Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catatan Seorang Wartawan

Bimabet
Buat suhu-suhu yang mengikuti cerita ini, update berikutnya bakal ada pekan depan atau setelah lebaran. update minggu ini tidak dilakukan karena pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya, jadi proses editing terganggu.
Siap hu. Sabar menunggu updet. Semoga urusannya lancar
 
Buat suhu-suhu yang mengikuti cerita ini, update berikutnya bakal ada pekan depan atau setelah lebaran. update minggu ini tidak dilakukan karena pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya, jadi proses editing terganggu.
Sabar menanti suhu, langsung 3 part ya suhu....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ciuman Pertama


“Lo pernah nonton film All The President’s Men?” kataku.


Kami sedang makan di sebuah warung pinggir jalan di Sabang.


Kami.


Ya. Aku dan Andriana.


Aku memilih untuk mengiyakan permintaan Andriana. Kebetulan aku habis bertemu orang di Sarinah. Andriana tak keberatan menyusul ke sana.


Margareta?


Aku meminta maaf tidak bisa bergabung. Alasannya, aku mesti bertemu dengan orang. Tidak lebih. Entah mengapa aku tidak bercerita dengan jujur kalau aku bertemu dengan perempuan. Yang penting, aku kan tidak berbohong. Cuma tidak bercerita dengan utuh saja.


Margareta tidak bertanya lebih jauh. Mungkin dia mengira aku bertemu dengan narasumber. Maklum, kami sama-sama wartawan.


Dan di sinilah kami malam ini. Menikmati ikan bakar Minahasa di sebuah warung pinggur jalan di Jalan Wahid Hasyim.


Andriana baru saja bercerita mengenai kehidupannya. Bahwa dia lahir di keluarga yang berbahagia. Orang tua yang mapan. Hidup berkecukupan. Pendidikan terjamin. Pacar tak susah dicari. Intinya dia mengatakan, hidupnya sempurna.


“Sampai gue pernah merasa, gue kehilangan tantangan hidup,” kata Andriana.


Soal laki-laki, Andriana nyaris merasa tak pernah diberi kesempatan untuk jatuh cinta. Sejak SMA, kecantikannya telah membuatnya seperti gula bagi semut. Seperti kembang bagi sang kumbang. Andriana adalah gula dan kembang itu.


Laki-laki datang sendiri tanpa pernah diminta. Dia bisa menyeleksi dengan mudah, lelaki seperti apa yang dia mau. Lelaki dengan berbagai kriteria tersedia dengan sendirinya. Dia tak perlu mencari, cukup memilih lelaki mana yang hendak dia jadikan pacar.


Lelaki yang datang umumnya datang dari keluarga berpunya. Bermobil, keluarga pengusaha dan tentu saja ganteng. Kalau tidak ganteng, mana berani deketin gue, kata Andriana sambil tergelak. Barangkali, kata Andriana, mereka ingin memberikan kenyamanan dengan itu semua pada gue.


“Tapi satu hal yang nggak bisa gue bohongi,” kata Andriana, “Gue selalu mencari lelaki yang seperti bokap gue.”


“Seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya,” kataku, sok-sok berfilosofis.


Andriana akhirnya menyerah pada kenyataan. Dia memilih begitu saja lelaki yang dia anggap pas, meskipun tak pernah benar-benar cocok. Dia mengatakan, jangan dikira jadi perempuan cantik itu enak.


“Gue nyaris tak pernah bisa menemukan,” kata Andriana, “Gue selalu ditemukan.”


Pada akhirnya, kata dia, Andriana tak pernah benar-benar merasa memiliki. Kecuali barangkali dengan pacarnya yang terakhir. Andriana merasa dirinya naif. Dengan sedikit bujuk rayu, si cowok sukses merenggut keperawanannya.


Bukan kehilangan keperawanan yang dia sesalkan.


“Gue cuma merasa tidak memberi pada orang yang tepat saja,” kata dia.


“Barangkali, dulu dia adalah orang yang tepat,” aku menyahutnya.


“Mungkin,” kata Andriana sambil mengangkat bahu.


Kami hening. Aku memilih menyulut rokok.


“Terus-terus cerita dong soal diri lo. Mengapa memilih jadi jurnalis?” kata Andriana.


“Mau alasan klise atau alasan jujur?” kataku.


“Dua-duanya,” jawab Andriana.


“Oke, alasan klisenya karena gue ngerasa jadi wartawan itu pekerjaan mulia. Gue bisa menyuarakan keinginan banyak orang. Singkatnya, gue pengen ngebawa perubahan lewat tulisan-tulisan gue. Gue pengen mempengaruhi kebijakan politik lewat tulisan-tulisan gue,” kataku.


“Alasan jujur?”


“Alasan jujur, ya karena gue senang ngobrol. Dan menurut gue, salah satu pekerjaan yang membuat gue punya kesempatan untuk ngobrol dengan banyak orang ya jadi wartawan. Gue bisa ketemu banyak orang, gue bisa belajar dari pengalaman mereka dan gue seneng mendengar cerita hidup orang,” kataku.


“Dan, superhero itu banyak yang jadi wartawan lho. Superman, spiderman,” kataku sambil tertawa.


“Idiiiih, pengen banget disebut superhero?” Andriana juga ikut tertawa. Kami tertawa bersama.


“Lo pernah terima jale, nggak?” tanya Andriana.


Jale adalah istilah slang di kalangan wartawan untuk uang. Uang biasanya diberikan dalam bentuk amplop sehingga kerap pemberian terhadap wartawan disebut uang amplop. Aku nggak ngerti dari mana istilah JALE itu berasal. Tetapi, wartawan umumnya menyebut uang dari narasumber atau pemberian dalam bentuk lain sebagai jale.


Dalam kode etik jurnalistik, wartawan dilarang menerima pemberian dari narasumber dalam bentuk apapun. Uang atau barang. Tetapi, di dunia jurnalisme modern, kadang batas-batas ini menjadi amat longgar.


Misalnya, kalau jurnalis diundang menghadiri sebuah acara oleh perusahaan tertentu. Ya tentu saja kami dibayari tiket pesawat, kadang malah kelas bisnis. Dibayari hotel, dan sering itu bintang lima dan makan juga ditanggung oleh si pengundang. Aku tak mungkin menolak itu jika ditugaskan kantor. Aku hanya membatasi diri, tak mau menerima pemberian uang atau barang.


“Gue sih, rasa-rasanya nggak. Dan mudah-mudahan nggak bakal pernah,” kataku.


“Percaya-percaya,” kata Andriana.


“Tetapi yang nawarin sih banyak,” kataku.


“Siapa?”


“Dulu pernah ada kasus korupsi di DPR. Kebetulan gue sejak awal mengikuti kasus itu dan sempat membuat tulisan berserinya. Waktu itu sih si anggota DPR belum menjadi tersangka. Sampai suatu ketika dia menghubungi gue, ngajak ketemuan,” kataku.


Aku bercerita, karena tahu bahwa aku bakal menemui seorang yang berkasus, aku mengajak Mas Umam bertemu dengan si anggota DPR. Aku tak mau bertemu berdua, sebab takut nanti bakal dimanfaatkan atau berujung pada fitnah.


Kami bertemu di sebuah restoran di Pacific Place dan dia menjelaskan kronologi kasus versi anggota DPR tersebut. Di ujung pertemuan, si anggota DPR menawari gue satu amplop cokelat tebal.


“Tolong jangan diperpanjang lagi tulisan itu,” kataku menirukan ucapan si anggota DPR.


Gue sama Mas Umam berpandangan. Lalu berterima kasih atas pemberian itu. Namun kami tak bersedia menerimanya. Kami berjanji bakal memuat klarifikasi dia di terbitan selanjutnya.


“Gue nggak tahu berapa isinya. Tebel banget dah,” kataku.


Beberapa bulan kemudian si anggota DPR ditangkap KPK. Saat persidangan, akhirnya ketahuan ternyata dia menyuap beberapa media untuk meredam pemberitaan. Termasuk beberapa wartawan yang menjadi teman liputanku di lapangan.


“Padahal kalau dipikir-pikir, uang segitu bakal cukup untuk bayar DP rumah,” kataku sambil tergelak.


“Untung lo nggak terima ya, Mas,” kata Andriana.


“Gue memang berkomitmen untuk nggak menerima apapun dari narasumber. Yah, barangkali gaji wartawan nggak gede-gede amat. Tetapi kalau sekadar untuk hidup di Jakarta ya cukuplah. Yah, memang tidak bisa membeli Alphard atau Ferrari, sih,” kataku.


Andriana tertawa.


Aku bercerita terinspirasi dengan beberapa film mengenai heroisme wartawan. Yang paling fenomenal sih All The President’s Men sama The Insider.


“Kenapa lo terinspirasi sama film itu?”


Aku lalu menceritakan film itu.


All The President’s Men bercerita tentang kisah duo wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Bob meliput pencurian di kantor Partai Nasional Demokrat, partai pesaing Richard Nixon di kompleks Watergate. Pencurian itu melibatkan seorang agen CIA dan bekerja sebagai konsultan di Gedung Putih.


Awalnya bos mereka tak percaya ada skandal apapun di balik pencurian itu. Namun, Bob tak menyerah. Dia menemui banyak orang termasuk satu sumber anonim yang disebut Deep Throat.


“Deep Throat?” Andriana tersenyum jahil.


Aku mengangguk.


“Dasar bandel,” kataku menyela.


Andriana tertawa cekikikan.


Aku melanjutkan ceritaku.


Berkat kegigihan dua wartawan itu, akhirnya terungkap bagaimana kecurangan Presiden Richard Nixon untuk memenangi pemilihan presiden berikutnya. Liputan-liputan mereka mengguncang Amerika kala itu. Liputan mereka kemudian dikenal sebagai skandal Watergate, salah satu peristiwa politik paling penting di Amerika Serikat.


“Akhirnya Richrd Nixon mengundurkan diri dari jabatannya,” kataku.


Andriana manggut-manggut.


“Kalau di Indonesia siapa jurnalis favorit Mas Asta?”


Aku berpikir sejenak.


“Ada beberapa. Tapi salah satunya, Bondan Winarno,” kataku tersenyum.


“Bondan Winarno? Si maknyus itu?” Andriana mengernyitkan dahi.


Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku paham, Bondan di Indonesia lebih dikenal sebagai pakar kuliner karena pernah membawakan acara icip-icip di sebuah televisi swasta. Jauh sebelum jadi wartawan kuliner, Bondan merupakan salah satu pelopor jurnalisme investigasi di Indonesia.


“Wah, gue baru tahu,” kata Andriana.


Bondan Winarno pernah menghebohkan dengan karyanya yang monumental, Bre-X, Sebongkah Emas di Kaki Langit. Banyak yang menyebut, buku ini menjadi salah satu buku wajib buat mereka yang tertarik dengan investigasi wartawan.


Bre-X bercerita mengenai Michael de Guzman, seorang manajer di perusahaan tambang di daerah Busang, Kalimantan Timur. Saat melakukan pengeboran, dia melumuri mata bor dengan biji emas, seolah-olah terdapat kandungan emas di daerah tersebut.


Temuan ini diumumkan ke publik dan saham PT Bre-X naik berkali lipat. Banyak investor mengeluarkan duit untuk membantu perusahaan tersebut melakukan eksplorasi. Dari investasi ini, Guzman mendadak menjadi kaya raya. Di tengah puncak kejayaannya, muncul kabar bahwa Guzman bunuh diri.


“Dia dikabarkan terjun dari helikopter,” kataku.


“Sayang sekali, padahal pasti dia sedang di puncak kejayaaannya,” kata Andriana.


“Justru di situ letak keanehannya,” kataku.


Bondan menduga, Guzman membunuh seseorang di tengah hutan dan membuat skenario seolah-olah bahwa yang mati adalah dirinya. Skenario dibuat karena Guzman tak bersedia menghadapi tuntutan investor atas kebohongan yang dia lakukan. Belakangan, eksplorasi di daerah Busang tak seperti yang dijanjikan Guzman.


“Dia berbohong sejak awal,” kataku.


Insting wartawan Bondan bekerja. Dia berangkat ke Kalimantan Timur dan mengecek mayat yang ditemukan jatuh di rawa-rawa. Bondan meyakini, mayat tersebut bukanlah mayat Guzman. Analisisnya, hutan Kalimantan amat lebat seperti brokoli. Jika seseorang jatuh dari ketinggian, mayatnya bakal tersangkut di pohon, tidak jatuh di rawa-rawa.


Hasil investigasi Bondan menemukan, Guzman memiliki gigi palsu dan dia selalu mencopot gigi itu sebelum tidur. Naluri wartawannya tergelitik. Dia terbang ke Filipina dan menemui keluarga Guzman. Kepada keluarga tersebut Bondan bertanya, apakah mayat itu memiliki gigi palsu atau tidak. Jawabannya tidak.


“Artinya, mayat itu bukanlah mayat Guzman,” kataku menjelaskan.


Sampai sekarang, tidak jelas keberadaan Guzman. Kabar terakhir menyebutkan, istrinya masih memperoleh kiriman yang dari seseorang. Hingga saat ini, kasus Busang tak pernah jelas ujungnya. Apa yang sebenarnya terjadi di sana.


“Aku cuma ingin bercerita, aku terinspirasi dari kegigihan Bondan. Betapa ulet dia dan betapa sabarnya dia menemui banyak orang. Kerja wartawan memang seperti itu, tak pernah puas dan tak putua rasa ingin tahunya,” kataku.


“Gila ya. Ada ya skandal seperti itu di Indonesia. Mestinya film ini layak diangkat jadi film,” kata Andriana.


Kisah Bre X kemudian diangkat menjadi film layar lebar tahun 2017. Judulnya Gold, diproduksi oleh The Weinstein Company, dengan pemeran utama aktor Hollywood peraih Oscar, Matthew McConaughey.


Andriana manggut-manggut.


“Seru juga jadi wartawan ya?” kata dia.


“Seru nggak seru.”


“Mas sering dong jalan-jalan?”


“Lumayanlah. Hampir semua provinsi sudah gue datangin,” kataku.


“Enak ya jadi wartawan, jalan-jalan terus,” Andriana menyela.


“Jangan salah,” kataku. Banyak orang mengira jadi wartawan itu kerjaannya keliling Indonesia atau bahkan keliling dunia. Salah. Kerjaan wartawan itu justru paling banyak menunggu. Menunggu sidang berjam-jam di pengadilan, menunggu pemeriksaan di KPK, atau menunggu sidang di DPR.


“Kalau mau lebih sering jalan-jalan, ya jadi pilot. Atau jadi anggota DPR sekalian,” kataku.


Andriana tertawa. Pipinya mengembung lucu.


Andriana menyeruput teh manisnya. Aku menyulut sebatang rokok dan mengecek ponselku.


Dua orang pengamen menghampiri kami.


“Permisi bapak-bapak, mohon maaf mengganggu waktunya…”


Mereka lantas memetik gitarnya, bernyanyi bersahut-sahutan. Mereka menyanyikan lagu, Pesawat Tempur Iwan Fals. Setelah si pengamen selesai, Andriana hendak mengulurkan tangan memberikan uang. Aku menahan tangannya.


“Boleh request nggak?” kataku.


“Request lagu apa Om?” tanya si bocah.


Andriana tertawa. Mulutnya berdesis mengejekku, “Om….”


Aku mendelik.


“Bon Jovi bisa?”


Mereka, si pengamen saling pandang. Kemudian mereka mulai memainkan gitarnya.


Always.


Hari itu, di bawah lagu itu, aku merasakan kedamaian. Bersama Andriana.


****

Kami sedang di atas mobil menuju tempat tinggalku di Kebon Jeruk.


Waktu beres makan, Andriana meminta diambilkan beberapa buku bacaan. Aku menyanggupi akan membawakannya kapan-kapan kalau ketemu lagi.


“Sekarang aja,” kata dia setengah memaksa.


“Sudah hampir tengah malam, lho?” kataku mengingatkan.


“Nggak apa-apa, gue besok masuk siang,” kata Andriana.


Jadilah saya berangkat ke kosanku di Kebon Jeruk.


“Nanti tunggu di luar saja ya? Kamarku berantakan,” kataku.


Andriana mengangguk.


Kami sedang diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Untuk memecah kebisuan, aku menyetel radio. Dan saat memasuki tol Kebon Jeruk, radio aku putat kembali memutar lagi Always Bon Jovi.


“Itu lagu favorit bokap gue,” kata Andriana. “Dan karena sering didengerin, akhirnya jadi lagu favorit gue juga,” kata dia.


“Lha, lo suka Bon Jovi juga?” kataku.


“Bokap doyan banget. Waktu muda bokap cerita kalau dia beberapa kali nonton konsernya di luar negeri,” kata Andriana. Saat Bon Jovi konser di Jakarta tahun 1995, Andriana berkata, bokapnya bahkan rela jauh-jauh pulang ke Indonesia.


“Gue masih bocah waktu itu,” kataku.


“Sekarang sudah Om-Om berarti,” Andriana mengejekku.


Sialan.


Kami tertawa. Kami akhirnya membahas beberapa lagu dan kisah perjalanan band dari New Jersey ini hingga kami pun tiba di kosanku. Kosanku tidak gede-gede amat. Sebuah kamar dengan kamar mandi dalam. Tidak ada dapur. Yang melegakan, ada halaman yang cukup.luas untuk menampung mobilku.


Aku turun ke bawah menghampiri Andriana dan memberikan beberapa buku.


“Yakin nggak mau gue antar pulang?”


“Nggak usah. Gue naik taksi aja. Lagian lo nanti bolak-balik,” kata dia.


“Nggak apa-apa, kan udah malem. Pasti nggak macet juga,” kataku.


“Tenang aja, Mas. Gue biasa kok pulang jam segini,” kata Andriana.


Aku tak memaksa.


Kami duduk di teras depan sambil menunggu taksi Andriana datang. Aku kembalu menyalakan rokok. Susah bener sih lepas dari benda sialan ini.


Kami sibuk dengan keheningan masing-masing. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Andriana. Namun satu yang pasti, aku gembira malam ini. Andriana menyimpan bamyak sisi menarik dan antuasisme yang menggairahkan. Dia tak seperti cewek-cewek cakep lain yang lebih banyak menerima daripada mencari.


“Taksi gue kayaknya sudah datang,” kata Andriana.


Kami berjalan melewati halaman kosanku. Entah mengapa, berat sekali rasanya berpisah dengan Andriana. Menjelang pintu gerbang, kami berpandangan dengan kikuk. Temaram lampu taman menambah teduh wajah Andriana. Wajahnya tetap segar meskipun balutan make up-nya mulai pudar.


Aku menggamit tangan Andriana. Andriana tak menolak. Aku menggenggam tanganya tanpa melihatnya. Kami masih berjalan pelan.


“Mas, aku pulang ya?”


Dia tak menggunakan lo gue. Aku tersenyum dalam hati.


“Hati-hati, ya,” kataku serak.


Andriana memandangku. Wajah kami semakin dekat. Semakin dekat. Mata Andrian terpejam. Sedetik kemudian bibir kami menyatu. Lembut, hangat dan manis.


Tuhan, jika dunia harus dihentikan, boleh aku meminta dihentikan saat ini juga?
 
Terakhir diubah:
Buat yang masih menyimak cerita ini, mohon maaf banget update agak telat.

Oia karena menjelang hari raya, update di beberapa episode sebelum dan beberapa hari sesudah Idul Fitri nanti mungkin bakal minim SS. Mohon maaf lahir dan batin.
 
Wuh.. Ajib banget ceritanya.. Baca tulisan mas mrenges selalu terhanyut dan ga kerasa udah bersambung lagi..
 
dibuat tercengang dengan beberapa fakta yang ada di update kali ini sepeti watergate, bre-x, gold, de guzman

kapan kapan ane mau lihat film yang disebutin ah
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd