Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Selamat sore, para Suhu. Semoga masih kuat puasanya ya. Sekali lagi, terima kasih atas atensinya terhadap si Bule. Sekai lagi juga saya mohon maaf tidak bisa membalas koentar para Suhu, tetapi percayalah saya amat menghargai segala bentuk interaksi para Suhu, apalagi komen. Hanya saja saya sedang berfokus dengan menamatkan petualangan awal si Bule. Kali ini saya persembahkan bagian ketiga. Sesuai covernya, pada agian ketiga ini akan mulai ditampilkan genre asli si Bule. JAdi mohon jangan kecewa ya. Tetap ada kok romantisnya, juga adegan eue-nya. Mungkin setelah ini alias bagian keempat adalah episode tamat season satu. Dan seperti biasa, saya akan kembali menjadi silent reader dan bekonsentrasi berkarya di lapak KK. Saya berharap para Suhu dapat terhibur dengan cerita si Bule yang gak jelas ini. Mohon dimaafkan bila banyak kekurangan karena saya cuma suka menulis, bukan bisa menulis, apalagi master. Jauh banget itu. Sekali lagi, terima kasih banyak atas dukungan para Suhu.

***



BAGIAN 3​

Paginya kudapati Ci Leni duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusapi perutnya sendiri. Sedangkan tatapannya tertuju kepadaku sepaket dengan senyumnya yang terkembang manis. Ini adalah pemandangan bangun tidur paling indah, melihat majikan panlok-ku itu masih mengenakan jilbab dengan hanya mengenakan lingerie hitam yang bisa dibilang hanya sekadar ada saja. Bahannya yang transparan dan mini menegaskan fungsinya.

“Pagi, Sayang. Udah tidurnya?” sapa Ci Leni. Dia meraih betisku dan memijatnya lembut.

“Ci Leni ngapain di sini?” tanyaku sambil menarik selimut menutupi tubuhku sampai dada. Kupasang tampang terkejut sambil menatapnya takut-takut.

Majikan panlokku itu menyumpahiku habis-habisan sebelum dia kembali naik ke ranjang. Dia menyerangku tanpa ampun dengan kelitikan di pinggang ditambah gigitan di bahu dan leher. Aku menikmati sekali tawanya yang berbeda. Penuh akan rasa bahagia dan lepas tanpa beban.

“Aku turun dulu, ya. Sepertinya Edwin sudah pulang semalam,” kata Ci Leni. Diraihnya tangan kananku lalu dia cium punggung tangan itu. “I love you, Mas Bule.”

Aku tidak mampu menjawab. Jujur saja, aku justru merasa bersalah kepada Koh Edwin. Tidak peduli mereka bilang itu adalah keinginan mereka atau apa pun, yang jelas aku tidak merasa hal yang kulakukan itu benar. Selepas Ci Leni keluar kamar, barulah otakku dapat kembali bekerja dengan normal.

“Mas Bule! Udah bangun? Saya izin masuk, ya?”

Suara itu milik Mbak Iis. Aku baru ingat kembali dengannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya.

“Masuk, Mbak Is!” seruku tanpa merasa perlu menutupi tubuh telanjangku. Toh sebentar lagi aku harus mandi.

“Mas Bule ... maaf ... kemarin anakku sakit, jadi aku langsung pulang. Lupa ngabarin Mas Bule,” kata Mbak Iis setelah masuk. Dia berdiri di dekat ranjangku, tampak gelisah. Aku tidak bisa menebak gelisah karena takut kepadaku atau gelisah geli-geli basah karena apa yang dia pandangi ini. Tahulah kalian apa yag dia pandangi.

Sayangnya ini sudah pagi. Tugas Mbak Iis masih banyak sekali. Jadi kulupakan saja keinginanku untuk menghukum dirinya. Heleh, hukum! Polisi kali, ah!

“Ambune saru ya, Mas? Mas Bule gawa cewek, ya?” tanya Mbak Iis menuduhku sambil mengendus-endus aroma di sekitar ranjangku. Tentu saja aku tahu sumber aroma saru yang dimaksud Mbak Iis. Andai dia juga tahu kalau majikannyalah yang membuat ruangan ini begitu saru, pasti rame nanti.

“Salah siapa?” tukasku sambil bangkit dari ranjang. Kutarik sprei dan selimut serta sarung bantal dan guling. Akan kurendam sebelum nanti siang kukucek sedikit lalu kujemur. Untuk kasur, sebelum berangkat nanti akan kujemur di depan kamar.

“Gak boleh lagi! Mas Bule punyaku!” seru Mbak Iis sambil merebut kain-kain itu. Air matanya mengambang sambil dia menatapku kesal.

Ada apa sih dengan kalimat ‘Mas Bule milikku’? Semalam majikan panlok-ku yang mengucapkan sambil menandaiku, paginya Mbak Iis sambil nangis. Jangan-jangan kalau kubuka twit**ter yang sekarang sudah ganti nama menjadi X tagar yang sedang trending adalah #masbulemilikku. Ngarep banget!

“Becanda, Mbak Iis. Aku cuma mimpi basah. Mimpiin ... Mbak Iis,” kataku sambil mengambil lagi kain-kain itu. Kukecup bibirnya, ringan saja agar tidak membuat si kampret di bawah itu bangun dan menuntut haknya. Bisa berabe!

“Tenan, yo? Awas kalo boong! Dah sini biar aku yang nyuciin,” kata Mbak Iis. Senyumnya kembali, sebuah senyum yang selalu malu-malu. Fiuh! Jangkrik, Boss! Semua aman terkendali.

Usai mandi tidak lagi kudapati Mbak Is di kamar, begitu pun cucianku. Sebetulnya tidak enak rasanya dibantu seperti itu, tetapi ya sudahlah. Sekali ini saja cukup, takutnya bakal ada perasaan bermain di sana.

Di rumah utama kutemui Koh Edwin yang tersenyum-senyum kepadaku. Sepertinya dia tidak sabar hendak menginterogasiku. Dilihat dari cengar-cengirnya sih, interogasinya tidak akan jauh dari ‘kepo-kepo’ dan ‘want to know’ akut. Benar-benar sakit ini majikanku ini. Andai Ci Leni istriku, wooo ... bakalan kulaminating biar tidak ada yang bisa menyentuh. *

Peristiwa itu adalah peristiwa pertama dan terakhirku bersama Ci Leni dalam tiga minggu. Tentu saja tidak mudah menghindari majikan panlok-ku itu. Dia terus saja menggodaku tanpa ampun baik bila ada suaminya, apalagi kalau tidak ada.

“Mas Bule kenapa, sih?”

Ci Leni mengucapkan itu setelah aku pulang mengantar suaminya ke kantor. Seperti biasa aku diminta puang untuk mengantar majikan panlok-ku itu belanja. Buang-buang bensin, kan? Kubilang kepada Ci Leni untuk menyewa satu lagi supir khusus untuknya, perempuan kalau perlu. Sebuah langkah blunder ternyata.

“Oh! Mas Bule udah gak mau nemenin aku? Udah dapet bobo, terus udahan?”

“Ci Leni ...,” akhirnya aku lepas kendali juga. Kucubit kedua pipinya. Sumpah! Hanya itu yang kulakukan. Aku lo! Sayangnya ada yang menyalahgunakan kekuasaan. Bukan aku! Aku Cuma rakyat kecil, tidak punya kekuasaan.

“Tium!” sungutnya sambil memonyongkan bibir. Asli! Keimutan majikan panlok-ku ini benar-benar tiada banding. Entah karena pengaruh keimutannya atau aku memang lemah iman, kuturuti juga perintah Ci Leni. Halah, perintah! Itu sih doyan. Setelah itu kami berangkat.

“Mas Bule ngindarin Iis juga?”

Pertanyaan interogasi Ci Leni membuatku tersedak. Padahal aku sedang tidak meminum atau memakan apa pun. Pandanganku beralih dari jalanan kepada wajahnya yang lurus menatap jalan. Cantik banget! Mumpung lampu merah, kupuas-puaskan saja melihatnya.

“Gak ada lagi setelah di dapur itu, kan?” cecarnya lagi.

Oooh! Dia ngintip, Sodara-sodara. Sesuai dugaanku, bukan Mbak Iis yang ember. Kenapa juga Ci Leni tidak ikut bergabung, pikirku mesum. Ya, maaf! Kan cuma mikir. Mikir kan gratis.

“Gak ada, Ci Leni. Nggak ada dengan siapa pun. Saya udah tobat,” jawabku asal. Maksudku memang benar tidak ada lagi sex activity dengan Mbak Iis dalam bentuk apa pun seperti kepada Ci Leni. Kalau acara nonton bokep JAV sih masih dong.

“Lah?” Ci Leni menatapku.

“Lah?” Aku masih menatapnya. Kok lah?

Ci Leni diam. Aku kembali berfokus dengan tugasku. Sampai di tujuan kami tidak berbicara lagi, padahal ada sekitar setengah jam waktunya. Membuatku overthinking, apakah ada kesalahan yang kubuat?

“Temenin,” katanya setelah keluar dari mobi dan tidak ada pergerakan dariku.

Roger that! Kupikir karena Cuma ke rumah sakit, dia tidak membutuhkan pengawalan. Sepertinya dia masih takut kalau harus ke mana-mana sendiri, meskipun cuma ke rumah sakit. No prob! Siapa tahu bisa kenalan sama suster cantik ... atau malah dokter aduhai? Tobat woi!

“Tobat bagus ...,” kata Ci Leni ketika dia selesai mengambil nomor antrian dan duduk di sampingku. Ho-oh! Tobat bagus. “Tapi jangan ke aku juga, Mas!”

Sebentar-sebentar! Ini bagaimana konsepnya sih, tobat kok pilih-pilih? Sama Mbak Iis tobat, sama Ci Leni lanjut. Kuirik majikan panlok-ku itu, berharap ada cengiran atau sejenisnya yang mengindikasikan kalau dia sedang bercanda. Namun, tidak ada. Wajahnya tetap flat dan pandangannya tetap lurus entah melihat apa. Ini seriusankah?

“Ci Leni sakit apa?” tanyaku mengalihkan topik. Maap, Pik, jadi kualihkan. Maap, ya?

Ci Leni hanya diam saja. Sepertinya dia sedang melakukan silent treatment kepadaku. Ho ho ho! Menggemaskan banget sih majikan panlok-ku ini. Baiklah, kuikuti saja permainannya.

“Ayo!” ajaknya kepadaku ketika namanya dipanggil oleh seorang suster cantik.

“Ngapain?” tanyaku tidak mengerti. Ngapain orang mau diperiksa kudu ditemani?

“Bapaknya masuk ikut masuk aja, temenin istrinya. Gak apa-apa kok,” kata si suster cantik kepadaku.

Nadanya yang ramah dan suaranya yang lembut tidak serta merta membuatku paham. Ada apaan sih? Namun, kuikuti saja tarikan Ci Leni di tanganku. Mungkin dokternya bapak-bapak genit. Pasti itu alasannya aku disuruh menemani. Salah!

“Selamat siang. Silakan duduk, Ibu, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?”

Dokter yang mengucapkan itu bukan bapak-bapak apalagi yang genit. Dokter itu wanita caaantiiik! Tidak terlalu muda, mungkin sepantaran dengan Mbak Iis. Ada namanya di papan nama yang tergeletak di meja kerja dokter itu, Dr. Sherly Rianti, Sp.OG.

Setelah itu aku sah menjadi kambing congek. Ya, tidak masalah sama sekali. Toh di situ pemandangannya bagus. Seorang dokter dewasa yang cantik, seorang suster muda yang tidak kalah cantik, dan seorang pasian yang panlok. He!

“Bapak tunggu sebentar, ya. Istrinya saya periksa dulu,” kata si dokter cantik. Kemudian pemandangan bagus itu hilang semua setelah kelambu periksa ditutup.

Tidak lama kemudian, sekitar sepuluh menit atau lebih sedikit pemandangan bagus itu kembali muncul. Aku yang sempay mengantuk kembali melek. Ada lowongan tidak ya di rumah sakit ini? Kalau ada tolong kabari ya, Tuhan.

“Selamat, Bapak! Istrinya positif hamil!”

“Istrinya siapa?”

“Anak pertama ya, Pak?”

“Saya sih anak ketiga sebetulnya, tapi karena kembaran saya meninggal pas lahiran, saya jadi anak kedua.”

Ini ada apa deh? Kok ketiga bidadari itu melihatku dengan tatapan aneh begitu? Waow! Tanpa peringatan apa pun, sebuah cubitan mendarat di lenganku.

“Maklumin, ya Dok, kaget mungkin suami saya,” kata Ci Leni. Majikan panlok-ku itu melihatku sambil melotot. Benar-benar definisi cowok pasti salah meskipun tidak tahu salahnya apa ini sih. Kuanggukkan saja kepalaku sebagai tanda akur.

“Gak apa-apa, Bu. Saya maklum, kok,” kata dokter itu sambil tersenyum kepadaku. Sementara si suster tertawa cekikikan. Aku sih ikut arus saja, cengar-cengir bego. Sedangkan Ci Leni cemberut.

“Terusin tebar pesonanya,” desis Ci Leni ketika menyadari pandangan si dokter dan suster berjilbab itu menatapku lebih lama dari yang seharusnya. “Jadi saya harus gimana, Dok?”

Kembali aku jadi kambing congek yang menikmati pemandangan indah di ruangan itu. Tidak masalah. Selama pemandangannya seperti ini, no prob!

“Bapak ada yang mau ditanyakan?” tanya si dokter memecahkan kecongekanku. Aku mengangguk cepat.

“Kalau lama jadi pasien di rumah sakit, katanya bisa diangkat jadi dokter ya, Dok? Saya mau ngelamar aja di sini kalau bener,” tanyaku. Apa lagi deh? Kok mereka melihatku seperti itu lagi? Katanya disuruh bertanya.

“Sepertinya tidak ada pertanyaan, ya? Ini kartu nama saya, hubungi saja bila ingin berkonsultasi dadakan,” kata dokter itu menyerahkan selembar kartu nama kepada Ci Leni dan selembar lagi kepadaku.

“O iya, Sus. Sudah minta nomer telepon Bapaknya buat jaga-jaga?” tanya si dokter kepada si suster yang mengangguk sebagai jawaban. “Baik kalau begitu, silakan ke apotek buat nebus resep. Sama ini buat di kasir. Kasihin aja ya, Bu, jangan lupa kasih juga kartu asuransinya.”

“Bikin malu aja!” sungut Ci Leni. Aku tertawa saja mendengar penjelasannya.

“Makanya kalo mau main role play kasi tau, jangan kasi tempe, Say ... Ci Leni,” kataku. Duh ini mulut kurang pendidikan banget. Masa iya memanggil majikan pakai sayang. Baper akut ini sih!

“Apa tadi? Say? Say? Bilang lagi coba!”

Yaaa! Benar, kan? Majikan panlok-ku itu langsung saja menerkamku meskipun aku sedang menyetir. Bahaya tau!

“Bilang lagi! Kalo nggak, dede bayinya ngeces lo ntar!” ancamnya sambil menciumi pipiku.

“Bayinya siapa?” tanyaku yang masih berkonsentrasi menyetir.

“Yang ngentotin aku siapa?” tanya Ci Leni sambil mengusap kontolku. Oh, iya juga. Berarti bayiku dong, ya? Aku bapaknya dong, ya? Ini bagaimana konsepnya sih? Baru tobat malah diberi ujian kehidupan.

“Nyesel?” tuduh Ci Leni ketika menyadari wajahku lebih putih dari biasanya. Bisa kan ya, anemia menyerang tiba-tiba? Aw! Digigitnya daun telingaku.

Begitulah. Hidupku berubah drastis. Malamnya Koh Edwin pulang sendiri dengan taksi. Dia menolak kujemput seperti biasa. “Jagain Leni! Yihaaa! Gue punya anak!”

Suami edan! Istrinya dihamilin orang lain malah kesambet jin koboi. Dulu emaknya waktu hamil dia, ngidamnya apa sih? Jembutnya Clint Eastwood? Pantesan! *

Satu bulan sudah Ci Leni berbadan dua. Majikanku menyewa seorang supir untuk menggantikanku. Yup! Menggantikanku secara harfiah. Namun, bukan maksudku aku kembali menjadi gelandangan tanpa ATM. Ci Leni ingin aku ‘ada untuknya’ tuenti for sepen alias menjadi menjadi suami siaga.

“Kata Leni itu maunya si beibi. Lu kudu nurut, kalo nggak beibi-nya ....”

“Ngeces,” kataku menyambung ucapan Koh Edwin. Dia tertawa-tawa mendengar ucapanku yang penuh dengan kesebalan.

Selamat tinggal pesta-pesta! Selamat tinggal berburu kakak-kakak cantik dan dedek-dedek gemes! Yup! Itu semua adalah kegiatan Koh Edwin bila sedang gabut. Tentu saja aku sebagai supir plus-plusnya selalu diajak.

Selain jatah itu, kini Mbak Iis pun seperti curiga ada sesuatu di antara kami. Apalagi semenjak dia membatalkan acara mesum malam itu, tidak pernah lagi aku menyentuhya. Pusing ah! *

Tiga bulan masa kehamilan Ci Leni. Saat itu Kamis malam, tepat Wage pada hari pasaran Jawa. Gampangnya, malam itu adalah Jum’at Kliwon. Malam itu aku tidur di kamar Ci Leni. Suaminya? Survey lokasi buat buka cabang baru di Sukabumi. Tentu saja diantar supir barunya. Pulangnya nanti tiga hari kemudian. Halah! Survey sejam doang paling. Sisanya pesta sama teteh-teteh Sukabumi. Rese!

“Mas ....”

Ci Leni tidak pernah memanggilku dengan sebutan itu bila ada suaminya atau orang lain semisal Mbak Iis. Jadi bisa dibiang aku pun tidak pernah terbiasa dipanggilnya dengan sebutan itu. Kagok, canggung, dan risih rasanya.

“Ya, Ci?” sahutku ogah-ogahan sambil rebahan di ranjangnya.

“Leni masih cantik, gak?” tanyanya.

Pertanyaannya membuatku mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Adudu! Aku masih ingat salah satu lingerie yang kupilihkan untuknya. Bertali tipis di bahu. Bahannya transparan dengan renda merah darah. Rendanya membuat pentil teteknya seperti mengintip malu-malu. Panjangnya hanya satu jengkal lebih sedikit dari memeknya. Yang membuatku menelan ludah adalah bola bulu yang dijahit menempel tepat di depan memeknya. Puncak keindahannya adalah jilbab pashmina merah marun yang melilit kepalanya.

“Dedek bayinya minta ditengok. Kangen papanya,” ucap lirih Ci Leni sambil berjalan mendekati ranjang.

Benarkah Ci Leni hamil? Hampir tidak ada beda bentuk tubuhnya dengan saat belum hamil. Tingginya yang 160-an centi dengan berat 60 kg pada saat terakhir kuantar dia kontrol begitu sempurna berhiaskan tetek berukuran 32C. Tunggu! Teteknya jelas lebih besar sekarang!

“Sini, Ci!” kataku sambil melotot menikmati sosoknya.

“Panggil Sayang, dong,” pintanya cemberut.

“Sini, Sayang!” kataku segera sambil melebarkan tangan dan kaki. Pemandangan ini terlalu indah untuk dilewatkan. Toh suaminya juga tidak keberatan. Kontolku sudah berdiri tegak tidak sabar.

“Takut sama itu ...,” kata Ci Leni cekikikan sambil menunjuk kontolku.

Sialan! Tanpa ada niat berdebat, kuhampiri majikan panlok-ku itu dengan segera. Wajahnya jelas menantangku untuk melakukannya. Kugendong tubuhnya lalu kurebahkan dengan amat perlahan di ranjang.

“Takut sama yang mana?” tanyaku sambil jongkok mengangkangi wajahnya. Tentu saja setelah melepasi setiap lembar pakaian yang kukenakan. Mata Ci Leni nanar menatap kontolku. Napasnya semakin memburu ketika kusentuhkan ujung kontolku ke bibirnya.

“Kamu jahat banget, Mas! Tiga bulan nyuekin aku,” ucapnya setelah puas mengecupi lubang pipis kontolku. Mendengar caranya bertutur kata, aku tidak percaya ini adalah majikan panlok-ku yang dulu bermulut kotor. Ci Leni versi ini lebih mirip Mbak Iis, meskipun masih terasa karakternya yang kuat.

“Kan tobat, Sayang,” jawabku diplomatis.

“Sekarang?” tanyanya mencibir. Gemas sekali rasanya melihat Ci Leni seperti itu.

“Ng ... khilaf?” jawabku disambut tawa Ci Leni. Adudu! Majikan panlok-ku itu memajukan kepalanya dan melahap kontolku untuk kemudian dia gigit dengan gemas.

“Gak boleh bales!” tukasnya ketika hendak kukelitiki pinggangnya. Dia mengusap-usap perutnya.

“Bolehnya?” tanyaku sambil mengangkangkan pahanya dan mengendusi aroma wangi di memeknya. Wajah Ci Leni memerah. Dia tidak menjawab, hanya meraih lalu membenamkan kepalaku di memeknya yag tanpa jembut.

Memeknya masih sewangi parfum. Entah dia benar meminum parfum atau hidungku yang tidak beres. Namun, yang jelas aku benar-benar suka dengan aromanya.

Puas menghirup aromanya, kuputuskan untuk berganti aktivitas. Lidahku membelai bibir memeknya, dari bagian terdekat dengan pantat sampai itilnya. Perlahan saja sambil kunikmati gelinjangan tubuhnya yang ditingkahi lenguhan erotis dari mulutnya. Tangannya meremasi rambutku, sesekali membelai dengan lembut.

Kubuka memeknya selebar yang sekiranya tidak membuatnya sakit atau tidak nyaman. Dindingnya kulihat berkedut-kedut seiring mengalirnya cairan yang membuat memeknya becek. Kubayangkan lewat sinilah anakku nanti lahir. Heh! Jadi bapak ya? Padahal menikah saja belum.

“Ci Leni ... Sayang ....”

“Iya, Mas?”

“Makasih, ya?”

Ci Leni menundukkan kepala. Sudah kutunggu karena aku telah mendongakkan kepala. Pandangan kami bertemu. Air matanya mengalir setelah bibirnya yang bergetar hebat gagal mengembangkan senyum. Segera saja kususul tangannya yang tadi meremasi rambutku, kini sibuk menutupi wajahnya.

“I love you, Ci Leni Sayang,” bisikku lirih di telinganya. Tangannya membuka dan dia memiringkan tubuh menatapku.

“Sejak kapan bisa gombal gini, hmmm?” tanyanya ditutup dengan beradunya bibir kami. Rasanya berbeda dengan ratusan kali french kiss yang pernah kami lakukan. Kali ini jelas melibatkan sebuah rasa yang namanya cinta. Setidaknya rasa itu tumbuh di dalam hatiku.

“Langsung masukin aja, Mas. Aku udah basah,” bisik Ci Leni.

Roger that! Lagipula dari yang kubaca, kehamilan muda meskipun tidak diarang untuk melakukan hubungan badan, juga tidak disarankan terkait kondisi si calon ibu.

Kubiarkan kakinya merekah sesuai keinginannya, yang penting cukup lebar lututku bisa bertumpu dengan nyaman. Sedangkan kedua tanganku jelas harus melupakan nikmatnya meremasi tetek Ci Leni yang semakin besar agar menjadi tumpuan demi meindungi perutnya.

“So sweet kamu, Mas,” bisik Ci Leni melihat usahaku.

“Masukin, ya?” tanyaku meminta izin. Dia meringis ketika ujung kontolku mencium bibir memeknya. Mulutnya dimonyongkan, seolah menciumku lalu dia mengangguk.

“Eh ... ngh ... mmmh ...,” desahnya ketika bibir memeknya mulai kubelah perlahan. Uuuh! Nikmatnya! Rasanya memeknya semakin sempit saja, padahal sudah basah maksimal.

Setengah batang kontolku masuk, kudiamkan sejenak memberi Ci Leni kesempatan untuk bernapas. Sepertinya stamina yang tiga bulan lalu seperti tidak terbatas pada saat ngentot denganku kini bahkan tidak tersisa separuhnya.

“Ngh ... Mas ...,” rengek Ci Leni ketika baru setengah jalan, kutarik lagi kontolku.

“Nikmatin aja ya, Sayang,” kataku sambil mengecup bibirnya. Hampir keluar seluruhnya, kutusukkan lagi kontolku sampai separuhnya lagi kurang lebih.

“Mmmh ... enak, Mas! Dalemin dikit,” desahnya sambil memejamkan mata.

Jujur saja ini persetubuhan paling melelahkan untukku. Jauh lebih melelahkan dari pada harus melayani dua LC pada saat aku menemani Koh Edwin dulu. Kali ini aku harus mengisolasi napsuku sendiri sekaligus berfokus untuk memuaskan Ci Leni tanpa membahayakan kandungannya. Bahkan semburan AC paling kuat di angka 16 derajat pun tidak mampu membendung keringatku.

“Dalemin dikit, Mas ... mmmh ...,” desah Ci Leni sambil merengkuh bongkahan pantatku dan menekannya. Uuuh! Bertambah lagi sulitnya. Aku juga harus melawan tekanan tangannya tanpa harus membuatnya marah. Tau sendiri kan, tempramen wanita hamil seperti apa?

Kuikuti kemauannya dengan sedikit lebih dalam menjarah relung memeknya. Begitulah niatku pada awalnya. Namun, semakin dalam kugapai, rasa nikmat yang diberikan memek itu rasanya semakin membuatku lupa diri. Hingga tanpa sadar kontolku telah terkubur seluruhnya.

“Kontol Mas Bule nikmat. Makasih, Mas.”

Seiring genjotanku yang semakin kuat dan utuh, tangannya tidak lagi merengkuh bongkahan pantatku. Dia kembali sibuk membelai pipiku.

“Nenen?” tanyanya sambil menyingkap lingerie yang dia kenakan. “Boleh, kok.”

Tangan kanannya menggiring kepalaku menuju tetek kanannya, sementara tangan kirinya memilin-milin pentil tetek kirinya sendiri. Tentu saja tidak kutolak.

Berawal dari kecupan ringan di pucuk pentil teteknya, lidahku menyusuri kulit putih teteknya yang kini berhiaskan urat-urat kebiruan. Eksotis sekali terlihatnya. Mungkin ini salah satu sebab mengapa banyak pria suka mengentoti wanita hamil.

“Ci Leni ... Sayang ... ngh ... ah ... mau ... keluar ...,” kataku terbata-bata. Sumpah rasanya benar-benar menguras stamina ngentot dengan wanita yang sedang mengandung. Rasa ingin melindungi bertabrakan dengan keinginan purba untuk dipuaskan. Seperti Bruce Banner mencegah dirinya menjadi Huk mungkin.

“Keluarin, Mas. Leni udah nyampe kok tadi,” katanya lembut sambil menarik kepalaku dan memberiku hadiah french kiss lembut. Nikmat sekali rasanya ternyata disayang seperti ini. *

Kepalaku pusing sekali rasanya ketika bangun. Kuraih ponselku, angka 11.59 tertera di situ. Bahkan belum lewat tengah malam, tetapi rasanya begitu ribut suara di luar kamar.

“Kanjeng Gondhang Panggulu! Bangun!”

Woah! Aku kenal suara itu. Segera saja kusambar pakaianku dan berlari keluar kamar. Hendak kupastikan apakah benar pemiik suara itu adalah dia.

“Kanjeng Gondhang Panggulu!”

Kudapati sosok bercahaya putih berdiri tiga meter di depan kamarku. Ingat kan, kamarku ada di lantai dua pada bangunan mirip apartemen? Artinya di depan pintu kamarku hanya ada satu meter selasar untuk berjalan. Artinya lagi, dua meter sisanya adalah udara terbuka alias sosok itu mengapung atau melayang di hadapanku.

“Kang Seto!” seruku. Ini adalah pertama kalinya kulihat Kang Seto menampakkan wujud Baskara-nya.

“Persiapkan dirimu, Kanjeng Gondhang Panggulu. Nyi Roro Kembang Sore sudah meminta haknya.”

Suara Kang Seto jelas terdengar tidak di telingaku, karena bahkan mulutnya sama sekali tidak bergerak. Dia bicara langsung ke kepalaku. Telepati, salah satu kemampuan Kang Seto. Tangannya menunjuk ke timur, arah dari mana sumber suara yang semakin keras itu berasal.

“Baskara!” gumamku perlahan. “Adi!”

Sekelilingku berubah. Aku tidak lagi berdiri di depan kamarku. Kakiku menempel tepat pada permukaan air. Kuulurkan tangan ke arah yang ditunjukkan Kang Seto, lalu kukepalkan tangan seolah mengambil sesuatu. Sekejap saja di kepalaku tergambar sesuatu yang menakutkan.

“Kromoleo!”

Barisan orang-orang dengan jubah berkerudung hitam tampak berjalan di udara. Mereka menggotong keranda berhiaskan janur kuning layaknya sedang membawa seserahan pernikahan. Di dalam keranda tergeletak kafan kumal dengan noda-noda yang menjijikkan.

“Selubungku hanya bisa melindungimu ... tapi tidak berlaku untuk keturunanmu yang masih ada di dalam yoni. Maafkan saya, Kanjeng Gondhang Panggulu,” kata Kang Seto lirih.

Ah! Kukutuki keberuntunganku sekali lagi. Aku tidak bisa menyalahkan Kang Seto. Ini murni kebodohanku. Mana pernah dia menyangka muridnya ini sampai tertelan syahwat dan memperpanjang nasab tanpa menikah.

“Lalu bagaimana, Kang?” tanyaku gelisah.

Belum sempat guruku itu menjawab, Baskara kekuasaanku bergetar. Dari atas, sesosok hitam menerpa dinding tak terlihat yang menjadi pelindung Baskara-ku. Percikan api hitam berkali-kali memercik seperti beradunya dua kekuatan yang tidak terlihat. Sepertinya sesuatu telah menembus masuk ke wilayah Baskara-ku. Gawat!

“Geni!” bisikku. Kemudian kulakukan kuda-kuda melebar dengan kaki kanan menghentak kuat. Tepat di bawah kaki kananku, air di bawahnya melesak ke dalam membentuk bulatan seperti ditembus peluru. Dari dalamnya melesat sesosok naga berselimut api yang lalu melibat kedua tanganku.

Setelah tanganku terasa panas, kutarik napas panjang dan menahannya, lalu kumajukan kuda-kuda yang kututup dengan memukulkan tinju dua kali berturut-turut ke arah percikan api hitam itu.

Dua naga meluncur bergulung-gulung mengejar seustu yang tidak tampak. Tidak lama kemudian kedua naga itu tampak beradu dengan sesosok yang muai jelas bentuknya akibat api dari kedua nagaku itu.

“Berani kamu menyerangku, Kanjeng Gondhang Panggulu?”

Sosok itu berdiri jumawa dengan kedua tangan terkembang, menahan serangan kedua nagaku. Dia adalah Nyi Roro Kembang Sore, ratu penguasa gunung Bolo. Sosoknya mengenakan kemben hitam sedada dengan kain hitam yang terjuntai jauh melampaui kaki. Di kepalanya tersematkan mahkota emas tanpa tutup dengan sebutir mutiara di tengahnya.

“Bukan aku pengantinmu, Nyi!” kataku sambil menarik kedua nagaku.

“Tidak peduli! Kamu adalah pewaris nama itu! Jadi kamulah yang dikorbankan oleh si Haryo itu!” tukas wanita cantik itu.

Sekali lagi, keberuntunganku benar-benar membawa sengsara. Seharusnya kakak kembarkulah yang menjadi pengantin Nyi Roro Kembang Sore, apalagi katanya kulitnya cocok dengan keinginan wanita itu.

“Tapi aku tidak hitam, Nyi!” kataku masih berkelit.

“Tidak masalah! Asal kamu mau menerima Setra, tidak masalah,” jawabnya sambil melayang mendekatiku.

“Tidak akan pernah!” tukasku sambil memasang kuda-kuda rendah untuk bertahan. Aku tidak boleh gegabah melakukan penyerangan, karena bagaimana pun dia adalah junjungan bapakku. “Inti Bhumi!”

Lingkunganku berubah lagi, meskipun tetap terang benderang. Kakiku terasa kokoh bersatu dengan tanah, sedangkan tanganku berat seperti gunung. Ini adalah pencak pertahanan yang paling kuandalkan untuk membela nyawa. Perlahan, kakiku seperti bergeser dengan ringan membelah tanah untuk menjaga jarak dengan Nyi Roro Kembang Sore. *
 
Suwun @PeterPawker , malih dadi silat ngene oom
Berhubung komennya seru, saya izin balas ya Hu. Ide awalnya memang tentang pesugihan, makanya ada DEATH di judulnya. Beberapa clue kalau ini bakalan jadi belok sudah saya selipkan di bab-bab sebelumnya, juga ada warning kalau ini bukan cerita yang mengutamakan esek-esek. Tapi, tenang aja Hu, karena pasti saya usahakan ada adegan dewasanya pada tiap bab. Makasih banget udah ngikutin cerita ini meski tidak sesuai ekspektasi ya Hu. Salam
 
Makasi apdetnya suhu @PeterPawker

Mohon ampun suhu jika sudah lancang berkomentar :ampun:

Alur ceritanya berjalan sangat cepat, seperti ada bagian yg hilang sebagai penghubung jalan cerita
Benar sekali, Suhu. Yang kurang adalah cerita latarnya. Di bab berikut sepenggal cerita latar akan menjadi sajiannya termasuk world buildingnya, juga siapa-siapa saja dan peran apa yang diemban. Scene kuncinya di sini adalah apa yang membuat Bule kabur. Juga beberapa kali tertulis dia amat membenci keberuntungannya. Mohon ditunggu ya Hu. Terima kasih atas atensinya yang luar biasa
 
Ceritanya seru dan menarik. Tata penulisan halus dan rapih. Tinggal alur dan build up karakter aja yg harus dikembangkan. Ane suka cerita ringan berbalut komedi dan action gini suhu.

Lancar ya updatenya sampe tamat. 👍
Betul, Hu. Karena diposting per bab, otomatis pasti yang baca akan merasa terpenggal-penggal akibat tiap bab sudah dijatah punya misi masing-masing. Apalagi modelan alur maju mundur seperti yang saya pilih. Ditambah sebagian isi bab dipenuhi adegan eue sehingga mengurangi jatah lanjaran atau kisah latar. Terima kasih kunjungnya, Suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd