Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Blurry Eyes

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Masih penasaran sama kisah Tessa setelah Dinan nikah...
Ditunggu aja ya, Om.
Ane baru kembali dari masa hibernasi, hehe.. sebentar lagi cerita ini akan dilanjutkan :)
 
Hihi... Toink... Toing... Toing...

Berasa di gedor om pagernya, ada yg kentang minta update ntuh, haha...

Ditunggu updatenya ..
Iya, ditunggu aja, ya.
Update chapter berikutnya sedang digarap, kok.. :)
 
Angin segar

(Tapi nanti kalo udh ada update, aku harus baca dari awal lagi)
Hekekek
 
Angin segar

(Tapi nanti kalo udh ada update, aku harus baca dari awal lagi)
Hekekek
Duh.. kelamaan update-nya, jadi udah pada lupa sama jalan ceritanya, ya... maafin... :(

Tapi.. 'kan baru 3 chapter, Om.. jadi nggak lama lah baca ulangnya, hehe
 
Kangen sama romantisme Suzie Trias dan Anna Jan, kangen interaksi lucu dan menggemaskan antara kirei dengan Ma Uzi dan Papa Om nya hehe
Nanti mereka akan hadir kembali.. :)


Akhirnya muncul lagi...
Di antos...
Sya sempat lama tersesat di dunia nyata, dan kesulitan mencari jalan untuk muncul kembali di sini, Om..
Hehe
 
Nanti mereka akan hadir kembali.. :)



Sya sempat lama tersesat di dunia nyata, dan kesulitan mencari jalan untuk muncul kembali di sini, Om..
Hehe

Ke dunia nyata nya ga pke GPS, guide atawa olangan wae sih....
Makanya nyasar...
 


EMPAT


Shōjo-tachi yo
mōsugu yoake ga kuru
yume no mirai wa korekara hajimaru


shōjo-tachi yo
nani mo akirameru na
kanashī koto nanka subete sutete


zenryoku de
zenryoku de
hashiru nda!


(Girls...
Fajar akan segera tiba
Masa depan mimpi dimulai saat ini


Girls...
Jangan menyerah
buang jauh semua kesedihan


Dengan segenap kekuatan
Dengan segenap kekuatan
Berlarilah!)



(AKB48 - Shōjo-tachi yo)


Ya, adalah wajar jika saat ini Tessa merasa bahwa fase cerah hidupnya akan segera dimulai. Kedekatannya dengan Kang Tata menjadi alasannya. Meskipun masih seumur jagung, namun ia berhak untuk merasa optimis.

Selain itu, kedekatannya dengan sang atasan menerbitkan kebahagiaan tersendiri di dalam kesehariannya. Kedekatan tersebut membuat hidupnya menjadi lebih berwarna. Membuat Tessa dapat sedikit melupakan segala kesedihan yang di masa lalu kerap dirasakannya itu.

Ah... inikah yang dinamakan dengan move on? batinnya bertanya-tanya.

Rasanya indah, bukan?


Kini, intensitas dan kualitas kedekatan di antara Tessa dan Kang Tata sudah meningkat. Bukan lagi sebatas makan siang bersama. Beberapa kali, ia pergi dan pulang kerja bersama sang atasan, meski belum menjadi rutinitas. Mereka pun pernah meluangkan akhir pekan dengan berjalan-jalan di keramaian.

Dan yang paling penting, Tessa dan Kang Tata sudah pernah saling mengenalkan diri pada orang tua masing-masing. Hmm... suatu bentuk interaksi antara lawan jenis yang makin menjurus ke arah yang pasti, tho?


Tessa tidak tahu, bagaimana reaksi kedua orang tua Kang Tata, setelah bertemu dan berkenalan dengannya. Sang lelaki tidak pernah menceritakannya. Ia hanya bisa menduga, bahwa dengan sikap Kang Tata yang tidak berubah pasca pertemuan tersebut, menandakan kecocokan ayah dan ibu dari atasannya itu.

Namun, reaksi Bapak dan Ibu begitu mudah ditebak. Dimulai dari ekspresi penuh seri, hingga pertanyaan Ibu yang telah beberapa kali terlontar,

"Kapan Kang Tata main-main lagi ke sini?"

Meski begitu, Tessa tak ingin telanjur jemawa. Karena ia ingat, betapa reaksi yang sama pun ditunjukkan orang tuanya, saat dirinya mengenalkan Dinan pada keluarganya, hampir dua puluh tahun lalu. Nyatanya, sang ayah menjadi salah satu pihak yang menghalangi hubungan asmaranya dengan rekan sekelasnya semasa kuliah tersebut.


"Kamu pernah menonton film sambil duduk di jok mobil?" tanya Kang Tata.

Tessa mengernyit. "Rasanya, semua orang Indonesia yang berusia sepantaran kita, belum pernah mengalaminya, deh. Yaa... kecuali mereka yang pernah mencobanya di Amerika Serikat."

"Aku pernah," ujar Kang Tata. "Seperti katamu, di Amerika Serikat sana."

Tessa mengangguk.

"Kamu mau mencoba?" tanya Kang Tata lagi.

"Di mana?" Tessa balik bertanya. "Amerika Serikat?"

"Di rumah orang tuaku," jawab Kang Tata. "Mereka punya sebuah rumah peristirahatan di daerah Pangalengan. Ada garasi yang bisa memuat empat buah mobil, yang bisa dijadikan lokasi pemutaran film. Lalu ada sebuah VW Safari yang atap terpalnya bisa dibuka, sebagai tempat kita duduk sambil menonton."

Tessa menatap Kang Tata. "Sepertinya, itu belum cukup untuk..."

"Dan ada proyektor lama, koleksi kakekku," potong Kang Tata. "Itu yang paling penting."

Tessa menahan senyum.

"Semua argumenmu segera terbantahkan sebelum sempat terucapkan, ya?" seloroh Kang Tata.

Tessa mengangguk, sambil kemudian tertawa kecil. "Tapi... tunggu dulu, Kang."

"Kenapa?" gumam Kang Tata.

"Boleh aku menebak sesuatu?" lanjut Tessa. "Akang melontarkan ide itu karena terinspirasi oleh film The Age of Adaline, 'kan?"

Giliran Kang Tata yang mengangguk sambil tertawa.

"Sayangnya, aku bukan Adaline Bowman," tambah Tessa. "Aku semakin tua, dan itu terlihat jelas."


"Weekend ini, kamu bisa?" tanya Kang Tata.

"Sesegera itu?" tanya balik Tessa.

"Aku nggak memaksa, lho!" ujar Kang Tata. "Aku nggak mau kamu merasa terpaksa, setiap menyanggupi ajakanku. Yah... kecuali keterpaksaan soal usia, seperti yang pernah kamu katakan."

"Aku mau, Kang," jawab Tessa. "Tapi, aku harus minta izin Bapak dan Ibu."

"Bagaimana kalau aku yang memintakan izin?" tawar Kang Tata. "Biar lebih meyakinkan, karena memang akulah yang harus bertanggungjawab jika terjadi sesuatu denganmu."

Tessa menghela napas. "Kalau Akang yang memintakan izin, beliau-beliau pasti mengizinkan."

"Begitu?" gumam Kang Tata, terdengar sangsi.

"Kita buktikan nanti," tanggap Tessa, menahan senyum.

"Oke," Kang Tata mengangguk. "Nanti malam, kita buktikan, ya."

Tessa membalas anggukan kepala Kang Tata.


"Kepada sepasang sejoli yang sedang diterpa gelombang asmara," seru sebuah suara dari arah pintu masuk kafe kecil itu. "Bubar, oi!"

Kang Tata juga Tessa menoleh dan menatap ke arah sumber suara, lalu nyengir serempak. Dilihatnya Trias, Kang Yadi dan Kang Recky berdiri saling bersebelahan di sana, lengkap dengan senyum tengil dengan gaya masing-masing. Dari suaranya, Kang Tata dapat menebak bahwa Trias-lah yang barusan berseru.

"Jam istirahat udah habis, Akang dan Tétéh," lanjut Trias, dengan raut wajah yang sengaja dipasang galak, namun justru malah jadi terlihat kocak.

"Kamu..." Kang Tata melotot, tak kalah galak. "Siap dipotong gaji karena udah mengganggu atasan yang sedang asyik menggombali pujaan hatinya, Trias?"

Trias malah mencibir sebal. Yang lain tertawa, termasuk juga Tessa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Suasana menjelang sore di Storm Advert begitu tenang, bahkan menjurus sunyi. Tampaknya, semua karyawan tengah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Tak usah diceritakan, bentuk dari masing-masing kegiatan tersebut, itu urusan mereka. Tokh, Kang Tata tak pernah mempermasalahkan, andai ada seorang karyawannya yang justru asyik menonton drama Korea atau browsing promo tiket pesawat murah dengan menggunakan komputer milik perusahaan. Yang penting, pekerjaan mereka tuntas.


Bagaimana dengan Trias, salah satu karyawan andalan Storm Advert? Keasyikan apa yang sedang dilakoninya?

Lelaki pesepeda itu tengah larut dengan kertas dan pensil 2B. Asyik mengguratkan grafit di ujung pensil pada permukaan kertas putih, menggambar sebuah ilustrasi yang sekilas terlihat berwujud rak pannier belakang sepeda. Tak ada yang mengerti makna dari ilustrasi tersebut, selain dirinya sendiri. Hmm... tipikal seorang seniman.

Dan di depan wajahnya, layar monitor komputer menampilkan laman sebuah artikel online yang membahas tentang pilihan nama anak dalam ranah Islami. Tidak sinkron dengan ilustrasi yang sedang digambarnya, memang. Trias terinspirasi untuk menggambar ilustrasi rak pannier belakang sepeda, setelah menemukan nama yang cocok untuk calon putranya?

Sungguh ambigu.


Lalu, suara dering ponsel pintar di saku kiri celana katun hitam Trias, membuyarkan keheningan ruangan kerja Storm Advert. Dan imbas terbesar tentu saja dialami sang pemilik smartphone, yang sontak berdiri dan bergegas merogoh saku kiri celananya.

Trias melirik layar LCD, setelah ponsel berada di genggaman. Nama 'My Suzie' terpampang sebagai caller ID. Nama yang membuatnya terburu-buru dan salah menekan tombol, hingga panggilan telepon tersebut justru di-reject.


Namun, karena memang tak pernah berniat menolak panggilan telepon, Trias pun kemudian balik menelepon ke nomor istrinya. Dan baru terdengar sekali nada panggil, seseorang di seberang sana telah menjawabnya,

"Kenapa tadi kamu reject, Trias?"

"Bapak?" ujar Trias. Sontak raut wajahnya meremang, mendapati malah bapak mertuanya yang menjawab panggilan telepon tersebut. "Mana si Néng?"


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tak sampai sepuluh menit kemudian,


"Hati-hati di jalan," ingat Kang Tata. "Jangan dibawa panik, Lur. Nanti malah kamu yang celaka."

Trias mengangguk. "Iya, Kang."

"Sok, atuh," ujar Kang Tata. "Segera meluncur. Hmm... daerah Manjahlega lumayan jauh, lho!"

Trias hanya tersenyum, yang tampak hambar.


Sepeninggal Trias, Tessa memasuki ruang kerja Kang Tata.

"Kebetulan kamu ke sini," ucap Kang Tata, sambil tersenyum lebar.

"Ada apa, Kang?" tanya Tessa.

"Sebelum ke rumahmu, kita menjenguk Néng Suzie ke rumah sakit," jawab Kang Tata.

Tessa menatap Kang Tata lekat-lekat. "Ada apa dengan Suzie?"

"Mungkin memang udah waktunya, Tessa," gumam Kang Tata.

Raut wajah Tessa berubah, menjadi sulit untuk didefinisikan.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dua malam sebelumnya,


"Lebih baik kita tinggal di Mekarwangi," saran Trias.

"Biar lebih dekat dengan rumah sakit, ya," tebak Suzie.

Trias mengangguk.

"Iya, sih..." gumam Suzie. "Néng merasa, sepertinya ini udah dekat sekali dengan waktunya bersalin."

"Malam ini, bagaimana?" tawar Trias.

"Udah kemalaman, Aa," tolak Suzie. "Mau pakai apa ke sana?"

"Taksi online 'kan banyak," jawab Trias.

"Besok, gimana Aa berangkat kerja?" tanya Suzie lagi.

"Sepeda tinggal dipreteli," jawab Trias. "Jadi, bisa ikut dibawa ke Mekarwangi."

"Si Dédé?" kejar Suzie. "Gimana sekolahnya besok?"

"Bolos dulu," ucap Trias. "Néng... si Dédé itu masih anak TK. Dia nggak akan drop out hanya karena bolos dua atau tiga hari."

"Aa mah..." tanggap Suzie, lalu tergelak. "Ya udah... kita bersiap-siap."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Yang membuat Trias dan Suzie terkejut, adalah keberadaan Jan dan Anna di Mekarwangi.

"Nah... ada angin apa, kalian tiba-tiba hadir di sini?" tanya Trias. "Beruntung, kebetulan kami memang berencana tinggal beberapa hari di sini."

"Suzie mengabari Anna," jawab Jan.

Trias menatap Suzie. Yang ditatap hanya tersenyum.

"Begitu Suzie mengabari, kami langsung berangkat," tambah Anna. "Ternyata, justru perjalanan kalian terhambat. Jadi, kami datang duluan."

"Udah lama tiba di sini?" tanya Trias.

"Belum sampai setengah jam," jawab Anna. "Semalam ini, lalu lintas di bilangan Kopo masih padat, ya? Kok kalian baru sampai?"

"Biasalah..." Trias tertawa kecil. "Bukan Kopo kalau nggak macet, Téh."

Anna ikut tertawa.


Trias dan Suzie minta diri sejenak untuk masuk kamar, karena Kirei menunjukkan gelagat bahwa dirinya sudah mengantuk. Kamar yang dimaksud adalah kamar tidur Suzie semasa masih tinggal bersama Bapak dan Ibu. Di kamar itulah Trias, Suzie juga Kirei tidur setiap bermalam di Mekarwangi.

"Kenapa kamu mengabari Kang Jan dan Téh Anna?" tanya Trias, dengan setengah berbisik, khawatir suaranya terdengar ke luar.

"Salah, ya?" tanya balik Suzie.

"Nggak salah, sih," jawab Trias. "Tapi... aku nggak mau merepotkan mereka, Néng."

Suzie memegangi lengan kiri Trias.

"Tapi, nggak apa-apa, deh..." sambung Trias. "Mungkin, dengan kehadiran Téh Anna, hati kamu jadi lebih tenang, ya."

"Kok Aa tahu?" cetus Suzie.

"Apa, sih, hal tentang kamu yang nggak aku ketahui?" tantang Trias.

"Banyak," jawab Suzie.

"Memang," imbuh Trias, sembari nyengir.

Suzie tertawa renyah.


"Udahan berantemnya?" ujar Kirei tiba-tiba.

Trias dan Suzie serempak menoleh ke arah Kirei yang sejak memasuki kamar segera rebahan di atas tempat tidur itu.

"Siapa yang berantem, De?" tanya Suzie.

"Iya," tambah Trias, sambil duduk di tepi tempat tidur. "Papa Om dan Ma Uzi cuma mengobrol, kok."

"Nggak boleh berantem," ingat Kirei.

"Iya, De," ucap Suzie, dengan memberi penekanan pada nada suaranya.


"Dia udah terlalu mengantuk," bisik pelan Trias pada Suzie. "Makanya begitu."

Suzie mengangguk tanda sepaham.

"Kamu keloni, gih!" perintah Trias. "Biar dia cepat tidur."

"Aa mau ke mana?" tanya Suzie.

"Ke luar lagi," jawab Trias. "Masa' Kang Jan dan Téh Anna nggak ditemani?"

Suzie mengangguk sambil tersenyum.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Suzie memang udah menunjukkan gejala akan segera melahirkan, ya?" tanya Anna, tak lama setelah Trias keluar kamar, dan menghampiri dirinya.

"Aku nggak tahu persis," Trias mengangkat bahu. "Belum pernah hamil, sih."

"Kamu..." tukas Anna, lalu tergelak.

"Mungkin naluri si Néng yang mengatakan begitu," lanjut Trias. "Udah dua hari terakhir, dia sering bicara tentang persiapan persalinan."

"Suzie yang minta diantar ke sini?" tanya Anna.

"Nggak, Téh," Trias menggeleng. "Ini ide aku. Yang aku pikirkan adalah soal jarak. Soreang, 'kan, di ujung dunia."

Anna tertawa.

"Dan kami nggak punya mobil," sambung Trias. "Yah... memang ada taksi online. Tapi, tetap aja, dalam keadaan darurat, pasti akan sangat merepotkan."

"Iya, sih..." imbuh Anna. "Apalagi, ketika kamu sedang di kantor, siapa yang bisa dimintai pertolongan?"

Trias mengangguk setuju.


Obrolan Trias dan Anna terhenti, karena Jan memanggil istrinya. Namun, segera setelah sepasang suami-istri itu usai berbincang, Anna kembali duduk di dekat Trias.

"Soal pertolongan," Anna memulai kembali obrolan dengan Trias. "Jangan sungkan untuk menghubungi aku atau Kang Jan, jika butuh bantuan, ya."

"Nggak merepotkan, Téh?" tanya Trias, terdengar sangsi.

"Lha... kami yang menawarkan bantuan, Dul," ujar Anna. "Masa' kami harus merasa direpotkan saat permintaan itu datang?"

Trias hanya tersenyum.

"Kamu pasti bisa merasakan sendiri, 'kan, seberapa besar perhatian kami, terutama Kang Jan, kepada kalian?" tutur Anna. "Rasanya aneh, kalau dalam situasi sepenting ini, situasi persalinan Suzie, kami justru nggak peduli."

"Kalian memang baik," gumam Trias.

"Kalian juga selalu baik kepada kami," balas Anna, sambil tersenyum. "Dengan saudara memang harus seperti itu, 'kan?"


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kembali ke hari ini,


Trias setengah berlari menyusuri koridor menuju ruang persalinan. Bapak dan Kirei menyambutnya.

"Aku terlambat?" tanyanya, ditimpali sengal napas.

Bapak menggeleng sambil tersenyum. "Belum, Nak. Kamu mau menunggui Suzie?"

"Nggak, Pak," jawab Trias cepat. "Aku ngeri."

Bapak tertawa renyah. "Ya sudah, kita sama-sama menunggu di sini saja."


Jangan ditanya, seperti apa kegalauan yang dirasakan oleh Trias. Bagi seorang suami, menanti proses persalinan istri berisi tiga opsi hasil. Pertama, resmi menjadi ayah. Kedua, gagal menjadi ayah. Ketiga, menjadi duda. Semua suami menginginkan pilihan pertama, dan tak pernah bermimpi mengalami dua opsi tersisa. Namun, takdir Yang Maha Kuasa dapat menghasilkan apapun.

Satu pilihan baik dari tiga pilihan yang ada, alias sepertiga dari seratus persen, itulah yang mencemaskan Trias.


Dan hampir seperempat jam kemudian, kegalauan Trias membuncah, seiring terdengarnya suara tangisan bayi. Lalu, tak lama, pintu ruang bersalin dibuka dari dalam, disusul keluarnya seorang perawat berkerudung.

"Keluarga Ibu Suzie?" tanyanya, sambil menatap berkeliling. Mengingat hanya ada Trias dan Bapak di ruangan tersebut, tatapan si perawat pun segera tertumbuk pada dua sosok itu saja.

"Iya, Téh," jawab Trias.

"Sudah selesai persalinannya, Pak," perawat itu tersenyum. "Ibu dan bayinya selamat dan sehat."

Bapak sontak mengucapkan kalimat syukur, sementara Trias hanya mampu menundukkan kepala sambil membisikkan sesuatu. Mungkin sama seperti Bapak, berucap sebaris kalimat syukur.

"Ditunggu sebentar, Pak," lanjut si perawat. "Bapak-bapak belum boleh masuk."


Trias tidak peduli.

Bahkan jika mesti menunggu hingga berjam-jam pun, ia rela. Asalkan kabar tentang keselamatan istri dan anak bayinya jelas, tentu penantian Trias takkan segalau tadi.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Ketika Trias, Kirei dan Bapak masuk, terlihat Suzie masih terbaring lemah, didampingi Ibu. Sementara, bayinya telah dibawa perawat untuk dibersihkan dan dibaringkan di ruang bayi.

"Anak kita ganteng, Aa," bisik Suzie. "Kayak ayahnya."

"Iya, Néng," tanggap Trias, sembari tersenyum. "Kalau ganteng kayak ibunya, 'kan, aneh."

Suzie mengerang manja.

"Tapi, aku belum melihat bayi kita, lho!" ingat Trias. "'Kan udah terlanjur dibawa perawat."

"Lihat dulu, atuh," suruh Suzie. "Biar nggak penasaran."

"Nggak penasaran," bantah Trias, sambil kembali tersenyum. "Tadi kamu bilang, anak kita ganteng, kayak ayahnya. Aku udah sangat tahu kontur wajahku sendiri, kok!"

"Ih... Aa..." Suzie mengerang lagi.


"Saat ini, hidupku udah lengkap, Néng," ucap Trias pelan. "Aku punya istri sepertimu, anak asuh cantik, dan anak kandung ganteng."

Suzie tersenyum. "Hidup Néng juga sesempurna itu, Aa. Dan itu terjadi semenjak Néng mengenal Aa. Lalu, banyak hal terjadi dalam hidup kita, susah maupun senang. Beruntung, Néng menghadapinya dengan Aa. Kalau bareng orang lain... Néng nggak yakin, bakalan bisa tetap tabah."

"Dan sebaliknya," timpal Trias. "Kalau nggak melihat ketabahanmu, mungkin aku juga udah patah semangat, Néng."

"Kita memang pasangan yang solid ya, Aa," telapak tangan kanan Suzie menyentuh lengan kiri Trias. "Nggak terkalahkan."

"Iya, Néng," Trias tersenyum. "Biar Manchester United aja yang sering kalah. Kita mah jangan."

"Aa mah..." mendadak Suzie cemberut. "Kenapa analoginya mesti Manchester United, sih?"

Senyum Trias makin lebar. Dan bertendensi ejekan.


Suzie melirik Kirei, yang sedari tadi hanya berdiri mematung tidak jauh dari Bapak dan Ibu. Dengan gerakan tangan kanannya yang masih lemah itu, ia meminta anak asuhnya agar mendekat. Kirei pun menurut.

"Sekarang, Dédé punya adik," ucap Suzie, sembari tersenyum. "Laki-laki, ganteng."

Kirei tersenyum lebar. "Kayak Papa Om, ya?"

"Ma Uzi bilangnya begitu," timpal Trias. "Nanti kita lihat, ya."

Kirei mengangguk.

"Dédé senang?" tanya Suzie. "Senang punya adik?"

Kirei mengangguk lagi.

"Kalau senang punya adik, tolong jaga, ya," tangan kanan Suzie terulur, mengelus lembut ubun-ubun Kirei. "Jangan nakal, jangan jahil dengan adiknya. Janji?"

"Janji," ujar Kirei, sembari mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, membentuk huruf 'V'.

Sontak Suzie menatap Trias tajam. "Aa yang mengajarkan si Dédé bersikap begitu, ya?"

"Iya," Trias terkekeh. "Lucu, 'kan?"

"Lucu," gumam Suzie. "Karena si Dédé yang melakukannya. Coba kalau Aa."

"Kalau aku, kenapa?" tantang Trias.

"Nggak lucu, jadinya," jawab Suzie. "Kalau Aa... jadinya ganteng. Seperti bayi kita."


Perdebatan ringan dengan tema yang cenderung absurd, memang acap terjadi di tengah interaksi antara Trias dan Suzie. Ujungnya hampir selalu berakhir dengan tawa. Trias kerap melontarkan argumen tertentu untuk mengawali kata-kata gombal dan rayuan, sementara Suzie selalu terpancing untuk meladeni. Namun, perdebatan berakhir tak jelas, akibat Suzie telanjur 'terperdaya' oleh gombalan suaminya.

Nah, Kirei selalu salah mengerti. Bocah itu sering menganggap obrolan a la Trias dan Suzie sebagai pertengkaran. Usia yang jauh dari kata dewasa membuat Kirei belum mampu memadankan isi perdebatan dengan gestur wajah orang tua asuhnya. Itulah sebabnya, mengapa Kirei sering mengingatkan Trias dan Suzie,

"Jangan berantem."


Kali ini, peringatan polos Kirei belum sempat terlontar, karena perawat sudah telanjur memasuki ruangan.

"Bayinya sudah disimpan di ruang bayi," kabar perawat itu. "Silakan, jika Bapak ingin melihat."

"Lihat, gih!" perintah Suzie, menatap Trias. "Biar nggak penasaran."

"Aku nggak penasaran, Néng," tanggap Trias. "Sekali lagi, karena aku udah sangat tahu kontur wajah..."

"Ini tentang bayi kita, Aa," potong Suzie, dengan nada tegas. "Dia ganteng, seperti Aa. Tapi, nggak sama persis dengan Aa, 'kan?"

"Iyalah, Néng," ujar Trias. "Kalau begitu lahir, wajah bayi kita sama dengan wajahku, bidannya pasti ngeri melihatnya."

Suzie tertawa kecil. "Tubuhnya mungil seperti umumnya bayi, tapi wajahnya bangkotan, ya?"

"Aku belum bangkotan, Néng!" protes Trias. "Kalau aku bangkotan, pasti..."

"Pasti Néng nggak mau menikah dengan Aa," potong Suzie, seraya nyengir.

Trias tertawa.

"Sok atuh..." ucap Suzie. "Aa lihat bayi kita dulu, bareng Bapak dan si Dédé."

"Iya, Néng," sanggup Trias, seraya mulai beranjak menjauhi ranjang tempat istrinya berbaring. Tangan kirinya melakukan gerakan mengibas, ditujukan sebagai isyarat ajakan kepada Kirei.


Namun sejurus kemudian, Trias kembali menghampiri Suzie.

"Kenapa, Aa?" tanya Suzie.

"Mumpung masih ingat," ujar Trias. "Aku cuma mau bilang, setelah melahirkan, tubuh gendut kamu makin kelihatan."

Suzie merengut. "Awas, siah..."

"Nggak, Néng," Trias menjawil ujung hidung Suzie. "Segendut apapun tubuh kamu, aku tetap sayang, kok."

Suzie menanggapi dengan senyuman.

"Dan aku akan lebih sayang," lanjut Trias. "Kalau kamu kembali langsing."

Suzie cemberut lagi.


Kini tinggal Suzie dan Ibu, di dalam ruangan.

"Suamimu, De," cetus Ibu. "Paling bisa menjahilimu."

"Iya, Bu," Suzie tertawa renyah. "Si Aa itu... mahir bikin aku tertawa, tapi sedetik kemudian malah bikin aku cemberut."

"Dan lihat saja nanti," timpal Ibu. "Kekonyolan apa lagi yang akan dibuatnya saat kembali."

Suzie kembali tertawa.


Seperempat jam kemudian, Trias kembali ke ruangan bersama Kirei.

"Mana Bapak?" tanya Ibu.

"Ke minimarket," Kirei yang menjawab. "Beli minuman buat Dédé."

"Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Suzie.

"Malu," lirih Kirei, sembari tersipu.


"Nah, kalau suamiku ini," Suzie mengalihkan tatapan kepada Trias. "Kenapa cemberut?"

"Karena kamu berbohong, Néng," cetus Trias.

"Néng berbohong soal apa?" tanya Suzie heran.

"Iya, kamu berbohong," ulang Trias. "Tadi kamu bilang, anak kita ganteng kayak ayahnya."

"Lha, memang begitu kenyataannya, 'kan?" ujar Suzie.

"Kenyataannya, anak kita lebih ganteng daripada ayahnya," keluh Trias. "Ternyata kamu berbohong, Néng."

Suzie tertawa. Ibu juga.


Setelah kedatangan Trias, seolah dikomando, Ibu segera mundur teratur dan duduk di kursi sofa. Kirei ikut, duduk di sisi kanan neneknya. Tinggallah Trias, yang kembali menghadapi istrinya.

"Jujur, tadi aku menangis," ucapnya, setengah berbisik. "Menyaksikan bayi yang sehat dan lucu, yang ternyata adalah anak kita."

"Bikin Aa melupakan segala kenangan buruk yang pernah menghampiri pernikahan kita, ya?" tebak Suzie.

Trias mengangguk.

"Perjalanan kita sangat terjal, untuk tiba di titik ini," lanjut Suzie. "Tapi, kita bisa melewatinya. Dan... lihatlah hadiah dari usaha kita."

"Nggak ternilai, Néng," Trias tersenyum. "Dulu, aku menganggap kamulah hadiah terbesar dalam hidupku. Sekarang..."

"Sama, Aa," Suzie juga tersenyum. "Néng merasa, hadiah ini nggak akan tergantikan."


Trias mengusap lembut wajah cantik Suzie dengan punggung tangan kanannya. Sang istri hanya tersenyum, menerima sentuhan lembut tersebut. Mungkin telah ribuan kali sentuhan serupa diterimanya, namun Suzie selalu merasakan degup hebat di dadanya. Bertahun-tahun, sentuhan Trias selalu berhasil melambungkan hatinya hingga menyentuh langit tertinggi.

Sebelum Trias hadir, Suzie sudah tak asing dengan sentuhan pria terhadap tubuhnya. Hanya saja, sentuhan tersebut kentara bertendensi birahi belaka. Cinta dan sayang? Hmm… mungkin hanya terucap di bibir saja, ketika nafsu binatang mendekati puncaknya. Terucap saja, namun tanpa makna.


Lalu Trias mengenalkan paradigma baru dalam keseharian Suzie. Paradigma yang menjelaskan betapa rasa cinta dan sayang tidak melulu harus terlantunkan secara lisan, namun dapat dengan gamblang ditampilkan berupa perbuatan. Hingga detik ini.

Silakan bertanya pada Suzie: berapa kalikah dalam sehari, sang suami mengucapkan kalimat ‘Aku sayang kamu’? Dijamin, pertanyaan tersebut akan membuat wanita tersebut kebingungan. Mencoba menghitung, dan berhasil. Namun gagal memberikan jawaban berupa sederet angka.

Tapi, cobalah untuk sedikit memodifikasi pertanyaannya: berapa kalikah dalam sehari, sang suami bersikap layaknya kalimat 'Aku sayang kamu’? Dijamin, pertanyaan tersebut akan membuat wanita tersebut tersipu. Lalu bergumam pelan, di tengah sipu malu itu, “Sepanjang waktu.”

Ya, Suzie tahu, betapa Trias menyayanginya tanpa kenal waktu.


"Aa udah punya ide soal nama anak kita?" tanya Suzie.

"Mmm... belum," jawab Trias. "Aku udah sering membaca-baca artikel di internet tentang nama anak. Dan makin sering membaca, aku malah makin bingung. Yaa... kamu tahu sendiri, Néng, nama-nama yang disebutkan oleh Go**le pasti punya makna yang baik."

"Nggak mungkin kalau digabungkan, ya," kelakar Suzie. "Terlalu panjang, jadinya. Kasihan anak kita, kalau udah dewasa nanti. Pasti kebingungan ketika buka rekening tabungan, misalnya, karena form isiannya terbatas."

Trias tertawa.

"Yang pasti, jangan terlalu lama menentukan nama anak kita, Aa," lanjut Suzie. "Kita harus segera bikin akte kelahiran, lho!"

"Iya, aku tahu," tanggap Trias. "Bulan depan udah waktunya mendaftarkan anak kita sekolah, 'kan? Dan butuh akte kelahiran sebagai salah satu syarat."

Giliran Suzie yang tertawa.


"Néng Kirei," suara Bapak dari ambang pintu, mengalihkan perhatian Trias dan Suzie. Ibu dan Kirei yang duduk di sofa juga serempak menatap ke arah pintu. "Ini minumannya."

Kirei melompat turun dari sofa, dan menghampiri Bapak, yang pada saat bersamaan justru melangkah menghampirinya. Lelaki bijak itu mengeluarkan sebotol minuman dari dalam kantong keresek, lalu menyodorkannya pada Kirei. "Yang seperti ini, Néng Kirei suka?"

Kirei menjawab dengan anggukan kepala.

"Tapi, cuma ada yang dingin," lanjut Bapak. "Tidak apa-apa?"

Kirei malah menatap Suzie, dengan sorot mata seolah minta persetujuan. Ibu angkatnya itu tersenyum, seraya mengangguk. Dan setelah persetujuan tersebut diperoleh, barulah Kirei berani menerima sodoran minuman botol itu.

"Anak pintar," ujar Bapak, sambil mengusap lembut ubun-ubun Kirei. "Menuruti apa kata orang tua."

Kirei tersipu. Lalu, ia kembali ke sofa, menghampiri Ibu. Gelagat salah tingkah kentara terlihat darinya.


Bapak menghampiri ranjang, lalu meletakkan dua botol minuman dingin di atas lemari kecil di sisi kanan ranjang.

"Terima kasih, Pak," ucap Trias, sementara Suzie hanya tersenyum sebagai tanda terima kasih.

"Iya, Nak Trias," jawab Bapak, juga sambil tersenyum.

"Ibu tidak dibelikan, Pak?" seru Ibu.

"Ini," Bapak mengangkat kantong keresek. "Ada, Bu. Sabar, atuh."

Ibu terkekeh.


Kembali Trias berduaan dengan Suzie, sepeninggal Bapak yang menghampiri sofa, kemudian duduk bersama Ibu dan Kirei.

"Mau diminum sekarang, Néng?" tawar Trias.

Suzie mengangguk.

"Kamu bisa duduk?" tanya Trias lagi.

Suzie kembali mengangguk. "Bantu Néng duduk, Aa."

"Iya," Trias tersenyum. Kedua tangannya cekatan memberikan bantuan tenaga, agar sang istri mampu bangkit dengan lebih mudah.


"Jadi ingat dulu," ujar Suzie. "Setiap sehabis Aa celaka ketika gowes, Néng pasti membantu Aa untuk duduk."

Trias tertawa kecil.

"Dan... salah satu kecelakaan itulah yang bikin kita jadi dekat," sambung Suzie. "Aa masih ingat, 'kan, kecelakaan yang mana?"

"Aku selalu ingat setiap hal yang aku lakukan bersama kamu," bisik Trias. "Bahkan sampai momen paling 'nggak penting', Néng."

"Memangnya ada, ya, momen nggak penting di antara kita?" sangkal Suzie.

"Nggak ada, sih..." Trias terkekeh. "Semua momen itu penting dan bernilai. Saling berkaitan hingga akhirnya sekarang kita bisa tiba di fase ini."

"Momen indah," gumam Suzie. "Kalau momen pahit, apakah itu bernilai?"

Trias tersenyum. "Momen pahit justru akan jadi kenangan indah, ketika kita mengingatnya suatu saat nanti, Néng."

"Iya, sih..." Suzie ikut tersenyum. "Contohnya ini, Aa."

Trias menggenggam telapak tangan kiri Suzie yang bergerak meraba kaki kanannya yang putus.

"Saat ini, Néng mulai bisa mengenang kejadian hilangnya kaki Néng sebagai kenangan indah," lanjut Suzie. "Kejadian itu justru bikin Néng sadar, bahwa selama ini, Néng selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangi Néng. Memang, sih... mesti disayangkan karena kesadaran itu baru muncul setelah dipicu tragedi. Tapi, Néng tetap harus mensyukurinya."


Di dalam hati, Trias mengucapkan rasa syukur. Karena, jika mengingat betapa terpuruknya Suzie pascaamputasi, tak terbayangkan bahwa sang istri mampu bersikap begitu legawa, saat ini.


Tiba-tiba, suasana sontak berubah, ketika pintu diketuk seseorang dari luar, disusul masuknya enam orang secara bergiliran. Semuanya bergantian menyalami Bapak, Ibu juga Kirei, sebelum akhirnya menghampiri dan mengelilingi ranjang tempat Suzie terbaring.

"Kenapa bisa seperti ini, sih?" tanya Suzie lirih. "Kalian semua menjenguk di saat yang bersamaan."

"Bisalah, Néng," jawab Trias. "Saat ini 'kan memang jam besuk."

"Iya, Néng tahu," ujar Suzie. "Tapi, kenapa harus..."

"Aku langsung mengajak Ghani, setelah Trias mengabari," potong Ferdi, menjelaskan, sambil menunjuk Ghani.

"Dan aku pasti mengajak Tirana," tambah Ghani, sembari menunjuk Tirana, juga Rida. "Nah... sebelumnya, aku juga mengabari Rida. Dan dia kepingin membesuk bareng kami."

Suzie mengangguk. Lalu menatap Jan dan Anna bergantian, yang berdiri di sisi ranjang berlawanan, mengapit Trias. "Kalau Kang Jan dan Téh Anna?"

"Kalau kami, hanya kebetulan datang bersamaan dengan mereka," jawab Anna. "Kami semua bertemu di lobi rumah sakit."

Suzie mengangguk lagi. Lalu menatap Trias. "Kang Yadi dan Kang Recky nggak akan ke sini, Aa?"

"Katanya besok, bareng istri-istrinya," jelas Trias. "Tadi Kang Recky men-chat aku."

"Karena nggak mungkin membonceng para istri pakai sepeda, ya," seloroh Suzie. "Nanti betisnya pecah."

Semua orang yang berada di ruang rawat kelas II itu pun tertawa.


"Aa..." gumam Suzie, sambil tangan kirinya menepuk pelan lengan kanan Trias. "Kang Tata nggak akan membesuk?"

"Siapa bilang?" seru suara dari arah pintu.

Semua orang di ruangan itu serempak menoleh ke arah sumber suara. Ya, Kang Tata berdiri di ambang pintu, sambil tersenyum lebar.

"Bos aku yang sedang happy berat, akhirnya datang," kelakar Trias, disambut tawa kecil sang atasan. "Datang dengan...?"

"Iya," potong Kang Tata. "Aku datang bareng Tessa."

"Téh Tessa..." ujar Suzie, dengan nada sedikit terkejut.


Tessa melangkah masuk, membuntuti Kang Tata. Keduanya menyalami Bapak, Ibu dan Kirei, juga semua orang yang berada di ruang rawat tersebut, dengan Suzie sebagai orang terakhir yang mereka salami.

"Téh Tessa..." ucap Suzie pelan, cenderung berbisik. "Terima kasih."

"Terima kasih untuk apa?" tanya Tessa, sambil membungkukkan tubuh agar wajahnya dapat lebih dekat dengan wajah Suzie.

"Setelah semua yang terjadi di masa lalu, Tétéh masih mau menjenguk aku," tutur Suzie. "Aku nggak..."

"Nggak usah diingat-ingat lagi," Tessa tersenyum. "Kamu nggak sepenuhnya bersalah."

Suzie tersenyum getir. "Aku yang..."

"Jangan pikirkan itu," potong Tessa. "Nanti kamu stres. Ingat, Suzie. Kalau pikiranmu stres, bayimu juga terkena imbasnya."

Suzie mengangguk lirih.

"Senyum, atuh," bujuk Tessa. "Hari ini, 'kan, kamu jadi manusia paling berbahagia di dunia. Punya suami hebat, anak asuh cantik, dan sekarang... bayi yang sehat dan lucu."

Suzie pun tersenyum.


Tessa bergabung dengan enam orang dewasa yang berada di ruang rawat itu. Menyusul Kang Tata yang sudah lebih dahulu bergabung. Tentu, Kang Tata memberikan sedikit kata pengantar perihal Tessa. Karena, kecuali Trias dan Rida, empat orang lainnya memang baru kali ini berkesempatan untuk bertemu dengan Tessa.

Alhasil, ruang rawat kelas II itu pun mendadak berubah menjadi lokasi reuni. Nah, kalau sudah begini, Kirei menjadi pihak yang 'teriritasi'. Bocah cantik yang baru beberapa bulan menjadi murid Taman Kanak-kanak itu hanya duduk di kursi sofa, menatap wajah setiap orang yang mengelilingi ranjang, tanpa bicara sedikit pun.

Ya, si Dédé hanya akrab dengan Trias dan Suzie, namun selalu kikuk saat berada di tengah sekumpulan orang baru. Termasuk di hadapan Jan dan Anna, yang notabene adalah kerabat dari orang tua angkatnya. Juga di depan Ghani, Tirana, Ferdi dan Rida, yang sebenarnya telah berkali-kali dijumpainya. Meski tidak lantas bersikap apatis, tingkah Kirei sungguh mengibakan.

Yang membuat situasi jadi lebih parah, para orang dewasa di sekitarnya terlalu asyik dengan 'reuni kecil' tersebut. Tak ada yang menyadari keadaan 'terjepit' Kirei.


Justru Tessa yang 'menyelamatkan' Kirei. Setelah menyalami semua orang di ruangan, wanita berwajah manis itu langsung duduk tepat di sebelah kanan Kirei.

"Kirei, ya?" sapanya.

Kirei menjawab dengan anggukan kaku.

"Aku Tessa," lanjut Tessa.

"Pacarnya Om Tata?" timpal Kirei.

Tessa seperti tersedak menahan tawa, lalu menggeleng.

"Tapi datangnya bareng," sambung Kirei.

"Aku dan Om Tata 'kan tempat kerjanya sama," jelas Tessa. "Jadi bisa berangkat sama-sama ke sini."

"Berarti, Tante juga temannya Papa Om, atuh?" tebak Kirei.

Tessa tersenyum. "Iya."


Itulah keajaiban khas bocah.

Kirei yang biasanya canggung di tengah orang-orang yang notabene sudah dikenalnya, justru bisa cepat akrab dengan seseorang yang baru dikenalnya. Hmm... mirip dengan kisah kedekatan dirinya dengan Trias dan Suzie, yang berlangsung alamiah dan tiba-tiba. Seolah memang ditakdirkan seperti itu, karena kelak mereka akan menjadi anak dan orang tua asuh.

Pertanyaannya, apakah keakraban yang terjalin tiba-tiba di antara Kirei dan Tessa, adalah juga pertanda takdir? Takdir seperti apa? Tentu saja, tidak ada seorang pun yang tahu.


"Papa Om kerjanya malas, nggak?" celetuk Kirei, sukses membuat Tessa kembali tersedak menahan tawa.

"Kenapa Kirei menanyakan itu?" tanya Tessa. "Memangnya Kang Trias, eh... Papa Om malas, ya, di rumah?"

"Nggak," jawab Kirei. "Papa Om, 'kan, pergi kerja naik sepeda. Sampai di kantor, malah tidur, ya? Kecapekan."

Tessa tertawa lagi. "Nggak, atuh. Papa Om rajin, kok. Tanya aja ke Om Tata."

"Malu, ah," gumam Kirei.

Lagi-lagi Tessa tertawa.


Gelagat salah tingkah masih terlihat pada sikap Kirei. Namun kadarnya telah jauh berkurang, dibandingkan dengan ketika ruangan ini 'diinvasi' delapan orang dewasa, beberapa menit sebelumnya. Setidaknya, Kirei punya seseorang yang dapat dijadikan teman, meski sementara, setelah atensi kedua orang tua asuhnya direbut para pembesuk.

"Kirei senang punya adik?" tanya Tessa.

"Senang," Kirei mengangguk. "Tapi itu bukan adik asli Dédé. Dédé mah nggak akan punya adik asli."

Tessa mendadak speechless. Celotehan tanpa beban dari bibir Kirei, sukses menohok hati terdalamnya.

"Tapi, kamu harus sayang dia, seperti adik sendiri," ujar Trias, yang tanpa diduga, telah berdiri di belakang Tessa. "Dédé memang anak Mama, tapi sekarang Dédé udah jadi anak Papa Om dan Ma Uzi, 'kan?"

Kirei mengangguk.

"Dan bayi yang baru lahir itu," sambung Trias. "Jadi adik Dédé juga. 'Kan, dia anak Papa Om dan Ma Uzi. Sama seperti Dédé. Iya, 'kan?"

Kirei mengangguk lagi.


"Kirei!" seru Jan. "Sini, atuh."

Kirei melemparkan pandangan ke arah Jan, yang masih tetap berdiri di sisi ranjang, bersanding dengan Anna.

"Nggak kangen sama Om Jan, gitu?" sambung Jan.

"Nggak, tuh..." cetus Kirei ringan, sukses membuat Trias dan Tessa tertawa geli.

"Duh... Gusti..." keluh Jan. "Masih kecil, udah mahir bikin gondok orang. Pasti diajari papanya, ya?"

"Lha?" Trias mendelik. "Kenapa jadi menyalahkan aku, coba?"

Jan hanya terkekeh.


"Dédé..." ucap Trias. "Sana, main dengan Om Jan dan Tante Anna."

Kirei terlihat ragu.

"Mereka pasti bawa makanan untuk Dédé," tambah Trias. "Biasanya begitu, 'kan? Coba, tanya sama Tante Anna."

Kirei menatap Anna. Dan sorot matanya sontak berbinar, saat dilihatnya wanita cantik itu juga menatapnya, sambil mengangkat tas yang disandangnya.

"Tuh..." bisik Trias. "Pasti Tante Anna membawa sesuatu untuk Dédé, di dalam tasnya."

Kirei mengangguk.


Sepeninggal Kirei,

“Kirei nggak pernah melupakan orang tua kandungnya, ya?” ujar Tessa.

“Iya,” Trias tersenyum. “Kami yang bikin dia selalu ingat orang tua kandungnya. Kirei nggak boleh melupakan asal-usulnya.”

“Nggak ada niat dari kalian untuk mengadopsi Kirei secara permanen, ya?” tanya Tessa. “Tanggung, lho!”

“Mungkin nanti,” jawab Trias. “Saat ini, Kirei masih punya nenek, satu-satunya kerabatnya. Kalau neneknya itu udah nggak ada, pasti kami akan pikirkan untuk mengadopsinya secara permanen.”

I see…” Tessa mengangguk pelan. “Hmm… pasti kalian udah terbiasa dengan pernyataan-pernyataan Kirei yang berhubungan dengan ketiadaan orang tuanya, ya.”

Trias menjawab dengan tawa kecil.

“Tadi hal itu terlihat, Trias,” sambung Tessa. “Ketika aku speechless, akibat ucapan Kirei, kamu malah bisa dengan enteng menasehatinya.”

Trias tertawa lagi. “Itu muncul karena keterbiasaan, Téh. Di awal-awal perkenalan dengan Kirei, kami juga sering speechless seperti yang dialami Tétéh tadi. Sekarang, sih, kami udah lebih mahir. Apalagi Suzie.”

“Naluri seorang ibu,” tanggap Tessa, sembari tersenyum.

Trias hanya mengangguk.


Selanjutnya, Trias dan Tessa hanya saling diam. Keduanya malah sama-sama asyik menikmati suasana di ruangan. Memerhatikan Anna yang menyuapi Kirei, kue basah yang dibawanya. Memerhatikan Suzie yang sesekali tertawa kecil, menanggapi gurauan orang-orang yang berdiri mengelilingi ranjangnya. Juga memerhatikan Bapak dan Ibu yang juga memilih untuk diam memerhatikan suasana di ruangan

“Kamu sadar, Trias?” cetus Tessa.

Trias menatap Tessa dengan sorot mata bertanya.

“Persalinan Suzie sukses mempersatukan dunia,” jawab Tessa. “Yah… setidaknya, dunia dalam lingkup kecil yang kita tinggali.”

Trias sontak menatap satu demi satu, setiap orang yang berada di dalam ruangan. Terpekur sejenak, kemudian akhirnya tersenyum.

“Beberapa di antara kita, sebelumnya nggak saling mengenal,” lanjut Tessa. “Ada juga yang udah saling mengenal, tapi punya hubungan buruk di masa lalu. Hari ini, di ruangan ini, semua berkumpul dan bergurau bersama.”

“Menyenangkan sekali, Téh,” Trias mengangguk. “Hmm… semoga ini bukan berisi kepalsuan ya, Téh.”

“Aamiin…” imbuh Tessa. “Semoga kita semua memang udah berubah menjadi pribadi yang baik. Hmm… sama seperti Suzie, yang saat ini jadi pribadi yang sangat baik. Kamu sebagai suaminya pasti lebih tahu, ‘kan?”

Trias hanya mengangguk pelan.

“Aku udah melupakan cerita masa lalu itu,” sambung Tessa. “Aku nggak menyalahkan Suzie. Itu bukan salah Suzie. Aku malah…”


Kata-kata Tessa terhenti, karena Kang Tata menghampiri.

“Serius sekali, kelihatannya,” seloroh Kang Tata. “Apa yang kalian obrolkan?”

“Jangan bilang apa-apa, Téh,” ingat Trias, sembari meletakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya. “Nanti rencana makar kita terbongkar.”

“Asem!” umpat Kang Tata, sementara Tessa tertawa kecil.

“Aku mengecek keadaan si Néng dulu, Kang, Téh,” pamit Trias.

Kang Tata dan Tessa mempersilakan dengan anggukan kepala. Trias segera menghampiri ranjang.


Sepertinya, Trias sama sekali nggak pernah menceritakan soal hubunganku dan Suzie di masa lalu, kepada siapa pun, batin Tessa. Buktinya, dia segera mengalihkan arah obrolan, ketika Kang Tata menghampiri.

Di dalam hatinya, Trias mengucapkan rasa syukur. Hal yang ia khawatirkan saat Kang Tata mengajaknya untuk membesuk adalah sikap antipati dari siapa saja yang mengetahui kisah masa lalu antara dirinya dan Suzie. Nyatanya, sikap negatif tersebut tidak terjadi. Suasana yang terbangun di dalam ruangan tersebut begitu nyaman dan penuh kehangatan. Sekilas bak reuni.


“Kenapa melamun?” tanya Kang Tata.

Tessa menoleh, menatap Kang Tata. Lalu menggeleng. “Kalau melihat bagaimana sikap hangat Trias di tempat kerja, wajar kalau dia punya banyak teman dan sahabat. Lihat aja, banyak yang datang ketika istrinya melahirkan.”

“Kamu tahu?” ujar Kang Tata. “Dulu, sikap Trias cenderung tertutup. Dia hanya akrab dengan Kang Recky dan Kang Yadi, yang notabene adalah rekan sekomunitas gowesnya. Selebihnya, hubungan Trias dengan karyawan lain biasa-biasa saja.”

“Sejak kapan sikap Trias berubah?” tanya Tessa.

“Sejak dekat dengan Suzie,” jawab Kang Tata. “Suzie mengubah Trias, mengubahnya jadi lebih ceria dan supel. Suzie itu… bahagia dan sedihnya Trias. Segalanya bagi Trias.”

Tessa sontak melemparkan pandangan ke arah ranjang di mana Suzie terbaring.

“Jadilah seperti itu,” bisik Kang Tata. “Jadilah seperti itu, untuk lelaki yang kelak menjadi teman hidupmu.”

Tessa menundukkan kepala.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dengan isyarat tangannya, Suzie meminta Trias untuk mendekatkan wajah dengan wajahnya. Trias memenuhinya.

"Anak kita kelihatannya mengantuk, Aa," bisik Suzie. "Dari tadi, dia cari gara-gara."

Trias menatap Kirei, yang masih bersama Anna.

"Tanya aja Téh Anna," ujar Suzie. "Kalau cari gara-garanya sama Néng, udah kena marah, dia."

"Jangan begitu," ucap Trias, sambil tertawa kecil. "Nggak boleh galak sama si Dédé."

"Iya, Néng tahu," tanggap Suzie. "Tapi, semua orang juga pasti kesal, kalau sikap si Dédé murang-maring seperti itu. Néng yakin, Téh Anna juga kesal. Tapi, nggak mungkin dia memarahi si Dédé."

"Ya udah," Trias tersenyum, sambil membelai sekilas ubun-ubun Suzie. "Kuajak si Dédé tidur. Biar nggak rungsing."

Suzie mengangguk.

"Kamu juga jangan rungsing," canda Trias. "Nanti aku makin gemas."

Serta merta Suzie mencubit lengan kiri Trias, hingga suaminya itu mengernyit kesakitan. Dan justru kernyitan itulah yang membuat Suzie melepaskan cubitannya.

"Maaf..." bisiknya, nyaris tanpa suara. "Sakit, ya?"

"Nggak," jawab Trias.

"Aa bohong," tukas Suzie.

Trias tertawa.


Trias pun menghampiri Kirei, kemudian berjongkok di hadapannya. Bocah itu segera merapatkan tubuhnya ke dalam dekapan ayah asuhnya tersebut.

"Dédé mengantuk, ya?" tanya Trias. "Mau tidur?"

Kirei mengangguk.

"Tidur di sofa, yuk," ajak Trias. "Papa Om keloni."

Kirei mengangguk lagi.

"Mmh... kasihan, anak Papa Om mengantuk," ujar Trias, sembari membopong tubuh bocah cantik itu. "Eh... Dédé, sekarang kamu berat, ya."

"Dédé 'kan udah besar," jawab Kirei.

Trias tertawa. Lalu menghadapkan bocah itu pada Anna. “Pamit dan salim dulu sama Tante Anna.”

“Dédé tidur dulu,” pamitnya, sambil kemudian mencium punggung tangan kanan Anna. “Nanti main lagi.”

“Iya,” ucap Anna, seraya tersenyum jenaka.


Bapak dan Ibu menatap Trias, yang membopong tubuh Kirei.

"Mengantuk, ya?" tebak Bapak.

Trias menjawab dengan anggukan kepala.

"Sini," Bapak menyambut tubuh Kirei, sambil sedikit beringsut. Memberikan ruang yang cukup untuk pembaringan Kirei. "Néng Kirei tidur dengan Kakek dan Nenek saja, ya."

"Papa Om?" tanya Kirei, menatap Trias.

"Papa Om harus menemani tamu," Ibu yang menjawab. "Masa' ada tamu, Papa Om malah keloni kamu?"

Kirei pun mengangguk. "Kalau tamunya udah pada pulang, Papa Om langsung ke sini, ya. Dédé mau tidur sama Papa Om."

"Iya," jawab Trias, sambil tersenyum. "Sok, sekarang Dédé tidur."

Kirei kembali mengangguk.


Trias kembali ke ranjang, bergabung dengan Suzie yang terbaring, juga Jan, Anna dan Rida yang berdiri di sisi ranjang. Semua menyambut kehadiran kembali Trias dengan tatapan matanya.

Kang Tata dan Tessa berdiri agak terpisah, tampak berbincang pelan di antara mereka. Sementara, Ghani dan Tirana justru tengah mengobrol di luar ruangan, entah kapan mereka keluar. Trias tidak menyadarinya, karena tadi tengah fokus merayu Kirei agar mau tidur.


“Si Dédé udah tidur?” tanya Suzie.

“Belum,” jawab Trias. “Tapi, dia udah bersedia dikeloni kakek dan neneknya.”

“Syukurlah…” gumam Suzie.

“Jadi, ayah dan ibunya bisa berpacaran dengan tenang di sini, ya?” seloroh Jan, disambut tawa Anna dan Rida.


Ya, terkadang, kehadiran Kirei memang mengganggu kemesraan Trias dan Suzie. Rasa kesal, meski kadarnya minim, kadang muncul di hati mereka. Apalagi, bocah itu kerap menghardik di saat mendapati Trias tengah mencumbui sang istri,

“Nggak boleh macem-macem sama Ma Uzi!”

Trias dan Suzie yang selama ini terbiasa mengumbar kemesraan di mana pun mereka inginkan, selama masih berada di dalam batas teritori rumah, terpaksa harus ‘mengubah strategi’. Salah satu strateginya adalah dengan menanti Kirei tidur, barulah berani bercumbu.

Namun, lama-kelamaan, keduanya menyadari betapa fase serupa akan dialami oleh setiap pasangan suami-istri. Kebebasan untuk bercumbu di mana saja dan kapan saja, akan terhenti saat kediaman mereka mulai dihadiri buah hati. Kesadaran tersebut akhirnya membuat Trias dan Suzie dapat bersikap lebih toleran terhadap kehadiran Kirei yang kadang mengganggu privasi mereka itu.


"Lucu, ya," ujar Anna, menatap Trias. "Kirei selalu bersikap galak ketika ibunya dicumbui kamu."

Trias menanggapi ucapan Anna dengan tawa kecil. Suzie, Rida dan Jan pun ikut tertawa.

"Tapi, aku malah yakin, anak itu justru akan sangat dekat dengan kamu, Trias," lanjut Anna. "Lihat aja nanti."

"Kenapa, Téh?" tanya Trias.

"Karena Suzie akan fokus mengurusi bayi kalian," jawab Anna. "Dan Kirei, mau tidak mau, diurusi Trias. Akhirnya, Kirei akan berdamai dengan Trias."

Trias tertawa lagi. "Bisa jadi, Téh."

"Yaa... meskipun, ketika udah mulai remaja, mungkin Kirei malah akan berbalik dekat dengan ibunya," sambung Anna.

"Karena aku sulit untuk memahami pola pikir gadis remaja," Trias membenarkan asumsi Anna.

"Memahami pola pikir wanita dewasa seperti Néng, lebih sulit lagi ya, Aa?" seloroh Suzie.

"Dengan sangat menyesal, Néng," tanggap Trias, dengan nada bicara lesu. "Jawabannya iya."

Suzie tertawa. Rida, Jan dan Anna juga.


Senda gurau ringan sesaat terhenti, ketika Kang Tata dan Tessa menghampiri.

"Kami mau pamit pulang," ujar Kang Tata.

Di sisinya, Tessa mengangguk sambil tersenyum.

"Terima kasih udah menengok si Néng ya, Kang, Téh," ucap Trias. "Aku tersanjung, karena istriku ditengok atasan."

"Dasar..." Kang Tata tertawa. "Kita ini partner kerja, Lur. Bukan atasan dan bawahan."

Trias mengangguk, sambil nyengir. "Siap, Kang."


Kang Tata mengalihkan perhatian pada Rida.

"Rida mau pulang bareng kami, 'kan?" tanyanya.

"Tergantung, Kang," jawab Rida. "Kalau kalian langsung pulang, aku ikut. Tapi, kalau kalian ada rencana untuk kencan dulu, maaf, aku nggak mau mengganggu."

"Kamu..." Tessa yang menanggapi. "Bicara apa sih, Dik?"

Rida terkekeh.

"Rida ikut kami," putus Kang Tata. "Kami langsung pulang, kok. Lagipula... ada yang ingin kubicarakan dengan orang tua kalian."

Rida, Trias dan Suzie melontarkan tanggapan dengan tendensi sama: menggoda, namun dalam bentuk yang sedikit berlainan. Sementara Tessa, nyaris tak berdaya, selain hanya mampu memelototi atasannya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sepeninggal Kang Tata, Tessa dan Rida, juga Ghani dan Tirana yang berpamitan sepuluh menit kemudian,

"Aa udah banyak membantu Kang Tata, sampai akhirnya bisa sedekat itu dengan Téh Tessa, ya?" terka Suzie.

"Sedekat apa, Néng?" Trias balik bertanya.

"Yaa... itu tadi," ucap Suzie. "Kang Tata ingin bicara dengan orang tua Téh Tessa. Kalau belum terlalu dekat, nggak mungkin Kang Tata seberani itu, 'kan?"

"Iya, sih..." gumam Trias.

"Pasti ada andil Aa," ujar Suzie. "Iya, 'kan?"

"Sejujurnya, nyaris nggak ada," jawab Trias. "Aku, Kang Recky atau Kang Yadi nyaris nggak pernah melakukan pergerakan apapun demi mendekatkan mereka berdua. Paling sebatas celetukan-celetukan iseng, kalau kebetulan memergoki mereka sedang berinteraksi."

"Kenapa mereka bisa dekat?" kejar Suzie.

"Berjodoh, mungkin," Trias mengedikkan bahu. "Sama seperti kita. Apakah ada pihak tertentu yang secara khusus mendekatkan kita? Nggak, 'kan?"

"Iya, Aa," Suzie tersenyum. "Alamiah aja, ya. Tahu-tahu, kita jadi sering ngobrol, makan malam bareng, dan..."

"Boncengan sepeda," timpal Trias. "Meskipun berat sekali, ketika mesti melewati tanjakan terakhir sebelum Kost-an Sejahtera, sambil bonceng kamu."

"Kenapa nggak protes?" ejek Suzie.

"Bogoh, atuh da," cetus Trias, sembari meringis. "Seperti kata lagunya Meatloaf, 'I would do anything for love', Néng."

"Gombal," umpat Suzie, namun semburat merah di wajahnya menegaskan betapa dirinya menyukai gombalan sang suami. "Eh, Aa... sambungan lirik lagu Meatloaf, seperti ini, 'but I won't do that'. Aku siap melakukan apapun demi cinta, tapi takkan kulakukan, kalau diterjemahkan ke bahasa Vanuatu, mah."

"Vanuatu..." tukas Trias geli.

Suzie juga tertawa, meski sesaat. "Nah... kenapa Aa tetap melakukannya? Jadi nggak sejalan dengan lirik lagu Meatloaf, atuh?"

"Simpel aja, sih..." tanggap Trias. "Karena aku bukan Meatloaf."

Suzie terkekeh.


Mendadak Trias mendekatkan wajahnya dengan wajah Suzie, yang tetap memesona meski kini telah berhiaskan beberapa garis codet samar, bekas luka yang diperoleh dari tragedi di Jl. Asiaafrika itu.

"Kamu kangen suasana obrolan kita yang selalu absurd ya, Néng?" gumamnya pelan. "Gara-gara dua hari kita nggak tinggal di rumah?"

Suzie mengangguk, tanpa harus berpikir lagi. "Cuma dua hari. Tapi, Néng kangen banyak hal dari interaksi kita, Aa. Salah satunya, yaa... obrolan kita itu, yang menurut orang lain mungkin bertema aneh. Tapi menyenangkan untuk kita."

"Aku juga," balas Trias.


Sekilas, Trias memerhatikan situasi di sekelilingnya. Lalu, secepat kilat, bibirnya telah bertautan erat dengan bibir Suzie. Sang istri merespons dengan seimbang. Menyelaraskannya dengan kadar cumbuan yang dilancarkan Trias.

Hingga sebuah seruan mengagetkan mereka,

"Nggak boleh macem-macem sama Ma Uzi!"

Dan sedetik kemudian kekagetan mereka berubah menjadi tawa, karena seruan di atas terlontar dari bibir Ibu. Pemilik sah jargon itu malah masih tertidur nyenyak di atas sofa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd