Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catatan Seorang Wartawan

Bimabet
Margareta Agustina.

Beberapa hari kemudian.


“Jadi, gitu Nis,” kataku pada Anisa, adikku.


Aku baru saja menceritakan panjang lebar kejadian malam saat Andriana mabuk di restoran Jepang Blok M. Hari itu aku sedang makan siang dengan Anisa di sebuah restoran di Panglima Polim.


“Serem juga ya Mas?” Anisa menimpali.


Anisa saat ini bekerja sebagai dokter anak di sebuah klinik di kawasan Blok M. Dia lulusan Universitas Gadjah Mada Jogja. Selisih umurnya hampir lima tahun denganku. Dan kami sangat dekat. Hampir setiap ada masalah perempuan, aku selalu menjadikan dia sebagai tempat curhat.


“Tapi keputusan Mas sudah bener, sih. Coba kalau malam itu Mas ngapa-ngapain dia, terus dia nggak terima, bisa masuk kategori pelecehan seksual sih itu,” Anisa menjelaskan.


“Nah, itu dia,” kataku.


“Mas Asta hebat juga ya. Gue yakin kalau cowok lain mah sudah disikat,” kata Anisa.


“Itu juga setelah melalui pergulatan panjang. Emang kamu kira kakakmu ini nggak tergoda malam itu?” kataku.


“Halah, sama saja ternyata,” Anisa meledekku.


“Ngomong-ngomong, anaknya kayak gimana sih?” adikku bertanya.


Aku mengambil hapeku dan menunjukkan akun Facebooknya.


“Cantik banget, Mas. Gue heran deh, kenapa cewek-cewek yang selalu deket sama Mas Asta pada cakep-cakep, deh,” katanya.


“Lho, kakakmu ini kan ganteng,” kataku.


Anisa menjulurkan lidah.


Dia menscroll beberapa unggahan Andriana.


“Anak orang tajir ya?” dia bertanya.


Aku mengangkat bahu sambil berkata,“Bapaknya sih diplomat.”


“Terus-terus, Mas udah kontak dia lagi?”


“Belum, abisan nggak tahu mesti ngomong apa,” kataku. “Gue bingung mesti memulai dari mana.”


“Menurut gue sih, sebaiknya Mas menghubungi dia. Barangkali saja dia malu jadi nggak ngehubungin Mas. Kontak aja, tapi nggak usah bahas soal kejadian kemarin, kecuali dia yang memulai,” Anisa memberi nasihat.


Aku menghela nafas.


“Kejar, Mas. Dia mungkin butuh ditemani saat ini. Jangan biarkan dia sendiri,” kata Anisa.


Aku terdiam.


+++

Sepanjang hari itu, aku gelisah. Berkali-kali aku membuka akun Facebook Andriana. Memastikan dia barangkali menulis sesuatu mencurahkan keluh kesahnya. Isi Facebook-nya masih sama seperti beberapa lalu. Aku bahkan sudah hafal isinya, terutam postingan sebulan terakhir.


Aku membuka Whatsapp, sudah mengetik beberapa kalimat, namun aku hapus lagi. Aku merasa, semua kalimat rasanya tak ada yang pas.


Aku sedang berpikir, apa yang dilakukan Andriana? Marahkah dia? Tersinggungkah dia? Kok dia tak menghubungiku? Dari ceritanya, aku mengetahui Andriana memiliki banyak teman, tetapi amat sedikit yang bisa dia jadikan tempat curhat.


Seharusnya dia nggak marah dong. Wong aku nggak ngapa-ngapain dia. Malah bagus, aku meninggalkannya dengan menyelimutinya. Lagipula, dia sudah membuka banyak hal tentang dirinya. Seharusnya, aku punya peluang dong. Minimal sudah membuatnya mau bercerita meskipun baru berjumpa dua kali.


Aku kembali mengambil ponselku. Mengetik beberapa kalimat sapaan. Tapi, lagi-lagi aku menghapusnya. Kenapa aku jadi tolol begini sih urusan percintaan.


Tenang, Asta. Tenang.


Andriana itu enam tahun lebih muda. Soal pengalaman, kamu harusnya jauh lebih dari dia. Dan kamu laki-laki. Kamu harusnya pakai logika. Harus ketemu cara menyelesaikan persoalan ini.


Baiklah.


“Halo, Na. Senggang nggak nanti malam?”


Aku memutuskan mengirim kalimat itu lewat pesan Whatsapp.


Entah mengapa, hati menjadi nggak karuan setelah pesan itu terkirim. Aku menaruh ponselku. Mencoba fokus pada komputer. Tapi berkali-kali aku memandang layar ponsel sekadar memastikan ada balasan.


Saat kembali mengetik sebuah tulisan, ponselku berdering, tanda pesan masuk.


Aku meraihnya dengan terburu-buru.


Juancuk.


Ternyata dari teman liputan menanyakan sebuah kontak narasumber.


Asu. Aku merutuk.


“Lo, kenapa sih?” tiba-tiba Mas Umam melongokkan kepalanya dari kubikal seberang.


Aku bengong. Rupanya, Mas Umam memperhatikan kelakuanku sejak tadi.


“Nggak apa-apa, Mas. Ini, narsum dari tadi kagak ada yang nyahut,” kataku.


“Siapa? Sini biar gue bantu kontak?” kata dia.


Mampus.


“Nggak apa-apa, gue bisa tangani.”


Mas Umam tak lagi bertanya. Aman.


Aku kembali melirik ponselku. Tak ada tanda-tanda balasan dari Andriana.


Aku menjadi uring-uringan sendiri.


Daripada aku suntuk sendiri, mending aku ke DPR. Lumayan bisa cuci mata ngeliat staf anggota DPR yang bening-bening.


****


Aku celingukan di Nusantara III DPR. Beberapa wartawan asyik berkerumun di salah satu sudut. Aku menyapa beberapa orang di ruang wartawan. Aku memilih duduk di luar, ada sofa yang warnanya sudah memudar. Aku melihat sudut kosong dan menuju arah tersebut. Dari sudut ini, aku bisa mengamati seandainya ada pimpinan DPR yang lewat.


Doorstop pimpinan DPR adalah salah satu yang menyenangkan wartawan. Mereka umumnya tak pelit berbicara, bisa ditanyai apa saja dan meskipun kadang di luar konteks. Yah, meski namanya talking news. Kadang isi pembicaraan mereka cuma menambah kegaduhan politik. Tapi, wartawan senang juga sebab mereka bakal dapat berita.


Pimpinan DPR ada lima yaitu Marzuki Alie dari Demokrat, Priyo Budi Santoso dari Golkar, Pramono Anung dari PDI Perjuangan, Anis Matta dari PKS dan Taufik Kurniawan dari PAN.


Anis Matta termasuk yang paling aku suka dengar pidatonya. Orangnya pintar, artikulasinya bagus dan gagasannya cerdas. Jarang-jarang aku melihat politikus muda yang secerdas Anis. Ada sih Anas Urbaningrum. Dua-duanya aku yakini bakal menjadi politikus hebat di masa depan. Sayang, Anas belakangan tersangkut kasus korupsi. Anis malah terpental dari persaingan politik di internal PKS.


Di antara lima orang itu, Marzuki Alie yang paling disukai wartawan. Sebab, dia sering mengeluarkan ucapan kontroversial. Saat terjadi tsunami di Mentawai, Sumatera Barat Marzuki Alie menyarankan mereka agar tak tinggal di bibir laut. “Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai,” kata Marzuki. Sontak pernyataan Marzuki dikecam oleh banyak pihak.


Yang paling terakhir, Marzuki mengomentari kunjungan kerja ke luar negeri dengan membawa istri. Menurut dia, lelaki itu sifatnya macam-macam. Jadi perlu istri untuk mengawasi. Ucapan ini kembali disambut polemik. “Anggota DPR dibayar untuk kerja, bukan untuk jalan-jalan,” kata sejumlah pengamat politik.


Kelakuan politikus di DPR memang kadang-kadang ajaib.


Aku sedang menyulut rokok saat seorang perempuan bertubuh mungil menghampiriku. Dia menenteng sebuah tripod. Aku memakai kacamata untuk memastikan siapa yang mendekat.


Margareta Agustina.


“Sombong ya sekarang, mentang-mentang susah menjadi asred, jarang mampir di DPR,” kata Margareta sambil menjatuhkan badannya di sampingku.


“Apaan, orang gue sering ke sini. Lo kali yang jarang keliatan,” kataku membalas.


Margareta Agustina adalah salah satu wartawan yang biasa meliput di DPR. Anaknya cantik. Dia juga merangkap sebagai presenter di tempat televisi tempat dia bekerja. Membawakan sebuah program berita pagi. Wajahnya sebenarnya teduh. Dia memiliki sex appeal yang kuat. Barangkali karena badannya yang seksi dengan ukuran dada di atas rata-rata.


Kami berjumpa di DPR beberapa waktu lalu. Dia sering meminta pendapatku saat liputan termasuk meminta update-update terkini. Sebenarnya ada banyak reporter televisi perempuan yang bertugas di DPR. Rata-rata cantik. Cuma, dengan Margareta saja aku sering ngobrol.


Aku pernah memiliki cerita aneh dengan Margareta. Banyak yang mengira kami berpacaran. Aku sendiri sebenarnya menyukai Margareta. Dalam arti senang dekat-dekat dengannya. Di DPR, aku tak memiliki terlalu banyak teman. Nah, Margareta ini salah satunya. Dan dia juga tampaknya juga senang saja kalau sudah bertemu denganku.


Entah mengapa hingga sekarang setelah beberapa tahun kami dekat, tak juga aku melakukan move apapun. Ada sesuatu yang mengganjal soal Margareta. Aku sering meraba-raba apa itu. Kenapa tak bisa punya perasaan deg-degan dan berdenting-denting saat jalan bareng dengannya.


Jadilah, hubungan kami seperti ini.


Kami makin dekat saat liputan Kongres PDI Perjuangan di Bali tahun lalu. Ke mana-mana kami sering menemui narasumber bareng. Aku membuka akses untuk Margareta ke beberapa sumber. Para politikus di DPR itu tentu dengan senang hati diwawancarai reporter cantik seperti Margareta.


Setelah liputan Kongres yang melelahkan itu, aku tak langsung pulang ke Jakarta. Aku mengambil cuti dua hari untuk bersantai di Bali. Rupanya, di situlah kedekatanku dengan Margareta berkembang menjadi hubungan yang aneh.


Setelah kongres itulah kedekatan kami yang aneh itu berawal.


****

Kongres PDI Perjuangan baru saja selesai. Tidak ada yang terlalu mengejutkan. Megawati Soekarnoputri kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan melalui kongres di Hotel Grand Bali Beach, Sanur.


Aku sedang bersiap-siap untuk pindah dari sebuah hotel kecil di Sanur ke Seminyak. Aku memilih di Seminyak agar jauh dari hiruk pikuk. Bukan hotel yang mewah tentu saja. Hotel bintang tiga yang sesuai bujetku sebagai jurnalis. Aku mengemasi barangku dan bersiap menuju mobil sewaanku.


Sampai kemudian teleponku berbunyi. Terpampang nama Margareta di layar.


“Woy, udah balik ke Jakarta lo?” suara cempreng Margareta mengagetkanku di ujung telepon.


“Belum, gue extend dua hari,” kataku.


“Wah, kebetulan. Gue juga masih di Bali,” kata dia. “Dugem yuk nanti malam,” dia mengajukan tawaran.


“Siapa saja?” aku bertanya.


Aku memang punya rencana untuk ke beberapa bar di Kuta. Cuma, masa ketemu dengan wartawan lagi. Males saja.


“Ada temen gue, pramugari. Dia nginep di Bali dan terbang Senin. Tapi dia sama pacarnya. Makanya gue ngajakin lo..”


“Males jadi obat nyamuk ye makanya ngajakin gue?


“Mau nggak?” dia memotong.


“Boleh-boleh,” aku mengiyakan tawarannya. “Mau gue jemput?”


“Lo pake apa?”


“Gue sewa mobil kok.”


Margareta menyebut salah satu hotel di kawasan Seminyak.


“Lha, deket sama tempat gue dong.”


Jujur saja, aku tertarik secara seksual dengan Margareta. Siapa sih yang tidak ngiler ngeliat bodinya yang seksi dan dadanya yang montok.Anaknya sih tidak pintar-pintar amat. Artinya, kemampuannya menganalisis isu jauh dari standar yang aku pakai dalam dunia wartawan. Barangkali itu alasan mengapa aku tak kunjung melakukan move ke Margareta.


Dalam dunia wartawan, anak media cetak dan online suka memandang sinis ke anak TV. Dalam sesi doorstop, anak TV kadang cuma menadahkan mikropon tanpa mengajukan pertanyaan. Yang nanya, ya wartawan online. Anak TV bahkan sering nggak menanyakan apapun.


Nah, balik lagi ke soal Margareta. Aku sering ngobrol dengan dia. Beberapa kali jalan bareng,dugem tetapi selalu ramai-ramai. Tak sekalipun kami pergi berdua meskipun kerap berakhir berdua di tempat tidur. Sejak aku putus dengan mantanku, aku memang tidak pernah pergi berdua dengan teman perempuan. Selalu pergi rame-rame. Ya makan, ya nongkrong.


Kencan? Apalagi.


Malam itu, kami memilih nongkrong di sebuah bar di Jalan Legian, Kuta. Margareta memperkenalkan temannya dan pacarnya. Si temannya, yang berprofesi sebagai pramugari, datang dengan tampilan amat menggoda. Tingginya nyaris sama denganku.


Pacarnya, seinget saya, anak seorang pengusaha di Jakarta. Tubuhnya lebih pendek tapi berotot. Tangannya mencengkeram kuat saat berjabatan tangan, seolah menunjukkan siapa hang berkuasa malam itu. Dia tampaknya tak keberatan dimintai ini itu oleh si pramugari seksi.


Jadilah malam itu, kami ditraktir minum oleh cowok temannya si Margareta. Aku sih fine-fine aja. Lumayan buat penghematan. Lagipula aku tak mau mabuk malam itu. Kan mesti nyetir pulangnya. Aku cuma pengen berada di tengah hiruk pikuk. Aku memesan segelas minuman dengan kadar alkohol sedang.


Margareta juga tak banyak minum. Yang banyak minum justru si pramugari. Cowoknya juga tidak. Aku sudah berpikiran buruk saja sama cowok itu. Jangan-jangan dia sengaja mau bikin ceweknya mabuk.


Margareta tampil amat menggoda malam itu. Dress hitam berbelahan dada rendah. Kakinya yang jenjang terlihat jelas. Lehernya yang mulus amat menggoda. Bibirnya yang dibalut lipstik merah menyala. Kami seperti double date Beberapa kali dia bergelayut manja dan dadanya sesekali bergesekan dengan lenganku. Terus terang, birahiku naik.


Kami pulang dugem setelah pukul satu pagi. Si pramugari tampaknya mabuk berat. Kami berpamitan di pintu bar. Kami, aku dan Margareta memilih duduk sebentar di sebuah Circle K. Aku membeli rokok, Margareta membeli susu instan dan beberapa pernik lainnya.


“Buat nurunin pengaruh alkohol,” kata dia.


“Pulang sekarang?” kataku sambil menghisap rokok dalam-dalam.


“Anterin ke hotel ya?”


“Masa gue biarin lo pulang sendirian,” kataku. Dia tersenyum manis. Margareta belum mabuk, tetapi juga tak sepenuhnya normal. Aku melihat dia menenggak beberapa gelas minuman tadi. Jalannya sih tidak sempoyongan. Namun dia tampak gelisah entah karena apa.


Aku menyetir pelan-pelan ke Seminyak. Jalanan agak padat, barangkali karena bubaran orang menghabiskan malam minggu. Hotelnya, lebih bagus dari punyaku. Aku bermaksud hanya mengantarnya sampai lobi.


“Lo belum ngantuk kan? Kalau belum, temani gue ngobrol dong..”


Aku cuma mengangguk.


Aku pun mencari tempat parkir dan segera berlalu di kamarnya.


Rupanya, kamar Margareta bukan seperti kamar hotel pada umumnya. Kami mesti melewati sebuah taman kecil, kolam renang berukuran besar. Kamarnya lebih mirip bungalow-bungalow kecil. Ada dapur, ruang tamu, ada ruang belakang dengan kolam renang mini. Ruang belakang juga bisa dipakai untuk merokok.


Margareta mempersilakanku duduk. Aku awalnya memilih duduk selonjoran di sofa san hendak menyalakan rokok.


“Di dalam nggak boleh merokok. Kalau ketahuan, gue bisa kena denda,” kata dia yang sudah berganti pakaian. Dia mengenakan tanktop abu-abu dan celana pendek. Pahanya terpampang mulus. Dia tidak mengenakan bra karena aku sempat melirik ada puting tercetak di bajunya.


Margareta menunjuk teras belakang dan aku pun beranjak ke sana. Aku dan Margareta sudah sama-sama tahu soal latar belakang kami yang tak memiliki pasangan. Beberapa orang kawan di DPR sempat mendorongku agar menembak Margareta. Katanya sih dia juga naksir. Cuma ya itu, ada sesuatu yang menghalangiku untuk bergerak lebih.


Malam itu, hubunganku dengan Margareta tampaknya bakal memasuki babak baru. Kami sudah sama-sama paham, bahwa ujung dari semua kejadian malam ini adalah seks. Apalagi? Satu perempuan mengundang lelaki masuk ke kamarnya subuh sehabis dugem. Yang belum bisa aku tebak, apakah dia menuntut setelah itu.


Makanya, kalau dia menuntut lebih, barangkali ceritanya bakal berbeda.


Aku sedang menghisap rokokku saat Margareta menyusulku ke ruang belakang. Tadi dia sempat kembali ke dalam untuk mengambil rokoknya.Dia membawa sebotol minuman keras. Kami duduk menghadap kolam renang. Margareta menyulut rokok.


“Lo peminum juga ya?” kataku.


“Kadang-kadang aja kalau lagi dinas ke luar kota. Kalah di Jakarta, bisa dipenggal bokap gue,” kata dia.


Kami berbincang beberapa hal soal pekerjaan. Aku sempat tanya-tanya soal si pramugari tadi dan pacarnya. Si Pramugari ternyata teman SMA dan pacarnya, seperti tebakanku adalah anak orang kaya yang dikasih ngelola perusahaan bokapnya.


Entah siapa yang memulai, kami sudah duduk bersisian di sofa ruang belakang. Aku merasa, kami tahu apa yang kami butuhkan malam itu. Sedikitpun tampaknya Margareta merasa tak ada getaran. Yang ada adalah birahi yang memuncak.


“Masuk yuk,” kata dia menyeret tanganku.


Aku sempat ragu-ragu.


“Gue tahu apa yang lo pikirkan. Gue nggak butuh tanggung jawab lebih dan nggak bakal menuntut apapun,” kata Margareta.


Duh, mimpi apa gue semalam ketiban rejeki nomplok kayak begini.


Dan selepas pintu ditutup, Margareta mendorongku ke dinding kamar. Dia mencium leherku, menjilatinya tepatnya, dengan sangat agresif. Aku sempat gelagapan dan beberapa detik kemudian aku membalas ciumannya di tempat yang sama. Entah mengapa, kami tak berciuman bibir. Barangkali kami tak ingin larut dalam perasaan.


Margareta dengan terburu-buru melepas kaosku.Aku segera melucuti pakaiannya, membuka penutup dadanya dan melemparkannya entah ke mana. Aku memeluk badannya, dan membantingnya ke tempat tidur. Aku juga dengan sigap melepas bawahan dan celana dalamnya hingga tak tersisa apapun. Margareta juga melakukan hal yang sama.


Dia mendorong badanku ke tempat tidur agar telentang. Perlahan dia merayap ke bawah, mencium perutku dan dan mengelus dadaku. Saat tiba di pangkal pahaku, dia tak langsung bereaksi. Dia menatap kemaluanku.


Aku merasa ditelanjangi. Dia tersenyum penuh arti.


“Kecil ya?” aku tiba-tiba merasa minder.


“Bukan yang terbesar, tapi juga tidak kecil,” kata Margareta.


Sialan. Aku merasa dia jauh lebih berpengalaman ketimbang urusan seksual.


Perlahan dia mengelus kemaluanku dengan tangannya. Halus. Halus sekali. Aku bisa merasakan gesekan tangannya dengan kulit penisku.


Dia berhenti sebentar. Aku memejamkan mata.


“Bentuknya lucu, kok bisa miring ke kiri ya?”


“Buruan atuh, nggak usah dikomentarin,” kataku gemas.


Aku membelai rambutnya. Aku merasakan kehangatan di seluruh batang penisku. Margareta melakukan blowjob. Aku mendengus. Tak cuma mencium, sesekali dia menggigiti batang kemaluanku. Aku merasa terbang.


Hampir tiga menit Margareta bertahan di posisi itu dan dia tampaknya antusias melakukannya. Sesekali aku melihat dia meremas payudaranya yang besar. Birahiku sudah ada di ubun-ubun. Margareta beringsut bangkit.


“Bentar, gue ambil kondom dulu,” dia meraih kantong plastik yang dia beli di Circle K tadi.


Nice preparation. Rupanya dia sudah merencanakan sejak habis dugem tadi.


Dengan telaten dia memasangkan kondom ke penisku. Tidak dengan tangan, tetapi dengan mulutnya. Aku menganga takjub. Ketegangan di bawah sana semakin memuncak. Aku tak mau dikendalikan.


Setelah pengaman terpasang sempurna, aku membanting Margareta ke tempat tidur. Dia tersenyum menggoda. Aku memasukkan penisku perlahan-lahan. Hangat. Meskipun dibalut karet. Kami mengerang bersamaan saat dua benda itu menyatu dengan sempurna.


Kami bertahan dengan posisi standar itu selama beberapa menit. Aku menikmati ayunan payudaranya yang indah dan erangannya yang seksi. Dia merintih-rintih keenakan.


Setelah posisi misionaris, Margareta meminta pindah posisi. Kali ini dia ingin posisi doggy style. Bunyi tabrakan pantat dan erangan kami memenuhi ruangan itu. Aku tak peduli seandainya suara kami terdengar hingga keluar kamar.


Aku bersyukur, olahraga rutin membuat staminaku terjaga dengan baik. Padahal aku kira, setelah sekian lama tak berhubungan seks, aku bakal cepet keluar. Sempat aku membayangkan akan mengecewakan Margareta yang sepertinya berpengalaman dalam urusan seks.


Setelah beberapa kali ganti posisi, aku mengerang. Tanda bakal segera tiba di ujung. Di tengah frekuensi tinggi yang aku lakukan, Margareta berteriak kencang. Tubuhnya menggigil dan dia mencengkeram bahuku kuat-kuat. Jepitan vaginanya makin terasa erat. Aku tak mau kalah, doronganku makin kupercepat.


“Aku mau keluar,” kataku.


Aku menaikkan frekuensi. Hentakanku bahkan menjurus kasar. Dan sekali lagi Margareta berteriak, beberapa detik sebelum akhirnya sperma muncrat di dalam alat pengaman itu.


“Aaaaarggghh,” teriak kami bersamaan.


Peluh sudah bercucuran di tubuh kami. Aku menjatuhkan tubuhkan di punggung Margareta. Mencium pundaknya. Dia menggeliat. Nafasnya masih terdengar turun naik dan beraturan.


Margareta berbalik. Dia memeluk punggungnya. Kesadaranku segera pulih. Gila, kenapa bisa jadi seperti ini? Aku segera mengambil selimut, menyelimuti tubuh telanjang kami. Aku masih terengah-engah. Begitu juga dengan Margareta.


Aku nenerawang menatap langit-langit. Margareta mengecup pipiku.


“Makasi ya. Tidur, yuk,” kata dia. Aku tidur memeluk badannya yang masih polos.


Kami pun segera terlelap.


Pagi harinya, aku terbangun dengan canggung. Margareta masih terlelap di sampingku, dengan tubuh polos tanpa ditutupi sehelai benangpun. Aku mengucek-ucek mata, merasa aneh dengan suasana kamar. Berada di ranjang dengan orang yang tak aku merasa dekat secara psikologis.


Aku beranjak ke kamar mandi, membasuh badan. Margareta telah bangun, dia sedang menyeduh kopi ketika aku keluar dengan badan setengah basah. Dia mengenakan baju kedodoran.


Kami menikmati kopi instan di teras belakang. Kami lebih banyak terdiam dengan canggung.


“Gue sudah lama nggak begituan,” kata Margareta memecah keheningan di antara kami.


“Soal semalam…” kataku tanpa menyelesaikan kalimat.


“Lo nggak usah merasa nggak enak. Gue tahu, kita sama-sama butuh, dan nggak usah merasa bersalah,” kata dia.


Lalu dia bercerita mengenai kehidupan pribadinya. Dia pernah punya pacar waktu kuliah, yang berhasil mengambil keperawanannya. Sejak saat itu, Margareta menyadari, dia memiliki hasrat seks di atas rata-rata.


Sejak putus dengan pacarnya, Margareta sempat dekat dengan seorang pengamat politik. Si pengamat, ternyata tak memberi seks yang dia harapkan. Namun, dia mampu memberi keamanan finansial. Termasuk membiayai apartemen yang dia tinggali sekarang.


Margareta merasa, seks bukanlah sesuatu yang tabu. Dia sering melakukan one night stand.


“Tapi gue selalu bermain aman, kok,” kata Margareta. “Dan gue nggak melakukannya dengan sembarang orang.”


Aku cuma mengangguk-angguk mendengar penjelasannya.


Sebenarnya, aku penasaran, apakah aku memuaskannya malam itu? Tapi pertanyaan itu kutelan dalam-dalam. Selain terasa tak sopan, aku juga tak siap mendengar jawabannya seandainya aku disebut kurang perkasa.


Sejak saat itu, aku memilih tak pernah membahas kejadian itu. Aku masih tetap ngobrol seperti biasa jika bertemu di tempat liputan. Dia menyapaku dengan akrab, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Meskipun, kami sempat mengulanginya dengan pola yang sama. Dugem bareng, sedikit mabuk kemudian pergi ke apartemennya.


Hubungan seks yang aneh. Untungnya Margareta tak pernah menuntut. Kami bertemu dan berbincang seperti biasa, meskipun kadang ada kecanggungan juga. No string attached. Begitulah relasiku dengan Margareta.


Lama-lama aku mikir, ternyata ada perempuan seperti itu. Yang tidak baper dengan urusan seksual.


++++


Dan, hari ini aku kembali bertemu dengan Margareta. Dia masih tetap menarik dan ceria.


“Nanti malam mau jalan nggak?” Margareta bertanya.


Gue tak langsung menjawab pertanyaannya. Sebab, gue teringat dengan Andriana. Entah mengapa, jalan dengan Margareta bakal membuatku merasa bersalah dengan Andriana.


“Ke mana?”


“Anak-anak mau makan di Senopati. Ada tempat ngewine enak. Sudah lama juga gue nggak jalan bareng,” kata Margareta sambil tersenyum genit.


Gue ngerasa, urusan dengan Margareta memang mesti diawali dengan minuman keras. Barangkali untuk mengurangi akal sehat kami berdua sehingga bisa melakukannya dengan lebih lepas dan tanpa beban.


“Boleh. Jam berapa?”


“Jam sembilan gimana?”


“Oke, deh. Ketemu di sana langsung?”


“Berangkat bareng aja,” kata dia.


Margareta bilang mau ke kantornya sebentar untuk mengisi absen dan naruh peralatan liputan. Kami akhirnya janjian di sekitar Senayan sekitar jam 8 malam.


Saat Margareta berlalu dari pandanganku, tiba-tiba ponselku berbunyi.


“Mas sori baru balas. Tadi lagi banyak kerjaan banget. Ada beberapa meeting dengan klien. Maaf banget. Mau makan malam bareng nggak?”


Andriana.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
aduchh:D kita kecelee... sudah lebih dulu berprasangka saja:hammer:

tapi:genit: bonus menanti untuk lelaki yang bisa tahan diri.. tapi bagaimana mensiasatinya itu malamnya yaaa..

"suksess lah, Abang!" gumam sang dokter gigi siAdik tercinta dari jauh..
:)
 
jadi dengan siapa kah jalan malamnya? Margareta atau Andriana?

ane tunggu hu, semangat nulisnya, hehe
 
Sepertinya beneran wartawan politik ini TS-nya. Gaya bahasa lugas, terstruktur rapih, nyaris gak ada pemborosan kata/kalimat yg tidak perlu.

:jempol:

*kalo masih ada sistem cendol udah +5 deh
Hehehe
 
Mohon maaf om @mrenges nyubi rasa ada baiknya tiap update langsung dilink aja ke index pejwan. Btw, great story, om... Gak sbar nunggu updatenya lagi...:mantap:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd