ku12ku0ku177ku1ruyuk
Semprot Baru
- Daftar
- 14 Mar 2021
- Post
- 32
- Like diterima
- 1.604
(DISCLAIMER: Beberapa bulan yang lalu ane pernah memposting sebuah cerita berjudul "Donisaurus" di forum ini. Lalu ane hapus thread itu karena merasa ceritanya belum matang. Nah, cerita ini adalah remake dari cerita itu yang sudah disunting dan dikembangkan lebih jauh. Selamat membaca.)
PART I
Rintik hujan mengiringi kepulanganku dari sekolah. Tadi ada rapat yang dihadiri oleh semua dewan guru sekaligus kepala sekolah. Aku jadi pulang lebih sore dari biasanya. Jam 4 masih di jalan. Biasanya jam 4 sudah ada di rumah dan memasak. Sebelum jam 5 masakan sudah terhidang di atas meja.
Sepertinya tidak akan keburu untuk memasak. Aku memutuskan untuk beli lauk di warung saja. Tapi apa? Saat aku sedang bingung memikirkan menu makanan, handphone-ku berdering. Ada panggilan. Aku segera menepikan motor. Aku tersenyum melihat nama yang tertera di layar handphone.
“Halo.”
Terdengar suara sedikit merengek di sana.
“Iya, tadi Mama ada rapat dulu, jadi pulangnya lama.”
Suara merengek berganti suara manja.
“Iya, emang udah niat mau beli lauk tadi juga. Kamu laper ya?”
Berikutnya suara malu-malu.
“Hah? Bukannya masih ada satu?”
Kemudian aku teringat kejadian tadi pagi.
“Emang mau dipake kapan?”
Terdengar suara memelas.
“Masa mau langsung? Nanti malem aja sih.”
Terdengar suara memohon.
“Iya, iya, Mama beliin.”
Panggilan berakhir. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Setelah beli tiga porsi ayam bakar di warung nasi padang, aku mampir dulu ke minimarket, baru kemudian pulang.
Sesampainya di rumah, mobil Mas Heri masih belum ada di garasi. Aku mengecek jam. Memang belum waktunya dia pulang sih.
Begitu membuka pintu masuk, Dimas langsung menghambur memelukku.
“Cepet, Ma!”
Aku berusaha melepaskan rangkulannya.
“Sebentar, Dimas, ini Mama mau naruh ayam dulu di dapur.”
Setelah plastik berisi ayam bakar itu kutaruh di atas meja makan, Dimas kembali menghambur ke tubuhku.
“Sabar dong. Mama mau ganti baju dulu nih, gerah. Mau mandi dulu sekalian.”
“Ikut!”
“Mau di kamar mandi lagi?”
Dimas mengangguk mantap. Bibirnya tersenyum lebar.
“Ya udah, tapi yang cepet ya. Bentar lagi Papa pulang.”
Setengah jam lagi sebelum Mas Heri pulang.
Dimas mengikutiku masuk ke kamar, lalu ke kamar mandi di dalam kamar.
Sambil membuka pakaianku, aku berkata, “Kamu tuh ya, tadi pagi kan udah.”
Dimas cuma cengengesan sambil ikut melucuti pakaiannya sendiri.
“Bajunya jangan ditaruh sembarangan. Simpen yang bener di keranjang.”
“Ini masih bersih kok. Baru tadi siang. Nanti Dimas pake lagi.”
Aku sudah telanjang. Kukira Dimas juga sudah, tapi dia masih menyisakan celana dalamnya.
“Itu kenapa nggak dibuka? Mau dry hump doang?”
Dimas cemberut. “Enak aja. Bukain sama Mama.”
Aku nyengir melihat wajah kesalnya. “Apaan sih. Sama aja mau Mama yang bukain atau kamu yang bukain.”
Meskipun aku ngomong begitu, aku tetap menurut juga membukakan celana dalamnya. Lalu dalam sekejap, penis Dimas langsung menyembul. Seperti mau loncat. Sudah tegang sekali.
Aku sedikit terkekeh.
“Buset dah. Udah kayak nggak ngentot tiga bulan aja.” Komentarku.
Kulihat wajah Dimas sudah merah tidak karuan.
Aku mengguyur tubuhku beberapa gayung untuk menghilangkan gerah. Dimas mencucuk-cucukkan penis tegangnya ke arah pantatku.
“Bentar ih. Mama bersih-bersih dulu. Memeknya juga mau dicuci dulu.”
Mulut Dimas liar mengecupi punggungku. Kubiarkan saja, yang penting pelirnya tidak ganggu. Aku segera membasuh vaginaku, menyabuninya pakai sabun khusus. Tanpa aba-aba, Dimas berinisiatif mengusapi vaginaku yang sedang disabuni. Kubiarkan saja beberapa saat. Lalu kubilas dengan air sampai kesat.
Aku pun segera menungging dengan bertumpuan pada pegangan westafel.
“Cepet.”
“Sambil duduk aja.”
“Hah? Males ah pegel. Lagian Mama kan baru pulang ini. Capek tau. Udah buruan masukin.”
“Mama yang duduk. Dimas yang gerak.”
“Mana bisa kalau Mama yang duduk. Udah deh jangan macem-macem. Mau ngentot sekarang apa nggak?”
“Bisa kok. Tadi Dimas lihat di video. Kakinya diangkat ke atas.”
Dimas mengarahkanku supaya duduk di atas closet. Kemudian dipakainya kondom yang baru saja kubeli di jalan pulang tadi. Sudah lihai dia dibandingkan ketika dulu pertama kali kuajari pakai kondom. Lalu diangkatnya pahaku ke atas sehingga vaginaku terpampang jelas.
“Ini mah bukan duduk namanya. Pegel tau lama-lama.”
Tanpa menghiraukan protesku, Dimas mulai berusaha menancapkan penisnya ke lubang vaginaku. Dia harus menekuk lututnya supaya penis itu sejajar dengan lubang vaginaku.
Aku cuma bisa geleng-geleng. Sialan memang itu bokep-bokep Jepang. Ada saja ide gila mereka.
Setelah berusaha cukup keras, akhirnya masuk juga itu pelir. Susah payah masuknya, susah payah juga menggerakkannya. Dimas harus menggenjot sambil menahan kedua pahaku. Tentu saja lumayan berat bagi dia.
Meskipun berat, lama-lama genjotannya semakin stabil. Tapi kulihat dia kewalahan. Napasnya ngos-ngosan padahal belum ada lima menit. Genjotannya juga tidak cepat.
Muncul rasa iba dan naluri keibuanku.
“Capek, kan?”
Dimas tidak menjawab. Dia cuma geleng-geleng sambil matanya terpejam. Pelirnya tetap stabil menggenjot vaginaku.
Pasti pegal itu tangannya, juga kakinya karena lututnya harus ditekuk. Tidak tega aku.
“Udah sini gantian. Kamu aja yang duduk di bawah,” saranku.
“Nggak. Masih kuat kok,” jawabnya. Tapi aku tahu dia sudah kewalahan.
“Udah, sayang. Mama aja yang genjot.”
Meskipun dia tetap menggenjot, kudorong dadanya perlahan sampai akhirnya penisnya lepas. Aku segera berdiri dan mengarahkannya untuk duduk di atas closet. Kemudian aku mengangkangi penisnya yang mengacung tegak itu. Dengan diarahkan tanganku, sekali bidik pelirnya langsung masuk lagi ke vagina. Perlahan kuturunkan selangkanganku. Kunikmati setiap gesekan antara kelamin kami sampai batangnya mentok. Setelah mentok aku berhenti sejenak.
“Lebih enak kan kalau gini?”
Bukannya menjawab, Dimas malah menarik wajahku ke arahnya dan kami pun berciuman. Aku harus menunduk karena tinggi badanku masih lebih tinggi daripada Dimas. Kami berciuman dengan sangat mesra. Kupegang pipinya dengan kedua tanganku, seakan tak mau kulepaskan. Lidah kami berpagutan seperti ular sedang kawin—ya, kami juga memang sedang kawin sih.
Perlahan mulai kugerakkan vaginaku yang menjepit penisnya.
Kudengar samar-samar Dimas mendesah keenakan. Rintihan yang ritmik dengan gerakan vaginaku. Aku sebenarnya tak tahan ingin mendesah juga, tetapi aku lebih senang mendengar Dimas mendesah.
Ini momen ekstasi. Tak bisa kulukiskan kenikmatannya. Dimas adalah cinta sejati yang telah kunantikan selama bertahun-tahun. Waktu mengandung Dimas dulu adalah saat-saat yang sangat membahagiakan bagiku. Ketika melahirkan Dimas, meskipun sakit tidak karuan, rasa sayangku pun meletup-letup. Kutimang dia, anakku sayang.
Kini dua kelamin kami bersatu. Tak ada yang bisa memisahkan.
Kulepas sejenak ciuman kami. Kupandangi wajah Dimas lekat-lekat sambil tetap vaginaku menggenjot penisnya.
“Enak, sayang?” Mataku agak berkaca-kaca.
“Enak, Ma. Ahhhh…” Mata Dimas menatapku sama dalam.
Aku tak tahan dan kembali menciumnya sepenuh perasaanku. Tangan Dimas menggenggam lembut payudaraku. Satu jarinya berputar-putar di sekitar puting.
Aku tak tahan lagi dan akhirnya mendesah.
“Ahhh… Sayang…” ucapku sambil membelai-belai rambut Dimas.
Dimas mengerti apa yang kuinginkan. Wajahnya maju, kemudian dilumatnya payudara kiriku. Setelah beberapa saat, kutarik lagi wajahnya supaya menciumku. Kami mengulanginya berkali-kali, berselang-seling.
Sesekali Dimas memintaku untuk mengumpulkan air ludah, kemudian lidahnya akan terjulur untuk menerima.
Dimas memeluk tubuhku erat-erat. Itu tanda dia akan segera orgasme. Kurasakan penisnya pun sekarang ikut bergerak menusuk-nusuk lubang vaginaku. Aku juga merasakan sudah mau mencapai titik puncak. Kupeluk erat-erat kepala Dimas, kebenamkan di belahan susuku. Seraya kami berdua mengerang lepas. Erangan kami menggema dan semakin menambah ke-erotis-an perbuatan tabu yang sedang kami lakukan.
“Ahh.. Ah.. Ahhhh…”
“Ah… Mama… Ahhhh… Enak Ma…”
Tak lama kemudian, kurasakan sudah sangat dekat dengan puncak.
“Ahhh… Dimas… sayang…”
Tubuhku bergetar dibanjiri kenikmatan. Dinding vaginaku berkedut-kedut, dengan penis Dimas dihimpit olehnya, seperti sedang memerah susu. Bedanya, yang sedang diperah adalah peju.
Tusukan penis Dimas mulai tidak karuan. Selang beberapa saat, secara tak terkontrol, Dimas menghujamkan penisnya dalam-dalam. Seakan-akan mau masuk sepenuhnya ke dalam vaginaku dan tinggal di sana. Ingin kembali ke tempat asal. Kurasakan batang itu berkedut-kedut.
Kami berdua ngos-ngosan. Saling pandang. Tersenyum. Lalu kembali kulumat bibirnya karena tak tahan.
Setelah puas berciuman, aku segera berdiri. Lalu kulepas kondom di penis Dimas.
“Nggak banyak kamu keluarnya.”
“Soalnya waktu tadi pagi banyak sih.”
“Makanya, Mama bilang juga entar malem aja, pas mau tidur. Kamu sih ga sabaran.”
“Ya udah, entar malem lagi ya.”
“Sok kuat banget sih. Idih.”
Kami pun tertawa. Setelah itu buru-buru mandi karena sebentar lagi suamiku pulang. Selesai mandi, Dimas memakai kembali bajunya yang tadi ditaruh di gantungan.
Tepat pukul 5 sore Mas Heri pulang. Aku dan Dimas sedang menata meja makan.
PART I
Rintik hujan mengiringi kepulanganku dari sekolah. Tadi ada rapat yang dihadiri oleh semua dewan guru sekaligus kepala sekolah. Aku jadi pulang lebih sore dari biasanya. Jam 4 masih di jalan. Biasanya jam 4 sudah ada di rumah dan memasak. Sebelum jam 5 masakan sudah terhidang di atas meja.
Sepertinya tidak akan keburu untuk memasak. Aku memutuskan untuk beli lauk di warung saja. Tapi apa? Saat aku sedang bingung memikirkan menu makanan, handphone-ku berdering. Ada panggilan. Aku segera menepikan motor. Aku tersenyum melihat nama yang tertera di layar handphone.
“Halo.”
Terdengar suara sedikit merengek di sana.
“Iya, tadi Mama ada rapat dulu, jadi pulangnya lama.”
Suara merengek berganti suara manja.
“Iya, emang udah niat mau beli lauk tadi juga. Kamu laper ya?”
Berikutnya suara malu-malu.
“Hah? Bukannya masih ada satu?”
Kemudian aku teringat kejadian tadi pagi.
“Emang mau dipake kapan?”
Terdengar suara memelas.
“Masa mau langsung? Nanti malem aja sih.”
Terdengar suara memohon.
“Iya, iya, Mama beliin.”
Panggilan berakhir. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Setelah beli tiga porsi ayam bakar di warung nasi padang, aku mampir dulu ke minimarket, baru kemudian pulang.
Sesampainya di rumah, mobil Mas Heri masih belum ada di garasi. Aku mengecek jam. Memang belum waktunya dia pulang sih.
Begitu membuka pintu masuk, Dimas langsung menghambur memelukku.
“Cepet, Ma!”
Aku berusaha melepaskan rangkulannya.
“Sebentar, Dimas, ini Mama mau naruh ayam dulu di dapur.”
Setelah plastik berisi ayam bakar itu kutaruh di atas meja makan, Dimas kembali menghambur ke tubuhku.
“Sabar dong. Mama mau ganti baju dulu nih, gerah. Mau mandi dulu sekalian.”
“Ikut!”
“Mau di kamar mandi lagi?”
Dimas mengangguk mantap. Bibirnya tersenyum lebar.
“Ya udah, tapi yang cepet ya. Bentar lagi Papa pulang.”
Setengah jam lagi sebelum Mas Heri pulang.
Dimas mengikutiku masuk ke kamar, lalu ke kamar mandi di dalam kamar.
Sambil membuka pakaianku, aku berkata, “Kamu tuh ya, tadi pagi kan udah.”
Dimas cuma cengengesan sambil ikut melucuti pakaiannya sendiri.
“Bajunya jangan ditaruh sembarangan. Simpen yang bener di keranjang.”
“Ini masih bersih kok. Baru tadi siang. Nanti Dimas pake lagi.”
Aku sudah telanjang. Kukira Dimas juga sudah, tapi dia masih menyisakan celana dalamnya.
“Itu kenapa nggak dibuka? Mau dry hump doang?”
Dimas cemberut. “Enak aja. Bukain sama Mama.”
Aku nyengir melihat wajah kesalnya. “Apaan sih. Sama aja mau Mama yang bukain atau kamu yang bukain.”
Meskipun aku ngomong begitu, aku tetap menurut juga membukakan celana dalamnya. Lalu dalam sekejap, penis Dimas langsung menyembul. Seperti mau loncat. Sudah tegang sekali.
Aku sedikit terkekeh.
“Buset dah. Udah kayak nggak ngentot tiga bulan aja.” Komentarku.
Kulihat wajah Dimas sudah merah tidak karuan.
Aku mengguyur tubuhku beberapa gayung untuk menghilangkan gerah. Dimas mencucuk-cucukkan penis tegangnya ke arah pantatku.
“Bentar ih. Mama bersih-bersih dulu. Memeknya juga mau dicuci dulu.”
Mulut Dimas liar mengecupi punggungku. Kubiarkan saja, yang penting pelirnya tidak ganggu. Aku segera membasuh vaginaku, menyabuninya pakai sabun khusus. Tanpa aba-aba, Dimas berinisiatif mengusapi vaginaku yang sedang disabuni. Kubiarkan saja beberapa saat. Lalu kubilas dengan air sampai kesat.
Aku pun segera menungging dengan bertumpuan pada pegangan westafel.
“Cepet.”
“Sambil duduk aja.”
“Hah? Males ah pegel. Lagian Mama kan baru pulang ini. Capek tau. Udah buruan masukin.”
“Mama yang duduk. Dimas yang gerak.”
“Mana bisa kalau Mama yang duduk. Udah deh jangan macem-macem. Mau ngentot sekarang apa nggak?”
“Bisa kok. Tadi Dimas lihat di video. Kakinya diangkat ke atas.”
Dimas mengarahkanku supaya duduk di atas closet. Kemudian dipakainya kondom yang baru saja kubeli di jalan pulang tadi. Sudah lihai dia dibandingkan ketika dulu pertama kali kuajari pakai kondom. Lalu diangkatnya pahaku ke atas sehingga vaginaku terpampang jelas.
“Ini mah bukan duduk namanya. Pegel tau lama-lama.”
Tanpa menghiraukan protesku, Dimas mulai berusaha menancapkan penisnya ke lubang vaginaku. Dia harus menekuk lututnya supaya penis itu sejajar dengan lubang vaginaku.
Aku cuma bisa geleng-geleng. Sialan memang itu bokep-bokep Jepang. Ada saja ide gila mereka.
Setelah berusaha cukup keras, akhirnya masuk juga itu pelir. Susah payah masuknya, susah payah juga menggerakkannya. Dimas harus menggenjot sambil menahan kedua pahaku. Tentu saja lumayan berat bagi dia.
Meskipun berat, lama-lama genjotannya semakin stabil. Tapi kulihat dia kewalahan. Napasnya ngos-ngosan padahal belum ada lima menit. Genjotannya juga tidak cepat.
Muncul rasa iba dan naluri keibuanku.
“Capek, kan?”
Dimas tidak menjawab. Dia cuma geleng-geleng sambil matanya terpejam. Pelirnya tetap stabil menggenjot vaginaku.
Pasti pegal itu tangannya, juga kakinya karena lututnya harus ditekuk. Tidak tega aku.
“Udah sini gantian. Kamu aja yang duduk di bawah,” saranku.
“Nggak. Masih kuat kok,” jawabnya. Tapi aku tahu dia sudah kewalahan.
“Udah, sayang. Mama aja yang genjot.”
Meskipun dia tetap menggenjot, kudorong dadanya perlahan sampai akhirnya penisnya lepas. Aku segera berdiri dan mengarahkannya untuk duduk di atas closet. Kemudian aku mengangkangi penisnya yang mengacung tegak itu. Dengan diarahkan tanganku, sekali bidik pelirnya langsung masuk lagi ke vagina. Perlahan kuturunkan selangkanganku. Kunikmati setiap gesekan antara kelamin kami sampai batangnya mentok. Setelah mentok aku berhenti sejenak.
“Lebih enak kan kalau gini?”
Bukannya menjawab, Dimas malah menarik wajahku ke arahnya dan kami pun berciuman. Aku harus menunduk karena tinggi badanku masih lebih tinggi daripada Dimas. Kami berciuman dengan sangat mesra. Kupegang pipinya dengan kedua tanganku, seakan tak mau kulepaskan. Lidah kami berpagutan seperti ular sedang kawin—ya, kami juga memang sedang kawin sih.
Perlahan mulai kugerakkan vaginaku yang menjepit penisnya.
Kudengar samar-samar Dimas mendesah keenakan. Rintihan yang ritmik dengan gerakan vaginaku. Aku sebenarnya tak tahan ingin mendesah juga, tetapi aku lebih senang mendengar Dimas mendesah.
Ini momen ekstasi. Tak bisa kulukiskan kenikmatannya. Dimas adalah cinta sejati yang telah kunantikan selama bertahun-tahun. Waktu mengandung Dimas dulu adalah saat-saat yang sangat membahagiakan bagiku. Ketika melahirkan Dimas, meskipun sakit tidak karuan, rasa sayangku pun meletup-letup. Kutimang dia, anakku sayang.
Kini dua kelamin kami bersatu. Tak ada yang bisa memisahkan.
Kulepas sejenak ciuman kami. Kupandangi wajah Dimas lekat-lekat sambil tetap vaginaku menggenjot penisnya.
“Enak, sayang?” Mataku agak berkaca-kaca.
“Enak, Ma. Ahhhh…” Mata Dimas menatapku sama dalam.
Aku tak tahan dan kembali menciumnya sepenuh perasaanku. Tangan Dimas menggenggam lembut payudaraku. Satu jarinya berputar-putar di sekitar puting.
Aku tak tahan lagi dan akhirnya mendesah.
“Ahhh… Sayang…” ucapku sambil membelai-belai rambut Dimas.
Dimas mengerti apa yang kuinginkan. Wajahnya maju, kemudian dilumatnya payudara kiriku. Setelah beberapa saat, kutarik lagi wajahnya supaya menciumku. Kami mengulanginya berkali-kali, berselang-seling.
Sesekali Dimas memintaku untuk mengumpulkan air ludah, kemudian lidahnya akan terjulur untuk menerima.
Dimas memeluk tubuhku erat-erat. Itu tanda dia akan segera orgasme. Kurasakan penisnya pun sekarang ikut bergerak menusuk-nusuk lubang vaginaku. Aku juga merasakan sudah mau mencapai titik puncak. Kupeluk erat-erat kepala Dimas, kebenamkan di belahan susuku. Seraya kami berdua mengerang lepas. Erangan kami menggema dan semakin menambah ke-erotis-an perbuatan tabu yang sedang kami lakukan.
“Ahh.. Ah.. Ahhhh…”
“Ah… Mama… Ahhhh… Enak Ma…”
Tak lama kemudian, kurasakan sudah sangat dekat dengan puncak.
“Ahhh… Dimas… sayang…”
Tubuhku bergetar dibanjiri kenikmatan. Dinding vaginaku berkedut-kedut, dengan penis Dimas dihimpit olehnya, seperti sedang memerah susu. Bedanya, yang sedang diperah adalah peju.
Tusukan penis Dimas mulai tidak karuan. Selang beberapa saat, secara tak terkontrol, Dimas menghujamkan penisnya dalam-dalam. Seakan-akan mau masuk sepenuhnya ke dalam vaginaku dan tinggal di sana. Ingin kembali ke tempat asal. Kurasakan batang itu berkedut-kedut.
Kami berdua ngos-ngosan. Saling pandang. Tersenyum. Lalu kembali kulumat bibirnya karena tak tahan.
Setelah puas berciuman, aku segera berdiri. Lalu kulepas kondom di penis Dimas.
“Nggak banyak kamu keluarnya.”
“Soalnya waktu tadi pagi banyak sih.”
“Makanya, Mama bilang juga entar malem aja, pas mau tidur. Kamu sih ga sabaran.”
“Ya udah, entar malem lagi ya.”
“Sok kuat banget sih. Idih.”
Kami pun tertawa. Setelah itu buru-buru mandi karena sebentar lagi suamiku pulang. Selesai mandi, Dimas memakai kembali bajunya yang tadi ditaruh di gantungan.
Tepat pukul 5 sore Mas Heri pulang. Aku dan Dimas sedang menata meja makan.