Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catatan Seorang Wartawan

Bimabet
Kencan Pertama


Sudah hampir dua tahun aku menyandang status jomblo. Dan sejak itu pula aku tak pernah pergi berdua dengan teman perempuan. Ada beberapa junior di kantor yang konon katanya naksir denganku. Konon, karena itu kudengar dari beberapa rekan kerja atau bosku.


“Si anu titip salam sama lo, tuh,” kata seorang editorku.


“Si itu cakep lho. Baek lagi anaknya. Beberapa kali pas rapat, gue sering ngeliatin lo diem-diem. Udah sikat aja,” kata editorku yang lain.


“Yakin nggak mau cari pacar? Nanti lo jadi jomblo akut, lho,” kata Mas Umam, editorku di desk nasional.


Aku mesem-mesem.


“Titit kalau lama nggak dipakai bisa karatan, bro,” kata Mas Umam, masih meledekku.


“Sialan, lo Mas. Jomblo-jomblo gini, kalau cuma teman bobo, ya adalah,” kataku mengelak. Padahal memang ada sih.


Aku cengengesan mendengar ledekan mereka. Bukan kenapa-kenapa, aku memang tak terlalu doyan punya hubungan satu kantor. Pertama, malas jadi bahan omongan. Kedua, kalau putus rekonsiliasinya ribet. Ketiga, kalau putus, lagi-lagi males jadi bahan omongan di kantor.


Aku sedang duduk di mejaku sambil membuka-buka media sosial. Tulisan sudah aman.Wawancara sudah rampung. Waktunya santai-santai sambil ngeliat media sosial.


Tiba-tiba aku teringat dengan Andriana. Hmm. Anaknya sih menarik. Kayaknya pinter. Minimal, punya rasa ingin tahu dan tertarik untuk belajar. Cantik. Lucu. Lho, kok aku malah senyum-senyum sendiri?


Sebuah kertas melayang ke kepalaku.


“Ngapain lo senyum-senyum, kesambet setan?” kata Mas Umam.


Sialan, ketahuan.


“Lo lagi pedekate sama cewek ya? Wartawan mana? Cakep nggak?” Mas Umam memberondongku dengan aneka pertanyaan.


“Kepo bener sih Mas. Ingat bini, Mas. Anak sudah mau masuk SMP,” kataku.


Mas Umam tertawa. Di luar relasi pekerjaan, Mas Umam ini sudah aku anggap sebagai kakak sendiri. Beberapa kali dia cerita soal anak-anaknya yang cerewet, istrinya yang baik dan sering nitip makanan, soal masalah rumah tangganya, soal cicilan rumah dan mobil. Aku cuma mendengarkan tak berani memberi nasihat.


Aku kembali fokus pada komputerku.


Segera kuketik nama Andriana Purnama di mesin pencari Google dan muncul sejumlah halaman. Aku memilih yang aku anggap penting untuk memberi informasi awal.


Pertama, twit**ter. Aku membuka tab baru. Amsyong, twit**ternya diprotect. Berikutnya, Facebook. Kampret, diproteksi juga. Cuma nongol wajah Andriana di profil picture. Begitu masuk profil, tak ada jejak-jejak postingan di timeline. Aku membuka halaman lain. Tak ada petunjuk apapun.


Aku merutuk dalam hati.


Kok aku jadi penasaran ya? Aku masih berusaha mencari beberapa petunjuk dengan membuka beberapa tab. Hasilnya? Nihil.


Terus nanti ngomongin apa ya pas ketemu? Politik? Pemberantasan korupsi? RUU Pemilu? Pergantian menteri? Isu luar negeri? Toleransi? Pemerintahan yang bersih? Kok berat amat ya rasanya. Nggak asyik banget jadi orang.


Film? Aku nggak tahu dia suka nonton atau nggak. Musik? Aku tahunya Bon Jovi dan band-band ballads lawas, yang aku yakin nggak cocok sama umurnya. Buku? Kok aku nggak yakin anak seumuran dia masih baca buku.


Lo jadi repot sih Asta? Ini cuma diskusi. Dia itu cuma mau cari informasi dari lo, bukan mau ngedeketin lo secara personal. Bukan kencan. Selow aja sih, kenapa.


Oke, oke, kalem.


Dua tahun menjomblo dan ini ngedate pertama dengan seorang perempuan. Ada sedikit rasa gugup.


Hehehe.


Aku memang tak pernah pacaran lagi sejak putus dengan pacar sebelumnya dua tahun lalu. Aku wartawan, dia dokter. Dia senior adikku di kampus. Kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi kerjaanku dan kerjaannya nggak mengenal waktu. Malam minggu tetap kerja. Hari libur kadang-kadang tak jelas.


Pernah suatu ketika aku hendak nonton dengan mantan pacarku di bioskop. Kami sudah hendak masuk ke teater ketika bosku menelepon. Katanya ada tangkapan di KPK, dan ini urusan penting. Aku tak bisa menolak.


Dengan gugup aku menjelaskan soal ini ke mantanku. Aku tahu dia kecewa dan berusaha tersenyum. Kami akhirnya urung kencan karena harus nongkrong di KPK sampai subuh.


Rupanya ini tak terjadi sekali. Berkali-kali. Aku maklum kalau dia jenuh. Sampai suatu ketika dia ngomong baik-baik kalau sudah tak nyaman dengan hubungan ini. Ya sudah, aku juga tak mungkin memaksa dia untuk terus menerus mengalah.


Kami putus baik-baik dan tetap saling berkabar hingga sekarang. Minimal memberi ucapan selamat ulang tahun.


Beberapa kali kami masih jalan berdua. Apa? Jatah mantan? Hahaha. Pernah sih dulu awal-awal. Tapi setelah dia dekat dengan seorang cowok, iya dia bercerita padaku, dan kemudian pacaran, jatah itu hangus dengan sendirinya.


Sejak saat itu, aku fokus pada pekerjaan, mengabaikan segala macam urusan asmara. Sampai Andriana datang.


Lho, kok jadi Andriana?


+++


“Kita ketemu di Starbuck Plaza Senayan saja ya? Gue sudah on the way nih. Palingan bentar lagi nyampe,” kataku pada Andriana lewat telepon. Sengaja aku menggunakan gue-lo, biar nggak terkesan manis. Aku mau terlihat cool.


Aku memakai pakaian yang agak rapi malam ini, untuk ukuran wartawan. Celana jins, sepatu kets, kemeja flanel yang lengannya digulung. Aku menyemprotkan parfum di sekujur badan. Penting untuk memberikan impresi yang baik.


“Saya sudah di depan. Lima menit lagi, Mas,” sahut Andriana. Dia masih menggunakan kata saya. Formal banget sih, Neng.


Setelah memesan kopi aku lalu memilih tempat duduk di halaman, yang ada tenda. Supaya bisa merokok. Dari sudut ini, aku bisa memandang ke arah Jalan Asia Afrika yang masih tetap macet hingga jam segini. Aku melihat Andriana dari kejauhan. Rambut pendek, rok selutut dengan atasan berpotongan aneh. Terlihat agak kekinian. Cuma, terasa pas saja di badannya.


“Sory, Mas bikin kamu nunggu,” kata dia sambil menyalamiku. Tangannya halus bener sih.


“Selow. Baru aja kok. Mau gue pesenin?”


“Biar saya sendiri aja.”


Tak lama kemudian dia datang membawa kopi pesanannya.


“Nggak usah terlalu formallah. Lo gue aja. Dan nggak usah panggil gue Mas. Sebut nama aja. Beda umur kita nggak nyampe dua digit kok,” kataku.


Andriana tertawa.


Kami mulai ngobrol panjang lebar soal topik liputanku. Dia banyak bertanya mengenai fungsi DPR, apa saja tugas dan kewenangannya, apa saja isu-isu yang dibahas, soal korupsi di lembaga itu. Siapa saja anggota-anggota DPR yang layak dijadikan narasumber dan dikutip untuk keperluan berita. Aku jelaskan semampuku.


Aku beruntung dikaruniai bakat alami untuk meyakinkan orang. Bukan bermaksud sombong, tapi banyak yang bilang, gayaku amat meyakinkan jika sudah berbicara. Barangkali ini pengaruh dulu ikut organisasi sejak sekolah hingga kuliah. Aku terlatih melobi orang. Terlatih meyakinkan orang. Dan, kata teman-temanku, aku gampang membuat orang-orang terpesona.


Andriana banyak bertanya, dan pertanyaannya relatif kritis untuk ukuran seorang konsultan komunikasi. Dulu aku sering memandang sebelah mata dengan pekerjaan ini. Aku mikir, pekerjaan orang seperti Andriana hanya mengkliping berita, bikin rilis, kontak wartawan terus bagiin amplop untuk wartawan. Itu saja.


Rupanya, Andriana berbeda. Setidaknya, itu kesanku dari obrolan ini. Dia banyak bertanya, bukan pertanyaan basa-basi. Lebih tepatnya menggali. Yang paling utama, dia kritis.


Aku menjawab aneka pertanyaannya. Menjelaskan panjang lebar tentang apa yang kuketahui. Ini sama sekali tak menjadi beban. Lagipula, aku bisa mendapatkan bonus. Bisa menatap wajahnya tanpa perlu curi-curi pandang. Dia menyimak penjelasanku dengan antusias.


Sudah hampir satu jam kami ngobrol dan sepertinya obrolan ini tampak menyenangkan. Kami nyambung, meskipun baru pada urusan pekerjaan. Belum menyentuh urusan personal.


“Kalau pertanyaan lo model begitu, lo cocoknya mah jadi wartawan, bukan jadi konsultan,” kataku sambil menyeruput kopiku. Aku menyulut sebatang rokok. Dia menggeleng saat kutawarkan. Andriana menyebut dirinya sebagai social smoker.


“Nggak salah saya pilih orang untuk ngobrol,” kata Andriana memujiku.


Seketika dadaku kembang kempis. Kepalaku membesar. Mau meledak. Hahaha. Lebay sih.Mudah-mudahan dia tidak melihat wajahku yang mungkin memerah.


“Udah ah, nggak usah bahas politik melulu,” kataku.


Topik kemudian beralih ke berbagai hal.


Dari obrolan kami, aku tahu Andriana merupakan anak pertama. Kakeknya orang Prancis, neneknya orang Sunda. Pantesan dia tampak seperti orang bule, dari hidungnya yang mancung. Ayahnya adalah seorang diplomat. Ibunya rumah tangga biasa yang patuh mengikuti ke mana sang suami bertugas. Dia sempat menghabiskan masa kecil di Australia sebelumnya akhirnya kembali tinggal di Indonesia.


Selisih umur kami enam tahun. Jadi, wajar kami tak sempat berjumpa di kampus meskipun kami satu almamater.


Aku penasaran, apakah dia sudah punya pacar atau belum. Rasanya nggak mungkin cewek secantik dan semenarik dia nggak ada yang berusaha ngedeketin. Aku belum berani bertanya soal kehidupan asmara. Khawatir dianggap lancang.


Aku merasa mulai tertarik pada cewek ini.


“Lo punya akun Facebook nggak?” kataku memancing. Andriana menyebutkan satu akun, yang sebenarnya sudah aku ketahui dari hasil stalking beberapa hari sebelumnya.


“Gue add ya. Jangan di-ignore,” kataku.


Andriana tertawa sambil mengambil ponselnya.


“Sudah di-approve,” kata dia.


Ada notifikasi masuk ke ponselku. Aman. Nanti stalking setelah di rumah saja.


“Nomor Mas Asta itu ada Whatsapp-nya, kan?”


“Ada-ada.”


Kami masih berbicara sejenak. Andriana banyak bercerita mengenai hobinya, yakni nonton film dan baca buku. Aha, ternyata aku salah tebak. Masih ada anak zaman sekarang yang doyan baca buku.


Kami saling bertukar referensi. Setelah kehabisan topik, kami terdiam sejenak. Aku melirik arlojiku. Sudah hampir jam sepuluh malam.


“Habis ini lo mau balik ke mana?”


“Pulang kayaknya, Mas. Besok ada rapat di kantor. Mesti presentasi ke beberapa klien,” kata Andriana.


“Dih, dibilangin jangan panggil Mas,” kataku.


“Wah, lupa-lupa. Maklum, terbiasa hormat dengan orang tua,” kata dia sambil tertawa.


“Gue kesannya udah-udah Om-Om banget ya?” kataku menimpali.


Tawa Andriana makin kencang.


Gila, ini orang mau dilihat dari sudut mana pun tetap cantik. Saat tersenyum, lebih-lebih lagi. Ketika tertawa, pipinya mengembung lucu. Tuhan pasti sedang gembira saat menciptakan mahkluk ini.


Dia melirik arlojinya.


“Mau balik sekarang?” tanyaku dengan terpaksa.


“Gue mau dijemput temen,” kata dia.


“Ooooo,” kataku, yang entah kenapa jadi tersengar sinis.


Andriana merasakan perubahan nada suaraku. Namun dia tak berkata apapun. Ada yang terasa mencelos di dadaku.


“Cowok?” untung ucapan ini segera aku telan dan hanya terucap dalam hati.


“Gue tungguin sampai temen lo datang ya?”


“Nggak apa-apa Mas kalau mau balik duluan. Dia sudah deket, kok,” kata Andriana.


“Santailah. Aku juga nggak ada acara,” kataku sambil menyulut rokok.


Kepalaku bertanya-tanya, apakah yang menjemput Andriana adalah pacarnya. Kalau bukan pacar, siapa lagi orang yang mau menjemput seseorang jam segini? Minimal, orang yang lagi pedekate. Aku jadi pengen tahu kayak gimana orang yang bakal menjemput Andriana.


Rasa penasaran ini kutahan dalam-dalam. Jangan sampai terkesan protektif. Belum pacaran aja sudah bawel. Aku menyulut rokok dalam-dalam, membuang rasa gugup.


Ponsel Andriana berdering.


“Halo. Udah nyampe? Oke, gue ke sana sekarang,” kata Andriana pada lawan bicaranya.


Kami membereskan tas dan berjalan ke arah lobi. Kami berjalan bersisian. Bau parfumnya sayup-sayup tercium ke hidungku. Menggugah.


Di dekat lobi, seorang laki-laki tampak telah menunggu. Tingginya kurang lebih sama denganku. Wajahnya bersih. Rambutnya klimis.Sepatunya bagus. Dari pakaiannya, aku menebak dia anak orang tajir. Usianya mungkin sepantaran dengan Andriana. Paling setahun lebih tua.


Aku langsung merasa naif. Nggak mungkin cewek secantik Andriana masih jomblo. Mana ada cowok di lingkarannya yang tak berusaha mendekatinya. Mana mungkin cewek secakep itu dibiarkan lolos.


Aku merasa patah hati.


“Yoga, kenalin ini Mas Asta, wartawan yang kemarin ngisi acara gue,” Andriana memperkenalkan kami.


“Yoga,” dia menjawab singkat. Tanpa mengenalkan status. Tapi aku sudah bisa menebak hubungan mereka berdua.


“Asta,” aku berucap singkat.


Aku dan laki-laki bernama Yoga bersalaman dengan canggung. Suasana menjadi dingin. Si kampret Yoga menarik tangan Andriana agar mendekat dan berdiri di sampingnya. Aku berusaha tak peduli, meskipun ada yang perih di dalam sana.


“Daah Mas Asta,” kata Andriana. Si cowok cuma menganggukan kepala tanpa melemparkan senyum.


Aku melangkah gontai ke parkiran mobil. Aku galau. Ternyata umur kegembiraanku berakhir hanya sejenak.


+++


Setibanya di rumah, aku langsung tidur tanpa sempat mengecek ponsel. Hingga aku dibangunkan alarm keesokan harinya.


Pagi-pagi, seperti ritual pagi orang kekinian. Aku mengecek sejumlah notifikasi. Ada beberapa pesan masuk. Dari bos, dari teman SMA, dari beberapa narasumber.


Dan ada pesan dari Andriana.


Aku mengabaikan semuanya, kecuali pesan terakhir.


“Mas, sudah nyampe rumah?”


Yesterday, 10.35 PM.


“Mas, boleh kutelepon?”


Yesterday, 10.40 PM.


Shit. Aku nyesel kenapa langsung tidur kemarin.


“Sory, gue ketiduran kemarin. Ada apa Andriana?” aku buru-buru membalas pesan itu.


Aku berkali-kali menatap layar ponselku menunggu balasan. Sial, aku jadi gelisah sendiri. Aku memutuskan untuk menelepon Andriana.


Panggilan masuk, tapi tak dijawab. Aku makin uring-uringan. Aku memutuskan untuk mandi dan segera ke kantor.


Belum juga beranjak ke kamar mandi, ponselku berdering. Aku melompat, dan nama Andriana muncul di layar.


“Halo…”


“Mas, maaf tadi gue lagi di jalan naik ojek. Hape di tas. Sori kemarin ganggu. Hehehe..”


“Kenapa jeung? Mau cerita apa?”


“Eh nanti malam senggang nggak? Makan di mana gitu, yuk..” dia tak menjawab pertanyaaniu.


“Boleh-boleh. Jam 6 aja ya? Suka makanan Jepang?”


“Favorit itu, mah..”


“Jam 6 di Blok M gimana?” Aku menyebutkan satu restoran Jepang favoritku.


“Itu di mana?”


“ Pokoknya di kawasan Blok M Square. Mau aku jemput?”


“Nggak usah, Mas. Ketemu di sana aja. Kirim alamat lengkapnya ya..”


“Oke. See you,” kataku.


Aku mendadak senang. Hatiku lega. Aku bakal memulai hari ini dengan riang gembira.


+++

Aku baru saja menyelesaikan satu laporan saat sebuah pesan masuk ke ponselku.


Andriana.


Sialan, ternyata dia cuma mau tanya beberapa hal soal RUU Pemilu.


“Kerja terus bagai kuda ya. Jangan lupa makan, kak,” aku mencoba mencari pancingan setelah menjawab beberapa pertanyaannya.


“Nggak ada yang ngajakin, sih.”


Aku tersenyum.


“Nggak percaya, ah. Yang ngantri pasti banyak.”


“Yang ngantri memang banyak. Tapi yang enak diajak ngobrol susah nyarinya.”


Entah mengapa, aku merasa kalimar terakhir ditujukan padaku. Hatiku berbunga-bunga. Cepet amat sih lo geer, Asta.


Siang itu tanpa terasa kami chatting hingga dua jam. Segala macam kami coba obrolkan. Aku sengaja tak menyinggung mengapa dia menghubungiku semalam. Kami membicarakan soal film. Dia menyebutkan sejumlah film favoritnya. Forrest Gump, Serendipity, Titanic dan Love Actually.


“Paling suka sih sama 500 Days of Summer. Joseph Gordon Levitt hot banget di film itu,” tulis Andriana.


Mendengar dia memuji cowok lain, hatiku malah jadi panas.


“Zooey Deschanel yang hot mah,” balasku.


“Iya sih. Gue suka banget sama karakter dia. Cara dia memperlakukan si Tom gue suka banget. Kayak no hard feeling gitu,” tulis Andriana.


“Kalau lo, apa film favoritnya?”


Aku menyebutkan beberapa. Fight Club, Sixth Sense, Inception, Memento dan semua film karya Christoper Nolan.


“Inception gila banget sih.” Andriana membalas.


“Kapan-kapan, bolehlah gue ngajak lo nonton. Itu juga kalau nggak ada yang marah,” anjir, klise banget sih pancinganku.


Dia cuma menjawab, “Hahaha,” kemudian percakapan kami berakhir.


Sialan. Pancinganku nggak kena.


++++


“Jadi lo mau cerita apa sih?” aku bertanya setelah menandaskan makanan yang kami pesan. Aku menyulut rokok.


“Kurang-kurangin apa,” kata Andriana, menyindir aku yang tak bisa lepas dari rokok.


“Latihan paru-paru,” jawabku enteng. “Tadi pertanyaanku belum dijawab..”


“Gue pesan sake kali ya Mas. Barangkali didorong alkohol baru enak nanti gue cerita,” kata Andriana.


Andriana minum cukup banyak malam itu. Wajahnya memerah. Pelan-pelan curhatannya muncul.


Jadi, cowok yang bernama Yoga kampret itu adalah mantannya. Mereka sudah berpacaran selama setahun dan putus sekitar enam bulan lalu. Tapi mereka tetap dekat dan masih sering jalan bareng.


Belakangan, Andriana menyadari, dia tak lagi menyayangi pacarnya itu. Sebabnya?


“Gue kehilangan tantangan,” kata Andriana.


Andriana merasa, si kampret sialan itu terlalu penurut, tak memiliki sikap dan menunjukkan kasih sayang dengan uang. Apa yang diinginkan oleh Andriana selalu dituruti sama si kampret. Mereka akhirnya nyaris tak pernah berdebat atau mendiskusikan sesuatu.


Menurut Andriana, si kampret tahunya cuma menghabiskan uang. Kerjaannya modifikasi mobil, nongkrong di tempat ngehits Jakarta bareng temen-temennya atau dugem.


Setiap Andriana membahas kerjaan, si kampret bengong tak bisa menanggapi. Setiap ngebahas film, si kampret juga manggut-manggut tanpa pernah memberi umpan balik. Mau ngomongin buku apalagi?


“Gue akhirnya kehilangan rasa penasaran,” kata Andriana. “Gue nggak pernah tahu isi kepalanya.”


Aku mengangguk pelan.


Saat Andriana berusaha move on, si kampret malah mendesak masuk kembali ke kehidupan Andriana dengan amat intens. Andriana mencoba berdamai dan memberi peluang pada si kampret. Rupanya, makin lama Andriana makin eneg dengan si kampret.


Kemarin malam, saat bertemu denganku, adalah puncaknya. Andriana bercerita, dia sudah menjelaskan kalau sedang bertemu dengan wartawan dan itu urusan pekerjaan.


“Tapi dia malah memaksa datang,” kata Andriana.


Dia meneguk kembali sakenya. Mata dan pipinya makin memerah. Omongannya makin meracau.


Kemarin malam, si kampret rupanya memaksa untuk masuk ke kamar Andriana. Andriana menolak dengan alasan sudah malam dan besok ada pekerjaan. Si kampret memaksa, keduanya bertengkar hebat.


“Gue tahu dia maunya ngentot sama gue doang,” kata Andriana.


Gue memandang ke sekeliling, memastikan tak ada orang yang mendengar kalimat terakhir Andriana.


Omongannya Andriana makin ngelantur. Dia menceritakan soal perilaku si kampret yang setiap datang hanya mengajaknya berhubungan intim. Andriana berkali-kali menolak meskipun pada akhirnya menyerah juga.


Jatah mantan.


Mendengar ceritanya, aku geram sekaligus membuat penisku menegang.


Semalam, si kampret berusaha untuk mengajak, atau tepatnya memaksa Andriana berhubungan badan. Saat itulah, dia mengirimkan pesan Whatsapp padaku. Si kampret membandel, dan, ini yang membuatku makin jengkel, memaksa Andriana menuruti permintaannya.


Beruntung Andriana mengancam hendak berteriak dan memanggil penjaga kos. Keduanya bertengkar hebat, menyumpahi Andriana dengan sumpah serapah. Si kampret juga mengungkit-ungkit segala macam pemberian pada Andriana.


“Padahal gue nggak pernah meminta apapun dari orang itu,” Andriana mengeluh. Menurut Andriana, dia selalu menolak setiap diberi apapun tapi si kampret selalu memaksa.


Si kampret juga bertanya mengenai aku, yang dia sebut tertarik dengan Andriana.


“Katanya, cara lo ngeliatan gue itu beda,” ujar Andriana. Yang membuat si kampret makin kesel, dia merasa Andriana memiliki ketertarikan yang sama pada gue.


Apa iya, ya?


Andriana pun bilang kalau dia bakal mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan si kampret.


Si kampret memohon-mohon, mengatakan kalau dia sangat mencintai Andriana dan meminta tak meninggalkannya.


“Tapi keputusam gue sudah bulat. Gue nggak ngebayangin ngelanjutan hubungan yang cuma mau tubuh gue doang.”


Aku bersorak dalam hati. Bingung harus merespons bagaimana. Si kampret itu bersumpah Andriana tak bakal bisa bahagia kecuali sama dia.


Itu, beneran kampret sih.


Dia menceritakan beberapa pacarnya. Dia menyebut beberapa nama, tapi aku lupa siapa saja mereka. Rata-rata, mereka tak terlalu asyik diajak diskusi. Jarang ngomongin buku, jarang ngomongin film, dan jarang ngomongin politik.


Andriana bercerita sedikit tentang bokapnya, yang dia anggap sebagai panutan. Waktu SMA, mereka sering ngobrol berbagai hal, mulai soal politik hingga masalah sosial. Andriana menganggap ayahnya adalah sosok idola. Dia mencoba mencari cowok seperti ayahnya, namun selalu berakhir pada lelaki yang hanya mengajaknya bersenang-senang.


“Dan, lo mirip banget sama bokap gue Mas. Pinter, cara ngomongnya enak, enak diajak ngobrol,” Andriana makin melantur. Wajahnya mulai tampak mengantuk.


Dia menenggak satu gelas sake, menandaskannya dalam sekali teguk. Anak ini sudah mabuk berat kayaknya.


“Maafin gue mabuk ya Mas? Sudah hampir enam bulan gue nggak tahu mesti cerita sama siapa. Eh, gue malah cerita sama lo yang ketemu aja baru dua kali,” kata dia.


“Santai aja kali, Na,” kataku.


“Lo kok bisa pinter banget sih? Enak diajak ngobrol, nyambung kalau diajak ngomong apapun. Pasti seneng banget ya cewek lo punya cowok kebapakan kayak lo. Lo punya cewek nggak sih?” Andriana kembali ngoceh. Matanya sudah mulai menutup.


Aku nggak menjawab ocehannya. Percuma menjawab orang mabuk. Namun, omongannya makin meracau.


“Gue pengen ketemu cowok yang enak diajak ngobrol. Pengen cowok yang nggak mikir ML doang. Pengen kalau habis ML kita ngobrolin banyak hal,” kata Andriana.


Matanya tetap terpejam. Wajahnya ditopangkan di tangannya, sembari mencoba menatapku dengan pandangan mengantuk.


Aku mulai merasa nggak enak. Aku memanggil pelayan meminta bill.


Susah payah aku memapah Andriana turun dari restoran Jepang itu. Dia bergelayut di lenganku. Wajahnya ditempelkan di bahuku. Wajahnya merah penuh keringat. Dengan tertatih-tatih aku mencari mobilku.


Aku mengarahkan kendaraan ke tempat tinggal Andriana di kawasan Setiabudi. Andriana pernah menyebut ancer-ancer tempat tinggalnya dan ciri kosannya.


Saat tiba di depan kosannya, aku memencet bel dan seorang ibu-ibu tergopoh-gopoh membuka kunci pagar. Aku bertanya letak kamar Andriana dan dia mempersilakan kami masuk. Si ibu sempat memandangku curiga.


“Andriana minum terlalu banyak dan saya teman kerjanya,” aku berusaha menjelaskan. Andriana sudah setengah sadar dan menyapa si ibu penjaga kos.


Sesampainya di depan kamar, aku membongkar tas Andriana mencari kunci kamarnya. Aku memapah Andriana masuk kamar. Baru saja hendak berjalan, Andriana memelukku.


“Jangan pergi dulu,” kata Andriana dengan muka sedih.


Dan, hoeeeeeeeek.


Rupanya, Andriana muntah. Muntahnya nggak tanggung-tanggung. Kemejaku penuh dengan bau amis.


Kampret juga nih cewek. Bilang kek kalau mau muntah. Aku menyeretnya ke kamar mandi. Di wastafel, Andriana mengeluarkan isi perutnya.


“Sory, Mas. Gue malah jadi ngerepotin,” kata Andriana. Dia memijit kepalanya sendiri. Dia lalu ke kamar meninggalkanku di kamar mandi.


Aku membuka kemejaku, menyisakan kaos dalam dan meletakkan di keranjang kotor. Dia sudah berbaring di kasur sambil memijit kepalanya. Tampaknya maboknya belum reda karena dia masih meracau dan berusaha menarikku ke kasur.


Sebagai lelaki normal, jujur birahiku mulai naik. Aku berada di kamar seorang gadis yang sedang mabuk. Alkohol membuat seseorang kehilangan urat malu dan membuat birahi meningkat dua kali lipat. Penisku menegang.


“Lo nyadar nggak sih kalau lo itu hot banget,” Andriana memandangku. Kami sudah berbaring bersebelahan di ranjang. Wajah kami bertatapan.


“Gue basah, gue pengen...” kata Andriana lirih. Tangannya meraih tanganku dan membawanya pada lipatan pahanya. Aku mengelus-elus bagian itu.


Tiba-tiba, Andriana melepas baju yang dia kenakan. Sangat cepat. Seketika aku melihat bra berwarna pink. Ukurannya tak mampu menutupi seluruh payudaranya.


Aku mulai terbawa suasana.


Andriana menarik tanganku, mengarahkan pada kedua dadanya yang montok itu. Aku meremas lewat dua penutup pink itu. Lembut. Hangat.Kenyal. Ada aroma parfum memancar dari dua gunung kembar itu.


Sisi baik dalam diriku berkata.


“Jangan bro. Kalau lo beneran suka, lo jangan memanfaatkan situasi ini. Dia pasti bakalan marah dengan lo kalau dia udah sadar.”


Hati kecilku yang lain berbisik.


“Kapan lagi? Bukan salah lo juga kalau kejadian, kan? Sudah, sikat aja. Nanti kan bisa dijelaskan.”


Tepat saat itu juga, aku melepaskan seluruh kontak fisik kami.


“Gue mau toilet sebentar,” kataku pada Andriana. Dia memandangku dengan tatapan menggoda, sembari meremas payudaranya.


“Jangan lama-lama,” kata Andriana.


Di kamar mandi, aku mencuci wajahku. Berharap aku kembali bisa berpikir normal. Tapi, tanganku berkata lain. Aku menurunkan celana dan mencuci penisku sembari sesekali mengocoknya.


Keputusan sudah diambil. Aku bakal menjelaskannya besok.


Saat aku kembali, Andriana tampak memejamkan mata. Hanya berbalutkan bra pink. Aku melepas penutup atas tersebut. Dan sekarang terpampang jelas, keduanya dadanya yang putih, ranum dengan puting berwarna cokelat muda.


Aku menelan ludah.


Keputusanku sudah bulat. Persetan dengan segala macam risiko.
 
dari awalan tak baik akan berakhir tak asik..
:cool:


*mentang-mentang:ngupil: sudah tau berakhir seperti apa..


tetap saja:Peace: bikin penasaran koq bisa pacaran dan kenapa harus berantakan lalu siapa yang patut dipersalahkan​
 
masih tetap terngiang hingga sekarang ituu..
:kaget:'jatah mantan'​
 
Oh my godddddd!!

Openingnya aselik keren banget bahasanya..

Terkesan santai tapi serius..

Gw pengen banget punya cerita dengan diksi kaya gini..

Udah gitu tema Politik pula.. Udah ngarepin ada selipan intrik politiknya nih pasti!

Abis baca intronya langsung ga tahan buat komen.. Elo gambarin patah hatinya enak banget sumpah, ga mendayu dayu gitu.. Dan entah kenapa kaya mirip salah satu adegan di cerita gw

Cerita Kosan : Cinta & Kasmaran
(Kalo mau baca.. Lah malah promo gw :hammer.)

Tapi serius.. Intro lo keren! Ga banyak cerita yang gw baca dan intronya serapih dan sekeren elo.
 
Oh my godddddd!!

Openingnya aselik keren banget bahasanya..

Terkesan santai tapi serius..

Gw pengen banget punya cerita dengan diksi kaya gini..

Udah gitu tema Politik pula.. Udah ngarepin ada selipan intrik politiknya nih pasti!

Abis baca intronya langsung ga tahan buat komen.. Elo gambarin patah hatinya enak banget sumpah, ga mendayu dayu gitu.. Dan entah kenapa kaya mirip salah satu adegan di cerita gw

Cerita Kosan : Cinta & Kasmaran
(Kalo mau baca.. Lah malah promo gw :hammer.)

Tapi serius.. Intro lo keren! Ga banyak cerita yang gw baca dan intronya serapih dan sekeren elo.

Tulisan lo salah satu favorit gue di forum ini. Gue udah baca, berulang kali malah. hahahaha. Dan, kalau ada kesamaan adegan, barangkali tanpa sadar itu masuk ke alam bawah sadar gue saking terinspirasinya. Hehehe.

Terima kasih sudah mampir di thread ini bro, kalau ada kritik, monggo. Feel free to comment.
 
Tulisan lo salah satu favorit gue di forum ini. Gue udah baca, berulang kali malah. hahahaha. Dan, kalau ada kesamaan adegan, barangkali tanpa sadar itu masuk ke alam bawah sadar gue saking terinspirasinya. Hehehe.

Terima kasih sudah mampir di thread ini bro, kalau ada kritik, monggo. Feel free to comment.

Softwing aja kalau gitu. Beler sama Andriana, Asta sama Dosa. Asik tuh kayaknya :Peace::Peace:
 
Tulisannya asli keren banget mas. Alurnya, tata bahasanya. Ditunggu updatenya sampai tamat mas, klo bisa update tiap hari :matabelo:
 
keren tulisannua broh...

tetep dapet rapinya, isinya juga kerasa...

well keep tulis...

sek-sek belum kelar baca semuanya tandain dulu deh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd