Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Makasih updatenya Hu @PeterPawker
Jadi penasaran ama latar belakang bule. Udah ada bayangan dikit sih. Tp lebih apdol nungguin update ajah sih hehehe
Tp... jd kuatir ama kandungannya Leni nie Hu. Jangan2... iya2... hehehe
Mantap Hu. Genre spt ini nubie suka. Silat ada bumbu esek2nya. Alur dan karakter penokohannya jg bagus
Maunya jgn buru2 tamat sih Hu wkwkwk
Monggo dilanjut
 
Selamat sore menjelang berbuka, para Suhu semua. Di tengah gempuran kegiatan dunia nyata akhirnya bagian keempat kisah si Bule bisa diselesaikan. Part ini adalah final dari season pertama di mana si fokusnya adalah perkenalan tokoh utama si Bule. Masih jauh dari selesai sih, tapi paling tidak sedikit banyak latar belakang si Bule sudah mulai ditampilkan. PoV-nya ternyata menjadi campuran, antara PoV satu (si Bule) dan PoV tiga maha tahu pada bagian-bagian kisah latar belakang dan penceritaan tokoh antagonis ke depannya. Namun, seperti saya katakan, setelah bagian empat ini, sementara saya akan kembali dulu mengerjakan cerita di lapak KK sebelah. Selesai dua cerita berbayar, saya akan kembali melanjutkan si Bule pada season keduanya yang ceritanya berpusat kepada petualangan Bule di kota kelahirannya untuk mencari jalan masuk ke alam lain. Tentu saja tetap dengan topping adegan dewasanya. Terima kasih atas dukungan para Suhu sekalian. Semoga berkenan dengan cerita si Bule. Happy reading! Keep Masturbating!

***


BAGIAN 4​

Kaki gunung Bolo, 1925. Dua orang pria berusia tiga puluhan duduk di bawah pohon. Keringat membanjiri setiap pori-pori kulitnya. Padahal saat itu sudah menjelang malam. Sekitar pukul enam sore.

“Ugraha, kurasa kita sudah cukup jauh kabur. Malam ini kita beristirahat saja dulu di sini,” kata salah seorang dari mereka.

“Kamu yakin, Wiyasa?” tanya pria yang satunya. Kebimbangan melanda pikirannya, antara ingin beristirahat, tetapi juga ketakutan akan sesuatu.

Pria yang dipanggil Wiyasa tidak menyahut. Diletakkannya golok pendek yang selama di perjalanan dia sampirkan di pinggang. Setelahnya dia sandarkan punggungnya di pohon. Melihat itu, si pria yang dipanggil Ugraha merasa tidak punya pilihan lain selain ikut duduk di samping temannya itu.

Suara-suara hewan malam yang ditingkahi deru angin beraneka nada akibat banyaknya pohon yang dilalui membuat Ugraha sulit sekali dapat beristirahat dengan tenang. Setiap matanya hendak terpejam, dia merasa ada seseorang atau sesuatu yang mengawasi mereka. Berbeda dengan Wiyasa yang terkesan bodo amat dengan kondisi itu.

Satu jam kemudian, Wiyasa terbangun. Kemihnya terasa sesak, menuntut untuk dikeluarkan. Dia dapati temannya masih terjaga, mengedarkan pandangan ke sana dan kemari tidak jelas.

“Wis ta! Kita sudah sampai batas tenaga. Kalau memang harus tertangkap sama orang-orang itu, ya memang sudah nasib kita,” kata Wiyasa mencoba menenangkan Ugraha.

“Aku haus,” kata Ugraha.

Wiyasa menggaruk kepalanya. Dia juga merasakan haus, tetapi persediaan airnya telah habis. Keduanya belum minum dari semenjak tiba di kaki gunung itu.

“Tidur saja dulu, besok pagi kita naik ke puncak gunung ini. Siapa tahu ada buah dan mata air,” kata Wiyasa. “Kamu tidur duluan. Biar gantian aku yang jaga.”*

Belum lama semenjak matanya terpejam, Ugraha terbangun. Tidak ditemuinya Wiyasa sepanjang matanya menyapu. Pria itu menggigil ketakutan menyadari kesendiriannya. Terlebih dia pun tidak punya nyali untuk meneriakkan nama Wiyasa. Dia putuskan untuk bergerak perlahan menuju dataran yang lebih tinggi. Berharap menemukan Wiyasa di sebuah mata air atau pohon buah.

Semakin jauh Ugraha mendaki, deru angin semakin kencang. Semakin ribut pula suara-suara yang menggantikan suara binatang-binatang malam. Belum pernah didengarnya suara seramai itu selain pada saat penduduk desa berkumpul hendak mengeroyoknya dan Wiyasa. Namun, ada yang berbeda.

Dari jarak cukup jauh, Ugraha melihat banyak api-api kecil seperti obor. Nyalinya yang kecil membuat pria itu tidak serta merta senang. Andai api-api itu ada di kampungnya dia akan segera menyongsong karena pasti ada acara kumpul-kumpul warga. Namun, ini gunung. Waktunya pun kisaran tengah malam. Jelas bukan manusia yang menyalakan obor-obor itu.

Pertentangan terbit di hati Ugraha. Apakah turun kembali atau mendekati sumber keramaian itu. Sebuah keputusan yang mudah saja karena nyalinya yang kecil segera menjadi hakim. Dia putuskan segera bergerak ke arah berlawanan, kembali turun. Nanti saja ketika sudah terang dia akan datangi.

“Kamu siapa?”

Baru saja beberapa langkah dia bergerak, sebuah pertanyaan membuatnya membeku. Di hadapannya berdiri sesosok wanita muda. Rambutnya tergerai dengan sebuah mahkota tiara menghiasa kepalanya. Pakaiannya yang hitam pekat membuat wanita itu seperti hantu karena terlihat tubuhnya melayang dari bagian dada sampai kepala dan tangan akibat putihnya kulit si wanita cantik.

“Kamu siapa?” tanya si wanita lagi. Bukan sebuah pertanyaan yang didasari kecurigaan. Pertanyaan itu lebih cocok dikatakan sebagai pertanyaan akibat penasaran.

Ugraha yakin betul bahwa wanita di hadapannya itu bukanah manusia. Paling tidak bukan lagi manusia. Dan dia juga yakin bahwa wanita di hadapannya itu adalah penguasa wilayah gunung Bolo.

“Ampun, Paduka Ratu Penguasa Gunung Bolo! Jangan bunuh saya! Saya cuma begal hina,” kata Ugraha mengiba sambil bersimpuh. Dia pikir tidak ada yang perlu disembunyikan.

Wanita itu mengamati Ugraha dengan tatapan tertarik. Memang Ugraha memiliki wajah rupawan. Kumis tipis menghiasi wajah pria itu. Kulitnya pun putih. Tubuhnya cukup berotot dengan tinggi badan sekitar 170-an centi.

“Saiapa namamu, Cah Bagus?” tanya si wanita sambil beregerak mendekati Ugraha.

“Nama hamba Ugraha, Paduka Ratu,” kata Ugraha sambil menahan napas. Dari jarak yang semakin dekat, dia dapat melihat betapa cantiknya wanita itu. Wangi tubuhnya terseret angin menerpa hidung Ugraha.

“Ugraha ... temani aku ke sana,” kata si wanita. Sebuah ucapan yang lembut, tetapi Ugraha tidak mampu menolaknya. Pria itu terlalu terkesima dengan keindahan ragawi si wanita.

Sesampai di tempat yang ditunjuk si wanita, Ugaraha mendapatkan dirinya ada di sebuah ruangan indah setelah dia mengikuti si wanita melalui sepasang pohon besar di kiri dan kanan ujung jalan. Ruangan itu penuh dengan makhluk yang belum pernah dia temui. Makhluk-makhluk itu yang tadinya ramai berinteraksi langsung terdiam dan memberi jalan kepada si wanita.

“Selamat datang, Nyi Roro Bunga Senja!”

Semua makhluk yang ada di ruangan itu serentak menyapa si wanita. Sapaan itu terucap berulang-ulang seperti dengungan ribuan lebah. Ugraha yang mendengarnya pun langsung ciut nyalinya. Wanita yang dipanggil Nyi Roro Bunga Senja itu bahkan tidak merasa perlu membalas atau bahan sekedar tersenyum. Dia terus bergerak—karena kakinya bahkan tidak bersentuhan dengan bumi—menuju ruangan yang berbeda.

“Sini!” kata Nyi Roro Bunga Senja setelah dia masuk ke dalam kamar diikuti Ugraha.

Ugraha hanya bisa menuruti panggian Nyi Roro Bunga Senja yang telah duduk di tepi sebuah ranjang berbahan kayu dengan atap yang diselubungi kain putih seperti kelambu. Pria itu kemudian bersimpuh lagi setelah jaraknya hanya tersisi selangkah dari Nyi Roro Bunga Senja. Matanya tanpa berkedip menatap nanar kepada kulit putih mulus Nyi Roro Bunga Senja yang lepas dari penjagaan kain hitam berbelah sampai ke pangkal paha.

Kaki yang seperti mengerti kalau ada sepasang mata yang sedang mencumbuinya itu bergerak memanjang, mendekati dan mendarat di kontol Ugraha. Tangan Nyi Roro Bunga Senja itu menyingsingkan kain penutup kakinya, hingga terpampanglah memek mulus tanpa bulu yang langsung membuat pria di depannya melotot dan tak habisnya menelan ludah.

“Ceritakan tentang dirimu, Ugraha. Hibur aku,” pinta si Nyi Roro Bunga Senja. Kakinya bergerak lagi, semakin tinggi hingga menelusuri dagu Ugraha dan berakhir dengan mengusap-usap bibir pria itu dengan ujung jari kakinya.

Setelah mencium dan mengulum jemari kaki si Nyi Roro Bunga Senja, Ugraha menceritakan tentang petualangannya bersama Wiyasa sebagai begal. Tidak ada yang istimewa kecuali pada aksi terakhirnya mereka terpergok oleh masyarakat kampung. Jadilah keduanya lari tunggang langgang sampai ke Gunung Bolo.

“Jadi kamu tidak sendiri?” tanya si Nyi Roro Bunga Senja. Anggukan Ugraha membuat Nyi Roro Bunga Senja bimbang antara Ugraha berbohong atau tidak, karena dia tidak dapat mendeteksi manusia lain di gunung kekuasannya itu selain Ugraha.

“Mungkin Wiyasa kabur ketakutan, Nyi, turun gunung, meninggakan saya,” kata Ugraha.

Ucapan Ugraha itu membuat Nyi Roro lega. Seharusnya memang begitu, rekan pria itu kabur ketakutan. Lagi pula tidak ada untungnya bagi Ugraha untuk berbohong tentang hal itu.

“Andai kukabulkan satu permintaan untukmu, kamu mau apa, Ugraha?” tanya si wanita sambil kembali mengusap-usap kontol Ugraha dengan telapak kaki kirinya. Wajah cantiknya berseri ketika kontol Ugraha bergeliat bangkit menjawab godaannya. Dia tidak menganggap ukuran kontol Ugraha besar meskipun panjangnya mencapai sekitar setengah hasta atau berkisar dua puuh centi. Nyi Roro Bunga Senja sudah kenyang melihat kontol-kontol makhluk-makhluk gaib yang tinggal di kerajaannya.

“Saya mau kekayaan yang tidak habis sampai kiamat, Paduka Ratu!” jawab Ugraha dengan penuh keyakinan.

“Mmmm ... tentu saja mudah untukku,” kata Nyi Roro Bunga Senja. Kakinya begitu betah menggoda kontol Ugraha.

Tujuh ratus tahun Nyi Roro Bunga Senja terkurung di Gunung Bolo. Kutukan dari seorang janda yang karena penolakan cinta Nyi Roro Bunga Senja membuat anaknya menjadi batu, membuat raga dan jiwa Nyi Roro Bunga Senja terpisah. Jasadnya ada di Gunung Cilik sedangkan jiwanya terkurung di gunung Bolo. Wanita itu membutuhkan pria manusia untuk memberinya kekuatan agar dapat keluar dari gunung Bolo dan masuk ke gunung Cilik untuk bersatu dengan tubuhnya kembali.

“Benarkah, Paduka Ratu?” kata Ugraha. Pria itu tidak dapat menyembunyikan betapa senang hatinya.

“Itu masalah mudah untukku. Masalahnya, aku dapat apa?” tanya Nyi Roro Bunga Senja sambil menarik kakinya. Dia lalu berdiri di depan Ugraha, saling bertatapan dengan si pria. Jari telunjuk kanannya bergerak halus dari bibir turun ke dagu hingga berhenti di kancing-kancing kebaya hitamnya. Kemudian jemari-jemarinya dengan perlahan melepasi kancing-kancing itu.

“Saya ... tidak punya apa-apa, Gusti Ratu. Tapi, kalau Paduka Ratu berkenan, saya besumpah akan menjadi budak Paduka Ratu,” jawab Ugraha setengah mati berusaha memalingkan pandangan dari sosok wanita di hadapannya yang kini telah polos tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Tinggi Nyi Roro Bunga Senja bila menyentuh tanah mungkin sekitar telinga Ugraha. Tubuhnya ramping dengan perut mengecil, sementara pinggulnya membulat, sedangnkan teteknya menggantung indah melawan gravitasi padahal ukurannya 34F.

“Sini!” ajak Nyi Roro Bunga Senja setelah terlebih dahulu menaiki ranjang dan duduk menyandarkan punggung di sandaran ranjang. Mata wanita itu membesar ketika melihat Ugraha dengan sigap melepaskan seluruh pakaiannya, lalu tersenyum ketika dia dapati kontol Ugraha begitu gagahnya berdiri tegak.

“Mmmh ...,” desah Nyi Roro Bunga Senja terkikik geli ketika Ugraha tanpa malu-malu lagi langsung memeluk dirinya.

Ugraha tentu saja tidak melepaskan kesempatan itu. Dia renggut rambut Nyi Roro Bunga Senja dengan tangan kanan dan menghunjami wajah wanita itu dengan ciuman dan jilatan. Sesekali diludahinya wajah Nyi Roro Bunga Senja lalu dijilati lagi sampai bersih. Sedangkan tangan kirinya meremasi tetek wanita itu dengan gemas bergantian kiri dan kanan.

Nyi Roro Bunga Senja tidak mau kalah. Meskipun cukup kaget dengan gaya bercinta Ugraha yang urakan, tetapi dengan wanita itu menyukai sensasi bagaimana dia didominasi oleh pria. Sebuah perasaan yang dulu sering dia rasakan pada saat masih menjadi wanita manusia. Nyi Roro Bunga Senja balas meludahi dan menjilati wajah Ugraha. Kedua tangannya sibuk meremas dan mengocok kontol pria itu.

Ugraha yang telah dikuasai napsu, memindahkan perhatiannya kepada sepasang tetek Nyi Roro Bunga Senja. Belum pernah dia melihat tetek sebesar itu. Bahkan kedua telapak tangannya yang besar pun tidak dapat menangkup seluruh permukaan tetek Nyi Roro Bunga Senja.

“Kamu suka?” tanya Nyi Roro Bunga Senja sambil sesekali menggoyangkan kedua teteknya menggoda Ugraha. Tanpa menjawab, Ugraha langsung saja mencaplok pentil tetek Nyi Roro Bunga Senja bergantian kiri dan kanan. Terkadang dengan gemas, kedua pentil tetek itu dia masukkan ke mulutnya sekaligus.

Nyi Roro Bunga Senja mendesah lirih menikmati permainan lidah Ugraha. Sudah terlalu lama wanita itu tidak lagi merasakan nikmatnya bermain cinta dengan seorang pria manusia. Sebagai makhluk gaib yang berasal dari manusia, kontol besar makluk gaib tidaklah membuatnya berbahagia.

“Mengabdilah kepadaku, Ugraha. Jadilah suamiku. Akan kuberikan dunia untukmu,” kata Nyi Roro Bunga Senja sambil mengusap kepala Ugraha yang masih sibuk dengan tetek Nyi Roro Bunga Senja.

“Bagaimana bila hamba sudah mati, Paduka Ratu?” tanya Ugraha.

“Anak lelaki kandungmu akan menggantikanmu menjadi suamiku,” jawab Nyi Roro Bunga Senja sambil menciumi wajah Ugraha.

“Bagaimana bila hamba tidak memiliki anak lelaki, Paduka Ratu?” tanya Ugraha lagi.

“Rohmu akan terkurung di gunung ini, Ugraha. Kamu akan menjadi siluman, begitu pun anak keturunanmu ... sampai kiamat nanti,” jawab Nyi Roro Bunga Senja.

Begitulah. Sebuah perjanjian telah disepakati. Ugraha menghabiskan banyak sekali siang dan juga malam untuk melampiaskan hasratnya kepada Nyi Roro Bunga Senja. Entah sudah berapa banyak pejunya yang telah membanjiri rahim sang ratu penguasa Gunung Bolo.

“Suamiku Ugraha ... mmmh ... Sayangku ...,” desah Nyi Roro Bunga Senja berusaha menahan kenikmatan yang dia dapatkan dari memeknya yang dirojok kontol Ugraha.

“Iya, Paduka Ratu ... ah ... ngh ...,” jawab Ugraha sama sekali tidak terganggu dengan dialognya dengan sang junjungan. Tubuh bawahnya tetap bergerak intens menggenjot memek Nyi Roro Bunga Senja.

“Se-se-sebentaaar, Sayaaangh ... berhenti duu-luuuh! Aaaah!” pinta Nyi Roro Bunga Senja. Betapa dia amat mencintai Ugraha karena bukan saja tampan, tetapi juga mampu mengalahkannya di dalam persenggamaan. Padahal kekuatan sang penguasa gunung Bolo bisa dibilang mengerikan. Mungkin karena perasaannya sebagai wanita manusia kembali hidup akibat lawan bercintanya adalah manusia.

Ugraha tidak menggubris permintaan Nyi Roro Bunga Senja. Bibir pria malah menyumpal bibir sang junjungan, membuat wanita itu melupakan apa yang seharusnya dia katakan. Permainan cinta Ugraha membuatnya mengingat dengan jelas kenikmatan bercinta yang sesungguhnya.

“Hamba ingin punya anak dari Paduka Ratu,” bisik Ugraha tepat di telinga Nyi Roro Bunga Senja. Sebuah rayuan yang melambungkan wanita itu sekaligus menghempaskannya menjadi budak cinta. Meskipun dia tahu hal itu tidak akan pernah terwujud, tetapi perasaannya terlanjur berbunga.

“Padukaaah ...!” dengkus Ugraha. Pria itu menghentakkan kontolnya sekuat mungkin sebelum meluncurkan pejunya berkali-kali, membuat Nyi Roro Bunga Senja membeliakkan mata, terseret tsunami kenikmatan yang berasal dari setiap syaraf di dinding relung memeknya. *

“Suamiku, Ugraha ...,” kata Nyi Roro Bunga Senja sambil membereskan pakaiannya.

“Hamba, Paduka Ratu,” jawab Ugraha takzim.

“Sudah saatnya kamu kembali ke alammu. Pilihlah tanah mana pun yang kamu sukai, lalu tanam ini,” kata Nyi Roro Bunga Senja memberikan sebuah bungkusan kain keemasan kecil. “Jangan kuatir, niscaya apa pun yang kamu inginkan akan terwujud.” *

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk hanya menghindari serangan Nyi Roro Bunga Senja. Padahal meski harus menyerang pun, belum tentu aku dapat mengimbangi kesaktian wanita itu. Setiap pukulan Nyi Roro Bunga Senja yang berhasil dia tangkis, setiap itu pula tanganku kesemutan.

“Nyi Roro! Perjanjianmu adalah dengan bapakku sebagai pewaris, bukan denganku!” seruku berusaha berkomunikasi dengan Nyi Roro Bunga Senja.

“Benar, Cah Bagus! Sayangnya bapakmu sudah mati,” jawab Nyi Roro Bunga Senja.

Pantas saja. Akhirnya hari ini tiba juga. Orang tua tukang kawin itu akhirnya dijemput ajal juga. Dengan alasan inilah meskipun tidak pernah kumiliki kenangan indah dengannya, aku selalu mendoakannya panjang umur. Bahkan kalau perlu aku duluan yang mati agar tidak perlu menerima warisan ini.

“Aku menolak menerima warisan itu, Nyi Roro. Mohon maaf,” seruku. Pandangan matanya sekilas memancarkan kemarahan, tetapi dengan cepat kembali menjadi sedingin es.

“Kuberi waktu satu bulan, Cah Bagus Gondhang Panggulu, untuk berubah pikiran. Panggil aku bila kamu sudah siap menerima takdirmu,” kata Nyi Roro Bunga Senja. “Perjanjianku dengan trah Ugraha Wisesa masi belum berakhir, meskipun kamu menolakku.”

Tidak salahkah? Mengapa Nyi Roro Bunga Senja yang terkenal tidak suka mengalah sebaik itu memberiku waktu? Tanpa memedulikan keherananku, Nyi Roro Bunga Senja berbalik dan melayang ke arah retakan di langit yang dia tadi ciptakan. Kepergian wanita itu diikuti oleh Kromoleo. Keranda yang mereka junjung terlihat telah diselubungi oleh gelembung merah darah.

Setelah memastikan tidak ada lagi bahaya, segera kulepaskan selubung Baskara. Alam kembali ke bentuknya semula, rumah Koh Edwin dan Ci Leni di malam hari, bukan lagi alam luas yang terang dengan cahaya putih.

“Kanjeng Gondhang Panggulu!” sebuah seruan memanggilku. Itu Kak Seto, eh, maksudku Kang Seto. Dia masih berwujud Baskara-nya, yang berarti tubuh aslinya masih ada di Tegal atau di mana pun, yang jelas tidak di sini. Wajahnya memancarkan kesedihan dan penyesalan.

“Ada apa, Kang?”

Perasaanku menjadi tidak enak melihat raut wajahnya. Tiba-tiba saja aku mengingat ucapannya sebelum Nyi Roro Bunga Senja menyerang. Melihat kegelisahanku, Kang Seto menundukkan wajah. Kampret! Segera saja aku berlari menuju kamar.

“Ci Leni!”

Kudapati Ci Leni masih tertidur. Namun, hal itu tidak membuatku berlega hati karena kulihat ada genangan darah membanjiri ranjang tepat di bagian bawah tubuh Ci Leni.

“Ci Leni!”

Tubuh mungilnya kuguncang-guncangkan. Namun, tidak ada respon apa-apa dari Ci Leni. Sial! Sialan! Tidak pernah kubayangkan akan seperti ini jadinya.

“Tenang, Mas Gon! Kekasih Mas Gon masih hidup.”

Sebuah tepukan di bahu seperti menyadarkanku bahwa CI Leni masih bernapas. Dadanya masih kembang kempis. Tidak tampak ada raut kesakitan di wajah cantiknya.

“Lalu bagaimana ini, Kang?” tanyaku. Rasanya lega sekaligus berat. Kelegaan atas Ci Leni masih hidup bertabrakan dengan beratnya dugaan yang menimpa majikanku itu.

“Sampai isi yoni-nya dikembalikan, dia akan tetap dalam kondisi seperti itu, Mas Gon,” jawab Kang Seto. Tepat seperti dugaanku.

“Kang Seto ... mengapa tidak membantuku, tadi?”

“Mohon maaf, Mas Gon ... Ibunda Mas Gon dan adik kakak Mas Gon di rumah besar ...,” jawab Kang Seto seperti berat untuk menjelaskan. Seharusnya aku tidak meragukan kesetiaannya, tetapi keluarga di Tegal adalah prioritasnya. Ini murni kesalahanku sendiri. Pasti anak buah si Nyi Roro juga mendatangi ibu untuk mencari tahu tentang keberadaanku. Namun, bagaimana dia mengetahui keberadaanku?

“Hari keseratus, Mas Gon, adalah hari di mana seorang janin diberikan nyawa. Dia sempurna menjadi manusia dan Nyi Roro dapat merasakan hawa keberadaan keturunan orang yang mengabdi kepadanya, meskipun masih di dalam rahim,” kata Kang Seto. Aku lupa guruku itu mampu membaca pikiran selain dapat bertelepati juga.

“Lalu bagaimana, Kang?”

Kepalaku berat sekali. Ci Leni akan seterusnya koma sampai janinnya dikembalikan ke dalam rahimnya. Bagaimana harus kujelaskan kepada Koh Edwin atas apa yang menimpa istrinya? Padahal dia telah menitipkan keselamatan CI Leni kepadaku. Apa yang harus kulakukan dengan waktu sesingkat satu bulan? Haruskah aku menyerahkan diri melanjutkan perjanjian itu?

“Mas Gon ... saran saya Mas Gon segera pulang ke Tegal. Bagaimana pun Mas Gon sekarang adalah pemimpin Rumah Besar Trah Ugraha Wisesa. Kasihan ibunda Mas Gon dan adik kakak Mas Gon di sana. Mereka butuh pelindung,” kata Kang Seto lagi setelah membaca kebimbanganku.

“Lalu bagaimana dengannya?” tanyaku sambil menatap CI Leni. Meskipun masih sama cantik denganbiasanya, tetapi jelas ada yag berbeda pada wajanya. Darah seperti enggan mengaliri wajah cantiknya. Dia pucat, jauh lebih pucat dari pada biasanya. Dan asal kalian tahu, itu bukanlah pertanda baik, apalagi bila berkenaan dengan duniaku yang satu itu.

“Seperti kata Nyi Roro, satu bulan. Tidak lebih. Mas Gon harus mengembalikan janin itu kembali ke dalam yoni kekasih Mas Gon,” jawab Kang Seto.

“Kalau ....”

“Kekasih Mas Gon akan mati,” tukas Kang Seto.

“Lalu bay ....”

“Hanya Nyi Roro dan Tuhan yang tau,” tukasnya lagi.

Dalam kondisi normal aku akan sangat menikmati permainan tebak kata dengan Kang Seto. Namun, kali ini aku hanya berharap dia bisa memberiku satu saja ide tentang apa yang harus kulakukan kepada Ci Leni agar dia bisa sadar.

“Ada satu cara, Mas Gon. Tapi, sangat beresiko,” kata Kang Seto lagi. Sepertinya risiko apa pun akan sangat sepadan bila Ci Len bisa sadar kembali. Kang Seto yang melihat kelegaanku lanjut berkata, “Andai saya Mas Gon, saya tidak akan sebegitu lega.” *

“Pulang kampung, Le?” tanya Koh Edwin keesokan paginya. “Sebulan?”

Majikanku itu memandang istrinya yang bersedih. Ada keengganan di mata Koh Edwin untuk memberiku izin, tetapi jelas dia tidak mampu menolak ketika alasan yang kuajukan adalah karena kematian bapakku.

“Lu balik lagi ke sini kan, Le?” tanya Ci Leni. Majikan panlok-ku itu lembali ke setelan pabrik bila ada orang lain di antar kami. Apalagi ada suaminya, meskipun suaminya juga yang menyuruh kami untuk tidur bersama. Tangannya mengusap-usap perutnya sendiri yang semakin membesar bila dibanding semalam.

“Dia pasti balik. Harus!” tukas Koh Edwin sambil merengkuh Ci Leni. “Kalau nggak, kita jemput dia.”

Begitulah. Izin mudik sudah kukantongi. Tiket kereta sudah kudapatkan. Esok pagi buta aku akan pulang untuk pertama kalinya setelah tiga tahun.

“Mas Bule ... boleh saya masuk?”

Risau membuat inderaku seperti tumpul. Bahkan kehadiran Mbak Iis seperti tidak terdeteksi olehku. Bahaya kalau begini terus. Manusia biasa saja bisa dengan mudah mendekatiku, bagaimana bila itu anak buah Nyi Roro?

“Bukannya Mbak Is sudah masuk?” tanyaku berkelakar. Pintu memang tidak kututup agar hawa buruk di kamar bisa berganti dengan udara pagi yang segar.

“Apa yang bisa Mbak bantu, Mas?” tanya Mbak Iis tidak terpancing dengan kelakarku. Namun, jelas aku yang terpancing dengan pertanyaannya.

“Bantu apa, Mbak?” tanyaku berpura-pura tidak mengerti.

“Saya melihat hampir segalanya semalam. Mas Bule melayang di udara, sosok pria bercahaya putih, seorang dewi, juga kromoleo. Juga Non Leni ...,” jawab Mbak Iis. “Saya pun seorang Baskara, Mas. Tipe Waskita.”

Kerahasiaan bagi kami, para laskar Baskara adalah sebuah harga mati. Sangat jarang kami mengakuinya meskipun kepada sesama. Hal itu dikarenakan mengakui tanpa sebab adalah sebuah tanda keangkuhan. Sedangkan keangkuhan adalah sifat iblis yang akan mengubah Baskara kami menjadi Setra, Padang Kegelapan.

“Hanya ini satu-satunya cara agar Mas Bule percaya dan mau menerima bantuan saya,” ucapnya.

Berbeda dengan Baskara Adi yang menjadi tipe-ku, Baskara Waskita adalah tipe support alias pendukung dengan pengumpulan informasi baik melalui mimpi maupun penggunaan alat sebagai media seperti ramalan. Bisa dibilang pengguna Baskara Adi mampu mengetahui apa pun yang ada di masa lalu atau bahkan di masa depan dengan tingkat akurasi seratus persen. Namun, hal itu tidak gratis. Bayarannya tidak main-main.

“Apa Mas Bule mau kuramalkan bagaimana cara menyelamatkan anak Mas Bule?” tanya Mbak Iis membuatku tertegun. Semoga saja dia mengetahui perihal anakku bukan melalui Baskara-nya, karena informasi itu tidakah layak dihargai dengan pengorbanan Mbak Iis.

“Sini, Mbak Sayang,” kataku menepuk kasur tanpa sprei yang basah karena habis-habisan kuusap dengan kain basah bersabun. Lumayanlah, darahnya sedikit berkurang. Usai kubersihkan rencananya akan kujemur di luar.

“Mau pergi sempet-sempetnya mesumin mbaknya,” sungut Mbak Iis. Namun, dia tetap menurutiku.

“Nggak kasian sama adeknya, mumet lo ini,” kataku menggodanya.

“Mana yang mumet?” tanyanya lagi. Mbak Iis bukan duduk di kasur, melainkan mengangkang duduk di pangkuanku berhadap-hadapan.

“Emang gak kerasa?” godaku lagi.

“Nggak!” jawab Mbak Iis ketus sambil melingkarkan tangan di leherku. Kontolku memang memberontak, tetapi tertahan celana jean. Lumayan menyiksa.

“Kok tiba-tiba ngambek, Mbak Sayang?”

Mbak Iis begitu menggemaskan dengan wajah cemberut seperti itu. Kukecup ringan bibirnya, sedangkan tanganku mencengkeram bongkahan pantatnya.

“Biarin! Habis Mas Bule gak adil. Non Leni dikasih dedek bayi, aku dianggurin,” tukas Mbak Iis.

“Andai aku tahu bakal gini, aku juga gak mau, Mbak,” jawabku sambil menyusupkan tangan ke balik kemejanya meraih kaitan behanya. Dasar tangan tidak punya otak! Belum ada dua puluh empat jam dihajar Nyi Roro, sudah banyak tingkah saja.

“Aku bisa melindungi yoni-ku agar tidak terdeteksi siapa pun, Mas ... Ih! Ngeselin!” tukas Mbak Iis sebelum melibas bibirku dengan gemas. Namun, baru saja dua buah kancing kemeja Mbak Iis kulepas, ponsel Mbak Iis berbunyi. Siapa lagi kalau bukan Ci Leni.

“Itu dicariin Boss,” kataku. Kentang, tetapi mau bagaimana lagi?

“Gak mau!” jawab Mbak Iis. Samar kudengar dia mengucapkan, “Baskara! Waskita! Langgeng!” Seketika saja semua menjadi hening. Bahkan kulihat kelambu yang tertiup angin membeku, diam tidak berkibaran kembali.

“Dua jam! Hamili Mbak dalam waktu dua jam! Kalau nggak ... mmmh ... Mbak sekep Mas Bule selamanya di sini!” ancam Mbak Iis sambil tersenyum menggoda.

Kata siapa tim support tidak seram? Aku tidak tahu apa yang Mbak Iis korbankan untuk menghentikan waktu karena menghentikan waktu bisa dibilang sama beresikonya dengan ramalan berakurasi seratus persen, tetapi itu jelas sangat keren.

“Mbak Is lonte!” godaku.

“Iya! Mbak lontenya Mas Bule,” jawabnya membeo.

“Lonte doyannya apa, Mbak?” godaku lagi. Kerisauanku perlahan sirna dengan adanya Mbak Iis. Paling tidak saat ini.

“Dientot Mas Bule sampai hamil,” jawabnya lirih tepat di sebelah telingaku.

Damn! Langsung saja aku berdiri dengan menggendongnya di depan dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kiriku secepat kilat melepas celana dan celana dalamku.

“Ini baru kerasa, mmmh ...,” desah Mbak Iis ketika kontolku menyundul memeknya yang masih terlindungi rok.

~Season 1 selesai~
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd