Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catatan Seorang Wartawan

Hmmm....
3 wanita super...
Andriana...
Nabila...
Dan
Rara kah...?

Still wait...
 
Suhu @mrenges ...bahasanya runtut khas orang akademisi...menunggu sisi gelap lakon utamanya...liar..kayak film fatal attraction atau basic instinc
 
Ritmenya good. Dijaga ya bung? Ternyata memang tulisan jurnalis penuh dengan dogma-dogma baru yang orang lain tak punya. Ingat kan dengan istilah "one step ahead"? Keep moving...
 
Mengalun rapi, runtut dan sangat layak untuk slalu dinatikan kelanjutan ceritanya..
Good job.
 
New York


Aku menyeret koperku yang tak seberapa besar di terminal kedatangan John F Kennedy International Airport, New York. Di depan kulihat Nabila dan Rara tampak kerepotan menyeret dua koper besar. Entah apa yang mereka bawa. Mungkin baju, mungkin juga persiapan untuk tempat oleh-oleh.


Aku dan Mas Dani cenderung simpel dalam perjalanan ini. Aku hanya membawa messenger bag dan sebuah koper berukuran sedang. Aku juga tak lupa membawa beberapa baju hangat karena udara di New York kadang tak menentu. Perlengkapan Mas Dani juga kurang lebih sama sepertiku.


Kami baru saja mendarat di JFK International Airport setelah menempuh belasan jam perjalanan dari Jakarta dan sempat

transit di Narita, Jepang. Aku melirik arlojiku. Sekarang sudah hampir tengah malam waktu New York. Di Jakarta berarti sekitar jam 12 siang.


Wajah kami, aku dan Mas Dani kuyu meskipun aku sempat cuci muka setelah keluar dari pesawat. Perjalanan di atas ketinggian memang melelahkan, apalagi dalam waktu belasan jam. Sementara dua perempuan di depan kami kok wajahnya segar amat ya. Aku menduga mereka sempat merapikan make up sebelum pesawat mendarat.


“Mereka masih ayu-ayu aja ya,” celetuk Mas Dani.


Mas Dani meskipun tak terlalu banyak omong, tetapi lawan bicara yang enak. Orangnya sopan, pinter dan enak diajak ngobrol. Aku menduga dia pasti seorang ayah dan suami yang lurus.


“Perempuan, Mas. Pasti mereka sempat dandan,” kataku sambil tertawa.


Sambil berjalan ke pintu keluar, aku dan Mas Dani berbincang mengenai keluarganya. Aku belum mengabari Andriana sebab ponselku belum terkoneksi dengan internet. Aku tak berencana membeli sim card lokal. Toh ada jaringan wifi di mana-mana. Nanti saja di hotel.


Nabila memberi tahu, kami bakal menginap di Hilton New York Grand Central. Letak hotel ini strategis, hanya beberapa menit berjalan kaki ke markas pusat PBB, tempat kami bakal mengikuti pelatihan. Hotel ini juga tak jauh dari Central Park dan Time Square.


Setelah melalui pemeriksaan imigrasi yang merepotkan, kami akhirnya tiba di tempat penjemputan. Di antara kami, Rara yang paling lama ditanya petugas imigrasi bandara. Aku sudah curiga saja, Amerika ini memang paranoid dengan Islam.


Nabila bertugas menjadi seksi sibuk untuk perjalanan kami. Meskipun telah menempuh perjalanan panjang, Nabila tetap tampak modis dan tentu saja menarik. Dia mengenakan celana jins ketat, kaos putih dipadukan dengan cardigan berwarna cokelat. Dia pula yang mencarikan kami taksi dan mengurus pembagian kamar hotel.


New York buat dia bukan kota yang asing. Dia menghabiskan waktu selama tiga tahun di kota untuk menempuh pendidikan college. Beres kuliah, dia kembali ke Indonesia dan bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat.


Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba di hotel. Nabila langsung mengurus keperluan kamar kami. Aku dan Rara mendapatkan kamar di lantai dua. Nabila di lantai tiga, dan Mas Dani di lantai empat.


“Kenapa nggak di lantai yang sama?” aku bertanya.


“Gue sudah minta, tetapi kamar yang tersisa cuma itu. Ada sih yang president suite, tapi mau nambah sendiri,” kata Nabila tertawa.


“Ogah,” jawab kami kompak.


“Nanti pada mau makan malam nggak?” Nabila bertanya.


“Memang masih ada restoran buka? Sudah hampir tengah malam, lho,” tanya Mas Dani.


“Harusnya sih ada. Kalaupun nggak, nanti kita makan di restoran hotel aja,” Nabila mengusulkan.


“Lihat ntar gimana? Kayaknya mending istirahat dulu,” kata Rara. Aku dan Mas Dani mengangguk.


“Ya udah, nanti berkabar saja,” kata Nabila.


Kami bergiliran naik lift. Nabila dan Mas Dani lebih dulu. Aku dan Rara, karena berada di lantai yang sama, naik belakangan. Kamarku dan kamar Rara letaknya berseberangan. Aku membawakan satu koper besar milik Rara dan berpamitan sebelum masuk kamar.


“Kalau mau keluar, kasih tahu ya,” kataku pada Rara.


“Oke, Mas,” kata Rara.


Aku masuk ke kamarku. Aku sempat mengecek harga kamar ini di Google. Sekitar 250 dollar sehari. Kami bakal menghabiskan waktu selama sembilan hari di sini. Kamarnya lumayan. Standar hotel bintang empat. Aku mengecek kamar mandi, tidak ada bath tub, adanya shower dilapisi kaca.


Sejak mendarat di New York aku belum sempat menghidupkan ponselku. Aku mencari password wifi dan menemukannya di dekat telepon kamar. Saat ponselku sudah terkoneksi wifi, ada puluhan pesan Whatsapp masuk.


Aku membuka tanpa membaca semuanya. Ada dari narasumber, teman kuliah, ibu, Mas Umam, dan Andriana.


Aku membalas pesan Mas Umam dan ibuku dan mengabarkan pada mereka kalau aku sudah sampai di New York. Andriana menanyakan apakah aku sudah sampai atau belum. Aku membalasnya. Tak ada jawaban lagi. Barangkali dia sedang rapat.


Setelah membereskan urusanku dengan beberapa orang, aku mengecek media sosialku. Aku bukan tipikal orang yang senang pamer dengan perjalanan kayak beginian. Kulihat status beberapa kawan kuliahku. Bosen, tidak ada yang menarik.


Aku membuka koperku. Merapikan baju-baju dan meletakannya di dalam lemari. Aku juga membawa 20 bungkus rokok Sampoerna Mild. Aku taruh sepuluh di koperku dan sisanya aku titip di koper Rara. Aturan imigrasi hanya memperbolehkan penumpang membawa 200 batang rokok ke luar negeri.


Aku merapikan rokok dan menjejerkannya di atas meja. Biar gampang diambil. Aku menghitung kebutuhanku selama di New York. 10 hari, sehari berarti dua bungkus. Lumayanlah. Biasanya aku cuma menghabiskan satu setengah bungkus rokok sehari.


Sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponselku.


Rara.


Mas, rokoknya mau diambil atau taruh sini aja?


Aku ambil sekarang bisa?


Aku mandi dulu ya. Setelah mandi aku kabari.


Aku tak membalas pesannya. Tidak ada pikiran macam-macam mengenai hal-hal mesum terkait dua perempuan yang bareng bersamaku dua pekan ke depan. Keduanya cantik, pinter, putih dan menarik untuk dipandang. Aku belum tahu karakter Nabila. Kalau soal Rara, nanti aku ceritakan.


Aku memilih rebahan di kasur. Aku mengambil gambar kamar dan mengirimkannya pada Andriana. Aku menyalakan televisi dan memilih satu channel. Ada tayangan film, tapi tidak ada terjemahan. Aku lupa ini bukan di Indonesia. Aku mematikan televisi karena males mikir.


Saat aku mengecek kembali media sosialku, Rara mengabari kalau dia sudah selesai mandi. Aku keluar kamar dan mengetuk kamar Rara. Dia membuka pintu. Masih mengenakan jubah mandi, dengan rambut digelung handuk.


“Maaf, aku belum sempat ganti baju,” kata Rara. “Masuk aja.”


Aku menatap sekeliling dan melihat ke arah jendela. Pemandangan dari kamar Rara adalah jalanan di depan hotel. Meskipun sudah tengah malam, masih ada mobil tampak berlalu lalang.


“Aku ganti baju ya,” kata Rara.


“Di sini?”


“Yeeee, enak aja. Di kamar mandilah, enak di situ kalau saya ganti baju di sini,” kata Rara sambil tertawa.


Aku tertawa malu menyesali pertanyaan bodohku.


Rara mengambil beberapa helai pakaian dan berlalu ke kamar mandi. Saat keluar, dia mengenakan leging ketat, baju kaos lengan panjang yang tampak ketat di badannya. Handuk yang tadi menutup kepalanya raib entah ke mana.


Tak ada jilbab yang menutup kepalanya. Dan rambutnya, ya ampun. Rambutnya bagus sekali. Panjangnya di bawah bahu, agak bergelombang di bagian bawah, agak pirang dan beraroma mint. Dia telah mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dia mengikatkan rambutnya ala kuncir ekor kuda. Meskipun berjilbab, tampaknya Rara rajin merawat mahkotanya itu.


Aku melirik sekilas. Badannya mungil. Satu-satunya yang menonjol dari Rara adalah ukuran payudaranya, yang menurutku, agak kebesaran untuk tubuhnya yang kecil. Ukurannya agak tidak proporsional di badannya. Barangkali karena dia sudah melahirkan dan menyusui, jadi ukuran membengkak.


Aku memalingkan wajah ke arah televisi yang sedang menayangkan acara musik. Khawatir disangka lelaki hidung belang yang suka jelalatan.


“Kamu nggak mandi, Mas?”


“Males, nanti aja.”


“Bau, lho habis perjalanan jauh.”


Aku tertawa.


“Ngomong-ngomobg, kamu kok…” aku tak menyelesaikan kalimatku sambil menengok arah kepalanya.


Rara memahami pertanyaanku.


“Nggak pake jilbab di depan lelaki lain maksudnya? Hehehe. Iya, males nih. Gerah,” kata dia. “Kan nggak ke mana-mana juga.”


“Lagian, ada Mas Asta juga. Kita kan kayak saudara. Aku yakin Mas Asta nggak bakalan macam-macam,” kata dia sambil duduk di sofa. Rara menyilangkan kakinya.


Glek.


Jika selama sepuluh hari terus begini, siapa yang nggak bakalan tergoda? Kataku dalam hati.


“Eh, lupa..” kata Rara sambil beranjak. Rara berjalan ke arah kopernya dan menyerahkan rokok yang kutitipi. Tangannya kepayahan memegang sepuluh bungkus rokok dalam satu raupan.


Aku beringsut membantunya. Saat dia hendak berdiri dari posisi menunduk, rokoknya berhamburan ke lantai. Dengan refleks aku ikut memunguti rokok yang berserakan di lantai. Pada saat itulah, ini klise sih, jidat kami beradu.


“Aduh!” teriak kami bersamaan.


Tidak keras, tetapi mengagetkan. Kami berdua memegang dahi masing-masing dan mengusapnya perlahan. Kami tertawa terbahak-bahak.


“Macam di sinetron-sinetron ya,” kataku memecahkan suasana. Aku memungut rokok-rokokku dan menaruhnya di meja lalu aku duduk di sofa. Rara duduk di sofa yang berbeda.


“Suamimu sudah dikasih kabar?” aku bertanya.


“Sudah, lagi kerja kayaknya,” kataku.


Saat di pesawat, aku duduk bersebelah-belahan dengan Rara. Nabila ada di baris yang berbeda bersama Mas Dani. Padahal awalnya aku sih berharap bisa sebaris sama Nabila dan Rara yang sebaris sama Mas Dani. Aku dan Nabila sama-sama single, Mas Dani dan Rara sama-sama sudah menikah. Lebih klop.


Namun nasib berkata lain. Aku duduk bersebelahan sama Rara. Setelah bosan menonton film dan bosen sekian jam berdiam diri, kami akhirnya bercerita lebih banyak soal personal. Tentang suaminya, tentang anaknya dan juga tentang Andriana. Aku berterus terang sedang dekat dengan seorang konsultan namun belum berpacaran.


“Anakmu siapa yang jaga?” kataku.


“Kan ada neneknya. Tadi maunya Skype. Aku udah kangen banget sama Radit. Cuma, mertuaku agak gaptek. Nanti aja pas suamiku sudah di rumah,” kata Rara.


Radit, nama anaknya.


“Pacarmu sudah?” giliran Rara yang bertanya.


“Belum pacar kali. Tapi, mudah-mudahan sih,” kataku tertawa. “Tadi sih sudah Whatsapp-an. Cuma kayaknya dia lagi di kantor.”


“Eh, aku balik kamar ya. Ndak baik berdua di kamar hotel sama istri orang,” kataku bercanda.


“Dasar, emang Mas Asta sering bawa perempuan ke hotel ya?” dia membalas.


  • Kami cepat akrab. Barangkali karena di pesawat tadi kita sudah bercerita banyak. Mungkin juga karena pembawaan Rara yang supel. Wartawan itu makhluk yang paling enak diajak berdiskusi. Bisa nyambung segala macam topik. Kami jadi tak canggung lagi melontarkan guyonan. Padahal kukira dia awalnya kaku. Apalagi dia sudah berjilbab dan bersuami. Stereotip itu memang berbahaya.

“Ke hotel sih belum pernah, tapi kalau ke kosan sering,” balasku.


Rara tertawa. “Anak muda-anak muda..”


“Aku ke kamar ya..”


Aku beranjak dan menuju pintu.


“Satu jam lagi jalan mau nggak? Aku lapar nih. Kayaknya jam biologis kita masih waktu Indonesia deh,” usulku sebelum menutup pintu.


“Boleh,” kata Rara. “Nanti kabarin saja.”


****

Setelah dua hari di New York, akhirnya aku bisa menghilangkan jetlag. Aku pikir awalnya nggak bakal terkena sindrom ini. Perkiraanku salah. Nyaris dua hari aku nggak bisa tidur saat malam hari dan terkantuk-kantuk saat tengah hari. Namun hari ini metabolisme tubuhku telah mampu beradaptasi.


Hari pertama, sesi diskusi lebih banyak diisi dengan sesi perkenalan. Peserta ternyata lebih banyak dari yang diinformasikan sebelumnya. Ada tiga puluh jurnalis dari sepuluh negara. Indonesia satu-satunya dari Asia Tenggara dan mengirimkan tiga wakil. Setiap hari, diskusi berlangsung sejak pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore diselingi makan siang.


Peserta lainnya ada yang dari Inggris, Serbia, India, negara di kepulauan Pasifik yang aku lupa namanya, Brazil dan beberapa negara Afrika. Rata-rata berusia 30an pertengahan. Kami dibagi menjadi tiga kelompok berbeda. Aku, Rara dan Mas Dani berada di kelompok berbeda. Nabila ternyata tidak menjadi peserta, tetapi menjadi semacam fasilitator.


“Hebat juga tuh, bocah,” pikirku.


Hari pertama lebih banyak diisi dengan perkenalan dan situasi terkini kondisi demokrasi di masing-masing negara. Aku menyampaikan soal perkembangan partai politik dan apa saja kekurangan dan apa yang mesti diperbaiki. Rara menyampaikan bagaimana Islam beradaptasi dengan demokrasi.


Sementara Mas Dani menyampaikan mengenai pemilihan kepala daerah langsung dan tren uang perahu dan politik uang. Uang perahu adalah uang yang dibayarkan kepala daerah untuk partai politik saat menjadi calon kepala daerah.


Bahasa Inggris Rara amat fasih. Di antara kami, aku, Mas Dani dan Rara, dialah yang paling lancar berbahasa Inggris dengan logat British yang enak didengar. Sedangkan aku dan Mas Dani tetap tak bisa meninggalkan aksen Indonesia. Mas Dani bahkan logatnya medok Jawa meskipun bahasa Inggrisnya lancar.


Di antara kami bertiga, Raralah yang paling banyak mendapat pertanyaan. Barangkali karena dia satu-satunya peserta yang berjilbab.Dari pemikirannya, aku menyimpulkan Rara adalah seorang Islam moderat.


Dari pertanyaan itu, aku masih mendapat kesan, banyak yang salah tafsir terhadap Islam. Menganggap Islam tak bisa kawin dengan demokrasi. Rupanya stereotip terhadap Islam dari dunia barat tak banyak berubah.


Sesi kedua, kami mendapat ceramah politik dari Ben Anderson, seorang Indonesianis dan ahli Asia Tenggara dari Cornell University. Aku mengenal Ben hanya dari buku dan kini langsung berhadapan dengannya di Amerika Serikat.


Ben adalah orang yang paham betul mengenai Indonesia. Bahasa Indonesia amat fasih. Dia pernah dicegah datang ke Indonesia oleh rezim Orde Baru. Dia baru bisa masuk ke Indonesia lagi pada 1999 setelah Orde Baru tumbang.


Bukunya, Imagined Communities: Refelction on thr Origin and Spread of Nationalism adalah karya klasik dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Bukunya yang lain antara lain Java in a Time of Revolution dan Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.


Di akhir diskusi, aku, Rara dan Mas Dani sempat berbincang dengan Ben Anderson. Dia mengaku ingin ke Indonesia lagi, bertemu dengan sejumlah kawan-kawannya (dan pada 13 Desember 2015, Ben meninggal di Kota Batu). Kami tak lupa berbagi nomor kontak dan meminta dia menghubungi kami seandainya berada di Indonesia.


Sesi hari ini berakhir dengan menyenangkan. Aku, Rara dan Mas Dani berjalan kaki kembali ke hotel. Nabila minta izin nggak ikut bergabung karena harus bertemu dengan teman kuliahnya. Saat tiba di hotel, kami bertiga janjian untuk makan malam bareng sekitar jam enam sore.


Menjelang pukul enam, Mas Dani mengirimkan pesan Whatsapp ke ponselku.


Mas Asta, aku nggak bisa gabung nih makan malam. Aku mesti seniorku yang lagi kuliah di sini. Sorry banget ya.”


Aku menghubungi Rara dan mengabarkan kalau Mas Dani tak bisa bergabung.


“Berdua aja kita berarti?”


“Nabila kayaknya masih ketemu temennya. Peserta lain kayaknya sudah punya acara masing-masing. Keberatankah?”


“Nggak, nggak. Seneng malah.”


Deg. Aow. Aow.


Aku tak membalas pesannya lagi. Takut kegeeran ini berlanjut.


Aku kemudian menghubungi Andriana, mengabarkan kalau aku mau makan malam dengan peserta lain. Aku beberapa kali Skype dengan Andriana, terutama saat pagi hari di New York. Artinya di Jakarta sekitar jam enam sore.


Perbedaan waktu ini rupanya membuat komunikasiku menjadi terhambat. Pantas saja, orang yang LDR beda benua sering gagal dalam membina hubungan.


Aku dan Rara bertemu di lobi hotel tepat pukul enam sore. Aku mengganti celanaku dengan jins dan kemeja lengan panjang. Sesi di diskusi mewajibkan kami memakai pakaian formal, celana bahan, kemeja bahan lengkap dengan jas sepatu pantofel. Beberapa peserta bahkan sampai mengenakan dasi. Seumur-umur aku tak pernah mengenakan dasi.


Rara telah berganti pakaian. Dia memakai kemeja yang ditutupi jaket agak tebal. New York agak dingin, barangkali sekitar 10 derajat.


“Mau makan apa?”


“Terserah, aku mah ngikut saja,” kata Rara.


Aku mengusulkan makan steak dan dia menerima. Aku membuka ponsel mencari restoran di sekitar hotel. Ada satu restoran, The Capital Grille. Rara menyetujui pilihanku. Kami memutuskan berjalan kaki karena restorannya hanya sekitar 300 meter dari hotel.


Aku sempat merokok di luar hotel. New York baru saja memberlakukan aturan merokok yang lebih ketat di tempat-tempat tertentu. Misalnya di Taman Kota, di dalam ruangan, di pantai dan di tempat pejalan kaki. Meskipun aturan ini juga banyak yang menentang.


Aku menghindari risiko terkena denda jika merokok di sembarang tempat. Ini bukan Indonesia, dan aku tahu petugas di negara ini tak gampang diajak bernegosiasi. Jadilah aku hanya merokok di depan hotel atau tempat-tempat yang diperbolehkan.


Setelah makan malam, kami kembali ke hotel kami sempat berkeliling ke beberapa blok. Kami berencana untuk jalan-jalan menggunakan kereta keesokan harinya atau pergi ke beberapa tempat menarik seperti Central Park atau Time Square.


Saat kembali ke hotel, Rara naik duluan karena aku masih ingin menyulut sebatang rokok.


“Mau nelpon anakku dulu,” kata Rara.


Aku mempersilakan.


Setelah menghabiskan tiga batang rokok, aku kembali ke kamarku dan menghubungi Andriana. Dia mengatakan hendak siap-siap ke kantor. Kami sempat berbagi kabar sebelum menyudahi percakapan ini. Terus terang, aku kangen sekali padanya. Tapi aku pernah terang-terangan menyatakan perasaan itu.


Aku mandi untuk menyegarkan badan dan langsung berganti pakaian dengan mengenakan celana pendek dan kaos oblong.


Aku memeriksa ponselku.


Nabila menanyakan apakah kami sudah makan atau belum. Sepertinya dia menanyakan pertanyaan ini kami bertiga. Aku menjawab sudah.


Mas Dani mengabarkan kalau dia mungkin akan bermalam di tempat temannya dan kembali ke hotel besok pagi.


Aku belum ngantuk. Bingung mesti ngapain. Tiba-tiba pikiran bandelku muncul. Kenapa nggak ajak Rara ngobrol ya? Aku merasa dalam beberapa kesempatan dia mencuri pandang padaku. Beberapa kali dalam diskusi pandangan kami bertemu dengan tak sengaja.


Baiklah. Dicoba saja, pelan-pelan saja. Siapa tahu beruntung.


“Ra, sudah tidur?”


Tak lama kemudian dia membalas.


“Belum Mas. Baru selesai Skype-an sama anak dan suamiku. Kenapa, Mas?”


Aku bingung membalasnya.


“Nggak, bosen aja. Bingung mau ngapain,” kataku.


“Ngobrol di kamarku aja, Mas,” dia menawarkan.


Waduh. Ini tawaran yang tak boleh disia-siakan.


“Aku ke sana ya?”


Rara sudah melepas jilbabnya. Bajunya tampak acak-acakan. Entah karena apa. Dia masih mengenakan celana panjang agak kebesaran.


Aku duduk di sofa dan Rara duduk di sofa sebelahnya. Kami akhirnya berbincang ngalor ngidul. Membahas soal Ben Anderson, membahas soal Mas Dani, membahas Nabila dan kemungkinan apakah dia sudah punya pacar, membayangkan rasanya hidup di New York, dan membahas beberapa peserta lain.


Aku nggak berkonsentrasi sebenarnya. Pikiranku sudah ada agak ke mana-mana. Beberapa kali obrolan kami menyerempet ke hal-hal sensitif. Apakah aku bakal dapat durian runtuh malam ini? Tetapi, Rara kan sudah bersuami, apa itu tidak jahat?


Kami kemudian fokus pada tayangan di televisi, sebuah film lawas, Basic Instinc. Sialnya, saat kami terdiam, adegan di televisi menunjukkan ketika si Sharon Stone sedang melakukan hubungan seksual dengan si detektif. Aku merasa awkward.


“Filmnya diganti saja ya?” usulku memancing.


Rara tertawa. “Biarin ah, lagi seru nih,” kata dia.


Aku sudah menonton film ini di Indonesia. Bedanya, di Amerika nggak ada sensor. Jadilah adegan percintaan benar-benar berlangsung tanpa editing sedikitpun.


“Kenapa mukanya gitu amat Mas? Tegang ya?”


Rara tertawa melihat ekspresiku.


“Normal kali mbakyu. Siapa juga yang nggak tegang ngelihat adegan begituan.”


Rara mengambil remote dan sepertinya dengan sengaja mengeraskan volumenya. Suara erangan dari televisi memenuhi kamar tersebut. Penisku benar-benar tegang.


“Atau, jangan-jangan kamu yang lagi yang turn on ngelihat adegan begini,” kataku menggodanya.


Aku belum mau melakukan move terlalu jauh. Pelan-pelan saja dulu. Wait and see. Pancing dulu. Berhasil syukur, nggak berhasil ya paling malu dikit. Keberanianku muncul karena sepertinya ada tanggapan dari kubu sebelah.


Rara tertawa. “Kalau nggak tergoda itu namanya nggak normal.”


“Berduaan di kamar hotel, nenek bilang berbahaya. Apalagi sama cewek cantik,” kataku.


“Ibu-ibu maksudnya?”


“Hotmam,” sahutku. Rara tampak tersipu. Banyak perempuan lemah sama pujian ya?


“Kalau nggak ada keberanian, nggak bakal jadi berbahaya,” Rara menjawab.


“Ini tantangan?”


“Memangnya berani?” dia benar-benar memancing.


“Tergantung…” kataku. Aku bangkit berdiri melongok lalu lintas di jalan raya. Aku mengumpulkan keberanian. Rara sudah membuka kunci. Aku belum bisa menebak, apakah aku harus mengetuk pintu lebih dulu atau langsung saja masuk kamar.


“Ramai ya di luar? Sini, deh, sama kayak Jakarta.”


Rara bangkit dan berdiri sejajar di sampingku. Kami kemudian fokus menatap jalanan di luar sana. Kami kemudian memandang ke luar dengan keheningan masing-masing. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Rara.


Tidak mungkin dia mengambil inisiatif duluan. Mestilah laki-laki yang memulai pergerakan. Di televisi, adegan panas sudah berakhir. Penisku sudah tak tegang sempurna, meskipun tak sepenuhnya turun.


“Ra…”


“Ya?”


“Kamu jangan memancing…”


“Memangnya kenapa? Takut?”


Aku merengkuh tangannya, memaksanya membelakangiku. Tidak ini bukan soal perasaan. Ini hanya kebutuhan. Keinginan. Aku menatap wajahnya.


“Sekali kita melewati batas, kita tak akan pernah bisa kembali lagi, point of no return,” aku berbisik di belakang telinganya. Aku menghirup aromanya pelan-pelan. Rara menggelinjang. Aku melihat pantulan bayangan kami di jendela. Matanya terpejam.


“Kalau mau lakukan, kalau tidak, tinggalkan aku sekarang. Jangan mempermalukan aku yang sudah membuka diri seperti ini, Mas,” kata Rara.


Lampu hijau. Aku membalik tubuhnya.


Aku mengecup bibirnya perlahan. Kemudian turun ke lehernya. Aku bisa mencium aroma pewangi melati dari rambut Rara. Aku memberi kecupan kecil di lehernya dan menyapukan lidahku di sana.


Rara mengerang. Tangannya menelusup ke kaos yang aku kenakan. Dia mengelus dadaku, kemudian merengkuhkan tangannya ke belakang. Aku memindahkan kecupanku ke leher sisi kiri sembari meremas daun telinganya. Aku masih belum puas menjelajahi kulit wajahnya yang halus.


Kami memainkan tempo dengan amat perlahan. Aku merasa tak diburu waktu. Tidak ada yang bakal mengganggu kesenangan ini. Rara mengambil alih kendali di tubuh bagian atasku. Kali ini dia yang menjilat leherku. Tangannya bergerak ke arah bawah, mengelus kemaluanku dari celanaku.


Tanganku turun perlahan ke arah dadanya. Meremasnya dari luar. Kenyal. Aku mengangkat kaosku dan membukanya. Aku juga mengangkat kaos yang dia kenakan, terlihat sebuah bra berwarna hitam berusaha menutupi payudaranya. Bagian atasnya menggelembung, seakan hendak melompat keluar dari wadahnya.


Tidak ada ucapan yang keluar, kecuali desahan halus dari bibir Rara. Aku membuka dengan paksa bra hitam tersebut kemudian meloloskan dari kepalanya. Kini, dua bukit kembar itu sudah terpampang bebas. Ukurannya menbuatku takjub. Besar, sedikit menggantung. Barangkali karena sudah menyusui. Putingnya berwarna kecokelatan amat kontras dengan warna kulitnya.


Aku meremas dua bukit kembar itu. Tanganku tak cukup untuk menangkup keseluruhan gunung tersebut. Rara membalas perlakuanku dengan meloloskan celana yang kukenakan dengan celana dalamku. Aku sudah telanjang bulat. Dia menyusul kemudian melepaskan celana ketat yang dia kenakan. Kini kami sudah sama-sama polos.


Aku kemudian memeluk Rara. Dadanya yang menonjol menghimpit dadaku. Aku menciumnya sembari bergerak ke tempat tidur. Aku melempar Rara ke sana kemudian tersenyum memandangnya yang telah rebah. Aku mencium payudaranya, menghisap putingnya sehingga Rara mengerang perlahan.


Rara mendorong kepalaku menjauh dan bangkit duduk di tempat dudur. Dia mendorongku rebah di kasur. Dia kemudian duduk di tulang keringku dan meremas kemaluanku. Tanpa aba-aba, dia kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku tak tinggal diam. Aku menarik kakinya dan menariknya hingga tepat berada di samping kepalaku.


Rara paham maksudku. Dia kemudian mengangkangi kepalaku. 69. Kini, kemaluannya terpampang dengan jelas di kepalaku. Ada bekas jahitan di perutnya. Sepertinya Rara melahirkan dengan cara caesar. Aku memainkan jari tengahku di biji kecil di atas lubang vaginanya. Ada aroma, yang susah untuk aku deskripsikan.


Aku sejenak memainkan biji kecil itu sembari sesekali memasukkan jari tengahku ke lubang vaginanya. Ada rambut halus di atasnya. Tak puas hanya dengan itu, aku menjulurkan lidahku ke biji itu. Sesekali lidahku berusaha menerobos masuk ke lubang vaginanya.


Setelah hanya mengerang sejak tadi, kali ini Rara bersuara. “Aaaah, Mas enak Mas, Aaaaaah…..”


Dia berhenti mengulum kemaluanku. Aku mati-matian bertahan agar tidak keluar duluan. Setelah mulutnya terlepas, dia mengerang saat aku menjilati kemaluannya. Aku makin kesetanan menjelajahi bagian luar vaginanya dan sesekali berusaha masuk ke bagian dalam. Erangannya makin keras. Tapi kami sepertinya tidak peduli. Masa bodo mau kedengeran sampai luar kamar.


“Mas, aku mau nyampe. Terus mas, terus Mas,” kata Rara. Dia meremas payudaranya sendiri dengan kedua tangannya. Aku makin mempercepat gerakanku. Mulutku pegal. Dengan cepat jari tengahku menggantikan posisi lidahku. Satu tanganku meremas payudaranya. Tubuh Rara bergetar-getar.


“Mas, aku nyampeeeeeeee….”


Dia mengejang selama beberapa detik kemudian ambruk di tubuhku dengan posisi terbalik. Nafasnya terengah-engah. Peluh bercucuran dari dahi kami berdua.


Aku kemudian membalikkan tubuh Rara, memandangnya dengan hangat. Penting memperlakukan perempuan dengan romantis setelah melewati badai orgasme yang dahsyat. Rara tampaknya malu dipandang sedemikian rupa kemudian menarik bantal dan selimut secara bersamaan untuk menutupi wajah dan mukanya.


“Malu, ih..” kata dia.


“Enak?”


“Banget. Baru kali ini ada yang sabar mengoral sampai aku orgasme,” kata dia.


Aku bangkit untuk mengambil air minum. Penisku mengayun-ayun saat berjalan. Setelah meneguk langsung air minum dari botolnya, aku menawari Rara. Dia bangkit sembari mengangkat selimutnya agar tetap menutupi dadanya.


Aku ikut masuk ke selimut yang menutupi tubuhnya. Tubuh kami bersandar di ujung ranjang. Kami sama-sama terdiam. Libidoku mulai surut. Penisku tak setegang tadi. Kewarasanku mulai pulih. Aku telah bercinta dengan istri orang. Dan ini adalah pidana.


Rara juga diam. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu. Aku menduga, dia juga merasa bersalah dengan suaminya. Aku menghadapkan badanku ke samping dan menatapnya. Dia membalas.


“Ra, mikirin apa?”


Dia sempat terdiam beberapa lama kemudian menggelengkan kepalanya.


“Mas Asta nggak menganggap aku murahan, kan?”


“Ya nggaklah, Ra. Aku tahu perbuatan kita salah. Tapi, ya ini kan kita lakukan dengan sadar,” kata dia.


“Aku cuma cemas, Mas Asta menganggap aku cewek gampangan,” kata dia.


“Gila kamu. Nggak pernah sekalipun ada pikiran seperti itu,” kataku.


“Aku tadi habis Skype sex sama suamiku,” kata Rara. Aku mengangguk, menandakan aku siap mendengar ceritanya.


Rara bercerita, selama sepekan terakhir sebelum berangkat, dia mendapatkan haid. Praktis, selama sepekan tersebut dia tak pernah berhubungan seksual dengan suaminya. Sepekan sebelum haid, Rara dan suaminya juga dihadapkan pada setumpuk pekerjaan. Akibatnya, mereka tak sempat memadu kasih karena keburu kecapekan.


Haidnya baru berhenti menjelang keberangkatan. Tadi saat berbincang lewat Skype, keduanya membicarakan hal-hal mesum. Tanpa sadar keduanya pun melakukan Skype Sex.


“Ini agak konyol sih,” kata dia. “Dan itu pertama kali!”


Di tengah mansturbasi masing-masing, suami Rara dipanggil oleh seseorang agar segera berangkat ke kantor. Jadilah hubungan seksual virtual itu berhenti di tengah jalan. Tanggung. Nafsu seharusnya dituntaskan. Rara sempat melanjutkan mansturbasinya. Namun, nafsunya keburu reda dengan sendiri.


Saat itulah, aku menanyakan apakah dia sudah tidur atau belum. Lalu terjadilah kejadian tadi. Rara bercerita, kehidupan seksual dengan suaminya normal saja, yang kemudian membuatku baper. Mereka melakukan setiap hari, minimal dua hari sekali. Aku tak bertanya lebih jauh. Tak etis rasanya menanyakan pengalaman seksual seseorang.


“Tapi aku pertama kali lho, telanjang begini di depan laki-laki bukan suamiku,” kata dia.


“Oia?” aku bertanya. Geer juga sih dikit.


Rara mengatakan, pernah naksir sama bosnya di kantor. Mereka sama-sama sudah berkeluarga. Mereka menyadari ketertarikan satu sama lain dan pernah membicarakannya. Namun mereka tak melakukan tindakan apapun lebih jauh. Pernah si bos hendak menciumnya, tetapi Rara menolak. Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang.


“Kok denganku mau?” aku memancing.


“Nggak tahu. Nyaman aja ngobrol sama Mas Asta. Matanya nggak jelalatan, kemudian bersedia mendengarkan lawan bicara, gaya ngomongnya enak. Kamu pasti suka main perempuan ya?”


Perempuan itu memang susah ditebak. Di awal memuji, di belakang ngasih pertanyaan penuh kecurigaan.


Aku cuma tertawa.


Aku mengelus-ngelus lengannya. Kemudian menelusup ke balik selimut dan meremas payudaranya. Kemudian aku menyentuh putingnya. Terasa keras.


“Bandel ih tangannya,” kata dia. Rara tak berusaha mencegah pergerakanku. Malah tangannya ikut masuk ke selimut dan mengelus kemaluanku.


“Lho, kok sudah berdiri lagi,” kata dia.


Aku tak menyahut tetapi memilih menyambar bibirnya dengan bibirku. Kami berciuman dengan panas. Aku menyingkapkan selimut dari tubuh kami berdua. Sambil menciumnya, aku kemudian mengelus kemaluannya. Sudah basah.


“Mas…” dia mendesah..


“Ada kondom nggak?” aku bertanya.


“Ih, ngapain aku bawa kondom,” dia mendelik memasang muka kesel.


“Aku pengen,” kataku.


“Aku percaya Mas Asta. Masukkin aja,” kata Rara. “Keluarin di dalam nggak apa-apa. Aku lagi nggak subur, kok.”


Duh, rezeki apa pula ini?
 
Rejeki ada yg ngatur .. hotmom pula
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd