Rarasati Pratiwi
Aku menyimak rapat redaksi sambil Whatsapp-an dengan Andriana. Sudah lama aku tidak menikmati berkomunikasi intens dengan seorang perempuan. Lucu, untuk tak menyebutnya menggelikan.
Rapat redaksi di kantorku digelar sepekan sekali. Biasanya dihadiri oleh asisten editor ke atas hingga pemimpin redaksi. Kami merencanakan liputan untuk satu pekan ke depan sekaligus evaluasi terhadap isu-isu yang kami angkat sepekan terakhir.
Biasanya, aku paling semangat untuk rapat dan mengeluarkan gagasan. Namun kali ini tidak.Aku sedang tak fokus. Lebih menarik membalas pesan Andriana. Meskipun sebenarnya, perbincangan kami tak penting-penting amat. Percakapan kami sambung menyambung, dan enggan kuakhiri.
“Asta..”
“Asta…”
“Asta…..”
Mas Umam menendang kakiku.
“Dipanggil pemred,” kata Mas Umam.
Aku terkaget. Semua peserta rapat memandangku.
“Tolong kalau sedang rapat, gadget ditinggalkan dulu,” kata Mas Andri, pemimpin redaksiku.
“Sory, Mas. Lagi kontak narasumber,” kataku.
“Kontak narasumber kok pakai senyum-senyum segala,” kata Mas Andri.
“Hehehe,” aku cengengesan.
“Kamu tolong pertajam isu-isu di DPR. RUU Pemilu tolong dikawal terus. Jangan lupa, reshuffle juga tetap dicari. Kabarnya SBY mau mengganti beberapa menteri. Cari bocoran dari teman-temanmu di DPR. Beberapa temanku di Istana bilang, PKS bakal dikurangin jatah menterinya. Kamu mesti membuat laporan panjang dan ekslusif. Jangan kalah sama media sebelah,” kata Mas Andri.
“Siap, Mas.”
“Liputan lain juga jangan sampai kalah dengan desk nasional. Pokoknya, kita mesti unggul dari sisi isu dan pemberitaan. Online tetap dikawal oleh semua redpel.”
Rapat redaksi pun bubar sebelum jam makan siang. Aku hendak kembali ke mejaku ketika Mas Umam memanggilku.
“Asta, lo jangan keluar dulu. Pemred mau ngasih penugasan,” kataku.
Aku kembali duduk di kursiku.
“Asta, kita diundang untuk mengikuti pelatihan workshop oleh USAID di New York. Mereka mengundang sejumlah wartawan untuk hadir dalam acara itu. Rapat dewan redaksi sudah memutuskan, kamu yang bakal berangkat,” kata Mas Andri setelah kami bertiga duduk.
Aku memandang Mas Umam. Dia hanya mengangkat bahu.
“Kenapa saya, Mas?” aku bertanya.
Bukan karena tak mau. Siapa yang tak mau New York. Di kota ini, kata Jay Z dan Alicia Keys, concrete jungle where dreams are made of.
Aku ingin memastikan, kantorku tak salah mengirim orang. Apalagi aku termasuk junior diantara sejumlah editor nasional. Masih banyak kawan-kawan lain yang lebih berpengalaman ketimbang aku.
“Ini sudah keputusan rapat. Soalnya temanya masih dekat dengan liputan kamu, soal clean government. Mas Umam juga ikut memutuskan,” kata Mas Andri.
“Kapan berangkatnya?”
“Dua minggu lagi. Detailnya nanti bakal ada orang Kedutaan Amerika ngontak kamu. Visa nanti mereka yang urus, kamu tinggal wawancara saja,” kata Mas Andri.
Mas Umam cuma manggut-manggut. Aku masih terkejut sekaligus gembira.
“Berapa hari, Mas?”
“Pelatihannya sepuluh hari. Ditambah perjalanan, mungkin totalnya jadi dua minggu. Ini penugasan kantor, jadi lo nggak usah cuti. Dari kantor juga bakal dapat uang saku. Inget, oleh-oleh,” kata Mas Umam.
“Dari Indonesia siapa saja?”
“Nggak tahu. Katanya diundang cuma dua media. Nanti detailnya lo tanya saja ke orang kedutaan. Bentar lagi palingan dia ngontak lo,” kata Mas Umam.
“Sudah ya. Sebelum berangkat, kamu bereskan liputan-liputan yang diputuskan di rapat. Jangan ninggalin kerjaan sebelum berangkat,” kata Mas Andri.
“Siap, Mas…”
Aku memang beberapa kali liputan ke luar negeri. Tetapi masih di sekitaran Asia. Jepang dan Qatar paling jauh. Sisanya, ya kota-kota di Asia Timur macam Beijing dan Taiwan. Asia Tenggara? Kecuali Kamboja, semua sudah aku datangi.
New York ada di dalam kepalaku, tetapi ya sebatas cita-cita. Aku memang ada rencana untuk mendaftar beasiswa Fullbright tahun depan, dan University of New York ada di urutan teratas.
Tuhan mendengar doaku lebih cepat.
****
Aku berjalan ke kubikalku sambil memberi tahu Andriana soal rencana ini. Meskipun kami belum berpacaran, tetapi kamu sama-sama tahu ke mana hubungan ini akan berjalan.
Ciuman di bawah lampu taman sudah menjelaskan segalanya. Sebelum berpisah, Andriana bahkan sempat menarik tanganku, seolah enggan berpisah malam itu.
Sejak itu, komunikasi kami memang amat intens. Kami saling berkirim pesan bahkan hingga aku tak kuat menahan kantuk. Kami saling menanyakan kabar, mengingatkan jam makan siang atau membicarakan kerjaan yang tak pernah ada habisnya.
Aku gembira, ternyata ada seseorang yang mengisi hari-hari kita membuat hidup kita menjadi berbeda. Aku merasa, Efek Rumah Kaca harus merevisi judul lagunya. Jatuh Cinta itu Tak Biasa Saja.
“Berangkat kapan?”
“Dua minggu lagi.”
Bakalan kangen nggak…..
Kalimat terakhir aku hapus. Terasa norak.
“Berapa orang, Mas?”
Dia masih memanggilku Mas. Meskipun dia tak lagi menggunakan lo gue saat berkomunikasi lewat Whatsapp.
“Kurang tahu. Katanya belasan wartawan. Dari Indonesia ada dua. Cuma aku nggak tahu siapa.”
Andriana lalu bertanya soal pelatihan itu dan aku menjelaskan dengan singkat.
“Emang cocok sih kamu berangkat.”
Setelah itu aku tenggelam dalam kesibukan tulisan dan merapikan transkrip wawancara. Menjelang sore, aku dihubungi seorang perempuan dari USAID Indonesia. Namanya Nabila. Dia menjelaskan prosedur keberangkatan, syarat-syarat yang diperlukan dan beberapa hal teknis lain.
Nabila, yang suaranya merdu itu, juga meminta aku datang ke acara briefing seminggu sebelum keberangkatan. Dia ingin memberitahu apa saja materi, jadwal, dan pembicara dalam acara tersebut. Termasuk, apa saja fasilitas yang kami dapat selama tinggal di New York.
“Dari Indonesia siapa lagi yang diundang, Mbak?”
“Namanya Rarasati Pratiwi,” kata Nabila. Dia.menjelaskan, Rarasati merupakan seorang wartawan sebuah media televisi. Aku pernah mendengar namanya meskipun tak terlalu familiar dengan wajahnya.
“Berdua saja?”
“Ada tiga sebenarnya, empat termasuk saya,” ujar Nabila.
Nabila mengingatkan, Senin depan kami bertemu lagi untuk bertemu di sebuah restoran di daerah Senopati untuk briefing keberangkatan.
“Jangan lupa berkasnya dilengkapi, ya Mas. Aku tunggu sampai besok,” kata Nabila sebelum menutup telepon.
Aku sempat googling nama Rarasati Pratiwi di komputerku. Ini kebiasaanku kalau dinas luar kota. Memastikan siapa dia, barangkali penting nanti untuk membangun suasana dan obrolan.
Aku menemukan akun media sosialnya. Berjilbab, cantik, dan putih. Dari beberapa foto di sana, aku mengambil kesimpulan bahwa Rarasati lebih muda denganku. Dan, dia sudah menikah. Aku melihat dia berpose dengan seorang bayi, yang kutebak umurnya tak lebih dari dua atau tiga tahun.
Aku memberi tahu Andriana, bahwa aku akan pergi dengan seorang perempuan dari Kedutaan Amerika, seorang peneliti dan wartawan perempuan.
Balasannya begini, “Ooooh.”
Aku tak bisa menebak maksudnya.
****
Aku memasuki sebuah restoran di kawasan Senopati.
“Atas nama Nabila,” kataku pada seorang pelayan.
Si pelayan, mbak-mbak yang wajahnya ayu itu, mengantar saya ke sebuah ruangan privat. Saat aku membuka pintu, di sana ada seorang perempuan bergaya casual, seorang perempuan berjilbab, seorang laki-laki yang usianya kira-kira lima tahun di atasku.
Si perempuan kasual, dengan yakin kutebak namanya pasti Nabila. Aku melirik betisnya, mulus dan ramping. Wajahnya cantik, dandanannya tidak tebal, pas aja. Rambutnya tidak panjang, sedikit di bawah bahu.
“Halo Mas Astaa…” katanya riang.
Dari caranya menyapaku, Nabila sepertinya orang yang mudah bergaul dan cepat akrab dengan orang. Ya iyalah cepat akrab, siapa juga lelaki yang tak mau berakrab-akrab ria dengan Nabila.
Aku menjawab sapaan Nabila kemudian mencari bangku kosong.
“Macet ya, Mas? Naik apa tadi?”
“Bawa kendaraan sendiri,” kataku.
Nabila memperkenalkan si laki-laki. Namanya Ramdani, biasa dipanggil Dani. Kami bersalaman. Aku menyebutnya sebagai Mas Dani. Faktor usia, dia lebih tua. Mas Dani seorang peneliti di sebuah LSM yang fokus pada pemerintahan. Aku tak pernah mendengar namanya sebelumnya.
“Mas Dani beberapa kali kami mintai tolong untuk kegiatan di daerah-daerah,” kata Nabila.
Nabila memperkenalkan orang terakhir di ruangan itu. Aku sudah familiar dengan wajahnya. Beberapa hari lalu aku sudah menstalking akun Facebooknya. Yang tidak aku sangka, aslinya lebih cantik dari yang kuperkirakan. Wajahnya mulus, bersih seperti tak pernah kena paparan sinar matahari. Teduh, keibuan, dengan badan yang langsing. Heran, padahal sudah punya anak. Lha, kok nyinyir
“Ini Rara,” kata Nabila.
Kami saling menjulurkan tangan dan bersalaman. Tangannya halus pisan. Dia tersenyum.
Aku memilih menyimak briefing Nabila. Dia menjelaskan teknik keberangkatan, jadwal acara, mengirimkan beberapa materi dan memberikan kami yang saku dalam bentuk dollar. Lumayan, 350 dollar per hari. Total sepuluh hari, jadi 3500 dollar. Lumayan.
“Uang ini tidak termasuk makan malam ya?” kata Nabila. Jadi, kami mesti makan malam sendiri. Aku sudah menghitung bujet dan berapa anggaran yang bakal tersisa, termasuk jika ditambah uang saku dari kantor. Lumayan untuk DP rumah nanti.
Selebihnya, kami menikmati makan siang dan aku berpamitan lebih dulu. Mulutku terasa pahit belum terkena asap rokok.
***
Aku memantau arah lalu lintas dari arah kanan. Setelah memastikan aman, perlahan aku memasuki jalan raya. Mataku melirik ke arah kiri. Ada seorang perempuan berkerudung pink. Rarasati. Dia tampak menunggu sesuatu.
Aku menepikan mobilku dan menurunkan kaca jendela sebelah kiri.
“Hai Mbak, nunggu siapa?”
“Oh, hai. Lagi nunggu taksi,” kata dia.
Tahun-tahun itu memang belum ada transportasi online macam Gojek, Grab atau Uber.
Aku nanya tujuannya.
“Mau ke kantor,” kata dia.
“Daerah mana?”
“Kebon Jeruk,” katanya.
“Bareng aja,” aku menawarkan bantuan.
“Tapi….” dia tampak ragu-ragu.
Tiiiiiiin…. Tiiiinnnn…
Beberapa kendaraan di belakangku yang hendak berbelok ke arah SCBD tak sabaran menunggu. Mereka memencet klakson keras-keras.
“Sudaah, diklakson terus lho ntar..”
Aku menyorongkan badan, membuka pintu sebelah kiri.
Dia bergegas masuk dan mengenakan sabuk pengaman.
“Susah lho nyari taksi pas jam makan siang begini,” kataku setelah kami duduk di dalam mobil.
Wanginya parfumnya enak. Lembut. Moringa. Kelor.
“Aku ngerepotin lho..”
“Santai aja, ah..”
Kendaraan kami tersendat saat hendak keluar dari SCBD di belakang Polda Metro Jaya. Sepertinya orang-orang bersamaan kembali ke kantor setelah meeting atau makan siang di SCBD.
Aku dan Rara ngobrolin hal-hal ringan. Mulanya soal hal-hal yang dekat dengan pekerjaan kami. Irisan orang-orang yang kami kenal, beberapa pos liputan yang kami tempati hingga isu-isu politik terkini.
Rara lebih muda tiga tahun denganku. Dia lulusan Universitas Airlangga. Dia bertugas di program berita sore dan sehari-hari menyiapkan materi untuk ditayangkan di program tersebut. Termasuk membuat janji dengan narasumber jika ada program dialog.
Dia tak banyak berada di lapangan. Pantesan kulitnya mulus bener. Tugasnya lebih banyak mengkoordinasikan reporter di lapangan untuk pencarian bahan.
“Terutama untuk gathering isu,” kata Rara.
“Apa saja berita yang laku di televisi?” aku bertanya.
“Sama seperti koran dan online. Politik dan kriminal. Orang kayaknya mudah nyambung kalau dikasih berita kriminal dan politik,” kata dia.
“Gampang dijadikan obrolan di warung kopi,” kata dia.
Rara mengambil kuliah ilmu politik saat S1. Awalnya, dia ingin menjadi peneliti. Menjelang kelulusan, dia malah tertarik pada jurnalistik. Karena itulah dia melamar di stasiun televisi.
“Cuma aku nggak terlalu suka muncul di depan umum,” kata dia.
Dia sempat membawakan program Ramadan selama dua tahun. Cuma dia merasa nggak nyaman tampil di depan kamera dan ditonton banyak orang.
“Padahal kamu cantik, lho,” kataku spontan.
Aku tak bermaksud apa-apa dengan kalimat itu. Kalimat netral saja. Tidak bermaksud memuji. Namun Rara justru terlihat salah tingkah.
“Tetap nggak pede, Mas,” kata dia.
Topik kami kemudian berpindah ke situasi di Jakarta. Kami mengeluhkan Jakarta yang semakin macet, tentang banjir, tentang busway, tentang proyek transportasi, tentang kebijakan Gubernur Foke, dan hobinya mendamprat wartawan.
“Kayaknya butuh gubenur baru ya,” kata Rara.
“Ada tuh, Wali Kota Solo. Aku lupa namanya,” kataku.
“Oh iya-iya. Yang katanya berhasil memindahkan pedagang pasar tanpa kekerasan itu ya?” sambut Rara.
“Tapi apa dia laku di Jakarta,” kata Rara.
“Laku, asal bohirnya kuat,” kataku, tertawa.
“Di era sekarang, semua bisa dibentuk. Citra, popularitas atau bahkan elektabilitas. Tinggal pinter-pinter ngejaga hubungan baik sama wartawan,” aku menyambung.
“Bener juga sih,” kata Rara.
Obrolan kami terhenti saat mobilku memasuki gerbang kantornya. Dia minta diturunkan di depan.
“Sampai di sini aja, Mas. Nggak usah masuk,” kata dia.
Ya, udah. Aku pun menurunkan Rara dan kembali ke kantorku.
Sejak saat itulah, petualanganku bersama tiga wanita super dimulai….