Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA


BAGIAN 8
Aku Ikhlas.? Aku.? Ikhlas.?



2 minggu setelah kepergiaan Thifa, Ayah dan Ibu.

Hari - hari yang semakin terasa berat aku lalui dengan ketegaran hati yang aku paksakan. Aku gak tau bagaimana kedepannya nanti, tapi yang jelas hari – hariku kini banyak aku isi dengan menikmati berbagai minuman keras.

Seperti malam ini. Aku sedang duduk sendiri disebuah ruangan VIP, tempat hiburan malam. Dentuman music yang menggelegar sudah terbiasa aku dengar dan aku tidak pernah turun untuk berbaur dengan mereka yang asyik menggoyangkan tubuh mereka masing – masing. Aku hanya duduk, minum sampai mabuk, setelah itu aku pulang kerumahku.

Aku bisa menikmati semua ini dan aku tidak perlu memikirkan uang yang aku gunakan untuk bersenang – senang, karena warisan yang ditinggalkan kedua orang tuaku sangat banyak sekali. Rumah yang ada dibeberapa kota, tanah kosong yang juga tersebar dimana – mana, tabungan Ayah dan Ibu, deposito yang memang sudah direncanakan untukku, beberapa usaha yang dijalankan Ibu dan itu ada di pulau ini, investasi Ibu dibeberapa perusahaan, warisan untuk Ayah dan Ibu yang jatuh kepadaku, terus belum lagi uang yang diberikan maskapai penerbangan bulan jingga air, membuatku tidak akan kekurangan bahkan ketika aku mempunyai cucu nanti.

Terdengar bodoh ya.? Aku bersenang – senang dengan uang warisan dan bukannya aku memanfaatkan warisan itu untuk kebaikan. Ah, persetan dengan tai kucing dan aku tidak perduli dengan pandangan orang mengenai diriku. Yang terpenting itu, seluruh kekayaan yang diwariskan kepadaku ini, tidak ada sedikitpun hasil dari korupsi Ayahku yang seorang pegawai negeri. Orang tua Ayahku kaya, apalagi orang tua Ibuku yang keturunan dari negara kincir angin. Ayahku juga paling benci dengan budaya korupsi dan itu ditanamkan juga kepadaku.

Saat ini aku hanya ingin menikmati semua kehidupan baruku dan tidak perduli dengan siapapun, termasuk Lani. Ya, Lani, Mei Lani. Aku sengaja menghindar darinya dan aku juga tidak menghubunginya, setelah aku keluar dari rumah sakit waktu itu. Bukannya aku tidak tau terimakasih, tapi aku takut ketika aku dekat dengannya, aku akan nekat untuk memperjuangkan cintaku dan itu bisa saja merusak hubungannya dengan tunangannya.

Oh iya, setelah keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu, aku sudah berkunjung ‘kerumah baru’ Thifa. Aku hanya bisa terduduk dan memanjatkan do’a – do’a yang terbaik untuknya. Aku menumpahkan semua tangisku dipusara kekasihku dan aku juga meninggalkan cintaku untuknya disana, agar bisa menemani Thifa dikesendiriannya.



Suara terompet pemersatu bangsa mulai berkumandang dan orang – orang semakin banyak yang bergoyang diruang yang terbuka dibawah sana. Akupun hanya menikmati music ini dengan menganggukan kepalaku, sambil menuangkan minuman digelas sloki yang ada didepanku.

Gluk.

“Ahhhhh.” Aku menelan satu kali tegukan, setelah itu aku meletakan gelas sloki diatas meja lagi. Aku ambil bungkusan rokokku, lalu aku mengambilnya sebatang dan membakarnya.

Hiuffttt, huuuu.

Dentuman suara music semakin terasa kerasa terdengar dan aku yang sudah mulai mabuk ini, terus menganggukan kepalaku.

Lalu tiba – tiba, ada seorang laki – laki masuk keruangan ini, lalu dia duduk dikursi sofa, tepat disebelah kananku. Aku melirik ke arahnya dan aku tidak mengenal orang ini, karena dia menutupi kepalanya dengan hoodie yang dikenakannya. Dia terlihat cuek dan dia asyik dengan rokok yang dihisapnya.

Cukkkk. Siapa orang ini dan kenapa dia bisa masuk kedalam ruang VIP yang sudah aku boking sendiri.? Aku juga sudah membayar seorang security diskotik ini, untuk berjaga didepan ruangan. Aku tidak ingin diganggu siapapun dan aku ingin menikmati kesendirian diruangan ini. Tapi kenapa dia bisa masuk.? Nyogok berapa dia sama security yang ada didepan.?

Akupun langsung berdiri dengan tubuh yang agak bergoyang. Aku ingin menemui security itu dan aku ingin memarahinya, karena dia membiarkan manusia sialan ini duduk disebelahku.

“Mau kemana kamu Ngga.? Duduk.” Ucap laki – laki itu, sambil membuka hoodie yang menutupi kepalanya.

“Loh, Bang Rikky.” Ucapku yang terkejut karena laki – laki disebelahku ini ternyata Bang Rikky, anak dari Pakde Eed.

Dari ketiga anak Pakde Eed, aku agak kenal dengan Bang Rikky, tapi tidak begitu akrab. Sedangkan anak pertama yaitu Bang Rendi dan anak kedua Bang Ryan, kenalku begitu – begitu saja. Aku jarang berkumpul dengan keluarga besarku, karena dulu selain aku sering berpindah – pindah kota, aku juga malas berkumpul kalau lagi ramai.

Bang Rikky ini anak paling bungsu dan aku tau kalau dia pernah kuliah dikampus teknik kita. Selama aku tinggal di kota pendidikan ini, aku baru bertemu sekali dengan Bang Rikky, ketika kedua orang tuaku liburan di kota ini. Pertemuannya pun singkat sekali dan setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi dan ini adalah pertemuan kami yang kedua.

“Lah, loh aja. Duduk.” Ucap Bang Rikky dan akupun langsung duduk kembali.

“Katanya Pakde Eed, Bang Rikky dan keluarga besar ke negeri kincir angin.? Kok sekarang ada disini.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku.

“Iya. Aku, Mama, Mas Rendi, Mba Geby, Mas Ryan, Mba Tina, keponakan – keponakanku dan juga calon istriku, berlibur kesana. Sekalian juga aku mengundang keluarga besar kita yang ada disana, untuk datang kepernikahanku tiga bulan lagi.” Jawab Bang Rikky sambil melirik ke arah minumanku.

“Bang Rikky mau menikah.?” Tanyaku lagi dan aku mencoba mengakrabkan diri dengan Bang Rikky.

“Hem.” Jawab Bang Rikky.

“Terus kembali dari sana kapan.?” Tanyaku

“Tiga hari yang lalu.” Jawab Bang Rikky.

“Ohhh. Abang kok tau kalau aku ada disini.?” Tanyaku lagi.

“Banyak tanya kamu itu. Bagi minumanmu.” Ucap Bang Rikky.

“Hehehe. Maaf.” Ucapku lalu aku menuangkan minuman, setelah itu aku menyerahkan gelas sloki ke Bang Rikky.

Gluk.

“Ahhhh.” Bang Riky meminumnya satu kali teguk, setelah itu menyerahkan gelasnya lagi kepadaku.

“Kita pindah kecafe bawah aja yok. Disini berisik.” Ucap Bang Rikky.

“Minumannya kan belum habis Bang.” Jawabku dan aku memang malas untuk ke café yang ada dilantai satu.

Oh iya. Tempat hiburan ini ada enam lantai. Lantai satu café, lantai dua panti pijat, lantai tiga tempat karaoke, lantai empat ini diskotik dan lantai lima serta enam katanya ada kamar untuk menginap. Aku sih gak tau persis kegiatan disetiap lantai, kecuali lantai satu dan lantai empat ini.

“Kita lanjut minumnya dibawah aja. Disana lebih enak kalau minum sambil mengobrol.” Ucap Bang Rikky yang tetap mengajakku kelantai satu.

“Ya sudah.” Ucapku dan akhirnya aku mengikuti saran Bang Rikky.

Bang Rikky pun langsung berdiri, lalu berjalan dan aku mengikuti dibelakangnya.

“Om. Tolong bawa minuman itu kecafe dibawah ya.” Ucap Bang Rikky kepada security yang sudah aku bayar untuk menjaga ruanganku. Aku ingin menegurnya, karena dia telah membiarkan Bang Rikky duduk dikursiku, sebelum dia meminta persetujuan dariku. Bukannya aku tidak suka dengan kedatangan Bang Rikky, tapi aku hanya ingin dia bertanggung jawab sesusai dengan kesepakatan kami.

“Siap Bang. Oh iya Bang, saya minta Maaf. Saya tadi sempat gak percaya kalau Mas Lingga adeknya Bang Rikky.” Jawab security itu sambil menundukan kepalanya dan dia seperti sangat menghormati Bang Rikky.

Waw. Kenapa security ini bisa bersikap seperti itu kepada Bang Rikky.? Apakah dia pernah dihajar oleh Bang Rikky.? Aku sih tidak kaget, kalau sampai Bang Rikky pernah menghajar security itu, karena darah Bang Rikky itu panas. Sama seperti Pakde Eed, Bang Rendi dan Bang Ryan. Keluarga mereka itu memang gila dan paling gila diantara keluarga besar Van Gerrit.

“Hem.” Ucap Bang Rikky singkat, lalu dia berjalan ke arah Lift yang ada disudut ruangan ini. Akupun langsung mengikuti Bang Rikky dan aku tidak jadi menegur security itu, karena menurut ucapannya, ternyata dia tadi sudah mencoba untuk melarang Bang Rikky mendekat ke arahku. Aku juga sempat memainkan kedua alis mataku ketika melihat ke arah security itu, karena dia merasa tidak enak kepadaku dan aku mengkodenya kalau aku tidak marah dengannya.

TING.

Pintu Lift terbuka dan kami berdua langsung turun kelantai satu.

Suasana di lantai satu ini tidak seramai ketika aku datang tadi. Mungkin mereka sudah naik keatas dan mencari hiburan sesuai kebutuhan mereka.

Bang Rikky berjalan ke arah sudut belakang café dan kami berdua duduk disana. Aku duduk disebelah kiri dan Bang Rikky disebelah kanan. Dari posisiku duduk, sebelah kiriku tembok depanku meja, kursi, lalu tanaman hias, jadi pandanganku tidak terlalu luas. Sedangkan Bang Rikky masih bisa melihat ke arah luar dan bisa melihat tamu yang baru datang.

Oh iya, selama kami berdua berjalan dari lantai empat kelantai satu ini, semua karyawan ditempat ini membungkukan badan ke arah Bang Rikky dan itu bukan sapaan biasa kepelanggan yang datang, melainkan penghormatan untuk Bang Rikky.

Waw. Keren juga pengaruh Bang Rikky ditempat hiburan ini. Aku jadi penasaran dengan sosok sepupu jauhku ini, sampai semua orang ditempat ini bisa hormat kepadanya.

“Mohon maaf Bang, ini minumannya.” Ucap security yang menjagaku diatas tadi dan dia membawakan minumanku yang sisa setengah botol.

“Dan ini minuman untuk Bang Rikky dari bos kami.” Ucap Security itu lagi dan dia meletakkan satu botol yang masih bersegel, dan jenis minumannya sama seperti minumanku yang sisa setengah.

Cok. Bang Rikky dikasih cuma – cuma minuman mahal.? Gila, gila.

“Terimakasih.” Ucap Bang Rikky dengan santainya, lalu dia membakar rokoknya.

“Untuk Mas Lingga, mulai hari ini, Mas akan mendapatkan diskon 40 %, setiap berkunjung ketempat ini.” Ucap security itu dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Kau kira aku tidak bisa membayar full.?” Tanyaku.

“Bu, bu, bukan begitu Mas. Ini pesan dari bos saya, karena sampean adiknya Bang Rikky.” Ucap security itu dan aku langsung melihat ke arah Bang Rikky.

“Mulai malam ini, adikku ini gak akan setiap hari kesini.” Ucap Bang Rikky lalu dia menghisap rokoknya.

“I, i, i, iya Bang.” Sahut security itu.

“Loh Bang.” Ucapku yang terkejut, karena Bang Rikky sudah mulai mengatur hidupku.

“Kenapa.? Kamu gak suka.? Coba aja kamu datang besok. Kubuat pingsan kamu dilantai empat, terus aku seret kamu kelantai satu lewat tangga darurat.” Ucap Bang Rikky sambil menoleh ke arahku dan tatapan matanya terlihat sangat dingin.

Akupun langsung memalingkan wajahku ke arah depanku, bukan karena takut dengan tatapan Bang Rikky. Aku malas ribut, apalagi dia masih ada hubungan keluarga denganku.

“Sebenarnya aku malas mengatur – ngatur hidupmu, karena kamu sudah dewasa dan kamu sudah bisa mempertanggung jawabkan setiap tindakanmu.” Ucap Bang Rikky dan aku hanya mengambil bungkusan rokokku dikantong, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“Kalau bukan karena ancaman Papahku dan aku ada janji untuk bertemu dengan kawan bisnisku dicafe ini, aku tidak akan datang menemuimu disini.” Ucap Bang Rikky lagi dan aku langsung meliriknya.

Ahh. Pakde Eed rupanya mengawasi aku melalui Bang Rikky. Aku juga sempat berpikir, kenapa Bang Rikky datang kekota ini, karena dia kan sudah lulus dua tahun yang lalu. Harusnya dia berada dikota sebelah, karena dia bekerja disana. Ahhh, cukkklah.

“Ma, ma, maaf Bang, Mas. Saya pamit dulu ya.” Ucap security itu dan rupanya dia masih berdiri ditempatnya. Wajahnya terlihat ketakutan karena kondisi yang agak tegang ini.

“Iya Om. Terimakasih ya.” Ucap Bang Rikky dan security itu langsung mengangguk, lalu membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkan kami.

Suasana canggung pun, langsung terasa diantara kami berdua. Kami sama – sama diam dan kami sama – sama asyik dengan rokok masing – masing.

Akupun langsung menuangkan minumanan ke gelas sloki, lalu aku meminumnya.

Gluk.

“Ah.” Ucapku, lalu aku menuangkan lagi dan menyerahkannya ke Bang Rikky.

“Gluk.”

“Ah.” Bang Rikky meminumnya lalu menyerahkan gelasnya kepadaku lagi.

“Kelihatannya kuat juga pengaruh Abang ditempat ini.” Ucapku yang membuka obrolan, agar menghilangkan suasana canggung diantara kami.

“Enggak juga, aku itu dulunya pelanggan tempat ini, sama seperti kamu saat ini. Pelanggan istimewa.” Jawab Bang Rikky tanpa melihat ke arahku.

“Kalau pelanggan istimewa itu dapat diskon 40%, bukannya dikasih Cuma – Cuma.” Sahutku dan Bang Rikky langsung melirikku.

“Kamu itu laki – laki, tapi kok cerewet ya.?” Tanya Bang Rikky dan aku hanya tersenyum saja.

Akupun melanjutkan putaran sampai isi botol minumanku habis dan Bang Rikky menyuruhku membuka botol minuman miliknya. Kami berdua terus menikmati minuman ini dan aku yang tetap menjadi bandarnya. Kepalaku mulai terasa berputar – putar, tapi aku tetap meminum minuman ini.

Lalu tiba – tiba, seseorang berjalan mendekat ke arah meja kami. Wajah orang itu terlihat garang dan tatapan matanya terlihat sangat tajam. Punggung tangannya memperlihatan benjolan – benjolan yang menghitam dan menandakan kalau kepalan tangan itu sering digunakan untuk baku hantam.

“Loh Bang Rikky, kapan datang.?” Tanya orang itu dan dia langsung menyalami Bang Rikky sambil menganguk. Orang ini seperti segan dan hormat dengan Bang Riky.

“Eh Van. Baru tadi pagi aku datang. Duduk.” Jawab Bang Rikky dan orang itupun langsung duduk dihadapan kami.

“Oh iya Van, kenalin. Ini adikku. Namanya Lingga. Dia kuliah dikampus kuru.” Ucap Bang Rikky dan orang itu langsung melihatku sambil menjulurkan tangan kanannya

“Arvan Satriadi.” Ucapnya lalu dia tersenyum.

“Oh iya. Saya Lingga Bang.” Ucapku sambil menjambat tangannya sebentar, lalu saling melepaskan. Kepalan tangannya besar, tapi lengannya kecil. Ciri – ciri ini biasanya dimiliki orang yang memiliki pukulan yang sangat kuat.

“Abang nginap dikosan kan malam ini.?” Tanya Bang Arvan ke Bang Rikky.

“Kelihatannya enggak. Aku masih ada urusan sama kawan bisnisku.” Jawab Bang Rikky lalu dia menghisap rokoknya.

Aku yang melihat mereka asyik mengobrol, langsung mematian rokokku yang sedikit lagi menyentuh filternya, lalu aku mengambil bungkusan rokokku lagi dan mengambilnya sebatang. Dan ketika aku akan membakar rokokku, korek yang aku pegang jatuh kelantai sebelah kiri.

Pletak.

Akupun langsung menunduk dan mengambil korek yang ada dilantai.

“Halo Bang Rikky, sudah lama ya nunggu Lani.?” Tanya seorang wanita yang baru saja datang dan aku sangat mengenal suara itu. Suara itu milik wanita bernama Mey Lani dan akupun dibuatnya terkejut, karena Lani mengenal Bang Rikky.

Ahh. Cuukkklahhh. Kenapa juga aku harus bertemu dengan wanita ini, padahal aku sudah bersusah payah untuk menghindarinya beberapa hari ini.

“Kebiasaan telatmu itu gak ilang – ilang.” Ucap Bang Rikky dan Lani terlihat duduk disebelah Bang Arvan.

“He. Jagoan Pondok Merah. Melamun aja.” Ucap Mba Lani dan aku menegakkan tubuhku, lalu melihat ke arah Lani yang menoleh ke arah Bang Arvan.

Ha.? Jagoan Pondok Merah.? Bang Arvan ini anggota Pondok Merah.? Terus dia tadi menawari Bang Rikky tidur dikosannya itu, kosan Pondok Merah maksudnya.? Jadi Bang Rikky ini dulunya anggota Pondok Merah.? Berarti Bang Rikky kenal dong sama Elang, panglima Pondok Merah yang terkenal itu.? Gila, gila.

“Gimana kabarnya Mba Lani.?” Tanya Bang Arvan ke Lani.

“Yang jelas kabarku makin cantik aja.” Ucap Lani lalu dia menoleh ke arahku.

Mei Lani

“Loh Lingga, ngapain disini.? Kok kamu kenal Bang Rikky sama Elang.?” Tanya Lani yang terkejut dan aku tidak kalah terkejutnya, karena dia menyebut nama Elang bukan Arvan.

Berarti Bang Arvan yang ada dihadapanku ini, Elang panglima Pondok Merah yang terkenal itu.? Gila. makanya tatapan matanya terlihat tajam seperti elang dan kepalan tangannya terlihat menghitam seperti itu. Tapi kenapa juga Bang Elang sangat menghormati Bang Rikky.? Seberapa besar pengaruh Bang Rikky dikosan yang terkenal dengan sarang preman itu.? Dan kenapa bisa Lani mengenal Bang Arvan dan juga Bang Rikky.? Oh, jadi karena Lani mengenal mereka berdua, dia berani membawa nama Elang dan Pondok Merah, ketika aku menyelamatkan kedua temanku di kosan Black House waktu itu. Waahhh. Banyak sekali pertanyaan di otakku.

“Kamu kenal adikku sepupuku Lan.?” Tanya Bang Rikky ke Lani, sebelum aku menjawab pertanyaannya.

“Lingga adik sepupu Abang.?” Tanya Lani dan Bang Rikky hanya mengangguk pelan

“Pantas aja.” Ucap Lani dan wajahnya seperti anak yang sedang ujian, terus dia belum belajar, lalu tiba – tiba teman sebangkunya memberikan contekan.

“Pantas apa.?” Tanya Bang Rikky dengan herannya.

“Pantas dia berani menyerang kosan Black House sendirian.” Ucap Lani dan aku langsung melotot ke arahnya.

“Wah. Gila juga kamu Ngga. Kamu kan mahasiswa baru di kampus teknik kuru, kok berani kamu serang kosan bajingannya anak kuru.?” Tanya Bang Arvan dan Bang Rikky hanya melirikku saja.

“Sebenarnya aku takut juga Bang.” Jawabku lalu aku menuangkan minuman, setelah itu aku meminumnya, lalu aku menuangkan minuman kegelas lagi untuk Bang Rikky, lalu Bang Arvan.

“Takut apa.? Kamu hajar Adi sampai sekarat gitu kok.” Ucap Lani dan terlihat dari tatapan matanya, dia terkejut kalau aku mulai meminum minuman keras.

“Cok. Adi sekarat.? Adi itu kan orang terkuat kedua setelah Tono di Black House.” Ucap Bang Arvan sambil menyerahkan gelas sloki kepadaku.

“Sekuat – kuatnya Black House, takut juga kok sama Pondok Merah.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Hahahaha. Kalau itu gak usah dibilang lagi. Gimana Bang Rikky.?” Ucap Bang Arvan dengan bangganya, lalu dia bertanya ke Bang Rikky.

“Biasa aja.” Jawab Bang Rikky dengan santainya.

“Kok aku gak dikasih minuman sih Ngga.?” Tanya Lani sambil mengeluarkan bungkusan rokoknya, lalu dia mengambilnya sebatang dan membakarnya.

Bang Rikky dan Bang Arvan melirik ke arah Lani, dan membuat wanita itu hanya tersenyum sambil menunjukan kedua jarinya yang terbuka.

“Pissss.” Ucap Lani.

“Oh iya Bang. Kok Abang kenal Mba Lani.?” Aku yang bertanya ke Bang Rikky dan terlihat Lani kesal kepadaku, karena aku tidak memberinya minuman.

“Aku join sama Lani, buat bisnis Café yang ada didekat sawah.” Jawab Bang Rikky dan sekarang giliran aku yang terkejut dan seperti mendapatkan contekan ketika ujian.

“Pantas aja.” Ucapku sambil mengangguk – anggukan kepalaku.

“Pantas apa.?” Lani yang bertanya dan bukannya Bang Rikky.

“Pantas aja anak – anak Black House takut sama Mba Lani, terus waktu Adi buat kekacauan di café dekat sawah, dia dibiarkan sekarat di dekat pos keamanan.” Ucapku dan Lani langsung melotot ke arahku.

“Loh, Adi berani buat kacau dicafenya Bang Rikky dan Mba Lani.? Mau aku ratakan kah kosan Black House sekarang juga.?” Ucap Bang Arvan dengan wajah yang serius.

“Gak usah buat keributan dengan anak – anak Black House. Ingat pesan panglima abadi Pondok Merah.” Ucap Bang Rikky dan Bang Arvan pun langsung terdiam.

“Lagian Adi sudah diberi pelajaran sama Lingga kok.” Ucap Bang Rikky.

“Oh iya Bang.?” Ucap Bang Arvan dan kembali aku memutarkan minuman kepada kami bertiga. Kali ini Lani tidak meminta minuman dan dia hanya asyik dengan isapan rokoknya saja.

“Iya. Kalau menurut cerita Lani dan Lingga barusan, aku bisa menyimpulkan. Lingga buat keributan di kosan Black House, terus permasalahannya merembet ke Café dekat sawah, karena ada Lingga disana. Adi ngajak duel Lingga dan Adi kalah sampai sekarat. Lani datang dan dia membiarkan Adi sekarat, untuk memberi pelajaran anak – anak Black House, supaya tidak usah macam – macam di café kami.” Ucap Bang Rikky.

“Yeeeee. Bang Rikky bener.” Ucap Lani sambil bertepuk tangan dengan senangnya.

Prok, prok, prok, prok.

Cok. Cepat banget berubah moodnya wanita satu ini. Dia bisa marah, kesal, lalu senang hanya beberapa detik saja.

“Gak salah aku berbisnis dengan orang yang pintar seperti Bang Rikky.” Ucap Lani lagi.

“Oh iya Bang. Bang Rikky kan panglima Pondok merah sebelum Elang.? Kenapa ada yang namanya panglima abadi Pondok Merah, siapa dia dan ada perjanjian apa dengan Black House, sampai anak – anak Pondok Merah dilarang menyerang Black House.?” Tanya Lani yang kembali membuat aku terkejut, karena Bang Rikky ternyata pernah menjadi orang yang paling berpengaruh di Pondok Merah dan ini yang menyebabkan Bang Arvan sangat menghormati Bang Rikky.

“Kalau menurut silsilah Panglima Pondok Merah dari masa – kemasa, Panglima abadi itu dua tingkat diatasku. Namanya Mas Sandi Purnama Irawan. Dia menikah dengan sepupuku, Emery Naula Unna. Kenapa dia disebut panglima abadi Pondok Merah.? Karena Mas Sandi telah membunuh pendiri Black House yang usianya sama seperti Papahku.” Jawab Bang Rikky.

“Terus masalah perjanjian antara Pondok Merah dan Black House, itu memang ada, tapi tidak tertulis. Mas Sandi cuman pernah berbicara kepada panglima Black House jaman itu, kalau sudahi saja perkelahian antara Pondok Merah dan Black House. Kalau sampai terjadi lagi, Bang Sandi akan turun tangan dan dia akan membuat kosan Black House menjadi kuburan bagi penghuninya sendiri.” Ucap Bang Rikky lagi.

“Ooohhh. Begitu ceritanya. Makanya mereka kok takut sekali dengan anak – anak Pondok Merah. Ternyata pendahulu Pondok Merah lebih mengerikan ya.? Mereka bisa sampai membunuh musuh – musuhnya dan jaman itu pasti kedua kampus suasananya sangat tegang sekali.” Ucap Lani.

“Iya. Kalau jaman itu, gak mungkin anak kampus kuru dan kampus teknik kita bisa satu meja seperti kita – kita sekarang ini. Walaupun mereka bukan bagian dari Pondok Merah dan Black House loh ya. Apalagi kalau mereka itu bagian dari kedua kosan itu, mungkin bisa saling bunuh ketika berhadapan seperti ini.” Ucap Bang Rikky.

“Sudah – sudah Bang, gak usah dibahas lagi. Lani malah ngeri bayanginya.” Ucap Lani dan bertepatan dengan beberapa orang yang masuk dicafe ini, yang menggunakan kaos hitam bertuliskan Black House didada.

“Baru aja dibicarakan, sudah muncul anak – anak Black Housenya. Panjang umur juga mereka.” Ucap Bang Arvan.

“Kamu jangan macam – macam ya Elang. Mereka itu temanku semua.” Ucap Lani.

“Iya Mba, iya.” Jawab Bang Arvan.

Beberapa anak Black House itu sempat melihat ke arah kami dan mereka tidak jadi berjalan ke arah kami. Mereka duduk dikursi yang ada didekat pintu keluar sana dan mereka tidak ada yang melihat ke arahku. Terlihat disana ada Tono panglima Black House dan Adi yang baru aku buat sekarat beberapa minggu yang lalu.

“Oh iya Lan. Jadi bagaimana, kamu jadi cabut dari café dekat sawah.?” Tanya Bang Rikky dan aku langsung menatap mata Lani.

“Loh, Mba mau cabut dari café sawah.? Kenapa Mba.? Cafenya kan ramai terus dan potensi kedepannya juga luar biasa.” Tanya Bang Arvan.

“Eh, anu Lang.” Ucap Lani yang terlihat ragu, apalagi aku menatap matanya.

“Lani itu sudah selesai kuliahnya. Minggu depan dia balik ke propinsi sebelah, terus tiga bulan lagi balik untuk wisuda, lalu setelah itu langsung menikah.” Jawab Bang Rikky dan kepalaku terasa panas mendengar kabar Lani akan menikah beberapa bulan lagi. Walaupun aku tau dia sudah bertunangan dan pasti akan menikah, tapi kabar yang disampaikan Bang Rikky ini membuat efek minuman yang aku teguk dari tadi, seperti merebus isi kepalaku.

“Ya mau bagaimana lagi Bang. Aku sudah bosan, karena terlalu lama di kota ini.” Jawab Lani yang terdengar sinis dan dia membalas tatapan mataku dengan sedikit tajam

“Terus bagaimana dengan modalmu yang 50 %.? Kamu sudah dapat penggantinya.?” Tanya Bang Rikky dan kembali aku memutar minuman.

“Kalau masalah modal itu, gak usah Abang pikirin. Abang jalan aja. Abang sudah banyak bantu Lani selama ini. Jadi Lani sudah putuskan, kalau Abang yang punya café itu sepenuhnya.” Jawab Lani dan mereka berdua cuek saja membahas masalah bisnis mereka, padahal ada aku dan Bang Arvan disini.

“Bukan itu masalahnya Lani. Kalau masalah modalmu, aku bisa ganti’in sekarang juga. Masalahnya itu, aku gak bisa menjalankan bisnis kita sendirian, aku gak sanggup. Aku lagi persiapan buat menikah dan bisnis cafeku juga ada dibeberapa tempat dikota lain.” Ucap Bang Rikky.

“Ya terus bagaimana Bang.?” Tanya Lani yang terlihat bingung.

“Bagini aja Bang. Aku yang ganti modalnya Mba Lani.” Ucapku agar pembahasan ini tidak berlarut dan aku ingin menikmati minuman lebih banyak lagi. Aku menunggu minuman ini habis dulu, setelah itu aku akan memesan lagi. Malam ini aku mau minum sebanyak – banyaknya, walaupun sekarang aku sudah sangat mabuk.

“Kalau begitu sekalian aja sama punyaku. Jadi kamu yang punya bisnis café itu sepenuhnya.” Ucap Bang Rikky dan aku langsung terbengong – bengong, karena bukan seperti ini tujuanku.

Okelah, bagian Lani aku beli dan aku bisa menjalankan cefe itu berdua Bang Rikky, bukan malah punya Bang Rikky juga aku beli. Aku tidak punya pengalaman dan untuk apa juga aku mengelola bisnis café, sedangkan uangku saja masih berlebih. Intinya tadi itu supaya pembahasannya tidak berlarut, bukannya membuat malah pikiranku semakin semrawut.

“Kok gitu Bang.? Aku gak bisa jalankan sendirian.” Ucapku.

“Kamu gak perlu jalankan sendirian. Manajemen cafenya sudah ada dan kamu tinggal mengontrol aja kesana. Gak usah terlalu sering, satu bulan sekali aja sudah cukup. Mereka yang ada dicafe itu orangnya sudah professional semua dan aku pastikan mereka orang – orang yang jujur.” Ucap Bang Rikky yang mencoba meyakinkan aku.

“Kalau sudah seperti itu, ngapain Abang lepas.? Abang bisa menjalankan sendiri dan gak perlu sering datang kekota ini.” Ucapku membalikan ucapan Bang Rikky.

“Aku sibuk dan aku mau menikah. Lagian, mauku itu kamu ada kegiatan.” Ucap Bang Rikky dengan nada yang agak meninggi.

“Iya. Biar gak mabuk aja terus.” Sahut Lani dengan nada yang tidak kalah tinggi dan membuatku kembali terbengong.

Bang Rikky langsung meraih pergelangan tangan kananku dengan tangan kirinya, lalu mengarahkan ke telapak tangan kanannya.

“Deal.” Ucap Bang Rikky yang menjabat paksa tangan kananku, lalu dia berdiri.

“Van. Aku mau ke Pondok merah. Kita pesta malam ini.” Ucap Bang Rikky dengan senangnya.

“Siap Bang.” Sahut Bang Arvan dan dia langsung berdiri.

“Lan. Tugas terakhirmu sebelum kamu pergi, urus peralihan nama kita berdua ke Lingga. Kamu bisa kan.?” Ucap Bang Rikky ke Lani tanpa memberikan aku kesempatan untuk berbicara lagi.

“Siap Bang.” Ucap Lani dan dia tetap duduk dikursinya.

“Tapi Bang.” Ucapku terpotong.

“Aku tinggal dulu ya. Ayo Van.” Ucap Bang Rikky lalu dia berjalan dengan cueknya.

“Oke Bang.” Ucap Bang Arvan lalu dia menyusul Bang Rikky.

Cookkk. Kok jadi begini sih.? Kenapa tiba – tiba aku mepunyai tanggungjawab yang besar dan mau tidak mau, aku sekarang bertanggung jawab kepada semua karyawan yang ada dicafe dekat sawah. Bajingan.

Bang Rikky tidak langsung melangkah ke arah luar café dan dia singgah dulu ke meja tempat berkumpulnya anak – anak Black House. Terlihat Bang Rikky berbicara dengan wajah yang terlihat dingin dan dia menatap satu persatu anak – anak Black House, sambil sesekali melirik ke arahku. Anak – anak Black Housepun hanya mengangguk dan Bang Arvan yang ada disamping Bang Rikky, memperlihatkan tatapan mata elangnya.

Beberapa saat kemudian, Bang Rikky dan Bang Arvan keluar dari café dan sekarang aku hanya bisa terdiam, bersama wanita yang selalu aku hindari ini. Entah bagaimana perasaanku saat ini dan entah apa yang harus aku bahas dengan Lani setelah ini.

Lani mengambil botol minuman yang ada dihadapanku, lalu dia menuangkan digelas sloki, setelah itu dia meminumnya sambil menatapku.

“Rokokmu semakin deras dan sekarang kamu juga mulai minum minuman keras.” Ucap Lani yang terlihat sangat serius sekali, sambil meletakan gelas sloki dihadapanku lagi.

“Memangnya kenapa.? Aku enjoy aja dengan semua yang sudah aku lakukan saat ini.” Ucapku dan sekarang aku yang menuangkan minuman digelas sloki, setelah itu aku meminumnya.

“Enjoy kamu bilang.?” Tanya Lani dan aku hanya menatapnya saja. Kembali Lani menuangkan minuman, lalu dia meminumnya.

“Enggak. Semua ini hanya bentuk ekspresi kekecewaanmu dan pelampiasan sesaatmu. Hatimu gak se enjoy ucapanmu.” Ucap Lani dengan nada yang terdengar sinis, lalu dia menungkan lagi minuman digelas dan meminumnya lagi.

“Kamu telah mengecewakan banyak hati, hanya karena satu hati yang mengecewakan hatimu.” Ucap Lani lagi, lalu dia memalingkan pandangannya dari mataku. Wajahnya terlihat mulai memerah dan nafasnya mulai terdengar cepat.

“Sudah diberi tempat, ternyata cuman dijadikan pelarian sesaat.” Gumamnya pelan dan terlihat matanya mulai berkca – kaca. Di ambilnya botol minumanku lagi dan lagi, lalu dituangkan kegelas, setelah itu dia meminumnya.

Cuukkk. Kenapa dia minum terus sih.? Apa dia sengaja melakukan itu agar aku marah kepadanya.? Terus maksud ucapannya tadi itu apa.? Dia juga menciantai aku.? Sejak kapan.? Kalau dia mencintai aku, kenapa ada cincin yang melingkar dijari manisnya dan kenapa juga dia akan menikah secepatnya.? Apa dia hanya bercanda dan candaannya itu menempatkan dirinya sebagai korban disini.? Ahhhh, bajingan.

“Ha.? Aku gak salah dengar.? Kamu sudah memberi tempat untukku.?” Tanyaku dan Lani langsung memalingkan wajahnya.

“Hey Nona.” Ucapku dengan nada yang agak meningggi, karena efek minuman yang aku minum sudah mulai menendang – nendang kepalaku dan Lani langsung menoleh ke arahku.

“Lihat cincin yang ada dijarimu. Siapa yang sudah kamu beri tempat.? Aku atau orang yang sudah menyematkan cincin itu dijari manismu.?” Tanyaku dengan emosi yang tertahan.

“Ini yang kamu tanyakan.?” Tanya Lani sambil menekuk keempat jarinya dan tinggal jari manis yang tersemat cincin saja yang tegak lurus.

“Ini ada, karena kamu laki – laki yang seperti ini.” Ucap Lani sambil menekuk jari manisnya, lalu menegakan jari tengahnya saja.

Kedua matakupun langsung melotot, karena Lani mengacungkan jari tengahnya ke arahku dengan tatapan matanya yang tajam. Tatapan matanya itu memperlihatkan kalau dia marah, jengkel, benci, tapi juga ada rasa sayang dan juga cinta, yang dibungkus dengan kecemburuan yang begitu kuatnya.

“M a k s u d n y a.?” Tanyaku dengan intonasi kata yang aku buat lambat tapi tegas.

“Kamu kira hanya kamu saja yang jatuh cinta pada pandangan pertama kita.? Kamu kira hanya hatimu saja yang berbunga – bunga ketika kita berjabat tangan.? Kamu kira aku memelukmu ketika kamu sedang membantai Adi, hanya pelukan sebagai seorang teman.?” Tanya Lani dengan kata – kata yang tajam dan kata – katanya itu langsung menusuk – nusuk hatiku yang masih terluka ini.

“Ayolah tuan penebar pesona yang pura – pura lugu. Mana ada wanita yang mau memeluk seorang laki – laki yang baru dikenalnya, tanpa memiliki rasa.” Ucap Lani dengan wajah yang sudah memerah dan tubuhnya mulai bergoyang karena efek minuman yang dia minum.

“Lani. Aku bukan orang yang suka tebar pesona ya.” Ucapku dan aku tidak memanggilnya dengan sebutan Mba lagi.

“Apa.? Gak salah dengar nih.? Terus bagaimana bisa kamu mengajak Thifa berduaan didalam rumahmu, mulai pagi sampai sore, kalau kamu tidak menebar pesonamu itu tuan yang pura – pura lugu.?” Ucap Lani yang membuatku kembali terkejut dan dia langsung mengambil botol minumanku, setelah itu dia meminumnya langsung tanpa menggunakan gelas.

“Gluk, gluk, gluk, gluk.”

Kembali aku terkejut dan entah sudah berapa kali aku menampakan ekspresi seperti ini. Lani yang sudah mabuk itu menampakan kecemburuan yang sangat luar biasa dan cara minumnya itu sangat buas sekali.

“Gluk, gluk, gluk, gluk.”

“Cukup Lan, cukup.” Ucapku sambil berdiri dan aku langsung mengambil botol yang ada digenggaman tangannya.

“Ngapain kamu perduli’in hidupku sih.?” Ucap Lani sambil menatapku.

Tatapan matanya yang sudah memerah itu terlihat tajam dan dia seperti menunjukan kepadaku, kalau dia marah dan ingin mencakarku habis – habisan.

“Sudah, sudah. Kita balik yuk.” Ucapku dan aku ingin menghentikan obrolan kami yang belum selesai ini, karena kondisi sudah tidak memungkinkan.

“Enggak, aku gak mau pulang sama kamu. Aku benci sama kamu.” Ucap Lani sambil menepis tangan kananku yang memegang lengan tangan kirinya.

Lani lalu berdiri dan tubuhnya terlihat bergoyang kekanan dan kekiri..

“Lani.” Panggilku ketika dia mulai berjalan meninggalkan aku dengan sempoyongan.

“Lani.” Panggilku sambil mengikutinya berjalan dibelakangnya dan tiba – tiba tubuhnya oleng kekiri.

Tap.

Lani berpegangan dimeja dan aku langsung merangkul pundak kirinya, sebelum dirinya jatuh kelantai. Aku tegakkan tubuhnya, setelah itu memeluknya dari arah samping.

Lani memakai kaos yang bagian bawahnya menggantung diatas pusarnya, sehingga telapak tangan kiriku sekarang memegang kulit pinggul atasnya yang putih dan mulus itu.

“Ehemmm.” Ucap Lani dan kepala bagian sampingnya pun langsung tersandar dibahuku. Kedua matanya terlihat akan terpejam dan bibirnya sedikit terbuka.

Cuukkk. Kelihatannya mabuk parah nih Lani.

Akupun langsung berjalan sambil memeluk Lani dan kepalaku juga terasa pusing, karena aku lumayan banyak minum malam ini.

“Lingga.” Panggil seseorang, ketika aku sudah sampai didekat pintu café.

Aku lalu menghentikan langkahku, lalu melihat ke arah orang yang memanggilku. Dan ternyata yang memanggilku adalah Tono, panglima Black House. Aku tau kalau dia yang bernama Tono, karena dia memang terlihat seperti yang paling dihormati diantara anak – anak Black House.

“Tolong jaga sepupuku, karena selama ini dia belum pernah minum.” Ucap Tono yang mengejutkanku, karena aku baru tau kalau Lani belum pernah minum dan yang lebih mengejutkanku, dia itu sepupu Lani. Gila, gila.

“I, i, iya Mas.” Jawabku dan Tono langsung memalingkan wajahnya dariku, lalu dia menghisap rokoknya.

Adi dan anak – anak Black House lainnya tidak ada yang melihat ke arahku, dan mereka asyik dengan minuman yang ada dimeja mereka.

Akupun kembali melangkah keluar café dan kebetulan aku memarkirkan mobilku diparkiran VVIP, yang berada tidak jauh dari pintu masuk. Aku sekarang mengendarai mobil jeep rubicon peninggalan Ayahku dan mobil yang lama aku berikan pada keluarga Ayahku. Mobil ini keluaran terbaru dan Ayahku baru memakainya satu hari saja, sebelum kejadian na’as itu tiba. Mobil ini baru seminggu yang lalu datang dari pulau timur dan setiap malam selalu aku pakai ketempat hiburan malam.

Kita kembali kecerita.

Perlahan aku menaikan Lani kemobil, setelah itu aku memakaikan sabuk pengaman ditubuhnya.

“Lingga.” Ucap Lani yang mengigau pelan, ketika aku mengunci sabuk pengaman ditubuhnya.

Posisi tubuhku sekarang hampir menempel didadanya dan wajah kami berjarak sangat dekat sekali.

“Aku sayang kamu Lingga.” Ucap Lani yang kembali mengigau dan kedua matanya terpejam. Lalu tiba – tiba.

Cuuppp.

Dia memajukan wajahnya dan dia mengecup bibirku pelan.

Srettttt.

Kecupan singkat itu mengalirkan perasaan yang sangat luar biasa dan jantungkupun langsung berdetak dengan cepat. Hatiku yang sangat sakit karena kepergian Thifa dan mendengar kabar pernikahan wanita yang baru mengecup bibirku ini, perlahan mulai terobati.

Pohon – pohon cinta yang ada didalam diriku yang sudah mati mengering, perlahan mulai tergantikan oleh benih – benih cinta yang baru mulai tumbuh lagi. Tubuhku terasa melayang, bukan karena efek minuman, tapi efek dari kecupan yang sangat luar biasa ini.

Cuukkk. Ternyata rasa cintaku kepadanya tidak bisa hilang sepenuhnya dan sekarang justru kembali tumbuh, melebihi cintaku yang sebelumnya.

“Aku sayang kamu Ngga.” Igau Lani lagi, lalu.

Cuuppp.

Kembali Lani mengecup bibirku dan aku langsung menegakkan tubuhku, lalu aku menaatap wajah canti Lani.

“Aku juga sayang kamu Lan.” Gumamku sambil membelai pipinya yang kemerahan, lalu setelah itu aku menutup pintu mobil.

Blup.

Arrgghhh. Terus aku harus bagaimana ini.? Kecupan Lani ini benar – benar membangkitkan cintaku dan entah kenapa, aku ingin memperjuangkannya. Tapi bagaimana dengan statusnya yang sudah bertunangan dan beberapa bulan lagi akan menikah.?

Cuukkk. Mabuk ini tidak bisa membuatku berpikir dan justru semakin membuatku kacau.

Aku lalu berjalan ke arah sebelah kanan mobil dan aku baru sadar kalau aku belum membayar minumanku.

“Om.” Panggilku kepada security yang menjagaku tadi dan terlihat dia baru keluar dari pintu café.

“Iya Mas.” Jawabnya sambil mendekat ke arahku dan aku langsung membuka pintu mobilku, lalu aku mengambil segepok uang merah.

“Aku tadi belum bayar Om. Tolong dibayarkan ya. Kalau ada sisanya, ambil aja buat Om.” Ucapku sambil meyerahkan uang yang ada ditanganku.

“Kebanyakan kembaliannya Mas. Aku malu terima sebanyak ini.” Ucap Security itu.

“Sudahlah, sampean atur aja. Mau sampean ambil atau buat deposit dicafe itu atas namaku, terserah aja.” Ucapku yang malas berdebat dan aku langsung masuk kedalam mobil lalu menutupnya.

“Terimakasih Mas.” Ucapnya sambil menganggukan kepala dan aku langsung menjalankan mobilku.

Aku lalu melihat ke arah Lani dan dengan kedua mata yang masih terpejam, dia terlihat sangat gelisah sekali.

Duh. Harus aku bawa kemana dia.? Apa aku antar kekosannya.? Tapi aku gak tau kosannya dan tidak mungkin juga aku antar kesana dalam kondisi mabuk seperti ini. Apa aku bawa kehotel aja.? Itu juga lebih tidak mungkin. Atau aku bawa rumahku aja ya.? Itu lebih baik dan aku bisa mengawasinya, kalau sampai dia melakukan hal yang gila dalam mabuknya ini.

Hiuufftt, huu.

“Lingga, kamu kok jahat banget sih.” Racau Lani dan matanya tetap terpejam.

Dalam kilatan cahaya lampu jalanan, terlihat wajah Lani yang putih itu memerah dan dia benar – benar sangat mabuk sekali.

“Kenapa kamu memilih wanita berjilbab itu dan kenapa kamu tidur dengannya.? Hiks, hiks, hiks.” Racau Lani dan kali ini di ikuti oleh tangisnya.

Cuukkk. Rupanya dia bukan sekedar tau kalau aku dan Thifa didalam rumahku seharian, tapi dia juga tau kalau kami berdua sudah bersetubuh. Tapi tau dari mana dia.? Argghhh.

“Aku menerima lamaran laki – laki itu, karena kamu telah memilih wanita itu Ngga. Kenapa kamu memberikan aku pilihan yang sulit dan kenapa kamu jahat banget sama aku. Hikss, hikss, hikss.” Racau Lani yang semakin terdengar sedih dan suara tangisnya itu memekakan telingaku.

“Aku sebenarnya masih berharap kepadamu dan aku tidak mau memakai cincin tunanganku, setelah mendengar kematian kekasihmu.”

“Tapi apa Ngga.? Kamu justru menggila setelah kehilangan dia dan ternyata kamu sangat mencintai wanita itu. Hikss, hikss, hikss.”

“Aku meminta laki – laki itu untuk segera menikahi aku disaat kamu sedang tidak sadarkan diri dirumah sakit dan aku memakai cincin itu lagi dijariku. Hikss, hikss, hiks.”

“Itu semua karena kamu Ngga, itu semua karena kamu.” Ucap Lani dan nada suaranya semakin meninggi.

“KAMU JAHAT NGGA, KAMU JAHATTT.” Teriak Lani yang semakin membuatku khawatir, lalu tiba – tiba. Lani yang menyandarkan punggung dan juga kepalanya di jok mobil, langsung membusungkan dadanya kedepan, tapi kepalanya tetap bersandar di jok mobil, lalu.

“UEEKKKKK.” Punggungnya tersandar dijok mobil lagi, lalu dia memutahkan isi perutnya dan aku langsung menepikan mobilku ditempat yang sangat sepi.

Muntahannya membasahi kaos dan juga celana kain yang dipakainya, serta sebagian lagi dilantai mobil.

“Heeee, heeee.” Nafas Lani terdengar berat dan aku langsung melepaskan sabuk pengaman miliknya.

Lani memajukan dadanya, lalu dia menunduk, setelah itu.

“Hueekkkkk.” Lani memuntahkan isi perutnya lagi dan yang keluar hanya cairan, tanpa bercampur makanan sedikitpun.

Akupun langsung mengurut tengkuknya pelan dan Lani terus memuntahkan cairan dari dalam perutnya.

“Hueekkkk.”

“Hueekkkk.”

“Ahhhhh, ahhhhh.” Lani mendangkakan kepalanya dan punggungnya kembali bersandar dikursi mobil.

“Lan.” Panggilku sambil membersihkan sisa muntahan disekitar mulutnya menggunakan tisu.

“Hem.” Sahut Lani dengan mata yang terpejam.

“Kamu tidur dirumahku aja ya.” Ucapku dan sekarang aku membersihkan area disekitar lehernya yang juga basah dan lengket, karena terkena muntahannya.

“Hem.” Jawab Lani dan setelah membersihkan bekas muntahan dimulut serta lehernya, aku memasangkan sabuk pengamannya lagi, lalu aku menjalankan kembali mobilku.

Sengaja aku tidak membersihkan sisa muntahannya di kaos serta celananya, karena aku akan membersihkannya dirumah dan aku akan mengganti pakaiannya dengan pakaianku.

Malam semakin larut dan jalanan dikota ini sudah sangat sepi sekali. Aku lalu melirik ke arah Lani dan ternyata dia sudah mulai tertidur. Dia sudah tidak mengigau lagi dan suasana didalam mobilku ini sangat hening sekali.

Keheningan didalam mobilku ini berbanding terbalik dengan isi kepalaku, yang seperti terguncang karena badai yang begitu dasyatnya. Hatiku yang mulai aku susun setelah tsunami kesedihan yang aku alami dua minggu kemarin, kembali luluh lantak dan semua itu karena igauan Lani yang pasti dikeluarkannya dari lubuk hatinya yang terdalam.

Hiuufftt, huuuuu.

Mobil yang kukendarai sudah masuk diwilayah perumahanku dan terlihat beberapa orang nongkrong dipos kamling. Pak RT, Darel dan beberapa orang pemuda perumahanku itu tampak melihat ke arah mobilku.

TIN.

Aku hanya menekan klakson mobilku dan aku tidak singgah seperti malam – malam biasanya. Aku tidak enak dengan mereka kalau melihat ada Lani yang sedang mabuk ini.

Beberapa saat kemudian, mobilku telah sampai didepan rumahku dan ketika aku akan turun untuk membuka pagar, Darel datang menggunakan sepeda motor dan dia langsung turun dari sepeda motornya, lalu membuka pintu pagarku.

Akupun langsung memasukan mobilku kegarasi, setelah itu aku mematikan mesinnya, lalu aku turun dari mobil.

“Kamu itu mabuk terus Ngga, Ngga.” Ucap Darel yang menyambutku dengan omelannya dan aku tidak menghiraukannya. Aku berjalan ke arah pintu sebelah kiri, lalu aku membuka pintu mobil dan membuka sabuk pengaman Lani, setelah itu aku membopongnya dan aku berjalan ke arah pintu rumahku yang masih tertutup.

“Cok, Mba Lani itu kenapa.?” Tanya Darel yang terkejut melihat Lani terkulai lemah.

“Gak usah banyak omong. Ambil kunci rumah di mobil, terus buka pintu rumahku.” Ucapku dan Darel langsung berlari ke arah mobilku lalu membuka pintu rumahku.

“Wah. Sakit kamu cok. Sakit otakmu. Kamu buat Mba Lani begini, bisa dicincang kamu sama anak – anak Black House.” Ucap Darel dan kembali aku tidak menghiraukannya. Aku berjalan masuk kedalam rumahku, lalu aku menuju kamarku.

Aku letakkan Mba Lani dikasurku, setelah itu aku keluar lagi. Darel yang melihatku keluar kamar, langsung menggelengkan kepalanya.

“Kamu melangkah sudah terlalu jauh. Kamu bukan Lingga yang aku kenal.” Ucap Darel dan pandangan matanya seperti mengasihani aku.

“Aku tau apa yang aku lakukan. Terimakasih kamu sudah perhatian sama aku.” Ucapku dan kembali dia menggelengkan kepalanya, lalu dia keluar rumahku tanpa berbicara lagi.

Akupun langsung mengunci pintu kamarku, setelah itu aku mengambil baskom, lalu aku mengisinya dengan air panas yang aku campur sedikit air dingin di dispenser. Aku lalu menuju kamarku, setelah itu aku meletakan baskomnya dimeja yang ada disebelah kasurku.

Aku pandangi tubuh Lani yang tertidur pulas dan jujur aku agak ragu untuk membersihkan tubuhnya, karena aku takut dia tiba – tiba sadar dan dia menganggapku sangat kurang ajar sekali. Tapi kalau tidak aku bersihkan pakaiannya yang basah dan bekas muntahan itu, besok dia pasti akan sakit.

Tidak ada niat apapun di kepalaku, selain membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya dengan pakaianku. Jujur aku sangat mabuk, tapi aku masih bisa mengontrol diriku.

Maaf ya Lan, ucapku dalam hati lalu aku menarik kaosnya yang tipis itu ke atas, sampai terlepas dari tubuhnya. Aku lalu melepaskan celana kainnya dan sekarang yang tersisa melekat ditubuhnya hanya celana dalam serta bra yang berwarna hitam.

Tubuh wanita keturunan negeri panda ini terlihat sangat putih dan sangat mulus sekali. Tidak terlihat bekas luka atau goresan sedikitpun disekujur tubuhnya. Buah dadanya yang tertutup bra itu terlihat pas dengan postur tubuhnya dan hatikupun langsung berdebar, karena pemandangan yang begitu indahnya didepan mata ini. Akupun mencoba menahan agar nafsuku yang mulai bangkit ini, tidak mengontrol diriku dan aku membuang jauh – jauh pikiran kotorku.

Aku lalu cepat berdiri dan mengambil handuk kecil dilemari, setelah itu aku mencelupkan di baskom yang berisi air hangat. Aku peras handuk kecil itu, lalu aku mulai membersihkan dari daerah wajah Lani.

Aku mengusapnya dengan lembut dan entah kenapa, melihat wajahnya yang tertidur ini, rasa cintaku semakin menguat kepadanya. Bukan hanya karena terlihat cantik, tapi aku merasa melihat aura kebaikan diwajah wanita ini.

Sapuan kain handuk yang lembut ini sekarang turun kedagu, lalu kesekitar bagian leher Lani.

“Heemmm.” Ucap Lani sambil menggerakan kepalanya sedikit.

Perlahan aku memeringkan tubuh Lani, lalu aku tengkurapkan dirinya, agar aku bisa membersihkan bagian belakang tubuhnya yang pasti basah oleh keringatnya.

Klik.

Aku membuka tali bra Lani dan aku langsung melepasnya, karena branya juga basah oleh keringat dan bekas muntahannya.

“Hemmmm.” Tubuh Lani menggeliat, ketika punggungnya aku sapu dengan handuk hangat dan basah ini.

Sampai detik ini aku tidak menyentuh tubuh Lani dengan telapak tanganku, kecuali ketika aku membuka pakaian luar, pakaian dalam dan membalikan tubuhnya.

Gairahku memang sudah membakar tubuhku, tapi aku menahannya sekuat tenaga dan caraku agar nafsu ini tidak menguasai diriku, aku tidak menyentuh kulit lembutnya itu.

Usapan kain handuk ini sudah sampai diatas bokongnya yang tidak besar dan juga tidak kecil ini. Perlahan aku menurunkan celana dalamnya dan sekarang Lani benar – benar sudah telanjang bulat, dengan posisi tertelungkup.

Huuuu. Bokong Lani tidak kalah putih dan mulus, dari semua bagian tubuhnya. Kalau saja dia ini milikku dan sudah sah menjadi istriku, aku akan menikmati bokong itu dan seluruh bagian tubuh lainnya juga. Aku akan memberikan kenikmatan yang tidak pernah dia bayangkan dan aku akan menjaganya, agar tidak ada satupun laki – laki yang menyentuh tubuhnya.

“Ahhhhh.” Lani menggeliatkan pinggulnya, ketika aku menyapu bokongnya yang padat dan kenyal itu.

“Lingga. Sentuh tubuhku ini sayang, sentuh lah. Hemmmm.” Ucap Lani aku langsung menghentikan sapuanku, lalu aku melihat ke arah wajah Lani yang menoleh ke arah kiri.

Matanya terlihat terpejam dan dia sedang menggigit bibir bawahnya.

Apakah Lani sudah sadar atau dia masih dalam pengaruh minuman.? Ahhh, pasti dia masih mabuk dan dia masih berada dibawah alam sadarnya. Kalaupun seandainya dia sudah sadar, dia pasti akan berontak dan dia pasti marah besar kepadaku.

“Uhhhhh. Lingga. Kenapa kamu menjauh sayang, apakah kamu tidak mau menyentuh aku.?” Gumam Lani ketika aku melanjutkan membersih kan kedua bokongnya bergantian.

Belahan bokongnya terlihat menyatu, karena kedua kakinya merapat. Aku pun terus membersihkan kedua bokongnya, setelah itu aku menyelupkan kain handuk kebaskom, lalu aku meremasnya dengan kuat dan aku menempelkan kain handuk itu ke bokong Lani lagi.

Cuukkk. Apakah niatku benar – benar hanya ingin membersihkan tubuh Lani.? Kalau hanya sekedar membersihkan, kenapa juga bagian bokongnya yang sudah aku bersihkan dari tadi, masih saja terus aku husap.? Argghhhh.

Husapanku perlahan turun kepahanya dan tubuh Lani semakin menggeliat. Aku menghusap naik dan turun dibawah bokongnya, lalu sesekali aku menyelipkan kebagian dalam pahanya.

“Ahhhhhhh.” Lani merenggangkan kedua pahanya agak melebar, sehingga bagian dalam belahan bokongnya sampai bagian vagina Lani, terlihat jelas dihadapanku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan aku langsung memalingkan pandanganku dari selangkangan Lani. Kali ini aku takut khilaf dan sekarang usapanku menuju ke arah paha bagian bawah, lalu bagian betis Lani. Aku membersihkan kedua kakinya yang jenjang bergantian, setelah itu aku menaruh kain handuknya kedalam baskom.

Hiuufftt, huuuu.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, karena setelah ini bagian depan tubuh Lani yang akan aku bersihkan dan itu pasti menjadi ujian terberat nafsuku.

Perlahan aku membalikan tubuh Lani, sampai dia terlentang dan aku langsung memejamkan kedua mataku. Aku menenangkan diriku sejenak dari nafsu yang mulai memburuku dan kemaluanku sudah mulai memberontak dari balik sempak.

Aku buka kedua mataku dan pemandangan yang sangat luar biasa sexy langsung menyambutku. Sosok yang kuanggap peri ini telanjang bulat dan itu tepat didepan mataku. Kemaluannya yang mungil dan tanpa ada sehelai rambutpun, terapit diantara selangkangannya dan seolah bersembunyi, karena malu terlihat olehku. Bentuknya imut dan sepertinya dia ramah kalau diajak untuk berkenalan.

Arrghhh. Kenapa pikiranku ngelantur kemana – mana.?

Akupun langsung melihat ke arah wajah Lani yang kembali tertidur dengan dengkuran yang halus. Aku harus segera membersihkan tubuh Lani, lalu aku memakaikan pakaian, setelah itu aku akan tidur. Aku juga sudah mengantuk dan aku tidak mau berlama – lama lagi, karena aku takut berbuat yang lebih jauh kepada Lani.

Aku ambil kain handuk didalam baskom, lalu aku memerasnya, setelah itu menempelkannya didada bagian atas Lani.

“Hemmm. Lingga, apakah dirimu yang datang.?” Gumam Lani dengan mata yang tetap terpejam.

Iya Lan. Kenapa emangnya.? Kamu mau aku sentuh lagi.?

Arrgghhh. Oi, oi, oi. Jangan ditanggapi. Cepat selesaikan tugasmu, terus tidur diruang tamu. Jangan sampai kamu menyetubuhi orang lagi, terus nanti kamu terkena hukuman yang lebih menyakitkan dan lebih menyedihkan Lingga.

Focus Lingga, focus. Jangan terganggu dengan suara Lani.

Aku menarik nafasku, lalu aku mengeluarkannya perlahan, setelah itu aku mulai mengusap dada bagian atas Lani.

HIufffttt,huuuuu.

“Ahhhhhh.” Desah Lani ketika aku mulai menyapu bagian dada atasnya, lalu perlahan mulai menyentuh buah dada sebelah kanannya yang sudah mengeras dan terasa sangat kenyal sekali.

Huuuuu. Gila. Sentuhanku ini memang terhalang kain handuk, tapi rasa nikmat dari kenyalnya buah dada Lani, bisa terasa sampai ke ubun – ubuin kepalaku.

“Sentuh aku Lingga, sentuh aku. Ahhhh.” Lani mengigau dan tangan kanannya sekarang berada di pungung tangan kananku, lalu menuntunnya untuk menghusap kedua buah dadanya bergantian.

Uhhhhhhh, gila. sentuhan tangan Lani ini semakin membuat nafsuku memburu dan kalau tidak cepat aku selesaikan, aku pasti akan menyetubuhi Lani. Aku tepis tangan Lani yang memegang punggung tanganku dan usapanku pun aku arahkan kedaerah perut Lani yang rata dan sexy, lalu kain handuk inipun berputar – putar diatas pusar Lani yang menggoda.

“Lingaaaaaa, ahhhhhh.” Desah Lani disertai perutnya yang mengencang dan usapankupun aku turunkan kebawah pusarnya.

“Ahhhhhh.” Desah Lani lagi dan disertai kedua pahanya yang mengapit, lalu pinggulnya beberapa kali tersentak keatas.

Ha. Apa Lani mengalami orgasme.?

Acuukklahhh. Aku sudah sangat tidak tahan dan aku harus menyelesaikan tugasku secepatnya.

Usapanku sekarang mulai turun kepaha kanan Lani dan tiba – tiba Lani melebarkan kedua pahanya, sampai menampakkan vaginanya yang telah basah.

“Terus Lingga, terus sentuh aku. Ahhhhh.” Lani mengigau semakin keras dan tubuhnya semakin meliuk – liuk.

Suara desahan serta suara igauan Lani ini, semakin menggema dikepalaku dan seperti menuntun tangan kananku untuk berbuat lebih jauh dari sekedar membersihkan tubuhnya.

Usapan kain handuku dipahanya turun kepaha dalamnya, lalu bergerak ke arah tengah, sampai menyentuh bibir vagina Lani.

“AHHHHHHHH.” Desah Lani dan kembali pinggulnya terangkat keatas.

Kain handuk ini semakin liar bergerak dan sekarang sudah berada tepat ditengah vagina Lani. Telapak tanganpun langsung menekan kain handuk ditengah – tengah vaginanya itu, lalu aku menggerakannya ke atas dan ke bawah dengan sangat lembut.

“AHHHHHH, LINGGAAA, LINGGAAA. AHHHHH.” Racau Lani dan kedua tangannya sekarang meremas kedua buah dadanya.

Pinggulnya yang masih sedikit terangkat, juga mulai bergerak ke atas dan kebawah, mengikuti usapan kain handukku.

“AHHHHH, AHHHHH, AHHHHH.” Desah Lani dan vaginanya yang terus menggesek kain handuk ini terasa berkedut, lalu tubuh Lani mengejang dan,

“AHHHHHHHHH.” Suara desahannya terdengar panjang dan disertai cairan kenikmatannya yang mengucur membasahi kain handuk yang masih menempel di vaginanya.

Sretttt, srettt, srettt, seerrrrrrr.

“LINGGAAAAAA.” Ucap Lani sambil mengedutkan kemaluannya beberapa kali dan dia mengeluarkan sisa sisa orgasmenya.

“Ahhhhhhh.” Desahnya lagi, lalu pinggulnya kembali terturun dikasur.

Cuukkkk. Kok bisa aku jadi begini sih.? Kenapa aku seperti memainkan nafsu Lani ya.? Kalau seandainya dia sadar, dia pasti akan marah dan dia akan membenciku seumur hidupnya.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafas Lani memburu dan kedua tangannya tergeletak disamping tubuhnya.

Akupun langsung melepaskan kain handuk yang ada divagina Lani, lalu aku menaruhnya dikamar mandi. Handuk itu sudah sangat basah dan lengket, karena semburan cairan kenikmatan milik Lani dan tidak mungkin lagi aku gunakan untuk membersihkan tubuhnya.

Aku mencuci tanganku menggunakan sabun, setelah itu aku mengambil handuk kecil lagi didalam lemari, untuk menyelesaikan tugasku yang sisa sedikit lagi.

Aku celupkan kain handuk ini dibaskom yang airnya sudah tidak terlalu hangat, setelah itu aku memerasnya. Aku lalu membersihkan sisa bagian tubuh Lani yang belum aku sentuh tadi dan kali ini aku melakukannya dengan agak cepat.

Aku letakan handuk itu kedalam baskom lagi dan aku langsung berdiri. Aku mau mengambil pakaian ganti untuk Lani. Kasihan kalau dia terlalu lama seperti itu, dia akan masuk angin.

“Lingga.” Panggil Lani, ketika aku akan berjalan ke arah lemari.

Akupun langsung membalikkan tubuhku, karena Lani bukan lagi sedang mengigau, tapi dia pasti sudah agak sedikit sadar dari mabuknya.

Aku lalu melihat ke arah wajahnya dan benar saja, kedua mata Lani sudah terbuka. Dia menatapku dengan pandangan yang sangat sayu dan bola matanya masih terlihat agak kemerahan.

“Temani aku.” Ucap Lani dan kedua tangannya menjulur ke arahku dan itu membuat kemaluanku yang sudah hampir tertidur, langsung berdiri dengan tegaknya.

Ha.? Serius.? Lani mengajakku untuk tidur bareng.? Dia gak sadar apa kalau dirinya sedang telanjang bulat.? Atau jangan – jangan dia tadi sengaja memejamkan mata dan dia menikmati semua sentuhanku lewat kain handuk kecil tadi, lalu sekarang dia menginginkan permainan yang lebih seru lagi.?

Waw. Aliran nafsu yang begitu dasyat dari batang kemaluanku yang tegak berdiri, langsung menjalar keperutku, dadaku, tenggorokanku, lalu berlari keotakku dan yang ada dipikiranku saat ini, aku ingin menyetubuhi Lani yang sudah mengulurkan tangan kepadaku.

Pikiranku yang tidak ingin menyetubuhi Lani, kalah telak dengan nafsu yang sudah berada diujung kepala batang kemaluanku dan aku langsung membuka seluruh pakaianku, sampai aku telanjang bulat.

Kombinasi sempurna antara nafsu dan efek minuman yang belum hilang dari kepalaku, membuatku seperti singa kelaparan dan aku ingin menerkam gumpalan daging yang sudah berwujud menjadi wanita cantik itu.

Nafsuku semakin menggeliat, ketika Lani menekuk kedua kakinya keatas, lalu kedua pahanya melebar dan memamerkan belahan daging imut yang menggemaskan itu.

Akupun langsung naik keatas kasurku dan aku posisikan selangkanganku tepat diselangkangan Lani, lalu aku membungkukan tubuhku dan aku bertumpu kedua sikutku. Lani menyambutku dengan rangkulan dileher belakangku dan sekarang wajah kami sangat dekat sekali.

“Aku sayang kamu Ngga.” Ucap Lani dengan suara yang bergetar.

“Aku juga, sayang.” Ucapku lalu.

Cuuppp.

Kecupan yang lembut aku arahkan kebibir Lani yang sedikit terbuka, lalu aku angkat lagi wajahku dan ujung kepala kemaluanku terasa menggesek belahan vagina Lani.

“Hemmmm. Aku cinta kamu Ngga.” Ucap Lani lagi dan desahannya itu disertai cairan yang merembes dari belahan vaginanya

“Aku juga, cinta.” Jawabku lalu.

Cuuppp.

Kembali aku kecup bibirnya dan ujung kemaulanku mulai sedikit masuk dibelahan vaginanya.

“Heemmmm. Aku ingin menjadi milikmu seutuhnya malam ini sayang.” Ucap Lani dan sekarang dia memejamkan kedua matanya, karena kepala kemaluanku sudah mulai masuk divaginanya yang sangat sempit itu.

“Aku juga mengingnkan itu.” Ucapku sambil terus mendorong kemaluanku divagina yang seperti menyambut kedatangan siperkasa ini.

“Sentuh aku sayang, sentuh aku. Aku ingin kamu menjadi orang yang pertama menyentuh dan menikmati tubuhku. Heemmmm.” Ucap Lani sambil membuka kedua matanya dan ucapannya itu seperti suara petir yang menyambar gendang telingaku.

Kata – kata Lani itu mengingatkanku pada ucapan Thifa, ketika aku akan menyutubuhinya waktu itu. Tatapan mata Lani pun berbeda dan aku baru merasakan, kalau dia belum sadar sepenuhnya dari efek minuman keras.

Tubuhku tiba – tiba menggigil dan kemaluanku yang sedang tegak sempurna dan sedikit lagi menembus selaput dara milik Lani, langsung menciut dan melemah dengan sendirinya. Ketakutan yang sangat luar biasa menyelimuti hatiku dan sekarang tubuhku tiba – tiba melemah.

Akupun langsung merebahkan tubuhku disamping kanan Lani dan kedua tangannya yang melingkar dibelakang leherku, langsung terlepas dan seperti tidak bertenaga.

Hawa dingin menyergap tubuhku yang telanjang dan terlentang. Aku miringkan tubuhku ke arah kanan dan aku memunggungi Lani yang entah masih membuka kedua matanya atau sudah tertidur. Hawa dingin ini sangat menyiksaku dan aku tidak kuat bangun untuk memakai baju ataupun mengambil selimut.

“Hu, hu, hu, hu.” Aku mengeluarkan hawa dingin yang ada didalam tubuhku dan tubuhku yang menggigil ini perlahan mulai meringkuk.

Ada apa dengan tubuhku saat ini.? Apakah karena mendengar ucapan Lani yang sangat mirip dengan ucapan Thifa waktu itu atau imun tubuhku melemah, karena aku selalu mabuk setelah keluar dari rumah sakit.?

“Hu, hu, hu, hu.” Tubuhku semakin terasa disiksa oleh hawa dingin ini dan aku sudah tidak kuat lagi.

Pukul 02.45. Bayangan jam dinding terlihat dikedua mataku yang mulai kabur, lalu beberapa saat kemudian kedua mataku perlahan mulai terpejam, dan.

Gelap.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis seorang wanita terdengar, ketika baru beberapa saat mataku terpejam dan aku langsung membuka kedua mataku lagi.

Pandangan mataku masih berbayang dan kembali aku memejamkan kedua mataku, lalu aku menekan bola mataku yang tertutup ini menggunakan jempol dan jari telunjukku.

Aku buka lagi kedua mataku dan pandanganku perlahan mulai membaik.

Pukul 08.15. Ternyata aku sudah tertidur hampir 6 jam dan sekarang tubuhku juga sudah tertutup selimutku yang tebal. Kepalaku masih terasa berat dan aku ingin melanjutkan tidurku lagi. Akupun menaikan selimut yang berada dibawah ketiakku, naik sampai menyisakan bagian kepalaku saja.

Tangan kananku yang berada didalam selimut meraba ke arah salangkanganku dan aku ingin mengelus ‘adikku’ yang biasa terbangun dipagi hari. Telapak tanganku yang dingin ini langsung terasa hangat, karena ‘adikku’ mulai menggeliat digenggaman tanganku.

Huuuuu. Kok aku gak pakai celana kolor ya.? Aku langsung mengangkat selimutku dan melihat ke arah selangkanganku, untuk memastikannya.

Cuukkk. Kok tumben aku tidur pakai acar telanjang bulat.? Apa semalam aku mabuk parah.? Tapi kalau mabuk parah, harusnya aku tertidur dengan pakaian lengkap dan bersepatu, seperti hari – hari kemarin, tapi kenapa bisa sekarang justru telanjang bulat.?.

“Hiks, hiks, hiks.” Terdengar suara tangis seroang wanita dibelakangku dan tubuhku langsung merinding seketika.

Loh. Ini kan sudah pagi, tapi kenapa masih ada suara hantu ya.? Sejak kapan dirumahku ada hantunya.? Iiiiii.

“Hiks, hiks, hiks.” Suara tangis itu tidak juga hilang dan perlahan aku langsung menoleh ke arah belakangku.

“AAAAAA.” Teriakku yang terkejut dan wanita yang menangis itu juga menoleh ke arahku, dengan ekspresi wajah yang tidak kalah terkejutnya.

“AAAAA.” Teriaknya juga dan tangisnya langsung terhenti.

Posisi wanita tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya dan yang tadinya duduk sambil memeluk kedua lututnya, lalu dibarengi isakan tangisnya, langsung meloncat ke arah belakangnya.

Dia yang terkejut itu menghadap ke arahku dan kedua buah dadanya yang ranum serta memiliki putting berwarna pink itu, terlihat jelas dan aku sempat terbengong sesaat. Selangkangannya yang juga tidak tertutup sehelai benangpun, ditutupnya rapat, dengan menyilangkan paha kanan yang menindis paha kiri.

“Lani. Ngapain kamu dikamarku dan kenapa kamu telanjang bulat.?” Tanyaku yang sangat heran dan juga terkejut, karena melihat kehadiran wanita yang aku hindari selama beberapa hari ini, ada didepanku dan dalam kondisi telanjang bulat.

“Kamu jahat Lingga, kamu jahat. Kamu apain aku semalam, sampai aku telanjang bulat seperti ini.? Hiks, hiks, hiks.” Tanya Lani sambil menangis dan aku tidak focus dengan wajahnya, melainkan ke arah buah dadanya yang ranum itu.

“AAAAA.” Teriaknya lagi dan dia yang tersadar tatapan mataku ke arah buah dadanya, langsung ditutupi dengan kedua tangannya yang menyilang.

“Tenang Lan, tenang. Memangnya semalam aku membawamu kesini ya.?” Tanyaku dan harusnya aku yang berteriak lagi, karena aku sangat panik sekali. Aku yang harusnya menenangkan diriku sendiri, malah mencoba menenangkan Lani. Bajingann.

“Hiks, hiks, hiks. Kamu jahat Ngga, kamu jahat.” Ucap Lani lambil menarik selimutku menggunakan tangan kanan dan itu membuat putting sebelah kirinya sempat terlihat oleh ku.

“Iya, iya. Maaf Lan.” Ucapku yang entah harus berbicara apa, karena ditengah kepanikanku ini, aku mencoba mengingat apa yang sudah terjadi semalam.

Oh iya, semalam kan aku minum sama Bang Rikky, Bang Arvan dan ada Lani disitu. Terus Bang Rikky dan Bang Arvan balik terlebih dahulu, lalu setelah itu aku dan Lani minum bersama, lalu kami keluar dari café, terus kemana ya.?

“Hiks, hiks, hiks. Jadi kamu lupa semalam berbuat apa sama aku.? Hiks, hiks, hiks.” Tanya Lani dan sekarang dia sudah menutupi tubuhnya dengan selimutku.

“I, i, ingat kok.” Ucapku karena samar – samar, aku sudah mulai mengingat kalau Lani aku bawa kerumahku dan semalam bertemu dengan Darel. Tapi sementara masih sebatas itu saja aku ingatnya.

“Aku juga ingat semua kejadian semalam Ngga, aku ingat semua. Aku memang mabuk parah semalam dan harusnya kamu mencegah diriku yang tidak terkontrol, tapi kamu malah memanfaatkan kesempatan itu untuk menikmati tubuhku. Hiks, hiks, hiks. Kamu jahat Ngga, kamu jahat. Hikss, hikss, hikss.” Ucap Lani dan dia terus menangis.

“Maaf Lan, Maaf.” Ucapku yang mulai mengingat sedikit demi sedikit, kejadianku bersama Lani semalam.

Tidak ada sahutan dari Lani dan dia hanya menunduk. Kelihatannya dia mencoba menenangkan dirinya sendiri dari gejolak batinnya.

Aku juga hanya bisa diam dan aku bingung harus bagaimana. Aku sudah bersetubuh dengannya, sedangkan sebentar lagi dia akan menikah. Aku takut terjadi apa – apa dengannya dan bisa saja dia mengakhiri hidupnya, seperti yang dilakukan Thifa.

“Kenapa Ngga.? Kenapa kamu melakukan itu.? Apa karena aku telah mengucapkan kalau aku cinta dan sayang sama kamu, jadi kamu menguji ketulusanku.?” Tanya Lani dan dia sudah tidak menangis lagi.

Akupun langsung menarik nafasku, mendengar pertanyaannya yang mengganggu pikiranku.

Hiufftt, huuuuu.

“Dengar ya Nona. Cinta ga perlu di uji, karena itu hanya akan membuat masalah. Dengan terjebak dalam rasa itu saja, kamu sudah masuk dalam sejuta permasalahan.” Jawabku sambil menatap matanya.

“Terus kenapa kamu melakukan itu.? Apa kamu sengaja untuk menggagalkan pernikahanku.?” Tanya Lani yang semakin lama membuat panas kupingku.

“Jawab jujur dan aku akan menerimanya, apapun itu. Kamu juga gak usah khawatir, kalau aku akan mengakhiri hidupku.” Ucap Lani pelan dan dengan suara yang bergetar.

Pertanyaannya membuatku panas, tapi ucapannya barusan membuatku sedikit tenang, karena dia tidak berpikir untuk menyerah dengan keadaan. Tapi apa yang harus aku jawab.? Apa aku jawab, kalau aku melakukannya karena aku cinta kepadanya.? Terus kalau dia menjawab kalau dia juga mencintaiku dan dia ingin membatalkan pernikahannya bagaimana.? Hubungan keluarganya dengan keluarga laki – laki yang meminangnya, pasti akan hancur dan Lani juga akan dibenci keluarganya besarnya.

Arrghhhh. Kenapa aku jadi laki – laki yang pengecut seperti ini sih.? Harusnya aku tetap jujur dan aku harus bertanggung jawab, karena aku sudah merenggut kehormatannya. Kalau aku tidak jujur dan dia menikah dengan tunangannya, lalu dikemudian hari pasangannya tau kalau Lani sudah tidak suci lagi, pasangannya itu pasti akan membenci Lani dan hidup Lani pasti akan sengsara.

“Karena aku mencintaimu Lan.” Ucapku sambil menatap matanya dalam – dalam.

“Cinta atau nafsu karena mabuk.?” Tanya Lani yang langsung menusuk jantungku.

“Aku memang mabuk dan aku memang tidak terkontrol tadi malam. Tapi bukan berarti aku melakukannya karena nafsu Lan. Aku sangat mencintaimu, apalagi.” Ucapku terpotong dan aku agak ragu untuk melanjutkan ucapanku.

“Karena aku mengucapkan kata cinta kepadamu.?” Tanya Lani yang mencoba menebak isi pikiranku dan memang itu yang sedang aku pikirkan.

“Dengar ya Lingga. Semalam aku mabuk dan kamu tau itu kan.?” Tanya Lani lagi dan aku hanya mengangguk pelan.

“Ucapanku semua ngelantur dan itu diluar kesadaranku.” Ucap Lani dan tatapan matanya seolah dibuat marah kepadaku.

“Maksudnya.?” Tanyaku dan aku menatap matanya dalam – dalam.

“Aku tidak pernah mencintaimu sedikitpun dan sekarang aku justru sangat membencimu.” Ucap Lani dengan mata yang berkaca – kaca dan aku tau dia sedang berbohong.

“Kamu mencintai aku dan kamu juga menyayangi aku Lan.” Ucapku dengan tegasnya dan Lani langsung melotot mendengar ucapanku ini.

“Tatapan matamu yang berkaca – kaca tidak bisa membohongi aku dan gestur tubuhmu ketika berbicara tidak bisa membuatku terpedaya.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan Lani langsung menundukan kepalanya.

“Nona.” Panggilku dan Lani langsung menegakkan kepalanya lagi.

“Aku tau kamu sangat berat mengucapkan kata – kata yang terdengar membangsatkan itu dan aku tau kamu pasti mengumpulkan semua keberanian yang ada didalam dirimu, sampai kata – kata laknat itu bisa keluar dari mulutmu.” Ucapku dengan emosi yang sudah menguasai diriku dan tetesan air mata Lani mulai membasahi pipinya.

“Kamu sudah menyetujui untuk bertunangan dan kamu sudah memutuskan untuk menikah secepatnya. Kamu pasti tidak ingin melihatku terlalu terpuruk dengan keputusanmu dan kamu ingin aku membencimu, agar aku bisa melupakanmu secepat mungkin.” Ucapku lagi dan aku mengelurkan semua isi kepalaku.

“Tapi maaf Lan, maaf.”

“Kalau kamu hanya ingin aku melepaskan dirimu, tak perlu kau menyakiti aku seperti ini.”

“Aku ikhlas melepasmu, tapi jangan kau bohongi dirimu sendiri dengan mengatakan kalau kau tidak mencintai aku.”

“Sakit Lan, sakit banget aku dengarnya.”

“Sakit ini terlalu besar dan menutupi semua rasa cintaku kepadamu.”

“Aku benci kamu Mei Lani, aku benci kamu.” Ucapku dengan mata yang berkaca – kaca dan Lani hanya terdiam dengan tetesan air matanya yang semakin menjadi.

“Sekarang lebih baik kamu mandi, setelah itu aku akan mengantarmu pulang dan kita tidak perlu berjumpa lagi untuk selamanya.” Ucapku lalu aku berdiri dan meninggalkannya yang menangis tersedu – sedu.

Maaf Lan, maafkan aku yang berucap sangat kasar kepadamu. Aku sengaja mengatakan itu agar kamu membenciku dan kamu bisa menikah sesuai dengan apa yang sudah kamu rencanakan.

Kamu tidak bisa membuatku membencimu, tapi aku akan membuatmu membenciku dengan cintamu.

Bukannya aku tidak mau bertanggung jawab karena sudah menyetubuhi dirimu dan bukannya aku tidak mau memperjuangkan cintaku, tapi aku yakin ada suatu hal yang sangat besar yang melebihi cintaku dan itu yang membuatmu menghentikan cinta kita yang belum sempat terjalin. Kamu pasti sudah memikirkan bagaimana kedepannya nanti bersama suamimu dan aku sangat yakin kamu tidak akan mengakhiri hidupmu, karena masalah kita ini.

Silahkan kamu membenciku setelah ini dan aku akan tetap bertahan dengan cintaku kepadamu. Biarkan aku menikmati kesakitan yang entah sampai kapan harus berakhir. Aku laki – laki dan aku akan mempertanggung jawabkan semua yang sudah aku ucapkan.



#Cuukkk. Lagi dan lagi, aku terjerumus kedalam jurang kepedihan yang bernama cinta. Hatiku mungkin belum terbiasa, tapi aku akan membiasakannya. Hatiku mungkin belum ikhlas, tapi aku akan mengikhlaskannya. Aku ikhlas.? Aku.? Ikhlas.? Ahhh. Bangsat.

 
Selamat sore Om dan Tante.

Updet tipis - tipis ya..
Mohon maaf kalau banyak kata yang gak nyambung atau banyak typo nya..
Maklumlah, mood nulisnya belum balik..

Semoga masih bisa dinikmati dan tidak mengecewakan..

Terimakasih untuk om yang sudah kasih uang rokok dan untuk beli minuman hangat..
Semoga rejekinya bertambah dan sehat selalu..

Bagi yang lain yang ingin kasih uang rokok dan uang minuman hangat, silahkan DM.
Kalau yang mau nyawer juga silahkan.
Tapi ingat, TIDAK ADA PAKSAAN.
Ada atau tidak ada berbagi rejeki, updet akan terus jalan..

Terimakasih.
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan..
:beer::beer::beer:

#Cuukkk. Aku mau bobo dulu sebentar di rumah sebelah. Kasihan Dewi nunggu aku dari tadi.. senggol Om Suhu @Nice4 dulu ah..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd