yang cukup lama. Benar-benar hanya berbincang, tentang apa saja yang terlintas di kepala mereka, tanpa tema spesifik. Dan perbincangan tersebut seringkali berlangsung tanpa sedikit pun diganggu oleh ponsel atau televisi. Mereka menyukai berbincang di ruang tengah yang salah satu pintunya menghubungkan ruangan dengan kebun samping itu. Sementara, pada saat bersamaan, ponsel keduanya malah sedang di-charge di kamar tidur.


"Tadi aku keceplosan," cerita Alifa. "Ketika mengobrol tentang kedekatan Téh Tessa dengan atasannya, nggak sengaja aku malah membandingkannya dengan Akang."

"Dia marah?" tebak Dinan.

Alifa menggeleng. "Téh Tessa tiba-tiba diam."

"Wajar, Al," tanggap Dinan. "Yang kukenal, Tessa memang hampir nggak pernah mengekspresikan perasaan marahnya dengan gamblang. Jadi, kalau pun dia marah akibat ucapanmu, kamu nggak akan bisa melihatnya."

"Kok Akang justru tahu lebih banyak tentang Tessa, dibandingkan aku yang saudara sepupunya, ya?" seloroh Alifa.

Dinan tertawa.


"Téh Tessa masih nggak bisa melupakan kenangan bersama Akang," ucap Alifa pelan.

Dinan menatap Alifa lekat-lekat. "Kenapa kamu bisa berpendapat seperti itu?"

"Terlihat, lah," jawab Alifa. "Kami sama-sama wanita, Kang."

Dinan mengangguk.

"Aku khawatir," gumam Alifa.

"Khawatir?" Dinan mengerutkan dahi. "Khawatir karena apa?"

Alifa hanya menggeleng.


"Aku tahu," cetus Dinan, setelah beberapa menit terlihat berpikir. "Kamu khawatir kalau akhirnya aku akan berpaling, setelah tahu Tessa masih tetap menyimpan kenangan masa lalu bersamaku, ya?"

Alifa tertegun, meskipun akhirnya mengangguk.

"Daripada akhirnya berpaling, lebih baik aku memilih Tessa sejak awal, Al," ujar Dinan. "Karena aku tahu persis, perasaan bukanlah sesuatu yang bisa dimain-mainkan. Dan aku tahu, rasanya sakit sekali, ketika seseorang mempermainkan perasaanku."

Alifa hanya menatap Dinan.

"Hilangkan kekhawatiranmu, Al," lanjut Dinan. "Ketika kamu khawatir tentang semua ini, artinya kamu nggak percaya aku."

"Aku percaya Akang," ucap Alifa cepat. "Maafkan aku yang udah merasa khawatir. Tapi aku... aku cuma manusia biasa, Kang. Wajar, 'kan, kalau aku khawatir?"

"Aku mengerti," Dinan tersenyum. "Tapi, kamu nggak boleh khawatir lagi, tentang Tessa. Apa yang kita hadapi saat ini, berbeda dengan masa lalu, Al. Situasinya udah jauh berubah, begitu juga dengan situasi hatiku."

Alifa tersenyum.

"Aku berjanji," tambah Dinan. "Aku akan berusaha melenyapkan segala kekhawatiranmu, dengan caraku bersikap. Kamu akan melihat sendiri, bahwa gerak langkahku hanya untukmu, bukan masa lalu."

Alifa hanya mengangguk lirih, tidak berkata-kata. Namun, telapak tangan kirinya yang menyentuh lembut pipi kanan Dinam, menyiratkan rasa setuju terhadap semua hal yang diucapkan suaminya.


"Al..." ucap Dinan. "Kamu nggak lapar?"

Alifa menatap Dinan. "Akang lapar?"

"Iyalah!" cetus Dinan. "Udah hampir jam sembilan, lho. Waktu lazim makan malam udah terlampaui sejak tadi."

Alifa terkekeh.

"Makan, yuk!" Dinan mengulangi ajakannya.

"Tapi, aku nggak masak, Kang," sesal Alifa.

"Nggak apa-apa," tenang Dinan. "Karena saat ini kita sedang berada di rumah Bapak dan Ibu, jadi, sekarang aku makan masakan mertua aja."

"Oke," sanggup Alifa, seraya mengacungkan ibu jari kedua tangannya. "Sebentar, aku siapkan, ya."


Di ruang makan,

Nggak seharusnya aku mengkhawatirkan masa lalu di antara Kang Dinan dan Téh Tessa, batin Alifa. Segalanya memang udah berubah. Dan mungkin, perasaan Kang Dinan juga berubah. Fokus dengan apa yang dihadapi saat ini, bukan terus menjebakkan diri di tengah belitan masa lalu.

Benar, Alifa.

Bahkan Tessa yang kedapatan masih terkenang masa lalu saja, sudah berniat menjalin hubungan dengan orang baru. Kenapa kamu mesti khawatir jika suamimu kelak akan berpaling, kembali pada mantan di masa lalunya?


"Malah melamun," seru Dinan, membuat Alifa agak tercekat. "Bukankah kamu berniat menyiapkan makan malam?"

Alifa menatap Dinan, lalu menggeleng.

"Kenapa?" tanya Dinan.

"Aku kepingin dipeluk," jawab Alifa. "Boleh?"

"Masa' nggak boleh?" Dinan tersenyum. "Jangankan dipeluk, andai kamu minta disenggamai, saat ini juga, di tempat kita berdiri, pasti kuberi."

Alifa mengerang manja. "Jadi kepingin."

"Kepingin disenggamai?" tanya Dinan tanpa basa-basi.

Alifa mengangguk malu.


Dan akhirnya Dinan pun lupa akan rasa lapar yang melanda perutnya. Terkalahkan oleh birahi yang mendadak bangkit, akibat Alifa yang secara tidak terduga mengamini gurauannya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd