Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Blurry Eyes

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
SEKADAR INFO

Garis waktu pada chapter ini terjadi di tahun 2018. Bukan pada waktu yang aktual.

TS menjamin, bahwa saat kisah pada chapter ini berlangsung, pandemi Covid-19 belum terjadi di Indonesia. Artinya, tidak ada satu tokoh pun di dalam cerita ini yang melanggar aturan PSBB.

TS menyarankan, bacalah chapter ini #DiRumahAja. Supaya adem. Jangan dibaca di bawah terik matahari, bikin pusing kepala. Apalagi di bawah rintik hujan, nanti ponselmu kebasahan dan rusak.

Satu lagi. TS melarang keras para reader membaca kisah ini di tengah jalan. Bahaya.

Selamat membaca. :)

+ + + + + + + + +
+ + + + + +




LIMA


Seperti yang sudah Tessa duga sebelumnya, akhirnya Bapak dan Ibu mengizinkan Kang Tata untuk mengajaknya pergi. Ke Pangalengan, seperti yang diucapkannya di kafe kecil, saat makan siang bersama, beberapa hari lalu. Waktunya pun sudah ditetapkan, yaitu akhir pekan ini.

Jujur, Tessa takjub dengan sikap atasannya tersebut, ketika bicara dengan Bapak dan Ibu. Hmm... andai ia berperan sebagai seorang ibu, tentu akan merasa yakin melepas putrinya bepergian bersama seorang lelaki dengan sikap seperti Kang Tata.

Kedewasaan. Sikap itulah yang kentara terlihat dari sosok Kang Tata, saat menghadapi Bapak dan Ibu. Dan Tessa yakin, kedewasaan itu tak lepas dari usia sang atasan.


Tak perlu dibeberkan, bagaimana dialog yang terjadi di antara Bapak, Ibu dan Kang Tata, saat itu.

Di seluruh Indonesia, mungkin redaksi kalimatnya tidak jauh berbeda. Klise, khas seorang lelaki yang minta izin kepada orang tua kekasihnya. Dan jawaban kedua orang tua Tessa pun standar saja, layaknya izin yang diberikan terhadap kekasih dari putrinya.

Eh... kekasih? Tessa dan Kang Tata adalah sepasang kekasih? Kapan jadiannya?

Sekali lagi, kita harus mengingat kata-kata yang pernah terlontar dari bibir Tessa, puluhan hari yang lalu,

"Kita bukan remaja lagi. Yang harus disibukkan dengan memikirkan kalimat seperti apa yang pantas diucapkan saat merayakan ulang tahun jadian."

Maka, mari kita menarik kesimpulan, bahwa meski tak pernah menentukan tanggal jadian secara spesifik, Tessa dan Kang Tata adalah sepasang kekasih. Kesamaaan dalam menentukan tujuan akhir kedekatan di antara mereka, menjadi alasannya.


Beberapa jam lalu, Tessa menyaksikan langsung hangatnya interaksi sepasang suami-istri. Trias dan Suzie. Pasangan yang tengah berbahagia atas kelahiran putra pertamanya itu.

Di ruang rawat kelas II sebuah klinik bersalin itu, Tessa mendapatkan pelajaran, betapa romantisme tidak melulu harus dijabarkan berupa kata-kata mesra. Trias dan Suzie mencontohkan romantisme di antara mereka, hanya dengan obrolan ringan, namun sarat kekompakan. Hingga tema pembicaraan sederhana pun dapat membuat keduanya nyaman.

Trias dan Suzie juga mengajarkan, bahwa romantisme tidak harus selalu ditunjukkan dengan sentuhan intim. Tessa melihat sendiri, bahwa meski hanya saling tatap, kedua sejoli itu berhasil memaparkan kemesraannya.


Ia ingin seperti itu. Ia berharap dapat saling mengerti dengan pasangannya, dalam hal ini adalah Kang Tata. Dan Tessa tahu, kejujuran serta kepercayaan adalah modal utama.


"Tessa..." tegur Kang Tata. "Kenapa melamun?"

Tessa menatap Kang Tata, tersenyum, kemudian menggeleng pelan.

"Ada sesuatu yang mengganjal?" tanya Kang Tata.

"Nggak ada, Kang," jawab Tessa, tanpa menghilangkan senyum dari bibirnya. "Aku cuma teringat Trias dan Suzie."

Kang Tata menatap Tessa lekat-lekat. "Apa yang kamu ingat dari mereka?"

"Interaksi di antara mereka, ketika tadi kita membesuknya di klinik bersalin," jelas Tessa. "Mereka itu... romantis, ya. Tapi, romantisme mereka terlihat sederhana. Meskipun, aku yakin, perasaan mereka satu sama lain nggak sesederhana yang terlihat."

Kang Tata tersenyum. "Keduanya saling menginginkan. Dan keduanya sama-sama yakin, bahwa pasangannya akan selalu setia terhadap dirinya. Keyakinan itulah yang bikin mereka bisa menjalani rumah tangga dengan sederhana, tanpa beban, dan tanpa rasa takut."

"Iya, Kang," Tessa mengangguk. "Tanpa rasa takut. Karena rasa takut, apalagi yang tidak beralasan, bisa bikin kita salah bersikap. Dan akhirnya, malah celaka sendiri."

"Kalau istilah orang Sunda, 'cilaka ku pamolah sorangan', Tessa," tanggap Kang Tata. "Celaka akibat ulah sendiri."

"Aku pernah mengalaminya," ucap Tessa pelan. "Dan aku nggak mau pengalaman itu terulang lagi."

Kang Tata menatap Tessa, dengan sorot mata seolah minta penjelasan.

"Aku mau bilang, sejak sekarang," sambung Tessa. "Jangan kaget ya, Kang, kalau nanti aku sering bertanya tentang sesuatu yang nggak aku mengerti, tentang sesuatu yang mengganjal di hati aku, yang berhubungan dengan interaksi di antara kita."

Kening Kang Tata berkerut.

"Aku nggak mau tersiksa akibat menduga-duga di dalam hati, curiga ke sana ke mari, takut ini dan itu, untuk sesuatu yang belum terbukti," lanjut Tessa. "Ketika ada sesuatu yang mengganjal di hati, sesuatu yang bikin aku khawatir atau takut, disebabkan oleh sikap Akang yang ganjil, misalnya, aku akan langsung bertanya sama Akang. Langsung minta penjelasan. Dan... jangan kaget, kalau aku cenderung mendesak jawaban secepatnya dari Akang."

Kang Tata mengangguk. "Aku mengerti. Kamu berharap hubungan kita didasari kejujuran dan keterbukaan, 'kan?"

"Secara hiperbolis, aku pernah dibenci dunia akibat sering terjebak di tengah dugaan yang belum tentu terjadi," tambah Tessa. "Aku nggak mau mengalaminya lagi."


Kang Tata hanya menatap Tessa, sama sekali tidak membalas ucapan sang wanita. Hingga bermenit-menit kemudian, barulah ia berkata,

"Ada sesuatu di masa lalu yang masih membekas di hatimu, Tessa?"

Tessa mengangguk pelan.

"Sampai saat ini?" tanya Kang Tata lagi.

Tessa tersenyum tipis. "Aku nggak mungkin lupa, Kang. Tapi, aku akan membantah, kalau Akang menilai bahwa hidup aku masih selalu dibayangi sesuatu di masa lalu itu."

"Aku mengerti," Kang Tata ikut tersenyum. "Karena masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan dikenang."

Tessa mengangguk.

"Aku kenal dengan seseorang, eh... dua orang yang bisa berdamai dengan masa lalu," ujar Kang Tata. "Mereka... aku bilang 'mereka', ya, karena dua orang."

"Iya, Kang," Tessa tertawa kecil. "Aku cukup cerdas untuk mengerti, kok, letak perbedaan antara 'dia' dan 'mereka'."

Kang Tata nyengir.

"Siapa mereka, Kang?" tanya Tessa.

"Sekali lagi, Trias dan Néng Suzie," jawab Kang Tata. "Kita harus belajar dari mereka, yang pintar menjadikan pahitnya masa lalu sebagai modal berharga untuk bangkit di masa depan."

Tessa menatap Kang Tata, seolah minta penjelasan lebih lanjut.

"Ceritanya panjang, Tessa," ujar Kang Tata. "Bahkan aku butuh bertahun-tahun untuk sekadar tahu, cerita tentang masa lalu mereka. Dan kamu akan terkejut, ketika tahu gimana pahitnya masa lalu mereka, terutama Trias."

"Sebagian kecil, aku udah tahu," tanggap Tessa. "Aku udah..."

"Dan kamu tahu, Tessa?" potong Kang Tata. "Mereka bisa mulai berdamai dengan pahitnya masa lalu masing-masing, setelah mereka berjanji untuk saling menyayangi."

Tessa tertegun.

"Dengan kata lain," sambung Kang Tata. "Trias dan Néng Suzie bisa saling menerima masa lalu pasangannya, baik atau buruk."

Tessa mengangguk.

"Kalau benar-benar saling menyayangi, kita pasti bisa seperti mereka, Tessa," pungkas Kang Tata. "Saat ini, kita memang masih saling mengenal, masih belajar satu sama lain. Tapi, seiring waktu, kita bisa jadi pasangan solid. Syaratnya sederhana, meskipun mungkin sulit untuk dicerna: kita mau berusaha untuk menjadi solid."

"Karena nggak ada pasangan yang cocok satu sama lain," Tessa menanggapi. "Yang ada, adalah pasangan yang bisa mengatasi ketidakcocokan."

Kang Tata tersenyum, seraya mengangguk. "Seperti Trias dan Néng Suzie."

"Hmm... kelihatan sekali kalau Akang mengidolakan mereka, ya," cetus Tessa.

Kang Tata tertawa.


"Maaf, Kang," ujar Tessa. "Bukan maksud aku untuk mengusir. Tapi... udah larut malam."

"I see," Kang Tata mengangguk. "Aku harus pulang."

"Sekali lagi, maaf, Kang," lanjut Tessa. "Aku hanya merasa nggak enak sama pandangan tetangga. Aku nyaman, kok, berlama-lama dengan Akang."

Kang Tata tersenyum. "Aku tahu."

"Syukurlah... kalau Akang tahu," gumam Tessa.

"Maksudku," ucap Kang Tata pelan. "Aku tahu, kalau kamu nyaman berlama-lama denganku."

Tessa menundukkan kepala, sebagai usaha menyembunyikan sipu malu yang hadir di wajahnya.

"Besok kita bertemu lagi, ya," ujar Kang Tata.

Tessa mengangguk.


Kang Tata melemparkan pandangan ke dalam rumah.

"Sebentar, Kang," Tessa menyentuh sekilas lengan kanan Kang Tata. "Aku panggilkan Bapak dan Ibu."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Mobil yang dikemudikan Kang Tata telah meluncur makin menjauhi Pasir Impun. Sejujurnya, ia merasakan sepi. Tadi, dalam perjalanan dengan arah sebaliknya, ada dua wanita manis yang menemaninya di kabin mobil, Tessa dan Rida. Kakak beradik yang menemaninya dari Rancabolang, lokasi klinik bersalin itu. Kini, ia sendiri.

Perasaan yang sama selalu menghinggapinya, setiap kali perjalanan pulang sehabis mengantarkan Tessa. Terlepas dari kegembiraan yang melingkupi kebersamaan dirinya dengan sekretarisnya itu, rasa sepi menyergapnya segera setelah mobil meninggalkan rumah itu.


Kang Tata menikmati kebersamaan bersama Tessa? Jelas.

Dan fakta itulah yang membuat perasaannya segera diliputi kesepian, ketika kebersamaan itu berakhir.

Mungkin aku belum terlalu yakin dengan perasaanku, batinnya berkata. Mungkin aku masih butuh sedikit lagi waktu untuk meyakinkan perasaanku. Tapi... jujur, aku bahagia bersamanya.

Dan ia yakin, seiring waktu, keyakinannya terhadap perasaannya tersebut akan menguat. Mantap menuju tujuan akhir yang dicarinya, juga dicari Tessa itu.

Aku mulai mencintaimu, Tessa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Hubungan kalian serius, Nak?" tanya Bapak, selepas Kang Tata pulang.

Tessa yang bersiap memasuki kamar tidurnya, agak gelagapan. Langkahnya terhenti, kemudian beringsut menghadapi ayahnya.

"Bapak tidak akan banyak ikut campur soal itu," lanjut Bapak. "Semua terserah kamu. Pesan Bapak hanya satu, jika kalian benar-benar serius, berkomitmenlah."

"Duh... Bapak," Tessa tertawa kecil. "Kami udah terlalu tua untuk jadian lalu berpacaran."

"Bukan itu maksud Bapak, Nak," tak urung, Bapak juga ikut tertawa. "Komitmen yang dimaksudkan Bapak, adalah keteguhan hati terhadap perasaan kalian. Terhadap tujuan yang ingin kalian capai. Tanpa perlu berpacaran, kalau berkomitmen kuat, kalian pasti akan menjalankan hubungan yang lebih erat daripada hubungan layaknya sepasang kekasih. Iya, 'kan?"

Tessa tersenyum, kemudian mengangguk.

"Bapak ingin kamu bahagia," tambah Bapak. "Sudah cukup, Bapak menghalangi kebahagiaanmu di masa lalu. Mengumbar egoisme yang justru berakibat cukup fatal bagi kehidupanmu."

"Nggak usah diingat-ingat lagi, Pak," Tessa berucap, tetap dengan senyumannya. "Saat ini dan nanti, itulah yang harus kita hadapi."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dan weekend pun tiba.

Tessa dan Kang Tata sepakat untuk memulai perjalanan dari kantor Storm Advert. Bukan dari rumah salah satu di antara mereka. Alasannya logis: efisiensi waktu. Coba hitung, berapa banyak waktu yang terbuang, jika mereka mesti menempuh perjalanan dari Pasirkoja ke kediaman Tessa di Pasir Impun, sebelum akhirnya bertolak ke Pangalengan?

Dan alasan efisiensi waktu tersebut memaksa Tessa berangkat ke tempat kerja sambil menyandang daypack berisi pakaian dan perbekalan penting lainnya. Jadi terasa konyol karena pakaian yang ia kenakan tampak kontradiktif. Berbusana formal layaknya sekretaris, namun menggendong daypack bagai traveler.

Parahnya, Kang Tata tidak menjemputnya. Tessa berangkat kerja menumpangi ojek online. Alhasil, sepanjang perjalanan, ia sama sekali tidak mengangkat kaca helm, demi menyamarkan wajah, karena merasa bahwa semua orang memerhatikan keganjilan penampilannya tersebut.


Padahal, kamu tetap memesona, Tessa...


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Ada sejumput rasa tidak sabar di hati Tessa, menyambut sore hari. Menyambut usainya jam kerja, yang menjadi penanda tibanya akhir pekan.

Memang, kadarnya jauh berbeda dengan perasaan tak sabar ketika menanti datangnya hari dan waktu keberangkatan dirinya ke Amsterdam, dua tahun lalu. Kala itu, Tessa benar-benar gelisah, karena dalam hitungan jam, dirinya akan terbang menuju suatu tempat yang berjarak ribuan kilometer dari Tanah Air. Ke luar negeri, untuk kali pertama dalam hidupnya.

Sore ini, tujuan keberangkatan Tessa hanyalah berjarak kurang dari enam puluh kilometer. Bukan perbandingan yang setara dengan Negeri Belanda.


Namun, fakta bahwa sore ini dirinya akan bepergian dengan Kang Tata, menghadirkan ketertarikan tersendiri di hatinya. Ketertarikan yang terasa ganjil, menegangkan namun pantas untuk dinantikan.

Secara sadar, Tessa merasa gembira menyambut akhir pekan kali ini.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir dua jam kemudian,


"Kenapa orang tua Akang memilih..." sejenak Tessa menghentikan ucapannya. "Apa nama daerahnya, Kang?"

"Pasir Junghun," jawab Kang Tata.

"Nah... Pasir Junghun," ulang Tessa. "Kenapa memilih Pasir Junghun?"

"Mungkin karena di sana ada tempat-tempat menarik yang penting dalam sejarah Bandung," tutur Kang Tata. "Sekadar informasi, ayahku menyukai sejarah Bandung, terutama sejarah di jaman Belanda."

"Ada apa aja di sana, Kang?" tanya Tessa.


Mulailah Kang Tata bercerita. Tentang Perkebunan Teh Malabar, juga pabriknya, yang sejak dahulu sampai saat ini konsisten memproduksi teh dengan kualitas unggul hingga mancanegara. Tentang klinik Pasir Junghun, yang didirikan pada 1917 oleh pemerintah Hindia Belanda. Juga tentang nama kampung Pasir Junghun yang berasal dari nama penanam kina pertama di Tatar Bandung, Franz Wilhelm Junghuhn.

"Selain tempat-tempat yang tadi kusebutkan," ujar Kang Tata. "Di sana juga ada makam..."

"Franz Wilhelm Junghuhn?" potong Tessa.

"Karel Albert Rudolf Bosscha," ralat Kang Tata.

"Eeehhh?" pekik Tessa, menirukan langgam yang kerap ia dengar dari adegan film dorama Jepang. "Nande?"

"Nande...nande..." tukas Kang Tata, sembari kemudian tergelak. "Bilang aja 'kenapa', begitu. Sok-sokan pakai bahasa Jepang!"

Tessa terkekeh.


"Makam Junghuhn justru ada di Jayagiri, Lembang," Kang Tata memberikan penjelasan. "Karena dia dan keluarganya memang punya rumah di sana. Setelah produksi perkebunan kinanya menurun, dia menghabiskan sisa hidupnya di Lembang."

"Nah... kalau Bosscha?" tanya Tessa lagi. "Kenapa makamnya ada di Pasir Junghun?"

"Bosscha adalah orang yang membuka lahan Perkebunan Teh Malabar," terang Kang Tata. "Juga orang yang mendirikan dan menjadi manajer pabriknya."

"Aku mengerti," Tessa tersenyum. "Hmm... Akang cukup banyak tahu tentang sejarah Pangalengan, ya."

"Ayahku yang menjelaskan," jawab Kang Tata. "Yah... selain juga menambah pengetahuan dari artikel-artikel di internet."

Tessa mengangguk.


"Aku yakin, kamu juga melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang kamu gemari," tebak Kang Tata. "Terhadap budaya Jepang. Iya, 'kan?"

Tessa menjawab dengan anggukan kepala, disertai tawa ringan.

"Seberapa besar minat kamu terhadap budaya Jepang?" kejar Kang Tata.

"Kalau untuk budaya Jepang, mungkin sekadarnya aja, Kang," jawab Tessa. "Nggak sampai bikin aku jadi Japanophilia, misalnya."

Kang Tata menanggapi dengan anggukan.

"Tapi, sejak dulu, aku punya keinginan besar untuk bisa menginjakkan kaki di Jepang," lanjut Tessa. "Minimal sekali seumur hidup."

"Kalau kelak kita berjodoh," ujar Kang Tata. "Kita honeymoon ke Jepang. Kamu mau?"

"Aku berbohong, kalau menjawab 'nggak mau', Kang," jawab Tessa.

Kang Tata tertawa.

"Kita berniat dan berdoa aja ya, Kang," ucap Tessa pelan. "Semoga kita memang berjodoh. Karena kita nggak pernah tahu, apa yang akan terjadi nanti."

"Iya, Tessa," tanggap Kang Tata.


Keduanya kini saling diam. Kang Tata fokus memerhatikan jalan, yang tidak mulus, khas kondisi jalan di sekitar area perkebunan. Sementara Tessa berusaha menebak, berada di belahan dunia bagian manakah dirinya saat ini?

"Kang..." ucapnya pelan. "Perjalanan masih..."

"Sampai juga," potong Kang Tata. "Hmm... apa yang mau kamu tanyakan tadi, Tessa?"

"Nggak, Kang," Tessa menggeleng. "Udah terjawab."

"Kalau butuh sesuatu atau ingin snack dan minuman ringan, ambil aja," ujar Kang Tata, sambil melepaskan sabuk keselamatan, kemudian membuka pintu. "Aku yang bayar."

Tessa sontak menatap sekeliling, dan segera menemukan fakta bahwa tak ada satu pun bangunan vila, atau setidaknya yang mendekati bentuk vila, di sekitar situ. "Kita sampai di... minimarket, maksud Akang?"

"Iya," jawab Kang Tata. "Kenapa?"

"Berarti, pertanyaanku belum terjawab," pungkas Tessa, sambil juga melepas sabuk keselamatan dan membuka pintu.

Kang Tata mendelik heran.


Keduanya pun memasuki minimarket, dengan Kang Tata berada dua langkah di depan Tessa. Dan sesaat setelah melintasi meja pembayaran, plus menerima sapaan dari kasir di belakang meja, Kang Tata melambatkan langkah agar Tessa menjajarinya.

"Sikapmu jauh berbeda dibandingkan biasanya," bisiknya. "Kenapa?"

Tessa terdiam sesaat, sebelum tersenyum dan kemudian menjawab, "Aku hanya merasa nyaman, Kang."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kebersamaannya dengan Tessa pada hari ini, membuat Kang Tata mulai memahami sifat sekretarisnya itu.

Tessa adalah sosok yang cenderung pendiam dan serius, juga tegas, ucapnya di dalam hati. Tapi, ketika udah merasa nyaman dengan keadaan tertentu, dia terbukti supel dan cair. Dia menyenangkan dan senang bergurau.

Ya, perjalanan hampir satu setengah jam, dari Jl. Terusan Pasir Koja hingga minimarket di sebuah daerah bernama Citere, menegaskan asumsinya tersebut. Wanita yang sepanjang jalan duduk di sisi kirinya itu tampak riang, sangat berbeda dengan penampilan kalem yang biasa ditampilkannya saat berada di kantor.

Juga pemandangan yang kini tengah disaksikannya, saat keriangan membalut tingkah Tessa. Melihat-lihat deretan makanan ringan yang tersusun pada rak minimarket, tanpa ada satu produk pun yang diambilnya.

"Ambil apapun yang kamu mau, Tessa," minta Kang Tata.

"Banyak yang aku mau, Kang," jawab Tessa.

"Ambil aja semua," tegas Kang Tata.

"Nanti aku gemuk lagi," balas Tessa, sambil menggelengkan kepala dengan gestur jenaka.

Kang Tata tertawa.


Alhasil, barang-barang yang dibayar Kang Tata di meja kasir, adalah pilihannya sendiri. Tessa tidak menyarankan atau menolak apapun pilihan atasannya tersebut.

"Kalau sepulang dari sini, berat badanku naik, berarti sepenuhnya salah Akang," ujar Tessa, dengan disertai sungging senyum bertendensi iseng di bibirnya. "Karena semua makanan dan minuman ini, sepenuhnya pilihan Akang."

Kang Tata mendelik sewot.


Mereka telah kembali duduk di dalam kabin mobil.

"Tujuan kita masih jauh, Kang?" tanya Tessa.

"Mmm... sekitar delapan kilometer lagi," jawab Kang Tata.

"Masih jauh..." gumam Tessa.

"Udah dekat," timpal Kang Tata. "Dua puluh menit lagi kita sampai."

Tessa hanya mengangguk.

"Kamu mengantuk, ya?" tebak Kang Tata. "Mestinya, ketika masih di dalam kota dan jalan tol, kamu tidur. Kalau udah memasuki Pangalengan, memang sulit. Jalannya kurang mulus."

"Aku sulit tidur, Kang," alasan Tessa.

"Kenapa?" tanya Kang Tata. "Sedang ada beban pikiran?"

"Bukan," jawab Tessa. "Aku sulit tidur karena... perjalanan kita menyenangkan."

Kang Tata tersenyum penuh makna. "Semoga hubungan kita juga selalu menyenangkan, Tessa."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bentuk vila milik orang tua Kang Tata yang ada dalam bayangan Tessa, adalah bangunan modern layaknya rumah peristirahatan yang banyak berdiri di kawasan Lembang. Desainnya terlihat bagai anomali di tengah bangunan di sekitarnya, yang dimiliki para penduduk setempat.

Dan bayangan tersebut sontak buyar ketika mobil yang dikemudikan Kang Tata melambat di depan sebuah bangunan berbentuk khas rumah dinas afdeling perkebunan, kemudian berbelok memasuki area halaman yang cukup lebar.

"Ini vilanya, Kang?" tanyanya.

Kang Tata mengangguk yakin. "Eksotis, 'kan?"

"Iya," Tessa ikut mengangguk. "Tapi... kelihatan seram, Kang."

"Seram?" Kang Tata tertawa kecil. "Jangan dulu menilai sebelum kamu melihat isinya."

Tessa hanya mengangguk.


Ucapan Kang Tata tidak sepenuhnya salah. Saat memasuki ruang tamu, Tessa dapat langsung melihat bahwa ternyata interior rumah tidak se-jadul desain luarnya. Tampaknya, ayah Kang Tata memugar rumah tanpa berniat menghilangkan identitas asli bangunan sebagai rumah dinas afdeling perkebunan.

Selain itu, kondisi furniture yang bersih menandakan bahwa rumah ini cukup sering dihuni. Bukan rumah yang kerap kosong, hingga sebagian besar perabotannya terpaksa ditutupi kain putih sebagai penghalang debu. Seperti pemandangan yang sering dilihatnya pada film-film bergenre horor atau thriller.

"Selalu ada sepasang suami istri yang menginap di sini, ketika kami nggak berkunjung," jelas Kang Tata, seolah mengerti isi hati Tessa. "Mereka sengaja digaji ayahku, untuk mengurus rumah ini."

Tessa mengangguk. "Sekarang, di mana mereka?"

"Kembali ke rumahnya, nggak jauh dari sini," jawab Kang Tata. "Kamu juga pasti nggak mau, menginap di sini sambil merasa ada yang mengawasi, 'kan?"

"Itu mah Akang, mungkin?" seloroh Tessa. "Kalau aku, sih... nggak masalah kalau ada orang lain selain kita, di sini."

"Yakin?" ucap Kang Tata pelan, seraya menatap Tessa lekat-lekat.

Tessa menundukkan kepala.


Kang Tata mengajak Tessa menuju bagian tengah rumah. Terlihat sebuah ruangan tanpa meja dan kursi, hanya digelari selembar permadani. Namun, ruangan yang tampaknya diperuntukkan sebagai area bersantai tersebut dilengkapi televisi berlayar cukup lebar, plus home audio yang terbilang canggih.

Tiga buah pintu, tampaknya untuk menuju kamar tidur, berderet pada salah satu sisi dinding ruangan.

"Ini kamar orang tuaku," Kang Tata menunjuk pintu yang letaknya paling dekat dengan ambang pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah. Lalu, ia menunjuk pintu berikutnya. "Dan ini... kamar yang bisa kamu gunakan. Biasa dipakai kakakku."

Tessa mengangguk.

"Aku menggunakan kamar ini," Kang Tata menunjuk pintu ketiga. "Berarti, kamar kita bersebelahan. Jadi, jika butuh sesuatu, kamu nggak perlu keluar kamar, lalu mengetuk pintu kamarku. Cukup tendangi dinding yang membatasi kamar kita."

"Memangnya bisa terdengar, Kang?" tanya Tessa dengan nada sangsi.

"Bisa," gumam Kang Tata sambil mengangguk. "Coba aja kamu tendang dindingnya kuat-kuat. Lalu kamu akan menjerit kesakitan, 'kan? Nah... aku pasti bisa mendengar jeritanmu."

Tessa menekuk wajahnya. Menyadari jika dirinya tengah menjadi korban gurauan sang atasan.


Kang Tata mengambilalih daypack yang disandang Tessa pada punggungnya, kemudian meletakkannya tepat di depan pintu kamar yang nantinya akan ditempati wanita itu. Lalu, dengan isyarat tangannya, ia meminta Tessa untuk mengikutinya.

Tessa menurut.


"Nah, ini ruang makan dan dapur," beritahu Kang Tata, setibanya di ruangan yang berbatasan langsung dengan ruang tengah itu.

"Logis, Kang," ujar Tessa. "Aku melihat meja makan, lemari es, rak piring dan kompor. Cukup untuk menjelaskan bahwa ini bukan ruang jemur pakaian atau sauna."

"Iya, sih..." Kang Tata terkekeh. "Pemberitahuanku barusan sepertinya memang kurang penting, ya?"

Tessa menahan tawa.


Kang Tata mengajak Tessa untuk kembali ke ruang tengah.

"Di mana garasi mobil yang akan jadi tempat kita menonton film a la orang Amerika, Kang?" tanya Tessa. "Kita nggak akan melihatnya?"

"Di bagian samping rumah," jawab Kang Tata. "Berhubung baru besok malam kita akan menonton film di sana, jadi, kamu nggak boleh melihatnya sampai waktunya tiba."

"Biar terasa kejutannya, ya?" tanggap Tessa.

"Mmh... sebenarnya, karena garasi itu masih berantakan," alasan Kang Tata. "Tapi, aku yakin, besok malam pasti udah layak dan nyaman didiami. Aku udah meminta suami-istri pengurus rumah untuk memberesinya."


"Jadi, apa acara malam ini?" tanya Tessa.

"Lebih baik kita beristirahat," jawab Kang Tata. "Tadi kita udah makan malam, dan sekarang dalam kondisi lelah akibat perjalanan yang lumayan jauh. Adakah yang lebih baik daripada tidur?"

Tessa tertawa renyah.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


terasu atatakai taiyou to
tonari ni kimi ga ireba

mou high high high
hashagidasu kimochi ni


(Dengan sinar matahari yang hangat menyinari kita,
Dan kau ada di sisiku ...

I’m already High, High, High!
Perasaan meledak dalam semangat yang tinggi)


(Kasarinchu - High High High)​


Keesokan paginya,


Kang Tata dibuat heran saat keluar kamar. Ia mendapati Tessa berbaring menyamping di atas permadani ruang tengah, dengan selimut membalut sekujur tubuhnya, hingga sebatas leher.

Ini si Tuan Putri kenapa malah tidur di sini? batinnya bertanya.

Dengan gerakan perlahan, ia melangkah mendekatinya, kemudian duduk bersila di sisi kanan tubuh berbalut selimut itu. Berhadapan dengan arah tubuh Tessa. Ditatapnya wajah manis wanita yang tampaknya tidak terganggu dengan kehadirannya. Mungkin Tessa merasa lelah, dan kantuknya belum terpuaskan.


Hampir dua puluh menit kemudian, barulah Tessa menunjukkan gerak-gerik terbangun. Wanita itu membuka kelopak matanya, memicing, kemudian menunjukkan gestur agak terkejut, meski akhirnya tersenyum.

"Akang..." gumamnya dengan suara parau.

"Selamat pagi," sapa Kang Tata.

"Pagi," balas Tessa.

"Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Kang Tata.

"Di dalam gerah," jawab Tessa.


Tessa berbohong.

Rasanya, sepanjang sejarah, belum pernah terjadi malam yang gerah di Pangalengan. Bahkan, suhu paling tinggi di sini pun masih terbilang dingin bagi pengunjung dari luar daerah. Termasuk untuk pengunjung dari Kota Bandung. Letak Pangalengan yang berada di ketinggian, di lereng Gunung Malabar, menjadi penyebabnya.

Jadi, ketika Tessa berkata bahwa di dalam kamar ia merasa gerah, Kang Tata segera tahu bahwa wanita itu berbohong. Namun ia memilih untuk (berpura-pura) percaya.


"Nanti malam, kutemani kamu," ujar Kang Tata. "Mau kutemani di kamar, atau di sini?"

"Di sini aja," jawab Tessa cepat.

"Kalau kutemani, kamu pasti nggak akan merasa kegerahan lagi," seloroh Kang Tata. "Iya, 'kan?"

Tessa beringsut, menyembunyikan wajahnya di balik selimut.

"Aku tahu, kok," sambung Kang Tata. "Kamu pasti merasa seram melihat bayangan pohon yang bergerak ditiup angin, dari jendela kamar, 'kan?"

Tessa menyembulkan wajah, meski hanya sebatas mata. Ia mengangguk pelan.

"Mestinya, ketika merasa seram, kamu tendangi dinding yang membatasi kamar kita, Tessa," goda Kang Tata. "Aku pasti datang."

Tessa cemberut.

"Ya udah," gumam Kang Tata. "Semua udah terjadi, dan sekarang udah telanjur pagi. Lebih baik kamu segera bangun."

Perlahan Tessa bangkit dan duduk, tepat berhadapan dengan Kang Tata. Juga dengan bersila.

"Kamu mau sarapan?" tawar Kang Tata. "Atau memilih berjalan-jalan dulu?"

"Kalau menurut Akang, gimana?" Tessa balik bertanya. "'Kan, aku orang baru di sini, Kang."

Kang Tata tertawa kecil.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sesuai saran Kang Tata, mereka pun memilih untuk berjalan-jalan menyusuri perkampungan di sekitar vila. Ke arah utara, menuju klinik Pasir Junghun, yang sempat diceritakan Kang Tata di tengah perjalanan, tadi malam.

"Klinik ini dibangun pemerintah Hindia Belanda, Kang?" tanya Tessa.

Kang Tata menjawab dengan anggukan.

"Terlihat, sih..." gumam Tessa. "Bentuk dan tebal dindingnya khas bangunan peninggalan Belanda."

"Dulu, ini adalah rumah sakit," jelas Kang Tata. "Sekarang disebut klinik, mungkin karena ukurannya yang jauh lebih kecil daripada bangunan rumah sakit pada umumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan ukuran rumah sakit di kota. Tapi, untuk penduduk di sini, klinik ini mungkin setara dengan rumah sakit."

"Karena nggak ada rumah sakit betulan di sekitar sini," tebak Tessa.

Kembali, Kang Tata menjawab dengan anggukan.


Kang Tata mengajak Tessa untuk kembali melanjutkan jalan kakinya. Tentu saja, setelah sebelumnya mereka berfoto dengan latar belakang bangunan klinik Pasir Junghun.

"Ke mana lagi, Kang?" tanya Tessa.

"Kembali ke vila," jawab Kang Tata. "Tapi dengan rute memutar. Hmm... di dekat bangunan sekolah dasar, di depan sana, pemandangan kebun tehnya bagus, lho!"

"Iya, Kang," Tessa tersenyum. "Hayu, terserah Akang aja."

"Kamu memilih untuk pasrah mengikuti ke mana pun calon imammu ini pergi, begitu?" goda Kang Tata.

"Eeehhh?" pekikan a la dorama Jepang kembali terlantun dari bibir Tessa, seperti tadi malam. "Nani?"

"Kamu..." Kang Tata melotot. "Merusak kekhidmatan gombalanku aja."

Tessa terkekeh.


Mendadak Kang Tata mendekatkan bibirnya ke arah telinga kanan Tessa, kemudian berbisik,

"Kamu benar-benar merasa nyaman, ya, sampai-sampai sikapmu jauh berbeda dengan yang biasa kamu tampilkan di kantor?"

Tessa mengangguk pelan. "Jangan terganggu dengan sikap aku yang seperti ini, ya, Kang."

"Aku sama sekali nggak terganggu," Kang Tata tersenyum. "Aku menyukainya."

Tessa menundukkan kepala.


Tak sampai sepuluh menit kemudian, mereka tiba di sebuah titik lokasi.

"Itu bangunan sekolahnya," Kang Tata menunjuk sebuah bangunan di arah barat dari posisi mereka berdiri. Lalu, ia menunjuk ke arah berlawanan. "Dan itu, kebun teh yang ingin kutunjukkan."

Tessa melemparkan pandangan pada kedua arah yang ditunjukkan Kang Tata. Dan ia tertegun saat melihat hamparan kebun teh tersebut.

"Indah, 'kan?" ujar Kang Tata.

Tessa hanya sanggup mengangguk, tanpa melepaskan tatapannya dari kebun teh tersebut.


Sebenarnya, menemukan hamparan perkebunan teh di daerah ini bukanlah perkara sulit. Ke mana pun kita melemparkan pandangan, kebun teh akan mudah ditemukan. Tipikal permukiman di tengah perkebunan teh, tentulah begitu.

Namun, spot yang ditunjukkan Kang Tata memang memukau, karena berturutan dengan lembah landai berwarna hijau daun teh di kejauhan. Dari posisi mereka berdiri saat ini, pemandangan tersebut mirip kontur lapangan golf, yang berundak, berbukit-bukit, dan terlihat mulus.

Dan dari hamparan perkebunan hijau yang indah inilah, dihasilkan salah satu komoditas teh berkualitas terbaik di dunia.


Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dan beberapa ratus meter setelah bangunan sekolah dasar, mereka melintas di depan sebuah lapangan yang luasnya sekira setengah ukuran lapangan sepakbola.

"Menurut pasangan suami-istri pengurus vila," tutur Kang Tata. "Lapangan ini sering digunakan sebagai lokasi ospek mahasiswa baru."

Tessa menatap lapangan tersebut, dan kembali tertegun. Namun, kali ini, ketertegunan tersebut bukan disebabkan oleh pemandangan lapangan yang memesona.

"Aku pernah ke sini, Kang," gumamnya pelan. "Aku tahu tempat ini."

"Dari pertanyaan-pertanyaanmu kemarin, nggak terlihat bahwa kamu tahu tempat ini," tanggap Kang Tata. "Apalagi datang ke sini."

"Saat itu, aku hanya tahu, bahwa aku datang ke Pangalengan," jelas Tessa. "Aku datang malam hari, bareng teman-teman sesama alumni kampus. Menumpangi truk milik TNI. Saat itu, aku nggak bisa melihat jelas, rute ke sini. Apalagi mengingatnya."

"Jadi, baru kali ini kamu tahu, tempat ini bernama Pasir Junghun?" tanya Kang Tata. "Padahal kamu pernah datang ke sini?"

Tessa mengangguk pelan.

"Kapan?" tanya Kang Tata lagi.

"Mmh... kita bisa kembali ke vila?" potong Tessa, dengan nada memohon.

"Sekarang?" tanya balik Kang Tata. "Masih ada tempat yang ingin kuperlihatkan padamu, Tessa."

"Please, Kang..." minta Tessa lagi. "Aku... aku nggak enak badan."


Jelas, Kang Tata tidak percaya. Namun tak urung dipenuhinya permintaan mendadak sekretarisnya tersebut.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kang Tata tahu, ada sesuatu yang berkecamuk di benak Tessa, dan mengganggu perasaan wanita itu. Dan ia tahu, itu berkaitan dengan nama Pasir Junghun. Tapi, ia sama sekali tidak tahu, 'sesuatu' apakah itu?


Tadi, Tessa segera masuk kamar, setibanya di vila. Dengan berpesan sebelumnya,

"Aku minta waktu untuk sendiri, Kang. Nanti aku keluar lagi. Boleh?"

Wajah memelas yang ditampilkan wanita itu, membuatnya tak tega untuk mencetuskan secuil argumen apapun. Apalagi melarangnya.


Tak ingin berlama-lama larut di tengah jebakan beragam pertanyaan di kepala, Kang Tata memutuskan untuk beranjak ke dapur. Mencoba memasak sesuatu untuk sarapan dirinya, juga Tessa. Memanfaatkan bahan makanan yang tersedia di dalam lemari es, juga bahan mentah yang sengaja dibelinya di sebuah supermarket dua hari lalu.

Ia sadar betul, bahwa dalam skala satu sampai sepuluh, tingkat kemahirannya memasak mungkin berada di angka empat, bahkan lebih rendah lagi. Dan ia sadar, rasa masakan racikannya berpotensi untuk ditertawakan Tessa. Tapi sebaliknya, ia juga sadar bahwa itulah yang diinginkannya. Ditertawakan Tessa.

Kenapa? Karena suara tawa Tessa selalu berhasil membuat hati terdalamnya terpukau.


Maka, didasari keinginan untuk ditertawakan, Kang Tata pun mulai memasak. Hmm... keinginan yang ganjil, bukan?

Namun, faktanya, cinta memang dapat membuat siapa pun bertingkah ganjil. Tak terkecuali Kang Tata.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Memangnya Akang bisa memasak?" tegur Tessa, yang berdiri di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur, mengejutkan Kang Tata.

Kang Tata berbalik, lalu menggeleng putus asa.

"Duh... Akang..." keluh Tessa, sambil kemudian tertawa kecil. "Nggak usah memaksakan diri untuk memasak, kalau memang nggak bisa."

"Aku hanya ingin menghiburmu, Tessa," alasan Kang Tata.

"Menghibur aku?" tanya Tessa.

"Iya," jawab Kang Tata. "Karena, tadi kamu terlihat muram."

"Itu tadi, Kang," Tessa tersenyum. "Sekarang, aku ceria dan baik-baik aja."

"Serius?" tanya Kang Tata sangsi.

Tessa mengangguk. "Biar aku yang melanjutkan memasak, ya."

"Come in," Kang Tata mengibaskan tangan kiri, dengan gestur mengajak. "Aku akan memantau pekerjaanmu."

Tessa tertawa, sambil melangkah mendekati meja dapur.


"Rencananya, Akang mau masak apa?" tanya Tessa, melihat tiga butir telur di dalam mangkuk kecil, serta dua lembar ham sapi dan selembar daun selada di atas talenan.

"Sandwich," jawab Kang Tata.

"Memangnya rotinya ada?" tanya Tessa lagi.

"Ada," Kang Tata menunjuk lemari penyimpan makanan. "Belum kukeluarkan, karena aku masih berpikir. Ternyata, kamu telanjur mengkudeta."

Tessa tertawa.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Kang Tata dibuat heran dengan sikap Tessa.

Tidak. Ia tidak heran melihat kecekatan Tessa dalam melanjutkan proses memasak peninggalannya. Ia sudah cukup sering menyaksikan hebatnya kaum wanita memasak. Baginya, wanita yang cekatan dalam memasak adalah hal lumrah.

Yang membuatnya heran adalah fluktuasi sikap Tessa. Setengah jam lalu, wanita itu tiba-tiba ingin pulang ke vila, disertai sikap yang mendadak murung. Setibanya di vila, Tessa langsung masuk kamar dan berdiam di dalamnya. Dan nyatanya, tak butuh waktu lama, keceriaan pun kembali lagi.

Lantas, ke mana perginya kemuraman tadi?


Pertanyaan tersebut terjawab hampir satu jam kemudian.

Dimulai dengan Tessa yang menyajikan sarapan, yang sama sekali berbeda dengan rencana sarapan yang akan dibuat Kang Tata. Wanita itu memasak omurice, nasi goreng dadar gulung a la Jepang, setelah mendapati ketersediaan nasi di dalam magic jar, dengan porsi mencukupi. Kapankah Kang Tata membuatnya? Tessa tidak bertanya.

Ia lantas punya ide untuk mengganti roti sebagai bahan dasar pilihan Kang Tata, dengan nasi tersebut. Tiga butir telur, dua lembar ham sapi serta selembar daun selada yang telanjur disiapkan Kang Tata, tetap digunakannya. Bagi Tessa, bahan-bahan tersebut sudah cukup untuk diolah menjadi omurice.


Uniknya, Tessa juga melengkapi permukaan telur dadar pembungkus nasi goreng tersebut dengan pesan-pesan yang ditulis menggunakan saus sambal. Persis dengan apa yang dilakukan para ibu di Jepang, yang membubuhkan tulisan bernada penyemangat atau penanda kasih sayang di atas omurice, sarapan bagi putra-putrinya.

Dan Kang Tata mendelik sewot, saat mendapati tulisan 'Atasan Galak' di atas omurice-nya. Sebaliknya, guratan 'so cute' tertera pada omurice milik Tessa, lengkap dengan emoticon berbentuk senyuman.

"Kamu makin ngelunjak, ya..." desis Kang Tata, disambut tawa kecil Tessa.


Alhasil, hal pertama yang dilakukan Kang Tata setelah menerima sajian sarapan tersebut adalah menyaput guratan saus sambal itu menggunakan sendok, hingga tulisan 'Atasan Galak'-nya berantakan.

Kembali, Tessa tertawa, melihat tingkah sang atasan.


Dan dimulailah sarapan mereka. Hmm... inilah kali pertama mereka sarapan bersama. Dengan memanfaatkan bahan makanan yang ada, namun terasa istimewa karena Tessa berhasil memaksimalkan keterbatasan tersebut menjadi sajian yang di luar kebiasaan orang Indonesia.

"Enak," komentar Kang Tata.

"Serius, Kang?" tanya Tessa setengah tak percaya.

"Serius," jawab Kang Tata. "Okelah, sebelumnya aku belum pernah tahu masakan bernama omurice. Jadi, aku juga nggak tahu, mestinya seperti apa rasa yang sesungguhnya. Tapi, serius, omurice buatanmu enak, Tessa."

Tessa tersipu.

"Dan aku juga tahu," lanjut Kang Tata. "Hati wanita akan melambung ketika masakannya dipuji lawan jenis."

"Biasa aja, ah," bantah Tessa.

"Kamu pasti sedang berbohong," tukas Kang Tata.

Sipu di wajah Tessa makin kentara.

"Semoga ini bukan satu-satunya masakan yang bisa kamu buat," tambah Kang Tata. "Karena aku nggak mau seumur hidup hanya makan omurice."

Sipu di wajah Tessa sontak berganti menjadi sungging cemberut. Kang Tata malah tertawa.


Selanjutnya, bermenit-menit keduanya saling diam. Asyik dengan sajian sarapannya masing-masing. Kang Tata, meski hanya diam, tampak menikmati masakan racikan Tessa. Hal tersebut terlihat dari gestur tubuh dan mimik wajahnya.

Sementara itu, Tessa sangat yakin dengan rasa masakan buatannya. Ini bukanlah kali pertama dirinya memasak omurice. Selain itu, tadi ia sempat mencicipi sedikit, dan rasanya pas. Maka, meskipun Kang Tata menyantap sarapannya dalam kebungkaman, hal tersebut bukanlah diakibatkan oleh rasa omurice yang mengecewakan lidahnya.


"Akang bertanya-tanya oleh sikap aku, ya?" tanya Tessa.

Kang Tata berhenti makan, kemudian menatap Tessa. Ia mengangguk pelan.

"Aku akan bercerita," ucap Tessa. "Dan aku siap menerima reaksi Akang. Apapun itu."

Kang Tata tersenyum. "Berceritalah."


Dan mulailah Tessa bercerita.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Pangalengan, 30 Oktober 2009,


Setelah semalaman berada di tempat ini, menjadi saksi kegiatan Ospek Himpunan sebagai alumni, atau kerap dijuluki 'Jenderal' oleh para mahasiswa baru, akhirnya Tessa tahu detil lokasi perkemahan.

Ya, betapa tidak?

Langit sudah gelap ketika truk milik TNI yang membawa puluhan alumni mahasiswa Perbankan dari berbagai angkatan itu melintasi pusat keramaian Pangalengan. Terlebih, Tessa dan belasan alumni berkelamin wanita lainnya ditempatkan di bagian dalam truk, agar tidak terlalu banyak terpapar debu dan angin. Sulit baginya untuk menebak arah perjalanan.

Yang ia tahu, lokasi perkemahan mesti dicapai dengan melintasi jalanan yang terbilang buruk, di tengah suasana perkebunan yang sepi.


Suasananya seram, nilai Tessa di dalam hati, tadi malam.

Namun pagi ini terbantahkan, setelah langit mulai terang. Pemandangannya indah. Hamparan perkebunan teh yang luas, entah berapa ribu hektare, terpampang di sisi lain lapangan. Juga perkampungan dan bangunan yang terlihat seperti sebuah sekolah, beberapa ratus meter jaraknya.


Tessa duduk di atas rumput yang terasa agak basah oleh embun pagi, diapit dua lelaki. Aji dan Angga. Hanya dua teman sekelasnya semasa kuliah itulah yang menjadi temannya selama acara Ospek Himpunan. Ia memang tidak pernah bisa akrab dengan rekan berbeda kelas dan angkatan, sejak dulu.

Oya, di mana Irwan? Juga apakah Rania dan Sadiah tidak hadir? Ketiga rekan sekelas Tessa tersebut juga ada di sini. Mereka sedang menuju kamar mandi darurat. Maksudnya, dua wanita ingin membasuh wajah, sementara yang pria terpaksa bersedia mengantarnya.

Lalu, rekan seangkatan mereka dari kelas yang berbeda, tak ada satu pun yang hadir? Tentu ada. Namun mereka berkumpul dalam kelompok yang berlainan.


"Dia nggak datang?" tanya Tessa, ditujukan pada Aji dan Angga yang mengapitnya. "Atau
belum datang?"

Aji dan Angga saling tatap, lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu.

"Tessa..." gumam Aji. "Sebelumnya, kami minta maaf. Dia nggak datang, meskipun kami sempat menjanjikannya akan datang. Kami... kami nggak berhasil menghubunginya."


Mendadak Tessa ingin pulang, saat itu juga. Meskipun hal tersebut tentu tidak mungkin.

Sejak lulus kuliah, Tessa selalu menolak hadir di setiap acara yang digelar Himpunan Mahasiswa Perbankan. Hanya ada satu alasan kuat, mengapa akhirnya dirinya bersedia untuk datang, kali ini. Dan baru saja, Aji dan Angga mengungkapkan bahwa 'alasan kuat' tersebut tidak mungkin hadir. Adalah wajar jika Tessa mendadak merasa jengah berada di tempat ini, bukan?

"Kami benar-benar minta maaf, Tessa," Angga menambahkan.

Tessa tersenyum. "Nggak apa-apa. Semua udah terjadi, dan aku udah telanjur datang ke sini. Yaa... sekarang, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah..."


"Tessa?" tegur seorang lelaki dari arah belakang, membuat kalimat ucapan Tessa terpotong.

Tessa, Aji dan Angga serempak menoleh ke arah suara. Dilihatnya Ivan berdiri di sana.



+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Yang kamu sebut sebagai 'dia' dalam ceritamu, adalah Ivan?" tanya Kang Tata, segera setelah Tessa usai berkisah.

Tessa menggeleng. "Yang aku sebut 'dia' dalam cerita, adalah Dinan. Dia adalah satu-satunya alasan kenapa aku bersedia menghadiri acara Ospek Himpunan. Dia nggak pernah hadir."

"Lalu... Ivan?" tanya Kang Tata lagi.

"Konon, Ivan menyukai aku sejak hari-hari pertama perkuliahan," jawab Tessa. "Lalu kami bertemu lagi di tahun 2009, di sini, di lokasi yang akhirnya kutahu bernama Pasir Junghun. Kami jadi dekat. Dia berniat menikahi aku, dan aku bersedia. Dia..."

"Kamu pernah hampir menikah?" potong Kang Tata. "Atau... kamu justru udah menikah, tapi akhirnya bercerai dan memanipulasi status perkawinan di KTP?"

Tessa tertawa kecil. "Makanya, jangan memotong cerita aku atuh, Kang."

"Oh, maaf," Kang Tata menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Silakan lanjutkan ceritamu."

"Aku bersedia dinikahi Ivan," sambung Tessa. "Masing-masing keluarga kami setuju, dan tanggal pernikahan pun disepakati. Lalu... Ivan selingkuh. Mmm... sebulan sebelum hari-H, aku memutuskan untuk membatalkannya."


Jelas, Kang Tata kesulitan untuk mencari kalimat yang tepat untuk menanggapi kisah yang dituturkan oleh wanita di hadapannya. Ia hanya sanggup menatap Tessa lekat-lekat, namun dengan bibir yang sepenuhnya terkunci.

Karena ia tahu, kesalahan dalam menentukan susunan kalimat tanggapan, dapat memicu reaksi negatif.


"Tapi... nggak usah ditanggapi serius, Kang," ujar Tessa, sembari kemudian tertawa. "Aku udah nggak peduli dengan Ivan, kok."

"Kamu bisa bersikap begitu, setelah semua yang dilakukannya?" tanya Kang Tata heran.

Tessa mengangguk. "Sebagian orang jadi makin jatuh cinta pada seseorang yang telah menyakitinya, sebagian lagi justru berbalik membencinya setengah mati."

"Dan kamu termasuk dalam kategori orang yang mana?" selidik Kang Tata.

"Bukan keduanya," jawab Tessa. "Aku nggak membencinya, apalagi jadi makin mencintainya. Aku jadi nggak peduli sama dia. Benar-benar nggak peduli. Oke, aku menangis ketika itu. Tapi, aku menangis karena membayangkan rasa malu yang mesti ditanggung akibat pernikahan yang batal. Aku menangis bukan karena Ivan, Kang."


Kisah yang baru saja dituturkan Tessa, menciptakan paradigma baru di dalam otak Kang Tata. Kini ia mulai mengetahui, jalan hidup wanita manis di hadapannya itu. Dan ia beranggapan bahwa hal tersebut sangat positif terhadap relasi asmara yang tengah mereka rajut.

Karena inilah salah satu pengejawantahan dari keterbukaan dan kejujuran dalam sebuah hubungan.


"Tessa..." ucap Kang Tata pelan. "Sekarang aku jadi sedikit lebih tahu, apa yang bikin kamu terlihat keruh."

"Keruh?" tanya Tessa tak mengerti.

"Matamu indah, tapi terlihat keruh," jawab Kang Tata. "Hmm... bahkan Kang Yadi dan Trias pun pernah menilai seperti itu."

Tessa tertawa kecil.

"Aku berharap, kebersamaan kita bisa menghilangkan kekeruhan di matamu, Tessa," tutur Kang Tata.

"Akang gombal," cetus Tessa, masih disertai tawa kecil. "Tapi, jujur, aku juga berharap seperti itu, Kang."

Kang Tata mengangguk.


Keduanya kembali fokus menyantap omurice-nya masing-masing. Tanpa bicara.


Hingga Tessa berucap pelan,

"Bukan Ivan, Kang."

Kang Tata menatap Tessa dengan sorot mata heran. "Maksudmu?"

"Ya, bukan Ivan," ulang Tessa. "Yang bikin sikap aku mendadak aneh setelah melintas di depan lapangan tadi, bukan soal kenangan aku dengan Ivan."

Kang Tata diam sejenak, seolah berpikir. Lalu berkata, "Mmm... Dinan?"

"Dinan," Tessa membenarkan. "Tahun 2009, aku datang ke lapangan itu, untuk Dinan. Ternyata, dia nggak hadir. Aku malah dipertemukan kembali dengan Ivan."

"Andai ketika itu Dinan hadir," tanggap Kang Tata. "Kira-kira apa yang akan terjadi?"

"Mungkin kita nggak akan pernah bertemu, Kang," Tessa tersenyum. "Mungkin saat ini aku hanya tinggal di rumah, mengabdi untuk keluarga."

"Jadi istri Dinan, maksudmu?" terka Kang Tata.

Tessa mengangguk. "Yah... meskipun, siapa pun suaminya, aku lebih memilih untuk jadi ibu rumah tangga."

"Kalau aku yang jadi suamimu," ujar Kang Tata. "Kamu juga akan memilih untuk jadi ibu rumah tangga?"

Tessa mengangguk lagi.

"Hmm... berarti aku harus bersiap-siap membuka lowongan untuk posisi sekretaris, nih," seloroh Kang Tata. "Dan nanti, faktor fisik akan dihilangkan dari daftar kriteria."

Tessa tertawa.


Tessa dan Kang Tata kembali saling bungkam dan melanjutkan sarapannya yang tertangguhkan sejenak itu.


Lalu,

"Kamu masih teringat Dinan?" tanya Kang Tata.

Tessa diam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.

"Dinan itu..." sesaat Kang Tata menghentikan kata-katanya. "Kamu mencintainya?"

"Aku pernah sangat mencintainya, Kang," jawab Tessa. "Maafkan kalau aku terlalu jujur."

"Itu malah bagus, Tessa," Kang Tata tersenyum. "Bukankah kamu juga menginginkan hal yang sama dariku, seperti yang pernah kamu bilang malam itu di rumahmu?"

Tessa ikut tersenyum, lalu mengangguk.


"Kamu pernah sangat mencintainya," ulang Kang Tata. "Bagaimana dengan dia?"

"Menurut pengakuannya, dia juga sama," jawab Tessa. "Dan aku percaya."

"Kenapa kalian berpisah?" tanya Kang Tata.

"Beberapa hal terjadi," tutur Tessa. "Kami memutuskan berpisah, padahal sama-sama nggak rela. Kami saling mencari, saling menunggu. Tapi..."

"Bagaimana kamu bisa yakin bahwa kalian saling mencari dan menunggu?" sela Kang Tata. "Tepatnya, bahwa Dinan mencari dan menunggumu."

"Akhirnya kami memang bertemu kembali," jawab Tessa. "Mmh... pertemuan yang akhirnya menjelaskan bahwa kami nggak pernah ditakdirkan untuk hidup bersama."


"Kamu masih mengharapkan Dinan?" tanya Kang Tata.

Tessa menggeleng tanpa ragu. "Dia udah hidup bahagia dengan wanita pilihannya, Kang. Aku tahu persis bahwa dia udah hidup bahagia, karena wanita pilihannya adalah adik sepupu aku."

"Dinan menikah dengan adik sepupumu?" Kang Tata menatap tajam Tessa. "Kalian berpisah, meskipun sama-sama nggak rela. Lalu kalian saling mencari dan menunggu. Dan dia menikahi adik sepupumu?"

"Dinan nggak pernah tahu bahwa wanita itu adalah adik sepupu aku," jelas Tessa. "Dan aku juga nggak tahu kalau ternyata lelaki yang sedang dekat dengan adik sepupu aku adalah Dinan. Mereka dekat, dan berniat untuk menikah. Mmm... beberapa hari sebelum acara lamaran, mereka malah berpisah. Belakangan aku paham, alasan adik sepupu aku membatalkan itu, adalah karena dia tahu bahwa Dinan adalah mantan kekasihku."

"Pada akhirnya, mereka tetap menikah?" tanya Kang Tata lagi.

Tessa mengangguk. "Aku dan Dinan bertemu lagi, setelah belasan tahun terpisah. Kami mengobrol panjang lebar. Lalu... tanpa sengaja, arah obrolan membuat aku menyebutkan nama adik sepupu aku itu. Saat itulah semuanya jadi jelas."

"Dan setelah semuanya menjadi jelas, Dinan lebih memilih adik sepupumu," tanggap Kang Tata.

"Dinan memang mencintaiku, tapi terbukti bahwa dia lebih membutuhkan adik sepupu aku," Tessa tersenyum. "Mana yang akan Akang pilih? Hidup dengan wanita yang Akang inginkan, atau yang Akang butuhkan?"

Kang Tata menganggukkan kepala.

"Adik sepupu aku selalu ada di sisinya, ketika Dinan terpuruk akibat kematian ayahnya," lanjut Tessa. "Sementara di mana aku, ketika Dinan terpuruk dan membutuhkan seseorang?"

Kembali, Kang Tata menganggukkan kepala.


Obrolan terhenti lagi, dan kali ini lebih lama dibandingkan sebelumnya. Keduanya menandaskan omurice masing-masing, kemudian Tessa membereskan peralatan bekas sarapan dan mencucinya, semua dalam keadaan senyap. Tanpa ada secuil pun perbincangan.

Kang Tata yang akhirnya memulai kembali pembicaraan.


"Aku mengerti, kamu punya kenangan di Pasir Junghun, di lapangan itu," ucapnya hati-hati. "Kenangan yang berpengaruh besar terhadap jalan hidupmu saat ini."

"Aku minta maaf, Kang," tanggap Tessa. "Mungkin cerita aku udah mengganggu perasaan Akang. Tapi... aku merasa, justru semua itu bisa mengganggu hubungan kita, andai aku nggak jujur dan memilih untuk menyembunyikannya. Rasanya lucu, Kang... aku mengharapkan kejujuran dari Akang, sementara aku sendiri nggak jujur sama Akang."

"Tapi, kamu mau bersamaku?" tanya Kang Tata.

Tessa terdiam, lalu menatap Kang Hara. Sedikit tak mengerti dengan arah dan nada pertanyaan sang atasan.

"Kalau iya," ucap Kang Tata, setelah mendapati pertanyaannya tak lantas ditimpali dengan jawaban. "Mari lupakan masa lalu, dan memulai kehidupan kita bersama. Oke?"

Tessa tersedak menahan tawa.

"Kenapa malah tertawa?" tanya Kang Tata heran.

"Akang mencontek dari adegan film," cetus Tessa. "Love in the Buff. Iya, 'kan?"

"Haduh..." Kang Tata ikut tertawa. "Memang susah, ya, menjalin hubungan dekat dengan seseorang yang hobi nonton film."

Tessa tertawa, kemudian mengangguk. Tak lama, tawanya terhenti. Tangan kanannya menyentuh lengan kiri Kang Tata. "Aku akan melupakan masa lalu. Mmh... lebih tepatnya, berdamai dengan masa lalu, dan memulai kehidupan kita bersama. Demi kita, Kang."

"Aku mengerti," Kang Tata tersenyum. "Karena masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan dikenang."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
 
Wah oom PB apdet......nuhun oom.....ikut nunggu yg naik skuter boleh kan......???
Naik skuter.......


... oh, cerita yang itu, ya?
hehe

Koq bergiliran, ya?
Ketika cerita ini mulai lancar, nah yg itu malah macet... :Peace:
 
Selalu bikin aku terhanyut dan gagal move on dari Dinan-Tessa. Entah kenapa, aku masih berharap mereka akhirnya berjodoh. 😄
Yupz.. banyak yg gagal move on dari Dinan dan Tessa, termasuk TS-nya, hihi...

Hanya saja... sepertinya mereka udah nggak mungkin berjodoh, apalagi Dinan diceritakan udah bahagia dengan pernikahannya bersama Alifa.

Tapi, apapun masih bisa terjadi, sih... :)
 
Bimabet
Akhirnya tesa muncul lagi...
Matur nuwun lanjutannya bosz...
Sama-sama, Om..
Semoga berkenan membaca kisah tentang Tessa ini.. :)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd