Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

Bimabet


BAGIAN 7
Awan Gelap



Semalaman ini aku kurang tidur, karena pikiranku sangat kacau sekali. Thifa belum ada menghubungi aku mulai malam tadi sampai detik ini dan telponnya pun tidak aktif. Aku tidak tau kabarnya dan aku sangat khawatir sekali, apa lagi kemarin orang tuanya datang. Apakah Thifa sudah jujur dengan orang tuanya tentang hubungan kami atau dia justru menutupinya.? Apakah kedatangan orang tuanya yang dadakan itu hanya kangen dengan Thifa atau malah memaksa Thifa untuk segera menikah dengan laki – laki yang sudah dijodohkan dengan dia.? Terus bagaimana dengan Thifa kalau dia dipaksa untuk menikah dalam waktu dekat.?

Arrggghhh. Mau gila rasanya aku, karena cintaku kepada wanita polos satu itu yang begitu besarnya.

Selain itu, kedua orang tuaku yang rencananya tadi malam berangkat kekota ini, harus ditunda sampai hari ini, karena jadwal penerbangan sangat padat sekali. Itupun aku tidak tau jam berapa orang tuaku akan datang, karena sampai semalam Ibu menghubungi aku, beliau masih belum mendapatkan tiket.

Semua permasalahanku yang belum terpecahkan, membuat mata ini sulit terpejam. Ya mungkin hanya sekitar beberapa menit aku tertidur, terus aku bangun lagi dan butuh satu atau dua jam agar mata ini bisa terpejam lagi. Tapi ya itu, paling lama sepuluh menit saja mata ini terpejam, lalu terbuka lagi dan begitu seterusnya.

Semalam Darel, Togok dan juga Anto datang kerumahku lagi dan kami mengobrol sampai jam sebelas malam. Mereka bertiga mendesakku untuk bercerita tentang hubunganku dengan Thifa, karena mereka curiga kami berduaan sampai sore hari. Akupun hanya bercerita garis besarnya saja, kalau aku sudah jadian dengan Thifa dan juga tentang Thifa yang sudah dijodohkan. Hanya itu saja yang aku ceritakan dan tidak mungkin juga aku bercerita kalau aku sudah bersetubuh dengan Thifa.

Sekarang sudah jam 06.00 dan aku sudah mandi, berpakaian rapi dan siap untuk pergi kekampus. Ini sih terlalu pagi, karena biasanya aku bangun jam 06.45, terus aku mandi lalu aku berangkat kekampus.

Aku sudah mandi sejak jam 04.30 tadi dan aku bingung sendiri harus berbuat apa setelah mandi tadi sampai sekarang ini. Mau tidur lagi tapi gak ngantuk, mau sarapan tapi gak lapar, mau keluar tapi gak ada tujuan. Bajingan.

Sebenarnya aku mau kekosan Thifa, tapi tidak mungkin juga terlalu sepagi ini. Mungkin jam tujuh kurang nanti, aku akan kekosan Thifa untuk menjemputnya kekampus.

Waktu berjalan lambat sekali dan itu membuat pikiranku semakin kacau. Lalu tiba – tiba.

Tit, tit, tit.

Bunyi pesan yang masuk di HPku dan aku langsung mengambil Hpku dimeja. Aku berharap ini adalah pesan dari Thifa, karena aku sangat khawatir dengannya.

Ibu

Ade, Ibu sudah dipesawat. Gak usah dijemput ya. Ayah mau singgah sebentar di Ibukota propinsi, menemui orang pusat. Kalau sudah selesai, Ayah dan Ibu langsung ke Kota Pendidikan. Semangat kuliahnya ya sayang. Love you.


Akupun langsung menelpon Ibuku dan Hpnya sudah tidak aktif lagi. Pasti pesawat yang membawa Ibu sudah take off dan Hpnya pasti sudah dimatikan.

Aku lalu mencoba menghubungi Thifa lagi dan Hpnya tetap saja tidak aktif. Akupun membuka media sosialku dan ada sebuah berita yang cukup menggegerkan.

News Update.

Seorang mahasiswi berinisial AAN berusia 19 tahun, ditemukan gantung diri didalam kamarnya di kabupaten sebelah. Korban ditemukan Ibunya, ketika akan melakukan ibadah subuh.


AAN.? 19 Tahun.? Kabupaten sebelah.? Kok sama seperti Thifa ya.? Ah, gak mungkinlah. Gak mungkin itu Thifa, karena sayangku sekarang lagi ada di kosan dan gak mungkin dia berbuat senekat itu. Walaupun dia putus asa dengan perjodohannya, dia masih memiliki aku sebagai teman cerita. Dia tau kalau aku mencintainya dan dia tau kalau aku siap untuk menikahinya. Jadi apa alasannya sampai bunuh diri.? Ahhh. Cuukkklah.

Tapi ngomong – ngomong, kenapa sekarang musim bunuh diri ya.? Apa sih masalah yang dihadapi oleh mereka, sampai harus mengakhiri hidupnya sendiri.? Apakah tidak ada jalan keluar yang baik dan apakah orang – orang yang bunuh diri itu tidak memiliki orang terdekat, untuk dijadikan teman bercerita.?

Setauku, orang – orang yang mengakhiri hidupnya itu tidak bisa mengeluarkan semua yang ada didalam pikirannya dan dia merasa menanggung permasalahannya seorang diri. Padahal kalau dia mau membuka diri dan mengeluarkan unek – uneknya, pasti ada orang yang disekitarnya yang mau mendengarnya dan juga memberikan masukan sedikit untuk permasalahan yang dihadapinya.

Fenomena inipun terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, tapi sudah berkali - kali dalam sebulan ini. Bukan hanya di Kabupaten sebelah, tapi juga di beberapa kota yang ada di negeri khayangan ini.

Semoga saja di Kota Pendidikan ini tidak terjadi hal – hal yang seperti itu dan kota – kota yang lain aku harap juga seperti itu.

Hiuufft, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Aku melirik ke arah jam dinding dan waktu sudah menujukan pukul 06.30. Thifa pasti sudah siap untuk kekampus dan sekarang lebih baik aku kekosannya saja.

Akupun langsung memakai tas punggungku, setelah itu aku keluar rumah dan tidak lupa aku mengunci pintu rumah. Aku menuju kekosan Thifa menggunakan motor matic beatku dengan hati yang berbunga – bunga. Ditengah ketidak ada’an kabar dari Thifa, aku mencoba berpiran positif, kalau kekasihku sudah berbicara dengan orang tuanya dan orang tuanya sudah menyetujui hubungan kami. Sekarang aku tinggal menyiapkan diriku untuk berbicara dengan kedua orang tuaku, agar menyetujui hubungan kami juga.

Walaupun aku sudah berbuat salah dan kedua orang tuaku pasti akan kecewa, aku harus tetap menikahi Thifa. Kesalahan kami sudah diluar batas dan jalan satu – satunya untuk menebus kesalahan kami, hanya dengan cara menikahkan kami berdua. Apapun resikonya akan aku tanggung dan aku akan benar – benar bertanggung jawab.

Sabar ya sayang, bahagia kita sedang aku perjuangan.

Aku melaju dengan kecepatan tinggi dan beberapa saat kemudian, aku sudah sampai di depan gang kosan Thifa. Aku mengarahkan sepeda motor masuk kedalam gang, yang lebarnya hanya cukup untuk dua motor berlalu lalang.

Akupun sudah sampai didepan kosan Thifa dan terlihat ada seorang Ibu – Ibu yang sedang menyapu diteras kosan itu. Mungkin itu Ibu kosannya dan aku langsung turun dari sepeda motorku.

“Pagi Bu.” Sapaku dengan sopannya.

“Pagi Mas, cari siapa ya.?” Tanya Ibu itu.

“Thifa ada Bu.?” Tanyaku.

“Thifa kemarin dijemput Ayah dan Ibunya.” Jawab Ibu itu.

“Ha.” Ucapku yang terkejut dan juga kecewa, karena ternyata Thifa pulang kerumahnya.

“Thifa gak balik lagi kekosan ini Mas. Kemarin barangnya sudah diangkut semua.” Ucap Ibu itu lagi dan akupun hanya diam membisu, dengan hati yang sangat sedih sekali.

Kenapa Thifa tidak mengabari aku, kalau dia akan pulang kerumahnya.? Terus kenapa semua barangnya dibawa.? Apakah dia akan pindah kos atau dia malah tidak lanjut kuliah, karena perjodohan itu.? Atau jangan – jangan, Thifa sudah jujur dengan orang tuanya kalau dia sudah tidak suci lagi dan orang tuanya marah besar kepadanya.?

Arrgghhhh. Begitu banyak pertanyaan di otakku dan aku tidak tau harus bertanya kepada siapa.? Apa aku ke rumah Thifa aja, untuk memastikan semua yang ada dikepalaku saat ini.? Tapi alamat rumahnya dimana.?

“Mas, Mas. Kok ngelamun sih.?” Panggil Ibu itu yang mengejutkanku.

“Oh maaf Bu. Ibu tau alamat rumah Thifa.?” Tanyaku.

“Duh. Ibu gak tau Mas.” Jawab Ibu itu.

“Oh, baik kalau begitu. Saya pamit ya Bu, terimakasih.” Ucapku berpamitan kepada Ibu itu.

“Iya Mas, hati – hati. Jangan banyak melamun ya.” Ucap Ibu itu.

“Iya Bu.” Jawabku lalu aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke arah motorku.

Thifa, Thifa, Thifaaa. Ada apa dengan dirimu.? Kenapa kamu menghilang seperti ini dan kamu tidak memberikan aku kabar sama sekali.? Terus sekarang aku harus cari kamu kemana.? Kamu mau buat aku gila kah.? Arggghhhh.

Bruummmmm.

Aku pacu sepeda motor matic beat ku menuju ke arah kampus. Sepertinya pencarian alamat Thifa, bisa aku mulai di teman – teman satu kelasku, teman satu angkatan, lalu satu jurusan, setelah itu mungkin kejurusan lain. Pokoknya aku harus segera bertemu dengan Thifa, karena aku takut terjadi apa – apa dengannya. Dia itu keras kepala tapi hatinya mudah rapuh. Dia bisa nekat melakukan apapun itu, tanpa berpikir panjang. Terus AAN berusia 19 tahun yang gantung diri dikabupaten sebelah itu Thifa.? Arrrghhhh. No, no, no. Bukan, itu bukan Thifa. Aku yakin itu bukan Thifa.

Thifa, Thifa, Thifaaa. Arrgggghhh.

Sekarang aku sudah sampai di parkiran kampus dan suasana pagi ini sudah cukup ramai.

“Woi, wong gendeng.” (Woi, orang gila.) Panggil Darel dari arah belakangku dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Apa.?” Jawabku dan hari ini aku lagi malas bercanda.

“Kamu itu kenapa.? Kok tegang gitu wajahmu.?” Tanya Darel yang berjalan mendekat ke arahku.

“Gak apa – apa. Aku ke gedung kuliah dulu ya.” Ucapku dan aku langsung berjalan meninggalkan Darel.

“Woi cok. Kamu itu kalau ada apa – apa cerita, jangan dipendam sendiri aja cok. Nanti diam – diam kamu malah bunuh diri lagi.” Ucap Darel yang mengejarku dan aku langsung menghentikan langkahku. Aku tersadar dengan ucapan Darel dan aku langsung menoleh ke arahnya.

Hiuuffftt, huuuu.

“Thifa kemarin sore dijemput orang tuanya dan sampai pagi ini gak ada kabarnya sama sekali.” Ucapku mulai bercerita dan langsung pada intinya.

“Kamu kok bingung sih.? Dia kan dijemput orang tuanya, bukan dijemput laki – laki lain.” Ucap Darel dengan entengnya.

“Kamu kan tau kalau Thifa sudah jodohin orang tuanya.” Ucapku dan Darel langsung terdiam.

“Telponnya sampai sekarang gak aktif, aku kekosannya, barangnya sudah dibawa semua. Aku takut kalau dia menikah dalam waktu dekat ini dan gak kembali lagi kekampus. Atau dia balik lagi kekampus, tapi sudah jadi istri orang.” Ucapku lagi dan Darel langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Terus rencanamu bagaimana.?” Tanya Darel.

“Aku mau cari alamat rumahnya dan aku mau temui kedua orang tuanya.” Jawabku.

“Mau cari dimana.?” Tanya Darel lagi.

“Aku mau tanya ke teman – teman kelasku, siapa tau ada yang satu kota dengan Thifa.” Jawabku.

“Kenapa gak kegedung rektorat aja.? Kamu keruang administrasi, disana pasti ada data semua mahasiswa kampus teknik kuru.” Ucap Darel dan kali ini aku setuju dengan usulan orang gila ini.

“Betul juga. Kalau gitu aku kesana sekarang.” Ucapku dan ketika aku akan melangkah, Darel langsung memegang pundakku.

“Belum buka cok. Paling jam 8 atau jam 9.” Ucap Darel dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Kita kekantin aja. Kamu belum sarapan kan.?” Tanya Darel sambil merangkul pundakku, lalu mengajakku jalan ke arah kantin.

“Kamu kok kayak mikul beban yang berat gitu sih.?” Tanya Darel dan baru kali ini kami berbicara seserius ini.

“Gak tau. Perasaanku lagi gak enak hari ini.” Jawabku dan memang itu yang sedang kurasakan saat ini. Bukan karena kurang tidur atau belum sarapan, tapi seperti ada sesuatu yang membuat hati ini resah dan gelisah. Apakah ini karena tidak ada kabar dari Thifa atau ada hal lain, aku juga tidak tau.

“Sudahlah. Semoga ada kabar baik hari ini.” Ucap Darel dan kami berdua sudah sampai di kantin.

Darel lalu memesan makanan dan juga kopi, sedangkan aku hanya memesan teh panas. Setelah pesanan kami sudah dibayar dan sudah siap, aku dan Darel langsung menuju bagian luar kantin.

“Woi cok. Tumben pagi – pagi sudah dikantin.?” Ucap Togok yang baru datang bersama Anto.

“Hem.” Jawabku singkat, lalu aku menyeruput tah panasku dan mereka berdua bingung melihat sikapku.

“Kamu pesan sarapan dulu sana.” Ucap Darel dan kedua temanku itu langsung menuju kekantin.

Beberapa saat kemudian, setelah ketiga temanku ini menyelesaikan sarapannya dan mereka sedang asyik dengan rokoknya masing – masing, Dharma datang dengan tergesa – gesa dan wajah yang terlihat tegang.

“Lingga.” Ucap Dharma ketika dia sudah berdiri di dekatku dan aku hanya menatapnya saja. Wajahnya terlihat semakin tegang dan dia terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tapi dia ragu dan juga agak takut, karena melihat wajahku yang masih babak belur ini.

“Kamu kenapa Dhar.?” Tanya Togok lalu dia menghisap rokoknya.

“Eh, anu.” Ucapnya terpotong sambil melihat ke arah Togok, lalu melihat ke arahku lagi.

“Kenapa Dhar.?” Giliran aku yang bertanya dan nada bicaraku aku buat setenang mungkin, walaupun pikiranku sedang kacau.

“Thifa.” Ucapnya terpotong dan entah kenapa ketika dia menyebut nama Thifa, tubuhku langsung merinding dan dadaku berdetak dengan cepat.

“Kenapa Thifa Dhar.?” Tanya Anto dan dia seperti memahami ada sesuatu dengan kekasihku, karena melihat wajah Dharma yang tegang dan nada bicara yang seperti menahan kesedihan.

“Thifa ditemukan gantung diri dikamarnya, subuh tadi oleh Ibunya.” Jawab Dharma dengan mata yang berkaca – kaca.

“APA.?” Teriak Anto, Darel dan juga Togok. Sementara aku, aku hanya terdiam dan aku tetap menatap ke arah mata Dharma yang terlihat tidak berbohong atau sedang barcanda.

Tidak ada kata makian yang seolah tidak percaya dengan kabar yang baru disampaikan olehnya dan tidak ada air mata yang menetes dipipi.

Entah ada apa dengan diriku ini dan entah kenapa aku tidak meledak – ledak, mendengar kabar yang pastinya sangat buruk sekali bagiku.

Diam, diam dan hanya diam.

Athifa Ardillah Nasha. Apa benar kabar yang aku terima ini.? Apa benar kamu sudah mengakhiri hidupmu.? Kenapa Neng.? Kenapa harus seperti ini.? Kenapa kamu harus pergi, padahal aku sudah siap bertanggung jawab dan kamu tau itu.? Kalaupun kamu tidak setuju dengan perjodohan itu, harusnya kita hadapi ini bersama – sama, bukannya harus kamu sendiri yang menanggung beban berat ini.

Aku sayang kamu Neng, aku sangat sayang sekali sama kamu. Akupun tidak meragukan cintamu, walaupun seandainya kamu tidak menyerahkan kehormatanmu kepadaku. Tapi kenapa kamu harus mengambil jalan pintas dan itu sangat tidak dibenarkan sayang. Kenapa.? Kenapa.? Kenapa.?

“Aku pamit ya.” Kata - kata terakhir yang kamu ucapkan kepadaku dan diakhiri dengan senyuman manismu. Aku tidak menyangka kalau itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar langsung dari bibir mungilmu dan kata – kata itu masih terngiang jelas ditelingaku. Aku tidak mungkin melupakannya, karena kata – kata itu membuat hatiku perlahan ikut mati bersamamu.

“Kamu main – main ya.?” Tanya Darel ke Dharma.

“Untuk apa aku main – main dengan kabar yang seperti ini.? Tadi aku dikasih kabar sama dosen wali kita dan berita ini juga sudah tersebar didunia maya.” Jawab Dharma dan semua temanku ini langsung melihat ke arahku yang hanya diam saja.

“Teman – teman sekelas rencananya mau kerumah Thifa pagi ini.” Ucap Dharma lagi.

“Aku ikut, aku ikut.” Ucap Togok dan Anto.

“Aku juga ikut, bolehkan.” Ucap Darel.

“Ya sudah, kalian siap – siap. Aku mau ke ruangan dulu. Aku mau koordinasi lagi sama teman – teman.” Ucap Dharma dan dia hanya melihatku tanpa menawari aku ikut atau tidak.

“Iya kami disini aja. Nanti kalau sudah mau berangkat, kabari aja.” Ucap Togok.

“Terus kalian mau naik apa.?” Tanya Dharma.

“Naik mobilku.” Jawab Darel.

“Oke. Tapi Anto atau Togok bisa ikut aku ngga.?” Tanya Dharma lagi.

“Kenapa.?” Tanya Togok.

“Bantu aku koordinasi sama teman – teman.” Jawab Dharma.

“Aku aja kalau gitu.” Ucap Togok lalu dia berdiri dan berjalan duluan meninggalkan Dharma.

“Oke, oke. Kalau gitu aku tinggal dulu ya.” Ucap Dharma, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah gedung sipil.

“Sabar ya cok.” Ucap Darel sambil meremas pundakku pelan dan aku tetap diam membisu. Air mataku yang sudah berada dikelopak mata, tidak bisa terturun setetespun. Hatiku sangat sedih dan seperti disayat – sayat mendengar kabar tentang Thifa. Kesedihankupun tidak sanggup aku ungkapkan dengan kata – kata dan air mataku juga tidak bisa mewakilkannya.

Kesedihan ini datangnya terlalu cepat, secepat kisah perjalanan percintaan kami yang harus terhenti disatu kaki yang baru melangkah. Sakit, pedih dan sangat perih,

“Kita berangkat duluan aja yo.” Ucap Anto.

“Kamu tau rumahnya.?” Tanya Darel.

“Gak tau. Tapi dijalan nanti kan aku bisa menghubungi teman – teman yang lain.” Jawab Anto.

“Oke. Kita duluan aja. Dari pada disini kita gak tau harus ngapain. Mending jalan, sekalian cari angin.” Ucap Darel dan diapun langsung berdiri bersama Anto.

“Ayo Ngga.” Ucap Darel dan aku tetap diam dengan tatapan kosong.

“Lingga.” Ucap Darel lagi sambil menepuk pundakku.

“Ha.” Ucapku yang terkejut.

“Ayo.” Ucap Darel lagi dan aku langsung berdiri.

Darel dan Anto melangkahkan kaki bersama, sementara aku diam dan tatapan mataku kembali kosong.

“Lingga.” Panggil Anto dengan nada agak meninggi.

“Ha.” Jawabku dan kedua temanku itu langsung menunduk sejenak, setelah itu menatapku dengan wajah yang terlihat sangat sedih.

“Ayolah Lingga.” Ucap Darel dengan suara yang bergetar.

“Kemana.?” Tanyaku dan Anto langsung memalingkan wajahnya. Terlihat jari tengah dan jempol kanannya menyapu kelopak matanya yang mulai berair.

“Kita kerumah Almarhum Thifa.” Jawab Darel dan tiba – tiba dadaku terasa sesak.

Kata almarhum yang diucapkan Darel itu seperti pedang yang menusuk dadaku sampai menembus punggungku. Sakit dan sangat sakit sekali.

CLAPP, CLAPP. DUARR, DUARR.

Tiba – tiba terlihat cahaya kilatan petir, lalu di ikuti suara yang menggelagar mengguncang semesta. Gumpalan awan hitam pekat dari arah pegunungan sana, menggulung dan berjalan ke arah kota ini.

Gumpalan awan hitam itu seolah menuju ke arahku dan menyelimuti hatiku, sedangkan kilatan petirnya seolah menghantam tepat diubun – ubunku.

Ya Tuhan. Sesakit inikah ditinggal pergi selamanya oleh orang yang kita sayangi.? Apakah aku bisa kuat atau aku akan mengikuti Thifa dengan cara mengakhiri hidupku.?

Ya Tuhan. Bagaimanapun juga aku ikut bersalah dengan apa yang sudah terjadi dengan Thifa. Kalau saja kami berdua tidak saling mengenal dan melakukan hubungan terlarang itu, mungkin saja Thifa masih suci dan tidak menutup kemungkinan dia mau menerima perjodohan itu walaupun terpaksa.

Aku tau pasti ada rasa penyesalan di diri Thifa karena sudah menyerahkan kehormatannya kepadaku, walaupun dia dan aku saling mencintai. Apa yang sudah kami lakukan kemarin itu juga pasti mempengaruhi kejiwaannya dan dia pasti akan merasa berdosa jika menerima perjodohan itu, dalam kondisi yang sudah tidak suci lagi.

Atas nama cinta, diapun harus mengakhiri hidupnya. Dan atas nama cinta, akhirnya luka itupun ada.

Hiuffttt, huuuu.

Aku tundukkan kepalaku dan aku pejamkan kedua mataku sejenak, untuk menenangkan hatiku yang sudah porak poranda ini.

Hiuffttt, huuuu.

Aku buka kedua mataku lagi dan aku tegakkan kepalaku perlahan.

Dihadapanku saat ini berdiri seorang wanita bernama Mei Lani dan Darel sedang membisikinya sesuatu. Darel langsung menjauhkan wajahnya yang mendekat di telinga Lani dan mata Lani langsung berkaca – kaca melihat ke arahku.


Mei Lani

Akupun langsung tersenyum kepadanya dan Lani mendekat ke arahku lalu memelukku. Wajah sampingnya bersandar dipundak kiriku dan kedua telapak tangannya mengelus punggungku pelan. Pelukannya sangat erat, sampai detakan jantungnya terasa didadaku.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Bunyi detakan jantungku dan detak jantung Lani yang seirama, tapi enah kenapa aku tidak merasakan sesuatu yang sangat luar biasa seperti kemarin malam, waktu Lani memelukku dari belakang.

Pelukannya terasa biasa saja dan aku tidak membalas pelukan Lani ini. Entah ada apa didalam diriku ini, padahal Lani sudah memiliki tempat tersendiri dihatiku. Tapi kenapa tidak rasa dalam dekapannya ini.? Apakah seluruh hatiku sudah tertutup awan hitam pekat dan tidak bisa melihat atau merasakan cinta lagi.?

“Tersenyum diatas luka adalah patah hati yang paling terdalam.” Ucap Thifa pelan dan dengan suara yang bergetar, lalu.

Tes, tes, tes, tes.

Butiran air hujan perlahan mulai turun dari langit dan kedua tangankupun perlahan melingkar dibelakang leher Lani, lalu aku mendekapnya dengan erat.

“Huuuuuuu.” Aku hembuskan nafasku panjangku dan perlahan tubuhku terasa hangat oleh pelukan Lani.

Mei Lani. Entah siapa wanita yang ada dipelukanku ini dan entah berasal dari mana dirinya. Aku tidak pernah mengenal atau bahkan bertemu dengannya, sebelum aku kuliah dikampus teknik kuru.

Aku mencintainya semenjak pandangan pertama dan entah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak. Tapi yang jelas, beberapa kali pertemuanku dengannya setelah perkenalan kami, dia seolah menjadi peri pelindungku dan juga peri yang menenangkan diriku dikala semesta tidak perpihak kepadaku.

“Kita berangkat yo. Hujannya mau deras ini.” Ucap Darel yang mengejutkanku dan Lani, sehingga pelukan kami berdua terlepas.

“Mba Lani ikut kan.?” Tanya Darel ke Lani.

“Eh, anu.” Ucap Lani yang terlihat ragu.

“Ayolah.” Ucapku dan entah kenapa tangan kiriku langsung memegang telapak tangan kanan Lani, lalu aku menggenggamnya dengan erat, setelah itu aku mengajaknya berjalan ke arah parkiran.

Lani sempat melihatku sejenak dan dia tidak menolak tarikan tanganku ini.

Rintik hujan ini mulai deras ketika kami sudah didekat mobil dan kami berempat langsung masuk kedalam mobil. Darel duduk didepan memegang setir, Anto disebelah kiri Darel, sedangkan aku dan Lani duduk dibelakang.

Brummmm.

Mobil pun mulai berjalan meninggalkan kampus, disertai hujan yang turun dengan derasnya.

Kepala kami semua basah, karena lumayan lama juga kami terkena gerimis sebelum masuk mobil. Lani, Anto dan Darel membersihkan wajah mereka yang juga basah, sementara aku hanya terdiam dan pikiranku masih melayang dengan apa yang sudah terjadi pagi ini.

Hiufftt, huuuu.

Perlahan aku merasakan sentuhan lembut dikeningku dan itu Lani yang membersihkan wajahku menggunakan tisu. Akupun langsung menoleh ke arah Lani dan dia langsung membersihkan seluruh wajahku yang basah ini.

“Ada kecelakaan pesawat loh.” Ucap Anto dan tiba – tiba jantungku terasa berhenti sesaat.

“Di, di, dimana.?” Tanyaku terbata dan aku sangat ketakutan sekali.

Lani menghentikan usapannya diwajahku, karena aku menoleh ke arah Anto dan mungkin dia melihat perubahan diwajahku yang terlihat tegang.

“Dilaut timur. Pesawat dari pulau timur tujuan ibukota propinsi ini yang baru terbang 20 menit, jatuh dan hancur berkeping – keping setelah menghantam laut.” Ucap Anto dan nafasku langsung memburu.

“Hu, hu, hu, hu.”

“Ke, ke, kenapa Ngga.?” Tanya Lani dan Anto langsung menoleh ke arahku, sementara Darel melihat wajahku dari spion tengah mobil.

“A, A, Ayah dan I, I, Ibuku, sedang da, da, dalam perjalanan kepropinsi ini. Hu, hu, hu.” Ucapku terbata dan kedua mataku langsung berkaca – kaca.

CHIITTTT.

Darel pun langsung menghentikan mobilnya lalu menepi dipinggir jalan.

“Kamu serius.?” Tanya Darel dan semalam aku memang tidak ada membahas kedatangan kedua orang tuaku dengannya.

“Tenang Ngga, tenang. Semoga aja itu bukan pesawat yang ditumpangi kedua orang tuamu.” Ucap Anto yang mencoba menenangkan diriku.

Akupun langsung mengambil Hpku dikantong, lalu mencoba menghubungi nomor Ibu, tapi tidak aktif. Aku juga menelpon Ayah dan Hp Ayah juga tidak aktiff. Aku lihat jam yang ada diHPku dan waktu menunjukan pukul 09.05. Menurut perkiraanku, biasanya kalau penerbangan pagi, pesawat mendarat sekitar pukul 12 siang.

Akupun mencoba berpikiran positif, semoga saja Ibu dan Ayah masih didalam penerbangan yang menuju ke pulau ini dengan keadaan yang sehat dan pesawatnya tidak ada kendala.

Tapi semakin aku mencoba berpikiran positif, ketakutan ku semakin menjadi dan pikiranku semakin kacau.

“Ngga, kita harus kebandara sekarang. Kita cek dulu kesana.” Ucap Darel dan pikiranku yang sudah sangat sedih dengan kematian Thifa, sekarang semakin tidak karuan dan aku sudah tidak bisa berpikir lagi.

“Terus kita gak ketempat, siapa itu namanya.?” Ucap Lani sambil menoleh ke arah Anto.

“Thifa.” Jawab Anto.

“Iya Thifa. Kita gak ketempat Thifa.?” Tanya Lani lagi.

“Kita bisa kesana setelah dari bandara. Yang penting sekarang itu, kita cari dulu kabar orang tua Lingga.” Ucap Darel lalu dia melihat ke arah depan, setelah itu dia menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Ayah, Ibu. Apa Ayah dan Ibu ada dipesawat itu.? Kalau memang ada dipesawat itu, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, karena Ayah dan Ibu berangkat kemari karena melihatku bersedih.

Tolong Tuhan, tolong aku. Apa tidak cukup Kau buat aku bersedih dengan kehilangan kekasihku.? Apa Kau juga ingin mengambil kedua orang tuaku.? Kenapa Tuhan, kenapa.? Apa kesalahan terbesarku, sampai aku harus menanggung kesedihan yang sangat luar biasa ini.? Apa karena aku sudah melakukan hubungan yang Kau larang dan Kau murka kepadaku.?

Ayolah Tuhan, jangan hukum aku dengan cara seperti ini. Kalau aku yang bersalah, ambil saja nyawaku dan jangan kedua orang tuaku yang tidak tau apa – apa. Aku tidak sanggup Tuhan, aku tidak sanggup. Jangankan kehilangan itu nyata, membayangkan saja aku tidak sanggup Tuhan. Aku tidak sanggup.

Mobil melaju kencang didalam Tol dan cuaca di Ibukota propinsi sana terlihat sangat cerah, berbeda dengan ke arah kabupaten sebelah yang tertutup awan hitam.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Jatungku berdetak dengan cepat dan perlahan aku merasakan belaian lembut yang mengusap kepalaku. Lani, ya, itu telapak tangan Mei Lani. Lagi dan lagi peri pelindungku ini menenangkan aku dan dia selalu ada disituasi yang sangat genting dihidupku, setelah aku mengenalnya.

“To.” Panggilku ke Anto dan dia langsung menoleh ke arahku, dengan wajah yang terlihat tegang.

“Bagi rokokmu.” Ucapku dan entah kenapa aku sangat menginginkan barang yang sangat aku benci bau asapnya itu.

Anto langsung melihat ke arah Darel yang melirikku dispion mobilnya, setelah itu melihat ke arahku lagi.

“Ayolah. Masa cuman rokok aja kamu gak kasih sih.” Ucapku lagi dan Anto melirik ke arah Lani. Lani menganggukan kepalanya dan Anto langsung menyerahkan rokok Marlrobo black beserta korek miliknya.

Dengan tangan yang agak bergetar, akupun mengambil rokok beserta koreknya itu. Pikiranku yang gak karuan ini membuat tubuhku agak kaku dan tanganku terasa bergetar. Bukan karena aku ingin menghisap rokok untuk pertama kalinya, tapi situasi ini yang membuatku seperti ini.

Aku ambil sebatang rokok itu, lalu aku meletakkan dibibirku yang juga ikut bergetar.

Crek, crek, crek.

Kedua tanganku yang bergetar ini mencoba menyalakan korek, tetapi tidak menyala.

Cresss.

Lani menyalakan korek miliknya lalu dia menyodorkan korek yang menyala itu keujung rokokku.

Aku tempelkan ujung rokok di api yang menyala, lalu aku menghisapnya dengan kuat.

Hiuuuuffffftt.

“Uhuhuhuk.” Aku tersedak asap rokok dan aku langsung menyerahkan bungkusan rokok serta koreknya ke Anto yang masih melihatku dari tadi.

Tenggorokanku terasa gatal dan kedua mataku juga terasa perih. Kaca di keempat sisi bagian samping mobil terturun dan udara segarpun langsung masuk kedalam mobil.

“Jangan terburu – buru menghisapnya. Pelan – pelan saja.” Ucap Lani.

“Kalau asapnya sudah didalam mulut, jangan langsung dikeluarkan, tapi hisap lagi pelan – pelan, terus keluarkan perlahan.” Ucap Lani lagi yang mengajari aku cara menikmati rokok.

“Kalau pertama kali, jangan terlalu dalam menghisapnya. Sedikit aja. Nanti kalau sudah biasa, baru hisapnya dalam - dalam.” Ucap Lani lagi.

“Hiufftt.” Aku menghisap rokok itu sedikit, lalu setelah asap yang tidak aku sukai baunya ini terkumpul, aku menghisapnya dalam – dalam.

Hiuuuuffffftt.

Asap itu terasa seperti masuk lebih dalam dan mememenuhi seluruh rongga yang ada didalam isi kepalaku. Akupun langsung menyandarkan kepala belakangku dijok mobil, sambil mengeluarkan asapnya perlahan.

Huuuuuuuu.

Kepalaku terasa berputar – putar dan pandangan mataku berbayang. Aku seperti sedang disuntik bius dan tubuhku tiba – tiba terasa melayang.

Aku angkat tangan kananku lagi, lalu menghisap rokok yang ada dijemariku dengan pelan.

Hiuffttt, huuuuuu.

Aku pejamkan kedua mataku, karena ingin menikmati sensasi merokokku yang pertama kalinya ini.

Kriing, kriingg, kriinggg.

Terdengar suara Hp didepan sana dan aku tetap memejamkan kedua mataku.

“Halo Gok.” Ucap Anto dan rupanya Hp Anto yang berbunyi.

“…”

“Lagi dalam perjalan ke bandara ibukota propinsi.” Jawab Anto.

“…”

“Ada kecelakaan pesawat dilaut timur dan kebetulan sekarang kedua orang tua Lingga dalam perjalanan ke ibukota propinsi dari pulau timur. Kami mau mengecek kebandara dulu, semoga saja itu bukan pewasat yang ditumpangi orang tua Lingga.” Ucap Anto dengan suara yang pelan.

“…”

“Iya. Semoga saja. Nanti setelah dari Bandara, kami akan kekabupaten sebelah.”

“…”

“Oke.”

Hiuffttt, huuuuuu.

Aku hisap rokokku dan kepalaku terasa semakin melayang.

Beberapa saat kemudian, jari telunjuk dan jari tengahku terasa agak panas. Aku membuka kedua mataku dan Lani langsung mengambil rokok yang ada dijariku. Rokok yang sedikit lagi menyentuh filternya itu langsung dimatikan di kotak rokok yang sudah kosong.

Aku pejamkan mataku lagi dan aku tetap bersandar di jok mobil, karena kepalaku terasa berat dan pikiranku melayang entah kemana.

“Kedua orang tuamu naik pesawat apa.?” Tanya Lani dan aku langsung membuka kedua mataku dan pandangan mataku kembali berbayang.

“Gak tau. Ibu tadi cuman bilang kalau sudah didalam pesawat.” Jawabku dan aku tidak melihat ke arah Lani. Pandanganku mengarah kelangit – langit mobil, lalu aku memejamkan kedua mataku lagi, lalu beberapa saat kemudian.

“Lingga, Lingga.” Suara lembut Lani membangunkan aku dan aku merasa telapak tangannya membelai rambut bagian atasku.

Aku buka kedua mataku perlahan dan pandangan terus berbayang. Aku pejamkan kedua mataku sesaat, lalu aku menekan kelopak mataku yang tertutup dengan jari tengah dan jempolku.

Aku buka kedua mataku lagi dan pandangan mataku yang berbayang, perlahan kembali normal.

“Kita sudah sampai dibandara.” Ucap Lani dan aku langsung menegakkan tubuhku.

Terlihat dibandara ini sangat ramai sekali dan banyak orang memakai pakaian berwarna orange yang berlalu lalang.

“Kalian turun aja dulu berdua. Aku sama Anto mau parkirkan mobil.” Ucap Darel kepadaku dan Lani.

Aku dan Lani keluar mobil bersamaan dan setelah mobil Darel pergi ketempat parkiran, Lani menggenggam tangan kiriku, lalu mengajakku berjalan ke arah kerumunan orang didepan sana.

Teriakan dan tangis yang histeris menyambut kedatanganku, dari para keluarga korban kecelakaan pesawat. Dadaku kembali berdetak dengan cepat dan aku langsung menghentikan langkahku, tepat didepan sebuah tulisan ‘Posko Crisis Center Bulan Jingga Air 87.’

Lani meremas telapak tanganku dan dia seperti menguatkan hatiku. Aku menatap wajahnya dan diapun langsung mengangguk pelan.

“Kita tanya kesana dulu yuk.” Ucap Lani sambil menunjuk bagian informasi layanan di posko crisis center.

Akupun langsung mengangguk, setelah itu kembali aku dan Lani melangkah ke arah posko itu.

“Selamat siang Mas, Mbak. Apa keluarganya menjadi salah satu koban kecelakaan.?” Tanya salah satu petugas yang sedang berjaga dan dia duduk dikursi dibalik meja sana.

Tiba – tiba tubuhku terasa kaku dan mulutku terkunci rapat. Tenggorokanku kering dan aku seperti tidak bisa mengeluarkan suaraku.

“Belum tau Mba. Karena Ayah dan Ibu kami tadi tidak memberitahu naik pesawat apa. Beliau berdua hanya mengatakan kalau akan berangkat kepulau ini menggunakan penerbangan pertama.” Lani yang menjawab pertanyaan petugas wanita itu.

“Kalau begitu Mas atau Mbanya silahkan duduk dulu.” Ucap Mbanya itu dan Lani langsung mengarahkan aku duduk disalah satu bangku yang kosong, sementara bangku – bangku lainnya terisi oleh keluarga korban yang lain.

Lani berdiri disebelah kiriku dan tangan kanannya berada dipundak kananku, sementara tangan kirinya berada dipundak kiriku.

“Siapa nama Ayah dan Ibunya Mas.?” Tanya petugas itu sambil melihat beberapa lembar dokumen yang ada dihadapannya dan aku hanya menundukan kepalaku.

“Lingga.” Ucap Lani sambil mengelus pundak kananku.

“Ya.” Ucapku sambil mendangakan kepalaku ke arahnya.

“Nama Ayah dan Ibu.” Ucap Lani dan aku langsung melihat ke arah petugas itu lagi.

“Nu, Nu, Nugraha Adi Wijaya dan El, El, Elvira Van Gerrit.” Jawabku terbata dan petugas itupun langsung menunduk. Dia membaca satu persatu nama yang ada dihadapannya dan nafasku langsung memburu.

Semoga saja tidak ada, semoga saja tidak ada. Hanya itu saja yang aku ucapkan didalam hatiku.

“Tn. Nugraha Adi Wijaya dan Ny. Elvira Van Gerrit.” Ucap petugas itu sambil menunjuk ke arah dokumen yang ada dihadapannya dan kedua mataku langsung berkaca – kaca. Aku tidak yakin kalau yang ditunjuk itu nama kedua orang tuaku dan aku tidak pecaya kalau kedua orang tuaku menjadi korban kecelakan pesawat ini.

“Ada Mba.?” Tanya Lani dengan suara yang bergetar dan sepertinya dia sedang menahan tangisnya.

“Mohon maaf Mba, Mas. Kedua orang tua kalian, termasuk didalam korban kecelakaan pesawat kami.” Ucapnya dan dia mengucapkan itu dengan suara yang seperti dipaksakan. Kedua matanya juga berkaca – kaca dan dia menyodorkan dokumen itu ke arahku.

Aku yang masih tidak percaya ini langsung melihat ke arah dokumen itu dan aku membaca nama tepat di kolom yang ditunjuk petugas itu.

86. Tn. Nugraha Adi Wijaya

87. Ny. Elvira Van Gerrit

Tiba – tiba kedua mataku terasa perih dan jantungku terasa berhenti berdetak. Dunia ini seperti berhenti berputar dan aku seperti sendirian ditempat ini. Orang – orang yang begitu ramainya tadi lenyap entah kemana, termasuk Lani dan juga petugas yang ada dihadapanku.

Dan dengan bangsatnya, air mata yang sudah menggumpal dikelopak mataku dan tidak bisa keluar sejak mendengar kematian Thifa, langsung mengalir deras dan tidak bisa aku bendung lagi.

Air mata ini seolah tau kesedihan yang sedang aku alami dan dia membasahi pipiku, sampai terasa kedalam hatiku. Hatiku yang terluka seperti disiram oleh air mataku yang mengalir deras dan rasanya seperti luka yang disiram irisan jeruk yang sangat banyak sekali. Pedih dan aku tidak bisa menggambarkan bagaimana kesedihan yang sedang menyelimuti diriku ini.

“TUHAN. KENAPA KAU MENGHUKUM KEDUA ORANG TUAKU, DENGAN SEGALA KESALAHAN YANG TELAH AKU PERBUAT.? KENAPA BUKAN AKU YANG KAU HUKUM.? KENAPA.? AYAH, IBU DAN THIFA TELAH KAU PANGGIL, SEMENTARA AKU KAU BIARKAN DUDUK SENDIRI DITEMPAT INI.? AMBIL AKU TUHAN, AMBIL AKU SEKARANG JUGA.” Teriakku lalu aku berdiri dan melempar kursi yang baru aku duduki.

Wuutttt, braakkkk, braakkkkk.

“APA GUNANYA AKU HIDUP, KALAU AKU HANYA BERTEMAN DENGAN PENYESALAN DAN KESEDIHAN.? KALAU KAU TIDAK MENGAMBILKU, BIARKAN AKU YANG AKAN MENGAKHIRI HIDUPKU SENDIRI SEKARANG JUGA.” Teriakku dibandara yang kosong melompong ini, lalu.

BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG.

Aku memukul tiang beton yang ada di dekatku dengan sekuat tenagaku. Kepalan tangan kanan dan kiriku, membabi buta menghantam dan aku tidak merasakan sakit sama sekali dikepalan tanganku.

BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG.

Aku mengamuk sejadi – jadinya dan aku menggila di tempat ini.

BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG, BUHHGGGGG.

Kepalan tanganku mulai mengeluarkan darah dan aku tidak memperdulikan itu.

“AKU TIDAK PERDULI JIKA TAKDIRKU MEMANG BELUM WAKTUNYA MATI TUHAN. AKU AKAN TETAP MENGAKHIRI HIDUPKU DENGAN CARA APAPUN. AKU AKAN MENJEMPUT AJALKU TUHAN, AKU AKAN MENJEMPUTNYA. WALAUPUN SEMESTA MENOLAKNYA, AKU TIDAK PERDULIIIIII.” Teriakku, lalu.

JEDUUUKKK, JEDUUUKKK, JEDUUUKKK, JEDUUUKKK.

Aku hantamkan keningku ditiang beton dan aliran darah perlahan mulai menetes dari keningku, lalu.

Jeduk,

Kepalaku terasa ringan dan tubuhku langsung lunglai, lalu ambruk kelantai.

Bummmm.

Gelap.

Hiuuufftttt, huuuuu.

Apakah aku sudah mati.? Kelihatannya sudah sih. Buktinya sekarang aku berada ditempat yang sangat gelap sekali. Tapi apakah alam kematian memang gelap seperti ini.? Ataukah ini hanya tempat persinggahan sementara, sebelum aku berada di alam keabadian.? Oke. Jadi aku sudah beneran mati.? Baguslah, aku jadi tidak perlu memikirkan cara yang lain, untuk mengakhiri hidupku. Aku juga tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan juga pikiran. Akhirnya sebentar lagi aku bisa berkumpul dengan kedua orang tuaku dan juga Thifa.

Hiuuufftttt, huuuuu.

“Ade.” Terdengar suara Ibu memanggilku dan aku langsung memutarkan tubuhku, mencari asal suara itu.

“IBU.” Teriakku karena hanya kegelapan saja yang ada disekitarku.

“Nak.” Giliran Ayah yang memanggilku dan suaranya sangat dekat sekali.

“AYAHHH.” Teriakku dan aku tidak menemukan kedua orang tuaku, karena hanya warna hitam saja yang aku lihat.

“Lingga.” Giliran kekasihku Thifa yang memanggil dan entah dimana ketiga orang yang aku sayangi ini berada.

“THIFAAAA.” Teriakku dan aku terus memutar – mutarkan tubuhku, mencari keberadaan mereka bertiga.

“AYAHHH, IBUUUU, THIFAAAA.” Teriakku sekencang – kencangnya dan tidak ada sahutan dari mereka bertiga.


“ARGGGGHHHHH.” Teriakku dan kedua mataku langsung terbuka.

Aku tertidur disebuah ruangan dan aku dikelilingi oleh empat orang dokter laki – laki serta enam orang perawat yang juga laki – laki.

“Dimana aku ini.?” Tanyaku dan emosiku masih terasa menguasai kepalaku.

Dan ketika aku akan menggerakkan tubuhku yang terbaring dikasur ini, ternyata kedua kaki dan tanganku di ikat dengan kuatnya.

“KENAPA AKU DI IKAT.? KENAPA.?” Teriakku dan aku mencoba melepaskan diriku dari ikatan ini, tapi tidak bisa.

“Tenang Lingga, tenangkan dirimu.” Ucap Lani sambil menangis dan dia berdiri disebelah kiriku. Tangan kirinya mengelus dadaku dan tangan kanannya mengelus pipi kiriku.

“SURUH MEREKA MELEPASKAN AKU ATAU MEREKA AKAN AKU BUNUH SATU PERSATU.” Teriakku dan aku semakin emosi saja.

“Lingga, emosimu belum stabil. Tenangkan dirimu ya. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Lani dan dia terus mengelus dada serta pipiku.

“TIDAK ADA YANG BISA MENENANGKAN AKU. LEPASKAN AKU. AKAN AKU BUNUH KALIAN SEMUA, LALU AKU AKAN MENGAKHIRI HIDUPKU. ARRGGHHHHH.” Teriakku dan berusaha untuk melepaskan ikatan yang ada ditubuhku. Tapi semakin aku berontak, ikatan ditubuhku terasa semakin menguat dan membuat tubuhku semakin sulit untuk aku gerakan.

“ARRGGGGGGHHHH.” Teriakku dengan emosinya.

“Lepaskan ikatannya.” Ucap seseorang yang baru masuk kedalam ruangan ini dan semua orang langsung melihat ke arah orang yang baru datang itu. Aku tidak tau siapa yang datang itu, karena pandanganku tertutup oleh perawat yang berada didekat tangan kiriku.

“Mohon maaf Pak, kami tidak bisa menuruti permintaan Bapak. Kami tidak ingin kejadian di bandara, terjadi diruangan ini.” Ucap dokter yang pertama dan aku tetap berusaha melepaskan ikatan ditanganku.

“Pasien ini sudah menghajar dan membuat pingsan tiga petugas penyelamat bencana, serta lima orang security.” Ucap dokter yang kedua.

“Gak apa – apa, lepaskan aja dia.” Ucap orang itu sambil mendekat ke arah kasur tempat aku tertidur.

“ARRGGHHHHH. LEPASKAN AKUUU.” Teriakku dengan emosi yang semakin meluap.

“Mohon maaf Pak, kami tidak bisa melepaskannya. Pasien sudah kami beri obat penenang, tapi lihatlah. Obatnya tidak bekerja dan dia masih saja mengamuk.” Ucap dokter yang pertama.

“Lebih baik semua keluar dari ruangan ini, biar aku yang mengurus anak itu.” Ucap orang itu dan sekarang aku sudah melihat wajahnya. Dia menatapku dengan dingin dan itu membuat emosiku perlahan mulai menurun.

“Tapi Pak.” Ucap dokter pertama terpotong.

“Saya Pakdenya dan saya bertanggung jawab atas anak itu.” Ucap Pakdeku yang baru datang itu.

Ya. Dia adalah Pakdeku, sepupu dua kali Ibuku dan aku biasa memanggilnya Pakde Eed.

“Kepala rumah sakit ini temanku dan aku sudah minta izin kepadanya. Sekarang aku minta kalian semua keluar.” Ucap Pakde Eed dengan wajah yang terlihat semakin dingin.

Satu persatu orang yang ada diruangan ini keluar dan yang terakhir, tentu saja Lani. Dia terlihat sangat berat keluar dari ruangan ini dan kedua matanya terlihat sembab. Dia melihat ke arahku sejenak, setelah itu dia keluar dari ruangan ini.

Ceklek.

Pakde Eed mengunci pintu kamar lalu beliau berjalan ke arahku dengan wajah yang masih dingin dan tanpa senyuman sedikitpun.

“Kamu mau mengakhiri hidupmu.?” Tanya Pakde Eed dan kedua kakiku serta kedua tanganku masih mencoba melepaskan ikatan ini.

“Iya Pakde. Percuma Lingga hidup, kalau tidak ada lagi orang – orang yang Lingga sayangi.” Ucapku dengan kedua tangan yang terkepal, tapi nada bicaraku tidak sekeras tadi.

“Oke. Tapi kamu gak perlu bunuh diri. Aku yang akan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri.” Ucap Pakde Eed sambil melepaskan ikatan di kedua kakiku dan di kedua tanganku.

Akupun langsung terkejut mendengar ucapannya dan aku tidak berani manyahut ucapannya.

“Berdiri. Kamu mau merasakan bagaimana kematian itu tiba kan.?” Tanya Pakde Eed dengan tenangnya, tapi tatapan matanya yang dingin langsung menusuk jantungku.

Aku yang masih terlentang dikasur ini justru tidak lekas bangun dan segera mengakhiri hidupku, seperti yang akan aku lakukan tadi. Ikatan diseluruh tubuhku sudah terlepas dan harusnya aku bebas untuk melakukan apapun. Tapi tatapan mata Pakde Eed justru membuat seluruh tubuhku terasa kaku dan aku tidak bisa menggerakan tubuhku.

Akupun langsung memejamkan kedua mataku, sambil menarik nafasku dalam – dalam.

“Hiuuffttttt, huuuuu.”

“LINGGA.” Ucap Pakde Eed dan aku langsung membuka kedua mataku lagi. Nada suaranya terdengar agak meninggi dan jujur, saat ini aku sangat ketakutan melihat wajahnya yang dingin itu.

“Kenapa Pakde marah.? Ibu dan Ayahku baru meninggalkan aku secara tiba – tiba. Harusnya aku yang marah Pakde, harusnya aku yang marah.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca – kaca.

“Terus maumu apa.? Mau bunuh diri, supaya bisa bertemu dengan Ibu dan juga Ayahmu.?” Tanya Pakde Eed dengan suara yang pelan, tapi terdengar seperti suara petir yang menggelegar ditelingaku.

“Jangan harap kau bisa bertemu dengan kedua orang tuamu. Bayangannya saja, tidak mungkin bisa kamu lihat. Mereka berdua pasti akan pergi dan mereka pasti malu mempunyai anak selemah dirimu.” Ucap Pakde sebelum aku menjawab pertanyaannya.

“Ayah, Ibu. Hiks, hiks, hiks.” Ucapku dan air mataku kembali mengalir.

“Hentikan tangismu, karena itu hanya akan membuat kedua orang tuamu semakin tersiksa di alam keabadian.” Ucap Pakde Eed dengan nada yang tetap meninggi dan aku langsung menghentikan tangisku, lalu aku membersihkan air mataku menggunakan punggung tangan kanan dan punggung tangan kiriku.

“Kehilangan orang yang kamu cintai, bukan akhir dari segalanya. Belajarlah hidup tanpa mereka yang sudah meninggalkanmu dan lanjutkan kehidupanmu dengan cinta yang mereka tinggalkan.” Ucap Pakde Eed lagi dan aku hanya terdiam mendengar setiap perkataan yang ditujukannya kepadaku.

“Jangan hanya merasakan sakit ketika kehilangan, tapi kamu juga harus belajar ikhlas untuk menerimanya.”

“Perjalanan kehidupan itu gak semudah seperti yang kamu pikirkan dan gak semua yang kamu inginkan itu bisa tercapai.”

“Ingat. Proses kehidupan yang kamu jalani, akan membentuk dirimu dan kamu akan menemukan jati dirimu yang sebenarnya.” Ucap Pakde Eed dan nada bicaranya semakin lama, semakin pelan.

Setiap ucapannya itu seperti menampar diriku dan seperti meremas hatiku yang sudah sangat rapuh ini. Otakku seperti sedang dicuci oleh setiap perkataan Pakde Eed dan akupun hanya bisa terdiam dan terdiam.

Otakku dipaksa terbuka dan pikiranku yang ingin bunuh diri ini dipaksa untuk keluar, lalu dijejali oleh pesan – pesan yang begitu mendalam tentang kehidupan. Otakku ditutupnya lagi, lalu dibungkus dengan kasih sayangnya untukku, lewat tatapan matanya yang sekarang perlaha mulai terlihat teduh.

Pakde Eed mendekat ke arahku, lalu perlahan dia mengelus rambut atasku dengan lembut, seperti Ibuku ketika mengelus rambutku waktu aku kecil dulu.

“Kehilangan kedua orang tua adalah hal yang paling sulit dan paling menyakitkan didalam kehidupan. Seberapapun kuatnya rindumu dan seberapapun besarnya kasih sayangmu, tidak akan bisa membawa mereka hidup kembali.”

“Aku tau ikhlas itu sangat sulit, tapi hanya itu yang bisa kamu lakukan sekarang ini. Mengakhiri hidup, bukanlah jalan terbaik, tapi itu akan semakin membuatmu terperosok kedalam jurang penyesalan di alam sana.”

“Ingat Nak. Jangan hancurkan harapan kedua orang tuamu. Mereka sekarang memang sudah tidak ada, tapi harapan mereka kepadamu tidak akan pernah mati. Jalani hidupmu dengan cinta mereka yang sudah ditinggalkan untukmu.” Ucap Pakde Eed dan kedua mataku kembali berkaca – kaca.

“Kali ini aku tidak akan melarangmu menangis dan aku harap tangismu ini, hanya untuk mengeluarkan semua beban yang ada didalam pikiranmu.” Ucap Pakde Eed, lalu beliau menghentikan elusannya dikepalaku.

Beliau lalu membalikan tubuhnya, setelah itu berjalan ke arah pintu kamar.

“Oh iya, ada salam dari Bude Ira, Anak – anakku, menantuku dan juga calon menantuku. Mereka tidak bisa kesini karena mereka berada di negeri kincir angin.” Ucap Pakde Eed yang sudah memegang gagang pintu dan melihat ke arahku. Akupun hanya mengangguk pelan dan Pakde Eed langsung membuka pintu, lalu keluar dan menutupnya kembali.

Tidak ada kata – kata yang bisa keluar dari mulutku dan ucapan terimakasih karena kehadiran beliau, juga tidak bisa aku ucapkan.

Hiuufftt.

Aku tarik nafasku perlahan, lalu aku duduk dengan bersusah payah.

Huuuuu.

Aku hembuskan nafasku dan sekarang aku sudah duduk dengan kedua kaki terselonjor dikasur.

Terus bagaimana aku sekarang.? Apakah aku akan tetap bunuh diri atau aku akan melanjutkan hidupku.? Tapi untuk apa aku hidup lagi, sedangkan orang – orang yang aku sayangi dan aku cintai sudah tidak ada.? Membuat bangga kedua orang tuaku.? Aku saja tidak bisa melihat wajah kedua orang tuaku lagi, jadi bagaimana aku tau mereka bangga atau tidak.? Menjalani sisa hidup dengan cinta yang ditinggalkan oleh mereka.? Mereka siapa.? Ayah, Ibu dan Thifa.? Pasti itu akan sulit sekali. Justru kalau aku hidup dengan bayangan dari cinta mereka, aku pasti akan mati perlahan dan itu pasti sangat menyiksa sekali.

Ceklek.

Pintu kamar terbuka dan seorang wanita yang selalu mendampingi aku mulai dari kampus sampai dikamar ini, berdiri dan dia tersenyum dengan mata yang berkaca – kaca.

“La, Lani.” Ucapku pelan dan dia langsung berlari ke arahku, lalu dia memelukku dengan eratnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis Lani yang sekarang berdiri disebelah kiriku dan dia tetap memelukku.

“Hiks, hiks, hiks. Jangan seperti tadi ya. Hiks, hiks, hiks. Lani takut.” Ucapnya sambil mengelus punggung pelan.

“Maaf.” Ucapku sambil membalas pelukannya dan ketika aku akan mengelus punggungnya, aku baru sadar kalau kedua telapak tangan sampai punggung tanganku diperban.

“Jangan pernah merasa sendiri, karena masih banyak yang menyayangi kamu. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Lani dan kembali aku merasa kehangatan yang sangat luar biasa dipelukan kami ini.

Lani seolah memberikan aku semangat untuk melanjutkan hidup lewat pelukannya ini. Pelukan yang semakin lama semakin terasa nyaman dan membuat hatiku yang kacau ini perlahan mulai tenang.

Lagi, lagi dan lagi, peri pelindungku ini menolongku dan seolah dia telah menarikku dari dalam lembah yang sangat dalam sekali. Apakah dia hanya sekedar peri pelindungku atau dialah wanita yang akan menemaniku disisa hidupku.?

Ahhh. Terlalu bangsat diriku kalau aku memikirkan cinta, padahal aku baru saja kehilangan Thifa. Walaupun Lani sudah memiliki tempat khusus didalam hatiku, bukan berarti dengan mudahnya aku melupakan cintaku yang sudah pergi bersama Thifa. Lebih baik aku menenangkan diriku sejenak dan aku berpikir bagaimana kedepannya kehidupanku nanti. Atau aku biarkan saja hidupku mengalir dan entah kemana muara yang akan aku tuju.? Mungkin itu lebih baik dan aku bisa menikmati apapun yang akan aku jalani nantinya.

Hiuufftt, huuuu.

Entah berapa kali aku menarik nafasku dalam – dalam hari ini dan entah berapa kali aku menenangkan suasana hatiku yang naik turun, seperti roller coaster.

Perlahan Lani melepaskan pelukannya dan aku juga melepas pelukanku ditubuhnya. Dia tersenyum kepadaku dengan tangan kiri membelai pipi kiriku dan telapak tangan kanannya diletakan dikasur didekat tangan kiriku.

Tangan kiriku yang diperban ini langsung memegang punggung tangan kanannya, lalu beberapa saat kemudian, tangan kiri Lani memegang punggung tangan kiriku yang masih memegang punggung tangan kanannya.

Kepalaku perlahan menunduk dan pandanganku langsung mengarah kepunggung tangan kiri Lani. Tepat dijari manis tangan kiri Lani melingkar sebuah cincin dan aku yakin itu bukan cincin biasa, melainkan itu adalah cincin pertunangan.

Cokkk. Hanya itu saja yang bisa aku ungkapkan didalam hatiku dan aku langsung menggeser tangan kiriku yang berada ditengah – tengah kedua tangan Lani itu. Hatiku yang tadi sedikit mulai tenang, sekarang kembali menangis, setelah melihat cincin tunangan Lani.

Bodoh. Sudah pernah terlintas dipikiranku, kalau Lani yang pergaluannya luas dan pikirannya terbuka ini, biasanya sudah memiliki kekasih, tapi entah kenapa hatiku masih saja menangis menerima kenyataan ini. Belum reda kesedihanku karena kehilangan Ayah, Ibu dan juga Thifa, semesta seolah menginginkan kesedihan ada terus disisiku dan memelukku disisa hidupku. Bajingan.

Jujur aku sangat kecewa sekali dengan Lani, karena apa yang aku pikirkan selama ni ternyata salah. Cara memeluknya, cara menyentuhnya dan cara memandangnya, membuat aku juga sempat berpikir kalau Lani mempunyai sedikit perasaan denganku. Tapi ternyata itu hanya ekspektasiku saja yang terlalu tinggi. Dia sudah bertunangan dan dia hanya menganggapku sebagai teman biasa, seperti laki – laki lain yang ada disekitarnya.

Aku terus menunduk dan aku menyembunyikan kesedihanku ini dari Lani. Cukup sudah dia menemani aku sampai disini dan setelah ini aku akan menjauh dari kehidupannya.

Kletek.

Pintu kamarku terbuka dan troli pembawa makanan masuk kedalam kamarku.

“Kamu makan dulu ya. Dari kemarin kamu belum makan sama sekali.” Ucap Lani dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Memangnya sejak kapan aku disini dan kenapa bisa aku sampai disini.?” Tanyaku dan aku mencoba menatap wajah Lani dengan tenang.

“Kemarin siang kamu mengamuk dibandara dan setelah kamu membenturkan kepalamu ditiang beton, kamu pingsan dan langsung dibawa kesini.” Jawab Lani sambil melangkah ke arah petugas yang membawakan makanan untukku.

Lalu setelah memberikan piring yang berisi bubur kepada Lani dan meletakan buah buahan dimeja, petugas itu keluar dari kamarku dan Lani berjalan ke arahku.

“Jadi aku pingsan sudah dua hari ya.?” Tanyaku dan aku sudah tidak kuat lagi menatap wajah Lani. Akupun langsung memalingkan wajahku ke arah yang lain, ketika dia duduk disebelah kiriku.

Aku melihat ke arah sebelah kananku dan entah kenapa, tiba – tiba kedua mataku kembali berkaca – kaca. Aku gak tau sedih ini karena kehilangan Ibu, Ayah dan Thifa, atau karena mengetahui kalau Lani telah bertunangan, aku gak tau. Yang jelas aku sangat bersedih sekali.

“Sudah dong sedihnya.” Ucap Lani sambil meraih daguku dan menariknya pelan sampai melihat ke arahnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang sepiring bubur.

Kami bertatapan mata dan kedua mataku yang berkaca – kaca ini, perlahan mulai meneteskan air mata ke pipiku.

“Lingga.” Ucap Lani sambil membersihkan air mataku menggunakan jempolnya dengan sangat lembut.

Ingin rasanya aku menepis tangan Lani dan menyuruhnya keluar dari ruangan ini, tapi hatiku melarangnya dengan keras. Wanita ini sudah sangat baik mendampingi aku yang sedang terpuruk, tapi masa iya balasan yang aku berikan dengan cara mengusirnya.? Aku yang salah dengan harapanku yang terlalu tinggi, tapi aku malah menyalahkan orang yang belum tentu tau kalau aku mencintainya. Bangsat banget aku ya.?

“Jangan bersedih terus. Makan dulu ya.” Ucap Lani dengan sangat lembutnya.

“Hiuufffttt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku gak lapar.” Ucapku pelan.

“Tapi dua hari kamu belum makan loh.” Ucap Lani dan aku hanya diam saja.

“Pokoknya aku suapin dan kamu harus makan.” Ucap Lani dengan tegasnya, lalu dia mengambil sesendok bubur dan mengarahkannya kemulutku.

“A.” Ucapnya dan bibirku tetap merapat, dengan tatapan mataku yang mengarah ke mata Lani, yang juga menatap mataku.

Ingin sekali aku berucap, kenapa kamu lakukan semua ini Lani.? Ada apa denganmu.? Sebenarnya kamu tau aku sayang kamu gak.? Kalau kamu sayang, kamu kan sudah tunangan.? Jadi untuk apa semua perhatianmu ini.? Apa kamu sengaja melakukan ini untuk mengancurkan aku saja.? Tapi untuk apa.? Apa untungnya menyakiti bocah tolol macam aku ini.? Apa kamu punya kelainan, yang suka menyakiti perasaan orang lain.? Arrrgghhh. Djiancok.!!!

Lalu perlahan, aku membuka bibirku yang mulai bergetar dan Lani langsung menyuapi aku.

“Makan yang banyak Ngga. Biar kamu cepat pulih.” Ucap Lani sambil mengaduk bubur yang ada dipiring, lalu dia mengambil sesuap dan mengarahkannya ke mulutku lagi.

Terus kenapa kalau aku pulih.? Apa kalau aku pulih, kamu bisa lebih kejam lagi menyakiti aku.?

Arrghhhh. Cukup Lingga, cukup. Kamu terlalu terbawa perasaan dan belum tentu semua yang ada dipikiranmu tentang Lani itu benar. Sudahlah, jangan jadi laki – laki yang lemah. Nikmati kesedihanmu saat ini dan jangan kau lampiaskan kepada orang lain. Jalani saja kehidupanmu dan biarkan waktu yang menjawabnya.

“Darel sama Anto disini mulai dari kemarin. Mereka baru tadi pagi ke Kota Pendidikan, untuk menjemput Togok dan sekalian mengambil pakaian ganti. Sebentar lagi, mungkin mereka sudah sampai sini lagi.” Ucap Lani ketika aku sudah memakan suapan keduanya.

Pandanganku tetap ke arahnya dan kembali dia menyuapi aku untuk ketiga kalinya. Pandangan mata kami kembali bertemu dan dia menghentikan sendok tepat dibibirku yang tertutup.

Tatapan matanya terlihat begitu sangat tulus dan aku tidak tau apa arti ketulusan yang diberikannya kepadaku.

“Kehilangan orang yang sangat dicintai dan dia juga mencintai kita, itu memang sangat menyakitkan Ngga. Apalagi ditinggal selamanya dan kita tidak bisa melihat senyumnya lagi, walaupun dari kejauhan.” Ucap Lani dengan suara yang bergetar dan dia meletakkan sendok yang isinya belum disuapkan kepadaku, kepiring yang ada ditangannya.

“Tapi apa kamu tau, kalau ada kesedihan lain yang mungkin sama menyakitkannya.?” Tanya Lani dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Kehilangan seseorang yang sebenarnya dia itu bukan milikmu.” Ucap Lani dengan mata yang berkaca – kaca, lalu dia menyodorkan sendoknya kebibirku dan aku langsung memakannya dengan tetesan air mataku yang mulai berjatuhan lagi.



#Cuukkk. Entah kata – kata yang diucapkan Lani itu untuk diriku atau untuk dirinya sendiri, aku gak tau. Aku juga gak tau sampai kapan awan hitam ini akan menyelimuti hatiku dan aku juga gak tau sampai kapan kesedihan ini akan menemaniku. Djiancuk, djiancuk.
 
Selamat malam Om dan Tante.

Selamat beristirahat dan semoga sehat selalu.
Updetnya segini aja dulu, lanjutan Updetnya sabar ya.
Rokok sama minuman hangatnya nya sudah habis dan gak ada stoknya lagi.
Kalau ada yang mau kasih, DM ya..
Ingat, GAK MAKSA. Ini bagi yang punya rejeki dan yang mau aja..
Dikasih ataupun tidak dikasih, updetannya akan jalan terus, tapi mohon bersabar..

Akhir kata, selamat menikmati dan jangan lupa saran serta masukannya.

Salam Hormat dan Salam Persahabatan.. :beer:
:beer: :beer:
 
@Kisanak87 terimakasih updatenya mahasuhu , sedikit kata dari saya , sya bukan pembaca yg super sok tau atau sok kenal bahkan sipaling hafal smua alur kisah ceritamu yg bagi sya gak penting sya tulis di kolom ini , sya hanya sebagai penikmat bertahun2 karyamu dari dulu sya sngat puas dngn kisah /penulisan suhu yg masih konsisten berkarya , smngat terus suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd