22. YANG HILANG KEMBALI
Beberapa hari kemudian ada nomor baru yang tiba-tiba chat membagikan lokasi.
Angga, aku tunggu disini ya hari ini, kalau lagi ada waktu luang
Kalani
“kalani? Loh, mbak Lala dong ini?”, dalam hatiku. Aku bingung harus membalas dengan kata-kata apa pesan singkat itu. Tapi hari ini aku harus menyempatkan menemuinya setelah sekian lama Mbak Lala menghilang. Segera aku melihat jadwal kuliahku hari ini, full sampai sore. Sehabis itu Nafisa kemaren bilang kalau hari ini mau ditemenin belanja bulanan. Oke lah setelah aku anter Nafisa, aku coba pergi ke tempat yang di share Mbak Lala tadi.
Pukul 9 lewat aku baru pamit dari kost Nafisa. Aku buka lagi hpku dan ku lihat lokasi yang di share Mbak Lala tadi. Tujuannya Tawangmangu, butuh sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk kesana dari kost Nafisa. Ngapain Mbak Lala disana? Okelah, gapapa, kapan lagi bisa ketemu Mbak Lala ya kan? Akupun bergegas menuju lokasi itu.
Mulai terasa dinginnya udara Tawangmangu. Mendekati lokasi yang beberapa kali memasuki gang-gang kecil, aku pelankan motorku sambil tengok kanan kiri dan terlihat mobil Mbak Lala, Yaris warna putih, parkir di sebuah halaman rumah yang cukup luas, kira-kira muat untuk 5-6 mobil. Nah ini dia nih, Mbak Lala!. Rumahnya tidak terlalu besar dengan gaya khas rumah desa tetapi terawat dan asri, rindang dengan banyaknya tanaman dan beberapa pohon di sekeliling rumahnya. Jarak dari satu rumah ke rumah yang lainnya juga lumayan renggang dan cenderung sepi. Aku masuk ke pekarangan rumah itu lalu memarkir motorku di sebelah mobil Mbak Lala.
TOK TOK TOK
“assalamualaikum”. Beberapa saat aku menunggu, belum juga ada yang menjawab dan membukakan pintu.
TOK TOK
“Mbak Lala, assalamualaikum”.
KLAK KLAK (bunyi kunci pintu diputar).
“haaiii Angga! Sini masuk masuk!” Mbak Lala yang memakai daster seperti biasanya kalau di rumah, dengan rambut panjangnya yang digerai itu membukakan pintu lalu menarik tanganku untuk masuk rumah, lalu menutup pintu lagi sambil menguncinya. Tapi ada satu yang sangat menarik perhatianku. Perut Mbak Lala gedhe banget dong!. Mbak Lala berdiri di hadapanku lalu memegang kedua tanganku yang kemudian diletakkan ke perutnya.
“Anak kamu, Ngga.. anak kita!”. Mbak Lala tersenyum lebar.
DEGH! “serius Mbak?!”. Kaget banget pas denger itu. sepintas pikiranku udah kemana-mana, overthinking. Secara baru juga beberapa waktu lalu ulang tahun yang ke 21, sekarang dikasih kabar Mbak Lala kalau aku udah mau jadi Bapak, dari anak yang dikandung istri orang. Nah loh! Harus gimana dong gueee?!! Seneng? Sedih? Alamak!!
Dengan mata yang berkaca-kaca, sambil tersenyum Mbak Lala menganggukkan kepala lalu mengalungkan kedua lengannya di leherku dan memelukku, dengan sedikit jinjit Mbak Lala menaruh dagunya di pundak kiriku.
“makasih ya Ngga, akhirnya bentar lagi aku jadi wanita seutuhnya”. Bisik Mbak Lala.
Aku hanya terdiam sambil membalas pelukan Mbak Lala, dengan perut besar yang mengganjal di perutku.
“udah berapa bulan mbak?”
“jalan bulan ke 8 Ngga”.
“wah, bulan depan lahiran dong?”.
Terasa mbak Lala mengangguk di pundakku. Mbak Lala terus memelukku seakan gak mau lepas.
“gini amat meluknya Mbak, kangen ya?”. Ledekku.
Lalu mbak Lala melepas pelukannya dan menatapku masih dengan senyumannya. Entah kenapa wajah Mbak Lala lebih cerah dan berseri dari biasanya, dulu.
“Bangettt!”. Jawab Mbak Lala yang tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibirku. Seketika jantungku dag dig dug duar!! Hasrat yang selama ini ku tahan, ku simpan untuk Nafisa nanti setelah nikah. Dengan mudahnya dibangunkan sekejap oleh mbak cantik satu ini. Suhu tubuhku tiba-tiba naik. Nafasku mulai berat. Juniorku terasa sangat sesak di celana. Apalagi dinginnya udara yang sangat mendukung. Rasa-rasanya mbak Lala jadi lebih agresif kali ini. Mau nolak juga, ah! Kepalang tanggung! Akupun membalas ciuman Mbak Lala dan mengikuti tempo ciumannya. Aku sangat menikmati ciuman dengan mbak Lala malam itu. Makin lama adrenalinkupun makin memuncak. Tanganku gak tahan diam saja. Aku mulai mengelus punggung mbak Lala, lalu turun, aku elus-elus pantatnya lanjut aku remas-remas. Mbak lala terasa menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan sambil menggeliatkan pantatnya. Anjir! Lampu ijo nih...
Semakin gak tahan, akupun menarik daster mbak Lala ke atas perlahan, aku sibak sampai ke atas pantat mbak Lala. Gak mau berlama-lama, aku langsung menarik ke bawah CD mbak Lala, lalu ku remas lagi pantatnya. Beberapa saat kemudian aku lepas ciumanku.
“gakpapa mbak?” tanyaku sambil mengelus perut Mbak Lala.
“gakpapa, yuk!”. Kata mbak Lala seraya melepaskan CDnya yang masih menggantung di paha, lalu menarik tanganku dan masuk ke kamar dan berhenti di depan cermin meja riasnya. Mbak Lala menarik ke atas dasternya dan melepasnya. Terlihat tubuh kuning langsat mbak Lala yang bersih dan dua bongkah pantat yang sedikit lebih montok, justru terlihat lebih sexy buatku. Selebihnya tak banyak berubah. Aku yang melihat itu langsung ikutan melepas celana dan CDku. Sekalian kaosku. Aku sudah gak pake sehelai benangpun.
“bantuin dong Ngga”. Pinta mbak Lala sambil memegang tali bra di punggungnya lalu menarik rambutnya keatas dan diikat, akupun segera membantu melepaskannya. Melihat toket mbak Lala yang tampak sedikit lebih berisi dan menggemaskan itu aku langsung memeluknya dari belakang dan meremas kedua toketnya. Kontolku aku gesek-gesekkan diantara bongkahan pantat mbak Lala. Aku pilin-pilin puting mbak Lala yang warnanya berubah jadi gelap dan sedikit lebih besar itu.
“ahhhh...ssssssh..ahhh”. desah mbak Lala sambil menggeliat.
Kuciumi leher kanannya, sesekali aku jilat dan kulum telinganya. Mbak Lala terlihat menggigit bibir bawahnya di cermin yang semakin membuat hasratku yang selama ini ku tahan, semakin memuncak.
Tangan kanan mbak Lala berusaha meraih kontolku, lalu mengocoknya tak beraturan.
“Ngga, masukin!”.
Akupun melepas pelukanku dan membiarkan mbak Lala mengambil posisi dulu. Mbak Lala menarik tanganku, mengajak ke kasur, lalu dia naik dan mengambil posisi doggy sambil memeluk bantal menghadap ke kiri. Terlihat sangat indah pemandangan yang udah lama gak aku lihat itu. lubang pantatnya yang terekspose itu bener-bener biki gak tahan. Terlihat jembut mbak Lala agak gondrong seperti belum dicukur beberapa lama. Belahan bibir memek yang terlihat jelas itu nampak sudah lumayan basah. Karena udah gak tahan, aku langsung meludahi lubang pantat mbak Lala lalu aku lumurkan di bibir memeknya. Aku ludahi juga tanganku lalu kulumurkan di kontolku. Kuarahkan pelan-pelan ke bibir memek mbak Lala, Blessssh! Begitu mudahnya masuk ke liang surgawi itu, tapi masih terasa menggigit pas udah di dalem. Batang kontolku pun ku masukkan mentok. Maafin aku Nafisa!!! Beneran lagi gak tahan ini.
“ohhhh...emmmh..sssshh!. lenguh mbak Lala.
Aku pegang kedua bongkahan pantat mbak Lala dan mulai memaju mundurkan pingggulku. Pelan berirama, lalu ku genjot makin kencang.
PLOK PLOK PLOK...
“ahh..ahh...ahhhh!”. desah mbak Lala.
Aku genjot makin kencang. Dan tiba-tiba aku tusuk masuk sepenuhkan ke memek mbak Lala.
“ahhhhh!”.
Aku tarik pelan lalu ku tusukkan lagi dengan cepat.
“Emhhh”.
Lalu aku maju mundurin lagi berirama, pelan, makin kencang dan makin kencang.
PLOK..PLOK...PLOK..
Saking horny nya, hasrat sudah diujung ubun-ubun, akupun menggenjot mbak Lala sekencang-kencangnya.
“ah ah ahhh..hoohhhh...ssssssshh! ahh ahh!” desah Mbak Lala.
“ohhhhh!!!”. Akupun mengerang.
CROT CROOT!!!
Tubuhku bergetar, tubuh mbak Lala mengejang. Aku tahan kontolku menusuk memek mbak Lala. Sambil mengatur nafas, aku cabut kontolku dan mengalirkah lahar putih dari memek Mbak Lala, mbak Lala tetep bertahan di posisi itu sambil menstabilkan nafasnya.
Ku rebahkan tubuhku di sebelah kiri mbak Lala sambil menoleh ke arah wajahnya. Mbak Lala masih ngos-ngosan sambil mengembangkan senyumnya dan perlahan merebahkan tubuhnya miring menghadapku. Akupun miring ke kiri menghadapnya. Terlihat keringat tipis membasahi beberapa bagian tubuh dan wajahnya. Sungguh cantik mbak Lala malam itu. lalu aku mendekatkan wajahku ke wajah mbak Lala dan mencium bibirnya sesaat sambil ku belai belai rambut di atas telinganya. Sejenak kami diam dan saling pandang, tersenyum salah tingkah. Lalu dia meletakkan tangan kirinya di atas pinggangku.
“Mbak Lala kemana aja?”. Tanyaku membuka obrolan.
Mbak Lala tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“pak suami Ngga, jadi over protective pas tau aku hamil, makanya aku diminta buat ikut dia terus, biar bisa terus jagain ini katanya”. Sambil mengelus perutnya dan kembali meletakkan tangannya di pinggangku.
“ya masak gak ngehubungin sama sekali sih mbak? Hmmm”.
“haha, sengaja sih... pengen banget rasanya ngasih tau kamu kalau aku hamil, dari dulu, sebulan setelah kita terakhir ketemu itu, tapi pengennya ketemu langsung, eee pak suami gak ngebolehin aku main ke jawa bentar, ya udah deh nunggu kesempatan aja tar kalau udah dibolehin suami main ke jawa”.
“udah dibolehin dong ini?”.
“kemarin sih aku bilang kangen sama mama, akhirnya dia anter aku tapi gak bisa lama-lama, ya udah aku minta di tinggal aja dulu disini, akhirnya dibolehin”.
“sampe kapan mbak?”.
“ini hari apa? Emmm, jumat ya.. rencananya sih senin atau selasa, tar lah nyari tiket yang ada aja”.
“yaaah bentar doang dong”.
“gapapa, aku udah seeeneng banget bisa ngasih tau kamu secara langsung gini, kangenku juga sedikit terobati..hihi, eh iya, kamu nginep sini ya Ngga, temenin aku selama disini”.
Mendengar itu aku sedikit berfikir, waduh! Mana bisa aku stay terus sama mbak Lala, lah Nafisa gimana?! Tapi ini soal anakku, masak iya aku tega ninggalin anakku dan ibunya sendirian disini?!. Eeh bentar-bentar, ini beneran aku mau jadi bapak?! Aduh mamaaaak!! Berasa jadi suami lagi siaga jagain istri nih, yah itung-itung simulasi lah ya.
“Angga! Yeee malah ngelamun”.
“eh.. iya mbak, iya dong pasti aku temenin”. Aduhhh! Gimana inih! Ya udah deh dipikir besok aja Nafisa.
“yeey!” jawab mbak Lala.
“mbak Marta udah tau mbak?” mbak Lala Cuma senyum sambil menggelengkan kepala.
“marta aku kasih surpise aja sekalian nanti pas lahiran, kemarin aku cuman bilang suami lagi minta di temenin gitu doang sih”.
“emang gak kontak-kontakan mbak sama mbak Marta?”
“ya tetep berkabar, cuman belum aku kasih tau aja”.
“oooh gitu, terus ini, kok bisa mbak disini? Ini villa punya mbak Lala”.
“bukan, punya omku, mumpung lagi gak ada yang nyewa aku pinjem aja haha”.
“pintar sekali mbak cantik satu ini, haha”. Akupun mencium bibir mbak Lala lagi dan kami berciuman sejenak.
“mbak”.
“apa Ngga?”.
“ini beneran ya, aku bakal jadi bapak?”.
“iya lah Angga sayaaang, kenapa emangnya?”.
“hehe enggak sih, berasa kayak belum siap aja sih mbak... sama, aneh gak sih, aku mau jadi bapak dari anak yang ibunya adalah istri orang lain.. hah! Puyeng puyeng”.
“haha, tenang Ngga, mbak yang akan menanggung semuanya, sama suami mbak yang nanti juga jadi ayahnya anak ini, mbak gak akan menuntut apapun dari kamu Ngga, ini aja udah jadi hadiah terindah dari kamu”.
Aku sedikit lega mendengarnya, tapi tetep mengganjal di hati. Ya mau gak mau yang di perut itu tetep anakku, anak kandungku.
“makasih ya mbak, tapi aku janji deh, aku bakalan jadi selayaknya ayah walaupun dia gak perlu tau kalau aku ayah kandungnya”.
“apapun yang kamu mau, aku ijinkan Ngga”. Aku tersenyum mendengarnya sambil membelai rambut mbak Lala.
“satu lagi deh mbak”.
“iya apa?”
“tumben Mbak Lala kangen sama aku? Biasanya juga dingin-dingin gimana gitu, sejak aku bikin salah sama mbak Lala itu, hehe.. sekali lagi maaf ya mbak”.
“emmm, gimana ya?”. Mbak Lala senyum-senyum sambil sok mikir.
“sebenernya kamu lebih bisa muasin kebutuhan nafkah batinku sih Ngga”.
“maksudnya mbak?”.
“ya gituuu... suamiku tuh kalau main cuman buat muasin dia sendiri, kadang kasar, kadang cepet keluar dan selesai sebelum aku klimaks, gitu-gitu deh”.
“ooooh, jadi itu yang bikin mbak kangen tadi?” tanyaku meledek.
“he’emmmh”. Jawab mbak Marta sambil senyum sok imut.
“uuuuu, sini sini peluk!”. Kamipun saling berpelukan dan menikmati suasana yang hangat di tengah dinginnya udara malam itu.
“tapi tadi kenapa bentar doang sih Ngga?”.
“hehe, keburu nafsu Mbak”. seraya ku kecup bibir Mbak Lala.
~ Bersambung