Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

BAGIAN 5
Sentuhan Pertama Yang Menegangkan Dan Drama Yang Membingungkan



Kembali ke jaman perkuliahan

Athifa Ardillah Nasha

“Sudah dua hari ini Togok dan Anto gak kelihatan dikampus.” Ucap Thifa dan kami berdua lagi duduk dikantin.

“Mungkin mereka ketularan virus senior – senior kita yang malas kekampus Neng.” Ucapku.

“Gak mungkinlah mereka secepat itu tertular virus malasnya. Biasanya itu kalau sudah semester dua keatas, baru virus itu cepat nularnya.” Ucap Thifa.

“Nggak juga Neng. Mereka berdua itu sudah ada bakat malasnya. Kelihatan kok waktu orientasi kemarin, mereka jarang kerjakan tugas dan datangnya sering terlambat.” Ucapku.

“Lingga kok pikirannya positif terus sih.? Atau jangan – jangan Lingga sudah curiga kalau terjadi apa – apa dengan mereka berdua, apalagi kemarin lusa mereka mau berantem sama anak – anak Black House. Lingga menyembunyikan sesuatu dari Thifa ya.?” Tanya Thifa dan aku hanya menatap lurus kedepan.

Ya. Itu yang aku pikirkan dari tadi. Kedua temanku itu pasti bergesekan dengan anggota Black House dan mungkin mereka sekarang babak belur. Bukannya aku meremehkan kekuatan kedua temanku itu, tapi aku berpikiran yang realistis aja. Dua orang mahasiswa baru melawan sekumpulan bajingan kampus kuru yang sudah biasa bertarung, ya dipastikan wajah mereka tidak akan mulus, seperti waktu pagi hari pertama kami kuliah.

Keputusan yang bodoh, karena hanya mengikuti emosi sesaat. Kalau tujuannya hanya untuk uji nyali, kenapa mereka tidak berdiri digerbang kampus, terus mereka memanggil setiap laki – laki yang lewat, terus mereka sentil itu bijinya satu – satu. Kan lebih seru lagi endingnya. Mereka di arak masa menuju lapangan, terus batang kemaluan mereka di ikat ditali bendera, terus dikerek sampai ujung tiang bendera. Serukan uji nyalinya kalau begitu.? Assuu.

Sebenarnya aku itu malas memirkirkan hal yang seperti ini, karena aku selalu menghindari keributan. Mereka juga sudah diwanti – wanti oleh Thifa, supaya tidak bermasalah dengan anak – anak Black House, tapi mereka masih saja keras kepala. Terus aku bisa apa, kalau wanita secantik Thifa aja di cueki.

Hiuufftt, huuuu.

“Apa yang mau aku sembunyikan dari kamu Neng.? Terus untungnya buat aku apa.? Lagian kenapa juga kita bahas tentang Togok dan Anto.? Mereka sudah dewasa dan mereka harus bisa bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil.” Ucapku walaupun sebenarnya aku juga khawatir dengan 2 orang temanku yang baru aku kenal itu. Aku yang ingin menghindari masalah, mau gak mau harus memikirkan keadaan mereka saat ini.

“Lingga itu teman yang baik, tapi jangan biasakan memendam sesuatu sendirian. Efek kedepannya tidak baik untuk diri Lingga sendiri loh.” Ucap Thifa dan entah apa maksudnya berkata seperti itu.

“Sudah ah. Kita keruang kelas yuk. Sebentar lagi mata kuliahnya mau dimulai.” Ucap Thifa lagi, sebelum aku mencerna kata – katanya.

Dia berdiri dari tempat duduknya dan aku mengikutinya, lalu kami berdua berjalan ke arah gedung sipil.

“Lingga, Thifa.” Panggil Dharma ketua kelas kami, ketika aku dan Thifa baru beberapa langkah keluar kantin.

“Eh Dhar, ada apa.?” Tanyaku.

“Kalian berdua sudah tau tentang Togok dan Anto.?” Tanya Dharma dengan wajah yang terlihat panik.

Aku dan Thifa langsung saling berpandangan, setelah itu kami berdua melihat ke arah Dharma.

“Memang kenapa mereka berdua.?” Tanyaku.

“Mereka bermasalah dengan anak – anak Black House.” Jawab Dharma.

“Oh, kalau itu kami sudah tau.” Sahutku.

“Iya, kemarin lusa mereka kelihatannya ribut dengan anak – anak Black House.” Ucap Thifa.

“Berarti kalian berdua juga tau, kalau Anto dan Togok sudah 2 hari ini disekap dikosan Black House.?” Tanya Dharma lagi dan itu langsung membuatku terkejut.

“Disekap di kosan Black House.? Bukannya mereka ributnya dikampus ya.? Kok bisa Anto dan Togok sampai disekap dikosan berandalan itu.?” Tanya Thifa yang juga terkejut dengan ucapan Dharma tadi.

“Awalnya mereka berkelahi dikampus dan mereka berdua bisa mengimbangi lima anak Black House.” Ucap Dharma pelan sambil melihat situasi disekeliling kami.

“Lalu ketika mereka selesai berkelahi dan mereka keluar gerbang kampus, dua mobil yang ditumpangi anak – anak Black House langsung menghajar mereka sampai pingsan, setelah itu mereka berdua di bawa ke kosan Black House.”

“Kedua teman kita itu disiksa mulai kemarin lusa sampai hari ini.” Ucap Dharma lagi dan aku tidak mengira kalau sampai anak – anak Black House sampai sadis seperti itu.

Awalnya aku mengira mereka hanya akan bertarung dikampus dan kedua sahabatku itu babak belur, sehingga mereka malu untuk datang kekampus, sampai wajah mereka benar – benar sembuh. Tapi kenapa jadi malah ada penculikan dan penyekapan.? Gila, gila sekali.

“Kok bisa begitu sih.?” Tanya Thifa yang terlihat khawatir.

“Paling masalah harga diri.” Jawabku.

“Harga diri.?” Tanya Thifa lagi.

“Iya. Mereka pasti malu, kelima orang anggota Black House bisa di imbangi dua mahasiswa baru. Jangankan kalah, mengimbangi saja pasti akan membuat seluruh anggota Black House murka.” Jawabku.

“Betul. Mereka tidak ingin kejadian ini membuat semua mahasiswa baru menganggap remeh anak – anak Black House, “ Ucap Dharma.

“Jadi karena itu, mereka harus memberi pelajaran kepada Togok dan juga Anto.” Ucap Dharma lagi.

“Apa harus dengan cara menyekap dan menyiksa.?” Tanya Thifa.

“Gak itu aja.” Jawab Dharma dan dia terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.

“Apa mereka gak dikasih makan.?” Tanya Thifa sambil melotot dan Dharma mengangguk pelan.

“Gila, ini gila loh. Gak ada gitu yang mau membebaskan mereka berdua dari kosan Black House.?” Thifa terus bertanya.

“Siapa yang berani membebaskan mereka dari kosan angker itu.? Jangankan ada masalah, tidak ada masalah aja, tidak ada yang berani masuk kosan Black House, kecuali penghuninya sendiri.” Ucap Dharma dengan sangat hati – hati, karena dia takut apa yang diucapkannya didengar oleh orang lain. Tatapan mata Dharma terus memantau sekeliling dan ketika ada orang yang lewat, dia menghentikan ucapannya sesaat.

“Ini gak bisa dibiarkan.” Ucap Thifa sambil menahan emosinya dan dari kejauhan, terlihat dua orang berpakaian hitam bertuliskan Black House, berjalan ke arah kami.

“Eh, aku pergi dulu ya.” Ucap Dharma, lalu dia pergi terburu – buru.

“Sehebat apa sih anak – anak Black House itu, sampai semua yang ada dikampus ini tidak ada yang berani melawan mereka.?” Tanya Thifa dengan suara yang pelan, ketika dua anak black house itu sudah berjalan tidak jauh dari kami berdiri.

Aku tidak menjawab pertanyaan Thifa, karena aku menunggu anak – anak Black House melewati kami berdua. Kedua orang itu berjalan lewat belakang kami dan tidak ada suara atau gerakan yang mencurigakan dari mereka berdua.

“Mereka itu hanya jagoan dikandang.” Ucapku ketika kedua orang itu sudah menjauh.

“Ha.?” Ucap Thifa dengan wajah yang terlihat bingung.

“Mereka hanya kuat dikampus teknik kuru. Tapi kalau diluar, mereka pasti dihabisi anak – anak Pondok Merah.” Ucapku.

“Oh. Kumpulan preman Kampus Teknik Kita ya.?” Tanya Thifa lagi dan aku hanya menganggukan kepalaku pelan.

Aku tidak melanjutkan lagi obrolan tentang Pondok Merah, karena aku tidak tau detail kumpulan orang – orang itu. Aku taunya, mereka penguasa kampus teknik kita dan disegani diseluruh kampus – kampus yang ada di Kota Pendidikan.

“Terus sekarang bagaimana dengan teman kita yang ada di kosan Black House.?” Tanya Thifa yang masih khawatir dengan keselamatan Anto dan Togok.

“Ya mau bagaimana.? Gak mungkinlah kita berdua menyelamatkan Anto dan Togok dari kosan itu.” Jawabku.

“Kalau gitu aku mau lapor polisi aja.” Ucap Thifa

“Jangan aneh – aneh Neng, itu malah memperkeruh suasana.” Ucapku.

“Lingga ada solusi yang lain.?” Tanya Thifa dan aku hanya menggelengkan kepala pelan.

“Ya berarti solusinya lapor polisikan.?” Tanya Thifa dan kembali aku menggelengkan kepala.

“Kenapa gak mau.? Apa karena ada Mba Lani.?” Tanya Thifa dan aku terkejut mendengarnya.

“Apa hubungannya dengan Mba Lani.?” Tanyaku balik.

“Mba Lani ada disana waktu awal mula keributan, terus Anto dan Togok makan sama kita, setelah itu mereka berdua mendatangi anak – anak Black House dan terjadilah perkelahian. Mba Lani pasti ada pada saat perkelahian dan gak menutup kemungkinan, Mba Lani juga ada dikosan Black House dan menyaksikan penyiksaan teman kita.” Ucap Thifa dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Lingga gak mau kalau kita lapor polisi, karena bukan hanya laki – laki yang ditangkap. Tapi Mba Lani juga pasti ditangkap kan.?” Ucap Thifa dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Jangan terlalu berpikiran sejauh itu Neng. Bisa saja Mba Lani gak ada waktu perkelahian dan Mba Lani gak tau kalau sampai kedua teman kita diculik.” Ucapku yang mencoba menenangkan Thifa.

“Gak mungkin gak tau Lingga. Dharma yang tidak ada hubungannya dengan anak – anak Black House aja tau kok. Ayolah Lingga. Teman – teman kita sekarang dalam bahaya. Hatimu jangan tertutup oleh cinta.” Ucap Thifa dan sekarang wajahnya terlihat dingin.

“Kamu ngomong apa sih Thif.? Kok jadi bahas masalah cinta segala.?” Ucapku dengan nada yang agak meninggi.

“Thif.?” Ucapnya dan terlihat diraut wajah serta sorot matanya, kalau dia sangat kecewa denganku. Aku yang biasa memanggilnya dengan sebutan Neng, sekarang langsung menyebut namanya dan ditambah dengan nada yang meninggi.

“Maaf Neng, maaf. Bukan maksudku marah sama kamu.” Ucapku dengan nada suara yang aku lembutkan dan entah kenapa aku merasa bersalah kepada Thifa. Padahal kalau dipikir, tidak ada perjanjian diantara kami berdua untuk panggilan nama kami dan kami berdua tidak ada ikatan apapun selain sahabat. Tapi sekali lagi, entah kenapa aku sangat merasa bersalah kepada Thifa.

“Sudahlah. Aku mau kekantor polisi sendiri.” Ucapnya sambil melangkah pergi.

“Neng.” Ucapku lagi dan entah mendapat keberanian dari mana, tangan kiriku langsung menggapai telapak tangan kanan Thifa.

Kenapa aku sebut berani.? Thifa adalah seorang wanita yang sangat taat dengan kepecayaannya dan dia tidak pernah bersentuhan dengan laki – laki manapun selain keluarga dekatnya. Kalau mengobrol dengan laki – lakipun dia jarang sekali menatap lama, karena dia menjaga pandangan matanya.

Tapi sekarang, sekarang sibangsat Lingga ini malah berani menyentuh tangan wanita suci ini. Bukan hanya menyentuh, tapi sibangsat ini juga berani menggenggamnya dengan erat. Bangsat nggak.? Bangsat banget pastinya.

Hiuufftt, huuuu.

Tangan lembut wanita ini tidak menolak dan tidak menepis tanganku yang sudah sangat kurang ajar ini. Aku gak tau bagaimana ekspresi wajahnya, karena dia masih berdiri membelakangi diriku. Entah dia marah, kecewa atau dia malah suka, aku gak tau.

Lalu tiba – tiba aku merasa ada getaran yang sangat hebat keluar dari telapak tangan Thifa yang mulai merespon pegangan tanganku ini. Jari – jari lentiknya itu mulai menggenggam telapak tangan kiriku yang sudah menggenggam tangan kanannya dengan erat.

Getaran dari genggaman tangan ini menjalar keseluruh urat nadiku dan mengalir lewat darahku, lalu terhenti tepat didasar hatiku. Getaran itu seperti magma yang terakumulasi di bawah gunung berapi, yang mendapat suntikan magma baru dan siap meletuskan lahar yang sangat dasyat.

Dadaku bergemuruh dan hatiku berdebar kencang, apalagi perlahan Thifa mulai melihat ke arahku dan menatap mataku. Tatapan mata yang menghasilkan getaran yang tidak kalah hebat, tapi tidak untuk meledakan. Tatapan mata ini seolah meredakan guncangan hatiku yang siap meledak.

Gila. Dua kali aku merasakan perasaan seperti ini dan dalam waktu dua hari dikampus kuru ini. Pertama dengan Mei Lani dan yang kedua dengan Athifa Ardillah Nasha. Apakah ada yang ketiga, keempat atau yang ke lainnya.? Aku pasti bisa hancur lebur didalam kawah gunung merapi, kalau perasaanku seperti ini terus kepada setiap wanita yang aku temui. Anjing.

Tatapan mata kami terus beradu dan genggaman tangan kami terus terekat. Akupun semakin tenggelam dalam perasaanku dan aku semakin terlarut dalam suasana ini.

Cukup, cukup. Aku bisa mati kalau seperti ini terus.

“Neng.” Ucapku dan aku berusaha sesantai mungkin mengucapkannya.

“Eh.” Ucap Thifa yang terkejut dan dia langsung melepaskan genggaman tangan kami, lalu dia menundukan kepala.

Sekilas sebelum menunduk, aku melihat kebingungan ditatapan matanya. Tatapannya terlihat marah, cinta, benci, sayang, merasa bersalah, cemburu dan dibungkus dengan perasaan yang begitu kuatnya.

Suasana canggungpun langsung terasa diantara kami dan kami berdua saling diam beberapa saat.

“Aku akan urus semua ini.” Ucapku dan entah kenapa aku harus mengatakan ini dan akhirnya inilah awal mula aku terlibat masalah yang seharusnya aku hindari.

Suasana canggung dan hatiku yang masih bergetar karena genggaman tangan Thifa barusan, membuatku asal mengeluarkan suara. Selain itu factor Lani yang baru disebutkan oleh Thifa, membuat suara yang keluar dari mulutku tanpa melalui proses yang namanya pencernaan otak .

“Bagaimana caranya.?” Tanya Thifa sambil mengangkat wajahnya dan dia menatap ke arah mataku. Kulitnya pipinya yang putih terlihat memerah dan tatapannya juga terasa berbeda sekali.

“Aku akan ke Pondok Merah.” Ucapku berbohong, karena aku tidak tau dimana itu Pondok Merah dan aku juga tidak mengenal satupun penghuni Pondok Merah. Jadi bagaimana aku akan kesana dan mau apa juga aku kesana.?

“Lingga kenal anak – anak Pondok Merah.?” Tanya Thifa lagi.

“Iya, aku kenal satu orang.” Jawabku kembali berbohong.

“Siapa.?” Thifa terus bertanya.

“Teman sekolahku dulu. Sudahlah, lebih baik sekarang Eneng ke ruang kelas. Aku mau segera menyelesaikan masalah ini. Kasihan Anto dan Togok yang pasti sudah menderita.” Ucapku agar Thifa tidak terlalu banyak bertanya lagi.

“Bailah. Tapi Thifa mohon, selesaikan ini baik – baik dan jangan sampai Lingga yang menjadi korban ketiganya.” Ucap Thifa dan wajahnya sekarang terlihat sangat khawatir sekali.

Akupun langsung mengangguk pelan dan Thifa belum juga beranjak dari posisinya berdiri. Dia terlihat ragu untuk meninggalkan aku dan dia terus menatap mataku. Ini adalah tatapan terlama Thifa kepadaku dan itu membuat hatiku semakin gak karuan.

“Pergilah Neng.” Ucapku dan dia hanya diam, sambil terus menatapku.

Lalu entah mendapat keberanian dari mana lagi, tiba – tiba telapak tangan kiriku langsung memegang wajah samping kanan Thifa atau tepatnya dibagian telinga kanannya yang tertutup kain, setelah itu aku mendekatkan wajahku dan aku mengecup bagian atas kepalanya yang juga tertutup kain.

CUUPPP.

Aku mengecupnya dengan lembut, setelah itu aku langsung berjalan meninggalkannya yang berdiri mematung.

“Lingga.” Ucap Thifa dengan suara yang bergetar dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu aku membalikan tubuhku.

Thifa berdiri dengan posisi membelakangi aku dan kepalanya tertunduk.

“Jaga diri baik – baik dan kabari aku secepatnya.” Ucapnya dengan suara yang sangat berat, lalu dia berjalan ke arah gedung sipil.

Kabari aku secepatnya.? Kenapa dia memakai kata aku.? Biasanya kan dia mengucapkan namanya, bukan kata aku.? Terus kenapa aku berani mengecup kepalanya dan dia tidak marah atau menghindar.?

Arrgghhhh. Berarti apa yang aku pikirkan selama ini benar. Thifa mencintai aku dan hatiku pun sekarang mulai mencintainya. Terus bagaimana Lani.? Entahlah. Nanti aja aku pikirkan lagi. Sekarang lebih baik aku focus untuk menyelamatkan Anto dan Togok. Aku sudah berjanji dengan Thifa dan aku tidak mau mengingkarinya.

Tapi bagaimana caranya aku menyelamatkan kedua temanku itu.? Apa aku akan ke Pondok Merah.? Tentu saja tidak. Sekali lagi aku tidak pernah mengenal satupun dari penghuni kosan Pondok Merah dan aku juga tidak tau dimana kosan yang berisi para bajingan kampus teknik kita itu.

Memang aku dulu ingin berkuliah di kampus teknik kita, tapi aku urungkan. Dikampus itu potensi gesekannya lebih besar dari pada kampus kuru. Mereka sering berkelahi dan aku sangat menghindari itu. Jadi aku lebih memilih kampus teknik kuru yang aku pikir lebih adem suasananya. Tapi ternyata, belum genap seminggu aku sudah mendapatkan masalah dikampus ini dan masalahnya tidak main - main. Aku berhadapan dengan sekelompok bajingan yang menjadi preman dimasing – masing jurusan kampus teknik kuru dan mereka berkumpul di satu tempat bernama Black House. Gila, gila.

Sudahlah, aku gak akan menyesali dengan apa yang telah aku putuskan. Lebih baik sekarang aku ke kosan Black House dan aku akan menyelesaikannya sendiri.

Sendiri.? Iya sendiri. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian dan apapun masalahnya, aku akan menyelesaikan sendiri.

Aku sekarang sudah berada didalam mobilku dan aku menuju kekosan Black House. Aku tidak tau persis dimana kosan itu, tapi Dharma yang baru aku hubungi sudah memberikan aku ancar – ancar.

Aku melaju dengan kecepatan sedang, ketika aku sudah sampai jalan samping kampus kuru. Kosan Black House berada dibelakang kampus dan kosan itu satu – satunya bangunan yang dicat berwarna hitam.

Beberapa saat kemudian, pada saat aku membelokan mobilku ke arah jalan belakang kampus, terlihat sebuah bangunan tingkat dua yang berwarna hitam. Akupun langsung menghentikan mobilku didepan bangunan itu dan aku berdiam diri sejenak.

Aku pandangi kos yang terlihat sangat menyeramkan dan menakutkan ini, sambil mengawasi situasi sekililing. Aku yakin ini adalah kosan Black House dan didalam sana kedua temanku disekap.

Takut.? Ya. Namanya manusia itu pasti memilki rasa takut, siapapun itu.

Tapi bagiku, rasa takut itu tergantung bagaimana cara kita melawannya. Tidak ada orang yang kuat dan tidak ada orang yang hebat. Yang ada hanya orang yang lebih berani melawan rasa takutnya.

Pemikiran gila seperti ini yang membuat rasa takut yang lain, hadir didalam diriku. Oleh karena itulah aku selalu menghindari permasalahan yang bisa aku hindari. Kalaupun akhirnya aku harus menghadapi masalah itu, contohnya sekarang ini, mau gak mau pemikiran gila itupun hadir kembali dipikiranku.

Aku sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi didalam sana. Mau itu aku berduel dengan salah satu dari mereka atau malah aku dikeroyok dan disekap seperti kedua temanku. Kalau berduel, mungkin aku bisa sedikit mengimbangi lawanku. Tapi kalau sudah dikeroyok.? Ahh. Semoga saja tidak dan semoga saja tidak ada kontak fisik didalam sana.

Hiuuffftt, huuuu.

Aku langkah kan kakiku ke arah pintu kosan dan didalam sana, terdengar suara orang – orang sedang tertawa dengan senangnya. Dan dilangkahku yang semakin dekat ini, mulai terdengar obrolan – obrolan yang membuat emosiku mulai merambat kekepala.

“Kamu lapar.?” Tanya seseorang, lalu.

Buhhggg.

“Arrgghhhh.”

Terdengar suara pukulan lalu diikuti suara erangan kesakitan yang tertahan.

“Kasih minum aja dia.” Terdengar suara lagi dan itu bukan dari orang yang pertama aku dengar suaranya.

“Terlalu manja. Semalam dia sudah banyak minum. Kencingi aja mulutnya.” Sahut yang lain.

“Hahaha. Betul juga.” Ucap suara pertama yang aku dengar dan aku langsung mendorong pintu, lalu aku berjalan masuk kedalam kosan.

Semua orang yang ada didalam kosan langsung melihat ke arahku dan aku tidak menghiraukannya. Pandanganku tertuju kepada dua orang temanku yang di ikat dalam posisi duduk, kaki selonjor, saling memunggungi dan hanya menggunakan celana dalam.

Wajah mereka berdua babak belur dan dipenuhi darah yang mulai mengental. Kelopak mata merekapun membengkak dan bibir mereka juga membengkak. Satu orang anggota Black House berdiri didepan Togok dengan posisi sudah mengeluarkan kemaluaannya. Dia terlihat ingin mengencingi sahabatku itu dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Bang.” Panggilku ke orang itu dan dia langsung menoleh ke arahku dengan wajah yang terkejut.

“Sudah terlalu kurang ajar kamu Bang. Kamu mau diperlakukan seperti itu juga.?” Ucapku sambil menatap mata orang yang akan mengencingi Togok.

“Kamu siapa.? Kamu mau di ikat disini juga.?” Ucap salah satu anggota Black House yang berada ditengah ruangan sana dan mereka semua sedang berpesta minuman.

“Gak penting siapa aku. Yang perlu kalian tau, aku bukan seorang pengecut yang beraninya hanya main keroyok, culik dan menyiksa mahasiswa baru.” Ucapku dengan tenangnya dan aku pandangi mereka satu persatu.

Pandangan mataku berhenti disalah satu orang yang duduk didepan bandar minuman. Rupanya dia satu – satunya yang tidak melihat ke arahku dan dia sedang menikmati rokoknya. Pembawaannya tenang, tapi tidak mengurangi kegarangan diwajahnya. Dia terlihat berbeda diantara teman – teman lainnya dan mungkin dia ketua dari anak – anak Black House.

“Terus kamu mau apa.? Kamu mau duel sama aku.?” Ucap orang yang akan mengencingi Togok dan dia sudah memasukan kemaluannya kedalam celananya.

“Sama aku aja.”

“Aku aja.”

“Aku.”

Satu persatu anak – anak Black House mengajukan tantangan kepadaku dan aku hanya melihatnya saja. Mereka semua terlihat emosi dan ingin menghajarku. Tapi sekali lagi, aku hanya menatap mereka satu persatu dengan tenangnya.

“Ketika ada seseorang berani datang kekandang singa sendirian dengan penuh ketenangan, lebih baik kalian duduk diam. Dia bukan lawanmu.” Ucap seorang wanita yang berjalan dari arah belakangku.

Sekarang semua mata tertuju pada wanita yang sudah berada disampingku dan dia terus berjalan ke arah ruang anak – anak Black House berkumpul.

Lani, Mei Lani.

Nama wanita yang baru datang itu dan kedatangannya cukup mengejutkanku. Apalagi dia berkata kalau anak – anak Black House ini bukan tandinganku dan ucapannya membuat anak – anak Black House terdiam.

Kenapa Lani bisa berkata seperti itu.? Aku dan dia baru dua kali bertemu dan ini ketiga kalinay. Aku juga juga tidak pernah terlibat suatu permasalahan di Kota Pendidikan ini, sampai aku harus berkelahi dengan orang. Jadi bagaimana dia menyimpulkan kalau aku ini seperti orang yang sangat kuat sekali.?

“Kamu kenal dia Lan.?” Tanya Orang yang mungkin ketua dari anak – anak Black House, ketika Lani sudah berdiri didekat meja.

Lani tidak menjawab pertanyaan orang itu dan dia hanya mengambil bungkusan rokok yang ada diatas meja, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“Hiuffttt, huuuuu.” Lani menghisap rokoknya dalam – dalam dan dia berdiri dengan posisi menyamping.

Wajah cantiknya yang menghisai isi hatiku beberapa hari ini, terlihat begitu tenang dan tidak ada rasa takut. Padahal dia sekarang berada dilingkaran para bajingan yang sedang mabuk dan mungkin saja mereka akan bertindak kurang ajar kepadanya, karena pengaruh minuman keras. Tapi sekali lagi dia terlihat tenang dan dia seperti terbiasa disituasi seperti ini.

“Kalau anak itu mau, bisa saja dia datang kemari bersama Elang dan pasukannya.” Ucap Lani dan itu mengejutkanku. Bukan hanya aku yang terkejut, tapi semua anak – anak Black House yang ada diruangan ini.

Wah, kok tambah ngelantur aja wanita satu ini. Siapa itu Elang.? Aku gak kenal, apalagi dia menyebut Elang dan pasukannya. Pasukan apa.? Gila banget Lani.

“Elang Pondok Merah maksudmu.?” Tanya Orang itu lagi dan Lani hanya mengangguk pelan, sambil menghisap rokoknya lagi.

Elang Pondok Merah.? Tambah ngelantur aja nih cewe.

“Hiuufftt, huuuu.”

“Kalian semua itu bodoh. Kalau ingin mendapat pengakuan dari mahasiswa baru, bukan dengan cara menculik dan menyiksa seperti ini.” Ucap Lani dan semua orang yang ada diruangan ini hanya diam dan tidak ada yang bersuara.

“Kenapa gak kalian tantang aja pentolan masing – masing jurusan mahasiswa baru itu.? Pilih diantara kalian yang terkuat dan duel dengan mereka dikosan ini.? Itu lebih terhormat dan itu yang dilakukan anak – anak Pondok Merah.”

“Mereka diakui, tanpa perlu mencari pengakuan.” Ucap Lani dan aku sangat heran sekali, karena tidak ada satupun yang berani menyanggahnya ketika berbicara.

“Sudahlah Lan.” Akhirnya ada seorang yang berani memotong ucapan Lani dan orang yang mungkin ketua dari anak – anak Black House yang mengatakannya.

“Maumu apa.?” Tiba – tiba orang itu melihat ke arahku dan dia menatapku dengan dinginnya.

“Aku cuma mau membawa pulang kedua temanku ini dan masalah ini cukup sampai disini saja. Kalaupun masih ada kelanjutannya, aku harap diselesaikan dengan cara yang lebih jantan.” Ucapku dan aku langsung berjalan ke arah kedua temanku.

Dihadapanku hanya satu orang anggota Black House yang berdiri dan dia tadi yang mau mengencingi Togok. Dia tidak menggeser tubuhnya dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu menatap matanya.

“Aku penasaran sama kamu, karena kata Lani tadi, kamu bisa saja datang bersama Elang dan pasukan Pondok Merah. Sehebat apa kamu dan sekuat apa pengaruhmu.? Aku mau duel sama kamu sekarang juga.” Ucap Orang itu sambil membalas tatapanku dengan tatapan tajamnya.

“Masih saja keras kepala.” Ucap Lani dan aku hanya meliriknya, lalu melihat ke arah laki – laki bertubuh besar dihadapanku ini.

“Aku tidak suka keributan Bang. Aku itu suka ketenangan dan kedamaian.” Ucapku dan pandangan mataku tidak lepas dari tatapan matanya.

Orang itu langsung melirik ke arah Lani, setelah itu dia berjalan ke arah meja tanpa bersuara lagi.

Kedua temanku menatapku dan wajahnya terlihat sangat menyedihkan sekali.

Aku lalu membungkukan diriku dan aku membuka ikatan tali ditangan mereka yang saling terkait.

“Huuuuu.” Hembusan nafas yang panjang dari mereka berdua, ketika tangan mereka sudah saling terlepas.

Anto dan Togok merenggangkan kedua tangan, lalu mereka membungkukan tubuh dan menunduk. Mereka meraba wajah dan tetesan darah pun menetes mengenai paha mereka masing – masing.

“Ayo.” Ucapku sambil menegakkan tubuhku dan mereka berdua langsung melihat ke arahku.

Walaupun wajah mereka babak belur, tapi tatapan mata mereka terlihat masih tidak terima dengan perlakuan yang sangat sadis ini.

“Mau tetap disini.?” Tanyaku dan mereka hanya diam sambil terus menatap ke arahku.

Hiufffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Dari pada mereka yang mengencingi kamu, labih baik aku aja. Gimana, siapa duluan yang mau aku kencingi.?” Tanyaku sambil menurunkan resleting celanaku.

“Asyuuu.” Maki mereka disela bibir yang membengkak.

Togok langsung menunduk, setelah itu dia mengapalkan kedua tangannya dilantai untuk dijadikan tumpuannya berdiri. Tubuhnya bergoyang dan dia kesulitan untuk menegakkan tubuhnya.

“Argghhhhh.” Ucapnya dan dengan sisa – sisa tenaganya dia mulai berdiri dengan tubuh yang sempoyongan.

Aku lalu berjalan ke arah mereka, lalu aku berdiri ditengah – tengahnya. Pertama yang aku bantu berdiri, tentu saja Anto yang masih terduduk. Aku papah dia sampai dia berdiri dan dia merangkul pundak kananku. Aku raih tangan kanan Togok, lalu aku rangkulkan dipundak kiriku.

“Hupp.” Aku menahan tubuh kedua temanku ini dan ternyata sangat berat sekali.

“Bajingan. Mimpi apa aku semalam.? Bopong 2 manusia yang beratnya gak kira – kira, terus pakai sempak aja lagi. Assuuu, assuuu.” Omelku lalu aku mulai berjalan dan aku tidak menghiraukan semua orang yang ada di dalam ruangan ini.

“Gak usah ngomel ae cok.” Ucap Togok dan tubuhnya itu sangat berat sekali.

Anto tidak banyak bicara dan dia hanya berjalan mengikuti irama kakiku yang sempoyongan.

Perjalananku ke arah mobil ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi berhubung aku membawa dua makhluk menggatelkan ini, aku seperti berjalan 10 km. Untungnya tidak ada gangguan ataupun provokasi dari seluruh anggota Balck House. Mereka hanya berkumpul di meja dan melanjutkan pestanya. Sedangkan untuk Lani, aku tidak melihat ke arah wajahnya dan aku tidak tau bagaimana ekspresinya. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terimakasih kepadanya, karena dengan kedatangannya dan ucapannya yang omong kosong tadi, anak – anak Black House tidak ada yang menyentuhku.

Terus kenapa aku tidak membuat keributan, padahal posisiku tadi sudah diatas angin.? Enggak. Aku malas berkelahi dan tugasku sudah selesai. Aku sudah menyelamatkan kedua temanku dan saatnya aku pulang.

“Besok – besok, kalau mau bertindak itu pakai otak. Jangan otot aja yang diduluin.” Ucapku sambil melihat ke arah spion dalam mobil dan kedua temanku yang duduk dikursi tengah, hanya diam membisu. Kepala belakangnya tersandar dijok atas mobil dan nafas mereka terdengar berat.

“Daripada orang lain yang buat bonyok mukamu, mending aku aja yang injak – injak.” Ucapku lagi dan mereka langsung menegakkan kepala, lalu melihat ke arah wajahku lewat kaca spion.

Aku sebenarnya sangat kasihan dengan mereka berdua ini. Tapi karena mereka melakukan tindakan yang terlalu bodoh, mulut ini tidak bisa diam. Kalau mereka tidak terima, aku tepikan mobil ini dipinggir jalan, terus aku seret mereka berdua ketengah jalan, biar kepala mereka dilindas truck atau bus yang lewat.

“Gak iso meneng ta cengkemmui cok.?” (Gak bisa diam kah mulutmu cok.?) Ucap Togok dengan suara yang berat.

“Kenapa.? Kamu gak terima.?” Tanyaku sambil menepikan mobilku kekiri, lalu aku menoleh ke arah mereka berdua.

“Mau aku seret kamu ketengah jalan.? Biar kepalamu dilindas truck, terus otakmu yang gak berguna itu kececeran dijalanan.” Ucapku dengan nada yang meninggi dan kutatap mata mereka bergiantian.

“Ngomong iya gitu, kuseret ketengah jalan beneran kamu.” Ucapku, lalu.

KREKKKK.

Aku menarik rem tangan mobilku dan bersiap untuk turun.

“Hiuuuftttt, huuuu.” Kedua temanku itu menarik nafas dalam – dalam, lalu mereka menyandarkan kepala mereka lagi dijok mobil dan tanpa bersuara lagi.

“Djiancok.” Makiku, lalu aku melihat ke arah depan lagi.

Krekkk.

Aku turunkan rem tangan mobilku, lalu aku menjalankan mobilku lagi. Aku mengarahkan mobilku ke klinik milik orang tua temanku waktu SMA dulu.

Tidak banyak bicara dan tidak ada pertanyaan dari mereka berdua. Setelah luka mereka dibersihakn lau diperban, aku mengantarkan mereka berdua kekosan masing – masing, lalu aku kembali kerumahku.

Setelah melewati hari yang sangat melelahkan dan setelah aku mandi, aku merebahkan tubuhku diatas kasur.

Aku raih Hpku dan terlihat banyak panggilan serta pesan yang masuk. Hpku memang aku silent, ketika berangkat kekosan Black House tadi. Aku lupa mengabari Thifa dan dia yang paling banyak menelpon serta mengirimi aku pesan.

Akupun langsung memencet tombol panggilan dinama Thifa.

Tuutt.

Hanya sekali saja bunyi panggilan yang terdengar lalu,

“Halo. Kamu itu kemana aja sih.? Kenapa gak kasih kabar.? Kamu gak apa – apa kan.? Kamu gak dipukul oleh mereka kab.? Kamu gak disekap juga kan.? Jawab, jangan diam aja.” Ucap Thifa yang langsung mengomel dan dia tidak memberikan aku jeda sedikitpun untuk menjawab pertanyaannya, walaupun hanya sekedar mengucap kata halo.

“Bagaimana keadaanmu sekarang.? Aku susul kesana.” Ucap Thifa lagi dan dia lagi – lagi menggunakan kata aku kamu, bukan Thifa Lingga seperti biasa.

“Jawab dong, jawab. Jangan diam aja.” Ucapnya yang terus mengomel dia diam sesaat, untuk menarik nafasnya.


“Sudah Neng.?” Tanyaku.

“Sudah apa.? Kamu gak jawab pertanyaanku, malah tanya balik.” Omel Thifa.

“Ngomelnya.” Ucapku singkat.

Eh.” Ucapnya yang tersadar.

“Bagaimana aku mau jawab pertanyaanmu Neng. Kamu ngomel aja dari tadi dan kamu gak kasih aku kesempatan jawab.” Ucapku.

“Iya. Maaf, maaf.” Ucap Thifa dan nada suaranya mulai melemah.

“Aku tadi sudah membebaskan teman - teman, Hpku tadi kusilent, aku gak apa – apa, aku gak dipukul, aku gak disekap, aku baik – baik aja dan sekarang aku lagi dirumah.” Ucapku menjawab semua pertanyaan Thifa.

“Hiuufftt, huuuu.” Terdengar tarikan nafas Thifa yang terdengar sangat lega sekali.

“Sudah puas Neng.? Mau tanya apa lagi.?” Tanyaku.

“Kok gitu tanyanya.? Gak suka ya kalau ngobrol sama aku.?” Tanya Thifa dengan suara yang ketus.

“Yang gak suka siapa Neng.?” Tanyaku dan aku mengatakannya dengan selembut mungkin.

“Sudah ah, aku mau mandi.” Ucapnya lalu tiba – tiba dia menutup telponnya.

Cok. Kenapa sih Thifa ini.? Masa gara – gara aku tanya seperti itu aja dia langsung ngambek.? Memangnya salah ya pertanyaanku.? Kalau salah, letak salahnya dimana.? Arrghhhh. Aneh – aneh aja.

“Ngga.” Teriak Darel yang berjalan ke arah kamarku dan dia biasa seperti ini. Nyelonong masuk kerumahku, karena pintu rumahku jarang aku kunci kecuali malam atau ketika aku pergi.

“Apa.?” Tanyaku dan Darel sudah berdiri didepan pintu kamarku. Dia sedang menghisap rokok dengan tangan kanannya dan tangan kirinya memegang 2 tas punggung yang tidak asing buatku.

“Hiuufftt, huuu.” Darel menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya kedalam kamarku.

“Djiancok. Sudah kubilang berkali – kali, jangan rokokan didalam kamarku.” Ucapku dan aku langsung duduk dikasurku.

Aku itu tidak merokok dan aku paling benci dengan baunya asap rokok.

“Hehehe. Maaf, maaf. Aku cuman mau ngantar ini.” Ucapnya sambil melempar dua tas yang dipegangnya kekasurku.

“Kok bisa tas ini dikamu.?” Tanyaku dan ini milik kedua temanku yang tadi aku bebaskan dari kos Black House.

“Itu dari Mba Lani. Aku disuruh kasihkan kekamu.” Jawab Darel lalu dia menghisap rokoknya, setelah itu dia membuang rokoknya ke arah samping.

“Mba Lani.?” Tanyaku dan Darel langsung membalikan tubuhnya, lalu berjalan ke arah kursi sofa diruang tamu.

Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah ruang tamu.

“Iya. Katanya tadi kamu ke kosan Black House sendirian ya.?” Tanya Darel yang sudah duduk dikursi.

“Hem.” Jawabku singkat lalu aku duduk dikursi dan berhadapan dengan Darel.

“Cok. Ngeri kamu cok. Aku gak nyangka kamu senekat itu, membebaskan kedua temanmu dan kamu keluar dalam kondisi mulus seperti ini.” Ucap Darel sambil menggelengkan kepalanya pelan, lalu dia menghisap rokoknya.

“Biasa aja itu cok.” Ucapku.

“Biasa gundulmu itu. Kamu masuk dikandang singanya kampus kuru cok. Apa gak ngeri kalau gitu.?” Ucap Darel sambil mengisap rokoknya lagi, lalu mematikannya diasbak yang memang ada dirumah ini khusus untuk dia.

“Sudahlah, gak usah dibahas lagi. Kita nongkrong yok. Mumet kepalaku.” Ucapku agar Darel tidak lagi melanjutkan obrolannya.

“Sendiko dawuh Kang Mas.” (Saya patuh pada perintah Kakanda.) Ucap Darel dengan kedua telapak tangan yang menyatu didepan dada dan kepalanya menunduk ke arahku.

“Gattel.” (Menjengkelkan.) Ucapku lalu aku berdiri dan masuk kedalam kamar. Aku bersiap – siap keluar, untuk menyegarkan pikiran sejenak.

“Kamu traktir kan.?” Tanya Darel.

“Traktir gigimu itu. Kamu habis beli mobil baru, ya kamu yang traktir.” Sahutku.

“Justru karena aku habis beli mobil baru, uangku sisa seratus ribu di ATM.” Ucap Darel.

“Kok bisa.?” Tanyaku.

“Aku awalnya mau beli Civic turbo, tapi waktu di dealer, aku lihat type R lebih gagah. Jadi aku beli type R lah.” Jawab Darel.

“Terus hubungannya sama ATM mu yang sisa seratus ribu apa.?” Tanyaku lagi sambil mengganti kaosku.

“Ayahku ngirimnya sesuai permintaanku yang pertama. Terus aku minta tambah lagi, tapi bilang Ayahku minggu depan aja. Ya mau gak mau aku tombokin pakai uang tabunganku lah.” Jawab Darel.

“Ah, taik kamu itu. Iya sudah.” Jawabku dengan tidak ikhlasnya.

“Hahahaha. Aku ganti baju gak ini.?” Tanya Darel dengan semangatnya.

“Telanjang aja kamu.” Jawabku sambil menyemprotkan parfum keseluruh tubuhku.

“Matamu.” Makinya, lalu dia berdiri dan berjalan keluar rumahku.

“JANGAN LAMA – LAMA COK.!!!” Teriakku.

“Iya thelll.” Sahut Darel dari luar sana.

Aku lalu keluar kamar dan aku mengambil sepatu kets yang berwarna putih, lalu aku memakainya dikursi yang ada diteras rumahku.

“Oi. Pemuda yang tidak diharapkan bangsa.” Ucap Pak RT yang mengejutkanku.

“Eh Pak Rete. Masih jam berapa ini Pak.? Kok sudah ngeronda.” Ucapku dan suasananya memang agak gelap, karena matahari baru saja terbenam.

“Ngeronda gundulmu. Aku mau nagih uang iuran warga sama si korek kuping. Mumpung dia ada.” Jawab Pak RT.

“Langsung minta 1 tahun Pak Rete. Dia tadi pamer habis ngambil uang banyak di bank.” Ucapku berbohong.

“Iyo ta.?” Ucap Pak RT dengan semangatnya.

“Iya Pak. Dia aja baru beli mobil baru.” Ucapku memanas - manasi Pak RT.

“Kurang ajar. Gaya selangit, bayar iuran warga sulit. Dasar silit (Pantat)” Omel Pak RT, lalu dia berjalan ke arah rumah Darel.

Hahahaha. Mampus kau korek kuping.

Akupun langsung menyandarkan punggungku dikursi, lalu dilanjut dengan kepala belakangku yang bersandar dijendela.

Hari yang melelahkan dan banyak kejadian yang tidak pernah aku bayangkan, terjadi pada diriku dihari ini. Emosi dan cinta menyatu didalam pikiranku yang lagi kacau – kacaunya. Ini lah yang aku takutkan, kalau aku mengenal cinta ketika kuliah. Pikiranku bisa kemana – mana dan aku tidak focus dengan kuliahku. Apalagi ada dua wanita yang sudah bersarang dihatiku, apa gak kacau jadinya.? Belum lagi kejadian dengan anak – anak Black House yang harusnya aku hindari, tapi akhirnya aku harus tercebur juga. Bajingan.

Apakah aku bisa mengatasi permasalahan hatiku atau aku malah terjerumus kedalamnya.? Apa setelah ini anak – anak Black House tidak akan mengusikku dan kedua temanku atau ada sesuatu yang akan mereka rencanakan, untuk mengahancurkan kami.?

Arrgghhhh. Gila, gila.

TIN.

Suara klakson menyadarkanku dari lamunan dan itu suara dari mobil civic type R berwarna merah, milik Darel.

“Cepet cok.” Ucap Darel dan wajahnya terlihat cemberut.

“Sabar thell, sabar.” Ucapku sambil berdiri lalu aku mengunci pintu rumah, mengunci pagar dan setelah itu aku naik kedalam mobil baru Darel.

“Kamu ngomong apa sama Pak Rete.?” Tanya Darel, sambil menjalankan mobilnya.

BRUMMMM.

“Aku loh bilang, jangan nagih sekarang Pak, minggu depan aja. Darel belum ada uangnya.” Jawabku sambil menahan tawa.

“Lambemu gak iso dipercoyo cok.” (Mulutmu gak bisa dipercaya cok.) Gerutu Darel.

“HAHAHAHA.” Akupun langsung tertawa dengan kerasnya.

“Gathelll, gathelll.” (Menjengkelkan.) Ucap Darel sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Hahahaha.” Dan aku pun terus tertawa, karena ini sedikit menghibur pikiranku yang kacau.

“Sudah – sudah. Pusing aku dengar ketawamu yang jelek itu. Jadi kita ke café mana ini.?” Tanya Darel.

“Café yang dekat sawah aja.” Jawabku.

“Ya.” Ucap darel singkat dan café itu tidak terlalu jauh jaraknya.

“Kamu jengkel gak lihat gambar – gambar itu.?” Tanyaku kepada Darel dan pandanganku tertuju pada puluhan bahkan ratusan baner orang – orang yang sedang memperebutkan kursi yang katanya wakil rakyat.

“Iya. Merusak pemandangan kota aja. Memangnya gak ada cara lain selain memasang gambar wajah mereka dijalanan seperti ini.?” Jawab Darel.

“Mana aku tau. Harusnya mereka yang berpikir.” Ucapku dan beberapa saat kemudian, mobil berwarna merah ini masuk ke parkiran disebuah café.

Alunan music akustik menyambut kedatangan kami dan keadaan café lumayan rame dengan pasangan muda – mudi yang sedang bermesraan.

“Cok. Banyak yang pacaran lagi. Kenapa juga kita kesini sih.?” Ucap Darel.

“Santai aja kenapasih cok.? Nikmati aja pemandangan sekitar, sama nikmati aja alunan musiknya.” Ucapku dan kami sudah duduk dibagian pojok didalam café.

Didepan dan disamping kiriku terdapat jendela besar yang terbuka, sehingga pemandangan pegunungan di arah depan dan perkotaan disamping kiri terlihat jelas. Posisi Café yang berada dikawasan yang agak tinggi ini, membuat pemandangan terlihat semakin indah.

“Minum apa Mas.?” Tanya seorang pelayan yang berdiri didekat kami.

“Jahe hangat, cemilannya kentang goreng.” Jawab Darel.

“Kalau aku coklat panas, terus camilannya nuget aja Mas.” Ucapku.

“Ada lagi Mas.?” Tanya pelayan itu sambil mencatat pesanan kami.

“Mungkin itu dulu sementara Mas. Nanti kalau ada yang lain, saya panggil Masnya.” Jawabku.

“Siap. Saya permisi dulu Mas.” Ucap Pelayan itu.

“Oke. Terimakasih ya mas.” Sahutku.

“Sama – sama Mas.” Ucap Pelayan itu lalu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah meja bar café.

“Kelihatannya bisnis café ini menjanjikan ya.” Ucapku kepada Darel yang sedang membakar rokoknya.

“Hiuuffttt, huuuu. Iya. Tapi tergantung suasana sama cita rasa hidangannya.” Ucap Darel.

“Pasti itu.” Ucapku.

“Kamu tertarik mau buat café.?” Tanya Darel.

“Mungkin.” Jawabku singkat.

“Kamu kan jurusan sipil, kenapa mau buat café.?” Tanya Darel lagi lalu dia menghisap rokoknya.

“Memangnya anak sipil gak boleh buat café.?” Tanyaku balik.

“Ya boleh sih. Tapi kelihatan melenceng dari jurusanmu. Kontruksi ke kuliner.” Ucap Darel.

“Ya bisa aja kalau aku buat sampingan.” Ucapku.

“Cok. Bisnis besar begini dibilang sampingan.” Ucap Darel.

“Ya bukan sampingan juga sih. Mungkin istilahnya investasi.” Sahutku.

“Nah. Kalau itu cocok.” Ucap Darel dan pesanan kami pun datang.

“Silahkan Mas.” Ucap pelayan itu sambil meletakan minuman dan cemilan diatas meja.

“Terimakasih Mas.” Ucapku dan pelayan itupun langsung pergi dengan sangat sopannya.

Aku lalu mengambil coklat panas pesananku, lalu aku menyeruputnya.

Sruuuuuppp.

“Ahhhhh.” Ucapku dan rasa coklat panas ini sangat pas sekali dilidahku.

“Mantap.” Ucapku lagi sambil meletakan cangkir berisi coklat panas dimeja.

Aku lalu mengambil satu buah nugget.

“Sruupppp, Ahhhhh.”

“Iya. Jahenya juga enak.” Ucap Darel yang duduk didepanku dan tiba – tiba pandangannya tertuju ke arah belakangku.

Akupun tidak menghiraukannya dan ketika aku akan memasukan nuget ke mulutku

PLAKKK.

“AAAAA.”

Sebuah tamparan yang keras mengenai kepala belakangku dan terdengar teriakan beberapa orang wanita yang ada didalam café.

Kepalaku terdorong kedepan dan dadaku terhantam ujung meja.

Buhhhggg.

Nuget yang ada dipeganganku terlempar entah kemana dan aku langsung memegang dadaku yang kesakitan, lalu aku berdiri dan menoleh ke arah belakang.

“APA.?” Ucap seseorang dan dia adalah orang yang menatangku ketika di Black House tadi siang. Orang itu datang sendiri ke café ini dan jujur emosiku mulai merambat kekepala.

Aku memang tidak suka dengan keributan.dan pasti menghindarinya. Tapi kalau sudah seperti ini, aku tidak akan menghindarinya. Aku laki – laki dan aku punya harga diri.

“Sabar Ngga, sabar.” Ucap Darel yang berdiri dibelakangku dan suasana didalam café ini langsung tegang seketika.

“Aku mau melanjutkan masalah kita yang tadi belum selesai. Ayo kita duel.” Ucap Orang itu sambil menunjuk ke arah wajahku.

“Ngga, sabar cok.” Ucap Darel dan kedua tanganku sudah terkepal dengan kuatnya.

“Kita duel dilapangan belakang.” Ucapku kepada bajingan satu itu, lalu aku menoleh ke arah Darel.

“Bayar, terus kamu pulang duluan. Aku masih ada urusan sedikit. Titip HPku ya.” Ucapku sambil meletakkan beberapa lembar uang merah di meja dan juga HPku, lalu aku berjalan duluan dan melewati bajingan itu.

Aku melangkah keluar café, dengan diiringi lirikan pelayan yang tadi menyajikan makan kepadaku dan juga Darel. Bajingan Black House yang aku tidak tau namanya itu, mengikuti aku dibelakangku. Aku terus berjalan dan ketika aku sudah diluar café, aku berputar lewat jalan samping untuk menuju ke arah lapangan belakang.

“Ada jalan tembus ke lapangan belakang kan Pak.?” Tanyaku kepada seorang petugas partai yang ada disamping café. Eh salah, petugas parkir maksudku.

Bagaimana aku tau ada lapangan dibelakang cefe ini.? Aku pernah melihat café ini dari atas perbukitan sana dan dibelakangnya ada lapangan sepakbola yang dikelilingi pohon – pohon yang tinggi. Lapangan itu cukup jauh dari perkampungan dan tempat yang tepat untuk berduel dengan bajingan dari Balck House dibelakangku ini.

“Ada pintunya dibelakang Mas. Ada perlu apa.?” Tanya petugas parkir itu.

“Urusan laki – laki.” Ucapku sambil mengambil selembar uang merah dan aku menyerahkan kepada petugas parkir itu.

“Oke.” Ucap petugas parkir itu, lalu dia berjalan duluan dan aku mengikuti dibelakangnya, sedangkan sibajingan itu dibelakangku.

Petugas parkir itu membuka pintu pagar belakang dan aku langsung berjalan ke arah pintu yang terbuka.

“Ikuti aja jalan setapak ini Mas.” Ucap Petugas parkir itu dan aku langsung menganggukan kepalaku.

“Oh iya, titip biji mata sebelah kanannya ya. Dia sudah kurang ajar buat keributan diCafe ini.” Bisik petugas parkir itu dan aku hanya meliriknya saja.

Aku lalu berjalan menyusuri jalan setapak dan ditemani cahaya bulan purnama yang sedang terang benderang.

Jaraknya agak jauh dan kami berdua melewati beberapa pohon yang menjulang tinggi.

Lalu tiba – tiba.

BUHHGGGG.

Bajingan itu rupanya berlari lalu menginjak punggungku dengan kuatnya dan tubuhku langsung terdorong kedepan.

“ARGGHHHH.” Ucapku yang kesakitan dan aku tidak siap dengan cara menyerangnya yang pengecut ini. Padahal tadi aku sudah bilang, kalau akan berduel dengannya dilapangan dan lapangan bola itu sudah terlihat didepan sana. Aku kira dia akan berduel dengan cara yang ksatria dan berhadapan langsung, tapi ternyata dia sangat licik sekali.

Akupun langsung memutarkan tubuhku ke arahnya dan bajingan laknat itu sudah meloncat tepat dihadapanku, dengan lutut yang mengarah kehidungku. Akupun langsung menghindar, tapi karena jaraknya yang terlalu dekat, lutut bajingan itu mengenai pipi kiriku dengan telaknya.

“AAAAAA.” Teriaknya dan.

BUHHGGGG.

“ARGGHHHH.” Ucapku dengan sakit yang tertahan dan tubuhku oleng kesebelah kanan.

Buhhggg.

Kedua kakinya menapak ditanah, lalu dengan gerakan cepat, dia memutarkan tubuhnya dan mengarahkan tumit kanannya ke arah wajah sebelah kiriku.

BUHHGGGG.

Tumit yang terlindung sepatu itu mengenai wajah sebelah kiriku dengan telaknya dan percikan darah bercampur ludah, menyembur dari dalam mulutku.

JUHHHHH.

Lalu, setelah itu kembali dia menyerangku dan kali ini dia menggunakan kedua kepalan tangannya bergantian ke arah wajahku.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Dia terus menyerangku tanpa jeda dan dia tidak memberikan aku untuk menarik nafas, apalagi membalas serangannya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Darah mulai keluar dari wajahku dan tidak mungkin aku akan seperti ini terus. Aku pun langsung mengangkat kedua tanganku dan memblok semua serangan darinya.

BUHHGGGG, TAAPPPP, BUHHGGGG, TAAAPPP.

Beberapa pukulannya mengenai wajahku dan beberapa berhasil aku tangkis.

BUHHGGGG, TAAPPPP, BUHHGGGG, TAAAPPP.

Cok. Kuat juga bajingan satu ini. Tapi cukup, cukup. Aku harus membuatnya terbantai malam ini.

BUHHGGGG, TAAPPPP, BUHHGGGG, TAAAPPP.

Lalu disatu kesempatan, kepalan tangan kirinya berhasil aku tangkis dan kepalan tangan kanannya mengayun dari arah belakang, mengarah ke arah pelipis kiriku. Bawah ketiak kanannya terbuka dan aku langsung mengarahkan tinjuan tangan kiriku dengan kuatnya.

TAAPPPP, BUHHGGGG.

“ARRGHHHHHH.” Teriaknya kesakitan dan tubuhnya melengkung ke arah kiri. Pukulanku yang pertama dan kuat itu, mampu menghentikan serangannya yang bertubi – tubi dan sekarang saatnya aku yang akan menghabisinya.

Aku langsung mengarahkan kepalan tangan kananku lurus kedepan dan mengarah kedadanya.

BUHHGGGG.

“HUUPPPPP.” Ucapnya dengan nafas yang tertahan dan kedua mata yang melotot akibat kesakitan.

Dia termundur beberapa langkah dengan telapak tangan kanan yang memegang dadanya.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasnya pendek, cepat dan berat. Dia seperti mencoba mengatur nafasnya dan akupun memberinya kesempatan untuk menenangkan diri dari pukulanku yang telak itu.

Aku sentuh tepi bibirku dan darah segar langsung menempel diujung jempolku. Pelepisku juga mengeluarkan darah dan pandanganku sedkit berkunang – kunang.

“Aku kasih kesempatan kamu untuk bernafas sejenak, karena aku bukan pengecut seperti kamu.” Ucapku dan bajingan itu sekarang membungkuk dengan kedua tangan yang bertumpu pada lututnya. Kepalanya pun tertunduk dan pundaknya naik turun, pertanda dia mencoba mengatur nafasnya.

“Hu, hu, hu, hu. Anak Anjing. Hu, hu, hu.” Ucapnya dengan nafas yang berat dan kupingku langsung memanas mendengarnya.

“Ibuku bertaruh nyawa melahirkan aku dan Ayahku membanting tulang untuk membesarkan aku, tapi mulutmu dengan bangsatnya malah menghina orang tuaku.” Ucapku dan nafasku langsung memberat disertai emosi yang langsung membakar isi kepala.

Bajingan. Ini bukan hanya tentang harga diri, tapi ini tentang juga tentang kehormatan kedua orang tuaku yang dihinanya.

“Memang kamu mau apa anak anjing.?” Ucapnya sambil menegakkan tubuhnya dan dia berdiri tegak, seolah menantangku.

“Nyawamu.” Ucapku dengan singkat, lalu aku berlari ke arahnya sambil mengayunkan tangan kananku kebelakang.

Sibangsat itu bersiap menangkis serangan tangan kananku dan aku langsung menghentikan lariku tepat dihadapannya, lalu aku memutarkan tubuhku dengan cepat, setelah itu aku melakukan tendangan balik menggunakan kaki kananku dengan kuatnya.

Dia yang mengira aku akan meninjunya, terkejut dengan tendangan balikku ini dan punggung kakiku yang bersepatu ini tepat mengenai pelipis kirinya.

BUHHGGG.

BUMMMMM.

“ARRGGHHH.” Dia terjauh dengan kepala bagian kanan duluan yang menyentuh tanah dan dia menjerit kesakitan.

Pelipis kirinya robek terkena tendanganku dan wajah kanannya juga ada luka yang memanjang, karena wajah kanannya sempat tergesek ditanah.

“Hanya segini aja kekuatan anak Black House yang katanya preman kampus kuru.?” Ucapku dengan emosi dikepala dan aku langsung meloncat, lalu mengarahkan telapak sepatuku di wajah bagian kirinya.

BUHHGGG.

“ARGHHHH.” Teriaknya kesakitan dan tubuhnya terhentak oleh injakan kakiku diwajah sampingnya ini. Wajah kirinya terkena injakanku dan wajah kanannya tergesek ditanah.

Lalu.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku menginjak – injak wajahnya dengan brutal dan aku tidak perduli dengan yang namanya perikemanusian. Dia ini binatang dan dia sudah menghina kedua orang tuaku.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku terus menginjak wajahnya dan suaranya kesakitannya sudah tidak terdengar.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Tubuhnya juga sudah tidak bergerak dan aku langsung menghentikan injakan kakiku.

Aku angkat kaki kananku, lalu aku jambak rambutnya sampai dia terduduk. Wajahnya sudah dipenuhi darah dan dia sangat lemas sekali.

“Haaaaa.” Nafas panjang keluar dari mulutnya yang terbuka dan disertai air liur bercampur darah yang juga keluar dari mulutnya.

“MULUTMU INI YANG SEPERTI BINATANG.” Teriakku mengeluarkan semua emosi yang ada dikepala dan tidak ada rasa kasihan sedikitpun, terlintas dipikiranku.

Aku jambak rambut atasnya dengan kuat menggunakan kedua tanganku, lalu.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

Aku hantamkan mulut serta hidungnya kelututku berkali – kali dan aku sangat menggila sekali.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

Emosiku benar – benar memuncak dan aku hanya ingin nyawanya saja sebagai penggantinya.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

BUHHGGGG, KRAAKKKKK, BUHHGGGG, KRAAKKKK.

“Lingga.” Terdengar suara seorang wanita yang sangat lembut dibelakangku dan aku langsung menghentikan hantaman lututku diwajah bajingan ini.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu, di ikuti emosi yang masih terus membakar isi kepalaku.

Aku itu paling tidak bisa menguasai emosiku, kalau sudah menyangkut kedua orang tuaku. Jarangnya kami bertemu dan rasa rindu yang begitu besarnya, menjadikan salah satu factor kemarahanku akan cepat bangkit, kalau ada yang berani menghina beliau berdua.

Kemarahanku tidak ada penawarnya, oleh karena itu juga aku tidak mau membuat masalah dan aku pasti menghindar jikalau ada yang mau bermasalah denganku. Tapi kalau sudah tidak bisa dihindari seperti malam ini, aku tidak akan perduli dengan siapa atau berapa banyak orang yang menggangguku.

Persetan dengan tai kucing.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku terus memburu dan emosi ini sekarang bukan hanya membakar isi kepala, tapi merambat kesuluruh tubuhku.

Panas, panas dan panas. Hanya itu saja yang aku rasa.

Dan ketika aku akan menghantamkan lutut kananku kewajah bajingan ini lagi, dua tangan menyelinap dibawah ketiak kanan dan juga ketiak kiriku, lalu tangan itu mengelus dadaku dan diakhiri dengan dekapan yang sangat lembut. Dada seorang wanita menempel dipunggungku dan wajah sampingnya juga bersandar dibahu belakangku.

Dekapan erat yang hangat dan belaian lembut didadaku, meruntuhkan semua emosi yang ada diseluruh tubuhku. Detakkan jantung dari wanita ini terasa dipunggungku dan mangalirkan suatu energy yang sangat luar biasa. Detakan jantungnya itu masuk kedalam tubuhku, lalu mengatur detakan jantungku yang bergerak dengan cepatnya, lalu mengajaknya begerak seirama.

Detakan seirama itu menghasilkan kedamaian dan ketenangan yang selama ini aku cari. Emosi dan kemarahanku yang selama ini tidak ada penawarnya, hari ini runtuh dan tersapu oleh dekapan hangat seorang wanita dan entah siapa dia.

“Tenangkan dirimu dan jangan sampai emosimu membawamu terjerumus kedalam lembah hitam kehidupan.” Ucap wanita itu dengan lembutnya dan ternyata dia adalah Mei Lani.

Mei Lani

Kedua tanganku yang menjambak rambut sibangsat ini dengan kuat, langsung terbuka dan sibangsat ini langsung lunglai jatuh ketanah. Tubuhnya tidak bergerak lagi dan hanya terdengar samar – samar suara nafasnya yang berat.

“Kamu bukan orang jahat. Kamu hanya seorang laki – laki yang berprinsip, harga diri diatas segala – galanya.” Ucap Lani dan sentuhan lembutnya didadaku benar – benar menghilangkan seluruh emosiku yang sudah memuncak tadi.

Akupun hanya bisa terdiam, menikmati pelukan hangat dari Lani.

Disaksikan bulan yang berwarna jingga dan dengan di iringi senyummu yang menghadirkan cahaya, hati ini terasa sempurna karena sudah menemukan pendamping jiwa.

Bulan jingga. Menembus gelap menghadirkan terang, membuat hati sejenak terlelap dari perjalanan panjang.

Menerjang derasnya ombak dan mangarungi luasnya samudra, lalu berlabuh ditepian cinta.

Hiufftt, huuuuu.

Gila, aku gila. Saat ini aku benar – benar dibawah pengaruh Lani dan aku benar – benar dibuatnya terdiam. Kalau tadi emosi bisa membunuhku, sekarang cinta yang bisa membunuhku.

“Sudah tenang.?” Tanya Lani dan aku tetap diam.

Perlahan diapun melepaskan pelukannya dan bagian ditubuhku seperti ada yang hilang. Entah apa itu, tapi yang jelas aku ingin lebih lama lagi dipeluknya.

“Adi, Adi. Kamu sudah melakukan dua kesalahan fatal hari ini.” Ucap Lani yang sudah berdiri disebelahku dan dia berbicara kepada bajingan yang baru saja aku hajar ini. Wajahnya dipenuhi darah, mulutnya menganga, matanya melotot dan nafasnya terdengar berat.

“Yang pertama, kamu mengajak duel orang yang salah. Aku sudah memperingatkan kamu waktu dikosan tadi, kalau Lingga ini bukan lawan kalian. Tapi kamu masih nekad dan hasilnya bisa kamu rasakan saat ini.” Ucap Lani.

“Yang kedua, kamu sudah berani buat keributan di cafeku dan membuat pelangganku tidak nyaman. Teman macam apa kamu ini.?” Ucap Lani dan itu mengejutkanku, karena dia adalah pemilik café yang baru aku datangi tadi. Gila.

“Kang Udin, Bayu.” Panggil Lani sambil menoleh kebelakang dan aku juga langsung menoleh kebelakang.

Lani rupanya datang bersama dua orang laki – laki. Satu orang berpakaian pelayan café dan dia yang melayani aku didalam café. Dia pasti bernama Bayu. Sedangkan satu lagi berpakaian petugas parkir yang membukakan pintu belakang untukku tadi dan dia pasti yang bernama Kang Udin.

“Ya Mba.” Ucap kedua orang itu sambil mendekat ke arah kami.

“Bawa Adi ke klinik yang ada dipinggiran kota. Tapi sebelum kesana, kasih dia sedikit pelajaran, karena dia sudah berani buat kacau di caféku.” Ucap Lani dengan dinginnya.

“Siap Mba.” Jawab kedua orang itu.

“Dan untuk kamu, sekarang waktunya luka yang ada ditubuhmu yang aku sembuhkan.” Ucap Lani sambil menggenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya dan wajahnya sekarang terlihat sangat ceria sekali.

“Sekarang waktunya luka yang ada ditubuhku yang mau disembuhkan.?” Tanyaku dan Lani hanya menatapku dan tangannya tetap menggenggam tangan kiriku.

“Kalau dari penekanan kata dan penyusunan kalimat, berarti ada luka lain yang sudah kamu sembuhkan. Luka apa itu.?” Tanyaku lagi.

“Terlalu banyak tanya, padahal kamu tau sendiri jawabannya.” Ucapnya lalu dia menarik tanganku dan mengajakku untuk mengikuti langkahnya.

Arrgghhh. Kenapa dengan wanita satu ini.? Kenapa dia memperlakukan aku seperti ini.? Kenapa dia selalu menolongku diwaktu yang tepat dan apa arti pelukan hangat yang baru saja dia berikan untukku.? Terus kenapa dia juga menatapku seperti itu.? Apakah dia mencintai aku juga.? Sejak kapan.? Kami hanya bertemu empat kali dan apa dengan empat kali pertemuan itu dia jatuh hati denganku.? Iya kalau jatuh hati, kalau itu hanya pikiranku saja bagaimana.? Assuuu’og.

Akupun akhirnya hanya bisa diam dan mengikuti tarikan tangan Lani yang lembut, dengan sejuta pertanyaan yang mengganjal didalam otak. Gengaman tangan Lani yang kubalas dengan gengaman tanganku ini, perlahan mengalirkan sesuatu yang mengisi bagian tubuhku yang tadi terasa hilang.

Cok. Kalau lama – lama seperti ini, aku bisa gila kalau terus berada didekat Lani. bajingannn.

Srek, srek, srek.

Terdengar suatu yang digesekan yang berasal dari arah belakangku dan aku langsung menoleh ke arah belakang.

Adi yang kondisinya sudah sangat parah, diseret oleh Kang Udin dan Bayu dengan posisi terlentang. Kang Udin menarik kaki kanan Adi, sedangkan Bayu menarik kaki kiri Adi. Gila, gila.

Aku kembali melihat ke arah depan dan aku terus mengikuti tarikan tangan Lani. Kami berdua melewati pintu pagar dan sekarang kami sudah berjalan diarea samping café.

Malam semakin larut dan pengunjung café juga mulai sepi. Lani mengajakku duduk dikursi yang aku duduki tadi. Kursi panjang dan kami duduk bersampingan. Kami berdua sama – sama tidak saling melihat dan pandangan kami tertuju pada gunung yang ada didepan sana.

Aku membuang pandanganku ke arah sekeliling, untuk mencari keberadaan Darel.

“Dia tadi sudah pulang. Awalnya mau nyusul kamu kelapangan, tapi dia ditelpon sama Pak RTnya. Katanya kosannya kemalingan.” Ucap Lani lalu dia mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya.

“Oh iya.?” Tanyaku yang terkejut dan Lani tidak menghiraukannya, dia mengeluarkan HPku dari dalam tasnya lalu menyerahkannya kepadaku.

“Nih, HPmu.” Ucapnya.

“Kok bisa dikamu.?” Tanyaku.

“Darel tadi titip ke aku, disuruh kasih kekamu.” Jawab Lani dan bertepatan seorang pelayan datang ke meja kami.

“Ini kotak P3Knya Mba.” Ucap pelayan itu.

“Oh iya. Terimakasih.” Ucap Lani.

“Iya Mba. Saya kemeja kasir ya.” Ucap pelayan itu dan Lani hanya mengangguk pelan.

Lani lalu menghadap ke arahku dan aku tetap menghadap lurus kedepan.

“Hadap sini. Aku mau bersihkan lukamu.” Ucap Lani dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Duduknya juga hadap ke aku.” Perintah Lani lagi dan entah kenapa aku tidak bisa menolaknya.

Akupun mengangkat kaki kiriku dan posisi dudukku mengangkangi kursi panjang ini. Lani juga duduk seperti aku dan jarak kami sangat dekat sekali.

Lani membuka kotak P3K, lalu dia mengambil kapas dan alcohol. Lani melihat ke arah wajahku dan perlahan dia mulai membersihkan luka yang ada dipelipisku.

“Hupp.” Ucapku menahan nafas, karena sentuhan kapas itu terasa perih sekali dilukaku.

“Kenapa.? Sakit.?” Tanya Lani sambil menghentikan olesannya dan dia menekan lukaku dengan kapas yang basah oleh alcohol itu.

“Aduh, duh, duh.” Ucapku, karena Lani langsung menekan kapas tepat dilukaku.

“Hi, hi, hi,hi.” Diapun langsung tertawa dengan manisnya dan wajahnyapun terlihat semakin cantik aja.

Aku pandangi wajah wanita yang sudah memiliki tempat tersendiri dihatiku ini dan jujur ingin sekali aku mengeluarkan isi hatiku kepadanya. Hatiku ini sudah terlalu penuh oleh perasaan sayang dan juga cinta, sampai dada ini terasa sesak. Tapi apa iya aku harus mengutarakan cintaku kepadanya.? Iya kalau diterima, kalau enggak bagaimana.?

Dipendam kok nyesek didada, di keluarkan tapi takut kecewa. Arrggghhh. Mau gila aku rasanya.

Lani terus membersihkan lukaku dan tatapan mata kami sesekali bertemu. Tatapan mata yang semakin membuat hatiku terasa sesak dan entah bagaimana nanti akhirnya.

“Terimakasih Mba.” Ucapku dan kembali Lani menghentikan olesannya yang sekarang berada ditepi bibir kananku.

“Mba.? Dari tadi ngomongnya aku kamu, kok sekarang manggilnya Mba.?” Tanya Lani dan aku hanya tersenyum saja.

“Terimakasih.” Ucapku lagi, tapi kali ini Lani tidak menghentikan olesannya.

“Terimakasih untuk.?” Tanya Lani.

“Untuk tadi siang dan untuk malam ini.” Jawabku.

“Tadi siang.? Memangnya kenapa tadi siang.?” Tanya nya lagi.

“Kalau tadi siang Mba gak bohong kalau aku temannya Elang Pondok Merah, mungkin aku akan disekap seperti kedua temanku.” Jawabku.

“Oooo.” Ucapnya sambil menganggukan kepalanya pelan dan dia sudah selesai membersihkan lukaku. Lani sekarang mengambil perban dan juga kapas, untuk ditempelkan dipelipisku.

“Kenapa Mba mau membantuku dan kenapa Mba berbohong sama anak – anak Black House.?” Tanyaku lagi.

“Aku membantumu karena aku gak suka dengan perlakuan mereka yang semena – mena dan aku berbohong karena aku ingin melihat seberapa nyali mereka, ketika aku menyebut nama Elang.”

“Dan ternyata, mereka hanya jago kandang.” Jawab Lani dan menurutku jawabannya sudah cukup memuaskanku.

“Terus Mba gak takut dengan kejadian malam ini.?” Tanyaku.

“Takut kenapa.?” Tanya nya balik.

“Aku sudah membantai salah satu anggota Balck House dan kelihatannya Mba juga mau memberi pelajaran kepada Adi. Itu berarti secara gak langsung, Mba juga ikut berperan dalam pembantaian Adi.” Ucapku.

“Terus yang harus aku takutkan apa Lingga.?” Tanya Lani.

“Mereka pasti tidak terima. Mereka akan mencariku dan gak menutup kemungkinan, mereka akan menyerang kemari dan membuat keributan di café Mba.” Jawabku.

“Ya coba aja kalau mereka berani melakukannya.” Ucap Lani dan dia mengucapkannya tanpa beban.

Wahhh. Gila. Siapa Lani ini dan siapa sosok dibaliknya, sampai dia bisa sesantai ini.? Apa jangan – jangan Lani mengenal Elang dan dia berteman dengan penghuni Pondok Merah.? Waw. Lani memang wanita yang sangat mesterius.

“Sudah.” Ucapnya sambil mengeratkan plester di pelipisku.

“Terimakasih ya.” Ucapku.

“Sudah berapa banyak kamu mengucapkan terimakasih.?” Tanya Lani.

“Sebanyak apapun aku mengucapkan kata terimakasih, tidak akan cukup dengan semua yang sudah Mba lakukan kepadaku.” Ucapku dan Lani hanya tersenyum, lalu dia mengeluarkan rokoknya dari dalam tas, setelah itu mengambilnya sebatang.

“Rokok.” Ucapnya menyodorkan rokoknya kepadaku.

“Enggak, aku gak rokokkan.”

“Serius.?” Tanya Lani dan aku menganggukan kepalaku.

“Okey.” Ucapnya sambil menaruh bungkusan rokoknya dimeja, lalu dia membakar rokoknya.

“Jam berapa tutup cafenya Mba.?” Tanyaku.

“Ini sudah mau tutup.” Jawabnya lalu dia menghisap rokoknya.

“Hiuuffttt, huuuuu.”

“Kalau gitu aku pamit ya Mba.”

“Aku antar.” Ucap Mba Lani dan nada suaranya bukan seperti menawarkan, tapi seperti menegaskan.

“Jangan Mba. Sudah terlalu banyak kebaikan Mba sama aku. Aku naik ojek online aja.” Ucapku sambil berdiri

“Serius.?” Tanyanya.

“Serius Mba. Aku gak mau terlalu banyak berhutang budi.” Jawabku dan dia langsung menganggukan kepalanya pelan.

“Pamit ya Mba, sekali lagi terimakasih.” Ucapku kepada Lani dan dia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Senyum yang tentu saja membuat hatiku terasa meleleh.

Cukup, cukup. Aku tidak ingin terlalu lama disini atau bukan hanya hatiku saja yang meleleh, tapi isi batangku yang juga ikut mengeluarkan lelehannya.

Aku berjalan ke arah luar café dan ketika diluar, aku bertemu dengan Kang Udin yang sedang duduk didepan pos security.

“Kang.” Sapaku.

“Siap Mas.” Jawab Kang Udin.

“Adi sudah dibawa ke klinik Kang.?” Tanyaku.

“Belum. Tuh.” Ucap Kang Udin dan terlihat disamping pos yang agak gelap, Adi tergeletak dan wajahnya masih dipenuhi darah yang mulai mengental.

“Gak mati kalau dibiarin begitu Kang.?” Tanyaku lagi.

“Ya kalau sudah waktunya mati, dikubur Mas. Tapi kalau masih ada umur panjang dan aku gak malas, ya aku bawa ke klinik.” Jawab Kang Udin dengan entengnya.

“Hahaha. Gila kamu Kang. Ya sudah, aku balik dulu ya.” Pamitku ke Kang Udin dan aku langsung meninggalkannya.

“Oke Mas. Hati – hati ya.” Ucapnya dan aku hanya membalasnya dengan mengacungkan jempolku.

Aku berjalan ke arah jalan besar dan disebelah Café ini ada ruko yang sudah tutup. Akupun berjalan ke arah ruko itu dan duduk di emperannya. Aku lalu mengambil Hpku yang ada dikantong celanaku, untuk memesan ojek onlie.

Dan pada saat aku mau membuka aplikasi ojek online, ada sebuah pesan masuk dari Thifa dan aku langsung membukanya.

“Lingga.” Tulis Thifa dan entah kenapa, ketikan Thofa yang singkat ini membuat jantungku berdetak dengan cepat. Aku seperti merasa ada sesuatu dengannya, tapi dia ragu untuk menceritakannya.

Tanpa berpikir panjang, akupun langsung menelpon Thifa.

TUUTTT, TUUTTT, TUUTTT.

“Ha, ha, halo.” Ucap Thifa terbata dan sepertinya dia baru saja menangis.

“Kamu kenapa Neng.? Dimana kamu sekarang.?” Tanyaku dan aku sangat khawatir dengan dia.

“Hiks. Dikosan.” Jawabnya singkat.

“Kamu kenapa.? Aku kesana sekarang ya.?” Ucapku.

“Ja, ja, jangan. Sudah malam.” Ucapnya.

“Kalau aku gak boleh kesana, kamu cerita dong. Kamu kenapa.?” Tanyaku yang memaksanya untuk bercerita dan Thifa hanya diam saja.

“Kamu marah sama aku karena masalah yang tadi ya.?” Tanyaku lagi dan Thifa langsung menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Maaf kalau aku salah ya Neng. Aku mau ngobrol sama kamu kok. Kamunya aja yang langsung main tutup telpon.” Ucapku.

“Kok jadi aku yang salah.?” Tanya Thifa dan suaranya sudah mulai terdengar tenang.

“Nggak, kamu gak salah. Aku kok yang salah.” Ucapku agar dia tidak ngambek lagi.

“Ya memang kamu salah. Kenapa gak kasih kabar.? Gak ngerti apa kalau aku bingung mulai dari pagi sampai sore tadi.” Ucapnya mulai mengomel dan aku justru senang dia seperti ini, dari pada dia diam tak bersuara, terus main tutup telpon seenaknya.

“Iya, maaf maaf.” Ucapku.

“Sudah makan Neng.?” Tanyaku.

“Ini jam berapa lingga.? Kok baru tanya sekarang.?” Tanya Thifa balik dan walaupun dia sudah agak tenang, aku merasa dia masih menyembunyikan sesuatu dari aku. Bukan masalah telpon yang ditutupnya tadi, tapi pasti masalah yang lain.

“Ya siapa tau mau sahur.” Jawabku sekenanya.

“Memangnya mau puasa apa.? Besok bukan senin atau kamis, bukan juga bulan puasa.” Ucap Thifa dengan gemasnya.

“Kan aku bilang siapa tau Neng.” Ucapku dan bertepatan dengan sebuah mobil yang lewat dengan kecepatan tinggi.

Brruuuummm.

“Lingga dimana.?”

“Dipinggir jalan. Baru habis nongkrong sama Darel, teman kampungku.” Jawabku.

“Nongkrong dimana.?”

“Dicafe dekat sawah.”

“Ini sudah malam Lingga.”

“Iya. Aku tau. Makanya ini mau pulang.”

“Ya sudah, pulang aja dulu. Nanti telpon lagi ya.”

“Memangnya kamu gak tidur Neng.?”

“Memangnya kenapa.? Lingga gak mau ngobrol sama aku.?” Tanyanya dan nada bicaranya seperti tadi sore.

Cok. Salah ngomong aku. Bajingan.

“Bukan begitu Neng. Kan Eneng sendiri yang bilang sudah malam.” Ucapku.

“Sudah, sudah.” Ucapnya dengan nada kesal dan aku tau pasti dia akan menutup telponnya.

“Neng. Aku gak tau apa yang sedang terjadi pada dirimu saat ini. Aku hanya ingin mengatakan, tenang dan bersabarlah dengan segala macam permasalahan yang datang. Berpikir jernih, karena banyak orang yang menyayangi kamu.” Ucapku dan aku tidak ingin telpon ini terputus dengan sesuatu yang masih menggantung dikepala.

“Aku tidak butuh orang banyak yang menyayangi aku. Cukup satu dan semoga orangnya tau.” Ucapnya, lalu telponnya terputus.

COK.

Lagi dan lagi, telponnya terputus dengan obrolan yang tergantung. Susah banget sih ngadapin Thifa ini. Oh iya. Kalau seandainya dia tau malam ini aku babak belur, wahhhh, aku gak bisa bayangkan bagaimana omelannya yang panjang kali lebar dan pasti tidak akan putus - putus. Terus ditambah, dia tau kalau Lani yang membersihkan lukaku. Waahhh, bisa – bisa air maniku dikeluarkan sampai habis, terus diganti sama boncabe level 50. Apa gak pedes tuh biji.?

ARRGGGGHHHH. BAJINGANN.!!!



Sementara itu ditempat lain dan disebuah kamar, beberapa jam yang lalu.

Seorang wanita duduk dilantai dengan kedua tangan yang memeluk tulang keringnya dan keningnya menyentuh lututnya. Dia terlihat sangat menyesali keputusannya, karena dia baru saja mengakhiri pembicaraannya ditelpon dengan seorang laki – laki pujaan hatinya.

Padahal seharian ini, laki – laki itu sedang berjuang membebaskan sahabatnya dan itu membuat wanita ini resah dan gelisah. Telponnya tidak diangkat dan pesannya tidak dibalas. Tapi pada saat laki – laki itu mengirimkan kabar, sang wanita malah menutup telponnya disaat obrolannya sedang asyik – asyiknya.

Rasa khawatir dan rasa sayang yang begitu besarnya, membuat egonya juga meninggi dan akhirnya hanya penyesalan yang tertinggal. Dia sangat berharap laki – laki pujaanya itu menelponnya lagi, tapi rupanya yang diharapkannya tidak kunjung datang.

Pikirannya berkecamuk dan hatinya gundah gulana. Kecupan di kepalanya yang tertutup kain dan genggaman dijemari tangan, terasa sampai malam tiba dan mungkin tidak akan bisa hilang seumur hidupnya.

Hanya laki – laki itu yang sudah menyentuh tangannya dan mengecup kepalanya, selain keluarga dekatnya. Hatinya benar – benar dibuat porak poranda oleh tatapan dan sentuhan laki – laki yang dikaguminya semenjak pertama kali bertemu.

“Iiihhhhh. Bodoh, bodoh, bodoh. Kenapa aku harus tutup telponnya.?” Ucapnya dengan gemas

“Kenapa juga dia gak telpon lagi.? Apa dia gak sayang sama aku.? Terus kenapa juga dia tadi menatapku seperti itu.? Kenapa dia memegang tanganku dan kenapa dia mengecup kepalaku.? Apa arti semua itu.? Apa dia hanya ingin mempermainkan aku atau dia hanya tidak terlalu peka dengan aku.? Iihhhhh. Dasar laki – laki.” Ucapnya lagi.

“Hey. Aku itu cinta sama kamu dan aku sayang sama kamu.”

“Apa kamu tidak bisa membaca dari tatapan mataku dan gerak – gerik bahasa tubuhku.? Apa kamu tidak menyadari sikap diamku, ketika kamu genggam tanganku dan kecup kepalaku.? Belum pernah aku disentuh laki – laki lain dan hanya kamu yang bisa melakukannya. Kamu sadar gak sih.? Iihhhhhh.” Ucapnya dan,

Kringgg, kringgg, kringgg.

Suara Hpnya terdengar dan dia langsung menegakkan tubuhnya. Wajahnya terlihat berbinar dan hatinya yang galau langsung berbahagia.

Diraihnya Hp yang ada diatas meja dan dilayar Hpnya terlihat nama seseorang yang bukan dipikirkannya dari tadi. Mimik wajahnya langsung berubah dan dengan nada suara yang sangat pelan, dia menjawab panggilan telpon itu.

“Halo Bi.” Ucapnya.

“Halo nak. Bagaimana kuliahmu.? Lancar ajakan.?” Tanya orang itu dan dia adalah Ayah dari wanita itu.

“Lancar Bi.” Jawabnya singkat dan dadanya terasa sangat sesak sekali.

“Jadi kapan kamu pulang.? Calon suamimu sudah siap untuk melamarmu.” Ucap Abi nya dan tetesan air mata wanita itupun langsung mengalir.

“Ingat nak. Abi mengijinkan kamu kuliah, asalkan kamu menikah dengan Doni. Abi tidak ingin anak perempuan Abi sendirian di kota lain, tanpa ada yang mengawasi.” Ucap Abinya lagi dan wanita itu tidak bersuara. Hanya deraian air mata yang bisa mewakili isi hatinya dan dunia ini terasa runtuh menimpanya.

“Kenapa kamu nangis.? Kamu bisa terus berkuliah, walaupun kamu sudah berstatus sebagai seorang istri. Suamimu juga rencananya akan pindah ke Kota Pendidikan dan dia juga akan berdinas disana.” Ucap Abinya lagi dan ucapan Abinya itu semakin membuat hatinya seperti disayat – sayat.

“Jangan diam aja atau Abi jemput kamu malam ini juga.” Ucap Abinya dengan suara yang sangat tegas.

“Sabar Bi, sabar. Biar Lia aja yang ngomong sama Ade.” Ucap seorang wanita diseberang telpon sana.

“Urus Adekmu ini. Kalau kamu gak bisa, Abi jemput dia malam ini juga.” Ucap Abi dan terdengar gerakan Hp yang berpindah tangan.

“Halo De.” Ucap si Kakak dengan suara yang sangat lembut.


“HUAAAAAA. HIKKS, HIKKS, HIKSS.” Tangis wanita itu langsung meledak, ketika mendengar suara kakaknya.

“Tenang sayang, tenang.” Ucap si Kakak dan terdengar langkah kakinya yang menjauh.

“Hiks,hiks. Ade gak gak mau nikah kalau dijodohin seperti ini Mba. Hiks, hiks.” Ucap adeknya diselingi isakan tangisnya.

“Iya sayang, Mba Lia tau itu. Mba Lia juga gak mau menikah dengan pilihan Abi. Tapi kita bisa apa.? Kita harus menikah bersama – sama dalam bulan ini.” Ucap si Kakak yang bernama Mba Lia.

“Enggak, Ade gak mau. Mba Lia aja yang nikah sama Mas Edi. Ade mau lanjut kuliah. Hiks, hiks, hiks.” Jawab Wanita itu.

“Gak bisa begitu sayang. Abi takut kalau Ade gak nikah sama Doni secepatnya, Ade bisa terlambat nikah seperti Mba Lia.” Ucap Mba Lia dan dia sekarang usianya 26 tahun.

“Tapi usia Ade masih 19 tahun Mba. Adek masih mau lanjut kuliah, tanpa ada ikatan pernikahan. Hiks, hiks, hiks.” Ucap wanita itu.

“De.” Ucap Mba Lia terpotong.

“Kalau Mba Lia juga maksa Ade, Ade akan mengakhiri hidup Ade malam ini juga.” Ancam wanita itu.

“ADE.” Teriak Mba Lia dan wanita itu langsung mematikan HPnya.





#Cuukkk. Malam yang mencekam dan terlalu banyak drama yang terjadi. Terlalu banyak cinta, sayang, benci, amarah dan juga dendam yang bermain. Banyak juga sentuhan pertama yang menegangkan, terjadi hari ini dan membuat drama ini semakin membingungkan. Djiancuukkk.


NB. Terimakasih saya ucapkan untuk beberapa teman yang sudah membagi rezeki kepada saya. :beer:
 
Selamat siang Om dan Tante

Updet tipis - tipis di akhir pekan.
Maaf kalau banyak typo dan semoga masih bisa dinikmati.
Selamat berkumpul dengan keluarga dan semoga berbahagia.
Jangan lupa saran dan masukannya.

Salam Hormat Dan Salam Persaudaraan..
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd