Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

Makasih updatenya Hu @Kisanak87
Terus terang, ini adalah salah satu karya yg bikin ttp rajin buka2 forum tercinta dan ditunggu updatenya.
Jadi kebayang apa yg udah bikin perasaan Lingga campur aduk pas pertama ketemu Mba Lia.
Model cerita begini ini ni yg Nubie suka. Mba Lia dan Thifa. Dua2nya udah jd binor. Sang adik pernah jadi pujaan hati. Sang kakak pernah jadi pujaan semalem. Asik donk buat Lingga.
Sesimple itukah? Hohoho kayaknya tidak mamen. Ada Lani juga.
Gaya cerita masa kini dan flasbacknya juga bagus Hu. Bikin alurmya jd asik buat diikutin.
Mantap Hu. Meski berharap karya kali ini lebih bernuansa drama romantis, tetapi konflik dan adegan bak bik buk nya tetap dinanti.
Eh... o iya. Lani Hu, Lani. Dr minggu kemaren diri ajah di kamer hotel tuh, kasian hehehe
Monggo dilanjut Hu
 
BAGIAN 6
Kenikmatan Yang Menyedihkan



“HOAAAMMMMM.” Aku merengangkan kedua tanganku, lalu aku memiringkan tubuhku ke arah kiri.

NYUTTTT.

“COKK.!!!” Makiku dan aku langsung duduk dari posisi tidurku. Akupun langsung mengelus pelipis kiriku dan aku baru sadar kalau pelipisku ini diperban karena pertarunganku semalam.

Lukaku yang diperban ini terkena gesekan dibantal dan rasanya sangat perih sekali. Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah kaca yang menyatu dengan lemariku.

“Bajingan.” Makiku setelah aku melihat wajahku dikaca.

Pelipis kiriku diperban, kelopak maka kananku membiru, bibir kiriku sedikit membengkak dan terlihat ada lukanya. Goresan – goresan luka juga terlihat dipipi dan juga keningku.

Gila. Parah juga bonyoknya di wajahku. Terus gimana ini.? Apa aku akan kekampus dengan kondisi seperti ini.? Apa kata Thifa nanti ya.? Pasti dia mengomel dan aku akan dimarahi habis – habisan. Padahal kemarin sore aku bilang, aku tidak apa – apa dan aku tidak berkelahi dengan anak – anak Black House. Tapi nyatanya justru tadi malam aku berkelahi dan pasti Thifa menyangkanya aku berbohong. Ahhhh, cuukklah.

Lebih baik aku beristirahat aja dirumah beberapa hari. Nanti kalau wajahku sudah agak mendingan, baru aku masuk kuliah.

Aku lalu melihat ke arah jam dinding dan waktu sudah menujukan pukul 09.00

Duh. Aku kesiangan. Kalaupun aku sekarang ke kampus, jam mata kuliah pertama pasti sudah berakhir.

TOK, TOK, TOK.

Pintu rumahku diketuk dan entah siapa diluar sana. Kalau itu Darel, biasanya dia berteriak memanggil namaku.

TOK, TOK, TOK.

Kembali pintu rumahku diketuk.

“SABAR.” Teriakku dan aku melangkah keluar kamar.

TOK, TOK, TOK.

“LINGGA.” Teriak Darel.

Cok, rupanya manusia gathel itu yang mengetuk pintu rumahku.

TOK, TOK, TOK.

Kembali si gathel itu mengetuk pintu rumahku dan aku langsung membuka pintu rumahku dengan emosinya.

“COK. Bisa sab.” Makiku lalu ucapanku terpotong, karena ada sesosok wanita berdiri didepan pintu rumahku.


Athifa Ardillah Nasha

“Lingga.” Ucap Thifa dengan kedua mata yang berkaca – kaca.

“Kamu kenapa cok.?” Tanya Togok dan Anto yang juga datang kerumahku.

“Loh, loh, loh. Semalam kamu jadi berkelahi dengan anak Black House.?” Tanya Darel.

Thifa, Togok dan Anto langsung melihat ke arah Darel, lalu melihat ke arahku.

Assuu. Kenapa Darel gak bisa jaga mulutnya sih.? Terus kenapa juga Thifa dan kedua temanku ini datang kerumahku.? Bajingan.

Thifa langsung menatap mataku dengan tajam dan kedua tangannya terlipat didepan dada.

“Masuk dulu yu.” Ucapku dan nada bicaraku aku buat setenang mungkin.

“Kenapa gak jujur semalam.?” Tanya Thifa dan dia tidak menghiraukan tawaranku untuk masuk kedalam rumah.

“Eh bro, temanin aku beli rokok yok.” Ucap Darel dan dia langsung merangkul kedua temanku.

“Ayo, ayo.” Jawab Togok dan juga Anto, lalu mereka membalikan tubuhnya masing - masing. Togok dan Anto yang wajahnya masih babak belur berjalan tertatih – tatih dan mereka sempat berhenti didepan pagar, lalu berpegangan pada pagar.

“Bukannya aku gak mau jujur Neng. Aku cuman gak mau kamu kepikiran aja.” Ucapku dan Thifa langsung menggelengkan kepalanya pelan, disertai butiran air matanya yang mulai menetes.

“Terus menurutmu setelah aku melihat kondisimu yang seperti ini, aku gak kepikiran gitu.?” Tanyanya dan terlihat yang tadinya dia marah, perlahan – lahan mulai terlihat sedih.

“Maaf Neng. Maaf kalau aku selalu membuatmu kepikiran.” Ucapku dan aku sangat merasa bersalah sekali, melihat wanita yang kucintai ini bersedih karena ketidak jujuranku.

Rasa cintaku kepadanya semakin menjadi dan aku ingin mengungkapkannya hari ini juga. Aku menepikan Lani dari pikiranku, karena tidak mungkin aku mencintai dua wanita dan tidak mungkin juga aku memilihnya.

Lani memiliki sifat yang terbuka dan mudah bergaul. Dia pasti sudah mempunyai kekasih dan aku tidak mungkin bisa merebut hatinya.

Aku berpikiran yang logis aja. Aku menyayangi Thifa dan terlihat Thifa juga menyayangi aku. Terus apa yang harus aku cari dan apa yang harus aku tunggu.?

“Bukan itu jawaban dari pertanyaanku Lingga.” Ucapnya dan dia langsung menurunkan kedua tangannya yang terlipat didada. Dari gelagatnya, terlihat dia akan pergi meninggalkan aku dengan masalah yang menggantung.

Dan ketika dia membalikan tubuhnya, tangan kananku langsung memegang telapak tangan kiri Thifa dan aku langsung menggenggamnya dengan erat.

“Cukup Lingga, cukup. Aku gak mau bermain perasaan denganmu lagi.” Ucap Thifa dengan suara yang bergetar dan posisinya memunggungi aku. Telapak tanganku masih menggenggam taelapak tangannya dan dia tidak menepisnya, tapi dia tidak membalas genggaman tanganku ini.

“Athifa Ardillah Nasha.” Panggilku dan dia langsung menoleh ke arahku dengan tatapan mata yang sangat menyedihkan.

“Aku sayang sama kamu.” Ucapku dan tiba – tiba dia membalas pegangan tanganku dengan eratnya. Kedua bola matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka dan wajahnya sedikit termaju ke arahku.

Wajahnya yang tadi terlihat sedih sekarang terlihat terkejut dan dia seperti tidak percaya dengan ucapanku.

Akupun langsung menarik tangannya kedalam rumahku, lalu aku menutup pintu rumahku.

“Lingga.” Ucapnya yang kembali terkejut, lalu aku mengunci pintu rumahku dengan tangan kiri. Aku tidak ingin momen seperti ini diganggu dan aku juga tidak ingin tiba – tiba Thifa berubah moodnya, lalu meninggalkan aku dengan jawaban yang tak pasti.

Aku ingin semuanya jelas sekarang juga. Diterima atau tidak, itu saja.

Posisiku saat ini berada dibalik pintu dan Thifa berada dihadapanku dengan jarak yang sangat dekat sekali. Pandangan mata kami beradu dan tangan kami juga masih saling menggenggam.

“Aku sayang kamu Athifa Ardillah Nasha. Mau kamu terima atau tidak, itu urusanmu. Urusanku hanya menyayangi kamu dan juga mencintaimu.” Ucapku dan aku tidak tau harus berucap apa – apa lagi, karena aku bukan type orang yang romantis dan juga bukan perayu yang handal.

Thifa terlihat masih terkejut dan dia diam sambil terus menatap mataku. Wajah kami perlahan saling mendekat, mendekat dan berhenti hanya 5 cm saja jaraknya. Kepalaku memiring sedikit ke arah kanan dan kepala Thifa miring ke arah sebaliknya.

Postur tubuhnya yang sebatas kedua mataku membuatnya sedikit mendanga dan aku sedikit menunduk. Hembusan nafasnya yang cepat terasa disekitar mulutku dan bibirnya sedikit terbuka. Kedua matanya yang berada dibalik kaca mata yang dikenakannya perlahan terpejam dan entah siapa yang memulai, bibir kamipun saling menempel.

Cuppp.

Tidak ada gerakan setelah itu dan bibir kami hanya saling bersentuhan. Bibir mungilnya itu terasa bergetar dan aku tau ini pasti ciuman pertamanya.

Akupun bingung harus berbuat apa lagi setelah ini. Melumat bibirnya atau aku lepaskan dan aku menunggu jawaban darinya.? Tapi kenapa aku harus menunggu jawaban dari dia.? Apa sentuhan bibir kami ini belum cukup untuk menjawab pertanyaanku.? Belum. Aku ingin mendengarnya langsung dari Thifa dan aku tidak mau kalau dia hanya menggunakan bahasa tubuhnya.

Perlahan pegangan tangan kami terlepas dan kedua tanganku langsung melingkar dipinggangnya, sementara Thifa melingkarkan kedua tangannya dileher belakangku.

Akupun akhirnya terbawa suasana dan aku langsung merapatkan tubuh Thifa ke arahku, lalu perlahan bibirku mulai mengulum bibir Thifa dengan lembutnya.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Aku mengulum bibir bawahnya, tapi Thifa tidak membalasnya sama sekali. Kalau tadi bibirnya yang terasa bergetar, sekarang tubuhnya yang sedang aku peluk ini juga terasa bergetar.

Bibirku yang terluka inipun tidak terasa, karena kenikmatan kehangatan dari bibir Thifa yang justru mendominasi.

Ini memang bukan ciuman pertamaku tapi aku merasa ini adalah ciuman terindahku, karena rasa sayangku yang begitu besarnya kepada Thifa.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Kedua mata Thifa terbuka dan perlahan dia mulai membalas kulumanku dengan melumat bibir atasku. Cara mengulumnya lambat, tapi penuh dengan penghayatan dan aku menyukainya.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Lalu beberapa saat kemudian, Thifa melepaskan ciuman kami ini.

Muaacchhh.

Aku dan Thifa sama – sama menegakan kepala dengan tatapan mata yang terus beradu. Tanganku masih melingkar dipinggang Thifa dan Thifa juga masih melingkarkan tangannya dileher belakangku.

Aku tempelkan keningku dikening Thifa dan aku tidak mau melepaskan pelukan kami ini.

“Aku juga sayang sama kamu, Lingga Kukuh Nugraha.” Ucap Thifa dan aku langsung menengakkan kepalaku, sampai kening kami tidak bersentuhan lagi, tapi kedua tangan kami masih diposisi saling merangkul.

Aku tatap matanya dalam - dalam dan terlihat tidak ada kebohongan dari ucapannya, tapi aku merasa ada sesuatu yang tersimpan dan dia menyembunyikan dari aku.

Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari Thifa dan itu sangat terlihat sekali. Mulai dari cara menatapku, cara menjawab pertanyaanku, cara merangkulku dan cara membalas lumatanku.

Bukannya aku tidak senang dengan apa yang dilakukannya, tapi aku merasa ini bukan Thifa yang sesungguhnya. Aku baru sadar akan hal itu, setelah aku menatap bola matanya ini. Gadis yang kukenal santun dan taat kepada kepercayaannya ini, mudah sekali ‘menyerahkan’sesuatu yang sangat berharga dihidupnya dan itu pasti dijaganya selama ini. Cintanya, pelukannya dan juga ciumannya, pasti baru pertama kali dilakukan dan itu hanya untukku.

Mungkin bagi sebagian besar orang, pacaran, pelukan dan ciuman, itu hal yang sangat lumrah dan mungkin bagi mereka juga wajib dengan hal yang seperti itu. Tapi ini Thifa dan dia bukan bagian dari sebagian besar orang itu.

Apa sebegitu besarnya rasa sayang dirinya kepadaku, sampai dia melupakan jati dirinya selama ini.? Apa ini hanya tentang cinta atau ada hal lain yang dia sembunyikan dari aku.? Kalaupun seandainya Thifa melakukan ini benar – benar dari hatinya yang terdalam, begitu besarnya beban yang pastinya aku tanggung, ketika menjalani hubungan dengannya.

Bukannya aku tidak ikhlas dan bukannya aku tidak menyayanginya dengan tulus, bukan seperti itu. Aku menyayanginya dengan tulus dan dengan sebenar – benarnya cinta yang aku miliki. Tapi apa iya, aku mampu membalas cintanya yang suci ini.?

Arrggggg. Cukkk lahhh.

“Ada apa denganmu Neng.?” Tanyaku sambil melepaskan pelukanku dan tangan kananku langsung membelai kepalanya yang tertutup kain, dengan lembutnya.

“Maksudnya.?” Tanya Thifa balik dan tangannya tetap merangkul leherku.

“Kenapa dengan mudahnya kamu menerima dan membalas cintaku.? Apa yang membuatmu seyakin itu dengan diriku.?” Ucapku memperjelas pertanyaanku tadi.

“Kenapa pertanyaannya seperti itu.? Apa kamu ragu dengan cintaku.?” Thifa bertanya balik dan dia menatapku dengan tatapan mata yang penuh selidik.

“Enggak sayang, aku gak pernah meragukan cintamu kepadaku.” Jawabku dan kedua tanganku sekarang menyentuh pipi kanan dan pipi kirinya.

“Enggak Lingga, tatapan matamu berbohong. Kamu ragu dengan cintaku dan kamu sepertinya menginginkan pembuktian dari kesungguhan cintaku.” Ucap Thifa sambil melepaskan rangkulannya dileherku.

“Kok kamu ngomong begitu sih.?” Tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya dan kedua tanganku tetap berada dipipinya.

Thifa tidak menjawab pertanyaanku dan kedua tangannya langsung mengarah kebelakang dan seperti sedang menggapai sesuatu.

Sretttttt.

Terdengar bunyi resleting yang diturunkan dan rupanya itu resleting gamis yang dikenakannya. Kedua tangannya sekarang menyusup dibalik jilbabnya yang lebar dan dia menyentuh pundaknya. Tangan kanan dipundak kiri dan tangan kiri dipundak kanan. Lalu perlahan gerakan tangannya yang tertutup jilbab lebarnya itu turun dan bersamaan dengan ujung gamis bagian bawahnya teruturun menyentuh lantai.

Ha.? Thifa mau apa.? Dia mau membuka gamisnya.? Gila.

“Hei, hei, hei. Apa yang kamu lakukan Neng.?” Tanyaku yang sangat terkejut dan aku langsung memegang punggung tangannya, yang sekarang sudah sampai dibagian sikutnya. Kalau seandainya dia tidak memakai jilbab yang lebar sampai dibawah perut, mungkin aku bisa melihat gamis yang dikenannya sudah terturun sampai dibagian perut dan buah dadanya yang tertutup BRA juga pasti akan terlihat.

“Aku hanya ingin membuktikan kepadamu tentang kesungguhan cintaku. Bukan hanya cinta yang pertama, sentuhan yang pertama, ciuman yang pertama, tapi aku juga akan menyerahan sesuatu yang paling berharga didiriku dan aku ingin kamu yang pertama kali menikmatinya.” Ucap Thifa dan aku langsung melotot dan genggaman tanganku dipunggung tangannya semakin menguat.

Gila. Thifa mau menyerahkan perawannya kepadaku.? Gak salah ini.? Apa yang ada dibenak wanita satu ini, sampai dia mengatakan hal yang seperti itu.? Apa dia sudah gila dengan cintanya kepadaku atau dia sekarang ini hanya ingin menguji kebenaran cintaku.? Kalau aku benar mencintainya, aku tidak akan menyentuh perawannya. Tapi kalau cintaku hanya untuk bersenang – senang, aku akan merenggut perawannya saat ini juga. Apa iya itu yang ada dipikiran Thifa.?

Terus apa yang harus aku lakukan, kalau dia benar – benar telanjang dihadapanku.? Apa aku sanggup menolaknya.? Pasti sanggup, karena jujur aku masih perjaka sampai detik ini. Aku belum pernah melakukan hubungan badan dengan wanita manapun, bahkan kepada mantan – mantanku yang dulu. Hal terjauh yang pernah aku lakukan hanya sebatas ciuman, pelukan dan saling meremas, itupun dengan pakaian yang masih lengkap. Aku belum pernah melihat wanita telanjang, terkecuali dari film porno yang pernah aku tonton.

Aku juga tidak ingin merusak Thifa dengan melakukan hubungan badan, karena aku benar – benar mencintainya, bukan ingin mempermainkannya.

Dia sangat polos dan kesucian itu pasti sangat berharga bagi dirinya dan hanya boleh direnggut ketika sudah menikah nanti.

“Bukan seperti ini yang aku mau Eneng. Bukan. Aku gak mau melakukan itu, sebelum kita menikah.” Ucapku.

“Kalau begitu kita menikah sekarang.” Ucapnya dengan wajah yang terlihat dingin.

“Eneng.” Ucapku dan entah kenapa dia menjadi seperti ini.

“Pilihanmu hanya dua. Kita menikah sekarang, lalu kita melakukan itu. Atau kita melakukan itu dulu dan kita menikah kapanpun kamu siap.” Ucap Thifa dan dia mengucapkannya dengan mantap.

“Astaga Eneng.” Ucapku dan aku semakin terkejut dengan ucapannya itu.

Ucapannya ini benar – benar dia katakan dengan jujur dan ini bukan lagi tentang dirinya yang ingin mengujiku untuk mengambil perawannya atau tidak, tapi justru dia yang menginginkan aku mengambil perawannya sekarang juga. Ingat, sekarang juga. Gila gak.? Gila banget pastinya. Seorang wanita yang taat kepada Kepercayaannya, tapi dia ingin melakukan hal yang paling dilarang oleh Kepercayaannya itu.

Ada apa denganmu Thifa, ada apa.? Apa yang membuatmu nekat seperti ini.? Cinta.? Apa hanya cinta, atau ada hal lain yang memaksamu seperti ini.? Arrggghhh. Cuukk lah.

Tanpa sadar aku melepas pegangan tanganku dipunggung tangannya dan Thifa langsung menurunkan kedua tangannya kebawah.

Srettt.

Gamis yang dikenakannya jatuh kelantai dan bagian selangkangan kebawah yang tidak tertutup jilbab lebarnya, langsung terlihat dengan jelasnya.

“Aku mau membuktikan semuanya kepadamu, karena aku gak mau kehilangan dirimu.” Ucap Thifa dengan suara yang bergetar dan tatapan matanya mulai terlihat sayu.

“Ini sudah terlalu jauh Neng, jauh banget. Sekali lagi aku tegaskan, aku gak mau melakukan itu denganmu.” Ucapku dan aku langsung menundukan tubuhku, untuk menggapai gamisnya yang berada diantara kedua sepatu slopnya yang belum terlepas. Aku ingin menaikannya keatas dan aku ingin dia memakainya kembali.

Dan disaat aku membungkuk, wajahku sejajar dengan kemaluan Thifa yang terhalang jilbab lebarnya. Aroma yang begitu wangi menusuk hidungku dan entah kenapa tiba – tiba nafsuku mulai bangkit, disaat aku tidak menginginkannya.

Hatiku bergejolak untuk melawan nafsuku dan membuat tubuhku kaku diposisi yang seperti ini. Aku seperti dipaksa untuk menikmati aroma yang wangi ini dan mataku dipaksa untuk melihat ke arah kemaluan Thifa. Tatapan mataku liar, seolah menjelajah kebalik jilbabnya yang lebar dan menembus ke celana dalam yang dikenakan Thifa.

Aku berusaha mengalihkan pandanganku dan aku langsung melihat ke arah bawah, tepat di gamis yang ada dilantai. Sekilas aku melihat pahanya, lututnya dan tulang keringnya yang putih dan mulus itu. Kaos kaki yang dikenakannya tidak terlalu panjang dan hanya menutup sampai setengah tulang keringnya.

“Huuuuu.” Hembusan nafas panjangku mulai terdengar dan desiran darahku terasa seperti mengalirkan nafsu yang mulai menguasai hatiku serta pikiranku.

Nafsu dan rasa penasaranku yang tidak pernah melihat wanita telanjang, mampu menggerogoti pikiranku dan pikiran – pikiran yang awalnya menolakpun, perlahan dimakan oleh nafsu dan rasa penasaranku.

Hiuufft, huuuuu.

Kedua tangan Thifa langsung menyentuh pipiku dan dia mengarahkan wajahku ke arahnya.

“Aku sayang kamu Lingga. Aku ingin kamu membalas rasa sayangku dan kamu harus membuktikan cintamu sekarang.” Ucap Thifa dengan lembut dan tatapan matanya begitu sangat tulus kepadaku.

Akupun langsung menegakkan tubuhku dan aku langsung memegang wajah Thifa, lalu aku mengulum bibirnya dengan lembut.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Entah mendapatkan bisikan setan dari mana atau aku sendiri yang justru menjadi setan itu, karena tubuhku sekarang menjadi sangat bergairah dan aku ingin menikmati tubuh wanita yang masih suci ini.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Thifa membalas lumatanku dan kedua tangannya kembali merangkul leher belakangku.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Lumatan kami semakin memanas dan bibir kami sudah basah oleh air liur kami yang sudah menyatu.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Kedua tanganku menyelinap dibawah ketiak Thifa dan aku langsung memeluknya, tapi masih terhalang jilbab lebarnya yang menutupi punggungnya.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Kepala Tifha memiring kekanan, lalu kekiri dan aku mengeimbanginya dengan memiringkan kepalaku ke arah berlawan.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Aku yang awalnya ingin menjaga kehormatan Thifa, sekarang justru mendominasi ciuman ini. Thifa yang belum mahir berciuman, hanya mengimbangi dengan cara mengemut bibir atasku.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Perlahan aku memasukan lidahku kedalam mulut Thifa, lalu menyapu bagian dalam bibir Thifa yang aku lumat.

“Heemmmm.” Desah Thifa dan dia langsung memejamkan kedua matanya. Dia terlihat sangat menikmati permainan lidahku dan perlahan mulutnya semakin terbuka. Lidahku semakin masuk kedalam mulut Thifa dan melewati giginya yang tersusun rapi.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Lidahku berputar – putar memainkan lidah Thifa dan kedua tangankupun perlahan mulai turun kebawah, lalu masuk kebalik jilbab lebarnya.

TAP.

Kedua tanganku menyentuh bokong Thifa yang tidak besar tapi padat dan masih tertutup celana dalamnya.

Hemmm.

Aku sudah pernah memegang bokong mantanku dan posisinya sama seperti ini. Tapi bedanya dulu aku meremasnya terhalang celana levis dan kalau sekarang aku meremasnya hanya terhalang celana dalam yang sangat tipis. Ini remasan yang sangat enak dan aku bisa merasakan daging kenyal yang padat, dan seperti tidak ada penghalang apapun.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Aku terus meremas kedua bokongnya dan aku terus memainkan lidahku dilidahnya.

Cupppp. Muaachhhh.

Thifa melepaskan kuluman kami dan nafasnya langsung memburu.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Dia menatapku dan bibirnya sudah sangat basah sekali.

“Ini ciumanku yang pertama dan aku sangat menikmatinya. Hu, hu, hu, hu.” Ucap Thifa dengan pandangan mata yang sayu.

Kedua tanganku yang berada dibokongnya, perlahan naik dan ini pertama kalinya aku menyentuh kulit punggung wanita secara langsung. Tubuh Thifa merinding dan bulu kudunya berdiri. Aku juga merasakan sama seperti Thifa dan ini akan menjadi salah satu pengalaman yang menegangkan dihidupku.

Aku merabanya dengan pelan dan rabaanku terus naik keatas.

“Hemmmm.” Desah Thifa yang menikmati rabaanku dan dia mendesah sambil menutup kedua matanya sesaat, lalu terbuka lagi ketika rabaanku berada tepat di pengait Branya.

Ya, pengait Branya. Aku ingin membukanya, walaupun aku tidak tau dan tidak pernah menyentuh Bra wanita, apalagi membukanya.

“Boleh aku buka.?” Tanyaku dan Thifa hanya memejamkan kedua matanya sesaat, tanda dia setuju dengan permintaanku

Kedua tanganku mengotak – atik tali kain yang melingkar dipunggungnya ini, tapi aku tidak menemukan dimana letak pengaitnya. Kalau saja aku berada dibelakang Thifa, mungkin aku bisa menemukannya dengan mudah. Tapi posisiku yang berada didepannya ini, membuatku sangat kesulitan dan aku tidak berpengalaman dalam hal ini.

“Gak tau ya.?” Tanya Thifa dengan pandangan yang menggoda dan aku hanya tersenyum malu.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Thifa melumat bibirku dan dia melepaskan kedua tangannya yang merangkul leherku, lalu dia mengarahkan kedua tangannya ke bagian depan dadanya. setelah itu,

Klik.

“Muaaaccchhh.” Aku melepas ciuman kami ini dan bertepatan Bra bagian depannya terlepas.

“Loh, pengaitnya didepan.?” Tanyaku dengan herannya.

“Hihihi.” Thifa hanya tertawa, lalu dia melepaskan Branya.

Thifa menjatuhkan Branya yang berwarna putih kelantai dan dibalik jilbab lebarnya itu, kesayanganku ini sudah tidak memakai gamis dan juga Branya.

“Aku capek berdiri.” Ucap Thifa dan dia terlihat malu mengatakannya.

“Mau tiduran dikamar.?” Tanyaku dengan repfleknya dan dia sepertinya agak terkejut, tapi hanya sebentar saja.

Tanpa menunggu jawabannya, akupun langsung membopong tubuh mungil Thifa dengan kedua tanganku.

“Hup.” Ucapku yang menahan nafas sesat.

“Lingga.” Ucapnya yang kembali terkejut dan posisinya sekarang dia sudah aku bopong. Tangan kiriku berada dibawah ketiaknya, sementara tangan kananku berada dibawah bokongnya. Jilbab lebarnya itu terangkat sampai memperlihatkan kulit mulus perutnya dan celana dalamnya yang berwarna putih.

“Kita lanjut dikamar ya sayang.” Ucapku dan Thifa tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya merangkulkan kedua tangannya dileherku dan wajahnya bersandar dibahu kiriku.

Thifa. Mimpi apa aku semalam, sampai aku bisa membopong tubuhmu yang setengah bugil. Yang tersisa ditubuhmu saat ini hanya jilbab yang lebar, kacamata yang melekat, celana dalam, kaos kaki dan sepatu slop yang belum terlepas.

Aku berjalan ke arah kamarku yang pintunya terbuka dan setelah aku masuk, aku menutup pintu kamarku menggunakan tumit kakiku.

Braakk.

Lalu,

Buhhg, buhhgg.

Dua sepatu slop Thifa terlepas dan jatuh kelantai.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Dadaku bergetar dengan hebatnya dan entah bagaimana nanti, kalau seandainya aku jadi berhubungan badan dengannya. Mungkin aku akan mengikuti naluriku saja dan aku akan mempraktekan apa yang sudah pernah aku tonton di film porno kesukaanku.

Aku berjalan kekasurku dan meletakan tubuh Thifa di tengah kasur, dengan posisi terlentang. Aku langsung berbaring disebelah Thifa dan posisi tidurku memiring ke arahnya.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Aku langsung menyambar bibir Thifa dan dia yang masih merangkul leherku, langsung membalas lumatanku.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Tangan kananku langsung mengarah keperutnya yang rata dan aku mulai merabanya.

Uhhhhh. Gila. Ini toh rasanya meraba perut. Rabaan diperutnya saja membuat batangku tegak berdiri, apalagi bukit kembar yang ada diatasnya. Mungkin air maniku bisa langsung keluar, tanpa disentuh Thifa atau tanpa aku kocok. Bajingann.

“Hemmm.” Desah Thifa dan perutnya termundur sedikit kebelakang sedangkan dadanya merapat ke arahku.

Tubuh mungilnya meliuk pelan, apalagi ketika rabaanku mulai naik ke arah dadanya.

Tap.

Buah dada yang kecil dan putting yang imut, telah berada digenggaman tanganku dan aku menyentuhnya langsung dari balik jilbab lebarnya.

Waw, waw, waw, waw.

Kenyal, padat dan pasti sangat enak digenggaman tanganku. Buah dada itu seperti mengalirkan energy yang kuat ditelapak tanganku, lalu merambat kelengan kananku, lalu menyebar keseluruh tubuhku, lalu menyatu di nafsuku yang menggelora.

Entah apa kasiat yang ada di yang namanya buah dada, sampai laki – laki itu bernafsu ketika melihatnya menonjol didada wanita. Apasih yang membuat tangan – tangan jahil itu gatal dan ingin meremasnya.? Padahal buah dada itu hanya hanya berisi gumpalan lemak, saraf, pembuluh darah, jaringan kelenjar, dan saluran air susu. Terus apa keistimewaannya.? Kalau hanya sekedar gumpalan lemak, kenapa kok beda rasanya ketika meremas bokong sendiri.? Aahhhh, cuukkk lahh.

Itu yang ada dipikiranku sejak dulu dan selalu menjadi pertanyan dengan tanda tanya yang sangat besar dikepalaku, sebelum aku merasakan meremas dada wanita. Terus setelah sekarang meremasnya, apa aku tau jawabannya.? Gak tau cok, aku masih belum tau jawabannya. Mungkin kalau aku sudah melihatnya langsung dari balik jilbabnya yang lebar dan aku mengemut puttingnya, aku bisa menemukan jawabannya. Tapi yang jelas, meremas buah dada itu enak dan rasanya berbeda dengan meremas bokong sendiri. Dari pada meremas bokong sendiri, lebih baik digaruk aja, karena garukan di bokong itu rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata – kata. Uennaakk. Hahaha. Djiancookk.

“Ahhhh.” Ucapnya sambil melepaskan kuluman kami, ketika aku meremas buah dadanya yang kecil itu.

“Hemmmm.” Desahnya lagi dan kali ini dia memejamkan kembali kedua matanya. Kedua tangannya juga dilepaskan dari rangkulan dileherku dan dia sangat pasrah dengan apa yang sedang aku lakukan.

Aku tarik ke atas jilbab lebarnya menggunakan tangan kiriku, sementara tangan kananku terus meremas buah dadanya yang sebelah kiri.

Waw, waw, waw, waw.

Buah dadanya yang kecil, putih dan kencang itu, sekarang berada tepat didepan mataku dan tidak terhalang apapun. Puttingnya yang imut berwarna agak kemerahan, mengundangku untuk melumatnya.

Uhhhh. Ini ya gumpalan lemak yang membuat nafsu untuk memegang, meremas dan melumat.? Beginikah bentuk aslinya.? Tidak ada yang istimewa dengan bentuknya, karena itu hanya gumpalan yang membentuk bukit dan memiliki daging mungil diujungnya. Terus apa yang membuatnya orang bernafsu.?

Hap.

Aku masukan puting imut yang sudah mengeras itu kedalam mulutku dan aku langsung mengemutnya dengan pelan.

Sruuppp, sluppp, sluppp, sluuppp.

Enyak, enyak, enyak, enyak, enyak. Enyak banget cuukkk. Tingkatan enyak itu diatas enak dan enyak itu tidak bisa diungkapkan dengan kata – kata, hanya bisa merasa. Apalagi emutan itu dikombinasi dengan remasan di buah dada yang satunya. Rasanya luar biasa enyak cuukkk, luar biasa enyak.

Terus jawaban dari apa keistimewaan dari buah dada itu apa.? Gak tau cok, aku gak tau. Tapi sekarang pandangan mataku kepada buah dada semakin bernafsu dan aku ingin melumat buah dada dari wanita – wanita yang ada disekitarku.

AARRGGHHHH. Aku gila cok, aku gila.

“AHHHH, Lingga.” Ucap Thifa dan lagi – lagi tubuhnya meliuk dengan seksinya.

Kedua tangannya langsung menjambak rambutku dengan pelan dan aku semakin bernafsu mengemut putting kanannya, dan meremas buah dadanya yang kiri.

“Aku mau pipis Lingga. AHHHHHH.” Ucap Thifa dan pinggulnya langsung terangkat.

Tangan kananku yang meraba buah dada bagian kiri Thifa turun kebawah dan menyusuri perutnya yang rata.

“Cukup Linga, cukup. Ahhhhhhh. Aku mau pipis dulu kekamar mandi.” Ucapnya dan tangan kirinya langsung menahan tangan kananku yang sekarang berada dibawah pusarnya dan sedikit lagi menyentuh bagian atas celana dalamnya.

Nafsu dan rasa penasaranku semakin menjadi, dan aku ingin menjelajahi setiap inchi dari tubuh Thifa.

Akupun langsung melepaskan emutanku diputiing kanannya dan aku menatap wajahnya yang sudah dipenuhi keringat.

“Keluarin aja sayang. Itu bukan pipis, tapi itu cairan kenikmatan.” Ucapku sambil menyapu keringat dikeningnya dengan tangan kirikku, sementara tangan kananku terus turun ke arah bawah sana dan sekarang sudah berada ditengah kemaluannya yang tertutup celana dalamnya.

“Uhhhhh. Jangan, jangan. Nanti kasurmu bau pesing. Ahhhhh.” Ucapnya sambil menggelengkan kepalanya dan dia tetap berusaha menahan tangan kananku yang bergerak liar mengelus celana dalamnya yang sudah sangat basah.

“Diturunin aja ya.?.” Ucapku

“Nanti kalau kasurmu basah bagaimana.?” Tanya Thifa.

“Gak apa – apa. Masih terhalang selimutku kok.” Jawabku dan Thifa memang tidur diatas selimutku yang tebal.

“Ayolah, nanti celana dalammu basah.” Ucapku dan entah kenapa aku beralasan seperti ini, kerena celana dalamnya memang sudah basah.

Thifapun langsung menggangguk, lalu diangkatnya pinggulnya keatas dan tangan kananku langsung menurunkan celana dalamnya bagian kanan, sementara Thifa menurunkan yang bagian kiri sampai sebatas paha.

Dia lalu menurunkan pinggulnya lagi dan tangan kiriku langsung menggapai tangan kirinya yang kembali memegang tangan kananku.

Aku mengangguk pelan dan akhirnya tangan kirinya melepaskan pegangannya ditangan kananku. Aku angkat tangan kirinya keatas kepalanya dan tangan kanannya juga aku angkat keatas dan saling bertumpu dengan tangan kirinya, setelah itu aku memegangnya dengan tangan kiriku.

Uhhhhhh. Thifa terlihat semakin menggairahkan, apalagi kedua ketiaknya yang mulus terpampang jelas dihadapanku.

“Jangan tutup matanya ya sayang.” Ucapku dan perlahan telapak tanganku sudah menyusuri lembah kenikmatan yang sudah sangat basah dibawah sana.

Waw, waw, waw, waw.

Lagi dan lagi. Aku mendapatkan pengalaman pertama didalam hidupku dan kali ini pengalaman itu memegang vagina secara langsung.

Gila, ini gila banget.

Daging yang mempunyai belahan dan kedalaman yang bisa menyesatkan itu sudah berada dijari tengahku. Daging yang bisa membuat orang bertaruh nyawa untuk mendapatkannya dan daging yang bisa membuat orang lupa diri ketika didalamnya itu, sangat nikmat ketika aku menyentuhnya.

Dengan menyentuh memakai jari saja bisa senikmat ini, apalagi menggunakan kemaluanku.?

Uhhhhh. Gila, ini gila banget.

“Ahhhhh, aku malu. Masa aku pipis disini, terus kita saling lihat.” Ucap Thifa dengan wajah yang memerah dan kedua pahanya merapat menjepit telapak tangan kananku.

“Malu.? Malu sama siapa.?” Tanyaku lalu aku mendekatkan wajahku diketiak kanannya, lalu aku mengecupnya pelan.

Cuppp.

“Uhhhhhh. Lingga. Jangan cium ketiakku, bau tau.” Ucapnya dan kecupanku di ketiaknya itu membuat pahanya sedikit merenggang.

Jari telunjukku dan jari tengahku berada ditepi vaginanya, jempol dan kelingkingku dipaha dalamnya, sementara jari tengahku berada tepat ditengah – tengah lubang kemaluannya yang tertutup rapat.

Kedua tangannya ingin berontak, tapi aku menahannya dengan tangan kiriku.

“Lingga, aku beneran mau pipis ini. Hu, hu, hu.” Ucapnya dengan polos dan sekarang pahanya mulai merapat lagi, lalu dia menggoyangkan pinggulnya kekanan dan kekiri, seperti orang yang sedang kebelet pipis.

Aku tidak menghiraukan ucapannya dan wajahku kembali mendekat ke arah ketiaknya yang harum. Aku julurkan lidahku, lalu aku menjilatnya pelan dan itu membuat tubuhnya kembali meliuk – liuk.

“Ahhhhh, geli Lingga, geli. Aahhhhhh.” Ucap Thifa dan pahanya kembali terbuka sedikit.

Jari tengahku mulai membelah vagina yang sangat sempit dan basah itu, lalu aku mengarahkannya kedaging mungil yang berada agak kedalam dan ditengah tengah vagina Thifa.

“Ahhhhhh, Lingga, Lingga.” Ucap Thifa dan dia menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Sluurrpp, slurrppp, slurrppp.

Clokk, clokk. Clokk. Clokk.

Aku menjilati ketiak kanan Thifa dan aku memainkan daging mungil divagina Thifa.

“Ahhhhh, uhhhhh, ahhhhh, uhhhh.” Desah Thifa yang semakin liar dan tubuhnya sekarang dipenuhi oleh keringat.

Sluurrpp, slurrppp, slurrppp.

Clokk, clokk. Clokk. Clokk.

“Uhhhhhhhh. Aku pipis Linggga, aku pipis. Uhhhhhhh.” Ucapnya dan vaginanya terasa berkedut dengan kencangnya.

Sluurrpp, slurrppp, slurrppp.

Clokk, clokk. Clokk. Clokk.

Aku terus menjilati ketiaknya dan gerakan jari tengahku juga aku percepat divaginanya.

“AHHHHHHHH.” Teriak Thifa dan pinggulnya terangkat keatas.

Sluurrpp, slurrppp, slurrppp.

Clokk, clokk. Clokk. Clokk.

“Keluarin jarinya cepat, nanti kena pipisku. Uhhhhhh.” Ucap Thifa dan aku langsung menghentikan jilatanku dan juga kocokan jari tengahku.

Aku pandangi bola mata dibalik kaca mata yang menatap mataku itu dan bola matanya membesar, diikuti mulutnya yang menganga.

“AHHHHHHHH.” Desahnya panjang, lalu,

Sretttt, sretttt, sretttt. Tap.

Cairan kenikmatannya mengucur dengan deras dan sesekali aku menutup lubangnya dengan jari tengahku, lalu aku membukanya lagi.

Sretttt, sretttt, sretttt. Tap.

Sretttt, sretttt, sretttt. Tap.

“Aku pipis Linga, aku pipis. AHHHHHH.” Ucapnya sambil menatapku dan terlihat dia sangat menikmati proses keluarnya cairan kenikmatan, yang belum pernah dia rasakan ini.

Sretttt, sretttt, sretttt. Tap.

Cairan itu terus keluar dan tetap sesekali aku menutupnya sebentar lalu membukanya.

“AHHH, AHHHH, AHHHH.” Ucapnya sambil menggoyangkan pinggulnya yang terangkat itu dan dia mengeluarkan sisa sisa cairan kenikmatannya.

Sretttt, sretttt, sretttt.

“Ahhhhhh.” Ucap Thifa, lalu.

Buhgggg.

Pinggulnya terturun dikasur lagi dan nafasnya langsung memburu.

“Ha, ha, ha, ha. Ha.” Nafasnya cepat dan mata kami terus saling menatap.

Aku pun langsung tersenyum sambil melepaskan pegangan tangan kiriku dikedua lengannya.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Tangan kirinya terturun di sebelah kiri sana dan tangan kanannya langsung memegang pundaku.

“Ha, ha. Jahat, ha, ha, ha.” Ucapnya sambil memukul pundakku dengan sisa – sisa tenaganya. Matanya terpejam beberapa kali dan terlihat dia sangat menikmati semua ini.

“Kok jahat.?” Tanyaku sambil mengangkat jari tengahku dari vagina Thifa, lalu aku menciumnya.

Karena aku belum pernah berhubungan badan, aku jadi penasaran dengan baunya cairan kenikmatan wanita itu.

“Ihhhh. Mau ngapain.?” Ucapnya menahan tangan kananku, ketika sedikit lagi menyentuh hidungku.

“Aku penasaran baunya.” Jawabku dengan polos.

“Bau amis tau. Aneh – aneh aja sih.” Ucapnya dan dia tetap menahan tangan kananku.

“Iya, iya.” Ucapku dan akhirnya aku hanya bisa merasakan cairan yang lama – lama terasa lengket dijemariku ini.

“Huuuuuu.” Thifa melihat ke arah langit – langit kamarku dan nafasnya perlahan mulai teratur.

“Kenapa sayang.?” Tanyaku dan Thifa langsung melihat ke arahku.

“Aku sudah gak perawan ya.?” Tanya Thifa dan aku dengan refleknya langsung melihat ke arah bawah.

“Ihhhhh. Kenapa lihat – lihat itu aku sih.?” Tanyanya sambil memegang kedua pipiku dan mengarahkannya ke wajahnya lagi.

“Gak ada darah. Lagian jariku tadi gak masuk dalam - dalam kok.” Jawabku.

“Hiuufftt, huuuuu.” Thifa menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Kalau begitu kita lanjut lagi yuk.” Ucap Thifa.

“Lanjut apa.?” Tanyaku.

“Masukin itu kamu, ke itu aku.” Jawab Thifa dengan polosnya.

“Kamu beneran pengen melakukan itu.?” Tanyaku meyakinkan Thifa dan dia hanya mengangguk pelan.

“Kamu siap.?” Tanyaku lagi.

“Iya.” Jawabnya dengan suara yang pelan.

“Baiklah.” Ucapku lalu aku bangkit dari posisi tidurku.

“Lingga jahat.” Ucap Thifa ketika aku duduk dipinggir kasur dan kedua kakiku menjuntai dilantai.

“Kenapa jahat.?” Tanyaku sambil melihat ke arah Thifa yang masih tidur terlentang.

“Masa aku sudah begini, tapi kamunya masih pakai pakai kaos dan celana kolor.” Ucapnya pelan.

“Hehe. Bukain dong.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya.

“Iiiss. Manja Banget.” Ucap Thifa, lalu dia bangun dari tidurnya dan dia duduk berselonjor disebelah kananku.

“Nanti kalau aku buka sendiri, bisa kena lukaku.” Ucapku beralibi, padahal bisa saja aku membukanya sendiri.

“Siapa suruh berkelahi.” Ucapnya sambil memencet hidungku pelan.

“Aduh, duh. Sakit.” Ucapku dengan manjanya.

“Ciuman aja ga sakit. Masa giliran disentuh sedikit sakit.” Omelnya dan aku suka sekali mendengar omelan kekasih baruku ini.

Aku lalu menyentuh bagian bawah kaosku, lalu aku mengangkatnya keatas. Dan ketika bagian kerah kaosku sudah akan masuk didaguku, Thifa langsung membuka kerahku agak lebar dan aku langsung menariknya pelan sampai lolos melewati kepalaku, lalu aku melempar kaosku entah kemana.

Posisi kami sekarang duduk bersampingan dan wajah kami saling berhadapan.

Tap.

Thifa menyentuh dadaku dengan telapak tangannya dengan lembut, lalu mengecup tepi bibirku dengan lembut.

Cuuppp.

“Terimakasih sudah mencintai aku ya sayang.” Ucapnya dengan mata yang berkaca – kaca dan aku langsung memegang kedua pipinya.

“Kenapa kamu nangis.?” Tanyaku.

“Ini bukan tangisan kesedihan kok. Ini tangisan kebahagiaan.” Ucapnya sambil menyentuh pahaku.

Aku menatap matanya dan lagi – lagi aku melihat ada sesuatu yang disembunyikannya dariku.

“Ada apa.? Apa yang kamu sembunyikan dari aku.?” Tanyaku dan tangannya yang ada dipahaku, mulai meraba ke arah selangkanganku, lalu berhenti tepat dikemaluanku yang sudah berdiri tegak dibalik celana kolor yang aku kenakan.

“I, i, i, ini.” Ucapnya terpotong dan dia langsung menunduk, melihat ke arah selangkanganku.

“Ini apa.? Kok besar banget.?” Tanyanya sambil menunjuk batang kemaluanku dan ujung jari telunjuknya itu menempel dikepala kemaluanku yang ada dibalik kolor tak bercelana dalam ini.

“Ini punyaku.” Ucapku dan aku malu untuk menyebutnya kontol, karena aku takut dia risih mendengarnya.

“Kamu mau lihat.?” Tanyaku dan dia melihat ke arahku, lalu melihat ke arah kemaluanku lagi.

Akupun langsung menurunkan karet celana kolorku dan aku tidak memakai celana dalam.

Tuing.

Batang kemaluanku berdiri dengan gagahnya dan dia seperti menunjukan keperkasaannya dihadapan Thifa.

Waw, waw, waw, waw.

Lagi dan lagi, ini pengalaman pertamaku menunjukan batang kemaluanku didepan seorang wanita. Rasa malu tapi juga bangga, karena aku sudah menunjukan kelakianku didepannya. Malu karena bagaimanapun ini yang pertama kali aku lakukan dan bangga karena aku yakin kemaluanku ini adalah kemaluan yang pertama kali dilihat oleh Thifa.

“Ha.” Ucap Thifa yang terkejut dan dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

“Kenapa sayang.?” Tanyaku dan jujur aku sangat gugup sekali.

“A, a, apa bisa masuk di punyaku.?” Tanya Thifa.

“Gak tau. Tapi seharusnya sih bisa masuk.” Jawabku sekenanya.

“Bo, boleh aku pegang.?” Tanya Thifa lagi.

“Ya pegang aja.” Jawabku dan dengan tangan yang bergetar, Thifapun memegang batang kemalauanku.

TAP.

Jemari Thifa terlihat mungil, ketika memegang batang kemaluanku yang besar ini.

Waw, waw, waw, waw.

Ini gila banget cuk. Ini gila banget.

Batang kemaluan yang biasa aku pegang sendiri dan mengocoknya sendiri, saat ini dipegang oleh seorang wanita dan rasanya itu sampai ke ubun – ubun kepalaku.

Cenut, cenut, cenut.

“Uhhhhhh.” Desahku karena ini pertama kalinya batangku digenggam seorang wanita.

“Ini besar banget Lingga.” Ucap Thifa dan pandangannya tidak terlepas dari kemaluanku, dan jemarinya juga masih melingkari dikemaluanku.

“Apa gak usah aja.?” Tanyaku mengalihkan kegugupanku.

“Ki, ki, kita coba aja.” Ucap Jawab Thifa dan tiba – tiba dia mulai menggerakan tangannya keatas lalu kebawah dengan lembutnya.

“Ahhhh, ahhhh, ahhhhh. Kalau ragu ga usah aja Neng. Ahhhhh.” Ucapku dan kocokan Thifa ini sangat luar biasa enak.

“Gak apa – apa. Nanti kalau sakit beneran, gak usah dilanjut.” Ucap Thifa dan perlahan kocokannya yang lambat itu mulai cepat.

Clok, clok, clok, clok.

“Ahhhh, ahhhh, ahhhh.” Desahku dan pandangan Thifa di kemaluanku langsung berpindah kewajahku.

“Enak ya yang.?” Tanya Thifa dan aku tidak menjawabnya, tapi aku langsung melumat bibirnya.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Lumatanku dibalas lumatan Thifa dan kedua tanganku langsung menggapai buah dada Thifa, lalu meremasnya pelan.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Clok, clok, clok, clok.

Kocokan Thifa semakin cepat dan rasanya sangat nikmat sekali.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Ciuman kami memanas dan buah dada yang aku remas ini semakin terasa keras.

Clok, clok, clok, clok.

Cuuppp, muaacchhhh.

Aku melepaskan lumatanku dan aku menatap mata Thifa.

“Hu, hu, hu, hu. Aku mau keluar sayang.” Ucapku dan kedua tanganku yang meremas buah dada Thifa, sekarang berganti memilin puttingnya yang menegang.

“Uhhhhh, keluar apa yang.?” Tanya Thifa dan dia terus mengocok batangku.

Clok, clok, clok, clok.

“Hu, hu, hu. Cairan kenikmatan, seperti punyamu tadi. Uh, uh, uh, uh.” Ucapku sambil terus memilin kedua puttingnya.

“Eheemmmm. Keluarin aja sayang, keluarin.” Ucap Thifa dan kocokannya semakin cepat.

Clok, clok, clok, clok.

“AHHHHHHH.” Desahku, lalu.

Crottt, crottt, crottt, crottt, crottt crottt, crottt.

Cairan yang kental yang sangat banyak sekali, keluar dari kepala batangku dan menyembur cukup jauh. Thifa tetap memegang batangku dan dia meremasnya cukup kuat, sehingga menimbulkan sensasi yang sangat luar biasa. Kedua mataku beberapa kali terpejam, karena aku sangat menikmati momen ini.

“AHHHHHHHH.” Desahku dan ini orgasme yang ternikmat yang pernah aku rasakan.

Aku mengedutkan pinggulku kedepan beberapa kali, untuk mengeluarkan sisa – sisa cairan kenikmatanku.

“Hu, hu, hu, hu. Ini nikmat banget yang.” Ucapku dan,

Cuuppp.

Thifa langsung mengecup bibirku pelan, lalu dia melepas pegangannya di batang kemaluanku.

Jemari Thifa terkena air maniku dan dia langsung mendekatkan jarinya yang basah itu ke hidungnya.

“Kamu mau apa.?” Tanyaku sambil memegang pergelangan tangannya.

“Aku penasaran aja baunya.” Jawab Thifa

“Gak usah. Tadi aja aku gak boleh.” Ucapku sambil menurunkan tangan Thifa ke pahanya.

“Hihihihi.” Thifa pun langsung tertawa pelan dan aku langsung mengatur nafasku.

“Huuuuu, huuuuu, huuuuu.”

“Kok masih berdiri yang.?” Tanya Thifa dan dia melihat ke arah kemaluanku yang masih tegak berdiri.

“Gak tau.” Jawabku.

“Punyamu beneran besar loh yang.” Ucap Thifa dan pandangannya belum berpaling dari kemalauanku.

“Jadi gimana.? Dilanjut gak ini.?” Tanyaku.

“Ya seperti yang kita omongin tadi. Dicoba aja. Kalau sakit, gak usah dilanjut.” Jawab Thifa.

“Beneran.?” Tanyaku dan Thifa mengangguk pelan.

Akupun langsung menurunkan kolorku sampai terlepas, setelah itu aku naik kekasur dan aku berlutut diantara kedua kaki Thifa.

Thifa merebahkan tubuhnya dikasur dan aku hanya menatapnya saja.

“Kenapa lihatnya begitu.? Aku malu.” Ucap Thifa dan aku langsung tersenyum.

“Aku lepasin celana dalamnya ya.” Ucapku dan celana dalam Thifa masih berada disebatas pahanya.

“I, i, iya.” Jawabnya terbata dan aku langsung menurunkan celana dalamnya itu, sampai terlepas, setelah itu aku juga melepas kedua kaos kakinya bergantian.

Dan sekarang, yang tersisa melekat ditubuh Thifa hanya jilbab lebar dan kaca matanya, sementara aku sudah telanjang bulat..

Kedua tangannya sekarang berada dibawa dagunya dan dia sepertinya ingin melepas jilbabnya.

“Jangan.” Ucapku.

“Kenapa.?” Tanya Thifa.

“Gak apa – apa. Aku suka aja kalau Eneng pakai itu dan juga pakai kaca mata.” Jawabku.

“Ya udah.” Ucapnya dan kedua tangannya sekarang berada disamping tubuhnya.

Terus sekarang harus bagaimana.? Apa aku langsung naik ketubuh Thifa, terus aku masukkan kemaluanku di vaginanya, terus aku goyang, terus selesai.? Apa hanya seperti itu prosesnya.?

Kelihatannya enggak deh. Kami harus pemanasan dulu dan aku harus menjilati kemaluannya sampai basah, setelah itu baru aku masukkan batang kemaluanku. Itu yang seperti aku lihat difilm – film yang aku tonton.

Aku pegang tulang kering Thifa, setelah itu aku mendorongnya sampai tertekuk keatas, lalu aku membuka pahanya sedikit melebar. Kemaluan Thifa yang gundul dan tidak ada rambutnya sama sekali itu terlihat menggoda sekali. Aku sudah tidak sabar untuk menjilatinya dan aku masih penasaran dengan aroma cairan kenikmatan miliknya.

Waw, waw, waw, waw.

Sudah, cukup sudah waw nya.

Intinya, semua ini adalah pengalaman pertama kami berdua dan kami berdua harus saling menikmatinya.

“Eh.” Ucap Thifa sambil menutupi kemaluannya dengan kedua tangannya.

“Kok ditutup.?” Tanyaku.

“Habis Lingga lihatin terus sih.” Jawab Thifa.

“Berarti gak jadi ini.?” Tanyaku lagi.

“Ja, ja, jadi. Tapi jangan dilihatin terus dong. Aku kan malu.” Ucap Thifa dan kedua tangannya masih menutupi kemaluannya.

“Iya, iya.” Ucapku sambil mendekat ke arah selangkangannya dan aku langsung memegang kedua tangan Thifa, setelah itu aku meletakannya disamping tubuhnya lagi dan tidak ada penolakan dari Thifa.

Aku langsung membungkukan tubuhku dan mengarahkan mulutku ke vagina Thifa.

“Kamu mau apa Lingga.?” Tanya Thifa setelah bibirku sudah menempel dikemaluannya. Kedua tangannya langsung memegang kepala atasku dan dia agak mendorongnya keatas.

“Kalau aku lihat di film, punyamu ini harus dibasahi dulu, supaya gak sakit kalau punyaku masuk kesini.” Jawabku.

“Ihhhh. Kamu itu kebanyakan nonton film porno ya.” Ucapnya.

“Sudah ah, bawel. Jadi dibasahi gak.?”

“Caranya?” Tanya Thifa.

“Ya aku jilati.” Jawabku.

“Janganlah. Itukan kotor.” Ucap Thifa.

“Jadi dimasukin nggak.?” Tanyaku lagi.

“Jadi, tapi jangan dijilat. Itu tempat kotor.” Ucap Thifa.

“Sudahlah yang, nurut aja. Dari pada nanti sakit.” Ucapku.

“Gitu ya.?” Ucapnya yang terdengar pasrah dan aku langsung menganggukan kepalaku.

Aku lalu melebarkan kedua paha Thifa, setelah itu aku membuka vaginanya menggunakan kedua jempolku.

Hemmm.

Bagian dalam vagina Thifa yang berwarna merah muda itu, terlihat basah dan bagian tengahnya berkedut – kedut.

Uhhhh.

Ini yang namanya vagina ya.? Aku sering melihatnya di film, tapi sekarang aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Aku dekatkan hidungku ke vagina yang terbuka itu dan aromanya sungguh menggairahkan sekali.

Slurrppp.

Aku menjilatnya dan pinggul Thifa langsung termundur kebelakang.

“Ahhhhh. Geli Lingga, geli banget.” Ucap Thifa.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“UHHHH, UHHHHH, UHHHH.” Desah Thifa dan pinggungnya bergoyang kekanan dan kekiri.

Jilatanku mengarah didaging mungil Thifa dan tubuhnya semakin meliuk – liuk.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Ahhh, ahhhh, ahhhhh.” Desah Thifa dan kedua tangannya meremas selimutku dengan kuatnya.

Aku sudah tidak sabar untuk membuat vaginanya basah dan aku ingin segera memasukan kemaluanku kedalam sana.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

Vaginanya semakin basah oleh liurku dan cairan yang keluar dari dalam sana.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Cukup Lingga, cukup. Aku mau pipis lagi.” Ucap Thifa sambil memegang rambut atasku dan aku terus melanjutkan jilatanku.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“AHHHHHHHHH.” Desah Thifa dan perlahan dia mulai menjambak rambutku pelan.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“UHHHHHHHHH.” Desahnya dan pinggulnya sedikit terangkat, dan itu membuat lidahku menerobos lebih dalam vaginanya.

“Aku mau pipis Linga, angkat kepalamu. Ahhhhh.” Ucap Thifa dan dilidahku ini, vagina Thifa terasa berkedut dengan cepatnya.

Akupn langsung mengangkat wajahku dan,

Sretttt, sretttt, sretttt, serrrrrrrr.

Cairan yang sangat deras keluar dari kemaluan Thifa dan mengenai wajahku yang berada didepan selangkangannya.

“AHHHHHHH.” Desah panjang Thifa dan dia mendangakan kepalanya, sehingga dia tidak melihat kalau wajahku terkena cairan kenikmatannya.

Serrrrrrrr.

Cairan itu terus mengucur deras dan aku langsung memundurkan tubuhku sambil menyapu wajahku yang basah ini dengan telapak tanganku.

“Ahhhhhhh.” Ucap Thifa dan pinggulnyapun terturun kekasur lagi, lalu dia melihat ke arahku.

“Hu, hu, hu. Lingga. Lingga kena pipisku ya..? Hu, hu, hu, hu.” Tanya Thifa dan dia langsung duduk menghadap ke arahku.

“Gak apa – apa. Niatku tadi kan mau cium aroma cairan kenikmatanmu.” Ucapku sambil mencium telapak tanganku dan aromanya itu tidak bisa aku gambarkan bagaimana bentuk serta baunya.

“Hu, hu, hu. Maaf Lingga, maaf, Thifa gak tau kalau sampai kena wajahmu.” Ucap Thifa sambil menyapu wajahku dengan tangan kanannya.

“Rencanya mau cium aromanya, malah disuruh cuci muka. Hehehe.” Ucapku lalu aku tertawa pelan.

“Ihhhhh. Jahat.” Ucapnya sambil mencubit pipiku.

“Loh. Thifa yang pipis, kok aku yang jahat.?” Tanyaku.

“Ihhhh. Sudah , sudah. Gak usah dibahas lagi.” Ucap Thifa sambil mendelap mulutku dan wajahnya terlihat memerah karena malu.

CLAPP, CLAPP. DUARR, DUARR.

Tiba – tiba terlihat cahaya kilatan petir, lalu di ikuti suara yang menggelagar diluar sana.

“Lingga.” Ucap Thifa yang langsung memelukku dengan erat.

“Tenang sayang. Ada aku disini.” Ucapku sambil mengelus punggungnya dan kelihatannya dia terkejut mendengar suara petir itu.

CLAPP, CLAPP. DUARR, DUARR.

Kembali kilatan petir menyambar dan suaranya terdengar semakin keras, lalu di ikuti suara angin yang begitu kencangnya.

WUUSSSS, WUSSSSS, WUUSSSS.

“Mau hujan ya.?” Tanya thifa dan dia tidak terlalu terkejut mendengar suara petir yang kedua tadi. Pelukannya dilepaskan dan kami berdua saling menatap.

“Iya. Kalau hujan enaknya memang bobo enak.” Jawabku.

“Bobo enak.?” Tanya Thifa lagi.

“Iya. Bobo sambil pelukan, terus ini aku masuk di itu kamu.” Jawabku.

“Hihihi. Ayo.” Ucap Thifa dan senyumnya mengambang dibibir mungilnya.

“Tiduran gih. Kita mulai lagi ya.” Ucapku dan aku langsung mengecup bibir Thifa, lalu dia merebahkan tubuhnya dikasur lagi.

Kedua kakinya ditekuk keatas, lalu dia mengangkang dihadapanku yang sekarang setengah berdiri dan bertumpu pada kedua lututku.

“Sudah siap.?” Tanyaku dan bertepatan dengan air hujan yang mulai turun dengan derasnya.

“Pelan – pelan ya yang.” Ucap Thifa dan aku langsung mengangguk pelan, lalu aku memegang batang kemaluanku, setelah itu aku menggesekannya dibelahan vagina Thifa dengan gerakan yang lambat.

“Lubangya yang ini ya yang.?” Tanyaku dan kepala kemaluanku mulai menekan bagian tengah vagina Thifa.

“Iya yang. Uhhhhh.” Desah Thifa dan kedua tangannya kembali meremas selimutku dengan kuatnya.

Sangat sulit sekali memasukan kepala kemaluanku di vagina Thifa yang sempit itu. Kadang melenceng keatas dan kadang melenceng kebawah.

“Duh, duh, duh. Pelan – pelan yang.” Ucap Thifa yang merintih.

“Iya. Tapi beneran ini kan lubangnya.?” Tanyaku kepadanya.

“Iya yang. Memang mau lubang mana lagi.?” Tanya Thifa.

“Kok gak bisa masuk seperti di film – film.?” Tanyaku.

“Mungkin yang di film sudah biasa dimasukin, jadi masuknya gampang. Punyaku kan belum pernah.” Jawab Thifa.

“Iya, ya.” Ucapku.

Terus bagaimana ini.? Aku sudah terlanjur ngaceng berat, tapi masih belum menemukan jalannya. Masa iya harus selesai, padahal perang besarnya belum dimulai.? Bajingan.

“Coba begini yang.” Ucap Thifa sambil melebarkan lagi pahanya, lalu kedua tangannya membuka kemaluannya lebar.

Aku menatap kemaluannya yang dibuka lebar itu dan aku tidak menemukan jalan masuk kedalam sana. Semua bagian dalam vagina Thifa seolah tertutup daging dan tidak ada celah sedikitpun untuk masuk kedalam sana.

“Yang mana lubangnya yang.?” Tanyaku.

“Yang ini yang.” Ucap Thifa dengan posisi jari- jarinya melebarkan belahan vaginanya.

Jari tengah serta jempolnya bagian kiri melebarkan vaginanya ke arah kiri, dan jari tengah serta jempolnya bagian kanan melebarkan vaginanya ke arah kanan. Sementara jari telunjuknya menunjuk ke arah tengah vaginanya.

“Kok gak ada lubangnya.?” Tanyaku lagi.

“Kan masih perawan yang.” Ucap Thifa dan entah benar atau tidak jawabannya itu.

“Oh iya iya.” Ucapku dan kembali aku menggesekan kemaluanku dibagian yang ditunjuk Thfa.

“Uhhhhhh.” Desah Thifa dan dia tetap melebarkan paha serta vaginanya.

“Tahan sebentar ya yang.” Ucapku sambil menekan kepala batangku dibelahan vagina yang ditunjukkannya itu.

Permukaan daging yang terlihat rata itu tertekan kedalam dan perlahan kepala batangku mulai masuk kedalam vagina Thifa.

“UHHHHH. Yanggg, pelan – pelan.” Ucap Thifa dan dia melepaskan bukaan divaginanya dan membuat kepala batangku mulai terjepit. Pinggulnya termundur kebelakang, seolah menolak tusukanku dan dadanya membusung kedepan.

“Maaf yang, maaf.” Ucapku dan Thifa hanya memejamkan kedua matanya.

“Hiuuffftt, huuuuu.” Thifa menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku tekan lagi ya.?” Tanyaku dan Thifa langsung membuka kedua matanya.

“Nekannya jangan dikejut ya yang.” Ucap Thifa dan wajahnya terlihat sangat tegang.

Vaginanya menjepit dan seperti menahan kepala batangku agar tidak masuk lebih dalam lagi.

“Jangan tegang yang, akunya juga ikutan tegang ini.” Ucapku sambil memegang kedua lututnya, lalu aku meraba ke arah paha dalamnya.

“Ahhhhhh, iiiiiii. ” Desah Thifa dan tubuhnya langsung merinding.

“Yang, lihat mataku dong.” Ucapku sambil mendorong pelan pingulku dan lubang vagina Thifa benar – benar sangat sempit sekali.

“Uhhhhh, kenapa harus saling menatap terus sih.? Ahhhhhh.” Tanya Thifa diselingi desahannya.

“Ya enak tatap – tatapan yang, dari pada kita main kejar – kejaran, kapan masuknya iniku di itumu kalau gitu.” Ucapku sambil terus mendorong pinggulku dengan bersusah payah.

“Hihihi. Iya, ya, ya. Heemmmmmm” Ucap Thifa dan wajahnya mulai terlihat santai, begitu juga vaginanya yang sekarang seolah menghisap kepala batangku, bukan menahan masuk seperti tadi.

Cok. Aku kira masukin batang kevagina itu mudah dan tidak perlu bersusah payah. Tapi ternyata tidak seperti dengan apa yang aku bayangkan selama ini.

“Yang.” Panggilku ke Thifa yang melihatku dengan tatapan yang mulai sayu dan batangku sudah seperempat masuk ke dalam vaginanya.

“Apa yang, hemmmmm.”Jawab Thifa dan pinggulnya mulai bergoyang kekanan dan kekiri dengan pelan.

Mili demi mili batangku terus menerobos masuk dan kepala batangku seperti dihisap untuk mejelajah kedalam sana. Dinding vagina thifa yang basah itu seperti memijat batang kemaluanku dan pijatannya itu sangat kuat sekali. Lalu beberapa saat kemudian, kepala batangku seperti tertahan sesuatu dan aku langsung menghentikan dorongan pinggulku.

Hiuufffftt, huuuu.

“Kapan mau aku lamar.?” Tanyaku, lalu aku menekan pinggulku dengan agak keras, untuk mendobrak sesuatu yang menghalangi kepala batangku didalam sana.

Bret, bret, bret, blesssss.

Kepala kemaluanku seperti merobek sesuatu, setelah itu kembali menerobos kedalam dengan sedikit mudah.

“A, a, apa yang.? Uhhhhhhh.” Tanya Thifa dan pinggulnya menekan kebawah, sementara dadanya membusung keatas. Tubuhnya melengkung dan kedua matanya berkaca – kaca.

Aku terus menekan, sampai aku merasa kemaluanku sudah mentok didalam vagina Thifa.

“AHHHHHHHH.” Desah Thifa dan punggungnya kembali terjatuh dikasur.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Nafas kami memburu dan keringat juga sudah membasahi tubuh kami berdua.

Hujan deras diluar sana tidak mampu mendinginkan suasana panas didalam kamarku dan justru hawa dingin yang dibawa hujan ini, seperti menambah panas suasana.

Thifa memejamkan kedua matanya dan aku langsung menunduk, melihat ke arah kemaluan kami yang sudah menyatu dengan sempurna. Bibir vagina Thifa terlihat menggelembung dan penuh sesak oleh kemaluanku. Disela – sela batang kemaluankupun, terlihat cairan kenikmatan Thifa merembet keluar dan bercampur dengan darah.

Darah.?

Hiuuffftt, huuuuu.

Berarti aku telah resmi mengambil perawan Thifa dan aku sudah tidak perjaka lagi. Terus setelah ini aku harus apa.? Tentu saja aku harus menghubungi kedua orang tuaku dan dengan menggunakan cara apapun, aku harus meminta kedua orang tuaku melamar Thifa. Bisa atau tidak bisa, harus bisa. Direstui atau tidak direstui, aku akan tetap melamar Thifa walaupun seorang diri.

“Uhhhhh. Yang, tadi kamu tanya apa ya.? Hemmmm.” Tanya Thifa dan aku langsung mengangkat wajahku yang menunduk, lalu melihat ke arah wajah Thifa yang memerah.

“Kapan mau aku lamar.?” Tanyaku dan aku belum menggoyangkan pinggul, karena aku ingin batangku dan vagina Thifa saling beradab tasi.

“Uhhhhh. Kok perih yang. Ahhhhhh.” Ucap Thifa sambil memejamkan kedua matanya dan butiran air matanya mulai berjatuhan di kedua matanya yang terpejam.

Kedua mata Thifa terbuka dengan cepat dan dia seperti sedang dikejutkan sesuatu.

“Su, su, sudah masuk semua yang.?” Tanya Thifa dengan tetesan air matanya yang terus mengalir.

“Sudah.” Jawabku singkat.

“Ahhhhhh. Pantas kok perih banget.” Ucap Thifa sambil mendangakan kepalanya dan dia melihat ke arah langit – langut kamarku.

“Jadi gimana yang.?” Tanyaku lagi.

“Tahan. Jangan dulu digerakin. Masih terasa perih.” Jawab Thifa dan kedua tangannya langsung menggenggam dengan erat, dan wajahnya masih tetap terdanga.

“Kalau itu aku juga tau yang. Maksudku itu, kapan kamu mau aku lamar.?” Tanyaku mempertegas pertanyaanku dan Thifa langsung melihat ke arahku.

“Kok sempat – sempatnya kamu tanya itu yang.? Kamu sudah gak nafsu lagi kah.? Kamu gak mau menyelesaikan ini dulu.?” Tanya Thifa dan vaginanya terasa menjepit serta meremas kemaluanku dengan kuatnya.

“Ahhhhhh, uhhhhhh.” Desahku dan juga Thifa bergantian.

“Iya yang. Boleh aku gerakin sekarang.?” Tanyaku.

“Bo, bo boleh. Tapi jangan kuat – kuat ya. Masih perih.” Jawab Thifa dan aku langsung memajukan tubuhku ke arah Thifa dan kedua tanganku berada disamping tubuh Thifa untuk kujadikan tumpuan.

Aku dekatkan wajahku kewajah Thifa, lalu aku mulai melumat bibirnya sambil mengangkat pinggulku pelan, lalu menekannya lagi.

Cuppp, cuppp, cuppp, hemmmm.

Thifa membalas lumatanku dan aku terus menggoyangkan pinggulku pelan.

“Hemmm, hemmm, hemmmm.” Desah kami berdua, disela lumatan yang mulai memanas.

Muaacchh.

Aku melepas lumatanku dan aku tetap menggoyangkan pinggulku pelan.

“Uhhh, uhhh, uhhh. Masih perih yang.? Uhhh, uhhh, uhhh.” Tanyaku.

“Ahhh, ahhh, ahhh. Agak lumayan. Ahhh, ahhh, ahhh.” Jawab Thifa dan dia sudah tidak meneteskan air matanya lagi.

Kedua matanya merem melek, meneikmati sodokanku yang pelan ini.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Bunyi selangkanganku yang bertemu dengan selangkangannya.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“Uhhh, uhhh, uhhh, uhhh. Punyamu sempit banget yang. Uhhh, uhhh, uhhh.” Ucapku.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“Ahhh, ahhhh, ahhhh. Ahhhh. Bukan punyaku yang sempit, tapi punya sayang yang kebesaran. Ahhhh, ahhhh, ahhhhh.” Ucap Thifa dan kepalanya menggeleng kekanan dan kekiri.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Aku lalu merapatkan tubuhku ke tubuh Thifa dan sekarang aku bertumpu pada kedua sikutku. Aku dekatkan wajahku ke buah dada Thifa bagian kiri yang puttingnya belum kebagian aku lumat dari tadi.

Cuuppp.

Aku masukkan putting imut itu kedalam mulutku dan aku sedikit mempercepat goyanganku.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“Ahhhh, Linggaaa.” Ucap Thifa sambil menjambak rambut atasku.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

Aku mengemut putting Thifa sebelah kiri, meremas buah dada bagian kanannya dan aku menggoyangkan pinggulku dengan tempo yang mulai aku cepatkan.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Lingga, ini mulai nikmat sayang. Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.” Ucap Thifa yang mulai meracau kenikmatan. Kedua tanganku sudah meremas kedua buah dadanya dan aku mengemut kedua puttingnya itu bergantian.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhhh. Kelihatannya aku mau pipis lagi yang. Ahhh, aahhh, ahhh” Ucap Thifa disela desahannya dan aku semakin mempercepat goyanganku.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Slurrppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Yang, yang. Ahhhh, ahhh, ahhh.” Ucap Thifa sambil menjambak rambutku dan aku langung melepaskan lumatanku diputtingnya.

“Uhhhh, uhhhhh, uhhhh, uhhhhh. Kenapa yang.? Uhhh, uhhh, uhhh, uhhh.” Tanyaku sambil menatap matanya.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“Aku mau pipis lagi. Ahhhh, ahhh, ahhh.” Ucap Thifa.

“Iya, aku juga. Uhhh, uhhh, uhhh.” Ucapku dan sebenarnya aku masih bisa menahannya lebih lama.

Tapi karena melihat kondisi Thifa yang mulai lemah dan baru saja pecah perawan, aku harus menyelesaikan secepat mungkin.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Aku angkat tubuhku dan kembali aku bertumpu pada kedua telapak tanganku. Aku ingin melihat wajah Thifa yang sedang dilanda kenikmatan dan itu pasti akan membuatku semakin bergairah.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“Yang, yang. Ini nikmat banget. Uhhh, uhhh, uhhh, uhhh.” Ucap Thifa dengan wajah yang memerah dan mata yang merem melek.

“Ahhhh, ahhhh, ahhhhh. Iya yang, ini nikmat banget.” Ucapku dan aku merasa cairan kenikmatanku sudah mulai berkumpul dan menggumpal diujung kepala kemaluanku.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“ARGGHHHHHHH.” Tiba – tiba Thfa menjerit kenikmatan dan kepalanya terdanga keatas. Untungnya diluar sana hujannya sangat lebat, jadi suara Thifa tidak mungkin terdengar sampai keluar rumah.

“AHHHHHHHHH.” Desah ku, karena vagina Thifa berkedut dan itu membuat kemaluanku semakin terasa terjepit didalam sana.

Plop, plop, plop, plop, plop.

Plop, plop, plop, plop, plop.

“YANGGG, AKU PIPISSS. AHHHHH.” Teriak Thifa dan tubuhnya langsung mengejang.

“Aku juga yang. UHHHHHH.” Ucapku sambil menekan pinggulku kedepan dan kemaluanku masuk sampai keujung sana, lalu.

Crottt, crottt, crottt, crottt, crottt, crottt, crottt.

Gumpalan air maniku menyembur masuk kedalam vagina Thifa dan tubuhku terasa melayang oleh kenikmatan yang sedang melandaku. Jepitan vaginanya yang semakin kuat, membuat tubuhku seperti terbang ke langit yang tinggi.

“AHHHHHHHH.” Desahku yang panjang dan aku mengkedut – kedutkan kemaluanku didalam sana, untuk mengeluarkan sisa – sisa air maniku.

Crottt, crottt, crottt.

“Cabut yang, cabut. Aku mau pipis. Ahhhhhhh.” Desah Thifa dan aku langsung memundurkan pinggulku, sampai kemaluanku terlepas dari vagina Thifa.

Plop,

Dan,

Sretttt, sretttt, sretttt, serrrrrrrr.

Giliran Thifa yang menyemburkan cairan kenikmatan dan dia mengejang dengan kepala yang terdanga keatas.

“AHHHHHHHH.” Desahnya dengan suara yang bergetar. Tubuhnya melengkung, bokongnya terangkat dan bola matanya hanya menyisakan warna putihnya saja.

Seerrrrrr.

Cairan itu terus keluar dan gerakan tubuhnya itu, membuat wanitaku ini terlihat seksi sekali.

“Ahhhhhhh.” Desahnya yang pulai pelan, lalu.

Buhhgggg.

Bokongnya terhempas dikasur lagi dan nafasnya langsung memburu.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku juga memburu dan butiran keringat yang ada dikeningku berjatuhan, mengenai dada Thifa.

“Ha, ha, ha, ha. Gila, ha, ha, ha.” Racau Thifa dan aku langsung merebahkan tubuhku disamping Thifa, dengan posisi terlentang.

“Ahhhhh, ahhhhh, ahhhhh.” Aku mengatur nafasku dan pandanganku tertuju pada langit – langit kamarku.

“Huuuuu, huuuu, huuuu.” Thifa juga mengatur nafasnya dan dia mejuga melihat ke arah langit – langit kamar.

Waw, waw, waw, waw, waw.

Persetubuhan pertamaku telah usai dan rasanya sangat luar biasa nikmat. Ini pasti akan membuatku ketagihan dan aku pasti menginginkannya setiap hari. Dan satu – satunya cara agar aku bisa seperti ini terus, aku harus segera menikahi Thifa.

Tapi pernikahan itu bukan hanya mengenai persetubuhan saja. Aku dan Thifa pasti melakukan banyak hal bersama – sama. Makan, tidur, mandi, jalan – jalan, kekampus, bersantai dirumah dan masih banyak lagi yang bisa kami lakukan bersama. Semua itu pasti akan menyempurnakan hidup kami dan kami berdua pasti akan menikmatinya.

Terus bagaimana dengan kebutuhan kami setelah menikah, padahal kami masih berstatus kuliah dan selama ini kami masih disubsidi oleh orang tua masing – masing.? Ya tentu saja, aku sebagai kepala keluarga akan mencari pekerjaan. Tidak mungkin aku akan menyusahkan orang tuaku atau orang tua Thifa, karena kami sudah memutuskan untuk menikah.

Tapi sebentar dulu. Aku sudah berpikiran jauh kesana, tapi Thifa belum menjawab pertanyaanku dari tadi. Kapan dia mau aku lamar.?

Iya kalau dia mau aku lamar, kalau tidak bagaimana.? Terus hubungan kami akan dibawa kemana.?

Tapi kalau dipikir, tidak mungkin Thifa akan menolak lamaranku, karena hubungan kami ini sudah sangat melewati batas. Dia tidak mungkin akan melanjutkan hubungan yang selalu dibayangi oleh dosa. Aku percaya itu dan dia pasti akan menerima lamaranku secepatnya.

“Yang.” Panggilku dan nafasku sudah mulai teratur.

“Heemm.” Jawab Thifa dan dia tetap pada posisi terlentang, tanpa menoleh ke arahku.

“Kapan kamu mau aku lamar.?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya dan dia juga langsung menoleh ke arahku.

Kedua matanya langsung berkaca – kaca dan wajahnya langsung memperlihatkan kesedihan yang sangat luar biasa.

“Kenapa yang.?” Tanyaku dan tiba – tiba rasa takut langsung menghinggap dihatiku.

Aku memiringkan tubuhku ke arahnya dan aku membelai wajahnya yang bersedih itu. Thifa langsung memiringkan tubuhnya ke arahku dan dia mememeluk tubuhku sampai aku terlentang. Sebagian tubuhnya menindih tubuhku dan sebagian lagi berada dikasur. Wajahnya tersandar didadaku dan dada kirinya yang menempel dada kiriku, terasa bergetar.

“Hikssss, hikssss, hiksssss.” Tiba – tiba tangisnya meledak dan aku langsung membelai kepala belakangnya yang tertutup jilbab.

“Ada apa yang.?” Tanyaku dan aku sangat ketakutan sekali.

“Hikssss, hikssss, hiksssss. Aku sudah dijodohkan.” Ucap Thifa dan disusul dengan suara petir yang mengegelegar.

CLAPP, CLAPP. DUARR, DUARR.

Untuk kesekian kalinya aku terkejut dan itu bukan karena suara petir, melainkan karena ucapan Thifa yang ternyata akan dijodohkan.

Petir menyambar diluar sana, tapi aku merasa justru hatiku yang terkena kilatan yang dasyat itu. Hatiku yang sudah membentuk cinta yang sempurna untuk Thifa, langsung hancur berkeping – keping dan pasti sangat sulit untuk menyusunnya kembali kebentuk yang sempurna.

Aku berasal dari pulau ini dan aku sangat memahami bagaimana tradisi keluarga yang taat akan kepercayaannya, seperti keluarga Thifa. Walaupun dia tidak pernah cerita bagaimana keluarganya, tapi aku sudah sangat memahaminya.

Perjodohan dikeluarganya pasti sangat sakral dan dia pasti tidak bisa menolaknya.

Tapi kenapa dia mau menyerahkan kehormatannya untukku, sedangkan perjodohan itu pasti tidak bisa ditolaknya.? Apa kata suaminya nanti, seandainya dia tau kalau Thifa sudah tidak perawan.? Apa dia tidak akan menceraikannya.? Tidak mungkin, itu sangat tidak mungkin.

Terus apa yang harus aku lakukan sekarang.? Apa aku tidak mau bertangung jawab dan aku tidak segera menikahi Thifa.? Aku mau bertangung jawab dan aku mau menikahinya. Tapi apa alasanku yang tiba – tiba ingin menikahinya, disaat dia sudah dijodohkan.? Apa hanya bermodalakan cinta, aku bisa membatalkan perjodohan itu.? Tidak mungkin dan orang tua Thifa pasti akan menolak lamaranku, karena yang aku bilang tadi, perjodohan adalah hal yang sangat sakral ditradisi keluarga besarnya. Terus aku harus beralasan apa.? Apa aku harus jujur kalau aku sudah merenggut kehormatan Thifa.? Itu lebih tidak mungkin, karena keluarganya pasti akan menanggung malu kepada keluarga laki – laki yang sudah sepakat dengan perjodohan.

Gila, ini mendjancokan sekali cokk, mendjancokkan sekali.

Aku tidak mau menyalahkan Thifa, karena aku yakin dia punya alasan yang kuat. Apalagi kalau bukan karena cintanya kepadaku dan dia juga pasti tidak suka dengan perjodohan ini.

Tapi yang sangat aku sayangkan, kenapa dia baru mau jujur, ketika kami sudah selesai bersetubuh.? Kalau diawal tadi dia mau jujur, kami tidak mungkin akan melakukan persetubuhan terlarang ini dan aku pasti akan memikirkan cara, agar perjodohan itu dibatalkan.

Terus sekarang aku bisa apa.? Semuanya sudah terjadi dan tidak mungkin aku menyesali apa yang sudah aku lakukan ini.

Terus.? Apanya yang terus.? DJIANCOK.!!!

“Hikkss, hikss, hiksss. Maaf yang, maaf.” Ucap Thifa dan tangisnya semakin menjadi.

“Sudah yang, tenangkan dirimu.” Ucapku menenangkan Thifa, tapi aku sendiri juga tidak tenang dengan semua ini.

“HIKSSS, HIKSSS, HIKSSS.” Tangis Thifa semakin nyaring terdengar dan pelukannya semakin erat ditubuhku.

“Aku akan menikahimu secepatnya.” Ucapku dan tangis Thifa sedikit mereda, lalu dia mengangkat wajahnya dan menatapku.

“Enggak yang, itu gak mungkin. Hiks, hiks.” Ucapnya sambil menggelengkan kepala pelan. Sisa – sisa air matanya turun dan matanya terlihat sangat sembab sekali.

“Apa yang tidak mungkin Neng.? Kita berdua sudah melakukan hubungan terlarang dan aku harus bertanggung jawab atas semua ini.” Ucapku dan aku menatap matanya dalam – dalam.

“Gak bisa yang, ini gak semudah yang sayang pikirkan.” Ucap Thifa sambil membelai pipiku.

“Kalau gak bisa, terus kenapa kita melakukan semua ini.?” Tanyaku dan Thifa hanya menggelengkan kepalanya, disertai air mata yang kembali menetes dipipinya.

“Jangan menangis lagi Thifa. Ini gak akan menyelesaikan masalah.” Ucapku dengan emosi yang tertahan.

“Dengar baik – baik ya. Kamu mau atau tidak mau, orang tuamu setuju atau tidak setuju, aku akan kerumahmu dan aku akan melamarmu. Titik.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Boleh. Tapi setelah sampai pintu rumahku, kamu akan melihatku terbujur kaku.” Ucap Thifa dan dia langsung bangkit, lalu duduk dihadapanku dengan tatapan tajamnya.

CLAPP, CLAPP. DUARR, DUARR.

Suara petir yang meggelegar seolah meng aminkan apa yang baru saja diucapkan oleh Thifa.

“THIFAAA. JAGA UCAPANMU.!!!” Ucapku dengan emosinya dan aku juga langsung duduk, dengan jari telunjukku menunjuk wajahnya.

Thifa langsung memalingkan wajahnya, setelah itu dia bangkit dan memunguti satu persatu pakaiannya.

“Mau kemana kamu.?” Tanyaku dan aku langsung berdiri ketika dia keluar kamarku.

Aku langsung berlari menuju pintu kamarku dan dia kembali sambil membawa gamis yang dilepaskan didekat pintu rumahku.

“Thif, kita belum selesai membahas masalah ini.” Ucapku dan dia tidak menghiraukan aku. Dia berjalan ke arah kamar mandi yang ada didalam kamarku lalu dia menutup pintunya dengan cukup keras.

BRAKKKK

“COK.!!!” Makiku sambil memegang kepalaku, lalu aku menggaruknya dengan keras.

Bajingan. Kenapa aku harus dipertemukan dengan wanita yang keras kepala seperti dia dan kenapa aku harus jatuh cinta kepadanya.?

Apa salah kalau aku ingin bertanggung jawab dan aku ingin menikahinya.? Aku tau restu itu sangat sulit aku dapatkan, tapi bukannya tidak mungkin kan.? Tidak ada permasalahan yang tidak ada jalan keluarnya, ketika diri kita masih diberi nyawa oleh Sang Pencipta. Tidak ada dosa yang tidak diampuni, kalau kita bersungguh – sungguh bertobat dan tidak akan mengulanginya lagi.

Terus apa yang harus ditakutkan.?

Kemarahan dari orang tua.? Ya, pasti kita akan mendapatkannya dan tidak mungkin kita harus menghindarinya.

Malu dan dianggap aib didalam keluarga.? Itu pasti, tapi apakah malu dan aib itu hanya akan ditelan mentah – mentah.? Enggak dong. Terus kalau kita bertanggung jawab, apakah aib dan malu itu tidak sedikit terobati.? Terus maunya apa.? Hanya diam saja dan membiarkan semuanya mengalir, lalu ketika suatu saat permasalahan ini terkuak, masalah ini akan meledak dan akan membinasahkan banyak orang. Bajingan.

Pikiranku benar – benar dikuasi oleh emosi dan ini adalah masalah terbesar yang pernah aku hadapi. Masalah yang melibatkan nyawa banyak orang dan aku harus menyelesaikan, tanpa harus kehilangan satu nyawa pun dari orang – orang yang terlibat.

Tapi apa bisa aku menyelesaikannya, kalau pikiranku kacau seperti ini.?

Hiuuffftt, huuuuu.

Aku kenakan satu persatu pakaianku, lalu aku duduk dikasur dan menunggu Thifa keluar dari kamar mandi. Aku harus bisa menenangkan diri, karena hanya dengan ketenangan, aku bisa mengobrol dengan Thifa. Sifat keras kepalanya itu tidak bisa dihadapi dengan keras kepala juga, apalagi ditambah dengan emosi.

Krekk.

Pintu kamar mandi terbuka dan Thifa keluar dengan berpakaian yang sudah lengkap. Thifa berjalan ke arah pintu kamarku, tanpa melihat ke arahku dan tanpa bersuara.

Akupun langsung berdiri dan aku langsung berjalan cepat menuju pintu kamarku, lalu aku berdiri dan menghalangi jalannya.

“Mau kemana.?” Tanyaku dan Thifa hanya menunduk, tanpa menjawab pertanyaanku.

Hiuuffftt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Maaf sayang, aku tadi terbawa emosi.” Ucapku dengan suara yang aku buat selembut mungkin.

Thifa mengangkat wajahnya dan dia melihat ke arahku dengan tatapan mata yang kosong.

“Aku mau balik kekosan.” Ucapnya dengan suara yang bergetar.

“Diluar masih hujan.” Ucapku dan suaraku tetap aku lembutkan.

“Aku mau balik kekosan.” Ucap Thifa dan ucapannya seperti tidak bisa dibantah lagi.

“Oke. Tapi aku antar.” Ucapku dan kali ini aku mengatakannya dengan tegas.

Thifa tidak menyahut ucapanku dan dia langsung memalingkan wajahnya. Akupun langsung membalikkan tubuhku, lalu aku keluar kamarku. Aku mengambil kunci mobilku yang tergantung didekat pintu luar kamarku, setelah itu aku berjalan ke arah pintu rumahku dan membukanya. Thifa mengikuti dibelakangku dan dia tetap diam.

Hujan masih turun dengan derasnya dan aku langsung berjalan ke arah mobilku, sambil menekan remote untuk membuka kunci pintu mobilku.

Tin, tin.

Klek.

Aku buka pintu bagian depan sebelah kiri dan Thifa yang ada dibelakangku langsung naik kedalam mobil. Aku juga masuk kedalam mobil dan setelah mesin menyala, aku menjalankan mobil pelan, menembus hujan yang sangat deras ini.

Tidak ada suara dari kami berdua dan kami sama – sama melamun dengan pikiran masing – masing. Pandanganku lurus kedepan, sementara Thifa menunduk dan kedua tangannya saling menggenggam dengan erat.

Mobil berjalan dengan lambat dan aku sengaja melakukan itu, karena aku ragu mengantarkan Thifa kekosannya dengan kondisinya yang seperti ini. Aku takut dia akan berbuat macam – macam dan tidak ada yang mengetahuinya. Tapi kalau aku tidak mengantarkannya, dia pasti akan marah dan itu akan makin memperburuk keadaan.

Jarak kosan Thifa dan rumahku tidak terlalu jauh. Mungkin hanya sekitar 20 menit perjalanannya. Aku sudah pernah kesana sekali, waktu orientasi minggu kemarin.

Dan tidak terasa, akhirnya mobil yang aku jalankan ini masuk kejalan yang menuju gang kosan Thifa.

“Stop disini.” Ucap Thifa yang mengejutkanku, karena gang masuk kekosannya masih beberapa meter didepan sana.

“Kenapa.?” Tanyaku sambil menepikan mobilku dan aku langsung melihat ke arah Thifa. Wajahnya tiba – tiba terlihat panik dan juga memucat.

“Abiku datang.” Ucap Thifa dan pandangannya lurus kedepan, ke arah mobil yang terparkir didepan gang masuk kosan Thifa.

“Aku antar. Aku mau menemui Abimu.” Ucapku dan tangan kiriku langsung memegang kedua tangan Thifa yang saling bertumpu.

“Jangan Lingga, jangan. Aku mohon.” Ucap Thifa sambil melihat ke arahku dan wajahnya sekarang terlihat memelas. Kedua tangannya yang saling menggenggam dilepaskannya, lalu dia menggenggam tangan kiriku dengan kedua tangannya. Tangan kanannya ditelapak tangan kiriku, sementara tangan kirinya dipunggung tangan kiriku.

“Tenang sayang. Aku tidak akan berbicara apapun tentang masalah kita. Aku hanya ingin berkenalan dengan beliau.” Ucapku sambil menyentuh pipinya dengan jari telunjuk kananku yang aku tekuk.

“Jangan sayang. Biarkan aku dulu berbicara dengan kedua orang tuaku dan aku ingin meyakinkan beliau berdua. Nanti setelah itu, aku akan menghubungi kamu.” Ucapnya, lalu dia mengangkat tangan kiriku dan mengecup punggung tangan kiriku itu.

Cuupppp.

“Apa sayang yakin.?” Tanyaku dan sekarang telapak tangan kananku membelai wajah sebelah kirinya.

Aku sebenarnya ingin turun, tapi selain karena Thifa melarangku, aku sekarang hanya menggunkan kaos dan celana kolor. Tidak mungkin aku bertemu dengan kedua orang tua Thifa dengan kondisi yang seperti ini, karena kesannya sudah pasti sangat buruk sekali.

“Aku yakin dan cintamu yang membuatku bisa seyakin ini.” Ucap Thifa, lalu dia mengecup punggung tangan kiriku lagi.

Cuuppp.

“Aku sayang kamu yang.” Ucapku sambil mendrkatkan wajahku ke arahnya, lalu.

Cuuuppp.

Aku mengecup bibirnya dengan lembut.

“Aku juga sayang kamu, Lingga Kukuh Nugraha.” Ucap Thifa, lalu dia mengecup bibirku juga.

Cuuuppp.

Kecupan yang sangat singkat, tapi disertai cinta yang sangat mendalam.

Thifa langsung melepaskan genggamannya ditangan kiriku, lalu dia meraih tangan kananku, setelah itu dia mengecup punggung tangan kananku dengan bibirnya yang mungil itu.

Cuuuppp.

“Aku pamit ya.” Ucapnya dan wajahnya yang tadi terlihat panik, sekarang terlihat berseri dan sangat cantik sekali.

Thifa melepaskan pegangannya ditangan kananku, lalu dia membuka pintu mobil. Thifa turun dari mobil dan dia melindungi kepalanya dari hujan menggunakan tas yang biasa dipakainya kuliah.

Brakk.

Thifa menutup pintu mobilku, lalu dia berjalan ke arah gang kosannya. Hujan yang deras membuatnya basah kuyub, lalu ketika sampai didepan gangnya, Thifa melihat ke arahku dan dia tersenyum dengan manisnya.

Aku hanya bisa memandang wajah kekasihku itu dan dia langsung masuk kedalam kosannya.

Hiuufft, huuuuu.

Aku harus menghubungi kedua orang tuaku dan meminta beliau untuk segera ke Kota Pendidikan. Apapun hasil yang dibicarakan Thifa dan kedua orang tuanya, aku akan meminta kedua orang tuaku untuk melamar Thifa. Apapun itu.

Kringg, kringg, kringg.

Tiba – tiba HPku berbunyi dan aku langsung melihat ke arah Hpku yang berada didekat perseneling mobil. Terlihat ada panggilan video dan rupanya Ibuku yang menelponku.

Hiufftt, huuuu.

Tumben sekali Ibu menelpon menggunakan panggilan video. Biasanya Beliau hanya menelpon biasa dan kadang juga hanya berkirim pesan. Kelihatannya Beliau mempunyai firasat tentang diriku dan langsung menelponku.

Akupun langsung meraih Hpku dan aku memegangnya dengan kedua tangan, yang bertumpu pada setir mobilku yang mesinnya masih menyala dan berhenti dipinggir jalan.

Srettt.

Aku menggesek tombol panggilan jawab keatas dan wajah Ibuku yang manis langsung terlihat dilayar HPku.

“Ade. Kenapa wajahmu Nak.?” Ucap Ibuku yang terkejut ketika melihat wajahku dilayar Hpnya.

Cokk. Aku baru sadar kalau wajahku babak belur dan Ibuku pasti akan mengomel setelah ini.

“Ade baru jatuh Bu.” Jawabku berbohong.

“Jangan bohong ya De. Ade pasti habis berkelahikan.?” Tanya Ibuku dengan mata yang sedikit melotot.

Hehehe.” Akupun hanya tersenyum dan tidak mengiyakan ucapan Ibuku.

“Ya Tuhan. Kenapa De.? Ade sudah lama gak berkelahi loh. Kenapa sekarang berkelahi lagi.?” Tanya Ibuku dengan mata yang berkaca – kaca.

Aku tidak menjawab pertanyaan Ibu dan aku pun tidak menyahutinya. Aku tarik nafasku dalam – dalam dan mengeluarkannya perlahan. Akupun menyiapkan kata – kata, untuk meminta Beliau balik ke Kota Pendidikan dan melamarkan Thifa untuk diriku.

Hiuufftt, huuuu.

“Bu, Ade kangen.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan kedua mata yang berkaca – kaca.

Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan, karena lidahku tiba – tiba kaku dan mulutku terkunci rapat. Kata – kata yang aku persiapkan agar kedua orang tuaku melamarkan Thifa, tidak bisa terucap. Ini gak semudah seperti apa yang aku pikirkan tadi dan justru sekarang aku sangat ketakutan sekali.

Air matakupun perlahan menetes dengan bangsatnya, ketika aku melihat wajah sayu Ibuku.

Aku anak bodoh dan aku pasti akan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku anak tunggal dan harusnya aku membanggakan kedua orang tuaku, dengan kuliah yang baik, setelah itu mendapatkan pekerjaan, lalu menikah.

Tapi apa.? Sekarang justru aku sudah meniduri anak orang dan aku harus menikahinya, sebelum aku bisa membanggakan kedua orang tuaku.

Anak macam apa aku ini.? Bajingan.

“Ayah dan Ibu akan berangkat ke Kota Pendidikan sore ini nak.” Ucap Ibuku dan air mata beliapun langsung menetes.

Akupun hanya bisa memejamkan kedua mataku dengan kuat dan air mataku terus mengalir.

“Maafkan Ayah dan Ibu yang selalu tidak ada disisi Ade, ketika Ade ada masalah.” Ucap Ibuku dan kata – kata Ibu itu seolah menusuk jantungku dengan kuatnya. Aku hanya bisa menunduk dan aku menangis sejadi – jadinya.

“Hiks, hiks, hiks. Sabar ya sayang.” Ucap Ibuku lagi dan aku yang menunduk, hanya bisa mengangguk pelan.

“Tenangkan dirimu Nak. Saat ini Ibu hanya bisa memelukmu dari jauh. Hiks, hiks, hiks. Nanti malam ketika sudah sampai rumah, Ibu akan memelukmu dan tidak akan melepaskannya lagi. Hiks, hiks, hiks. Ibu tidak mau lagi jauh darimu Nak. Ibu akan menetap di Kota Pendidikan bersamamu sayang. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ibu yang terus menangis dan aku yang masih menunduk, kembali menganggukan kepalaku pelan.

Aku tidak berani mengangkat wajahku yang berdosa ini dan aku hanya bisa terus menangis.







#Cuukkk. Aku sudah sangat mengecewakan orang tuaku, setelah aku merengkuh kenikmatan sesa’at bersama Thifa. Ini adalah kenikmatan yang paling menyedihkan. Bajingan.

Nb. Terimakasih untuk Om - Om yang sudah membagi sebagian rejekinya untuk saya.. :beer:
 
Selamat siang Om dan Tante..

Updet tipis - tipis dihari - hari menuju pengujung tahun.
Semoga semua diberi kesehatan dan kemudahan disegala hal..
Mohon maaf kalau banyak typo dan jangan lupa saran serta masukannya..

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan..
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd